Você está na página 1de 52

1

ANALISIS KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
DI PROVINSI JAWA BARAT

Oleh : Prof.Dr. H. Budiman Rusli, MS

Disampaikan dalam kegiatan SKIM tahun 2013 di Kampus UNPAD
Jatinangor










FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG 2013


2



KATA PENGANTAR

Penaggulangan kemiskinan menjadi topik yang menarik untuk diteliti,
pasalnya pendekatan yang dilakukan bersifat multi dimensional dan melibatkan
banyak instansi/ lembaga serta prosesnya memakan waktu yang panjang.Kemiskinan
yang paling kentara dan biasanya dijadikan indikator tingkat keberhasilan
penanggulangannya adalah dari sektor ekonomi.Oleh karena itu program-program
yang diprioritaskan adalah yang berkaitan dengan sektor yang secara langsung
berkaitan dengan upaya peningkatan pendapatan keluarga, pendidikan murah dan
pelayanan kesehatan yang terjangkau.
Program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat yang digagas
pemerintah provinsi dengan mengapresiasi kebijakan nasional berupa Peraturan
Presiden no. 15 tahun 2010 yang menekankan perlunya perecepatan penanggulangan
kemiskinan di Indonesia. Perpres ini menekankan pemerintah provinsi, kabupaten
dan kota menyusun program yang terpadu sehingga tidak mengesankan adanya
inisiatif dari para instansi/lembaga yang terkait berjalan sendiri-sendiri dan program
yang digagas bersifat parsial. Untuk mendorong kerja sama yang baik antar lembaga
diluncurkan kebijakan Mendagri berupa Permendagri No. 42 tahun 2010 tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kebijakan
ini mengindikasikan bahwa keterlibatan multi pihak dalam penangulangan
kemiskinan potensial untuk terjadi inefisiensi dan kontra produktif, untuk itu
diperlukan pengaturan yang tegas di lingkungan pemerintahan daerah. Gubernur
3



Jawa Barat meresponnya dengan mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan
Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang TKPKD Provinsi.
Kebijakan ini dijadikan landasan oleh SKPD yang ada di lingkungan Pemprof Jabar
untuk menggelar berbagai program penanggulangan kemiskinan masyarakat Jawa
Barat. Hal yang menarik diamati adalah munculnya program yang diluncurkan secara
parsial walaupun telah dibentuk Tim Koordinasi yang secara langsung mengatur kerja
sama antar SKPD ini. Hasil yang diperoleh selama satu tahun program ini
diluncurkan yaitu tahun 2012, hasil yang dicapai belum sesuai dengan harapan
padahal target pencapaian telah ditentukan batas waktunya yaitu tahun 2014.
Berdasarkan hal itu peneliti tergelitik untuk megamati lebih lanjut faktor-faktor apa
yang menyebabkan ketidakberhasilan ini, dan solusi apa yang sebaiknya dilakukan
agar program penanggulangan kemiskinan dapat mengurangi jumlag orang miskin di
Jawa Barat sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Semoga hasil penelitian ini memberi manfaat kepada semua pihak
khususnya pada SKPD yang tergabung dalam program penanggulangan kemiskinan
ini untuk mengevaluasi kinerja yang telah lalu dan merevisinya untuk meningkatkan
hasil yang optimal pada dua tahun mendatang yaitu tahun 2014 sebagaimana yang
diamanatkan oleh pemerintah melalui Perpres no. 15 tahun 2010.
Bandung, November 2013


Peneliti
4



ABSTRAK

Masalah kemiskinan yang terjadi di Jawa Barat telah lama menjadi
perhatian pemerintah.berbagai program telah dilincurkan sebagai usaha untuk
menanggulanginya. Namun demikian angka kemiskinan terus bertambah,upaya untuk
menanggulanginya belum berhasil walaupun telah dikeluarkan berbagai kebijakan
seperti Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010, Permendagri No 42 yahun 2010 dan
Keputusan Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang TKPKD
Provinsi.
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif yang diarahkan
untuk medeskripsikan makna yang ada dibalik fenomena yang diteliti yaitu masalah
kemiskinan di Jawa Barat. Untuk mengumpulkan data selain dari sumber sekunder
juga sumber primer melalui wawancara langsung dengan informan dalam hal ini
Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah kemiskinan di Jawa
Barat belum berhasil ditekan karena program-program penanggulangan kemiskinan
yang diluncurkan oleh SKPD di lingkungan Pemerintah provinsi Jawa Barar berjalan
secara parsial kurang keterkaitannya dengan program yang digagas SKPD yang lain.
Selain itu masalah keakuratan data tentang masyarakat miskin di Jawa Barat masih
mewarnai program penangulanagn kemiskinan ini. Sering dijumpai perbedaan data
yang dikaluarkan oleh BPS dan produk pemerintah provinsi.
Kata kunci : Kebijakan publik, Penanggulangan Kemiskinan, SKPD.







5



DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................ i
ABSTRAK ............................................................................. iii
Daftar isi ............................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN :
1.1.Latar Belakang Penelitian................................................................. 1
1.2.. Permasalahan................................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 9
1.4. Urgensi Penelitian............................................................................. 9
1.5. Personalia Penelitian.......................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 11
BAB III METODE PENELITIAN
1.1. Disain Penelitian............................................................................ 23
1.2. Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................... 23
1.3. Teknik Pengumpulan Data........................................................... 24
1.4. Fokus Penelitian............................................................................. 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1.Program Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Barat.............. 27
1.2. Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Jabar...... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan......................................................................................... 43
5.2. Saran................................................................................................... 44
6




DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 46
LAMPIRAN............................................................................................... 47
























7



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian.
Kemiskinan menjadi handicap bagi Negara-negara berkembang yang
tersebar di berbagai belahan dunia ini,seperti di Amerika latin, afrika dan Asia
terutama Asia Tenggara termasuk di dalamnya Indonesa. Upaya pengentasan
kemiskinan di Negara-negara berkembang memerlukan kerja sama internasional
dengan menampilkan program-program yang melibatkan Negara-negara maju.
Sebab tidak dapat dipungkiri Negara-negara berkembang merupakan pangsa pasar
yang sangat potensial bagi produk-produk yang dihasilkan Negara maju.Oleh
karena itu peningkatan kesejahteraan di Negara berkembang menjadi salah satu
perhatian dan bagian dari kepentingan semua Negara di dunia ini.Banyak program
yang telah ducanangkan salah satunya yang aktual adalah Millenium Development
Goals (MDGs) yang tujuan mulyanya adalah menghilangkan kemiskinan dan
meningkatkan keperdulian tentang HAM yang pada gilirannya dapat mengurangi
kesenjangan antara Negara industri maju dan Negara berkembang.
Menurut lembaga internasional seperti United Nation Of Development
(UNDP), sebuah lembaga yang berada di bawah naungan organisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), upaya menanggulangan kemiskinan di berbagai Negara
berkembang perlu keperdulian semua Negara industri maju, karena baik langsung
maupun tidak langsung kemakmuran yang mereka nikmati tidak terlepas dari
8



keberadaan negara-negara miskin yang menerima bantuan. Biasanya sebagai imbal
balik dari kerja sama tersebut adalah transaksi yang tidak seimbang berupa
eksploitasi sumber daya alam dalam bentuk raw material oleh Negara-negara
industri maju.
Program penaggulangan yang digadang-gadang UNDP diarahkan pada
pengembangan konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau dalam litertur
asing dikenal dengan Human Development Indeks (HDI). Dengan adanya IPM ini,
maka fokus program penanggulangan kemiskinan diarahkan pada 3 standar indeks
yang merupakan satu kesatuan yang tersusun secara sistematis yaitu pendidikan,
kesehatan dan daya beli.
Semua negara berkembang yang membutuhkan bantuan dalam kerangka
kerja sama untuk menanggulangi kemiskinan tidak bisa lagi hanya mengandalkan
kemampuannya sendiri tetapi harus melibatkan diri dalam sistem kerja sama
internasional yang telah dirancang dalam konsep globalisasi. Percaturan hubungan
antar negara ini mendorong kemandirian negara-negara anggota agar tidak terjebak
dalam system yang dependent terhadap bantuan Negara-negara donor.Kemiskinan
yang dialami harus ditanggulangi dengan konsep modern yang tetap
mengembangkan kapasitas nasional dan memaksimalkan potensi bantuan yang
diperoleh. Konsep seperti inilah yang menjadi trade mark dari Nation Building yaitu
membangun dengan memanfaatkan bantuan tanpa menciptakan ketergantungan.
Indonesia telah mencanangkan program pembangunan dalam rangkan
menanggulangi kemiskinan yang serius dan terencana sejak tahun 1968 dengan
9



