Você está na página 1de 13

Analisis Kebijakan Dalam Usaha Pengentasan Kemiskinan Berbasis Pada

Ekologi Administrasi
Disusun untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Ekologi Administrasi yang
dibimbing oleh dosen pengampu



DISUSUN OLEH :
MIWAS AKBAR PUPRANANDA
115030101111047
KELAS

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
LATAR BELAKANG
Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri
Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (kata Koes Plus) semua bisa tumbuh, Negara
yang terkenal kaya akan SDA, ternyata permaslahaan kemiskinan menjadi persoalan yang sangat
rumit, negeri yang berbasis agraris, pertanian, ternyata harus mengimport beras, gula pasir, susu,
dll suatu hal yang cukup ironis, sehingga pertanyaan diatas cukup menggelitik semua pihak, baik
ekonom, eksekutif, dan legislative, LSM, dan pertanyaan tersebut tidak hanya menggelitik, tetapi
membutuhkan jawaban, sementara ini jawaban itu belum jelas dan belum akurat.
Sudah banyak pakar ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui Indicator
kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemisikinan, namun pengentasan kemiskinan belum
bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di Indonesia, tentunya timbul sebuah pertanyaan ada
apa dengan kemiskinan di Indonesia ?. Perlu kita simak pertanyaan Prof Mubyarto
mempertanyakan hal yang lebih mendasar Apakahkriteria kemiskinan diperlukan pemerintah,
dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin?Apa gunanya indikator atau kriteria
kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena
sasaran? Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan
selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berartikriteria kemiskinan yang
dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru?
Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak
jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum
mengena sasaran?, kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan
kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil.
Dari Pengamatan dan evaluasi penulis, Identifikasi permasalahan kemiskinan dari
berbagai pandangan, masyarakat merupakan sesuatu hal yang sangat perlu untuk menjadikan
Indikator kemiskinan secara terpadu, tentunya penyebab kemiskinan dan strategi pengentasan
kemiskinan juga akan dimunculakn dalam hasil Identifikasi kemiskinan.



RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana model kebijakan yang diterapkan di Indonesia dalam usaha pengentasan
kemiskinan?
2. Bagaimana analisis dari model kebijakan yang telah diterapkan dalam usaha pengentasan
kemiskinan?
PEMBAHASAN
Model Kebijakan Sosial Pengentasan Kemiskinan
Dalam upaya mengentaskan kemiskinan, strategi awal yang harus dilakukan adalah
mendesain kebijakan sosial dan perencanaan sosial.
Sejumlah ahli seperti Marshall, Huttman dan Spicker (Suharto, 2004:36) memberikan definisi
beragam mengenai kebijakan sosial. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara
melalui penyediaan pelayanan sosial dan bantuan keuangan (Marshall).
Kebijakan sosial juga dipahami sebagai strategi-strategi atau rencana untuk mengatasi
masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman). Kebijakan sosial juga dinilai sebagai
kebijakan yang terkait dengan upaya mewujudkan kesejahteraan, baik dalam arti luas, yang
menyangkut kualitas kehidupan manusia, maupun dalam arti sempit, yang menunjuk pada
beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat
(Spicker). Dari berbagai definisi itu disimpulkan jika kebijakan sosial diarahkan untuk
mengurangi resiko yang timbul dari berbagai permasalahan sosial dan memenuhi masalah sosial.
kebijakan sosial dan perencanaan sosial seringkali sulit dipisahkan karena masing-masing konsep
dalam kenyataannya sering kali dipertukarkan satu sama lain. Di kalangan perencana dan
pembuat kebijakan, kadang mengangap konsepsi kebijakan sosial dan perencanaan sosial
memiliki kesamaan.
Perencanaan sosial diterapkan langsung menyentuh isu-isu dan masalah sosial.
