Oleh: R. Arif Kurniawan 110221100024 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA TAHUN AJARAN 2014/2015 I. Latar Belakang Seiring perkembangan zaman yang semakin modern dan kompleks, berkembang pula praktik kejahatan dalam bentuk kecurangan (fraud) ekonomi. Jenis fraud yang terjadi pada berbagai negara bisa berbeda, karena dalam hal ini praktik fraud antara lain dipengaruhi kondisi hukum di negara yang bersangkutan. Pada negara-negara maju dengan kehidupan ekonomi yang stabil, praktik fraud cenderung memiliki modus yang sedikit dilakukan. Adapun pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, praktik fraud cenderung memiliki modus banyak untuk dilakukan. Fraud memang telah menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa ini. Fraud di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara maupun kualitasnya. Perkembangan korupsi akhir-akhir ini nampak semakin sistematis dan terpola. Pada sektor publik, di Indonesia kecurangan (fraud) telah menjadi isu fenomenal dan menarik untuk dibahas dengan kasus-kasus yang kini tengan berkembang dalam masyarakat. Semenjak runtuhnya jaman orde baru, masyarakat menjadi semakin kritis dalam mencermati kebijakan-kebijakan pemerintah yang sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme atau yang sering dikenal dengan istilah KKN. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak bekerja sama untuk menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/ilegal (ilegal gratuities) dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion). Fraud sudah bukan merupakan rahasia publik, jenis fraud yang sering dilakukan di lingkungan pemerintahan adalah jenis korupsi. Banyak media-media di Indonesia secara terang-terangan meliput dan menyiarkan adanya penangkapan para koruptor oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Korupsi itu sendiri kini telah dianggap sebagai penyebab akar masalah nasional. Adanya lembaga pemerintahan seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), Inspektorat, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan ICW (Indonesian Corruption Watch), bahkan dibuatnya UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum berhasil menuntaskan masalah korupsi yang merajalela. Menurut Aradila Caesar yang merupakan Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch, menyatakan bahwa dari hasil pemantauan ICW, yang korupsi paling banyak dilakukan oleh pejabat daerah (http://nasional.kompas.com). Berdasarkan data yang dirilis Indonesian Corruption Watch, pada tahun 2013 jumlah kasus korupsi di Indonesia sebanyak 560 kasus dan pada tahun 2014, jumlah kasus korupsi diperkirakan akan meningkat lagi mengingat selama semester 1-2014 jumlahnya sudah mencapai 308 kasus. Hal ini menunjukkan betapa buruknya sistem birokrasi dan pemerintahan Indonesia. Kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah sulit terdeteksi karena pelkau biasanya merupakan orang-orang yang dipercaya untuk menjalankan suatu proyek. Oleh karena itu, auditor laporan keuangan harus mempunyai keahlian untuk mendeteksi kecurangan ini. Untuk tindak lebih lanjut, auditor laporan keuangan ini hanya dapat mendeteksi saja sedangkan untuk pengungkapannya diserahkan pada auditor investigatif atau auditor forensik yang lebih berwenang. Auditor investigatif inilah yang nantinya akan menggunakan suatu aplikasi audit lain selain audit biasa yang digunakan para auditor laporan keuangan untuk mengungkapkan kecurangan yaitu audit investigatif. Peran audit investigatif dalam mengungkap kecurangan di Indonesia dari waktu ke waktu semakin terus meningkat. Audit investigatif banyak diterapkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumpulkan bukti-bukti hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-kasus korupsi yang dilaporkan kepada instansi pemerintah. Audit investigatif juga digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat Jenderal Kementerian untuk menggali informsi selama proses pelaksanaan audit kecurangan (fraud audit) atau audit investigatif. Kasus korupsi yang saat ini masih hangat diperbincangkan adalah kasus korupsi mega proyek Hambalang, dimana kasus ini menyeret beberapa politikus maupun pejabat negara di Indonesia menjadi tersangka seperti Andi