membuat konsep yang dikenal dengan Pembangunan Berencana 8 tahun. Program
ini terus dikembangkan dengan menerapkan konsep sitemik dan berkesinambungan
yang dikenal dengan Rencana Pembangunan lima tahunan (REPELITA) .Pergantian
rezim, membuat program-program yang telah dicanangkan turut berubah sesuai
dengan perkembangan situasi politik yang berlaku. Walaupun demikian komitmen
untuk mengentaskan kemiskinan tetap menjadi head line dalam program-program
yang dikembangkan.
Merujuk data dari World Bank, angka penurunan penduduk miskin di
Indonesia terbilang berhasil karena mampu menurunkan laju kemiskinan rata-rata
pertahun sebesar 0,8% dibandingkan dengan beberapa negara asia lainnya seperti
Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per
tahun. Keberhasilan tersebut terus bertahan hingga akhir tahun 2009. Pada tahun
2010, Biro Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan angka hasil sensus nasional yang
menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 13,33 % atau sebesar
31,02 juta jiwa.Angka ini masih tergolong tinggi apalagi bila mengaitkan dengan
perekonomian nasional yang kurang berkembang, potensi peningkatan jumlah
kemiskinan sangat besar.
Merujuk pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa pemerintah berupaya menekan
angka kemiskinan dengan mensinergikan program pengentasan kemiskinan di tiap
kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah.Hal ini dilakukan karena beberapa
program pengentasan kemiskinan di masing-masing kementerian/lembaga dan
10



pemda, cenderung bersifat parsial. Agenda aksi berupa sinergitas program
penanggulangan kemiskinan ini dilakukan sebagai upaya menuntaskan Master Plan
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) yang terdiri dari empat
klaster program prorakyat, yaitu program bantuan sosial berbasis keluarga (BLM,
BOS, Jamkesmas, PKH), program pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri),
program berbasis pemberdayaan usaha kecil mikro dan kecil (KUR dan CSR), dan
program rumah sangat murah, angkutan umum murah, air bersih, listrik murah.
Propinsi jawa barat sebagai propinsi yang besar jumlah
penduduknya,menurut data Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK) tahun 2011
jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 46.497.175 Juta Jiwa, dari jumlah penduduk
tersebut, tercatat sampai tahun 2012 sebanyak 4.421,484 orang adalah penduduk
miskin.Angka penurunan yang dicapai 2,.27%. masih jauh dari angka yang
dicanangkan presiden melalui Perpres no. 15 tahun 2010 sebesar 8% sampai pada
tahun 2014. Untuk mencapai target ini, telah disusun empat strategi dasar untuk
mempercepat penanggulangan kemiskinan yaitu :
1. Menyempurnakan program perlindungan sosial
2. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar
3. Pemberdayaan masyarakat, dan
4. Pembangunan yang inklusif
Empat target dasar percepatan penanggulangan kemiskinan ini kemudian
dikembangkan lebih lanjut ke dalam beberapa program yang terintegrasi seperti
1. Program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial
11



2. Program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan
masyarakat
3. Program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha
kecil
Ketiga program yang telah dicanangkan ini melibatkan beberapa instansi
baik di tingkat pusat maupun daerah.Masalah mulai muncul saat mengintegrasikan
keseluruhan program yang banyak melibatkan instansi atau lembaga tersebut.
Masalah yang dimaksud berkaitan dengan koordinasi antar instansi,terutama
menyangkut masalah keterlibatan instansi pusat. Tidak kurang dari 19 instansi
kementerian/lembaga yang terlibat dalam program penanggulangan kemiskinan ini.
Akibat dari masalah koordinasi yang belum teratasi, menyebabkan angka
kemiskinan di Jawa Barat menjadi masalah yang serius hal ini ditunjukkan dengan
capaian angka terkecil dalam IPM untuk daya beli sebesar 63,57 dibanding Index
Kesehatan sebesar 72,34, Index pendidikan sebesar 82,55.
Instansi yang diberi wewenang untuk melakukan koordinasi adalah Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang dibentuk Gubernur
Jawa Barat.Dalam usaha mengkoordinir berbagai instansi yang memiliki program
masing-masing sesuai dengan sudut pandang yang dimilikinya, TKPKD
membutuhkan kemampuan managerial untuk menyatupadukan setiap gerak langkah
instansi terkait pada satu tujuan yang samayaitu bagaimana mempercepat
penanggulangi kemiskina di Jawa Barat yang ditargetka harus mencapai 8% pada
12



tahun 2014.Upaya penyatupaduan berbagai program yang parsial bukanlah hal yang
mudah, mengingat setiap instansi mengacu pada Rencana Anggaran masing-
masing.. Karena berkaitan dengan system pelaporan keuangan yang sangat
sensitive, maka diperlukan satu upaya yang mendorong agar koordinasi yang
dilakukan dimulai dari proses perencanaan. Hal ini dimungkinkan baik secara
empiris maupun konseptual,koordinasi tidak hanya terjadi pada taraf implementasi
tetapi dapat dimulai saat penyususn rencana.
Program-program yang digagas secara parsial ternyata tidak memberikan
hasil yang signifikan terhadap program penanggulangan kemiskinani, angka
kemiskinan di Jawa Barat masih tinggi mencapai 4.421,484 orang pada tahun
2012.Angka penurunan 2,.27%. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan,
kelemahan koordinasi menjadi penyebab sulitnya program penanggulangan
kemiskinan di Jawa Barat mencapai angka sebagaimana yang digariskan oleh
Perpres no. 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulanhan Kemiskinan yaitu
8%.Walaupun telah ditetapkan bahwa Wakil gubernur menjadi koordinatorTim
Percepatan Pengendalian Kemiskinan (TP2K) dan wakil bupati/walikota untuk di
kabupaten kota di seluruh jawa barat, namun karena banyaknya instansi/lembaga
yang terlibat dalam masalah penanggulangan kemiskinan ini, koordinasi yang
dilakukan belum efektif.
Propinsi Jawa Barat memiliki luas sekitar 35.377,76 km2, dengan jumlah
penduduk 46 juta lebih yang tersebar di 26 kabupaten/kota membuat program
13



penanggulangan kemiskinan yang dijalankan memerlukan partisipasi seluruh
bupati/wali kota sebagai pemegang kendali pembangunan di daerahnya masing-
masing. Penyebaran penduduk memang tidak merata, dan menyebabkan kantung-
kantung kemiskinan pun beradahampir di semua daerah kabupaten/kota tersebut.
Hanya pada umumnya daerah perkotaan menjadi daya tarik bagi penduduk di daerah
untuk menguji nasib di perkotaan akibat dari pembangunan yang tidak merata.Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun infra struktur di derah
terutama di pedesaan.Dengan dukungan sarana infra struktur yang memadai maka
dapat mendorong program penanggulangan kemiskinan yang berbasis
pemberdayaan usaha kecil. Jadi penduduk tidak terkonsentrasi di Kota-Kota besar
yang sudah penuh sesak, selain itu daerah membutuhkan sumber daya manusia yang
masih fresh untuk membangun perekonomian daerah dan desa.
Pembinaan dapat dilakukan oleh Tim Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TPPK) di tingkat Propinsi kepada TPPK di Kota/kabupaten dan semua
dinas terkait baik di tingkat provinsi maupun kota /kabupaten. Dari hasil pembinaan
diharapkan dapat diperoleh kesepakatan penentuan prioritas program yang akan
direalisasikan mengingat penanggulangan kemiskinan merupakan program yang
multi aspek, dengan dibuatnya system prioritas akan membantu TPPK untuk bekerja
lebih fokus. Aspek-Aspek yang menjadi prioritas lebih diarahkan pada pencapaian
IPM yaitu pendidikan,kesehatan dan daya beli. Kalau ketiga aspek ini masih dinilai
terlau luas,maka dapat dibrakedown menjadi satu aspek penting dan harus
14



