Você está na página 1de 12

1

PENGARUH PERTAMBANGAN BAUKSIT


TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PANTAI
DAN DAYA DUKUNGNYA TERHADAP KEGIATAN BUDIDAYA PERIKANAN
(STUDI KASUS DI PULAU SELAYAR, KABUPATEN LINGGA)
Impact of Bauxite Mining to the Quality of Coastal Environment
and Its Carrying Capacity to the Marine Culture Activity
(Case Study of Selayar Island, Regency of Lingga)
Aunurrahman
1
, Sri Rejeki
2
dan Agung Suryanto
2
Mahasiswa Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Undip
1
(email : aunurrahman_borneo@yahoo.com)
Staf Pengajar Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Undip
2
ABSTRAK
Pulau Selayar Kepulauan Lingga merupakan salah satu wilayah dengan potensi
sumber mineral bumi dan bahan galian yang tinggi salah satunya bauksit. Semakin
pesatnya kegiatan penambangan bauksit memberikan dampak terhadap kualitas
lingkungan pantai dan daya dukung lingkungan perairan untuk kegiatan budidaya laut.
Penelitian mengenai dampak pertambangan terhadap perairan dan daya dukungnya
untuk kegiatan budidaya dilakukan di wilayah perairan Pulau Selayar dari bulan Maret -
April 2013. Data primer yang dikumpulkan meliputi parameter sik, kimia dan biologi.
Data sekunder meliputi peta rupabumi dan batimetri. Analisis dilakukan meliputi
analisis terhadap kualitas perairan, analisis pencemaran serta analisis kesesuaian
lahan untuk budidaya Iaut. Hasil analisis yang dilakukan didapat 3 kelas kesesuaian
lahan untuk budidaya laut. Pada kelas sangat sesuai (S1) mencakup area seluas
11.365,95 m
2
(1,14 ha) atau sebesar 2,2 % dari total kawasan yang menjadi area studi.
Kelas sesuai (S2) mencakup area seluas 354.158,08 m
2
(35,41 ha), atau sebesar
69,40 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Dan kelas tidak sesuai (N1)
mencakup area seluas 144.964,16 m
2
(14,50 ha) atau sebesar 28,4 % dari total
kawasan yang menjadi area studi. Parameter yang kurang mendukung untuk kegiatan
budidaya diwilayah studi adalah TSS, TDS dan DO. Hasil ekstraksi daerah kesesuaian
untuk budidaya laut dengan sebaran bahan pencemar (polutan) didapat wilayah yang
sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar mencakup area seluas 11.282 m
2
(1,13
ha) atau sebesar 2,21% dari total kawasan yang menjadi area penelitian, sesuai dan
tidak tercemar mencakup area seluas 353.000 m
2
(35,30 ha) atau sebesar 69,16%
dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Parameter yang menjadi pencemar
diwilayah studi adalah Timbal (Pb).
Kata-kata kunci: budidaya laut, kesesuaian, tambang
2
ABSTRACT
Lingga Islands Selayar Island is one of the regions with the earths mineral resources
and potential mineral bauxite high one. The more rapid bauxite mining activities have
an impact on the environmental quality of coastal and marine environmental carrying
capacity for mariculture activities. Research Mining activities impacted the condition of
land and aquatic environment was conducted in Selayar Island waters from March -
April 2013. Data collection including: physical, chemical and biological parameters.
While secondary data including topographic map and bathimetri map. Analysis
conducted including analysis on the aquatic environment quality, pollution and
suitability analysis for marine culture. The results of the analysis conducted 3 classes
obtained land suitability for marine culture. At the highly suitable (S1) covers an area of
11365.95 m
2
(1.14 ha) or 2.2% of the total area study. Suitable (S2) covers an area
of 354,158.08 m
2
(35.41 ha), or a total of 69.40% of the total area study. And
temporary not suitable (N1) covers an area of 144,964.16 m
2
(14.50 ha) or 28.4% of
the total area study. The parameters unfavorable for marine culture activities in the
region is the study of TSS, TDS and DO. The results of the extraction area suitability
for marine culture with the distribution of contaminants (pollutants) obtained the
appropriate areas for cultivation and not polluted covers an area of 11 282 m
2
(1.13
ha) or by 2.21% of the total area as an area of research, according and
uncontaminated covers an area of 353,000 m
2
(35.30 ha) or by 69.16% of the total
area as an area of research. Parameters that become pollutants in the region is the
study of Lead (Pb).
Keywords: marine culture, suitability, mining
Pendahuluan
Pulau selayar merupakan salah
satu pulau kecil yang memiliki potensi
pemanfaatan yang beragam. Jenis
pemanfaatan yang telah dilakukan di
pulau selayar yaitu kegiatan
pertambangan dan budidaya laut.
Pertambangan yang terdapat di pulau
selayar meliputi bermacam-macam bahan
tambang, salah satunya kegiatan
pertambangan bauksit. Kegiatan
pertambangan ini baik secara langsung
maupun tidak langsung memberikan
dampak terhadap kegiatan budidaya.
Kegiatan pertambangan meliputi
pembukaan lahan, penambangan/
penggalian bahan tambang, hingga
pencucian bahan tambang akan merubah
kondisi daratan dan pada akhirnya akan
berdampak pada kondisi lingkungan
perairan. Dampak kegiatan
pertambangan terhadap perairan yaitu
meningkatnya kekeruhan perairan.
Kondisi tersebut akan merubah kondisi
kualitas lingkungan perairan di daerah
aliran sungai dan pada akhirnya akan
terbawa ke laut dimana kegiatan
budidaya dilaksanakan. Kesesuaian
kualitas lingkungan perairan mengalami
perubahan akibat adanya peningkatan
input sedimen dan bahan-bahan buangan
dari kegiatan pertambangan. Sehingga,
perlu dilakukan kajian mengenai daya
dukung kualitas lingkungan perairan
pulau Selayar untuk kegiatan budidaya.