Malaranggeng, Moh, Nazaruddin, dan Anas Urbaningrum. Kasus ini berawal dari Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mencurigai adanya indikasi kecurangan, kemudian BPK melakukan audit investigasi terhadap proyek tersebut. Dengan dilakukannya audit investigasi tersebut, BPK dapat menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundangan-undangan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses- proses di proyek tersebut (http://republika.co.id). Dari kasus tersebut dapat menjelaskan bahwa audit investigatif sangat berperan dalam mengungkap kecurangan. Hal yang menarik dari kasus korupsi mega proyek Hambalang yaitu munculnya whistleblower yang mengungkap kecurangan di proyek tersebut. Secara berturut-turut Moh. Nazaruddin dan Anas Urbaningrum mengungkapkan kasus korupsi mega proyek Hambalang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta keterangan dan menguak informasi dari kedua tersangka tersebut mengenai siapa saja yang terlibat dalam kasus korupsi mega proyek Hambalang. Istilah whistleblower menjadi semakin populer di Indonesia sejak terungkapnya beberapa kasus korupsi. Harus diakui bahwa kasus mega korupsi yang terorganisasi, sistematis, terstruktur, masif yang melibatkan jejaring politik yang kuat, dan melibatkan aktor intelektual yang cerdas sulit dibongkar jika tidak ada pihak atau salah seorang yang melihat, mendengar, dan terlibat langsung di dalam modus korupsi tersebut. Di titik inilah peran Anas Urbaningrum diperlukan, yang lebih disebabkan pada panggilan jiwa untuk bertanggung jawab pada nilai kebenaran. Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantauan publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau pengelewengan yang diketahuinya. Pada dasarnya seorang whistleblower merupakan seorang martir. Ia sang pemicu pengungkapan skandal kejahatan yang kerap melibatkan atasan maupun koleganya sendiri. Namun tidak banyak orang yang mengetahui dengan persis dan detail mengenai siapa sesungguhnya yang dapat dikategorikan sebagai seorang whistleblower. Istilah whistleblower memiliki makna yang bermacam-macam. Kadang diartikan sebagai saksi pelapor, pemukul kentongan, atau pengungkap fakta. Sampai sekarang belum ada padanan kata yang pas dalam kosakata Bahasa Indonesia bagi istilah yang secara harfiah disebut peniup peluit itu. Maka dari itu, perlu pembahasan mendalam mengenai whistleblower, audit investigatif, dan fraud di sektor publik atau pemerintahan yang rawan terjadinya penyimpangan. Makalah ini disusun untuk membantu memberikan gambaran maupun penjelasan mengenai whistleblower, audit investigatif, dan fraud di sektor publik, sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimana peran whistleblower dalam membantu auditor investigatif melakukan audit investigatif untuk mengungkap sebuah kecurangan (fraud) di sektor publik.
II. Landasan Teori 2.1. Whistleblower 2.1.1 Definisi Whistleblower Yenny (2008: 9) menyatakan bahwa whistleblower adalah orang-orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik, maladministrasi, maupun korupsi. Sedangkan, whistleblowing adalah tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal atau eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerja. Secara definisi, whistleblower adalah seorang pegawai (employee) atau karyawan dalam suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun adanya praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasinya dan yang memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada publik atau instansi yang berwenang (wikipedia, Columbia electronic encyclopedia: 2005). Tuanakotta (2006: 405) menyatakan istilah whistleblower dalam bahasa Inggris merupakan Slang, dan bukan istilah ilmiah. Secara sederhana, whistleblower adalah orang yang memberitahu kepada yang berwenang tentang pelanggaran yang dilakukan majikannya yang mempunyai dampak atau dapat merugikan negara. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa whistleblower adalah seseorang yang secara sukarela menyiarkan/menyampaikan informasi yang sebenarnya tidak diketahui oleh umum, sebagai protes moral yang dilakukan oleh anggota atau dewan pengawas dari suatu organisasi melalui saluran komunikasi yang tidak normal kepada pihak-pihak yang berkepentingan tentang adanya perbuatan ilegal dan/atau pelaksanaan kegiatan yang bermoral dalam suatu organisasi atau praktek-praktek yang dilakukan organisasi yang bertentangan dengan kepentingan publik. Sedangkan whistleblowing adalah tindakan yang dilakukan oleh whistleblower. 