terselesaikan dalam satu atau dua tahun mendatang, agar aspek lainnya tidak terlalu
lama rentang waktunya.
Sampai saat ini kebijakan yang menjadi acuan dalam penanggulangan
kemiskinan di daerah adalah Perpres no. 10 tahun 2010. Kebijakan ini sudah
mengatur secdara teknis bahwa percepatan penanggulangan kemiskinan harus dapat
mencapai target yang diharapkan yaitu penutunan angka kemiskinan sebesar 8 % tada
tahun 2014. Penentuan tahun 2014 ini adalah berakhirnya masa jabatan cabinet yang
dipimpin oleh presiden RI sekarang SBY dan Boediono dalam masa bakti tahun 2009
sampai dengan 2014
Berdasarkan masalah itu penulis tertarik untuk menelitinya dan akan
dituangkan dalam laporan penelitian yang diberi judul : Analisis Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan di Propvinsi Jawa arat.

1.2. Permasalahan
Berdasarkan Latar Belakang Penelitian yang telah diuraikan pada sub bab 1.1
tersebut, maka permasalahan yang akan ditekiti adalah sebagai berikut : Kebijakan
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden
No. 15 tahun 2010 pelaksanaannya di Provinsi Jawa Barat belum sesuai dengan yang
diharapkan, hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu
sebesar 4.421,484 orang dari jumlah penduduk sebesar 46.497.175 Juta Jiwa pada
tahun 2012. Angka penurunan yang dicapai 2,.27%, sedangkan target nasional yang
telah dicanangkan dalam Peraturan Presiden No. 10 tahun 2010 adalah 8% pada tahun
15



2014. Dari rumusan masalah tersebut,Peneliti membuat pertanyaan penelitian sebagai
berikut: Mengapa Program Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Barat belum
berhasil mencapai target seperti yang telah disusun dalamPeraturan Presiden No. 15
tahun 2010 dan Program dan Program apa yang sebaiknya diprioritaskan?

1.3. Tujuan Penelitian.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Barat dan mengkaji program-
program prioritas apa yang sebaiknya disusun agar dapat mencapai hasil yang efektif
sebagaimana telah digariskan dalam Peraturan Presiden no. 15 tahun 2010.

1.4. Urgensi Penelitian.
Urgensi dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menunjukkan sisi-sisi
lemah dari Perpres. no 15 tahun 2010 tentang Program Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan dan mengungkap program-program apa yang sebaiknya menjadi prioritas
agar upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat mencapai hasil sebagaimana
yang telah ditetapkan yaitu penurunan angka kemiskinan sebesar 8 % pada tahun
2014.




16



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Analisis kebijakan public merupakan salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengkaji dan mendalami masalah-masalah kebijakan baik dalam
tahap perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan maupun evaluasi kebijakan.
Menurut Weiner& Vinning (1989) tujuan dari analisis kebijakan pada dasarnya
adalah untuk memberikan advice (saran) terhadap pemerintah berkaitan dengan
upaya peningkatan kualitas kebijakan public yang memberikan dampak strategis
terhadap kepentingan masyarakat. Mengingat hal itu, para analis kebijakan harus
netral terhadap segala macam kepentingan, agar dapat bersikap lebih kritis menyikapi
segala kondisi yang melatarbelakangi keberadaan kebijakan public.
Pada dasarnya penggunaan kata analisis kebijakan mengandung pengertian
yang umum, meskipun di dalamnya disodorkan sejumlah konsep dan pengertian
analisis kebijakan dari sejumlah ahli. Dalam pengertiannya yang umum itu kata
analisis kebijakan dimaksudkan secara tidak langsung diarahkan untuk menunjukan
penggunaan lembaga atau institusi dan pertimbangan berupa saran (advice) yang
diberikannya kepada institusi publik atau penyelenggara pemerintahan. Saran tersebut
mencakup tidak hanya pengujian kebijaksanaandengan pemecahan kedalam
komponen-komponennya, tetapi juga merencanakan dan mencari sintetis atas
alternatif-alternatif baru. (Rusli,2013:42)
17



Dengan demikian kegiatan atau semua aktivitas yang dilakukan oleh dan
dalam lembaga yang melakukan analisis kebijakan itu meliputi penelitian untuk
menjelaskan atau memberi wawasan terhadap masalah atau isu publik sebelum
diterbitkan sebuah kebijakan atau untuk mengevaluasi program atau kebijakan yang
sudah selesai dilaksanakan. Artinya kegiatan analisis kebijakan ini jika diperlukan
bisa dilakukan terhadap semua proses pembuatan kebijakan, sejak perumusan,
pelaksanaan hingga evaluasinya. Hanya saja dalam pelaksanaannya kegiatan analisis
kebijakan itu lebih banyak dilakukan pada tahap perumusan kebijakan, namun dalam
kasus dan konteks tertentu analisis bisa diberikan pada tahap implementasi dan
evaluasi.
Dalam praktiknya, kegiatan dan pendekatan yang digunakan dalam analisis
kebijakan publik walaupun merupakan bagian dari studi atau disiplin ilmu
administrasi publik, tetapi bersifat multidisipliner, karena banyak meminjam teori,
metode dan teknik dari studi ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu
psikologi. Dalam sejarahnya, kegiatan analisis kebijakan itu semakin mengemuka
seiring dengan berkembangnya studi mengenai kebijakan publik, khususnya di awal
tahun 1970-an terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Laswell tentang Policy
Sciences. Fokus utama studi ini adalah tentang apa dan bagaimana penyusunan
agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan
dan evaluasi kebijakan. Hingga kini fokus tersebut masih digunakan sebagai acuan,
meskipun oleh sejumlah ahli dilakukan sedikit perubahan dan penyempurnaan,
18



misalnya tahapan kegiatan adopsi kebijakan yang dimasukkan ke dalam tahapan
kajian formulasi kebijakan.
Rusli (2013) dalamKebijakan Publik:Membangun Pelayanan Publik
Yang Responsif, mengatakan bahwa, jika mengikuti pendapat Patton dan Sawicky,
(1993), maka jenisjenis analisis kebijakan dibagi menjadi dua, yaitu analisis
deskriptifdan analisis preskriptif. Analisis deskriptif biasanya hanya memberikan
gambaran yang lebih mendalam terhadap persoalan atau isu yang
dianalasis.Sementara itu analisis preskriptif lebih menekankan kepada bagaimana
memberika rekomendasi-rekomendasi yang akurat dan praktis.Kedua duanya tentu
sangat penting, tergantung bagaimana sebuah persoalan atau itu muncul.Jika sebuah
isu masih relatif umum dan kabur, maka sebuah analisis yang memberikan
gambaran dan pemahaman mendalam sangat diperlukan para pengambil
kebijakan.Sementara itu jika suatu masalah atau isu publik yang hendak dianalisis
relatif sudah dipahami, maka analisis kebijakan yang bersifat preskriptif lebih
diperlukan.
Dengan bahasa sederhan Lasswell (1968: 1), mengemukakan pendapatnya
megenai analisis kebijakan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan
dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut Williams (1971: 13), analisis
kebijakan merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam
merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif,
diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun
19