Penurunan kualitas lingkungan perairan
yang menyebabkan ketidaksesuaian
perairan untuk kegiatan budidaya
memerlukan upaya pengelolaan agar
kegiatan budidaya yang ada di perairan
tersebut dapat tetap berjalan.
Pengelolaan yang perlu dilakukan
meliputi pengelolaan kawasan darat dan
kawasan laut. Dengan adanya
pengelolaan yang sesuai diharapkan
3
dapat diperoleh tingkat pemanfaatan yang
optimal di pulau Selayar.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka
dapat dirumuskan beberapa masalah
penelitian diantaranya bagaimana kondisi
kualitas perairan pantai pulau Selayar dan
daya dukung nya terhadap kegiatan
budidaya laut di perairan Pulau Selayar,
bagaimana sebaran polutan yang ada di
perairan pulau Selayar akibat kegiatan
pertambangan bijih bauksit di wilayah
perairan Pulau Selayar, bagaimana
metode pengelolaan yang optimal dan
berkelanjutan antara kegiatan
pertambangan dan budidaya laut di Pulau
Selayar dan perairan sekitarnya.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah mengkaji kualitas perairan pantai
dan daya dukung kegiatan budidaya laut
di wilayah perairan pulau Selayar,
mengkaji sebaran polutan yang ada di
perairan pulau Selayar akibat kegiatan
pertambangan bijih bauksit di wilayah
perairan Pulau Selayar, merumuskan
metode pengelolaan yang optimal dan
berkelanjutan antara kegiatan
pertambangan dan budidaya laut di Pulau
Selayar.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh
dari penelitian ini adalah melalui kajian
yang telah dilakukan diperoleh informasi
mengenai kualitas air perairan serta
dampak yang ditimbulkan dari kegiatan
pertambangan sehingga diperoleh lokasi-
lokasi yang sesuai untuk kegiatan
budidaya laut, melalui kajian yang telah
dilakukan diperoleh strategi untuk
mengatasi permasalah yang diakibatkan
oleh kegiatan pertambangan dalam upaya
pemanfaatan untuk kegiatan budidaya
laut.
Jenis dan Sumber Data
Data primer yang diamati dalam
penelitian ini meliputi: parameter fisik,
kimia, biologi dan logam berat.
Sementara data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi:
peta rupabumi dan batimetri.
Metode pengumpulan data
Variabel biologi diamati untuk
mengetahui kualitas perairan berdasarkan
organisme yang ada dalam sistem
perairan tersebut. Dalam penelitian ini
variabel biologi yang diamati berupa
struktur komunitas fitoplankton dan
struktur komunitas makrobenthos.
Plankton
Kelimpahan plankton
Perhitungan kelimpahan
fitoplankton dilakukan untuk mengetahui
berapa besar kelimpahan setiap genus
tertentu yang ditemukan selama
pengamatan. Nilai kelimpahan plankton
dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (modifikasi Eaton et al.
1995).
=
1
Keterangan :
N : Kelimpahan plankton (sel/l)
n : Jumlah plankton yang diamati (sel)
Vr : Volume contoh air yang tersaring
(ml)
Vo : Volume air yang diamati (ml)
Vs : Volume air yang disaring (ml)
Indeks keanekaragaman (H)
Indeks Keanekaragaman
digunakan untuk melihat tingkat stabilitas
suatu komunitas atau menunjukkan
kondisi struktus komunitas dari
keanekaragaman jumlah jenis organisme
yang terdapat dalam suatu area. Nilai
keanekaragaman jenis yang ada dalam
komunitas perifiton dan fitoplankton
diperoleh dari hasil perhitungan
berdasarkan modifikasi Indeks Shannon-
Wiener (Odum 1971), yaitu:
= ln
Keterangan :
H : Indeks keanekaragaman
pi : ni / N (proporsi jenis ke-i)
ni : jumlah individu jenis ke-i
N : jumlah total individu
Kriteria:
4
H<1 = Komunitas biota tidak stabil
atau kualitas air tercemar
berat,
1<H<3 = Stabilitas komunitas biota
sedang atau kualitas air
tercemar sedang,
H>3 = Stabilitas komunitas biota
dalam kondisi prima (stabil)
atau kualitas air bersih.
Benthos
Analisis data hasil pengamatan
makro-zoobenthos dilakukan melalui :
a. Penghitungan kepadatan jenis
makrozoobenthos dilakukan untuk
mengetahui jumlah individu suatu jenis
per stasiun (ind/m
2
). Rumus yang
digunakan adalah (Odum, 1998) :
=
10.000
Keterangan:
K = Kepadatan makrozoobenthos
(ind/m
2
)
a = Jumlah makrozoobenthos
yang dihitung (ind)
b = Luas bukaan transek surber
(20 x 20 cm
2
)
Indeks keanekaragaman jenis (H)
Kekayaan jenis makrozoobenthos
di dalam sungai ditentukan dengan
menggunakan Indeks Keanekaragaman
Shannon-Wiener (Odum, 1998). Indeks
ini juga dapat digunakan untuk
mengetahui dan menilai tingkat
pencemaran suatu perairan. Rumus
perhitungannya adalah:
= ln
Keterangan:
H = indeks keanekaragaman jenis
N = Jumlah total individu
ni = jumlah individu jenis ke-i
s = jumlah jenis
Nilai H dari hasil perhitungan
tersebut mencerminkan tingkat
keanekaragaman, penyebaran dan
stabilitas komunitas makrozoobenthos.
Hubungan H dengan tingkat pencemaran
berdasarkan Indeks Keanekaragaman
Shannon Wiener dan Pencemaran
Perairan
Saprobik Indeks (SI) dan Tingkat
Saprobik Indeks (TSI)
Untuk menghitung saprobitas
perairan digunakan analisis trosap yang
nilainya ditentukan dari Saprobik Indeks
(SI) dan Tropik Saprobik Indeks (TSI).