2.1.2 Karakteristik Whistleblower Dalam artikel yang berjudul Peran Whistleblower Dalam Pemberantasan Korupsi yang dibuat oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan (http://www.bppk.depkeu.go.id/), terdapat enam karakteristik mengenai whistleblower yaitu: 1. Whistleblower merupakan tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh anggota dari suatu organisasi. 2. Harus ada informasi yang sebenarnya tidak diketahui oleh publik (nonpublic information). 3. Informasi yang disampaikan merupakan bukti adanya penyimpangan yang terjadi di dalam suatu organisasi yang dilakukan oleh pihak intern organisasi. 4. Informasi harus disampaikan melalui saluran komunikasi yang tidak normal (rahasia). 5. Penyampaian informasi harus dilakukan secara suka rela dan dibenarkan secara hukum. 6. Whistleblowing merupakan kegiatan sebagai protes moral. Haris, dkk (2011: 1) menyatakan bahwa untuk disebut sebagai whistleblower, setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar. Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkapkan laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan orang dalam, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau berada. 2.1.3 Praktik Whistleblowing System Dalam buku yang berjudul Memahami Whistleblower oleh Haris, dkk (2011: 71) menyatakan bahwa praktik whistleblowing system dilakukan dengan cara: a. Komitmen Perusahaan dan Karyawan Diperlukan adanya pernyataan komitmen kesediaan dari seluruh karyawan untuk melaksanakan sistem pelaporan pelanggaran sehingga karyawan dapat berpartisipasi aktif untuk ikut melaporkan bila menemukan adanya pelanggaran. b. Komitmen Perusahaan Untuk Melindungi Dan Menindaklanjuti Laporan Whistleblower Laporan-laporan dari para whistleblower tersebut tidak hanya dibiarkan, tetapi ditindaklanjuti dengan penelitian dan investigasi. Bahkan dalam kondisi tertentu perusahaan berkomitmen untuk melindungi whistleblower jika mengancam jiwa, harta benda dan pekerjaannya. c. Mekanisme Penyampaian Laporan Pelanggaran 1. Infrastruktur dan Mekanisme Penyampaian Laporan, menyediakan saluran khusus yang digunakan untuk menyampaikan laporan pelanggaran. 2. Kerahasiaan, identitas pelaporan harus dirahasikan dan dijaga dalam sistem ini. 3. Kekebalan Administratif, mengembangkan budaya yang mendorong karyawan untuk berani melaporkan tindakan pelanggaran yang diketahuinya. 4. Komunikasi dengan Pelapor, dalam komunikasi ini pelapor juga akan memperoleh informasi mengenai penanganan kasusyang dilaporkannya, apakah ditindaklanjuti atau tidak. 5. Investigasi, dapat dilakukan untuk menindaklanjuti pelaporan pelanggaran. 6. Mekanisme Pelaporan, sistem pelaporan dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat memastikan bahwa semua pelanggaran yang telah dilaporkan telah tertangani dengan baik. 2.1.4 Regulasi Whistleblower The Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX), Seksi 806 tentang Employee Whistleblower Protection. Untuk pertama kali memberikan perlindungan kepada mereka yang melaporkan terjadinya kecurangan oleh pegawai pada perusahaan swasta. Undang-undang tersebut melarang balas dendam kepada para pegawai yang telah melaporkan adanya kecurangan atau salah kelola yang terjadi pada suatu perusahaan. Bagi para pengusaha yang melakukan balas dendam terhadap peniup peluit akan dikenakan denda atau penjara bahkan dapat kedua-duanya. Di Indonesia, pada 10 Agustus 2011 Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA telah memberikan panduan kepada hakim untuk mengategorikan saksi pelaku sebagai justice collaborator, yakni: (1) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu; (2) mengakui kejahatan yang dilakukannya; (3) bukan pelaku utama dalam kejahatan itu; dan (4) memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