Perencanaan dimulai dari berbagai pertimbangan antara lain:
1. Menerjemahkan tujuan sosial
2. Penanganan masalah-masalah sosial yang utama (major social problems)
3. Memasukan pertimbangan sosial (Introduction (non market) social consideration)
4. Mempertimbangkan kembali kemungkinan-kemungkinan dipertahankannya bidang-bidang
khusus seperti program pelayanan kesejahteraan anak
5. Mengalokasikan sumber daya yang terbatas
6. Mengembangkan migrasi konsep, dari satu bidang kesejahteraan sosial ke bidang lainnya.
Berangkat dari penjelasan tersebut, maka desain perencanaan harus berangkat dari data
mengenai sumberdaya yang ada, memperhitungkan tujuan akhir yang dikehendaki, sasaran dan
prioritas untuk mewujudkannya, jangka waktu mencapai sasaran tersebut, masalah-masalah yang
dihadapi, modal atau sumberdaya yang digunakan serta pengalokasiannya, kebijakan-kebijakan
untuk melaksanakannya, sumberdaya manusia atau organisasi pelaksana dan mekanisme
pemantauan, evaluasi dan pengawasan pelaksanaannya.
Dalam proses penyusunannya perencanaan juga harus melibatkan perencana (planner)
yang tidak hanya berasal dari satu institusi atau departemen yang mengkhususkan pada bidang
perencanaan. Namun, perencanaan disusun oleh pihak lain yang terlibat dalam keseluruhan
pembangunan.
Dalam praktiknya, pemerintah sebenarnya telah mengupaya sejumlah strategi dalam
mengentaskan kemiskinan yang didesain dalam sebuah kebijakan sosial dan program
pembangunan. Bentuknya berupa pemberdayaan sosial, jaminan sosial, rehabilitasi dan
perlindungan sosial. Sejumlah faktor melatarbelakangi pentingnya mendorong kebijakan dan
program pengentasan kemiskinan.
Upaya pengentasan kemiskinan makin agresif dilakukan pemerintah seiring terjadinya
krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1997. Untuk mencegah melonjaknya angka
kemiskinan akibat krisis ekonomi, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial
(JPS) yang dilaksanakan sesuai Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial.
Selanjutnya, melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 2001, pemerintah membentuk Komite
Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berfungsi sebagai forum lintas pelaku dalam
melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya
penanggulangan kemiskinan. Selain itu, upaya penengatasan kemiskinan juga dipertajam lewat
Peraturan Presiden No.54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
(TKPK). Tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat
pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah Indonesia melalui koordinasi dan
sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Masih banyak lagi pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan lainnya seperti
Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Kelompok Usaha Bersama
(KUBE), Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa (TPSPKUD), Usaha Ekonomi
Desa Simpan Pinjam (UEDSP), Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa
Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP),
Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) dan Proyek
Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD). Sejak tahun 2007, pemerintah
kemudian gencar merealisasikan program pembangunan lintas sektoral ke dalam Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang diluncurkan pada tahun 2007.
Jika mencermati sejumlah program pengentasan kemiskinan, pemerintah menerapkan
salah satu model kebijakan sosial yang diarahkan pada upaya pemberdayaan masyarakat menuju
kemandirian, yakni:
1. Model Imperatif
Indonesia termasuk yang mengadopsi model imperatif yang dalam praktiknya diorganisir
oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Berdasarkan Keputusan Presiden No 138 Tahun 1999
tentang Bappenas, Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden itu melaksanakan fungsi menetapkan kebijaksanaan di
bidang perencanaan Pembangunan Nasional, serta penilaian atas pelaksanaannya.
Di era pemerintahan Orde Baru, model imperatif begitu mendominasi dalam proses perencanaan
pembangunan baik berskala nasional maupun daerah. Model imperatif diterapkan sejalan dengan
penerapan sistem politik orde baru yang sentralistik. Dalam pelaksanaannya, arah dan tujuan
pembangunan yang didesain pemerintah Orde Baru didasarkan pada Ketetapan MPR melalui
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sementara jenis perencanaan pembangunan meliputi
perencanaan jangka pendek (tahunan), perencanaan pembangunan jangka menengah (lima
tahunan) berupa Repelita dan Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) yang dilakukan
25 tahunan.
Pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun telah berhasil melaksanakan PJP
Pertama sejak Repelita I sampai Repelita V, dari tahun 1969/1970 sampai 1993/1994,
dilanjutkan dengan pelaksanaan PJP II, meliputi Repelita VI sampai X, dimulai tahun 1994/1995
2018/2019. Pada tahun ketiga Repelita VI, yaitu tahun 1997, terjadi krisis berkepanjangan yang
mengakibatkan Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang II, sehingga Pelita VI dan VII tidak
bisa lagi dilanjutkan.
Opsi untuk memilih desentralisasi adalah konsekuensi dari pilihan politik kebijakan yang
disesuai dengan tuntutan reformasi, di mana pergerakan pembangunan harus linear dengan
aspirasi masyarakat daerah. Delegasi kewenangan penentuan arah pembangunan dari sentralistik
menuju desentralistik itu dikukuhkan lewat UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan. Dalam proses selanjutnya, lewat
evaluasi dan kajian pelaksanaan otonomi daerah, landasan hukum yang memberikan mandat
kewenangan kepada pemerintah daerah itu direvisi dengan disahkan UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Meski demikian, bukan berarti pemerintah pusat melepaskan tanggungjawab
pembangunan di daerah. Di era reformasi saat ini, pemerintah pusat masih menerapkan model
pembangunan imperatif yang dampaknya diharapkan langsung bagi masyarakat daerah.
Implementasi model imperatif dapat dilihat dari realisasi Program Nasional Pemberdayaan
Masyarat (PNPM) Mandiri. Program tersebut merupakan gerakan nasional yang dijalankan
semua kalangan untuk menanggulangi kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja melalui
upaya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandiriannya dalam
tujuan peningkatan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan sosial.
PNPM Mandiri diarahkan untuk menekan jumlah rakyat miskin, memperluas akses pelayanan
kesehatan, pendidikan, perumahan, pemukiman, infrastruktur, permodalan, dan informasi bagi
masyarakat miskin. PNPM juga merupakan bagian dari pelaksanaan kebiajakan percepatan
penanggulan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja untuk mencapai sasaran yang telah
ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009 dan
pencapaian Millenium Development Goals (MDGs).
Di tahun 2010 ini, pemerintah mengalokasikan dana Rp11,8 triliun untuk bantuan
langsung masyarakat dalam PNPM Mandiri. Dana tersebut akan dialokasikan untuk melanjutkan
pelaksanaan PNPM Mandiri 2009 dengan tambahan satu program baru yakni PNPM di bidang
perumahan dan permukiman yang dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat. PNPM
Mandiri di tahun 2010 dilaksanakan di 494 kabupaten atau kota dengan 6.321 kecamatan
sasaran. Selama tahun 2009, pemerintah telah mengalokasikan dana Rp11 triliun untuk bantuan
langsung masyarakat PNPM Mandiri dengan komposisi 69 persen dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan 31 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). PNPM Mandiri tahun 2009 terdiri atas lima program utama yang dilaksanakan oleh
empat kementerian di 6.408 kecamatan di 465 kabupaten atau kota. Program utama PNPM
Mandiri terdiri atas PNPM Mandiri Pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, PNPM Mandiri
Infrastruktur, PNPM Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus, dan PNPM Mandiri Sosial
Ekonomi Wilayah. Selain itu ada juga program PNPM Mandiri yang sifatnya sektoral seperti
PNPM Usaha Agribisnis Pedesaan, PNPM Kelautan dan Perikanan, dan PNPM Pariwisata.

