Iman Menuju Taqwa َ ن َ قو ْ ُ م ل َعَل ّك ُ ّ م ت َت ْ ُ ن قَب ْل ِك ْ م ِ ن ِ ّ ب ع ََلى ال َ ذي َ ِ ما ك ُت َ َم ك ُ صَيا ُ ُ ب ع َل َي ْك ّ م ال َ ِ مُنوا ك ُت َ ن َءا ِ ّ َياأي َّها ال َ ذي Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu benpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS. Al Baqarah:183 Dr. Abul Hasan Ali Abdul Hayyi Al Hasani An Nadwi dalam bukunya The Four of Islam(Empat Sendi Agama Islam, terj.) mengungkapkan pendapat Al ‘Allamah ibnul Qayyim tentang tujuan puasa yaitu ; "Membebaskan ruh manusia dari cengkraman hawa nafsu yang menguasai jasmaninya menuju sasaran pensucian dan kebahagiaan yang abadi. Puasa merupakan perisai bagi orang mukmin, kendali baginya dan yang mengantarkannya ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa. Dalam buku Al-Islam Aqidatun wa Syari’atun (Islam : Agidah dan Syari’ah). Prof. Dr. Mahmud Syaltut mengatakan : "Lidah manusia telah terbiasa mengatakan, bahwa puasa adalah menahan diri dan makan, minum dan melakukan hubungan seksual". Dengan demikian kebanyakan manusia mengira, bahwa jika seseorang telah menahan diri dari tiga perkara tadi sepanjang hari, maka dia telah mengerjakan puasa, telah bebas dari kewajibannya dan telah tertunaikan segala kewajiban Allah atas dirinya. Sebenarnya, ketentuan sepreti itu hanya menjelaskan puasa ditinjau dari bentuk lahiriyah dan dari sisi pengambilannya. Sedang kedua perkara tadi, yakni bentuk lahiriyah dan sisi pengambilan, bukan merupakan hakikat puasa sebagaimana yang telah dibebankan Allah dan diwajibkan atas hambanya. Sesungguhnya Allah SWT telah memulai ayat puasa dengna firman-Nya "Hai orang-orang yang beriman" dan diakhiri dengan "Agar kamu bertaqwa" dengan firman-Nya : "Supaya kamu bersyukur". Diantara permulaan dan penutup terdapat perintah puasa : "Diwajibkan atas kamu berpuasa". Tidak pelak lagi, bahwa seruan Allah yang didahulu dengan sifat keimanan sebagai azas kebaikan dan sumber keutamaan, kemudian diakhiri dengna penyebutan taqwa sebagai roh keimanan dan rahasia kemenangan, merupakan petunjuk yang kuat dan keterangan yang jelas, bahwa puasa yang dikehendaki Allah, bukan semata=mata menahan diri dari segala yang menodai keimanan, yan gtidak sesuai dengan keutamaan taqwa dan pengawasan diri. Maka, tidak ada artinya puasa seseorang yang mengarahkan maksud dan pengharapannya selain Allah. Tidak ada pula arti puasa bagi orang yang mencita-citakan kesalahan, pengupayaan fitnah dan tipu daya, serta memerangi Allah dan Rasulnya di dalam lingkungan kaummukminin. Tidak berarti pula puasa orang yang menyimpan perasaan dengki, iri hati dan kejengkelan terhadap upaya mempersatukan golongan kaum yang meng-Esa-kan Tuhan, juga yang berusaha memecah-belah dan melemahkan kekuasaan mereka. Tidak ada artinya pula puasa orang yang menyukai orang-orang zholim, berbaik hati kepada orang yang buruk perangai membantu kaum yang perusak. Demikian pula orang yang mengambil keuntungan dari kepentingan kaum muslimin, memanipulasi harta Allah untuk kepentingan pribadi dan memenuhi kehendak hawa nafsunya, tidak akan berarti pula puasanya. Begitu pula orang yang tangan, lidah, atau salah satu anggota butuhnya digunakan untuk menyakiti hamba Allah atau melanggar larangan-larangan-Nya, maka puasa tersebut tidak akan memberi manfaat baginya. Dengan demikian, orang yang melaksnaakan ibadah puasa laksana malaikat berbentuk manusia. Dia tidak akan berdusat, tidak ragu, tidaka menghembuskan fitnah, tidak mengyiasati pembunuhan atau tindak kejahatan, tidak menipu dan tidak memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Itulah arti puasa yang menghimpun antara bentuk lahiriyah, yakni menahan diri dari segala yang membatalkannya. Maknanya yakni penguatan roh keimanan dengan meningkatkan pengamanan diri dan menyuciannya dari noda dan dosa serta pengisian dan pembersihannya dengan hal-hal yang baik sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya : "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan dustra dan amal jahat, maka Allah tidak butuh kepadanya meskipun ia meninggalkan makan dan minum (berpuasa). (HR. Bukhari, At-Tirmizi dan Abu Daud) Dalam Al-Quran, tujuan puasa disebut secara eksplisit, yaitu untuk menciptakan manusia bertaqwa. Manusia bertaqwa sesungguhnya adalah manusia yang memiliki kesadaran ketuhanan yang amat tinggi. Kesadaran ketuhanan adalah kesadaran seseorang bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, senantiasa menyertai dan mengawasi hidupnya, sehingga Allah bukan hanya Maha Hadir (Omni Present), tetapi juga Maha Dekat (In Manent). Demikian menurut A. Ilyas Ismail, M.A. dalam sebuah tulisannya. Kemudian katanya lagi, kesadaran ketuhanan adalah pangkal kebaikan dan pangkal moralitas. Tanpa kesadaran ketuhanan, tidak akan pernah ada taqwa atau ketaqwaan. Dalam suatu hadist, nabi pernah menerangkan bahwa seseorang tidak akan mencuri, korupsi, berzinah, atau melakukan itndak kejahatan lainnya manakala ia beriman dan ingat kepada Allah (HR. Bukhari). Ini mengandung arti bahwa perbuatan dosa timbul dan terjadi karena kelalaian dan kealpaan manusia dari mengingat Allah SWT. Ibadah puasa yang kita lakukan sesungguhnya berfungi untuk mempertajam dan meningkatkan kesadaran dan ketuhanan itu, yang diharapkan dapat menjadi dasar dan landasan dapat terbentuknya nilai taqwa. Kesadaran ini sangat menonjol pada orang yang berpuasa. Itu sebabnya, orang yang berpuasa tetap menahan lapar dan dahaga, meski baginya terbuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk berbuka (ifthar), tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Hal demikian tidak akan dilakukan karena ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah Maha Mengetahui dan hadir dalam dirinya. Inilah kesadaran ketuhanan dan inilah sesungguhnya taqwa. Imam Al-Ghazali dalam buknya, Mukasyafatul Qulub merincikan bahwa sifat itu membentuk tujuh macam watak sifat manusia yang baik diantaranya yaitu ; Lidahnya selalu terpelhara dari perkataan buruk dan berbohong . Hatinya terhindar dari sifat dengki, hasat, benci dll. Matanya jauh dari pandangan yang terlarang. Perutnya tidak mau makan makanan yang haram atau yang bersumber dari harta yang haram. Tangannya tidak menyentuh yang diharamkan. Kakinya tidak melangkah ke tempat maksiat. Ketaatannya ikhlas karena Allah semata,tidak karena riya’ atau mengharapkan pujian. Allahu A’lam bi ash Shawab.