TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PANTAI DAN DAYA DUKUNGNYA TERHADAP KEGIATAN BUDIDAYA PERIKANAN (STUDI KASUS DI PULAU SELAYAR, KABUPATEN LINGGA) Impact of Bauxite Mining to the Quality of Coastal Environment and Its Carrying Capacity to the Marine Culture Activity (Case Study of Selayar Island, Regency of Lingga) Aunurrahman 1 , Sri Rejeki 2 dan Agung Suryanto 2 Mahasiswa Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Undip 1 (email : aunurrahman_borneo@yahoo.com) Staf Pengajar Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Undip 2 ABSTRAK Pulau Selayar Kepulauan Lingga merupakan salah satu wilayah dengan potensi sumber mineral bumi dan bahan galian yang tinggi salah satunya bauksit. Semakin pesatnya kegiatan penambangan bauksit memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan pantai dan daya dukung lingkungan perairan untuk kegiatan budidaya laut. Penelitian mengenai dampak pertambangan terhadap perairan dan daya dukungnya untuk kegiatan budidaya dilakukan di wilayah perairan Pulau Selayar dari bulan Maret - April 2013. Data primer yang dikumpulkan meliputi parameter sik, kimia dan biologi. Data sekunder meliputi peta rupabumi dan batimetri. Analisis dilakukan meliputi analisis terhadap kualitas perairan, analisis pencemaran serta analisis kesesuaian lahan untuk budidaya Iaut. Hasil analisis yang dilakukan didapat 3 kelas kesesuaian lahan untuk budidaya laut. Pada kelas sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 11.365,95 m 2 (1,14 ha) atau sebesar 2,2 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Kelas sesuai (S2) mencakup area seluas 354.158,08 m 2 (35,41 ha), atau sebesar 69,40 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Dan kelas tidak sesuai (N1) mencakup area seluas 144.964,16 m 2 (14,50 ha) atau sebesar 28,4 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Parameter yang kurang mendukung untuk kegiatan budidaya diwilayah studi adalah TSS, TDS dan DO. Hasil ekstraksi daerah kesesuaian untuk budidaya laut dengan sebaran bahan pencemar (polutan) didapat wilayah yang sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar mencakup area seluas 11.282 m 2 (1,13 ha) atau sebesar 2,21% dari total kawasan yang menjadi area penelitian, sesuai dan tidak tercemar mencakup area seluas 353.000 m 2 (35,30 ha) atau sebesar 69,16% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Parameter yang menjadi pencemar diwilayah studi adalah Timbal (Pb). Kata-kata kunci: budidaya laut, kesesuaian, tambang 2 ABSTRACT Lingga Islands Selayar Island is one of the regions with the earths mineral resources and potential mineral bauxite high one. The more rapid bauxite mining activities have an impact on the environmental quality of coastal and marine environmental carrying capacity for mariculture activities. Research Mining activities impacted the condition of land and aquatic environment was conducted in Selayar Island waters from March - April 2013. Data collection including: physical, chemical and biological parameters. While secondary data including topographic map and bathimetri map. Analysis conducted including analysis on the aquatic environment quality, pollution and suitability analysis for marine culture. The results of the analysis conducted 3 classes obtained land suitability for marine culture. At the highly suitable (S1) covers an area of 11365.95 m 2 (1.14 ha) or 2.2% of the total area study. Suitable (S2) covers an area of 354,158.08 m 2 (35.41 ha), or a total of 69.40% of the total area study. And temporary not suitable (N1) covers an area of 144,964.16 m 2 (14.50 ha) or 28.4% of the total area study. The parameters unfavorable for marine culture activities in the region is the study of TSS, TDS and DO. The results of the extraction area suitability for marine culture with the distribution of contaminants (pollutants) obtained the appropriate areas for cultivation and not polluted covers an area of 11 282 m 2 (1.13 ha) or by 2.21% of the total area as an area of research, according and uncontaminated covers an area of 353,000 m 2 (35.30 ha) or by 69.16% of the total area as an area of research. Parameters that become pollutants in the region is the study of Lead (Pb). Keywords: marine culture, suitability, mining Pendahuluan Pulau selayar merupakan salah satu pulau kecil yang memiliki potensi pemanfaatan yang beragam. Jenis pemanfaatan yang telah dilakukan di pulau selayar yaitu kegiatan pertambangan dan budidaya laut. Pertambangan yang terdapat di pulau selayar meliputi bermacam-macam bahan