Analisis Problem Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan objek kebijakan sosial. Seperti telah dijelaskan bahwa kebijakan
sosial diarahkan untuk mengurangi resiko yang timbul dari berbagai permasalahan sosial dan
memenuhi masalah sosial. Dalam konteks ini, kebijakan sosial didesain untuk mengatasi atau
mengurani resiko kemiskinan yang merupakan salah satu masalah sosial. Jika mencermati masih
tingginya angka kemiskinan, maka perlu kiranya kebijakan sosial dan program yang
dilaksanakan di evaluasi.
Evaluasi merupakan instrumen penting guna memastikan arah pembangunan kedepan
tetap on the track. Evaluasi menuntut penyusunan kebijakan terus menerus belajar mencermati
realitas sosial. Tatkala ditemukan banyak problem dalam implementasi, maka perlu dilakukan
evaluasi kebijakan maupun program yang pro poor (berpihak pada rakyat miskin). Evaluasi
merupakan suatu metode objektif dan sistematis untuk melihat keberadaan suatu program
pembangunan. Masih tingginya angka kemiskinan menunjukan jika sejumlah program
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum berhasil secara maksimal. Evaluasi program
pengentasan kemiskinan menjadi penting karena persoalan kemiskinan merupakan masalah
sosial yang selalu berkembang dinamis. Evaluasi tidak hanya dilakukan setelah program
dilaksanakan. Evaluasi dilakukan setiap tahap pelaksanaan program guna memastikan arah
program berjalan sesuai rencana.
Evaluasi ditujukan untuk mengukur hasil yang dicapai, baik keberhasil maupun
kegagalan. Metode evaluasi harus bersifat obyektif dan sistematik untuk melihat keberadaan
suatu program pembangunan serta mengukur kemampuan untuk berkembang lebih baik.
Evaluasi mencakup seluruh proses suatu program pembangunan, mulai dari awal program
(meneliti kebutuhan mendesak, memfokuskan perencanaan), rencana program (prioritas),
pelaksanaan program (formatif) dan hasil program summatif. Dari evaluasi maka akan
melahirkan beberapa kesimpulan yakni:
1. Meneruskan atau menghentikan program
2. Memperbaiki pelaksanaan dan prosedurnya
3. Menambah atau mengurangi strategi dan teknik tertentu dari program
4. Melembagakan program yang sama ditempat lain
5. Mengalokasikan sumber-sumber di antara program-program yg bersaing
6. Menerima atau menolak suatu pendekatan atau teori untuk pelaksanaan program
7. Menetapkan kebutuhan (need assessment) untuk menetapkan prioritas
Perencanaan juga gagal bila mengikuti paradigma yang ternyata tidak sesuai dengan
perkembangan serta tidak dapat mengatasi masalah mendasar. Misalnya, orientasi semata-mata
pada pertumbuhan yang menyebabkan makin melebarnya kesenjangan. Dengan demikain, yang
keliru bukan semata-mata perencanaannya, tetapi falsafah atau konsep di balik perencanaan itu.
Solihin membedah beberapa bias-bias perencanaan pembangunan yang menyebabkan gagalnya
pelaksanaan pencapaian tujuan karena ada kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari
pembangunan lebih penting dari dimensi moral, dimensi materil lebih penting daripada dimensi
kelembagaan atau dimensi sosial lebih penting dari dimensi sosialnya. Paradigma tersebut harus
diubah. Paradigma pertumbuhan ekonomi telah gagal. Yeremias T Keban (1999) menjelaskan
ada beberapa permasalahan kelembagaan pemerintah daerah ditinjau dari beberapa dimensi yaitu

1. Kebijakan yaitu belum sesuainya rencana strategis dengan potensi lokal sehingga kebijakan
banyak ditujukan untuk kepentingan pusat yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat
2. Organisasi, dengana danya lembaga yang kaku dan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal
sehingga sentralitas berkembag dan kreatifitas berkurang
3. Manajemen yakni menyangkut adanya sifat top down dan pengawasan yang belum maksimal
4. Akuntabilitas, dengna banyaknya penyalahgunaan jabatan, kurang responsifnya program
terhadap kebutuhan masyarakat
5. Moral dan etos kerja yang rendah.
Para pembuat maupun pelaksanaan kebijakan sosial, harus menyadari betul jika tidak
mudah merealisasikan tujuan (goal) yang telah ditentukan dalam kebijakan sosial. Karena harus
dipahami bahwa kebijakan sosial bersifat dinamis sehingga harus disertai kemampuan
mengindentifikasi realitas sosial yang juga bergerak dinamis. Perlu dipahami, meski kebijakan
telah disusun secara rasional, namun belum tentu tepat sasaran seiring perubahan yang terjadi di
masyarakat. Karena itu, evaluasi kebijakan sosial menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Dalam hal ini, seorang perancang kebijakan harus memahami teknik analisis kebijakan sehingga
dapat mengetahi sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik.
Dunn (1998:117) membagi bentuk analisis kebijakan dalam tiga bentuk yaitu:
1. Analisis Kebijakan Prospektif
Yaitu analisis kebijakan yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi
kebijakan dimulai. Dalam implementasinya cenderung mencari cara beroperasinya. Jadi titik
tekan analisis prospektif adalah apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat. Dalam hal ini,
analisis prospektif merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi yang dipakai dalam
merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan
dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan
keputusan kebijakan.
2. Analisis Kebijakan Retrospektif
Yaitu penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan,
mencangkup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis yaitu analisis
yang berorientasi pada disiplin (discipline oriented analysts), analisis yang berorientasi pada
masalah (problem oriented analysts) dan analisis yang berorientasi pada aplikasi (aplication
oiented).
3. Analisis kebijakan yang terintegrasi
Merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang
menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan
kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis
untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para
analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.
Program PNPM Mandiri sebenarnya merupakan hasil evaluasi dari kelanjutan berbagai
program sebelumnya. PNPM Mandiri merupakan program yang disusun dari hasil evaluasi
kendala sejumlah program pemberdayaan masyarakat lainnya, sekaligus sebagai upaya
sinkronisasi semua program yang masih berjalan.
Sasaran dari pemanfaatan langsung PNPM Mandiri adalah kelompok masyarakat miskin,
kelompok pengangguran dan pencari kerja dan kelembagaan masyarakat. PNPM diarahkan pada
perluasan kesempatan kerja melalui upaya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
keberdayaan dan kemandiriannnya dalam tujuan peningkatan kualitas hidup dan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pemberdayaan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam menjalankan proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan
didukung oleh berbagai kalangan atau pemangku kepentingan lainnya.
Pelaku di dukung oleh berbagai kalangan atau pemangku kepentingan lainnya. Pelaku utama
pembangunan adalah masyarakat sendiri. Sementara pemeritnah mendorong pelaksanaan PNPM
melalu pengembangan sistem dan disain program, penyediaan pendampingan serta pendanaan
stimulan dalam wadah PNPM Mandiri yang akan mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat
dalam menjalankan upaya penanggulanangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja secara
berkelanjutan.
PNPM Mandiri juga merupakan instrumen program untuk percepatan pencapaian
Millenium Development Goals hingga tahun 2015. Pada tahun 2007. PNPM Mandiri dimulai
dengan mengabungkan program program PPK dan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan di 1993 Kecamatan di perdesaan dan 834 kecamatan di perkotaan. Mulai tahun 2008,
seluruh program penanggulangan kemiskinan berbasis pemebrdayaan masyarakat dan lembaga
digabungkan ke dalam PNPM Mandiri.
Tujuan umum PNPM Mandiri adalah meningkatkan kesejahteraan miskin dan meningkatkan
kesempatan kerja. Tujuan khusus yang akan dicapai adalah
Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin, kelompok
perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok yang belum dilibatkan secara optimal dalam
proses pembangunan.
Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel
Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat melalui kebijakan,
program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor budgeting)
Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok swasta, media, LSM dan
sebagainya untuk lebih mengefektifkan upaya penanggulangan kemiskinan
Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat serta pemerintah daerah serta
kelompok penduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya
(Tim Pengendali PNPM Mandiri, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kantor
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahtaraan Rakyat, 2007).
Secara konseptual, PNPM Mandiri memang sangat ideal. Namun, bukan berarti tidak
memiliki celah masalah dalam pelaksanaan program tersebut. Jika mencermati konsepnya,
program PNPM Mandiri didesain sebagai program jangka pendek. Padahal, program
pengentasan kemiskinan pada dasarnya merupakan program jangka panjang yang harus
dilakukan lewat perencanaan komprehensif dan lintas sektoral, dan menekankan pentingnya
evaluasi guna memastikan program tersebut on the track dengan tujuan ideal yang telah
ditetapkan. PNPM Mandiri rencananya akan dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun
2015. Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan MDGs. Dalam rentan
waktu yang singkat, agak sulit memastikan pengentasan kemiskinan lewat program PNPM
Mandiri dapat berhasil optimal. Sebagai program pembangunan sosial, PNPM Mandiri harus
didesain lewat perencanaan jangka panjang, yang prosesnya berlangsung secara terus menerus,
bukan sekedar dikerjakan sekali saja.
Dalam setiap tahap pelaksanaannya, perlu juga dilakukan evaluasi dan pengawasan
(monitoring). Monitoring adalah proses pengumpulan dan analisis informasi (berdasarkan
indikator yang ditetapkan) secara sistematis dan kontinue tentang kegiatan program sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi untuk penyempurnaan program itu selanjutnya. Sementara
evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja program
untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja program. (Hikmat:2009).
Untuk itu, perlu mengidentifikasi apa saja masalah yang kerap dijumpai dalam setiap tahap
pelaksanaan program PNPM.
Jika mencermati realisasinya, PNPM selama ini masih berorientasi pada pembangunan
fisik, belum diarahkan pada pemberdayaan masyarakat. Padahal, program pengentasan
kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah harusnya mampu memberdayakan ekonomi
masyarakat secara berkelanjutan. PNPM Mandiri masih mengacu pada alokasi dana untuk
menutupi kekurangan angaran pada rumah tangga, pendidikan dan kesehatan, kurang pada usaha
memberdayakan masyarakat agar lebih produktif. Realisasi PNPM Mandiri juga didominasi
pemerintah pusat, mulai dari alokasi dana, mengirim fasilitator, hingga mengerjakan kegiatan di
perdesaan. Tulang punggung mengatasi kemiskinan adalah mengarahkan si miskin agar memiliki
kemampuan dalam perlindungan sosial sehingga mampu mempertahankan diri dari ancaman
kemiskinan. Kemampuan masyarakat melindungi dirinya dari kemiskinan sangat penting karena
kemiskinan adalah realitas yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu.
Pemerintah juga seakan kurang menyadari bahwa pengalokasian anggaran dengan jumlah
yang besar untuk Program PNPM Mandiri tidak dapat terus menerus dilakukan. Untuk itu, ke
depannya perlu dipikirkan realisasi sebuah program yang sumber pendanaan tidak lagi
bergantung pada anggaran yang disediakan pemerintah. Pemerintah perlu memikirkan cara agar
masyarakat memiliki kemampuan untuk mengembangkan serta memiliki skema pendanaan yang
efektif. Semisal dengan dikembangkan skema pengembangan Lembaga pengemban Dana
Amanah/LPDAM (Community Trust Fund). LPDA dibentuk sebagai model penyaluran dana
dalam mendukung skema pendanaan yang berkelanjutan bagi program penanggulangan
kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja berdasar pada kebutuhan masyarakat/kelompok
pemanfaat. Pelaksanaan lembaga dana amanah masyarakat sebenarnya sudah banyak dijalankan
di berbagai daerah. Di Kota Palu misalnya, masyarakat di sana sangat antusias mengembangkan
program ini dan menjalankannya dengan baik. LPDA yang ada tersebut pada awalnya dimulai
dengan memberikan dana stimulan dari Pemerintah Pusat sebesar Rp50 juta dan mampu
menghimpun dana dari Pemerintah Daerah dan masyarakat hingga mencapai 600 juta rupiah.
