Você está na página 1de 29

Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596 1650) yang disebut sebagai bapak filsafat modern.

Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang sebagai bangunan yang berdiri sendiri
menurut suatu metode yang umum.

Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat
yang dituntut oleh semua pengetahuan yang ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan
metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.

Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran
tradisional (skolastik) yang pernah diterima tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu
pengetahuan yang dihadapi

Pada mulanya Descartes tidak puas dengan pengetahuan umumnya dengan alasan bahwa misalnya
panca indera itu banyak sekali membohong, oleh sebab itu tidak boleh dijadikan dasar pengetahuan.

Yang dapat dipercaya kebenarannya adalah pikiran manusia, misalnya dalam ilmu pasti. Dalam waktu
kecewa pada kebenaran pengetahuan yang berlangsung selama 9 tahun, timbul suatu pertanyaan pada
dirinya sendiri yang tidak bisa dimungkiri lagi. Pertanyaan itu adalah: saya berakal, jadi saya ada, sebagai
makhluk yang kecewa. Itulah permulaan aliran pikiran rasionalisme modern.

Descartes menganggap ilmu pasti, ilmu yang paling utama dari segala ilmu pengetahuan, karena segala
pokok ilmu pengetahuan bisa ditemukan dalam ilmu tersebut.

Ahli-ahli filsafat rasionalisme ini ada 4, yaitu Descartes, Spinoza, Leibnitz, dan Wolf. Mereka dalam usaha
mencari kebenaran dengan menggunakan perantaraan akal, dengan tandas mengakui bahwa pada
hakekatnya mereka bertemu dengan adanya Tuhan, sebab buat Tuhan hanya ada satu kebenaran saja.

Descartes juga tidak mengadakan pendapat baru, hanya merubah haluan filsafat serta mendatangan
pembaharuan. Kalau filsafat itu di atas dasar pikiran Aristoteles, maka Descartes mendudukkannya di
atas fundamen ilmu pengetahuan, terlepas dari pelbagai prasangkaan dan kepercayaan yang tidak
berdasar pada kebenaran.



Cara yang ditempuhnya ialah menjadikan dasar filsafat itu kesangsian. Untuk itu dia menggunakan
senjata ragu, tidak percaya kepada sesuatu sehingga langit yang menanunginya itu pada mulanya tidak
dipercayainya, demikian juga bumi tempat dia berpijak tidak dipercayainya.

Metode keraguan ini dipergunakan sebagai sistem mencari kebenaran, dan bukannya ia ragu benar-
benar. Sifat ragu-ragu pada manusia itu diteruskannya dengan sangat, sampai akhirnya ia ragu pada
undang-undang mathematik seperti logika, aljabar dan ilmu ukur yang sudah ditetapkan kebenarannya
oleh pengetahuan manusia.

Dua pertanyaan yang dikemukakan Descartes dalam ijtihadnya menetapkan adanya Tuhan yang
menjadikan alam semesta ini. Pertama: benarkah ada Tuhan? kedua, apakah Tuhan yang ada itu?

Untuk mengenal adanya Tuhan, Descartes perlu menempuh jalan yang belum pernah dilalui orang lain
menurut jalan berfikirnya. Seorang harus terlebih dahulu melepaskan dirinya dari tubuhnya kemudian
mencari kebenaran di dalam lautan diri yang telah terlepas dari jasmani. Hal itu bukan saja untuk
mengetahui di luar diri sendiri, tetapi juga demikian untuk mengetahui dirinya yang sebenarnya.[6]

Kepastian bahwa ia adalah sesuatu yang berpikir yang memberi Descartes landasan yang ia perlukan
untuk membangun bangunan pengetahuan. Ia telah mendirikannya dengan metode ragu dan dengan
memakai apa yang disebutnya dengan cahaya nalar. Ia terus menawarkan dua argumen untuk
eksistensi Tuhan. Argumen pertama dimulai dari kesadarannya akan dirinya sendiri sebagai yang ada
yang karena keraguannya, tidak sempurna namun mampu membuat gagasan tentang Tuhan sebagai
wujud yang sempurna.[7]o

Berdasarkan pengalaman penulis, pemikiran Descartes merupakan sesuatu yang alami dan bisa
dijadikan landasan dalam memperoleh serta menguji pengetahuan. Seringkali manusia terjebak pada
pengetahuan (doktrin) yang mereka peroleh sejak mereka lahir. Mereka menyangka bahwa
pengetahuan itu absolut dan tidak bisa diragukan kembali. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa
di dunia ini tidak ada yang absolut kecuali Tuhan dan segala aturan-Nya.

Metode meragukan yang dilakukan oleh Descartes adalah sebuah metode yang bagus dalam menguji
pengetahuan, karena tanpa meragukan sesuatu manusia cenderung puas dengan apa yang ada dan


menjadi idealistik terhadap pengetahuan yang ia miliki. Akan tetapi dibalik itu semua, pengetahuan
tidak semua berasal dari pikiran saja. Ada pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman.

Contohnya, untuk menjadi seorang yang perasa, kita harus bisa merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Untuk itu, manusia harus mengalami sendiri apa yang disebut dengan merasakan, baik itu
suka maupun duka, bahagia maupun menderita. Pengetahuan seperti ini tidak bisa didapatkan hanya
dari proses berpikir, tapi juga melalui pengalaman.

Adapun kelebihan dari pemikiran Descartes ini yang tertangkap dalam pikiran penulis antara lain:

Descartes menyampaikan cara berfilosofi baru yang menggunakan pikiran murni untuk mencapai
kebenaran pengetahuan. Pikiran yang juga ia sebut sebagai esensi dirinya adalah sebuah makhluk yang
bebas dan bisa melakukan apa saja dan bisa mengungkap apa saja. Dalam hal ini Descartes
mengungkapkan berbagai macam kelebihan pikiran.
Descartes ingin menyampaikan kepada seluruh manusia bahwa pengetahuan tidak boleh langsung
diterima begitu saja. Pengetahuan harus diragukan dulu, kemudian dikaji ulang hingga ia tidak bisa lagi
diragukan.
Descartes mengajarkan kita untuk mencapai tingkat kesadaran diatas tingkat kesadaran manusia
kebanyakan. Tingkat kesadaran ini tidak akan bisa dicapai jika kita menerima secara mutlak sebuah
pengetahuan yang disampaikan kepada kita tanpa meragukan kebenarannya. Disamping itu, dengan
kesadaran ini kita menjadi berbeda dan terlepas dari dunia (alam pemikiran) manusia sehingga kita bisa
dengan mudah menghadapi mereka.
Sedangkan kekurangan dari pemikiran Descartes yang bisa dilihat oleh pikiran penulis antara lain:

Descartes menganggap pikirannya adalah sumber kehidupan dan keberadaannya di dunia ini. Hal ini
berimplikasi dia tidak mempercayai roh-roh, jin dan makhluk yang tak bisa dijangkau oleh pikirannya.
Descartes terkesan tidak percaya kepada wahyu. Baginya wahyu hanyalah proses imajinasi dari pikiran
sebagai akibat dari pengetahuan yang diberikan Tuhan kepadanya.
Descartes terkesan tidak mempercayai keberadaan makhluk yang tidak memiliki pikiran. Baginya
tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah benda material yang dijadikan bukti eksisitensi Tuhan.
Descartes mengakui bahwa pikirannya tidak mungkin selalu benar. Ada kalanya ia terjebak dalam
kekeliruan sebagai akibat dari kebebasan memilih dan berkehendak yang diberikan Tuhan kepadanya,
dan juga ia terjebak kepada kekeliruan jika ia berhenti berpikir tentang Tuhan.


Descartes terkesan menganggap tubuh manusia tidak lebih sebagai mekanisme alami yang bergerak
sendiri dan terpisah dari pikirannya. Walaupun dia mengakui bahwa pikiran dan tubuh itu menyatu, tapi
dia tetap membedakan dua hal tersebut.

Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh
fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar
filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi
bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini
merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat
untuk menemukan sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua
pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan
ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua
bidang pelajaran. Karena menurutnya semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang
berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima
suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang
Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode Deduksi,
yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah
ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C.
Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai
sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang terkenal Cogito
ergo sum Aku berpikir maka aku ada.
E. Pola Pikir Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui
iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan
dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah
wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun
begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat
manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada
hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi
humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya
Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-


dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh
atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, umpamanya kepada
masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari
perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan
yang sedang populer.