dalam pengambilan keputusan kebijakan, secara konseptual tidak termasuk
mengumpulkan informasi. Sementara itu menurut Quade (1975: 4), analisis
kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan
informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat
kebijakan dalam membuat keputusan.
Menurut, William N. Dunn, (2003:1) dengan mengutip pandangan Harold
Lasswell ia menuliskan bahwa secara umum, analisis kebijaksanaan dapat
dipahami sebagai cara untuk menghasilkan pengetahuan dan segala proses dalam
kebijaksanaan. Ia pun menambahkan bahwa terdapat ciri-ciri yang menggambarkan
pengetahuan yang relevan dengan kebijaksanaan, selain itu juga dapat dilihat dari
bagaimana pengetahuan itu dihasilkan, juga dari orientasi yang mendasar:
pengetahuan adalah penuntun tindakan dan bukan tujuan itu sendiri. Dengan
bahasa yang singkat Dunn menyatakan analisis kebijakan adalah: activity of
creating knowledge of and in the policy making [merupakan pengetahuan tentang
proses pembuatan kebijakan ] (W N. Dunn,2003). Rumusan yang sederhana juga
dikemukakan David L. Weimer & Aidan R Vinning, (1989), bahwa Is Client-
Oriented Advice Relevant to Public Decisions.[Advis (saran) yang berorientasi
pada klien (pemakai asa) yang berhubungan dengan keputusan publik].
Menurut Sudarwan Danin (2000:26), analisis kebijakan (policy analysis)
merupakan penelitian dimaksudkan untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan.
Analisis kebijakan ditampilkan secara tipikal oleh ilmuan atau pakar politik yang
berminat dengan proses dimana kebijakan diadopsi sebagai efek dari peristiwa-
20



peristiwa politik. Lebih jauh Danim (2000) dengan mengutip pandangan Lidbiom
(1986) menyatakan bahwa kita sering menjumpai teknik-teknik baru yang digunakan
dalam proyek-proyek dengan nama analisis kebijaksanaan (policy analysis). Meski
kita menggunakan istilah analisis sebagai sebutan mudahnya terhadap berbagai
macam informasi, pembicaraan, dan analisis tentang kebijaksanaan, istilah analisis
biasanya menunjuk batasan yang lebih sempit sekitar bentuk-bentuk spesifik dari
analisis professional. Dalam bentuknya yang terbaik suatu analisis kebijaksanaan
merumuskan masalah kebijaksanaan sebagai sesuatu yang utuh, merinci sasaran dan
nilainya, mengajukan dan mengevaluasi alternatif pemecahan, dan mengidentifikasi
pemecahan yang paling erat berkaitan dengan nilai-nilai yang telah diformulasikan
Secara konseptual, dari berbagai bentuk analisis kebijakan yang ada jika
dilihat berdasarkan hubungan antara komponen informasi kebijakan dan metode
analisis kebijakan, dapat diperoleh tiga bentuk utama analisis kebijakan, yaitu:
1) Analisis Kebijakan Prospektif (Prospective Policy Analysis)
Berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan
dimulai dan diimplementasikan sebagai ciri cara beroperasinya para
ekonom, analis sistem, dan peneliti operasi. Menurut Schick (1977:
262), analisis jenis ini seringkali menimbulkan jurang pemisah yang
besar antara pemecahan masalah yang diunggulkan dan upaya-uapaya
pemerintah untuk memecahkannya.
2) Analisis Kebijakan Retrospektif (Retrospective Policy Analysis)
21



Berupa produksi dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan
dilakukan, mencakup berbagai berbagai tipe kegiatan yang
dikembangkan oleh tiga kelompok analis:
a) Analis yang berorientasi pada disiplin (Discipline-oriented analysis)
Kelompok ini berusaha untuk mengembangkan dan menguji teori
yang didasarkan pada teori serta menerangkan sebab dan
konsekuensi kebijakan.Dimana para analis menaruh perhatian pada
pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting
didalam disiplin ilmu sosial.
b) Analis yang berorientasi pada masalah (Problem-oriented analysis)
Kelompok ini juga berusaha untuk mengembangkan dan menguji
teori yang didasarkan pada teori serta menerangkan sebab dan
konsekuensi kebijakan. Tetapi para analisnya lebih menaruh
perhatian pada identifikasi variabel yang dapat dimanipulasi oleh
para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah.
c) Analis yang berorientasi pada aplikasi (Applications-oriented
analysis)
Kelompok ini juga berusaha untuk mengembangkan dan menguji
teori yang didasarkan pada teori serta menerangkan sebab dan
konsekuensi kebijakan.Tetapi tidak perhatian pada pengembangan dan
pengujian teori-teori dasar.Kelompok ini tidak hanya menaruh
perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan
22



identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari para pembuat kebijakan
dan pelaku kebijakan.
3) Analisis Kebijakan yang Terintegrasi (Integrated Policy Analysis)
Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian
pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah
tindakan kebijakan diambil.
Jika disimpulkan secara singkat, maka analisis kebijakan publik itu
memiliki peran dan fungsi meneliti mengenai sebab, akibat, serta kinerja kebijakan
publik dalam mencapai tujuannya. Hasilnya adalah sebuah saran atau rekomendasi
mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh pengambil dan pelaksana kebijakan
publik. Sudah tentu tujuan analisis ini adalah memperbaiki proses pembuatan
kebijakan publik dan kinerjanya. Sementara itu pengguna atau client dari analisis
kebijakan publik adalah sesusi dengan namanya yaitu pembuat kebijakan publik
dalam hal ini adalah pemerintah (government) atau penyelenggara negara. Semua
itu sesuai dengan pernyataan David L Weiner& Aidan R Vining (1989): Policy
analysis is client oriented advice relevant to public decisions
Menurut Hughes, (1994: 145), dalam studi kebijakan publik terdapat
dua pendekatan yang sering digunakan.Pendekatan pertama sering dikenal dengan
analisis kebijakan (policy analisis), dan pendekatan kedua adalah political public
policy atau kebijakan publik dilihat dalam perspektif politik. Pada pendekatan
pertama, studi analisis kebijakan ini lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan
23



(decision making) dan penetapan kebijakan (policy formation) dengan
menggunakan model-model statistik dan matematika (sosio-metri). Sedangkan pada
pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik
daripada penggunaan metode statistik, dengan melihat interaksi politik sebagai
faktor penentu yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan dalam mencapai
tujuannya.
Dalam pendekatan analisis kebijakan, metodologi yang digunakan
adalah sistem standar, aturan, dan prosedur untuk menciptakan, menilai secara
kritis, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan.Biasanya metodologi analisis kebijakan diambil dari dan memadukan
elemen-elemen dari berbagai disiplin: ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi,
filsafat. Pemecahan masalah adalah elemen kunci dalam metodologi analisis
kebijakan, sehingga penggunaan berbagai metode dan pendekatan adalah sebuah
kebutuhan yang sulit sekali dihindarkan sebagai konsekuensi dari persoalan
kebijakan yang kompleks dan multidimensional.
Dalam kaitan ini MacRae, Jr. (1976: 277-307) menyatakan, sebagai
disiplin ilmu terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan
perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika, dan berbagai macam cabang
analisis sistem dan matematika terapan.Analisis kebijakan berupaya menciptakan
pengetahuan yang dapat meningkatkan efisiensi pilihan atas berbagai alternatif
kebijakan.
24



Secara umum metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima
prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah kebijakan, yaitu:
1) Perumusan masalah (definisi), menghasilkan informasi mengenai
kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
2) Peramalan (prediksi), menyediakan informasi mengenai konsekuensi
di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan tersebut.
3) Rekomendasi (preskripsi), menyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan
masalah.
4) Pemantauan (deskripsi), menghasilkan informasi tentang konsekuensi
sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
5) Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari
konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah.
Dalam upaya menghasilkan informasi dan argumen yang akurat,
seorang analis kebijakan dapat memakai satu atau lebih dari tiga pendekatan
analisis, yaitu:
1) Pendekatan empiris
Penekanan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari
suatu kebijakan publik tertentu.Pendekatan ini bersifat faktual dan
macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif.
2) Pendekatan valuatif
25