(Sujana Royat, PNPM dan Program Percepatan Pengentasan Kemiskinan, Majalah Komite, Edisi
November 2006).
Dalam konteks ini, ada baiknya pemerintah belajar dari pengalaman model
pemberdayaan masyarakat yang pernah sukses diterapkan Muhammad Yunus, peraih Nobel
Perdamaian 2006 yang sukses melepaskan ribuan rakyat Banglades dari belengu kemiskinan.
Yunus meraih penghargaan maha tinggi lewat Grameen Bank, sebuah bank yang berhasil
menggerakkan ekonomi rakyat miskin. Grameen Bank sebagai karya monumental karena
menggabungkan kapitalisme dan tanggung jawab sosial, khususnya bagi rakyat miskin.
Yunus rela mengucurkan sebagian besar kekayaannya untuk membantu permodalan bagi rakyat
miskin lewat Grameen Bank miliknya. Sejak tahun 1976, Gremeen Bank telah beroperasi untuk
memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin di Bangladesh, khususnya perempuan, tanpa
jaminan. Usaha tersebut berhasil. Yunus pun mendapat gelar Banker of The Poor (bankir untuk
kaum miskin). Indonesia patut menerapkan model pengentasan kemiskinan yang diterapkan
Yunus untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di daerah.
Problem di Indonesia adalah minimnya respon perbankan untuk mengucurkan modal
kepada masyarakat miskin untuk mengembangkan usahanya. Di Indonesia memang ada Bank
Rakyat Indonesia (BRI). Namun, BRI baru memiliki sekitar 5.000 kantor cabang di seluruh
Indonesia. Sementara yang dibutuhkan untuk merambah ke seluruh wilayah Indonesia ada 25
ribu kantor cabang.
Dalam konteks ini, masalah kemiskinan membutuhkan peran pemerintah untuk mendorong para
bankir dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pengembangan mikro kredit agar memberikan
akses permodalan kepada masyarakat miskin agar mereka dapat mengembangkan usahanya.
Model pembangunan Yunus pada dasarnya menitiberatkan pentingnya upaya pemerintah
memperluas sistem kredit keuangan secara kesuluruhan supaya dapat menjangkau semua lapisan
masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Dana kredit itu diarahkan pada upaya micro enterprises bagi kelas kecil dan menengah.
Untuk menerapkan pola hubungan bank dengan masyarakat, pemerintah harus lebih
mengoptimalkan peran perbankan dan LSM dalam mengoptimalkan rencana secara nasional
model pembangunan berbasis kelompok UKM di perdesaan seluruh Indonesia. Pemerintah dapat
mengeluarkan suatu kebijakan yaitu menetapkan 20 persen dari portofolio kredit disalurkan
untuk micro financing program, yang kemudian dikontrol ketat lewat pendampingan terencana
yang dilakukan oleh LSM yang fokus pada pengembangan UKM. PNPM Mandiri juga
membutuhkan pengawasan agar tidak terjadi kebocoran penggunaan anggaran di luar
perencanaan dari program yang diarahkan untuk pengentasan kemiskinan tersebut. Tanpa
pengawasan, program PNPM Mandiri yang dananya sangat besar itu hanya menguntungkan
pejabat setempat, petugas, dan konsultan proyek saja. Sudah tidak menjadi rahasia umum jika
sejumlah proyek pembangunan selama ini hanya menjadi lahan basah bagi pejabat dan
kontraktor proyek karena sensitifitas yang rendah dalam menyejahtarakan rakyat. Karena itu,
perlu ada instrumen kontrol agar dapat menjamin hasil dari PNPM dapat berkelanjutan.