tambang, salah satunya kegiatan pertambangan bauksit. Kegiatan pertambangan ini baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap kegiatan budidaya. Kegiatan pertambangan meliputi pembukaan lahan, penambangan/ penggalian bahan tambang, hingga pencucian bahan tambang akan merubah kondisi daratan dan pada akhirnya akan berdampak pada kondisi lingkungan perairan. Dampak kegiatan pertambangan terhadap perairan yaitu meningkatnya kekeruhan perairan. Kondisi tersebut akan merubah kondisi kualitas lingkungan perairan di daerah aliran sungai dan pada akhirnya akan terbawa ke laut dimana kegiatan budidaya dilaksanakan. Kesesuaian kualitas lingkungan perairan mengalami perubahan akibat adanya peningkatan input sedimen dan bahan-bahan buangan dari kegiatan pertambangan. Sehingga, perlu dilakukan kajian mengenai daya dukung kualitas lingkungan perairan pulau Selayar untuk kegiatan budidaya. Penurunan kualitas lingkungan perairan yang menyebabkan ketidaksesuaian perairan untuk kegiatan budidaya memerlukan upaya pengelolaan agar kegiatan budidaya yang ada di perairan tersebut dapat tetap berjalan. Pengelolaan yang perlu dilakukan meliputi pengelolaan kawasan darat dan kawasan laut. Dengan adanya pengelolaan yang sesuai diharapkan 3 dapat diperoleh tingkat pemanfaatan yang optimal di pulau Selayar. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian diantaranya bagaimana kondisi kualitas perairan pantai pulau Selayar dan daya dukung nya terhadap kegiatan budidaya laut di perairan Pulau Selayar, bagaimana sebaran polutan yang ada di perairan pulau Selayar akibat kegiatan pertambangan bijih bauksit di wilayah perairan Pulau Selayar, bagaimana metode pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan antara kegiatan pertambangan dan budidaya laut di Pulau Selayar dan perairan sekitarnya. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kualitas perairan pantai dan daya dukung kegiatan budidaya laut di wilayah perairan pulau Selayar, mengkaji sebaran polutan yang ada di perairan pulau Selayar akibat kegiatan pertambangan bijih bauksit di wilayah perairan Pulau Selayar, merumuskan metode pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan antara kegiatan pertambangan dan budidaya laut di Pulau Selayar. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah melalui kajian yang telah dilakukan diperoleh informasi mengenai kualitas air perairan serta dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan sehingga diperoleh lokasi- lokasi yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut, melalui kajian yang telah dilakukan diperoleh strategi untuk mengatasi permasalah yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan dalam upaya pemanfaatan untuk kegiatan budidaya laut. Jenis dan Sumber Data Data primer yang diamati dalam penelitian ini meliputi: parameter fisik, kimia, biologi dan logam berat. Sementara data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: peta rupabumi dan batimetri. Metode pengumpulan data Variabel biologi diamati untuk mengetahui kualitas perairan berdasarkan organisme yang ada dalam sistem perairan tersebut. Dalam penelitian ini variabel biologi yang diamati berupa struktur komunitas fitoplankton dan struktur komunitas makrobenthos. Plankton Kelimpahan plankton Perhitungan kelimpahan fitoplankton dilakukan untuk mengetahui berapa besar kelimpahan setiap genus tertentu yang ditemukan selama pengamatan. Nilai kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (modifikasi Eaton et al. 1995). = 1 Keterangan : N : Kelimpahan plankton (sel/l) n : Jumlah plankton yang diamati (sel) Vr : Volume contoh air yang tersaring (ml) Vo : Volume air yang diamati (ml) Vs : Volume air yang disaring (ml) Indeks keanekaragaman (H) Indeks Keanekaragaman digunakan untuk melihat tingkat stabilitas suatu komunitas atau menunjukkan kondisi struktus komunitas dari keanekaragaman jumlah jenis organisme yang terdapat dalam suatu area. Nilai keanekaragaman jenis yang ada dalam komunitas perifiton dan fitoplankton diperoleh dari hasil perhitungan berdasarkan modifikasi Indeks Shannon- Wiener (Odum 1971), yaitu: = ln Keterangan : H : Indeks keanekaragaman pi : ni / N (proporsi jenis ke-i) ni : jumlah individu jenis ke-i N : jumlah total individu Kriteria: 4 H<1 = Komunitas biota tidak stabil atau kualitas air tercemar berat, 1<H<3 = Stabilitas komunitas biota sedang atau kualitas air tercemar sedang, H>3 = Stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima (stabil) atau kualitas air bersih. Benthos Analisis data hasil pengamatan