2.2. Audit Investigatif 2.2.1. Definisi Audit Investigatif Audit investigatif adalah serangkaian kegiatan mengenali (recognize), mengidentifikasi (identify), dan menguji (examine) secara detail informasi dan fakta-fakta yang ada untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya dalam rangka pembuktian untuk mendukung proses hukum atas dugaan penyimpangan yang dapat merugikan keuangan suatu entitas (perusahaan/organisasi/negara/daerah) yang dikutip dari (id.wikipedia.org/wiki/audit). Hal ini selaras dengan pernyataan Sudarmono, dkk (2008: 76) bahwa audit investigatif merupakan sebuah kegiatan sistematis dan terukur untuk mengungkap kecurangan sejak diketahui, atau diindikasikannya sebuah peristiwa/ kejadian/ transaksi yang dapat memberikan cukup keyakinan, serta dapat digunakan sebagai bukti yang memenuhi pemastian suatu kebenaran dalam menjelaskan kejadian yang telah diasumsikan sebelumnya dalam rangka mencapai keadilan. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa audit investigatif merupakan cara yang dapat dilakukan oleh auditor untuk mendeteksi dan memeriksa kecurangan terutama dalam laporan keuangan yang sedang atau sudah terjadi menggunakan keahlian tertentu dan teknik yang dimiliki auditor. 2.2.2. Tujuan Audit Investigatif Menurut Sudarmono, dkk (2008: 77), audit investigasi digunakan untuk menentukan kebenaran permasalahan melaui proses pengujian, pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti yang relevan dengan perbuatan fraud dan untuk mengungkapkan faktar-fakta fraud. Dengan demikian, tujuan audit investigatif yaitu membantu penyidik untuk membuat terang perkara pidana ekonomi yang sedang dihadapi penyidik. Auditor bertugas mengumpulkan bukti-bukti surat yang mendukung dakwaan jaksa. Tujuan audit investigatif berdasarkan pengaduan masyarakat adalah untuk melakukan audit lebih lanjut untuk mencari kebenaran dari pengaduan tersebut. Tujuan audit berdasarkan hasil temuan sebelumnya adalah untuk mengadakan audit lebih lanjut untuk membuktikan kecurigaan kecurangan yang terjadi. 2.2.3. Jenis Audit Investigatif Yenny (2008: 16) mengemukakan terdapat dua jenis audit investigatif, yaitu: 1. Audit Investigatif Proaktif, dilakukan pada entitas yang mempunyai resiko penyimpangan tetapi entitas tersebut dalam proses awal auditnya belum atau tidak didahului oleh informasi tentang adanya adanya indikasi penyimpangan yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan negara dan atau perekonomian. 2. Audit Investigatif Reaktif, mengandung langkah-langka pencarian dan pengumpulan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung dugaan/sangkaan awal tentang adanya indikasi penyimpangan yang dapat menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan negara dan atau perekonomian negara Akuntansi Indonesia (2008: 20) dalam Yenny (2008: 16). 2.2.4. Teknik Audit Investigatif Menurut Tuanakota (2006: 229) terdapat tujuh teknik audit yang sering dilakukan oleh auditor yaitu: 1. Memeriksa fisik (Phisical examination), yaitu perhitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang aktiva tetap dan barang berwujud. 2. Meminta konfirmasi (Confirmation), yaitu meminta pihak lain untuk menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. 3. Memeriksa dokumen (Documentation), berupa informasi yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronik/digital. 4. Review analitik (Analythical Review), yaitu didasarkan atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, dan berusaha menjawab sebabnya terjadi kesenjangan. 5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditan (Inquiry of the auditee), untuk memberikan keyakinan dan bukti yang cukup bagi auditor dalam mengambil keputusan. 6. Menghitung kembali (Reforming), yaitu menghitung kebenaran dalam perhitungan. 7. Mengamati (Observation), diartikan sebagai pemanfaatan indera untuk mengetahui sesuatu. 2.2.5. Laporan Audit Investigatif Formulir laporan kecurangan memberikan format yang diusulkan untuk laporan akhir untuk dipergunakan dalam mendokumentasikan kegiatan sekitar kejadian atau kecurangan korupsi. Menurut Karni (2000: 133), isi laporan investigatif berisi: a) Dasar Audit Investigatif; b) Temuan Audit Investigatif; c) Tindak lanjut; dan d) Saran-saran perbaikan. Sedangkan Untuk laporan Audit Investigatif yang akan diserahkan kepada kejaksaan, temuan audit memuat: a) Modus Operandi; b)Sebab-sebab terjadinya penyimpangan; c) Bukti yang diperoleh; dan d) Kerugian yang ditimbulkan.