Pengembangan Ilmu Pengetahuan Terikat Nilai

Dialektika yang muncul dalam literatur filsafat Barat mengenai sains menjadi pembahasan yang penting.
Mengingat benturan antar teori dan pemikiran ilmu pengetahuan dari para ilmuan terus bergulir sejak
masa renaisance hingga post-modern. Setelah ilmu pengetahuan bersatu dengan teknologi pada
pertengahan abad ke-19, sciences menjadi kekuatan penting dan sentral dalam perubahan sosial dan
budaya masyarakat. Karena daya tarik ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dan besar
mempengaruhi secara luas ke dalam pikiran setiap manusia. Pengaruhnya telah mewarnai seluruh
masyarakat dunia dari Timur hingga Barat. Efek dominan ini terpengaruh oleh model epistemologi yang
berkembang terutama aliran rasionalisme dan empirisisme.

Kecenderungan masyarakat ilmiah untuk menikmati ilmu pengetahuan yang dirumuskan bersama
dengan paradigmanya, membuat rasa ingin tahu yang mendalam oleh sebagian ilmuan lainnya, seperti
yang dialami Thomas S. Kuhn. Ilmuwan ini melihat adanya ketidakpedulian terhadap sesuatu yang ada
dibalik ilmu pengetahuan itu. Di satu pihak, masyarakat hanya menikmati ilmu pengetahuan dalam skala
praktis, sedangkan di pihak lain para ilmuan menerapkan penelitian dan eksperimennya dengan kadar
persepsinya terhadap alam yang menurutnya sudah tepat. Kedua sikap tersebut menuntun Thomas S.
Khun untuk melakukan sebuah upaya mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan berkembang tidak bisa
lepas dari paradigma masyarakat ilmiah. Maka Kuhn mencetuskan apa yang ia sebut sebagai revolusi
sains (science revolution).

Pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan Kuhns Paradigm yang dikembangkan oleh Thomas S.
Kuhn dalam tulisannya The Structure of Scientific Revolution. Pemikiran tersebut memberikan gambaran
bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara revolusioner. History of science merupakan gambaran
menyangkut perubahan berpikir/pemikiran manusia.



Memahami perubahan pemikiran terkait tentang perubahan-perubahan tentang teori yang dianut atau
disepakati para pakar, dan pemahaman tentang karakteristik sosiologis masyarakat ilmiah/para pakar
dalam hubungannya dengan sikap perubahan. Bentuk perubahan berpikir ini membentuk suatu
paradigma (cara pandang) bagi setiap masyarakat ilmiah. Masyarakat ilmiah pada paradigma ini
menempatkan atau mendorong argumentasi tentang sebuah kebenaran ilmu pengetahuan itu relative.

Secara singkat, rencana terbuka kemajuan ilmu pengetahuan berdasarkan Kuhns paradigm ini dapat
digambarkan sebagai berikut:

Bagan Rencana Kemajuan Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Khuns Paradigm





Sumber: diolah dari Thomas S. Kuhn. 2008. The Structure of Scientific Revolution. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya


Berdasarkan bagan di atas, Kuhn menjelaskan bahwa Pre-science merupakan characterized by total
disagreement and constant debate over fundamentals.Fase normal science: involves detailed attempts
to articulate a paradigm with the aim of improving the match between it and nature. A normal scientist
must be uncritical of the paradigm in which he works. A scientific revolution yang dimaksudkan
corresponds to the abandomment of one paradigm and the adoption of new one, not by individual
scientist only but by the relevant scientific community as a whole. A more and more individual scientists,
for a variety of reasons, are converted to the new paradigm. Jadi Ilmu pengetahuan berkembang
berdasarkan observasi individual ilmuwan yang bersangkutan dan memberikan interpretasi masing-
masing. Sebagaimana different scientists or groups of scientist may well interpret and apply the
paradigm in somewhat different way.

Pengembangan Ilmu Pengetahuan Bebas Nilai



Pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan paradigma evolusi pengetahuan, Karl R. Popper ini
merupakan antithesa atas Kuhns paradigm. Karl R. Popper dalam karyanya The Logic of Scientific
Discovery memberikan kritikan bahwa: (1) Progress through revolutions is Kuhna altrnative to the
cumulative progress characteristics of inductivist accounts of science. Scientific knowledge grows
continuously as more numerous and more various observations are made, enabling new concepts to be
ferformed, old ones to be refined, and new lawful relationship between them to be discovered; (2)
From Kuhns particular point of view, this is mistaken because it ignores the role played by paradigms in
guiding observation and experiement. It is just because practised within them that the replacement of
one by another must be revolutionary one. Berdasarkan kritikan tersebut, Karl R. Popper menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan bukan semata-mata produk kesepakatan sosial; ilmu pengetahuan
berkembang secara evolusioner; perkembangan ilmu pengetahuan melalui subjek peneliti; dan rumus
perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu: problem 1, teori tentatif, errorelimination, dan muncul
problem 2.

Dari paradigma evolusi pengetahuan inilah memberikan penegasan bahwa pertimbangan moral dalam
pengembangan ilmu pengetahuan terkesampingkan. Ilmu pengetahuan harus bebas dari segala nilai
agar dapat menempatkan diri secara objektif. Pengembangan ilmu pengetahuan pada paradigm ini
penegasian pada kategori etika/moralitas.





B` . Bebas Nilai
Bebas nilai merupakan tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan
dan karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain
di luar ilmu pengetahuan.
Namun tuntutan bebas nilai ini tidak mutlak karena tuntutan ini hanya berlaku bagi nilai lain di luar nilai
yang menjadi taruhan utama dan perjuangan ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan harus tetap
peduli akan nilai kebenaran dan kejujuran.
C. Teori Tentang Nilai


Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena
kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value
free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih
cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek
penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi
sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan
sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu
manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia.
Meminjam istilah carl Gustav Jung bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang
melahirkan Goethe.
D. ILMU, Antara Bebas atau Terikat Nilai
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang
didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi
atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan permasalahan di luar
objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya seperti hal yang berbau mitologi. Dengan demikian
netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Hal ini
sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu
tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua,
yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi
dengan menggunakan simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sains
formal netral karena berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains
empirical tidak netral. Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-
jalinan sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma
yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan
ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan
harus menilai antara yang baik dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia
menentukan sikap.
Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang mempengaruhinya.
Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya karena tidak akan dikenal sebagai ilmu
pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu
bukan hanya untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak


dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai. Paradigmalah yang menentukan jenis
eksperimen dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang
mereka anggap penting dan manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan
berhubungan dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan
dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya secara otomatis tanggungjawab
sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang timbul, karena disibukkan dengan kegiatan keilmuan
yang diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan
negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan.
Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap
pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.
Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak kenetralan ilmu?
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering menimbulkan
permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error
sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks
ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan
moral.
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau terikat nilai (valuebond)
memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan
mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas
dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb.


Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu terikat nilai/ ilmu tak
bebas nilai (value bound). Berikut penjelasannya,
1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai
Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang menyatakan bahwa ilmu
dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama seklai
dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan
pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktro eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu
bebas nilai, yaitu:
a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus
bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural, dan social.


b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di sisni
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan
ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Dalam pandanagn ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat dibenarkan, karena hal
tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkdang hal tersebut dapat merugikan lingkungan.
Contoh untuk hal ini adalah teknologi air condition, yang ternyata berpengaruh pada pemansan global
dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk
pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulakan pada lingkungan
sekitar. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut, tetapi ilmu bebas nilai menganggap
nilai ekologis tersebut menghambat perkembangan ilmu. Dalam ilmu bebas nilai tujuan dari ilimu itu
untuk ilmu.
2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai
Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai dan
harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas dari dari
nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen Habermas berpendapat bahwa
ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu selau ada kepentingan-
kepentingan. Dia juga membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan masing-
masing;
a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis. Ilmu ini
menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan untuk kepentingan-
kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan
pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi
sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya.
b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama, karena tidak
menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai
sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah hubungan
sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuana ini adalah pemahaman
makna.

c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan mendewasakan manusia
pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya
adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.


Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus di
kembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai
kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya.
D. Kaitan Ilmu
Di dunia modern ini, ilmu sangatlah mendominasi. dipandang dari segi masa depan, ilmu dianggap
sebagai sumber nasihat tentang perilaku. Dalam pandangan Habermas, jelas sekali bahwa ilmu sendiri
dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam,
manusia dan manusia, manusia dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu itu terkait
dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja terlepas dari nilai.
Tanggungjawab ilmu pengetahuan dan tekhnologi menyangkut tanggungjawab terhadap hal-hal yang
akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di masa-masa lalu. Tanggung jawab etis
tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara tepat
dalam kehidupan manusia. Kaitan ilmu terhadap nilai-nilai membuatnya tak terpisahkan dengan nilai



BAB III
KESIMPULAN


Dalam kehidupan sehari-hari, niali berfungsi mirip dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan
manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi
makna terhadap kehidupan ini. Nilai bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh
berupa kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan-
kenyataan lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan.
Dalam filsafat terdapat dua pandangan menenai ilmu, yaitu ilmu bebas nilai dan ilmu terikat nilai/tidak
bebas nilai. Ilmu bebas nilai mengemukakan bahwa antara ilmu dan nilai tidak ada kaitannya, keduanya
berdiri sendiri. Menurut pandangan ilmu bebas nilai, dengan tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan
kita boleh mengeksplorasi alam tanpa batas dan tdak harus memikirkan nilai-nilai yang ada, karena nilai
hanya akan menghambat perkembangan ilmu.
Menurut pandangan ilmu terikat nilai/tidak bebas nilai, ilmu itu selalu terkait dengan nilai-nilai.
Perkembangan ilmu selalu memperhatikan aspek nilai yang berlaku. Perkembangan nilai tidak lepas dari
dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.







Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya
meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut
pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapaii pemahaman
nasional tentang dirinya dan alam. Persoalannya adlah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah
bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang
(1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan
pada hakikat ilmu pengetahuuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu
pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai beriikut. 1. Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni
bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, idiologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan
lainnya. 2. Perlunya kebebeasan usaha ilmiah agar otonomi illmu pengetahuan terjamin kebebasan itu
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri. 3. Penelitian ilmiah tidak luput dari
pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat
universal. Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai , tetapi ilmu-ilmu
sosial harus menjadi nilai relevan. Weber tidak yakin katika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya
seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika
praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang
budaya , maka ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menulis itu semua. Suatu sikap moral
yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir,
2001) Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami
mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang dipihak lain
subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas
masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Tokoh lain Habermas sebagaiman yang ditulis oleh Rizal
Mustansyir dan misnal munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai.
Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan
oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek ini sebenarnya sudah
tersusun secara spontan dan primordial dalam pengallaman sehari-hari , dalam Lebenswelt atau dunia
sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang
kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu
pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral,
karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga
ditentukan oleh kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingannya adalah
memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian antar manusia dan perbaikan komunikasi.


Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu.
Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, otoritas. Pekerjaan merupakan
kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahas a merupakan kepentingan ilmu sejarah dan harmeneutika,
sedang otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial


Kepentingan teknis dalam ilmu pengetahuan ini setidaknya diambil dari dua hal yaitu penguraian logika
penelitian peirce dan dan menguraikan refleksi diri ilmu-ilmu alam. Dalam pandangan peirce penelitian
ilmiah tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kongkret sehari-hari karena kegiatan ilmiah merupakan
satu kegiatan hidup itu sendiri. Habermas berpendapat bahwa pelembagaan proses penelitian
menentukan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada kebenaran ilmu karena merupakan ilmu
pengetahuan yang tak dipaksakan dan intersubjektif.

Peirce membedakan tiga bentuk kesimpulan yaitu deduksi, induksi dan abduksi. Jika kesimpulan harus
menggunakan cara-cara tertentu maka kesimpulan tersebut deduksi. Jika suatu kesimpulan
menunjukkan nyatanya berjalan menurut cara tertentu disebut induksi. Dan akhirnya kalau suatu
kesimpulan membuktikan bahwa sesuatu mungkin berjalan dengan cara tertentu disebut abduksi.
Menurut habermas pendapat Pierce merupakan sistem tindakan instrumental, yang kemudian
habermas mengkonsepkan 3 hal sebgai penguasaan atas kondisi eksternal manusia. Dimana tidakan
tersebut dilaksanakan dalam rangka belajar yang bersifat kumulatif. Pertama kita memisahkan proses
belajar dari proses kehidupan biasa, agar dapat mengkontrol objek secara selektif. Kedua, ketepatan
dapat dijamin dan diperoleh suatu kebenaran ynag dapat dipercaya secara intersubjektif. Ketiga,
mensistematisasi system pengetahuan kedalam suatu teori.
Dalam hal ini kepentingan kognitif menurut habermas mengarahan penelitian ilmu-ilmu alam
bersangkutan dengan menguasai alam secara teknis. Dalam bukunya knowledge and human interest
habermas mengatakan bahwa kita berbicara tentang sesuatu kepentingan konstitusi pengetahuan
kedalam penguasaan teknis yang mungkin, yang menentukan jalannya objektifvasi kenyataan sebagai
sesuatu yang niscaya dalam rangka kerja yang trasedental dari proses penelitian. Artinya kepentingan
teknis merupakan dasar dari ilmu alam, menurut habermas konsesnsus tidak dapat dicapai dengan
logika penelitian namun taraf yang melampaui logika penelitian yaitu komunikasi antar peneliti.

Kepentingan praktis ilmu-ilmu historis-hermeneutis

Dalam kepentingan hitoris-hermeunitis ini akan ibahas dua hal yaitu membahas hubungan anatara
peneliti dan objek yang penelitian dan metodologi dalam penelitian itu sendiri. Dalam segi epistimologi


terdapat perbedaan antara ilmu alam dan ilmu budaya, diaman Perbedaan epistimologi ilmu alam dan
ilmu budaya terletak pada hubungan subjek dan objek yang diteliti. Dalam ilmu alam hubungan peneliti
dan objek yang diteliti berjarak sedangkan pada ilmu budaya tidak.
Karena sikap subjek terhadap objeknya berbeda, maka metode kedua ilmu pengetahuan itupun
berbeda. Metode ilmu alam cenderung menggunakan metode erklaren (menjelaskan) sedangkan ilmu
budaya verstehen (mengerti). Earklaren berarti menjelaskan suatu menurut penyebabnya sedangkan
metode verstehen lebih cenderung menemukan makna dari produk manusiawi seperti sejarah,
masyrakat, interaksi dan sebagainya. Habermas menjelaskan bagaimana hermeunetis ini memahami
makna atas produk budaya dimana konteks konkret kehidupan dapat diungkap melalui ekspresi
kehidupan. Ekspresi kehidupan terdiri dari tiga macam yaitu linguistik, tindakan dan ekspresi
pengalaman.

Kepentingan emansipatoris ilmu-ilmu kritis

Pembedaan yang dilakukan oleh kant, antara rasio murni dan rasio praktis menghadapi kebuntuaanya
ketika akan menjadikan rasio murni tersebut menjadi praktis. kant mengalami kesulitan dalam
menjawan pertanyaan ini. Menurut habermas, untuk menjawab pertanyaan itu, diperlukan suatu
konsep tentang kepentingan yang tidak empiris tetapi tidak juga sepenuhnya terpisah dari pengalaman.

Kepentingan yang dimaksud oleh habermas di sini adalah konstitutif pengetahuan. Jika dengan rasio
teoritis atau murni kita ingin menjawab pertanyaan apakah yang dapat saya ketahui?, dan dengan rasio
praktis murni kita ingin kita menjawab pertanyaan apakah yang dapat saya lakukan?, maka pengetahuan
kritis yang didorong oleh kepentingan kognitif itu ingin mejawab apakah yang dapat saya harapkan?
Pertanyaan pertama yang menuntut jawaban teoritis dan spekulatif ini terlakasana dalam ilmu
pengetahuan. Pertanyaan kedua yang menuntut jawaban praktis dan ini terlaksana dalam etika. Tetapi
menurut habermas, pertanyaan ketiga menuntut jawaban yang bersifat praktis sekaligus teoritis dan di
snilah rasio murni berkaitan dengan rasio praktis.

Lebi lanjut, habermas menjelaskan, jika kant memandang kepentingan praktis ini sebagai hasil rasio
murni yang telah menjadi praktis, fichte memandangnya sebagai tindakan rasio sendiri. Rasio praktis
bekerja dalam kegiatan rasio murni atau dengan kata lain, rasio spekulatif dan rasio praktis identik
dalam satu kegiatan kognitif. Kegiatan kognitif yang dimaksud adalah refleksi diri.