makro-zoobenthos dilakukan melalui : a. Penghitungan kepadatan jenis makrozoobenthos dilakukan untuk mengetahui jumlah individu suatu jenis per stasiun (ind/m 2 ). Rumus yang digunakan adalah (Odum, 1998) : = 10.000 Keterangan: K = Kepadatan makrozoobenthos (ind/m 2 ) a = Jumlah makrozoobenthos yang dihitung (ind) b = Luas bukaan transek surber (20 x 20 cm 2 ) Indeks keanekaragaman jenis (H) Kekayaan jenis makrozoobenthos di dalam sungai ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Odum, 1998). Indeks ini juga dapat digunakan untuk mengetahui dan menilai tingkat pencemaran suatu perairan. Rumus perhitungannya adalah: = ln Keterangan: H = indeks keanekaragaman jenis N = Jumlah total individu ni = jumlah individu jenis ke-i s = jumlah jenis Nilai H dari hasil perhitungan tersebut mencerminkan tingkat keanekaragaman, penyebaran dan stabilitas komunitas makrozoobenthos. Hubungan H dengan tingkat pencemaran berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener dan Pencemaran Perairan Saprobik Indeks (SI) dan Tingkat Saprobik Indeks (TSI) Untuk menghitung saprobitas perairan digunakan analisis trosap yang nilainya ditentukan dari Saprobik Indeks (SI) dan Tropik Saprobik Indeks (TSI). Formula yang digunakan adalah hasil formulasi Persone dan De Pauw (1983) dalam Zahidin (2008) : = 1 +3 +1 3 1 +1 +1 +1 Keterangan : SI = Saprobik Indeks A = Jumlah Spesies Organisme Polysaprobik B = Jumlah Spesies Organisme - Mesosaprobik C = Jumlah Spesies Organisme - Mesosaprobik D = Jumlah Spesies Organisme Oligosaprobik 1( ) + 3( ) + 3( ) + + + + 1( ) +1( ) + 1( ) + 1( ) + + + Keterangan : N = Jumlah individu organisme pada setiap kelompok saprobitas nA = Jumlah individu penyusun kelompok Polysaprobik nB = Jumlah individu penyusun kelompok -Mesosaprobik nC = Jumlah individu penyusun kelompok -Mesosaprobik nD = Jumlah individu penyusun kelompok Oligosaprobik nE = Jumlah individu penyusun selain A, B, C dan D Analisis Data Kualitas Air dan Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut Untuk mendapatkan kelas kesesuaian maka dibuat matrik kesesuaian perairan untuk parameter fisika, kimia dan biologi. Penyusunan matrik kesesuaian perairan merupakan dasar dari analisis keruangan melalui skoring dan faktor pembobot. Hasil skoring dan pembobotan di evaluasi sehingga didapat kelas kesesuaian yang menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu bidang untuk penggunaan tertentu. 5 Tingkat kesesuaian dibagi atas empat kelas yaitu : 1. Kelas S1 : Sangat Sesuai Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikan masukan atau tingkat perlakukan yang diberikan. 2. Kelas S2 : cukup Sesuai Daerah ini mempunyai pembatas- pembatas yang sangat berat untuk penggunaan secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas atau keuntungan terhadap lahan ini. Pembatas ini akan meningkatkan masukan atau tingkat perlakuan yang diperlukan. 3. Kelas N1 : Tidak Sesuai (Not Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Matrik kesesuaian perairan disusun melalui kajian pustaka sehingga diketahui variabel syarat yang dijadikan acuan dalam pemberian bobot. Karena itu, variabel yang dianggap penting dan dominan menjadi dasar pertimbangan pemberian bobot yang lebih besar dan variabel yang kurang dominan. Penentuan kelayakan perairan untuk pengembangan budidaya dengan dilakukan dengan metode pembobotan. Data kondisi fisika dan kimia perairan Pulau Selayar dijadikan acuan dalam menentukan kriteria kelayakan lahan. Metode scoring atau pembobotan maksudnya setiap parameter diperhitungkan dengan pembobotan yang berbeda. Menurut Suryanto et al., (2005) dan Cornelia et al., (2005) yang dimodifikasi oleh peneliti didalam melakukan metode scoring, tahapan yang perlu dilakukan yaitu: 1. Pembobotan kesesuaian (kes Bob). Pembobotan kesesuaian didefinisikan sebagai berikut: 1) Sangat Sesuai diberi skor 5; 2) Cukup Sesuai diberi skor 3; dan 5) Tidak Sesuai diberi skor 1. 2. Pembobotan parameter (par Bob). Metode scoring juga menggunakan pembobotan untuk setiap parameter. Parameter yang memiliki peran yang besar akan mendapatkan nilai lebih besar dari parameter yang tidak memiliki dampak yang besar. 