2.3. Fraud 2.3.1 Definisi Fraud Sudarmono, dkk (2008: 11) mendefinisikan fraud dari tiga unsur penting yaitu: a) Perbuatan tidak jujur; b) Niat/Kesengajaan; c) Keuntungan yang merugikan orang lain. Hal ini membuktikan bahwa fraud tidak sama dengan kesalahan atau ketidak-sengajaan. Fraud mengacu pada tindak pidana seperti perbuatan curang atau kecurangan, pencurian, pemerasan, penggelapan, merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit dan korupsi Tuanakota (2006:95). Dengan demikian, berdasarkan pengertian fraud yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan bahwa fraud merupakan penipuan yang disengaja dilakukan yang dapat menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku fraud. 2.3.2 Faktor Terjadinya Fraud Tuanakota (2006: 106) menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan fraud dan dikenal sebagai fraud triangle yaitu: 1. Peluang (opportunity), dengan mempunyai pengetahuan pelaku dapat melihat peluang mewajarkan aktivitas fraud demi mendapatkan kekayaan dan keuntungan. 2. Tekanan (pressure), dimana keadaan finansial atau non finansial merupakan dorongan seseorang untuk melakukan fraud. 3. Rasional (rationalization), terjadi karena sikap iri hati, dendam, marah, dan ingin cepat kaya. Penyebab fraud yang dijelaskan Bologna dengan GONE theory dalam Soepardi (2010:6), yaitu: 1. Greed (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang. 2. Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan fraud terhadapnya. 3. Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar. 4. Exposure (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku fraud apabila pelaku ditemukan melakukan fraud. 2.3.3 Klasifikasi Fraud Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam Tuanakota (2006: 98) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Fraud tree dapat membantu akuntan forensik mengenali dan mendiagnosis kecurangan yang terjadi. Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama, yakni Corruption, Asset Missappropiation, dan Fraudulent Statements.
(Sumber: Tuanakotta, 2006: 98) 1. Corruption, korupsi terjadi apabila memenuhi tiga syarat yaitu: 1) melawan hukum, 2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, 3) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. a. Conflict of interest atau benturan kepentingan sering ditemui dalam bentuk bisnis pejabat/penguasa dan keluarga serta kroni-kroninya. b. Bribery atau penyuapan merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan bisnis dan politik di Indonesia. c. Illegal gratuities pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan. d. Economic extortion merupakan ancaman terhadap rekanan, ancaman ini bisa secara terselubung atau terbuka. 2. Asset Misappropriation, pengambilan aset secara ilegal (tidak sah/melawan hukum) yang dilakukan oleh sesorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut disebut menggelapkan. Asset Misappropriation dalam bentuk penjarahan cash dilakukan dalam tiga bentuk yaitu: a. skimming (uang dijarah sebelum uang tersebut masuk ke perusahaan). b. larceny (uang dijarah sesudah uang tersebut masuk ke sistem/perusahaan). c. fraudulent disbursements (penggelapan aset). 3. Fraudulent Statements, kecurangan laporan keuangan merupakan fraud yang dilakukan oleh manajemen yaitu dalam menyusun laporan keuangan sehingga merugikan investor dan kreditor. a. Financial yaitu berupa salah saji baik overstatement maupun understatement yang material. b. Non Financial yaitu berupa penyampaian laporan keuangan yang menyesatkan. 2.3.4 Korupsi Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa korupsi adalah setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999). Dengan demikian, dari definisi tersebut terdapat beberapa unsur penting mengenai korupsi yaitu: 1) Setiap orang; 2) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; 3) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana, dan jabatan; dan 4) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