Formula yang digunakan adalah hasil
formulasi Persone dan De Pauw (1983)
dalam Zahidin (2008) :
=
1 +3 +1 3
1 +1 +1 +1
Keterangan :
SI = Saprobik Indeks
A = Jumlah Spesies Organisme
Polysaprobik
B = Jumlah Spesies Organisme -
Mesosaprobik
C = Jumlah Spesies Organisme -
Mesosaprobik
D = Jumlah Spesies Organisme
Oligosaprobik
1( ) + 3( ) + 3( ) + + + +
1( ) +1( ) + 1( ) + 1( ) + + +
Keterangan :
N = Jumlah individu organisme pada
setiap kelompok saprobitas
nA = Jumlah individu penyusun
kelompok Polysaprobik
nB = Jumlah individu penyusun
kelompok -Mesosaprobik
nC = Jumlah individu penyusun
kelompok -Mesosaprobik
nD = Jumlah individu penyusun
kelompok Oligosaprobik
nE = Jumlah individu penyusun selain
A, B, C dan D
Analisis Data
Kualitas Air dan Kesesuaian Lokasi
Untuk Budidaya Laut
Untuk mendapatkan kelas
kesesuaian maka dibuat matrik
kesesuaian perairan untuk parameter
fisika, kimia dan biologi. Penyusunan
matrik kesesuaian perairan merupakan
dasar dari analisis keruangan melalui
skoring dan faktor pembobot. Hasil
skoring dan pembobotan di evaluasi
sehingga didapat kelas kesesuaian yang
menggambarkan tingkat kecocokan dari
suatu bidang untuk penggunaan tertentu.
5
Tingkat kesesuaian dibagi atas empat
kelas yaitu :
1. Kelas S1 : Sangat Sesuai
Daerah ini tidak mempunyai pembatas
yang serius untuk menerapkan
perlakuan yang diberikan atau hanya
mempunyai pembatas yang tidak
berarti atau tidak berpengaruh secara
nyata terhadap penggunaannya dan
tidak akan menaikan masukan atau
tingkat perlakukan yang diberikan.
2. Kelas S2 : cukup Sesuai
Daerah ini mempunyai pembatas-
pembatas yang sangat berat untuk
penggunaan secara berkelanjutan dan
dapat menurunkan produktivitas atau
keuntungan terhadap lahan ini.
Pembatas ini akan meningkatkan
masukan atau tingkat perlakuan yang
diperlukan.
3. Kelas N1 : Tidak Sesuai (Not Suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas
permanen, sehingga mencegah segala
kemungkinan perlakuan pada daerah
tersebut.
Matrik kesesuaian perairan
disusun melalui kajian pustaka sehingga
diketahui variabel syarat yang dijadikan
acuan dalam pemberian bobot. Karena
itu, variabel yang dianggap penting dan
dominan menjadi dasar pertimbangan
pemberian bobot yang lebih besar dan
variabel yang kurang dominan.
Penentuan kelayakan perairan untuk
pengembangan budidaya dengan
dilakukan dengan metode pembobotan.
Data kondisi fisika dan kimia perairan
Pulau Selayar dijadikan acuan dalam
menentukan kriteria kelayakan lahan.
Metode scoring atau pembobotan
maksudnya setiap parameter
diperhitungkan dengan pembobotan yang
berbeda.
Menurut Suryanto et al., (2005)
dan Cornelia et al., (2005) yang
dimodifikasi oleh peneliti didalam
melakukan metode scoring, tahapan yang
perlu dilakukan yaitu:
1. Pembobotan kesesuaian (kes Bob).
Pembobotan kesesuaian didefinisikan
sebagai berikut: 1) Sangat Sesuai
diberi skor 5; 2) Cukup Sesuai diberi
skor 3; dan 5) Tidak Sesuai diberi skor
1.
2. Pembobotan parameter (par Bob).
Metode scoring juga menggunakan
pembobotan untuk setiap parameter.
Parameter yang memiliki peran yang
besar akan mendapatkan nilai lebih
besar dari parameter yang tidak
memiliki dampak yang besar.
3. Pembobotan scoring (score Bob).
Kesesuaian scoring (score Kes).
Kriteria kesuain sebagai beriku terdiri
dari: 1) Sangat Sesuai apabila indeks
kesesuaian >4,3; 2) Cukup Sesuai
apabila indeks kesesuaian >3,7 4,3;
dan 3) Tidak Sesuai apabila indeks
kesesuaian 3 3,7
Nilai indeks wilayah potensial
untuk budidaya diperoleh dengan
persamaan berikut :
= + + + + +
+
Dimana :
I
WPT
= indeks wilayah potensial untuk
budidaya
I
TSS
= indeks parameter TSS
I
Sal
= indeks parameter salinitas
I
S
= indeks parameter suhu
I
Oks
= indeks parameter oksigen
I
pH
= indeks parameter pH
I
Ar
= indeks parameter arus
I
Kdl
= indeks parameter kedalaman
4. Pemetaan kelas kesesuaian lahan.
Pemetaan kelas lahan dilakukan
dengan program spasial. Untuk
memetakan kawasan ketiga kelas
lahan tersebut dilakukan operasi
tumpang susun (overlaying) dari setiap
tema yang dipakai sebagai kriteria.
Hasil perkalian antara bobot dan skor
yang diterima oleh masing-masing
coverage tersebut disesuaikan
berdasarkan tingkat kepentingannya
terhadap penentuan kesesuaian
budidaya. Hasil akhir dari analisis SIG
melalui pendekatan indeks overlay
model adalah diperolehnya rangking
(urutan) kelas kesesuaian lahan untuk
budidaya tersebut.