Refleksi diri sebagai kunci habermas, dalam refleksi diri, ego menjadi transparan terhadap dirinya
sendiri dan terhadap asal usul kesadaranya sendiri. Dalam kegiatan refleksi, kita, sebagai ego, tidak
hanya memiliki kesadaran baru tentang diri kita sendiri, melainkan juga bahwa kesadaran baru itu
mengubah hidup eksistensial kita sendiri. Tindakan mengubah hidup itu adalah tindakan emansipatoris.
Karena dalam refleksi diri, kesadaran dan tindakan emansipatoris itu menyatu, maka dalam kegiatan
refleksi, rasio kita langsung menjadi praktis.



Meskipun sejalan dengan Husserl, Habermas menihilkan konsep teori sejati yang dipahami oleh
fenomenologi Husserl tersebut. Fenomenologi Husserl memang berusaha menemukan hubungan antara
teori dengan dunia kehidupan yang dihayati (Santoso, 2003: 231). Tetapi Habermas tidak setuju akan
tujuan akhir fenomenologi untuk menghasilkan teori murni yang diyakini dapat diterapkan pada praktik.
Teori murni hasil pendekatan fenomenologi itu juga merupakan tujuan ontologi. Husserl memang
berhasil mengkritik positivisme, tetapi, menurut Habermas, dia tidak melihat kaitan positivisine dengan
ontologi dalam hal pemahaman tentang teori murni itu. Berdasarkan pemahaman ini, Habermas
mencoba mengembalikan pendasaran epistemologinya pada konsep asli tentang theoria, yang artinya
kontemplasi dalam kosmos atau realitas, yang berakar pada tradisi kontemplasi Yunani Kuno. Melalui
kontemplasi. filsuf memisahkan unsur-unsur yang tetap dan yang berubah-ubah.
Usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi di dalam kosmos dan seluruh realitas itulah yang
merupakan dasar proses perubahan teori menjadi ontologi. Yang ingin dicapai oleh ontologi adalah
sebuah penjelasan obyektif tentang seluruh realitas, atau dengan kata lain, teori murni. Habermas
berusaha mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni dengan proses emansipasi (Hardiman, 1993:
5-6).
Pencarian teori murni untuk menemukan tatanan kosmos yang bersifat tetap dan abadi, menurut
Habermas, merupakan ikhtiar yang sia-sia atau ilusi, ketika subyektivitas peneliti `dihilangkari.
Bagaimana mungkin dapat diperoleh sebuah penjelasan ilmiah yang bersih dari kepentingan-
kepentingan subyek peneliti, tatkala subyek ikut terintegrasi dalam kegiatan tersebut. Bagi Habermas,
dengan menyembunyikan kaitan pengetahuan dengan kepentingan dan pengklaiman diri obyektif, ilmu
pengetahuan akan melaksanakan kepentingannya.
Kepentingan ini hilang dalam setiap perbincangan mengenai ilmu, dan tugas teori kritis, menurut
Habermas, adalah menunjukkan kepentingan-kepentingan (Hardiman, 1993: 7). Pertautan antara
pengetahuan dengan kepentingan tersebut dijelaskan dalam tiga cakupan ilmu yaitu; Pertama, ilmu-
ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam) yang berada pada kepentingan teknis untuk menguasai proses-
proses yang dianggap obyektif. Sistem acuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan teknis; kedua, ilmu-ilmu
historis-hermeneutis yang berusaha memahami makna (Sinnverstehen), dan


bukan menjelaskan (Erklaren) fakta yang diobservasi. Dalam terminologi ini maka tugas penafsir
memegang peranan penting untuk mengkomunikasikan makna dalam fakta. Pada konteks ini,
kepentingan praktis ditekankan untuk mencapai saling pengertian atau consensus; ketiga , ilmu-ilmu
kritis merupakan usaha lebih lanjut terhadap apa yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial dalam
menjelaskan berbagai tingkah laku sosial.
Pernyataan dan teori-teori sosial cenderung mengenai proles-proses sosial tersebut sebagai keniscayaan
sebagaimana ilmu-ilmu alam. Lebih dari usaha tersebut, ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa
keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya
dapat diubah. Apa yang dianggap sebagai `hukum-hukum' yang mengatur proses proses sosial itu,
dianggap sudah tidak berlaku. Sebagai contoh metodenya Habermas menyebut `refleksi diri'
(substreflexion).
Kepentingan yang berkaitan dengan proses refleksi diri ini adalah kepentingan kognitif-emansipatoris.
Melalui refleksi diri, orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu
dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut (Hardiman,
1993: 165-178).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara kepentingan dengan pengetahuan tersebut
hanyalah kepentingan teknis belaka yang telah menghasilkan ilmu-ilmu empiris-analitis, baik ilmu-ilmu
alam maupun ilmu-ilmu sosial empiris. Dominasi kepentingan teknis menjadikan ilmu-ilmu empiris-
teknis lebih berhubungan dengan kekuatan-kekuatan produktif atau berorientasi pada usaha untuk
melakukan kontrol teknis atas alam, manusia dan masyarakat. Sementara dominasi kepentingan praktis
telah menghasilkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis, baik ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu sosial-
simbolis.
Kepentingan ini bertujuan menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan komunikatif yang memajukan
interaksi sosial, yaitu dapat memperluas intersubyektivitas otentik serta mengurangi intersubyektivitas
yang tertindas maupun yang tidak terartikulasikan. Sedangkan ilmu-ilmu kritis lebih menekankan diri
pada kepentingan kognitif emansipatoris melalui kekuatan refleksi diri untuk melakukan kerja
emansipatons manusia dari kesadaran palsu (Hardiman,1993: 192-193).

Jurgen Habermas Untuk Menuju Teori Praktis
Teori kritis menurut Habermas di sebut dengan teori dengan maksud praktis berarti tindakan yang
membebaskan model teori kritis dengan maksud praktis ditemukan Habermas. Dalam masalah teori-
teori Habermas mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan peng-etahuan dan kepentingan praktis
ide itu bukanlah tidak serupa dengan mengatakan bahwa seorang mahasiswa mengembangkan suatu
kepentingan dengan maksud untuk memperoleh suatu tingkat dari tujuannya. Kepentingan yang
dibicarakan Habermas ini, bagaimanapun juga dimiliki oleh kita semua dalam keanggotaan masyarakat
manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx, dan kita temukan kritikan utamanya tentang
teori Marx.Kepentingan selanjutnya yaitu kepentingan praktis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu


pengetahuan Hermeneutik yang dengan caranya menginterpretasikan tindakan satu sama lain. Baik
secara individu, sosial masyarakat maupun secara organisatoris secara kritis menurut Habermas.
Kepentingan praktis, kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga, kepentingan
emansipatoris. Dia membangkitkan pengetahuan teoritis, untuk itu Habermas mengambil psikoanalisa
sebagai model untuk mengkaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesadaran sendiri.
Maka, teori bagi Habermas merupakan suatu produk dan memenuhi maksud dari tindakan manusia.
Secara esensial itu adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar


Point Penting dalam pemikiran jurgen habermas.
1. Bahwa Jurgen Habermas adalah filosof dari Jerman yang menggunakan sifat kritis terhadap berbagai
macam persoalan termasuk teori tradisional. Tentu hal itu tidak sendirian, melainkan bersama
temannya Adorno dan Horkheimer. Mereka semua itu berasal dari madzhab Frankfurt, namun dengan
itu dia termasuk taruhannya, dan selalu dikritik orang-orang sekitarnya.
2. Habermas mempunyai kesadaran mengkritisi segala tindakan yang merugikan sosial, baik itu secara
individu kelompok, masyarakat, ataupun organisasi.
3. Habermas menggunakan dua pendekatan dalam mengkritisi sesuatu; gaya pemikiran historis dan
pemikiran materialis. Dengan demikian ia tidak selalu menggunakan gaya filsafat kritis. Karena dia
melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka sosial yang
nyata.
4. Komunikasi menjadi titik tolak Habermas dan itu menjadi dasar dalam usaha mengatasi kebuntuan
Teori Kritis para pendahulunya.



(3). Sosiologi Kritis. Periode pemikiran ini lebih dikenal dengan Interpretative social science (ISS) (CSS).
Arus pemikiran ini lebih merupakan sebuah kritik pembaharuan atas isi pemikiran dan suasana
intelektual teori sosial sebelumnya yang dipandangnya sebagai anti demokratik dan non humanis.
Horkheimer (1969:ix) secara tegas menyebut teori sosial sebelumnya itu sebagai Social discrimination.
Alasannya, karena teori-teori tersebut telah memanipulasi masyarakat dengan penelitiannya yang
sengaja mengambil dan memanipulasi suara terbanyak untuk membenarkan maksud-maksud politiknya
dalam rangka mendiskriminasikan kelompok masyarakat minoritas. Kenyataan yang sama dijumpai juga
pada Hermeneutika sosial Max Weber yang cenderung melanggengkan dominasi kapitalisme melalui
teori bebas nilai-nya.