III. Simpulan Untuk melaporkan atau tidak atas terjadinya penyimpangan yang terjadi dalam suatu unit organisasi merupakan suatu keputusan yang sangat sulit bagi sejumlah orang. Keputusan tersebut merupakan suatu pilihan yang bersifat pribadi dan memiliki risiko yang tinggi. Keputusan tersebut juga sulit secara etika, karena whistle blowing berada dalam posisi suatu konflik diantara dua tugas yang harus dilakukan, yaitu untuk melindungi publik dan loyal pada organisasi. Meskipun demikian, loyalitas tidak berarti untuk melanggar peraturan seperti argumen yang disampaikan oleh kelompok agen yang loyal. Keputusan diantara dua tugas tersebut mensyaratkan seorang pegawai untuk melakukan pertimbangan yang sangat hati-hati. Salah satu kesimpulan adalah whistle-blowing dibenarkan secara etika dalam kondisi khusus yang dipertimbangkan secara hati-hati. Setiap pegawai memiliki kewajiban untuk tidak menjadi bagian dari aktivitas yang ilegal atau immoral. Melaporkan adanya kegiatan penyimpangan (korupsi) merupakan salah satu jawaban yang dapat diberikan oleh seorang pegawai ketika mengetahui adanya tindakan menyimpang yang terjadi dalam organisasi. Selain itu para pegawai akan bertanya lebih lanjut bagaimana melaporkan adanya aktivitas tersebut dalam cara yang benar. Dengan banyaknya whistleblower di Indonesia baik di organisasi sektor publik maupun sektor privat secara tidak langsung dapat mempermudah tugas auditor investigatif. Dengan kata lain kicauan whistleblower merupakan bagian penting yang sangat diperlukan oleh auditor investigatif. Auditor investigatif dapat langsung menanyakan mengenai kasus yang sedang dihadapi kepada whistleblower. Namun di sisi lain, banyak pemikiran bahwa whistleblower sama saja dengan saksi. Hal inilah yang menyebabkan beberapa kasus korupsi di Indonesia terdapat seorang yang telah berstatus tersangka, saksi, dan juga berperan sebagai whistleblower sehingga mereka terpaksa menjadi whistleblower ketika kasus tersebut terungkap bukan ketika kasus tersebut masih belum terungkap. Oleh karena itu, dengan lahirnya peraturan-peraturan maupun pembahasan mengenai whistleblower dapat memberikan pandangan kepada semua orang untuk berani mengungkap kecurangan di organisasinya. Sehingga kasus-kasus korupsi di Indonesia akan terungkap dan dapat mengurangi tindakan korupsi yang sekarang menjadi penyakit di dalam perekonomian Indonesia.
IV. Daftar Pustaka Ahadian, Medhi. (2010). Peranan Audit Investigatif Dalam Mengungkap Kecurangan (Fraud) Dana Bantuan Sosial Pada Lembaga Pemerintahan (Studi kasus pada Kepolisian Daerah Jawa Barat). http://nasional.kompas.com/read/2014/08/03/16302581/ICW.Mayoritas.Pelaku.K orupsi.dari.Pejabat.Daerah.Merata.di.Seluruh.Indonesia (diakses pada tanggal 15 Oktober 2014). http://nasional.kompas.com/read/2014/08/18/10085091/Tren.Korupsi.Naik.Lagi (diakses pada tanggal 15 Oktober 2014). http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/168-artikel-pengembangan- sdm/10977-peran-peniup-peluit-dalam-pemberantasan-korupsi (diakses pada tanggal 15 Oktober 2014). id.wikipedia.org/wiki/audit (diakses pada tanggal 15 Oktober 2014). Karni, Soejono. "Auditing. Audit Khusus Dan Audit Forensik Dalam Praktik."Jakarta. FEUI (2005). Peranan Akuntan Publik Dalam Menceah Dan Mendeteksi Kecurangan Pelaporan Keuangan. Jakarta. FEUI (2000). Novita, Dyah Ratna Meta. (2013, 23 Agustus). Berikut Hasil Audit BPK Soal Hambalang. http://Republika.co.id. (diakses pada tanggal 15 Oktober 2014). Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. The Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX), Seksi 806 tentang Employee Whistleblower Protection. Tuanakotta, T.M , Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Edisi 2, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Yenny, Fitri. (2008). Analisis peranan Whistleblower dalam membantu auditor investigatif untuk mengungkap kecurangan (fraud) (Doctoral dissertation, Universitas Widyatama).