Distribusi Spasial Polutan
Sebaran spasial polutan yang
diperoleh dipetakan secara spasial
6
dengan ArcGIS 9.3 (ArcMap). Hasil yang
diperoleh adalah pola sebaran parameter
polutan pada lokasi penelitian dan
interpretasi dari nilai yang diperoleh di
peta. Hasil interpolasi tersebut kemudian
dikelompokkan berdasarkan kelas-kelas
kesesuaian yang telah ditentukan
sebelumnya.
Untuk mendapatkan sebaran dari polutan
maka dibuat matrik kesesuaian untuk
parameter pencemar. Penyusunan matrik
ini merupakan dasar dari analisis
keruangan melalui skoring. Hasil skoring
di evaluasi sehingga didapat kelas
kesesuaian yang menggambarkan tingkat
pencemran dari wilayah kajian. Baku
mutu yang digunakan untuk menentukan
sebaran polutan adalah Kepmen LH 51
tahun 2004. Tingkat kesesuaian dibagi
atas dua kelas yaitu:
1. Kelas S1 : Perairan tidak tercemar
Daerah ini kandungan polutan masih
berada dibawah baku mutu yang telah
ditetapkan
2. Kelas S2 : Perairan tercemar
Daerah ini mempunyai kandungan
polutan yang telah melebihi baku mutu
yang digunakan
Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya
Laut Berdasarkan Distribusi Polutan
Sebaran spasial kesesuaian
wilayah untuk budidaya laut berdasrkan
sebaran polutan dipetakan secara spasial
dengan ArcGIS 9.3 (ArcMap). Hasil yang
diperoleh adalah ekstraksi daerah yang
sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar
sebagai kawasan paling sesuai untuk
budidaya laut.
Hasil interpolasi kesesuaian perairan
untuk budidaya dioverlay dengan peta
sebaran pencemaran. Hasil overlay
disajikan dalam peta distribusi spasial
sebaran daerah yang sesuai untuk
budidaya dan tidak tercemar sebagai
kawasan paling sesuai untuk budidaya
laut. Dengan informasi yang diperoleh
dapat dijadikan referensi wilayah mana
saja dilokasi penelitian yang benar-benar
sesuai untuk kegiatan budidaya.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran
nilai suhu menunjukkan kisaran antara
28,0 30C. Nilai tersebut masih berada
berada pada kisaran baku mutu kualitas
air untuk budidaya laut (DKP, 2002).
Kisaran suhu tergolong layak digunakan
dalam kegiatan budidaya. Menurut
Prasetyarto dan Suhendar (2010),
keadaan suhu perairan laut banyak
ditentukan oleh penyinaran matahari dan
pola suhu di perairan laut pada umumnya
makin ke bawah makin dingin. Ikan laut
dan ikan karang suhu perairan ideal
berkisar antara 28 30
o
C (Ghufron dan
Kordi, 2005).
Hardjojo dan Djokosetiyanto
(2005) menyatakan bahwa suhu air
normal adalah suhu air yang
memungkinkan makhluk hidup dapat
melakukan metabolisme dan
berkembangbiak. Suhu merupakan faktor
fisik yang sangat penting di air, karena
bersama-sama dengan zat/unsur yang
terkandung didalamnya akan menentukan
massa jenis air, dan bersama-sama
dengan tekanan dapat digunakan untuk
menentukan densitas air.
Perubahan suhu mempengaruhi
tingkat kesesuaian perairan sebagai
habitat organisme akuatik, karena setiap
organisme akuatik mempunyai batas
kisaran maksimum dan minimum
(Erlangga, 2009). Ikan merupakan hewan
poikiloterm, yang mana suhu tubuhnya
naik turun sesuai dengan suhu
lingkungan, sebab itu semua proses
fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu
lingkungan.
Berdasarkan hasil pengukuran,
nilai TSS pada lokasi penelitian berada
pada kisaran 31,2 124,5 mg/l. Nilai
tersebut telah melebihi baku mutu kualitas
air laut sebesar 20 mg/l (DKP, 2002).
Kangkan (2006), menganjurkan agar
kandungan tersebut kurang dari 25 mg/l.
Tingginya nilai TSS ini diduga akibat
kegiatan eksploitasi tambang yang
dilakukan. Kegiatan pertambangan
menyebabkan kerusakan ekosistem
hutan. Indikasi awal kerusakan yang
dimaksud adalah banyaknya lahan yang
7
dibiarkan terbuka tanpa vegetasi.
Keadaan ini mengakibatkan
berkurangnya laju infiltirasi tanah. Jika
kondisi ini didukung oleh curah hujan
yang tinggi, dapat menyebabkan
berkurangnya kapasitas tanah untuk
menyimpan air. Akibatnya tanah tererosi
dan sebagian besar hujan menjadi aliran
permukaan. Intensitas aliran permukaan
yang tinggi akan membawa partikel-
partikel tanah ke dalam aliran sungai
(Kamlasi, 2008).
Berdasarkan hasil pengukuran,
nilai TDS pada lokasi penelitian berada
pada kisaran 22,2 44,1 mg/l. Nilai
tersebut masih di bawah baku mutu
kualitas air laut sebesar 1000 mg/l (DKP,
2002). Nilai ini menunjukkan kisaran TDS
tergolong optimal sebagai lokasi budidaya
laut. Kisaran nilai TDS perairan tergolong
rendah dan optimal sebagai lokasi
budidaya laut. TDS yang tinggi dapat
mengganggu biota perairan seperti ikan
karena tersaring oleh insang. Menurut
Kamlasi (2008), padatan tersuspensi
akan mengurangi penetrasi cahaya ke
dalam air, sehingga mempengaruhi
regenerasi oksigen secara fotosisntesis
dan kekeruhan air juga semakin
meningkat. Ditambahkan oleh Marganof
(2007), peningkatan kandungan padatan
tersuspensi dalam air dapat
mengakibatkan penurunan kedalaman
eufotik, sehingga kedalaman perairan
produktif menjadi turun.