Habermas dengan Interpretative social science (ISS), memandang bahwa kedua momen pemikiran
sebelumnya itu telah mencetakkan sebuah tragedi agung di dalam pemikiranya yang dilegitimasi di
dalam sebuah rasio yang pincang dan cacat. Sebagai tokoh utama dalam garis pemikiran ini, Habermas
berusaha memecahkan persoalan-persoalan sosial dewasa ini dengan mengaitkan pemikirannya pada
persoalan pemikiran dalam dua periode sejarah sebelumnya.

Habermas tidak bermaksud membuang pemikiran-pemikiran sebelum, namun berusaha untuk mencari
inspirasi padanya serta mengkritik dan mengembangkannya di dalam sosilogi kritis. Ada tiga tokoh
pemikir yang menginspirasi dan menggerakkan pemikiran Habermas, yaitu Marx, Weber, dan Freud
(Habermas 1972: 43-47, 52-54). Habermas sepaham dengan Karl Marx mengenai evolusi Kapitalisme
dan kontradiksi yang terdapat di dalam perkembangan tersebut, serta memahami konsekuensinya
untuk kehidupan pribadi dan sosial. Meskipun demikian, Habermas menaruh kritik yang cukup tajam
terhadap pemikiran Marx dan mengusulkan adanya rekonstruksi atas materialisme historisnya.

Karyanya Theory and Practice (1974) menunjukkan fakta kekeliruan Marx dan sekaligus menunjukkan
kritik pembaharuannya atas empat orde perkembangan sosial yang dirancang Marx dalam mewujudkan
citra masyarakat Komunis yang diidealkannya. Akhirnya, Habermas mengusulkan struktur refleksi-
komunikasi atau rasio-komunikasi sebagai jalan untuk mewujudkan masyarakat emansipasi yang dituju.
Sasaran utama Habermas, dalam hal ini, adalah terciptanya komunikasi yang emansipatoris. Justru
itulah, teori sosial hendaknya mempunyai corak pendekatan dan wilayah yang sama sekali lain dari ilmu-
ilmu alam. Pandangan inilah yang menyebabkan Habermas menolak pendekatan ilmu sosial positivis
(PSS) maupun rasionalitas berdimensi tunggal di dalam ilmu-ilmu sosial interpretasi (ISS).
Konsekuensinya, ia harus membangun sebuah proyek pemikiran yang khas dalam rangka merealisasikan
maksudnya tersebut.

Konsekuensinya, Habermas memadukan di dalam dirinya dua perhatian pokok yaitu minat pada realitas
sosial maupun pada bidang kefilsafatan untuk membahas pertautan antara pengetahuan dengan
fenomena-fenomena sosial, sebagai sebuah proyek pemikiran yang tetap terbuka. Hal ini diakibatkan
oleh keinginannya untuk mengembangkan sebuah sosiologi kritis yang disebutnya sebagai kritik
ideologis.

Melalui pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Frankfurt Habermas berusaha
mengembalikan ilmu pada posisinya sebagai salah satu (bukan satu-satunya) bentuk pengetahuan yang
mungkin mengenai kenyataan. Habermas menunjukan bahwa situasi keilmuwan tersebut membutuhkan
suatu pandangan kritis dari ilmu-ilmu sosial. Pandangan kritis tersebut berfungsi untuk meneropong


kepentingan-kepentingan penguasaan yang tanpa disadari telah menjerumuskan teori-teori positivis itu
ke dalam bahaya. Tegasnya, Ilmu-ilmu sosial kemanusiaan tidak boleh mengacu pada ilmu-ilmu alam.
Harus dikatakan bahwa ilmu-ilmu manusia mempunyai nilai yang khas dan, karenanya, sama sekali lain
dari ilmu-ilmu alam dimaksud.
Model keilmuan itu berdasarkan logika interaksi atau logika hermeneutis (Bertens 1983:219).
Melalui itu, Habermas berusaha merancang suatu konsep tentang ilmu yang terarah kepada praksis
dengan diberikan tempat penting bagi logika dialektis bertegangan atau logika komunikasi
intersubyektif sebagai latar belakang hermeneutika. Menurutnya, hal terpokok dalam model interaksi
ialah selalu ada kepentingan yang melekat tetapi bukan kepentingan penguasaan melainkan
kepentingan untuk saling pengertian dan komunikasi. Inti komunikasinya pada dialog yang berlangsung
dalam suasana yang penuh saling pengertian dan saling pengakuan antarsubyek yang terlibat di
dalamnya.

Melalui dialog yang langsung dalam suasana saling pengertaian dan pengakuan atas kebebasan itu,
diusahakan agar ditaklukkan adanya kemungkinan-kemungkinan teknologis pada humanitas atas nama
kebenaran ilmu atau kemajuan apa pun. Komunikasi dialogis yang bebas penguasaan ini dianggap oleh
Habermas sebagai ruang lingkup sehingga orang harus mencari persepakatan hipotetis tentang tujuan-
tujuan yang dapat diakui semua orang dalam mewujudkan humanitas itu. Praktisnya, potensi teknologis
harus diatur sedemikian rupa sehingga manusia dapat dibebaskan dari segala paksaan untuk
menaklukkan seluruh kehidupannya kepada produksi sosial (industri sosial) yang sistematis. Perubahan
ke arah kebebasan dalam teknologi itu, merupakan syarat fundamental untuk memungkinkan dialog
bebas-penguasaan sehingga warga masyarakat dapat mengambil bagian dengan hak yang sama dengan
cara saling mengakui satu sama lain. Habermas, dalam hal ini, menggantikan kedudukan kaum proletar
dengan ilmuwan yang melibatkan diri di dalam proses ilmiah.

Jelas terlihat bahwa Habermas berusaha membangun sebuah optimisme yang tinggi atas ilmu dan
teknologi, bahkan rasio itu sendiri dengan visi perbaikannya secara radikal. Baginya, ilmu dan teknologi
merupakan daya kreatif yang sungguh penting dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Ilmu dan
teknologi lah yang merupakan faktor yang jelas dalam menentukan keadaan dan perkembangan
masyarakat. Tugas tersebut itulah yang harus dimengerti oleh para ilmuwan itu sendiri. Ilmu dan
teknologi merupakan spesies-spesies pengatahuan yang mesti ditempatkan pada sebuah ajang
pertautan dialektis yang luas dan mendasar. Pertautan tersebut mengarah pada konteks kemanusiaan
yang utuh dan menyejarah serta emansipatif.

Sebagaimana teori, Habermas menunjukkan bahwa ilmu pun harus dipertautkan dengan praksis.
Habermas dalam hal ini menghubungkan praksis dengan kritis-emansipatoris karena ia mau
mengembangkan dan menyusun secara baru struktur-struktur masyarakat dengan meniadakan di


dalamnya segala unsur yang bersifat represif. Subyek yang menjlankan praksis itu adalah umat manusia
yang sedang menuju ke masa depan yang baru. Sehubungan dengan itu, emansipasi atau pembebasan
manusia di dasarkan pada suatu kepentingan, karena bila tidak demikian maka praksis tidak dapat
bersifat kritis sebab tidak dapat dijelaskan sesuatu daripadanya. Habermas dengan ini bermaksud
menunjukkan bahwa, sikap teoretis keilmuan selalu diresapi dan dijuruskan oleh kepentingan-
kepentingan manusiawi.

Habermas memandang pula bahwa rasio instrumental yang menghasilkan ilmu-ilmu teknis melalui
tindakan instrumental merupakan realisasi suatu kepentingan kemanusiaan. Kenyataan tersebut
diakibatkan oleh proses-proses kognitif yang merupakan proses kehidupan. Proses tersebut itulah yang
memotivasikan tindakan instrumental untuk memenuhi suatu kebutuhan akan sukses yang mengarah
pada pemecahan masalah kehidupan, baik yang bersifat empiris (sosial aktual) maupun kognitif
transendental.

