Você está na página 1de 3

Rambo dan Exit Strategy di Afghanistan

oleh; Teguh W. Utomo

Sekelompok orang di Afghanistan membajak dua truk tanki pengangkut bahan bakar. Aksi ini
ditangkap pesawat patroli Amerika Serikat. Gambar dari pesawat patroli itu dikirim ke markas
komandan lapangan NATO. Komandan dari Jerman memerintahkan serangan udara.
Booom!
Seperti aksi Rambo dalam film, ledakan pun disusul gumpalan api dan asap gelap yang membubung
tinggi ke udara. Korban bergeletakan. Sedikitnya 90 tewas, dan puluhan lainnya luka-luka bakar. Tidak
seperti aksi Rambo, korban dalam serangan di kota Kunduz ini kebanyakan warga sipil.
Jika angkanya dikonfirmasi, maka ini menjadi serangan paling mematikan terhadap warga sipil sejak
Jenderal Stanley McChrystal, sang komandan pasukan AS sekaligus komandan pasukan koalisi
Afghanistan, mengeluarkan aturan baru kontra-insurgensi ketat untuk meminimalisir korban sipil.
Sejak runtuhnya rezim Taliban pada 2001, provinsi Kunduz relatif tenang. Di situ, Tim Rekonstruksi
Provinsi (PRT) dari Jerman mengkoordinir upaya pembangunan, termasuk jalan dan jembatan, yang
hancur akibat perang. Misi aslinya adalah: tentara Jerman dilarang menembak lebih dulu. Namun,
meningkatnya serangan roket dan bom meminta korban jiwa dan tim bantuan luar negeri mulai tidak
kerasan. Maka, pasukan Jerman diizinkan melakukan pertempuran. Juli lalu, pasukan Jerman
melancarkan operasi militer terbesar sejak Perang Dunia II dengan melakukan pembersihan distrik
Chahar Dara di kota Kunduz.
Operasi ini awalnya baik-baik saja. Masalah muncul saat inisiatif militer Jerman justru menimbulkan
banyak korban sipil dalam serangan Jumat lalu di kota Kunduz. Pihak AS menyebut para komandan
lapangan Jerman mengabaikan prosedur operasi. Pihak Jerman membela diri bahwa laporan militer
menduga bahan bakar itu digunakan sebagai bom bunuh diri.
Investigasi intensif sedang dilakukan untuk memastikan apa yang terjadi terkait aksi ala Rambo ini.
Namun, tak ayal, Uni Eropa mengecam serangan itu dan koalisi NATO di Afghanistan mulai retak.
Sejumlah pihak juga mempersiapkan exit strategy. Rupanya, mereka menilai keterlibatan di
Afghanistan sudah tidak lagi menguntungkan secara domestik maupun internasional.
Sejumlah jajak pendapat mengindikasikan, intervensi di Afghanistan tidak mendapat dukungan
populer. Jajak pendapat yang dilakukan CNN menunjukkan, 57 persen penduduk AS menentang
keterlibatan dalam perang Afghanistan dan 40 persen merasa peperangan itu tidak bisa dimenangi. Di
Prancis, 64 persen penduduk menentang misi Afghanistan. Dua pertiga penduduk Jerman juga ingin
pasukannya pulang sekarang.
Korban juga semakin meningkat. AS, yang memasok lebih dari 60.000 tentara atau sekitar dua pertiga
dari total pasukan asing di Afghanistan, kehilangan sedikitnya 738 tentara sejak invasi akhir 2001.
Agustus kemarin menjadi bulan paling berdarah, dengan terbunuhnya 47 tentara. Sementata itu,
pemerintah AS di dalam negeri menghadapi resesi dengan defisit anggaran triliunan dollar. Masalah
Afghanistan jadi makin menyusahkan.
Kasus Kunduz juga menyulitkan pemerintah Jerman. Kanselir Angela Merkel, yang punya 4.200
tentara di Afghanistan, akan menghadapi pemilu parlementer 27 September. Isu keteledoran komandan
lapangan Jerman di Kunduz bisa memperlemah posisi parlementer partai koalisi Merkel.
Maka, tak heran jika para sekutu NATO segera menyiapkan exit strategy. Inggris, Prancis dan Jerman,
misalnya, melontarkan proposal digelarnya konferensi internasional tentang Afghanistan akhir tahun
ini. Tujuannya, tentu, mendesak pemerintahan dan rakyat Afghanistan bisa memikul tanggung jawab
diri sendiri. Lebih-lebih, saat ini pemilu kepresidenan di Afghanistan sudah berlangsung lancar.