Penekanan terutama pada penentuan bobot atau nilai beberapa
kebijakan.Pendekatan ini berkenaan dengan nilai dan macam informasi
yang dihasilkan bersifat valuatif.
3) Pendekatan normatif
Penekanan terutama pada rekomendasi serangkaian tindakan yang
akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik.
Pendekatan ini berkenaan dengan tindakan dan macam informasi yang
dihasilkan bersifat preskriptif.
Apapun metode dan pendekatan yang digunakan dalam analisis
kebijakan adalah sebuah upaya untuk mencapai tujuan agar dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.Dalam konteks dan kasus tertentu sebuah motode dan pendekatan
tertentu bisa dianggap lebih efektif dalam menggabarkan persoalan sehingga mampu
memberikan informasi yang akurat kepada pengambil kebijakan dalam memilih
sejumlah alternatif kebijakan yang dianggap paling tepat dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan. Namun dalam kasus yang lain, metode dan pendekatan yang lain yang
dianggap lebih cocok. Bahkan tidak jarang digunakan berbagai pendekatan dan
metode sekaligus yang dianggap saling melengkapi sehingga terkumpul sejumlah
informasi yang lebih akurat yang dibutuhkan pengambil dan pelaksana kebijakan.
Dikemukakan oleh Weiner and Aidan R. Vinning bahwa analisis
kebijakan pada dasarnya Menganalisa dan menyajikan alternatif yang tersedia
bagi pelaku Politik untuk menyelesaikan masalah Publik.Tanggung jawab
pemegang kekuasaan pemerintahan untuk menggunakan kekuasaan politiknya
26



yang diberikan oleh rakyat menjadi berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah-
masalah dan kebutuhan masyarakat.Kebijakan yang disusun memerlukan informasi
yang memadai, untuk itu analisa kebijakan yang menghasilkan advis merupakan
sarana yang paling baik untuk menjadi landasan pemerintah merumuskan
kebijakan yang efektif. Berkaitan dengan itu, para analis kebijakan tidak harus
berasal dari pihak-pihak yang berada di sekeliling pemerintah atau dengan kata lain
analis kebijakan sebaiknya adalah pihak yang netral terbebasdari kepentingan
apapun dengan pihak eksekutif. Dengan demikian advis yang diberikan akan lebih
kritis dan obyektif mengacu pada realitas masyarakat tanpa ada rekayasa.
Jadi sebenarnya, Weiner and Aidan R. Vinning lebih menekankan bahwa
posisi pemerintah dalam kajian analisis kebijakan adalah sebagaiClient dari para
analis kebijakan dalam mengadopsi berbagai advis yang diberikan untuk
pembuatan kebijakan yang spesifik untuk Publik.
Dari segi analisis kebijakan, sebenarnya advis yang diberikan para analis
merupakan hasil kolaborasi antara teori yang dikuasai dan pengalaman empirik
yang dimiliki yang kemudian digunakan untuk meramalkan Konsekwensi dan
berbagai alternatif yang akan ditawarkan. Berbeda dengan evaluasi kebijakan,
analisis kebijakan menempatkan posisi para analis lebih netral dan jauh dari
pengaruh kekuasaan pemerintah,dengan demikian diharapkan advis yang diberikan
lebih matang dan obyektif.
27



Tindak lanjut dari analisis kebijakan berada di tangan pemerintah, berhasil
tidaknya advis yang diterima tergantung dari kemampuan pemegang kekuasaan untuk
mengembangkannya lebih lanjut menjadi kegiatan- atau program-program yang
realistis. Dalam hal ini sering terjadi kendala waktu yang berbenturan ketika sebuah
kebijakan mulai diterapkan ,masalah yang yang lain muncul dan menuntut
penanganan tersendiri.Oleh karena itu analisis kebijakan sangat tergantung oleh
timing yang tepat. Walaupun advis yang diberikan sudah baik dan proporsional akan
tetapi waktu penerapan kurang baik, kualitas kebijakan sering kali tidak sesuai
harapan.













28



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian.
Disain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang diarahkan
pada problem solving.Dengan penggunaan metode penelitian ini penelitian fokus
pada upaya mendeskripsikan fenomena yang terjadi berkaitan dengan kebijakan
public tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat.
Pendekatan kualitatif diharapkan dapat mengungkap makna dibalik sebuah fenomena
yang diteliti dan secara empiris sedang terjadi pada saat peneliti berada di lapangan.
Instrumen penelitian yang utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti
sendiridengan melakukan wawancara secara langsung terhadap informan yang
peniliti tetapkan . Pemilihan informan berkaitan dengan relevansi dan penguasaan
masalah yang menjadi fokus penelitian.Oleh karena itu penelitian kualitatif tidak
mensyaratkan kuantitas informan tetapi lebih menekankan kualitasnya, dalam arti
walaupun informan hanya satu orang ,seperti dalampenelitian ini, akan tetapi dia
merupakan tokoh kunci maka hal itu sudah mencukupi. Selain itu data dilengkapi
pula dengan observasi dan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait
sehingga semua data saling terkumpulsesuai dengan keperluan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.
3.2.1. Lokasi Penelitian.
29



Lokasi penelitian adalah di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Jln. Dipenogoro no.
22 Bandung, dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat Jl. Raya Cibabat 331 Cimahi.

3.2..2. Waktu Penelitian.
Penelitian ini dilakukan dalam waktu 4 bulan,dimulai bulan September tahun
2013 sampai dengan bulan Desember tahun 2013 dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 1.1.: Jadwal Penelitian
(September November 2013)



URAIAN
BULAN
SEPT OKT NOV
Persiapan
Observasi
Pengumpulan Data
Indepth Interview
Penyusunan Laporan

3.3. Teknik Pengumpulan Data.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik tetapi yang
utama adalah wawancara yang dilakukan dengan Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa
Barat, kemudian melakukan pengumpulan data sekunder berupa dokumentasi tentang
30



kebijakan yang berkaitan dengan Perpres no. 15 tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan dan beberapa data pendukung lainnya.
Wawancara dalam bentuk percakapan formal yang dilakukan dengan Kepala
Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dimaksudkan untuk menggali informasi secara
mendalam aspek-aspek yang berkaitan dengan program-program penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan di Provinsi Jawa Barat, dan halhal apa ang menyebabkan
percepatan penanggulangan kemiskinan di Provinsi Jawa Barat belum berhasil
sebagaimana yang diharapkan.
3.4. Fokus Peneliaian.
Penelitian ini sesuai dengan contentnya diarahkan pada analisis sebuah
kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) no 15 tahun 2010 tentang
Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Melalui informasi yang
diperoleh, penulis akan menganalisa aspek-aspek apa yang menyebabkan Perpres.
No 15 tahun 2010 ini dalam penerapannya di Jawa Barat belum memberi hasil
sebagaimana yang diharapkan.
Analisis kebijakan yang penulis maksud adalah analisis yang mencakup
analisis deskriptifdan analisis preskriptif.Dalam hal ini analisis deskriptif hanya
memberikan gambaran yang lebih mendalam terhadap persoalan atau fenomena
yang terjadi. Sementara itu analisis preskriptifdiarahkan pada problem solving
dengan cara memberi saran tau rekomendasi untuk perbaikan kebijakan..Kedua
duanya tentu sangat penting, tergantung bagaimana sebuah persoalan atau itu
muncul.Jika sebuah isu masih relatif umum dan kabur, maka sebuah analisis yang
31



memberikan gambaran dan pemahaman mendalam sangat diperlukan para
pengambil kebijakan.Sementara itu jika suatu masalah atau isu publik yang hendak
dianalisis relatif sudah dipahami, maka analisis kebijakan yang bersifat preskriptif
lebih diperlukan.( Rusli, 2013)


















32



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Program Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Barat.
Dalam menyusun program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat,
pemerintah provinsi menghadapi beberapa kendala yang membuat target penurunan
angka kemiskinan belum tercapai sebagaimana yang diharapkan. Angka kemiskina di
Jawa Barat masing terbilang tinggi lebih dari 4 juta orang atau bila diukur dari angka
penurunan baru mencapai 2% sedangkan dari target secara nasional sebesar 8%.
Tetapi hal ini bukan berarti kegagalan, karena berbagai program yang dilakukan dari
tahun ke tahun menunjukkan angka peningkatan, bahkan -Pemerintah Provinsi Jawa
Barat telah melakukan pendekatan sistemik dengan cara mewajibkan semua
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungannya membuat program
penaggulangan kemiskinan.Bukan itu saja, Gubernur Jawa Barat telah mendisain
kerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota yang berafiliasi pada program-
program kemiskinan yang telah digagas oleh setiapOPD di tingkat propinsi. Dengan
cara ini diharapkan beberapa kendala yang selama ini mempengaruhi upaya
peningkatan capaian kerja penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat dapat diatasi.
Beberapa kendala yang perlu mendapatkan perhatian dalam usaha mempercepat
penaggulangan kemiskinan di jawa Barat adalah :
33