Paham keilmuan Habermas selalu berusaha memahami kepentingan manusia secara dialektis
bertegangan antara aspek empiris (sosial aktual) dan transendental. Kedua jenis kepentingan tersebut
mengarah padakepentingan kognitif atau kepentingan konstitutif pengetahuan. Habermas
menunjukkan bahwa, karena kepentingan konstitutif bagi pengetahuan itu bersifat empiris-
transendental maka tidak terpisahkan dari konteks kehidupan manusia. Meskipun demikian,
pengetahuan itu sekaligus melampaui realitas konstitutif tersebut (Habermas 1972:179, 312). Tegasnya,
Habermas dengan ini menolak adanya reduksi ilmu atau pengetahuan pada satu kutub, entah empiris
atau transendental. Baginya, pemutlakkan aspek empiris dalam pengetahuan akan menyesatkan karena
bersifat deterministis. Habermas, untuk itu, membedakan tiga jenis ilmu dengan pamrihnya (interest)
masing-masing.
Pertama, ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis dengan kepentingan penguasaan teknis. Ia
menunjukkan bahwa ilmu-ilmu alam tersebut menyelidiki dan mendeskripsikan gejala-gejala alam
secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan tersebut untuk kepentingan-kepentingan manusia.
Teori-teori ilmiah disusun agar daripadanya dapat diturunkan jenis pengetahuan terapan yang bersifat
teknis. Pengetahuan teknis tersebut menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk mengelola
dunia atau alamnya. Melalui ilmu-ilmu alam yang demikian, ditunjukkan aspek pekerjaan (labor) dalam
sosialitas manusia, sedang kepentingan manusia yang terkandung di dalam ilmu adalah ramalan dan
pengawasan (prediction and control) alam. Jelasnya, letak kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris-analitis
dimaksudkan sebagai pelaksanaan rasio-instrumental untuk kepentingan-kepentingan hidup alami.

Hubungan dengan alam melalui kerja adalah hubungan penguasaan atau hubungan subyek-obyek yang
bersifat satu arah. Pendeknya, diperlukan komunikasi atau konsensus antarilmuwan untuk mencapai


kebenaran-kebenaran ilmiah yang tidak hanya dalam bentuk logika penelitian tetapi melampauinya.
Tahap inilah yang akan dicapai dalam ilmu-ilmu historis-hermeneutis.

Kedua, ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang menurut Habermas mempunyai kepentingan kognitif-
hermeneutis. Ilmu-ilmu historis-hermeneutis ini tidak sekedar menyelidiki sesuatu atau menghasilkan
sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai manusia yang memiliki sesama dan hubungan-
hubungan sosial aktual dan dinamis. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam di atas, golongan ilmu kedua ini
berusaha mengobyektivikasi pengalaman secara utuh tanpa reduksi atau pembatasan. Apa yang
menjadi bahan studi ilmu-ilmu ini adalah pengalaman-pengalaman pra-ilmiah, yang berupa pengalaman
harian. Pengalaman-pengalaman tersebut lebih dialami dari dalam, sehingga subyek berpartisispasi
dengan obyeknya. Jalan yang ditempuh untuk membangun jenis pengetahuan ini adalah bukan melalui
eksperimen melainkan interpretasi atas konfigurasi pemahaman makna dalam teks.

Tujuannya, untuk menemukan pengertian dan pemahaman secara luas dan mendalam akan persoalan
yang menjadi bidang hidup atau konteks hidupnya. Subyek dalam hal ini berusaha memahami ekspresi-
ekspresi kehidupan seperti bahasa tindakan dan bahasa sehari-hari. Konsekuensinya, pengujian
hipotesis harus digantikan dengan penafsiran teks. Akhirnya, hubungan antara subyek-obyek digantikan
dengan subyek-subyek (intersubyektif).

Penegasan Sosio-epistemologi terhadap sifat historis manusia memperlihatkan adanya daya misteri atau
daya perkembangan obyek manusia yang diselidiki. Hasil yang diperoleh dari ilmu-ilmu hitoris-
hermeneutis ini adalah kemampuan komunikasi, saling pengertian, dan saling memahami. Tegasnya,
hermeneutika berfungsi untuk menghindari bahaya kemacetan komunikasi intersubyektif, serta
kemacetan komunikasi di dalam sejarah hidup individu maupun tradisi sosial tempat ia hidup. Melalui
hermeneutik dapat dipertautkan antara tradisi-tradisi yang berbeda-beda dari para individu, kelompok,
atau kebudayaan.

Jelas terlihat bahwa, pemahaman hermeneutis ini pun dibimbing atau diarahkan oleh suatu kepentingan
manusiawi juga. Kepentingan manusiawi ini mengarahkan subyek pengetahuan pada kesadaran tentang
dimensi sosial di dalam pengetahuannya itu sendiri. Kepentingan itu adalah kepentingan konstitutif bagi
pengetahuan yang menentukan syarat-syarat obyektivitas bagi pengetahuan. Akibatnya, kepentingan
tersebut hendaknya selalu mengarahkan tindakan pemahaman ke dalam tingkah-laku praksis dalam
bentuk tindakan-tindakan komunikatif.



Ketiga, ilmu-ilmu kritis yang mempunyai kepentingan emansipatoris. Melalui bantuan psikoanalisa dan
kritik ideologi, ilmu-ilmu kritis berusaha membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada
otonomi dirinya sendiri. Pemikiran kedua kelompok ilmu sebelumnya menunjukkan bahwa, tidak ada
keterkaitan langsung antara tindakan mengetahui dan penggunaan pengetahuan yang dihasilkannya.
Tuntutan kedua bentuk pengetahuan tersebut adalah untuk mencapai taraf teoretis murni yang didasari
oleh usaha rasio sendiri untuk membebaskan diri dari kondisi-kondisi empiris yang berubah-ubah. Ia
mengemukakan bentuk pengetahuan yang ketiga yang mau tidak mau mengaitkan pengetahuan atau
teori dengan kepentingan praktis secara langsung, yaitu, refleksi diri. Jelasnya, bila dibandingkan
dengan kedua kepentingan yang lain, kepentingan emansipatoris bersifat derivatif dan mendasari semua
jenis ilmu.
Skema pemikiran Sosio-epistemologi Habermas, akhirnya, memperlihatkan bahwa jika direfleksikan
kedua bentuk pengetahuan ilmiah yang dibimbing oleh kepentingan teknis dan praktis maka akan
disadari bahwa keduanya dihasilkan oleh rasio yang bertujuan membebaskan diri dari kendala-kendala
alami dan kendala-kendala interaksi sosial. Artinya, kepentingan teknis atau praktis diasalkan dari
kepentingan emansipatoris. Ketika pernyataan-pernyataan teoretis yang dihasilkan, kedua kepentingan
itu membeku menjadi ideologi, kepentingan emansipatoris membimbing refleksi diri untuk
menghancurkan dogmatisme dan ideologi dalam berbagai perwujudannya. Baginya, dogmatisme adalah
kesadaran yang tidak direfleksikan atau kesadaran yang tidak disadari. Marx menyebutnya sebagai
kesadaran palsu atau ideologi. Orang yang berada dalam kungkungan dogmatisme tidak akan mampu
menghimpunkan kekuatannya untuk melakukan refleksi-diri, bahkan ia membuat dirinya sendiri
sebagai benda.

Melalui langkah pengintegrasian psikoanalisis ke dalam Teori Kritis-nya, Habermas bermaksud
menjelaskan bahwa refleksi diri menjadi kegiatan kognitif atau kegiatan ilmu dan teknologi. Refleksi
diri membebaskan subyek dari jerat ketergantungan pada kekuatan-kekuatan yang sudah dihipotesiskan
dan berlaku umum. Bagi Habermas, proses tersebut dikondisikan oleh suatu kepentingan emansipatoris.
Bentuk pengetahuan ini erat kaitannya dengan proses pembentukan diri manusia sebagai individu
maupun lewat kebersamaannya dalam suatu komunitas. Fichte menjelaskan bahwa semua bentuk
pengetahuan secara hakiki mengandaikan kebutuhan akan kebebasan. Kebebasan itulah yang
seterusnya memungkinkan manusia mencapai otonomi dan tanggung jawab. Artinya, semua bentuk
pengetahuan didorong oleh kepentingan emansiptoris dan tanggung jawab secara luas dan mendasar.

Skema Sosio-epistemologi tersebut memperlihatkan adanya tindakan rasio yang menyebabkan ego
membebaskan diri dari dogmatisme atau kesadaran palsu. Tindakan rasio itulah yang disebut sebagai
refleksi-diri. Melalui refleksi diri, ego menjadi transparan terhadap dirinya sendiri dan terhadap asal-
usul kesadarannya sendiri. Akhirnya, melalui skema pemikiran Sosio-epistemologi ini terlihat suatu
pertautan dialektis antara refleksi diri dan tindakan emansipatif atau praksis. Artinya, di dalam kegiatan
refleksi sebagai suatu kegiatan kognitif, orang sebagai ego tidak hanya memiliki kesadaran baru tentang


dirinya sendiri, melainkan kesadaran baru itu juga terus mengubah hidup eksistensialnya sendiri.
Kenyataan tersebut, bagi Habermas, merupakan tindakan emansipatoris. Alasannya, bahwa di dalam
refleksi diri maka kesadaran dan tindakan emansipatoris benar-benar menyatu. Rasio itu sendiri secara
langsung menjadi praksis di dalam refleksi diri sebagai kegiatan kognitif manusia.