Berdasarkan hasil pengukuran,
nilai pH pada lokasi penelitian berada
pada kisaran 7,00 7,2. Nilai tersebut
berada pada kisaran baku mutu kualitas
air laut sebesar 7,0 8,5 (DKP, 2002).
Kisaran nilai pH tergolong optimal untuk
kegiatan budidaya. Peningkatan nilai pH
menunjukkan kecenderungan perairan
memiliki tingkat keasaman yang tinggi
disebabkan masuknya limbah organik
dalam jumlah besar. Beberapa biota
memiliki toleransi tertentu pada kondisi
perairan yang asam maupun basa. Pada
ikan laut dan ikan karang pH optimal
berkisar antara 6,5 8,5 (Radisho, 2009).
Berdasarkan hasil pengukuran,
kandungan DO pada lokasi penelitian
berada pada kisaran 4,52 6,12 mg/l.
Nilai tersebut menunjukkan kisaran
sesuai baku mutu pada titik 4 - 12, serta
di bawah baku mutu pada titik 1 - 3
berdasarkan (DKP, 2002) sebesar 5 mg/l.
Kisaran nilai DO tergolong optimal untuk
kegiatan budidaya laut. Pada perairan
yang terbuka, oksigen terlarut berada
pada kondisi alami, sehingga jarang
dijumpai kondisi perairan terbuka yang
miskin oksigen (Radisho, 2009).
Walaupun pada kondisi terbuka,
kandungan oksigen perairan tidak sama
dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat
dan musim.
Kadar oksigen terlarut juga
berfluktuasi secara harian, musiman,
pencampuran masa air, pergerakan masa
air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan
limbah yang masuk ke badan air.
Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai
dua kepentingan yaitu : kebutuhan
lingkungan bagi spesies tertentu dan
kebutuhan konsumtif yang tergantung
pada metabolisme ikan (Ghufron dan
Kordi, 2005).
Berdasarkan hasil pengukuran, nilai
salinitas pada lokasi penelitian berada
pada kisaran 30,0 32,3 . Kisaran
tersebut masih sesuai baku mutu kualitas
air laut 34 mg/l (DKP, 2002). Nilai ini
tergolong optimal untuk budidaya laut.
Menurut Radisho (2009), tinggi
rendahnya kadar garam (salinitas) sangat
tergantung kepada banyak sedikitnya
sungai yang bermuara di laut tersebut,
makin banyak sungai yang bermuara ke
laut tersebut maka salinitas laut tersebut
akan rendah, dan sebaliknya makin
sedikit sungai yang bermuara ke laut
tersebut maka salinitasnya akan tinggi.
Menurut Radisho (2009) salinitas
mempunyai peranan penting untuk
kelangsungan hidup dan metabolisme
ikan, disamping faktor lingkungan
maupun faktor genetik spesies ikan
tersebut. Sebaran salinitas di laut
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah
hujan, dan aliran air sungai. Di perairan
lepas pantai yang dalam, angin dapat
pula melakukan pengadukan lapisan atas
hingga membentuk lapisan homogen
sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau
8
lebih tergantung dari intensitas
pengadukan. Lapisan dengan salinitas
homogen, maka suhu juga biasanya
homogen, selanjutnya pada lapisan
bawah terdapat lapisan pekat dengan
degradasi densitas yang besar yang
menghambat pencampuran antara
lapisan atas dengan lapisan bawah.
Berdasarkan hasil pengukuran,
nilai BOD pada lokasi penelitian berada
pada kisaran 11,04 16,80 mg/l. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa BOD
perairan masih di bawah baku mutu
kualitas air laut sebesar 20 mg/l (DKP,
2002). Nilai ini tergolong optimal untuk
budidaya laut. Menurut Marganof (2007)
yang menyatakan bahwa BOD
merupakan parameter yang dapat
digunakan untuk menggambarkan
keberadaan bahan organik di perairan.
BOD
5
(Biochemical Oxygen
Demand) atau kebutuhan oksigen
menunjukkan jumlah oksigen terlarut
yang dibutuhkan oleh organisme hidup
untuk memecah atau mengoksidasi
bahan-bahan buangan di dalam air
Marganof (2007). Jika konsumsi oksigen
tinggi yang ditunjukkan dengan semakin
kecilnya sisa oksigen terlarut, maka
berarti kandungan bahan-bahan buangan
yang membutuhkan oksigen tinggi
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
Perairan pulau Selayar dengan
nilai BOD yang rendah lebih dikarenakan
nilai TSS yang cukup tinggi. Nilai TSS
yang tinggi ini akan menghambat mikroba
melakukan oksidasi aerobik dan
anaerobik.
Berdasarkan hasil pengukuran,
nilai COD pada lokasi penelitian berada
pada kisaran 18,12 29,71 mg/l. Hasil
tersebut menunjukkan kisaran COD
masih berada di bawah baku mutu
kualitas air laut berdasarkan (DKP, 2002).
Nilai tergolong optimal untuk kegiatan
budidaya. Pada perairan yang belum
tercemar berat nilai COD berkisar antara
20 mg/l, sedangkan pada perairan
tercemar nilai COD di atas 20 mg/l atau
mencapai 200 mg/l. Beberapa biota atau
tumbuhan memiliki toleransi berbeda
terhadap tingginya nilai COD suatu
perairan. Menurut Effendy (Erlangga,
2009) yang menyatakan bahwa
keberadaan bahan organik dapat berasal
dari alam ataupun dari aktivitas rumah
tangga dan industri. Nilai COD pada
perairan tidak tercemar biasanya kurang
dari 20 mg/l, sedangkan perairan yang
tercemar dapat lebih dari 200 mg/l/. Nilai
Perairan pulau Selayar dengan nilai COD
yang rendah lebih dikarenakan nilai TSS
yang cukup tinggi. Nilai TSS yang tinggi
ini akan menghambat mikroba melakukan
aktivitas oksidasi.