1. Kurang terintegrasi program-program penanggulangan kemiskinan pada tahap
perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, dan sinergi antar
pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) .
2.Kelemahan dalam hal Pendataan, pendanaan dan kelembagaan
penanggulangan kemiskinan .
3. Belum efektif Koordinasi antar program-program penanggulangan
kemiskinanantara instansi pemerintah pusat dan daerah .
4. Masih lemah kemitraan dan kerjasama antara kelembagaan di pemerintah,
dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama
dalam penanggulangan kemiskinan.
Keberadaan program-program yang telah didisain dengan menata
secara sistemik antara OPD di kabupaten/kota dengan OPD lingkungan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dikaitkan dengan pembentukan kelompok kerja, kelompok
program dan sektretariat yang selengkapnya susunannya sebagai berikut:
1. Kelompok Kerja
1.1. Pendataan Dan Sistim Informasi
1.2. Pengembangan Kemitraan
1.3. Pengaduan Masyarakat
2. Kelompok Program
2.1. Bantuan Sosial Terpadu Berbasis Keluarga
2.2Program Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
2.3Program Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil
34



2.4.Program Pendukung Penanggulangan Kemiskinan
3. Sekretariat
Dalam usaha mendukung realisasi di lapangan, gubernur Jawa Barat
mengluarkan kebijakan dalam bentuk Keputusan Gubernur Jawa Barat No
465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentangTim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah (TKPKD). Dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat ini ditentukan
bahwa yang menjadi ketua TKPKD adalah Wakil gubernur Jawa Barat, Wakil Ketua
adalah Sekretaris Daerah, Sekretaris dijabat oleh Kepala Bappeda, Wakil Sekretaris
adalah Kepala BPMPD.
Pengelompokan program-program penanggulangan kemiskinan merujuk pada
pengelompokan program yang telah disusun secara nasional yang didasarkan Perpres
no 15 tahun 2010. Adapun pengelompokan tersebut lengkapnya sebagai berikut :
Kelompok Program 1 : Program Bantuan Sosial Berbasiskan
keluarga,seperti :BLSM, PKH, Raskin Jamkesmas, Beasiswa
Kelompok Program 2 : Program Bantuan Sosial Berbasiskan
Masyarakat seperti : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM)
Kelompok Program 3 : Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, seperti
Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Kelompok Program4: Program Pro Rakyat lainnya untuk mendukung
penaggulangan kemiskinan.
35



Dalam Perpres no. 15 tahun 2010 dijelaskan lebih lanjut tentang strategi yang
dijadikan acuan dalam menyusun program penanggulangan kemiskinan di seluruh
propinsi termasuk dalam hal ini Jawa Barat. Strategi dimaksud disusun secara
sistematis ke dalam empat tahap dan dilengkapi pula program-program yang
merupakan kegiatan teknis dari semua strategi yang telah disusun.Susunan strategi
tersbut adalah sebagai berikut :

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN :

PROGRAMPENANGGULANGAN KEMISKINAN
Sumber : Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat,Thn 2013
Strategi dan program penanggulangan kemiskinan merupakan
kebijakan yang diprioritaskan pemerintah,dan secara serempak setiap provinsi harus
menindak lanjuti kebijakan dalam bentuk Perpres yang diberi nomor 15 tahun 2010.
36



Di Jawa Barat kebijakan nasional tersebut dijabarkan ke dalam bentuk yang lebih
teknis dengan susunan sebagai berikut :
1.Perpres No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
2. Permendagri No. 42 tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota
3.Keputusan Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang TKPKD
Provinsi.
Berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan tersebut, di Provinsi Jawa Barat
setisp SKPD telah membuat program masing-masing, sebagai contoh disampaikan
beberapa program dari SKPD yang difokuskan pada aspek yang berkaitan dengan
aspek kehidupan sehari-hari masyarakat seperti :

1.Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.
Tahun 2012. Program Pemberdayaan Usaha Pertanian Tanaman Pangan kepada
1.110orang petani dengan lokasi:
1Sumedang
2. Bandung
3. Sukabumi
4. Purwakarta
5. Bandung Barat
6. Garut
37



Hasil yang dicapai : Berkembangnya nilai tambah dan daya saing usaha
pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura.

2.Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
Tahun 2012 membuat program dalam bentuk bantuan kepada 80 orang peternak
itik (4 kelompok). Setiap kelompok mendapat bantuan terdiri dari 440 ekor
ternak, 5.280 kg pakan ternak, bahan baku kandang: 1 paket, vaksin dan obat-
obatan:1 paket, mesin tetas: 1 paket, dan pakaian kerja lapangan: 1 paket
Lokasi :
2. Kab. Cirebon,
3. Kab. Kuningan,
4. Kab. Indramayu,
5. Kab. Majalengka

Hasil yang dicapai :Meningkatnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan
masyarakat miskin sebanyak 80 orang dalam
melakukan usaha agribisnis ternak itik

3. Dinas Perikanan dan Kelautan
Tahun 2012 membuat program Usaha :
3.1. Budidaya Ikan Lele Sangkuriang kepada 40 orangpeani.
Lokasi :
38



1. Kab. Bogor,
2. Kab. Subang,
3. Kab. Karawang,
Hasil yang dicapai: Meningkatnya hasil panen sebanyak 720.000 ekor
benih lele sangkuriang ukuran 7 8 cm
3.2. Budidaya Ikan Hias kepada 60 orang petani
Lokasi :
1. Kota Bandung,
2. Kota Depok
3. Kabupaten Bekasi
Hasil yang dicapai :Panen 110.400 ekor ikan hias Ukuran 2-3 Cm
3.3. Usaha Budidaya Ikan Gurame, kepada 60 orang petani
Lokasi :
2. Kab. Tasikmalaya
3. Kota Tasikmalaya
4. Kab. Ciamis
Hasil yang dicapai :Panen720.000 ekor benih gurame uk. 1
cm/kuku
4. Dinas Kehutanan.
Tahun 2013 membuat program Penanggulangan kemiskinan masyarakat sekitar
hutan (Pengembangan Budidaya Lebah Madu Dan Jamur Kayu)
Lokasi:
39



1. Desa mekarwangi, Desa Cibodas, Desa langensari kec. Lembang Kabupaten
Bandung Barat
2. Desa ciburial Kec. Cimenyan Kabupaten Bandung
Hasil yang dicapai : Meningkatnya pendapatan petani lebah madu (+ Rp
500.000,-/Bulan (Umumnya Buruh Tani) Penghasilan
Tambahan Dari Hasil Budi Daya Lebah
5. Badan Ketahanan Pangan Daerah.
Tahun 2012 membuat program
5.1. Fasilitasi Lumbung Pangan Masyarakat di 17 Kabupaten dan 3 Kota,dengan
sasaran 149 Lumbung Pangan Masyarakat
Hasil yang dicapai : Terbangunnya Lumbung Pangan Masyarakat dalam
rangka Mengurangi Tingkat Kerawanan Pangan
5.2.Pengembangan Desa Mandiri Pangan di 14 Desadengan sasaran149
Lumbung Pangan Masyarakat.
Hasil yang dicapai :Terbangunnya Desa Mandiri Pangan dalam rangka
Meningkatkan Kemandirian Pangan

5.3. Fasilitasi Keluarga Sadar Gizi dan Lingkungan Bebas Rawan Pangan di17
Kabupaten,dengan sasaran 190 Desa
Hasil yang dicapai : Meningkatnya Gizi Keluarga
5.4. Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin melalui Optimalisasi
Lahan Pekarangan di 3 Kabupaten dengan sasaran 255 KK
40