Habermas, dalam hal ini, menjelaskan bahwa refleksi-diri adalah intuisi sekaligus emansipasi,
pemahaman sekaligus pembebasan dari belenggu dogmatis (Habermas 1972:208). Refleksi-diri adalah
kegiatan kognitif yang memuat kekuatan emansipatoris. Kegiatan tersebut di dorong oleh kepentingan
yang melekat di dalam rasio manusia itu sendiri, yakni kepentingan emansipatoris. Akhirnya, tindakan
emansipatoris, mendahului refleksi-diri sebagaimana kepentingan itu merealisasikan dirinya di dalam
kekuatan emansipasi yang dihasilkan melalui refleksi-diri. Habermas (1972: 209,314) secara tegas
mengatakan bahwa sebenarnya: Dalam kekuatan refleksi-diri, pengetahuan atau ilmu dan kepentingan
adalah satu. Penegasannya ini menunjukkan bahwa, kepentingan emansipatoris yang membimbing
rafleksi-diri ini bersifat konstitutif baik bagi ilmu, pengetahuan maupun bagi praksis. Praksis sosial dalam
pandangan Habermas dapat diwujudkan di dalam dua hal yaitu, kerja dan komunikasi. Inti kedua hal
tersebut adalah pada pembebasan manusia secara total dan kedewasaan dalam bertanggungjawab.
Singkatnya, Habermas bermaksud menjelaskan bahwa kepentingan teknis dan kepentingan praktis
kegiatan-kegiatan kognitif itu berakar pada kepentingan rasio itu sendiri, yaitu kepentingan
emansipatoris.



Pernyataan bahwa perkembangan ilmu agama selalu terlambat daripada perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga agama selu mencurigai ilmu pengetahuan dan kadang menghukumnya dengan
dalil-daalil yang tidak dapat diterima ilmu pengetahuan, maksudnya adalah : sumber dalil agama adalah
berdasarkan kitab sucinya, yang diturunkan melalui wahyu untuk kepentingan ummatnya, sedangkan
ilmu pengetahuan merupakan refleksi dari kemampuan manusia untuk membentuk peradaban global
dan membawa akibat-akibat besar terhadap kodrat kemanusian yang dipandang sebagai salah satu
unsur dasar kebudayaan, yang selalu berkembang seakan tanpa batas sesuai dengan kehendak dan
harapan manusia untuk mencapai keinginannya.
Ilmu agama yang berdasar kitab sucinya ditafsirkan para pemuka agama terkadang sering hanya
berdasarkan keadaan pada saat zaman Nabi, pada saat ayat-ayat itu diturunkan, padahal ajaran agama
sebenarnya fleksibel mengikuti kebutuhan umat pada zamannya dengan tidak mengabaikan ajaran-
ajaran dasar yang pokok/Tauhid. Artinya ilmu agama yang ditafsirkan dengan tidak mengikiti
perkembangan kemajuamn masyarakatnya./ pranata masyarakat sesudahnya, akan mengakibatkan
kontroversial dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada. Dalam pandangan agama ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan merupakan aspek kehidupan ummat manusia yang tinggi, sedangkan


ilmu pengetahuan hingga kini dianggap sebagai pengawal ummat manusia yang akhir-akhir ini secara
umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam ketimpangan dan pencemaran fisik biologi
sosial dan budaya.
Ungkapan ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh,
secara mendasar menunjukkan integritas religius yang menggerakkan aktivitas keilmuan seseorang.
Kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya dibidang genetika tanpa disadari melampaui ajaran agama.
Dalam konteks ilmu agama rekayasa genetika misalnya selalu bertentangan dengan dalil-dalil agama
sehingga seakan-akan agama mengharamkan perkembangan ilmu kearah tersebut. Keuntungan semu
jangka pendek yang dilahirkan ilmu pengetahuan tidak mustahil dapat menjadi bomerang yang
mengakibatkan dalam kerugian jangka panjang. Ajaran Agama yang mengatakan kehidupan yang
sebenarnya harus karena dari Tuhan akan bertentangan dengan salasatu kemajuan ilmuu,seperti
rekayasa genetika. Penafsiran para ahli agama juga mempengaruhi dalil-dalil dan pernyataannya tentang
sebuah konsep agama dengan suatu teori ilmu pengetahuan baru yang diperoleh, jika manusia (ilmuan
dan masyarakat)tidak mampu memilah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan, maka akan terjadi
keadaan yang statis, tidak berkembang dan tidak ada kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, yang hanya
berlandaskan agama(fanatisme)cenderung tidak toleransi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
baru. Banyak tema-tema yang berkembang dalam kemajuan ilmu pengetahuan yang terkadang
dihambat oleh dalil-dalil agama yang tidak dapat diterima oleh konsep ilmu pengetahuan seperti
perkembangan rekayasa genetika, teknologi informasi, maupun teori partikel elememter lainnya. Maka
seharusnya para ilmuan mengkonfersikan agama terhadap intelektual, yang berlandaskan moral dan
nilai sosial. Hal ini disebabkan karena integritas religius memungkinkan untuk menempatkan diri
seseorang secara positif dalam melakukan aktivitas keilmuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengethuan membentuk pandangan intelektual yang selalu berubah, yang
mempersiapkan akal manusia untuk menerima dan menjalani perubahan serta kontuinitasnya.
Perkembangan ilmu pengethuan juga hendaknya menjalin keharmonisan antara perkembangan baru
dan warisan lama dimasyarakat, disamping mempersiapkan individu untuk menerima pranata-pranata
baru serta berusaha memahaminya, sehingga pengetahuan ilmu agama harus berwatak dinamis dan
merupakan bagian integral dari konsep tentang risalah kehidupan.



Perkembangan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk maksud baik dilandasi dengan landasan
etis, baik eika individu, etika soasil maupun etika lingkungan. Ilmu pengetahuan berkembang
seharusnya bebas nilai agar perkembangannya diharapkan murni berkembang sebagai mana mestinya,
namun tidak terlepas dengan tanggungjawab.
Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan bersifat ambifalen, yang artinya disamping segi
positipnya terdapat pula akibat-akibat negatip yang ditimpulkannya, sehingga perlu nilai sebagai
pembatasan akan perkembangannya. Membutuhkan tanggung jawab profesional keilmuan agar orang


tidak cenderung dan gegabah dalam melakukan kegiatan serta keputusan-keputusan intelektual yang
justru menyusahkan manusia itu sendiri.Tanggungjawab ini bukan mermaksud mencegah usaha
pengembangannya tetapi memberikan arah dan dorongan bagi perkambangan tersebut.Bagi manusia,
tanggung jawab adalah sebuah nilai (valuea}, dengan ini manusia disebut bermartabat dan berbudaya.
Tanggung jawab kultureal dalam pengembangan ilmu pengetahuan mensyarakatkan integritas
pribadi, yang menegaskan integritas intelektual, Manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman, sehingga
inti pengembangan ilmu pengetahuan bukan semata-mata terletak pada usaha mengejar prestasi, tetapi
lebih dari itu, ia merupakan sebuah nilai(value) dan panggilan tugas kemanusian. Perkembangan ilmu
pengetahuan harus dibatasi nilai, baik nilai kemanusia itu sendiri maupun niliai-nilai yang
dianut/disepakati oleh siatu daerah. Tanpa nilai, perkembangan ilmu pengetahuan akan melenceng dari
tujuan dasarnya, mensejahterakan kehidupan manusia menjadi bumerang bagi manusia. Kesadaran
akan aspek-aspek negatif yang melekat pada perkembaangan ilmu pengetahuan menuntut tanggung
jawab ke ilmuan. Masalah tanggung jawab terhadap nilai pada suatu daerah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan diiharapkan dapat mengatasi dan mennjaga keseimbngan alam (pembasmian kimiawi dari
hama tanaman, sistem pengairan, keseimbangan jumlah penduduk) terhadap dalam tatanan kehidupan.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai moral yang bersifat
statis dan universal di sisi lain dapat dijadikan arah dalam menuntun perkembangan ilmu selanjutnya.
Sebab, tanpa adanya bimbingan moral terhadap ilmu dikwatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak
semakin mensejahterakan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghanjurkan kehidupan
manusia. Pada saat ini tepat rasanya pesan ini disampaikan agar ilmu tidaak kebablasan dengan ilmu
hanya untuk ilmu.