Sikap AS
Yang menjadi kunci masa depan Afghanistan tentu sikap pemegang kekuasaan di Washington dan
Pentagon. Presiden AS, Barrack Obama, sudah memutuskan menarik militernya dari Irak namun
mempertahankan tentaranya di Afghanistan. Sesaat setelah terpilih, ia bahkan menyetujui pengiriman
21.000 tentara tambahan ke Afghanistan.
Namun, opini publik di Amerika Serikat sudah mengarah ke kegagalan misi Afghanistan sebagaimana
halnya di Vietnam. Meski masih banyak warga AS yang cemas serangan teroris, namun umumnya
mereka sadar bahwa retorika Presiden (kala itu) George Walker Bush pasca 11 September 2001 adalah
tidak seutuhnya benar.
Jenderal Colin Powell, yang menjadi Panglima Militer Amerika Serikat dalam Perang Teluk 1990,
pernah mengeluarkan doktrin. Apa yang disebut 'Doktrin Powel' ini menuntut jawaban 'ya' untuk
pertanyaan-pertanyaan berikut ini sebelum AS mengambil tindakan militer. Pertanyaan itu adalah;
• Apakah kepentingan keamanan nasional vital sedang terancam?
• Apakah AS punya tujuan yang jelas dan bisa diraih?
• Apakah risiko dan ongkos sudah dianalisis sepenuhnya dan sejujurnya?
• Apakah semua cara non-kekerasan sudah tidak mempan lagi?
• Apakah ada exit strategy untuk menghindari operasi berkepanjangan?
• Apakah semua konsekuensi atas aksi militer ini sudah dipertimbangkan?
• Apakah tindakan militer ini didukung rakyat Amerika?
• Apakah sudah mendapat dukungan internasional yang luas?
Doktrin Powell itu diabaikan dan diremehkan oleh Menteri Pertahanan (kala itu) Donald H. Rumsfeld
saat invasi Afghanistan pada akhir 2001 dan saat invasi ke Irak awal 2003. Mungkin, militer AS bisa
menumbangkan rezim Taliban di Afghanistan namun tetap tidak mampu menangkap Usamah bin Ladin
pimpinan Al Qaidah. Administrasi pemerintahan Bush telah menjerumuskan AS ke dalam perang
berkepanjangan di Afghanistan.
Sekarang, pemerintahan Bush sudah pergi dan diganti pemerintahan Obama. Sudah waktunya bagi
Obama membuat keputusan yang tepat terkait Afghanistan.
Belakangan ini, lingkungan politik Obama sedang tidak kondusif. Peringkat lapangan kerja yang ia
beberkan sedang menurun. Inisiatifnya tentang perawatan kesehatan juga masih bermasalah.
Proposalnya tentang pajak energi dan perdagangan masih mandeg di Senat. Rakyat Amerika juga
merasa dibebani anggaran belanja federal yang memberatkan. Paket stimulus $787 milyar yang
dilontarkannya Februari lalu juga tidak cukup populer.
Masalah di Afghanistan juga membebani Obama. Kelompok anti-perang sudah merencanakan
kampanye besar-besaran. Beberapa orang dekat Obama, termasuk Senator Russ Feingold dari
Wisconsin bahkan mengusulkan 'jadwal waktu tepat' untuk penarikan pasukan AS dari Afghanistan.
Suasana politik yang sangat menyulitkan, memang, bagi Obama.
Menilik Doktrin Powell, AS punya kepentingan berada di Afghanistan untuk menghabisi Al-Qaidah
hingga di Pakistan atau kawasan sekitarnya. Menarik diri dari Afghanistan bisa memberi kesan bahwa
Al-Qaidah lah yang memenangi peperangan mengalahkan AS.
Namun, di sisi lain, Obama juga dihadapkan pada fakta menurunnya dukungan negara-negara sekutu
dan dukungan sebagian besar warga AS. Pada saat yang sama, resesi ekonomi memaksanya harus
mengalihkan sumber-sumber militer untuk kepentingan non-militer di dalam negeri.
Obama tentu tidak bisa menciptakan ratusan atau ribuan Rambo untuk secepatnya memburu Usamah
bin-Ladin pimpinan al-Qaidah –sekaligus mengeruk untung dari royalty film Hollywood. Mungkin,
yang perlu dipikirkan Obama adalah mencari exit strategy yang tepat agar masalah ekonomi dalam
negeri teratasi dan masalah keamanan tidak memberatkan.

*******
Teguh Wahyu Utomo
phone 6281332539032

Você também pode gostar