Hasil yang dicapai : Tersedianya cadangan pangan di tingkat Rumah Tangga

6.Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Tahun 2012 membuat program Pengembangan Kewirausahaan Industri
Keciluntuk240 orangpebgusaha industry kecil.
Lokasi :
1. Kota Bogor
2. Kota Banjar
3. Kab. Cirebon
4. Kota Cimahi
5. Kabupaten Bekasi
6. Kabupaten Sukabumi
Hasil yang dicapai :Meningkatnya pengetahuan di bidang makanan, Tekstil dan
Produk Tekstil serta Kerajinan
Dari beberapa program yang telah dilaksanakan di Jawa Barat,
nampak bahwa satu sama lain barjalan sesuai dengan rancangan yang telah dibuat
oleh dinas-dinas berdasarkan kesiapan anggaran masing-masing. Pada tahun 2012
tercatat enam dinas telah menyelesaikan program penanggulangan kemiskinan yaitu :
Dinas Pertanian, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas
Peternakan, Badan Ketahanan Pangan Daerah dan Dinas Perindustrian dan
Perdaganan. Penelitian ini membatasi pada program-program yang dilakukan tahun
41



2012 dan telah selesai.Pada umumnya program-program tersebut ditindak lanjuti
pada tahun 2013 dan sekarang masih berjalan.
4.2. Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Barat.
Strategi yang digunakan untuk mengurangi kemiskinan di Jawa Barat
sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya adalah dengan menyusun
empat strategi utama yaitu :
1.Mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin,dengan program :
Bantuan sosial berbasis individu,rumah tangga tau keluarga.
2. Meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin,dengan
program : Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan kelompok
masyarakat.
3. Mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro dan kecil
dengan program : Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
pelaku usaha mikro dan kecil.
4. Membentuk sinergi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan,
dengan menyusun program pro rakyat lainnya untuk mendukung
penanggulangan kemiskinan.

4.2. Analisis Kebijakan Penaggulangan Kemiskinan di Jawa Barat.
Keseluruhan strategi dan program yang disusun merupakan penjabaran
dari kebijakan pemerintah yang telah dituangkan secara berjenjang mulai dari
Perpres, Permendagri sampai pada Pergub.Jawa Barat seperti telah dikemukakan
42



sebelumnya.Dengan demikian landasan kebijakan sudah jelas tinggal bagaimana
pemerintah daerah mengelaborasi kebijakan tersebut disesuaikan dengan karakteristik
daerahnya dan budaya masyarakatnya masing-masing. Susunan kebijakan yang
menjadi rujukan tersebut adalah : Perpres No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan,Permendagri No. 42 tahun 2010 tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Keputusan
Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang TKPKD Provinsi.
Keberadaan kebijakan ini menjadi dasar hukum yang kuat bagi para pelaksana teknis
yang tergabung dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah untuk
menyusun programnya masing-masing.Tahun 2012 telah digulirkan berbagai
program sebagaimana telah dibahas sebelumnya.Terdapat enam Satuan Kerja
Pemerintah Daerah telah berhasil menyelesaikan programnya dengan menunjukkan
angka capaian yang maksimal, dan selanjutnya keberhasilan program-program
tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan di Jawa Barat. Menurut
laporan yang disampaikan oleh TKPKD target penurunan angka kemiskinan saat ini
masih mendekati 1 %, sedikit lagi pencapaian angka yang ditargetkan 1%, karena ada
beberapa hal yang masih harus ditingkatkan terutama berkaitan dengan pemahaman
dan pelaksanaan kebijakan yang terpadu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa
Barat, ketika ditanyakan :
Mengapa program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat belum
mencapai sasaran yang diharapkan yaitu 1% tahun 2012?
43



Menurut beliau, selain karena jumlah pertambahan penduduk Jawa Barat
yang lebih besar yaitu 2%, juga pembangunan ekonomi mikro terlalu
berorientasi pada transaksi keuangan, sehingga kurang menyentuh program-
program pemberdayaan ekonomi sektor riilyang langsung berhubungan
dengan pertumbuhan usaha kecil. Selain itu yang tidak kalah pentingnya
adalah program-program yang dirancang dan dilaksanakan oleh dinas-dinas
terkait kesannya jalan sendiri-sendiri,tidak terintegrasi sehingga hasil akhir
yang dicapai tidak maksimal.
Ketika ditanyakan lebih lanjut : Mengapa sulit untuk merealisasikan ,
Keputusan Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang
TKPKD Provinsi?, dijelaskan bahwa penanggulangan kemiskinan melibatkan
beberapa lembaga/dinas, baik di pusat maupun di daerah yang masing-masing
memiliki target sendiri dan sumber dana yang parsial, sehingga berdampak
pada program-program yang parsial pula,upaya untuk melakukan integrasi
sering kaliterkendala masalah managerial yang terkotak-kotak.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, sebenarnya kebijakan mengenai
penanggulangan kemiskinan ini sudah cukup lengkap karena dipayungi Perpres no.
15 tahun 2010tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,Permendagri No. 42
tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan
Kabupaten/Kota,kemudian diturunkan ke dalam aturan teknis Keputusan Gubernur
Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang TKPKD Provinsi. Hanya ketika
implementasi di lapangan masalah koordinasi masih menjadi kendala. Ole karena itu
44



menurut Kepala dinas Sosial harus dilakukan sinkronisasi sejak perencanaan.
Selengkapnya pertanyaan yang diajukan sebagai berikut :
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah teknis ketika program-
program yang telah disusun itu kemudian diimplementasikan oleh setiap
SKPD?
Ada beberapa hal yang harus menjadiperhatian berkaitan dengan penerapan
program penanggulangan kemiskinan yaitu :
1. Perlu diperhatikan adanya integrasi program dimulai dari perncanaan
program, pelaksanaannya dan interaksi antar lembaga terkait, sehingga
komunikasi dapat berjalan dengan baik kapan saja terutama ketika
menghadapi kendala di lapangan.
2. Pendanaan program yang bersifat parsial kurang mendorong efektivitas
pencapaian hasil sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pendanaan program lintas lembaga tanpa mengurangi segi
akuntabilitas yang harus dilakukan oleh setiap lembaga terkait.
3. Kerja sama antar pemerintah pusat dan daerah perlu ditata kembali,
mengingat masalah penanggulangan kemiskinan melibatkan banyak
instansi/lembaga yang berjalan masing-masing secara parsial. Perlu ada
koordinasi yang baik sehingga setiap program yang dilakukan membentuk
satu kesatuan yang saling melengkapi.
4. Perlu dijalin tatanan yang lebih apik dalam pengaturan kerja sama dengan
lembaga non pemerintah,seperti dengan dunia usaha dan LSM. Ke depan
45



masalah penanggulangan kemiskinan akan banyak melibatkan sektor non
publik terutama dunia usaha. Dengan demikian beban pemerintah tidak
terlalu berat dalam menyusun program yang domainnya lebih mengarah
kepada upaya pengembangan sektor ril yang langsung bersentuhan
dengan masalah kehidupan ekonomi rakyat kecil seperti pengembangan
usaha kecil melalui kredit usaha rakyat, atau pembangunan sarana
kesehatan raktat serta paket pendidikan gratis di tingkat dasar. Untuk itu
peran swasta dapat dikembangkan melaluiprogram CSR.
Provinsi Jawa Barat tetap memiliki komitmen untuk mempercepat
pengurangan kemiskinan dengan target 1 % stiap tahun. Dengan target 1 % ini
diharapkan amanat yang disampaikan dalam Perpres no. 15 tahun 2010 yaitu terjadi
penurunan angka kemiskinan di daerah secara signifikan. Dalam hal ini pemerintah
pusat telah mencanangkan capaian target secara nasional tahun 2014 sebesar 8 %.
Perlu pendekatan yang sistemik dan terpadu untuk merealisasikan
program pengurangan angka kemiskinan yang melibatkan banyak pihak tidak hanya
pemerintah tetapi juga pihak atau lembaga lain di luar pemerintahan. Konsep ini
dikenal dengan Intervensi Multi pihak. Pendekatan dimaksud melibatkan dunia
usaha,akademisi dan LSM. Pengurangan angka kemiskinan perlu didekati dari
berbagai aspek, tidak hanya ekonomi tetapi unsur-unsur lain yang menunjang
keberhasilan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakatdengan Mensinergi-kan
Program/Kegiatan/Pekerjaan untuk Mengurangi Kemiskinan dengan memadukan
program daerah Dengan Program Penanggulangan Kemiskinan Nasional.
46