3. Pembobotan scoring (score Bob). Kesesuaian scoring (score Kes). Kriteria kesuain sebagai beriku terdiri dari: 1) Sangat Sesuai apabila indeks kesesuaian >4,3; 2) Cukup Sesuai apabila indeks kesesuaian >3,7 4,3; dan 3) Tidak Sesuai apabila indeks kesesuaian 3 3,7 Nilai indeks wilayah potensial untuk budidaya diperoleh dengan persamaan berikut : = + + + + + + Dimana : I WPT = indeks wilayah potensial untuk budidaya I TSS = indeks parameter TSS I Sal = indeks parameter salinitas I S = indeks parameter suhu I Oks = indeks parameter oksigen I pH = indeks parameter pH I Ar = indeks parameter arus I Kdl = indeks parameter kedalaman 4. Pemetaan kelas kesesuaian lahan. Pemetaan kelas lahan dilakukan dengan program spasial. Untuk memetakan kawasan ketiga kelas lahan tersebut dilakukan operasi tumpang susun (overlaying) dari setiap tema yang dipakai sebagai kriteria. Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing coverage tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap penentuan kesesuaian budidaya. Hasil akhir dari analisis SIG melalui pendekatan indeks overlay model adalah diperolehnya rangking (urutan) kelas kesesuaian lahan untuk budidaya tersebut. Distribusi Spasial Polutan Sebaran spasial polutan yang diperoleh dipetakan secara spasial 6 dengan ArcGIS 9.3 (ArcMap). Hasil yang diperoleh adalah pola sebaran parameter polutan pada lokasi penelitian dan interpretasi dari nilai yang diperoleh di peta. Hasil interpolasi tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas-kelas kesesuaian yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk mendapatkan sebaran dari polutan maka dibuat matrik kesesuaian untuk parameter pencemar. Penyusunan matrik ini merupakan dasar dari analisis keruangan melalui skoring. Hasil skoring di evaluasi sehingga didapat kelas kesesuaian yang menggambarkan tingkat pencemran dari wilayah kajian. Baku mutu yang digunakan untuk menentukan sebaran polutan adalah Kepmen LH 51 tahun 2004. Tingkat kesesuaian dibagi atas dua kelas yaitu: 1. Kelas S1 : Perairan tidak tercemar Daerah ini kandungan polutan masih berada dibawah baku mutu yang telah ditetapkan 2. Kelas S2 : Perairan tercemar Daerah ini mempunyai kandungan polutan yang telah melebihi baku mutu yang digunakan Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut Berdasarkan Distribusi Polutan Sebaran spasial kesesuaian wilayah untuk budidaya laut berdasrkan sebaran polutan dipetakan secara spasial dengan ArcGIS 9.3 (ArcMap). Hasil yang diperoleh adalah ekstraksi daerah yang sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar sebagai kawasan paling sesuai untuk budidaya laut. Hasil interpolasi kesesuaian perairan untuk budidaya dioverlay dengan peta sebaran pencemaran. Hasil overlay disajikan dalam peta distribusi spasial sebaran daerah yang sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar sebagai kawasan paling sesuai untuk budidaya laut. Dengan informasi yang diperoleh dapat dijadikan referensi wilayah mana saja dilokasi penelitian yang benar-benar sesuai untuk kegiatan budidaya. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran nilai suhu menunjukkan kisaran antara 28,0 30C. Nilai tersebut masih berada berada pada kisaran baku mutu kualitas air untuk budidaya laut (DKP, 2002). Kisaran suhu tergolong layak digunakan dalam kegiatan budidaya. Menurut Prasetyarto dan Suhendar (2010), keadaan suhu perairan laut banyak ditentukan oleh penyinaran matahari dan pola suhu di perairan laut pada umumnya makin ke bawah makin dingin. Ikan laut dan ikan karang suhu perairan ideal berkisar antara 28 30 o C (Ghufron dan Kordi, 2005). Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air. Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik mempunyai batas kisaran maksimum dan minimum (Erlangga, 2009). Ikan merupakan hewan poikiloterm, yang mana suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan, sebab itu semua proses fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai TSS pada lokasi penelitian berada pada kisaran 31,2 124,5 mg/l. Nilai tersebut telah melebihi baku mutu kualitas air laut sebesar 20 mg/l (DKP, 2002). Kangkan (2006), menganjurkan agar kandungan tersebut kurang dari 25 mg/l. Tingginya nilai TSS ini diduga akibat kegiatan eksploitasi tambang yang dilakukan. Kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan ekosistem hutan. Indikasi awal kerusakan yang dimaksud adalah banyaknya lahan yang 7 dibiarkan terbuka tanpa vegetasi. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya laju infiltirasi tanah. Jika kondisi ini didukung oleh curah hujan yang tinggi, dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tanah untuk menyimpan air. Akibatnya tanah tererosi dan sebagian besar hujan menjadi aliran permukaan. Intensitas aliran permukaan yang tinggi akan membawa partikel- partikel tanah ke dalam aliran sungai (Kamlasi, 2008). Berdasarkan hasil pengukuran, nilai TDS pada lokasi penelitian berada pada kisaran 22,2 44,1 mg/l. Nilai tersebut masih di bawah baku mutu kualitas air laut sebesar 1000 mg/l (DKP, 2002). Nilai ini menunjukkan kisaran TDS tergolong optimal sebagai lokasi budidaya laut. Kisaran nilai TDS perairan tergolong rendah dan optimal sebagai lokasi budidaya laut. TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Kamlasi (2008), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Ditambahkan oleh Marganof (2007), peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai pH pada lokasi penelitian berada pada kisaran 7,00 7,2. Nilai tersebut berada pada kisaran baku mutu kualitas air laut sebesar 7,0 8,5 (DKP, 2002). Kisaran nilai pH tergolong optimal untuk kegiatan budidaya. Peningkatan nilai pH menunjukkan kecenderungan perairan memiliki tingkat keasaman yang tinggi disebabkan masuknya limbah organik dalam jumlah besar. Beberapa biota memiliki toleransi tertentu pada kondisi perairan yang asam maupun basa. Pada ikan laut dan ikan karang pH optimal berkisar antara 6,5 8,5 (Radisho, 2009). Berdasarkan hasil pengukuran, kandungan DO pada lokasi penelitian berada pada kisaran 4,52 6,12 mg/l. Nilai tersebut menunjukkan kisaran sesuai baku mutu pada titik 4 - 12, serta di bawah baku mutu pada titik 1 - 3 berdasarkan (DKP, 2002) sebesar 5 mg/l. Kisaran nilai DO tergolong optimal untuk kegiatan budidaya laut. Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen (Radisho, 2009). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air, pergerakan masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005). Berdasarkan hasil pengukuran, nilai salinitas pada lokasi penelitian berada pada kisaran 30,0 32,3 . Kisaran tersebut masih sesuai baku mutu kualitas air laut 34 mg/l (DKP, 2002). Nilai ini tergolong optimal untuk budidaya laut. Menurut Radisho (2009), tinggi rendahnya kadar garam (salinitas) sangat tergantung kepada banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi. Menurut Radisho (2009) salinitas mempunyai peranan penting untuk kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, disamping faktor lingkungan maupun faktor genetik spesies ikan tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau 8 lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Lapisan dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai BOD pada lokasi penelitian berada pada kisaran 11,04 16,80 mg/l. Hasil tersebut menunjukkan bahwa BOD perairan masih di bawah baku mutu kualitas air laut sebesar 20 mg/l (DKP, 2002). Nilai ini tergolong optimal untuk budidaya laut. Menurut Marganof (2007) yang menyatakan bahwa BOD merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan keberadaan bahan organik di perairan. BOD 5 (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air Marganof (2007). Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan pulau Selayar dengan nilai BOD yang rendah lebih dikarenakan nilai TSS yang cukup tinggi. Nilai TSS yang tinggi ini akan menghambat mikroba melakukan oksidasi aerobik dan anaerobik. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai COD pada lokasi penelitian berada pada kisaran 18,12 29,71 mg/l. Hasil tersebut menunjukkan kisaran COD masih berada di bawah baku mutu kualitas air laut berdasarkan (DKP, 2002). Nilai tergolong optimal untuk kegiatan budidaya. Pada perairan yang belum tercemar berat nilai COD berkisar antara 20 mg/l, sedangkan pada perairan tercemar nilai COD di atas 20 mg/l atau mencapai 200 mg/l. Beberapa biota atau tumbuhan memiliki toleransi berbeda terhadap tingginya nilai COD suatu perairan. Menurut Effendy (Erlangga, 2009) yang menyatakan bahwa keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri. Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l/. Nilai Perairan pulau Selayar dengan nilai COD yang rendah lebih dikarenakan nilai TSS yang cukup tinggi. Nilai TSS yang tinggi ini akan menghambat mikroba melakukan aktivitas oksidasi. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai nitrat pada lokasi penelitian berada pada kisaran 0,0032 0,0058 mg/l. Nilai kandungan nitrat tersebut menunjukkan kisaran dibawah baku mutu kualitas air laut berdasarkan (DKP, 2002). Nilai tergolong optimal untuk kegiatan budidaya. Hasil analisis kuantitatif plankton menunjukkan kisaran indeks keanekaragaman antara 0,63 1,46 dengan rata-rata 1,02. Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener indeks keanekaragaman tersebut penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang, dan jika ditinjau dari segi lingkungan mengindikasikan kondisi tercemar ringan. Hasil analisis kuantitatif pada biota benthos menunjukkan kisaran indeks keanekaragaman antara 0 2,44 dengan rata-rata 1,15. Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener indeks keanekaragaman tersebut menunjukan kualitas perairan tercemar sedang. Hasil perhitungan SI dan TSI di Stasiun VII sebesar 1,35 dan 1,55 yang menunjukkan nilainya paling tinggi dibanding stasiun lainnya. Nilai terkecil didapat pada stasiun IV sebesar 1 dan 0,5. Dari nilai diatas kondisi perairan Pulau Selayar secara umum terjadi pencemaran ringan sampai sedang Pencemaran ini diduga akibat kegiatan pertambangan mengingat sungai-sungai yang bermuara pada perairan lokasi penelitian berada di lokasi pertambangan. Sumber pencemarnya diduga diakibatkan oleh aktivitas 9 pembukaan lahan, penambangan (eksploitasi), limbah domestik dari emplasemen serta limbah pencucian. Dari hasil analisis kesesuaian lahan yang telah dilakukan diketahui bahwa luas wilayah potensial untuk dilakukannya kegiatan budidaya laut seluas 510.468,9 m 2 atau 51,04 Ha yang terdiri dari kelas sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan cukup sesuai (S3). Perairan dengan kategori sangat sesuai memiliki kisaran indeks kesesuaian antara >4,4 5 merupakan wilayah yang secara umum tidak memiliki faktor penghambat dan memenuhi kriteria kelas tertinggi. Perairan dengan kategori sesuai memiliki kisaran indeks antara >3,8 4,4. Kelas perairan dengan kategori tersebut merupakan wilayah perairan yang memiliki sedikit faktor penghambat. Parameter-parameter yang memiliki tingkat kesesuaian sedang pada perairan kategori sesuai meliputi parameter TSS, kedalaman, dan DO. Hal ini dapat dilihat dari beberapa parameter yang berada pada kelas-kelas menengah. Perairan dengan kategori cukup sesuai memiliki kisaran indeks antara >3,2 3,8 merupakan wilayah yang berdasarkan analisis peta terdapat beberapa faktor penghambat di dalamnya. Parameter-parameter yang diduga menjadi faktor penghambat antara lain adalah parameter oksigen dan TSS. Penghambat ini cukup berat akan tetapi dapat dihilangkan melalui rekayasa teknologi maupun pengelolaan terhadap sumber penyebab beberapa parameter tersebut berada dibawah baku mutu. Faktor-faktor yang diduga menjadi pemicu rendahnya nilai dari parameter-parameter tersebut antara lain adanya masukan material tanah ke dalam perairan melalui kegiatan pembukaan lahan kegiatan pertambangan bauksit yang dilakukan, selain itu kegiatan pencucian bauksit secara langsung memberikan kontribusi peningkatan material yang masuk ke perairan. Hasil pengukuran kualitas TSS yang dikorelasikan dengan hasil analisis kualitas air memberikan keterangan bahwa kondisi perairan wilayah studi secara reponsif disuplai secara positif dari sedimen. Tingginya kadar TSS ini akan menyebabkan kekeruhan, dimana akan secara tidak langsung akan menurunkan kadar oksigen di perairan lokasi penelitian. Perairan dengan kategori kurang sesuai memiliki kisaran indeks antara >2,6 3,2. Kelas perairan dengan kategori tersebut merupakan wilayah perairan yang memiliki banyak faktor penghambat. Kesesuaian Lokasi Budidaya Laut Berdasarkan Distribusi Polutan Parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan keberadaan polutan berupa bahan organik diperairan adalah BOD. Semakin tinggi nilai BOD maka semakin tinggi pula aktivitas organisme untuk menguraikan bahan organik atau dapat dikatakan pula semakin besar kandungan polutan berupa bahan organik diperairan tersebut. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara kualitatif dengan melihat jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik. Kandungan bahan organik yang tinggi ditunjukkan dengan semakin sedikitnya sisa oksigen terlarut. Pengukuran nilai BOD air laut pada lokasi penelitian menunjukkan kisaran antara 11,04 16,80 mg/l dengan rerata sebesar (14,57 SD 2,03). BOD perairan cenderung mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya jarak lokasi pengamatan terhadap muara sungai. Semakin dekat dengan muara sungai maka semakin banyak masukan bahan organik akibat aktivitas di darat dan semakin tinggi kebutuhan oksigen untuk menguraikan bahan organik tersebut. Hasil interpolasi kandungan BOD, perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria tidak tercemar mencakup area seluas 510.460 m 2 (51,04 ha) atau sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian 10 COD digambarkan sebagai jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi polutan bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis.Hasil pengukuran nilai COD air laut pada lokasi penelitian berkisar antara 18,12 29,71 mg/l dengan rerata (22,58 SD 4,92). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa COD perairan cenderung mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya jarak lokasi pengamatan terhadap garis pantai (muara sungai). Semakin dekat dengan muara sungai maka semakin banyak masukan polutan bahan organik akibat aktivitas di darat dan semakin tinggi kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. Kisaran COD masih berada di bawah baku mutu kualitas air laut 50 mg/l (Kepmen LH 51, 2004). Hasil interpolasi kandungan COD, perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria tidak tercemar mencakup area seluas 510.460 m 2 (51,04 ha) atau sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Nitrat (NO 3 -N) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan nutrien yang diperlukan bagi organisme nabati perairan. Namun demikian apabila konsentrasinya sangat tinggi dapat menyebabkan eutrifikasi dan merangsang pertumbuhan biomassa algae tertentu yang tidak terkendali. Pengukuran nilai nitrat (NO 3 -N) air laut di lokasi penelitian menunjukkan kisaran antara 0,0032 0,0058 mg/l dengan rerata (0,004 SD 0,0009). Hasil interpolasi kandungan Nitrat (NO 3 -N) menunjukan perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria tidak tercemar mencakup area seluas 510.460 m 2 (51,04 ha) atau sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Logam timbal (Pb) bersifat racun bagi kehidupan organisme perairan. Logamini dapat bereaksi dengan oksigen membentuk senyawa PbO yang dapat merusak hemoglobin dalam darah. Konsentrasi Timbal ditemukan di hampir semua titik pengamatan. Konsenterasi tidak terdeteksi pada titik pengamatan 4, 5 dan 9. Konsenterasi logam berat Timbal (Pb) tertinggi ditemukan pada titik 3 sebesar 0,071 mg/l, sedangkan konsenterasi terendah ditemukan pada titik 12 sebesar 0,00016 mg/l. Hasil pengukuran pada titik pengamatan 1, 2, 3 dan 5 konsenterasi timbal (Pb) telah melebihi baku mutu, sedangkan pada titik lainnya konsenterasi masih berada dibawah baku mutu berdasarkan Kepmen LH no 51 tahun 2004 sebesar 0,008 mg/l. Interpolasi kandungan Nitrat (Pb) menunjukan perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria tidak tercemar mencakup area seluas 453.400 m 2 (45,34 ha) atau sebesar 88,8% dari total kawasan yang menjadi area penelitian dan kriteria tercemar mencakup area seluas 57.000 m 2 (5,7 ha) atau sebesar 11,2% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Ion seng (Zn) dalam air berasal dari limbah industri maupun pertambangan. Logam ini bersifat racun pada konsentrasi yang tinggi. Pada lokasi penelitian seng (Zn) terdeteksi hampir di semua titik pengamtan. Keberadaan konsentrasi seng tidak terdeteksi pada titik 4, 5 dan 11. Konsentrasi tertinggi terdapat pada titik 1 sebesar 0,0011 mg/l sementara konsenterasi terendah terdapat pada titik 10 sebesar 0,00014 mg/l. Namun demikian konsenterasi seng (Zn) yang ditemukan belum melampaui baku mutu Kepmen LH no 51 Tahun 2004 sebesar 0,05 mg/l. Interpolasi kandungan seng (Zn) menunjukan perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria tidak tercemar mencakup area seluas 510.460 m 2 (51,04 ha) atau sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Strategi Pengelolaan Sumberdaya yang Optimal dan Berkelanjutan Pada dasarnya kualitas sifat fisik perairan di lokasi pertambangan sangat terpengaruh besar tidaknya sedimen yang masuk dalam perairan. Sehingga tingkat 11 keberhasilan pengelolaan kualitas air sangat tergantung pada keberhasilan pengendalian erosi dan produksi sedimen. Atas dasar hal tersebut, maka upaya-upaya pengelolaan yang harus dilakukan secara dua arah. Pengelolaan dilakukan terhadap sumber penyebab dampak, selain itu pengelolaan juga dilakukan dengan memodifikasi kegiatan budidaya laut. Pengelolaan terhadap sumber dampak dari kegiatan pertambangan di pulau Selayar dapat dilakukan dengan cara : 1. Menata areal penambangan. Penataan areal penambangan meliputi menyediakan tempat penampungan tanah penutup yang ditempatkan pada areal yang terbebas dari pengaruh limpasan aliran permukaan. Untuk menghindari erosi pada waktu hujan yang dapat mengganggu kegiatan di hilirnya. 2. Melakukan revegetasi pada areal bekas kegiatan pembukaan dan penggalian tanah untuk mengurangi kontak langsung air hujan dengan lapisan tanah. Sebagai dengan adanya kegiatan pertambangan vegetasi penutup lahan yang berupa jenis-jenis flora akan hilanh dan lahan terbuka tanpa vegetasi sehingga nilai infiltrasi tanah akan menurun. Kondisi ini akan semakin memburuk apabila curah hujan yang terjadi semakin meningkat Oleh sebab itu, upaya revegetasi lahan pasca tambang menjadi kebutuhan untuk meminimalisir terjadinya erosi dan sedimentasi. 