Berdasarkan hasil pengukuran,
nilai nitrat pada lokasi penelitian berada
pada kisaran 0,0032 0,0058 mg/l. Nilai
kandungan nitrat tersebut menunjukkan
kisaran dibawah baku mutu kualitas air
laut berdasarkan (DKP, 2002). Nilai
tergolong optimal untuk kegiatan
budidaya.
Hasil analisis kuantitatif plankton
menunjukkan kisaran indeks
keanekaragaman antara 0,63 1,46
dengan rata-rata 1,02. Berdasarkan
indeks keanekaragaman Shannon
Wiener indeks keanekaragaman tersebut
penyebaran jumlah individu tiap spesies
sedang dan kestabilan komunitas sedang,
dan jika ditinjau dari segi lingkungan
mengindikasikan kondisi tercemar ringan.
Hasil analisis kuantitatif pada biota
benthos menunjukkan kisaran indeks
keanekaragaman antara 0 2,44 dengan
rata-rata 1,15. Berdasarkan indeks
keanekaragaman Shannon Wiener
indeks keanekaragaman tersebut
menunjukan kualitas perairan tercemar
sedang.
Hasil perhitungan SI dan TSI di
Stasiun VII sebesar 1,35 dan 1,55 yang
menunjukkan nilainya paling tinggi
dibanding stasiun lainnya. Nilai terkecil
didapat pada stasiun IV sebesar 1 dan
0,5. Dari nilai diatas kondisi perairan
Pulau Selayar secara umum terjadi
pencemaran ringan sampai sedang
Pencemaran ini diduga akibat
kegiatan pertambangan mengingat
sungai-sungai yang bermuara pada
perairan lokasi penelitian berada di lokasi
pertambangan. Sumber pencemarnya
diduga diakibatkan oleh aktivitas
9
pembukaan lahan, penambangan
(eksploitasi), limbah domestik dari
emplasemen serta limbah pencucian.
Dari hasil analisis kesesuaian
lahan yang telah dilakukan diketahui
bahwa luas wilayah potensial untuk
dilakukannya kegiatan budidaya laut
seluas 510.468,9 m
2
atau 51,04 Ha
yang terdiri dari kelas sangat sesuai (S1),
sesuai (S2) dan cukup sesuai (S3).
Perairan dengan kategori sangat sesuai
memiliki kisaran indeks kesesuaian
antara >4,4 5 merupakan wilayah yang
secara umum tidak memiliki faktor
penghambat dan memenuhi kriteria kelas
tertinggi.
Perairan dengan kategori sesuai
memiliki kisaran indeks antara >3,8 4,4.
Kelas perairan dengan kategori tersebut
merupakan wilayah perairan yang
memiliki sedikit faktor penghambat.
Parameter-parameter yang memiliki
tingkat kesesuaian sedang pada perairan
kategori sesuai meliputi parameter TSS,
kedalaman, dan DO. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa parameter yang berada
pada kelas-kelas menengah.
Perairan dengan kategori cukup
sesuai memiliki kisaran indeks antara
>3,2 3,8 merupakan wilayah yang
berdasarkan analisis peta terdapat
beberapa faktor penghambat di
dalamnya. Parameter-parameter yang
diduga menjadi faktor penghambat antara
lain adalah parameter oksigen dan TSS.
Penghambat ini cukup berat akan tetapi
dapat dihilangkan melalui rekayasa
teknologi maupun pengelolaan terhadap
sumber penyebab beberapa parameter
tersebut berada dibawah baku mutu.
Faktor-faktor yang diduga menjadi pemicu
rendahnya nilai dari parameter-parameter
tersebut antara lain adanya masukan
material tanah ke dalam perairan melalui
kegiatan pembukaan lahan kegiatan
pertambangan bauksit yang dilakukan,
selain itu kegiatan pencucian bauksit
secara langsung memberikan kontribusi
peningkatan material yang masuk ke
perairan. Hasil pengukuran kualitas TSS
yang dikorelasikan dengan hasil analisis
kualitas air memberikan keterangan
bahwa kondisi perairan wilayah studi
secara reponsif disuplai secara positif dari
sedimen. Tingginya kadar TSS ini akan
menyebabkan kekeruhan, dimana akan
secara tidak langsung akan menurunkan
kadar oksigen di perairan lokasi
penelitian. Perairan dengan kategori
kurang sesuai memiliki kisaran indeks
antara >2,6 3,2. Kelas perairan dengan
kategori tersebut merupakan wilayah
perairan yang memiliki banyak faktor
penghambat.
Kesesuaian Lokasi Budidaya Laut
Berdasarkan Distribusi Polutan
Parameter yang dapat digunakan
untuk menggambarkan keberadaan
polutan berupa bahan organik diperairan
adalah BOD. Semakin tinggi nilai BOD
maka semakin tinggi pula aktivitas
organisme untuk menguraikan bahan
organik atau dapat dikatakan pula
semakin besar kandungan polutan berupa
bahan organik diperairan tersebut. Nilai
BOD tidak menunjukkan jumlah bahan
organik yang sebenarnya, tetapi hanya
mengukur secara kualitatif dengan
melihat jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan organik.
Kandungan bahan organik yang tinggi
ditunjukkan dengan semakin sedikitnya
sisa oksigen terlarut. Pengukuran nilai
BOD air laut pada lokasi penelitian
menunjukkan kisaran antara 11,04
16,80 mg/l dengan rerata sebesar (14,57
SD 2,03). BOD perairan cenderung
mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya jarak lokasi pengamatan
terhadap muara sungai. Semakin dekat
dengan muara sungai maka semakin
banyak masukan bahan organik akibat
aktivitas di darat dan semakin tinggi
kebutuhan oksigen untuk menguraikan
bahan organik tersebut. Hasil interpolasi
kandungan BOD, perairan wilayah
penelitian dapat dikategorikan dalam
kriteria tidak tercemar mencakup area
seluas 510.460 m
2
(51,04 ha) atau
sebesar 100% dari total kawasan yang
menjadi area penelitian
10
COD digambarkan sebagai jumlah
total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi polutan bahan organik
secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi secara biologis maupun yang
sukar didegradasi secara biologis.Hasil
pengukuran nilai COD air laut pada lokasi
penelitian berkisar antara 18,12 29,71
mg/l dengan rerata (22,58 SD 4,92).