Dari data di lapangan diperoleh pula informasi bahwa masalah keakuratan
data masih mengganjal pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di Jawa
Barat, sering kali terjadi perbedaan data yang disajikan oleh BPS dengan data yang
dimiliki pemerintah daerah termasuk dalam hal ini data yang bersumber dari wilayah
kota dan kabupaten sehingga menyulitkan pihak TKPKD dalam memprediksi besaran
anggaran dan target yang ingin dicapai. Oleh karena itu perlu ada pembicaraan yang
serius antara BPS dan pemerintah daerah untuk melakukan rekap data agar lebih
akurat.Penurunan kemiskinan sangat tergantung dari ketepatan dalam perhitungan,
karena apabila tidak ada yang mengawasi antara instansi yang terkait, maka sangat
rentan terjadi manipulasi angka. Sering terjadi pada masa lalu sebuah wilayah di
daerah tertentu menyatakan bahwa penduduk miskin di wilayahnya telah berkurang
dalam jumlah yang banyak,hal ini dilakukan untuk mengkalim bahwa pembangunan
dan pengentasan kemiskinan di daerahnya berhasil dan ini sebuah prestasi untuk
memperoleh prestise, akan tetapi pada kesempatan lain, tatkala berkaitan dengan
masalah bantuan untuk penduduk miskin, maka data warga miskin di naikkan
jumlahnya dengan maksud agar bantuan yang diterima menjadi lebih besar.
Gambaran ini mencontohkan betapa dianggap sepelenya data penduduk miskin malah
dijadikan komoditi untuk mencari keuntungan, ini sangat berbahaya bagi pemerintah
provinsi atau kabupaten/ kota dalam mengambilkebijakan yang akurat. Teknologi
modern saja tidak cukup perlu pula diback up dengan perhitungan manual dalam
perhitungan jumlah penduduk miskin agar bisa saling melengkapi dan re
47



checksehingga bisa meminimalisir setiap bentuk kesalahan dan kejanggalan hasil
rekap data yang dijadikan dasar penyususnan program-program yang pro poor.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Jawa Barat
memandang perlu untuk membuat skala prioritas program agar upaya
penanggulangan kemiskinan efektif dan pengorbana sdm maupun anggaran terfokus
pada satu target, misalnya diprioritaskan peningkatan ekonomi dan pembukaan
lapangan kerja sebagai prioritas utama,seluruh potensi dan aktivitas diarahkan ke
program tersebut, kemudian pada kesempatan berikutnya ditentukan program yang
lain apakah kesehatan masyarakat miskin, atau pendidikan dasar dan sebagainya.
Nampaknya gagasan ini masih harus disosialisasikan dengan cara perlu para
pemangku kepentingan duduk bersama guna mencari kata sepakat tentang
penyusunan prioritas kegiatan. Dengan cara program bisa terfokus dengan baik
demikian pula semua sarana dan prasarana nya akan dapat digunakan lebih efisien
dan efektif.








48



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan.
Program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat memiliki dasar
kebijakan yang jelas dan lengkap. Sebagai payung kebijakan yang melandasi
kebijakan di bawahnya adalah Peraturan Presiden No. 15 tahun 2010 tentang
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, kemudian dikembangkan ke dalam
Permendagri No. 42 tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi Jawa Barat
menindaklanjuti kedua kebijakan yang berskala nasional itu ke dalam kebijakan
teknis berupa Keputusan Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010
tentang TKPKD Provinsi.
Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat yang
dilandasi ketiga kebijakan yang ada telah berhasil mengurangi jumlah penduduk
miskin walaupun masih di bawah target yang ditetapkan. Sebagai penyebab dari
ketidak berhasilan tersebut adalah selain karena melibatkan banyak instansi dan
lembaga baik pusat maupun daerah, juga karena instansi/lembaga yang tekait
berjalan masing-masing secara parsial, sehingga penyelenggaraan program tidak
terfokus.
Pada tahun 2012 ada enam SKPD di Jawa Barat yang sudah memulai
program penanggulangan kemiskinan yaitu dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas
49



Perindustrian dan Perdagangan, Badan Ketahan Pangan dan dina Perikanan dan
Kelautan. Untuk mengkoordinir SKPD tersebut maka sesuai dengan Keputusan
Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 dibentuklah Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan. Tugasnya adalah menjadi koordinator atas kerja SKPD
yang terkait dengan masalah penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat.
Kinerja SKPD tersebut belum memperoleh hasil yang maksimal, oleh
karena itu program penanggulangan kemiskinan terus dilanjutkan sebagai upaya
mengembangkan dan meningkatkan hasil capaian yang maksimal sebagaimana telah
ditentukan dalam Perpres. 15 tahun 2010 sebesar 8 % pada tahun 2014. Bahkan
SKPD yang terlibat tidak terbatas pada enam lembaga saja akan tetapi semua DKPD
yang ada akan menyusun program yang berkaitan dengan penanggulangan
kemiskinan di Jawa Barat.

5.2. Saran.
Dalam kesimpulan, Penulis telah kemukakan bahwa walaupun
kebijakan publik yang melandasi program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat
sudah lengkap dan kuat , akan tetapi para pelaksana di lapangan yaitu SKPD yang
terkait, berjalan masing-masing secara parsial oleh karena itu diperlukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Dilakukan upaya yang terprogram untuk melakukan koordinasi dan sekaligus
evaluasi yang melibatkan semua SKPD baik yang sudah memulai program
50



maupun yang tengah mempersiapkan , agar terjalin pengertian dan kesamaan
persepsi diantara SKPD sehingga pelaksanaannya terfokus.
2. Perlu dilakukan penyusunan prioritas program, agar lebih ringan pelaksanaannya
dan jelas sasarannya. Penjadwalan waktu pelaksanaan bisa persemester atau
pertahun disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Diperlukan data yang akurat mengenai jumlah rakyat miskindi Jawa Barat yang
selama ini masih terjadi perbedaan. Untuk itu harus dilakukan pemutakhiran data
atau paling tidak sinkronisasi data antara BPS dan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat.













51



DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU :

Brian W Hogwood and Lewis A. Gunn, Policy Analysis For The Real Worlfd ,
New York : Oxford University Press, 1984.

Budiman Rusli .Kebijakan Publik:Membangun Pelayanan Publik Yang Responsif.
Bandung: Hakim Publishing. 2013

Carl U Patton and David S Sawacki, Basic Methods Of Policy Analysis
and Planning. New Jersey : Prentice Hall International
Inc, 1985.

David L. Weiner and Aidan R. Vinning, Policy Analysis : Concepts and Practice.
New Jersey: Prentice Hall Inc, 1989.

Jenkins, W. I., Policy Analysis : A Political and Organizational Prespective ,
New York : ST. Martin Press, 1970.

Solichin A. Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Jakarta : Erlangga,
1986.

William N Dunn, Public Policy Analysis : An Introduction. New
Jersey : Prentice Hall International Inc, 1987.


SUMBER LAIN:

Perpres No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,
Permendagri No. 42 tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Keputusan Gubernur Jawa Barat No 465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang
TKPKD Provinsi.

52



PEDOMAN WAWANCARA



1.Mengapa program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat belum mencapai
sasaran yang diharapkan yaitu 1% tahun 2012?
2. Mengapa sulit untuk merealisasikan , Keputusan Gubernur Jawa Barat No
465.05/kep.1483-Bapp/2010 tentang TKPKD Provinsi?
3. Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah teknis ketika program-
program yang telah disusun itu kemudian diimplementasikan oleh setiap SKPD?

Você também pode gostar