Faktor penting lainnya dalam mendorong efektifitas model imperatif adalah koordinasi
antarinstitusi. Di Indonesia, persoalan ego sektoral antarinstitusi pemerintah masih tinggi. Hal itu
bisa dilihat dari masing-masing departemen atau instansi yang menerapkan model dan program
yang berbeda meski sebenarnya tujuannya sama. Pembangunan sosial yang berskala makro
membutuhkan aksi kolektif dari di lingkungan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai
persoalan publik yang memang mutlak memerlukan integrasi. Setiap institusi harus dapat
semaksimal mungkin mengurangi kepentingannya masing-masing, namun lebih pada
pendistribusian peran dan fungsi dan kerjasama antar institusi dalam merealisasikan program
pembangunan.
Dalam program penanggulangan kemiskinan, masing-masing institusi berorientasi pada
pencapaian programnya sendiri-sendiri. Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan
Kecil (P4K) yang dilaksanakan Departemen (Kementerian) Pertanian, Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) dilaksanakan Kementerian Sosial , Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit
Desa (TPSPKUD) oleh Kementerian Koperasi, Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres
Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri, dan
program lainnya yang dilaksanakan kementerian lainnya. Variasi program tersebut menunjukan
pemerintah belum memiliki skema makro yang dapat memastikan penyelenggaran pembangunan
nasional secara kolektif, terorganisir dan berkesinambungan. Akibatnya, kurang efektifnya
kinerja kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan tesebut.



KESIMPULAN
Program pengentasan kemiskinan pada dasarnya merupakan program jangka panjang
yang harus dilakukan lewat perencanaan komprehensif dan lintas sektoral. Model pendekatan
pengentasan kemiskinan juga harus diarahkan lewat pemberdayaan agar individu maupun
masyarakat kelak dapat mandiri dalam menjalani kehidupan.
Peran fasilitatif terkait kemampuan pekerja sosial dalam melakukan mediasi dan
negosiasi, animasi sosial, pemberi dukungan, membangun konsensus dan memfasilitasi
kelompok. Sementara peran pendidikan terkait upaya peningkatan kesadaran, memberikan
informasi dan pelatihan. Fungsi representasi terkait dengan kemampuan melakukan advokasi,
hubungan masyarakat, meningkatkan jaringan kerja, berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Sementara kemampuan teknis yang harus dimiliki pekerja sosial terkait kemampuan dalam
melakukan penelitian, mengolah dan menganalisi data, manajemen keorganisasian dan
sebagainya.
Dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tersebut merupakan salah satu usaha
kebijakan yang cukup baik dalam mengentaskan kemiskinan di negara ini dimana suatu program
yang telah dibuat yaitu PNPM telah mampu memberikan jalan bagi manusia untuk mendapatkan
suatu pengetahuan tentang bagaimana memberdayakan manusia agar dapat memberikan
kontribusinya melalui potensi potensi yang ada di daerahnya dan tentunya dilaksanakannya
suatu kebijakan tersebut tetap dilaksanakan tanpa merubah, merusak, ataupun menghilangkan
kondisi ekologis yang telah ada di suatu daerah tersebut.


Daftar Pustaka
http://bocahsakti.blogspot.com/2008/01/kemiskinan-dan-ekologis-di-indonesia.html diakses pada
tanggal 23 Juni 2014
http://erizco.wordpress.com/2010/04/18/kebijakan-sosial-dalam-menanggulangi-masalah-
kemiskinan/ diakses pada tanggal 23 Juni 2014
http://hamdiirza.wordpress.com/2009/09/17/pembangunan-berkelanjutan-untuk-mengatasi-
kemiskinan-sebagai-upaya-pengembangan-wilayah-berbasis-penataan-ruang/ diakses pada
tanggal 23 Juni 2014

Você também pode gostar