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa COD perairan cenderung
mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya jarak lokasi pengamatan
terhadap garis pantai (muara sungai).
Semakin dekat dengan muara sungai
maka semakin banyak masukan polutan
bahan organik akibat aktivitas di darat
dan semakin tinggi kebutuhan oksigen
untuk mengoksidasi bahan organik
secara kimiawi. Kisaran COD masih
berada di bawah baku mutu kualitas air
laut 50 mg/l (Kepmen LH 51, 2004). Hasil
interpolasi kandungan COD, perairan
wilayah penelitian dapat dikategorikan
dalam kriteria tidak tercemar mencakup
area seluas 510.460 m
2
(51,04 ha) atau
sebesar 100% dari total kawasan yang
menjadi area penelitian.
Nitrat (NO
3
-N) adalah bentuk
senyawa nitrogen yang merupakan
nutrien yang diperlukan bagi organisme
nabati perairan. Namun demikian apabila
konsentrasinya sangat tinggi dapat
menyebabkan eutrifikasi dan merangsang
pertumbuhan biomassa algae tertentu
yang tidak terkendali. Pengukuran nilai
nitrat (NO
3
-N) air laut di lokasi penelitian
menunjukkan kisaran antara 0,0032
0,0058 mg/l dengan rerata (0,004 SD
0,0009). Hasil interpolasi kandungan
Nitrat (NO
3
-N) menunjukan perairan
wilayah penelitian dapat dikategorikan
dalam kriteria tidak tercemar mencakup
area seluas 510.460 m
2
(51,04 ha) atau
sebesar 100% dari total kawasan yang
menjadi area penelitian.
Logam timbal (Pb) bersifat racun
bagi kehidupan organisme perairan.
Logamini dapat bereaksi dengan oksigen
membentuk senyawa PbO yang dapat
merusak hemoglobin dalam darah.
Konsentrasi Timbal ditemukan di
hampir semua titik pengamatan.
Konsenterasi tidak terdeteksi pada titik
pengamatan 4, 5 dan 9. Konsenterasi
logam berat Timbal (Pb) tertinggi
ditemukan pada titik 3 sebesar 0,071
mg/l, sedangkan konsenterasi terendah
ditemukan pada titik 12 sebesar 0,00016
mg/l. Hasil pengukuran pada titik
pengamatan 1, 2, 3 dan 5 konsenterasi
timbal (Pb) telah melebihi baku mutu,
sedangkan pada titik lainnya konsenterasi
masih berada dibawah baku mutu
berdasarkan Kepmen LH no 51 tahun
2004 sebesar 0,008 mg/l. Interpolasi
kandungan Nitrat (Pb) menunjukan
perairan wilayah penelitian dapat
dikategorikan dalam kriteria tidak
tercemar mencakup area seluas
453.400 m
2
(45,34 ha) atau sebesar
88,8% dari total kawasan yang menjadi
area penelitian dan kriteria tercemar
mencakup area seluas 57.000 m
2
(5,7
ha) atau sebesar 11,2% dari total
kawasan yang menjadi area penelitian.
Ion seng (Zn) dalam air berasal dari
limbah industri maupun pertambangan.
Logam ini bersifat racun pada konsentrasi
yang tinggi. Pada lokasi penelitian seng
(Zn) terdeteksi hampir di semua titik
pengamtan. Keberadaan konsentrasi
seng tidak terdeteksi pada titik 4, 5 dan
11. Konsentrasi tertinggi terdapat pada
titik 1 sebesar 0,0011 mg/l sementara
konsenterasi terendah terdapat pada titik
10 sebesar 0,00014 mg/l. Namun
demikian konsenterasi seng (Zn) yang
ditemukan belum melampaui baku mutu
Kepmen LH no 51 Tahun 2004 sebesar
0,05 mg/l. Interpolasi kandungan seng
(Zn) menunjukan perairan wilayah
penelitian dapat dikategorikan dalam
kriteria tidak tercemar mencakup area
seluas 510.460 m
2
(51,04 ha) atau
sebesar 100% dari total kawasan yang
menjadi area penelitian.
Strategi Pengelolaan Sumberdaya
yang Optimal dan Berkelanjutan
Pada dasarnya kualitas sifat fisik
perairan di lokasi pertambangan sangat
terpengaruh besar tidaknya sedimen yang
masuk dalam perairan. Sehingga tingkat
11
keberhasilan pengelolaan kualitas air
sangat tergantung pada keberhasilan
pengendalian erosi dan produksi
sedimen. Atas dasar hal tersebut, maka
upaya-upaya pengelolaan yang harus
dilakukan secara dua arah. Pengelolaan
dilakukan terhadap sumber penyebab
dampak, selain itu pengelolaan juga
dilakukan dengan memodifikasi kegiatan
budidaya laut.
Pengelolaan terhadap sumber dampak
dari kegiatan pertambangan di pulau
Selayar dapat dilakukan dengan cara :
1. Menata areal penambangan. Penataan
areal penambangan meliputi
menyediakan tempat penampungan
tanah penutup yang ditempatkan pada
areal yang terbebas dari pengaruh
limpasan aliran permukaan. Untuk
menghindari erosi pada waktu hujan
yang dapat mengganggu kegiatan di
hilirnya.