3. Membangun saluran drainase keliling bukaan pit tambang, timbunan sementara overburden dan topsoil. Pembuatan saluran ini ditujukan agar air limpasan terkonsentrasi melewati parit-parit drainase sehingga sangat mudah mengontrol jalannya aliran permukaan dan muatan sedimennya. Saluran drainase ini dilengkapi perangkap sedimen (sedimen trap) agar muatan sedimen yang terangkut melalui parit-parut drainase dapat tertampung di dalamnya. 4. Melengkapi Lokasi pengolahan bauksit dan pelabuhan bauksit dengan kolam pengendap (settling pond/sediment pond/kolam cegat) dibuat agar material tanah yang tererosi dan tersuspensi pada air dapat dialirkan pada saluran drainase dan tidak terbawa badan air penerima yaitu sungai yang bermuara pada laut lokasi penelitian. 5. Melakukan recycle (penggunaan kembali) saat pencucian bauksit dengan kolam pengendapan dan membuat system sirkulasi tertutup sehingga air hasil pencucian tidak masuk ke badan air. 6. Perangkap sedimen (sedimen trap) dibuat dengan tujuan agar muatan sedimen yang terangkut melalui parit- parut drainase dapat tertampung di dalamnya. Perangkap sedimen tersebut dibuat dalam jumlah dan tergantung kondisi lapangan. Pengelolaan dengan memodifikasi kegiatann budidaya dapat dilakukan dengan cara pemilihan kultivan yang disesuaikan dengan kondisi dilapangan. Dimana pada perairan yang memiliki kadar TSS serta keberadaan plankton yang cukup tinggi organisme yang cocok dipelihara diperairan ini adalah dari jenis kerang-kerangan seperti Kerang Hijau (Perna viridis), Kerang Darah (Anadara granosa) serta Kerang Gonggong (Strombus canurium) yang memang merupakan organisme khas yang ada di pulau Selayar. Kesimpulan 1. Hasil analisis yang dilakukan didapat 3 kelas kesesuaian lahan untuk budidaya laut. Pada kelas sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 11.365,95 m 2 (1,14 ha) atau sebesar 2,2 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Kelas sesuai (S2) mencakup area seluas 354.158,08 m 2 (35,41 ha), atau sebesar 69,40 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Dan kelas tidak sesuai (N1) mencakup area seluas 144.964,16 m 2 (14,50 ha) atau sebesar 28,4 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Parameter yang kurang mendukung untuk kegiatan budidaya 12 diwilayah studi adalah TSS, TDS dan DO. 2. Hasil ekstraksi daerah kesesuaian untuk budidaya laut dengan sebaran bahan pencemar (polutan) didapat wilayah yang sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar mencakup area seluas 11.282 m 2 (1,13 ha) atau sebesar 2,21% dari total kawasan yang menjadi area penelitian, sesuai dan tidak tercemar mencakup area seluas 353.000 m 2 (35,30 ha) atau sebesar 69,16% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Sedangkan sisa dari keseluruhan area penelitian tidak mendukung untuk kegiatan budidaya Parameter yang menjadi pencemar diwilayah studi adalah Timbal (Pb). 3. Kegiatan budidaya laut yang optimal dan berkelanjutan dengan kegiatan pertambangan dilakukan dengan menekan kegiatan eksploitasi lingkungan melalui pengaturan system tata ruang (penzonasian kawasan untuk budidaya laut). Daftar Pustaka Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar Di Provinsi Riau Terhadap lkan Baung (Hemibagrus nemurus) Ghufron. M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya lkan Laut di Keramba Jaring Apung. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Hardjojo B dan Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan Analisis Kualitas Air. Edisi Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas Terbuka. Jakarta. Kangkan, Leonidas. 2006. Studi Penentuan Lokasi Untuk Pengembangan Budidaya Laut Berdasarkan Parameter Fisika, Kimia Dan Biologi Di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. Semarang Kamlasi, 2008. Kajian Ekologis dan Biologi Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri KLH No.51/2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta. Marganof. 2007. Model pengendalian pencemaran perairan di danau maninjau sumatera barat. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company, Toronto. 347 pp. Radisho, 2009. Model pengendalian pencemaran perairan di danau maninjau sumatera barat. IPB Suryanto, D. 2007. Pendugaan Iaju akumulasi Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni pada kerang hijau (Perna viridis L) ukuran > 4,7 cm di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.