2. Melakukan revegetasi pada areal
bekas kegiatan pembukaan dan
penggalian tanah untuk mengurangi
kontak langsung air hujan dengan
lapisan tanah. Sebagai dengan adanya
kegiatan pertambangan vegetasi
penutup lahan yang berupa jenis-jenis
flora akan hilanh dan lahan terbuka
tanpa vegetasi sehingga nilai infiltrasi
tanah akan menurun. Kondisi ini akan
semakin memburuk apabila curah
hujan yang terjadi semakin meningkat
Oleh sebab itu, upaya revegetasi lahan
pasca tambang menjadi kebutuhan
untuk meminimalisir terjadinya erosi
dan sedimentasi.
3. Membangun saluran drainase keliling
bukaan pit tambang, timbunan
sementara overburden dan topsoil.
Pembuatan saluran ini ditujukan agar
air limpasan terkonsentrasi melewati
parit-parit drainase sehingga sangat
mudah mengontrol jalannya aliran
permukaan dan muatan sedimennya.
Saluran drainase ini dilengkapi
perangkap sedimen (sedimen trap)
agar muatan sedimen yang terangkut
melalui parit-parut drainase dapat
tertampung di dalamnya.
4. Melengkapi Lokasi pengolahan bauksit
dan pelabuhan bauksit dengan kolam
pengendap (settling pond/sediment
pond/kolam cegat) dibuat agar material
tanah yang tererosi dan tersuspensi
pada air dapat dialirkan pada saluran
drainase dan tidak terbawa badan air
penerima yaitu sungai yang bermuara
pada laut lokasi penelitian.
5. Melakukan recycle (penggunaan
kembali) saat pencucian bauksit
dengan kolam pengendapan dan
membuat system sirkulasi tertutup
sehingga air hasil pencucian tidak
masuk ke badan air.
6. Perangkap sedimen (sedimen trap)
dibuat dengan tujuan agar muatan
sedimen yang terangkut melalui parit-
parut drainase dapat tertampung di
dalamnya. Perangkap sedimen
tersebut dibuat dalam jumlah dan
tergantung kondisi lapangan.
Pengelolaan dengan memodifikasi
kegiatann budidaya dapat dilakukan
dengan cara pemilihan kultivan yang
disesuaikan dengan kondisi dilapangan.
Dimana pada perairan yang memiliki
kadar TSS serta keberadaan plankton
yang cukup tinggi organisme yang cocok
dipelihara diperairan ini adalah dari jenis
kerang-kerangan seperti Kerang Hijau
(Perna viridis), Kerang Darah (Anadara
granosa) serta Kerang Gonggong
(Strombus canurium) yang memang
merupakan organisme khas yang ada di
pulau Selayar.
Kesimpulan
1. Hasil analisis yang dilakukan didapat 3
kelas kesesuaian lahan untuk
budidaya laut. Pada kelas sangat
sesuai (S1) mencakup area seluas
11.365,95 m
2
(1,14 ha) atau sebesar
2,2 % dari total kawasan yang menjadi
area studi. Kelas sesuai (S2)
mencakup area seluas 354.158,08
m
2
(35,41 ha), atau sebesar 69,40 %
dari total kawasan yang menjadi area
studi. Dan kelas tidak sesuai (N1)
mencakup area seluas 144.964,16
m
2
(14,50 ha) atau sebesar 28,4 %
dari total kawasan yang menjadi area
studi. Parameter yang kurang
mendukung untuk kegiatan budidaya
12
diwilayah studi adalah TSS, TDS dan
DO.
2. Hasil ekstraksi daerah kesesuaian
untuk budidaya laut dengan sebaran
bahan pencemar (polutan) didapat
wilayah yang sesuai untuk budidaya
dan tidak tercemar mencakup area
seluas 11.282 m
2
(1,13 ha) atau
sebesar 2,21% dari total kawasan
yang menjadi area penelitian, sesuai
dan tidak tercemar mencakup area
seluas 353.000 m
2
(35,30 ha) atau
sebesar 69,16% dari total kawasan
yang menjadi area penelitian.
Sedangkan sisa dari keseluruhan area
penelitian tidak mendukung untuk
kegiatan budidaya Parameter yang
menjadi pencemar diwilayah studi
adalah Timbal (Pb).
3. Kegiatan budidaya laut yang optimal
dan berkelanjutan dengan kegiatan
pertambangan dilakukan dengan
menekan kegiatan eksploitasi
lingkungan melalui pengaturan system
tata ruang (penzonasian kawasan
untuk budidaya laut).
Daftar Pustaka
Erlangga. 2007. Efek Pencemaran
Perairan Sungai Kampar Di Provinsi Riau
Terhadap lkan Baung (Hemibagrus
nemurus)
Ghufron. M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya
lkan Laut di Keramba Jaring Apung.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Hardjojo B dan Djokosetiyanto. 2005.
Pengukuran dan Analisis Kualitas Air.
Edisi Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas
Terbuka. Jakarta.
Kangkan, Leonidas. 2006. Studi
Penentuan Lokasi Untuk Pengembangan
Budidaya Laut Berdasarkan Parameter
Fisika, Kimia Dan Biologi Di Teluk
Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Semarang
Kamlasi, 2008. Kajian Ekologis dan
Biologi Untuk Pengembangan Budidaya
Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Di
Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH).
2004. Keputusan Menteri KLH
No.51/2004 Tentang Baku Mutu Air Laut
untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
Marganof. 2007. Model pengendalian
pencemaran perairan di danau maninjau
sumatera barat.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of
Ecology. W.B. Sounders Company,
Toronto. 347 pp.
Radisho, 2009. Model pengendalian
pencemaran perairan di danau maninjau
sumatera barat. IPB
Suryanto, D. 2007. Pendugaan Iaju
akumulasi Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni pada
kerang hijau (Perna viridis L) ukuran > 4,7
cm di perairan Kamal Muara, Teluk
Jakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu
Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Você também pode gostar