2. Apakah perkembangan ilmu bebas nilai atau tidak dan jelaskan apakah untuk kemajuan ilmu
pengetahuan perlu mengacu pada nilai-nilai yang ada pada daerah dimana ilmu itu dikembangkan !
Ilmu dapat berkembang dengan pesat menunjukkan adanya proses yang tidak terpisahkan dalam
perkembangannya dengan nilai-nilai hidup. Walaupun ada anggapan bahwa ilmu harus bebas nilai yaitu
dalam setiap kegiatan ilmiah selalu didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Anggapan itu menyatakan
bahwa ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu
sendiri, yaitu ilmu harus bebas dari pengandaian, pengaruh campur tangan politis, ideologi, agama dan
budaya, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin, dan pertimbangan etis
menghambat kemajuan ilmu.

Pada kenyataannya, ilmu bebas nilai dan harus menjadi nilai yang relevan, dan dalam aktifitasnya
terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai hidup harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis
ilmu jika praktiknya mengandung tujuan yang rasional. Dapat dipahami bahwa mengingat di satu pihak


objektifitas merupakan ciri mutlak ilmu, sedang dilain pihak subjek yang mengembangkan ilmu
dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang
dibuatnya.
Setiap kegiatan teoritis ilmu yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan
tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan yang merupakan kepentingan ilmu
pengetahuan alam, bahasa yang merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, dan otoritas
yang merupakan kepentingan ilmu sosial.
Dengan bahasan diatas menjawab pertanyaan mengapa ilmu tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
hidup. Ditegaskan pula bahwa dalam mempelajari ilmu seperti halnya filsafat, ada tiga pendekatan yang
berkaitan dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup manusia, yaitu:
a. Pendekatan Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu,
landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan
pengalaman manusia.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek
penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia,
merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
b. Pendekatan Epistemologi
Epistemologis adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, sumber, metode, struktur dan
validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi
mempertanyakan proses yang memungkikan dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu.
Dalam kaitannya dengan moral atau nilai-nilai hidup manusia, dalam proses kegiatan keilmuan, setiap
upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran,
tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan
argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan
membenci kebohongan.
a. Pendekatan Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu,
aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya
ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat
dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk itu
ilmu yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu
merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu


menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau
agama.
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan
mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan teknologi. Tanggung jawab
etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan keilmuan maupun penggunaan ilmu, yang berarti
dalam pengembangannya harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bersifat universal, bertanggungjawab pada kepentingan umum, dan kepentingan generasi
mendatang.
Tanggung jawab ilmu menyangkut juga hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu dimasa lalu,
sekarang maupun akibatnya di masa mendatang, berdasarkan keputusan bebas manusia dalam
kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan nilai-nilai
hidup baik alam maupun manusia. Hal ini tentu menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar
yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi
perkembangan ilmu itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan
manusia, melainkan harus menyadari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan untuk
memperkokoh kedudukan serta martabat manusia seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai
pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab
terhadap Khaliknya.
Jadi perkembangan ilmu akan mempengaruhi nili-nilai kehidupan manusia tergantung dari manusianya
itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya.
Kemajuan di bidang ilmu memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, karena tugas
terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai
pengertian tentang martabat dirinya.
Jadi dapat saya simpulkan bahwa perkembangan tidak bebas nilai dan kemajuan ilmu pengetahuan
perlu mengacu pada nilai-nilai yang ada pada daerah dimana ilmu itu dikembangkan karena
berhubungan dengan harkat dan martabat manusia yang ada didaerah ilmu itu dikembangkan.
3. Jelaskan pernyataan bahwa perkembangan ilmu agama selalu terlambat daripada ilmu
pengetahuan sehingga agama selalu mencurigai ilmu pengetahuan dan kadang-kadang menghukumnya
dengan dalil-dalil yang tidak dapat diterima dari ilmu pengetahuan !
Manusia adalah hamba Allah yang diturunkan ke bumi ini sebagai penghuninya. Manusia adalah
makhluk Allah diberi kelebihan berupa akal daripada makhluk-makhluk lainnya. Dengan akalnya itu
manusia bisa berbuat lebih daripada makhluk lainnya.
Kelebihan manusia ini menjadikan manusia banyak berinovasi. Manusia melihat fenomena alam dan
ingin mengungkapnya dengan tujuan untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Dari


upaya-upaya pengungkapan alam inilah muncul ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu dan daya kreativitas
manusia ini menjadikan manusia mampu membuat peradaban.
Dengan ilmunya, disamping potensi membangun dan hal-hal positif , manusia juga memiliki potensi
sebaliknya. Hal ini terjadi karena manusia memang diciptakan dengan dua ilham, yaitu jalan yang baik
dan jalan yang buruk. Pada awal penciptaannya, manusia hanyalah makhluk yang tidak tahu apa-apa
dan karenanya manusia membutuhkan sebuah petunjuk bagi jalan hidupnya. Manusia memerlukan
guideline agar hidupnya selamat di dunia dan di akhirat. Guideline bagi manusia adalah agama. Agama
adalah petunjuk hidup, melingkupi seluruh aspek dalam diri manusia, termasuk ilmu pengetahuan.
Di dalam kitab suci Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat mengenai ilmu pengetahuan. Beberapa ilmu yang
terkait seperti astronomi, geologi, zoologi, entomologi, biologi, genetika dan ilmu kedokteran. Salah satu
contoh kaitan antara agama dengan ilmu pengetahuan adalah pada teori relativitas. Allah berfirman
dalam surat al Hajj: 47
... Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.
Hal inilah yang dijelaskan oleh ilmuwan terkemuka Albert Einstein, dalam teori relativitasnya ketika
berkata, Titik terdekat dengan pusat bumi akan berjalan lebih lambat. Sedangkan, titik terjauh dari
pusat bumi akan berjalan lebih cepat. Karena, lingkaran yang dijalani oleh titik terdekat lebih kecil dari
lingkaran yang dijalani oleh lingkaran terjauh pada waktu yang sama.
Begitu banyak penemuan-penemuan ilmiah terbaru di abad modern ini ternyata sudah ditegaskan oleh
Al-Quran sejak belasan abad lampau. Contoh-contoh lainnya adalah tentang garis dan waktu edar
matahari, bulan, bumi dan planet-planet lainnya, susunan kimia manusia dan batu, gravitasi bumi, siklus
hujan, sampai rahasia warna hijau pada daun-daunan.
Dengan adanya bukti ilmiah yang sesuai dengan kitab suci, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya
agama selaras dengan ilmu pengetahuan. Tidak ada pertentangan antara agama dengan ilmu
pengetahuan. Tidak ada kontradiksi diantara keduanya, bukankah sumber dari agama dan ilmu
pengetahuan adalah sama, yaitu da
ri yang Maha Esa?

Jadi jelas kesimpulannya bahwa sebenarnya perkembangan ilmu agama tidak selalu lambat daripada
ilmu pengetahuan bahkan ilmu pengetahuan sekarang inilah yang pada akhirnya akan membuktikan
atau membenarkan ilmu agama tersebut secara ilmu pengetahuan. Agama tidak pernah mencurigai ilmu
pengetahuan dan menghukumnya dengan dalil-dalil, tetapi dengan agama lah dapat mengatur agar ilmu
pengetahuan tidak melewati batas-batas norma dan etika yang adanya atau disalahgunakan untuk
merusak dimuka bumi ini. Di dalam agama, untuk hal-hal yang sifatnya bukan ibadah umum terdapat
kaidah segala hal itu diperbolehkan kecuali yang dilarang. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat
terus berkembang dan bermanfaat bagi umat manusia.



Dengan berfilsafat, seseorang akan lebih menjadi manusia, karena terus melakukan perenungan akan
menganalisa hakikat jasmani dan hakikat rohani manusia dalam kehidupan di dunia agar bertindak
bijaksana.
Dengan berfilsafat seseorang dapat memaknai makna hakikat hidup manusia, baik dalam lingkup pribadi
maupun sosial.
Kebiasaan menganalisis segala sesuatu dalam hidup seperti yang diajarkan dalam metode berfilsafat,
akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan
beragam problema kehidupan, sehingga mampu meraiih kualitas, keunggulan dan kebahagiaan hidup.
Dengan berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk berpikir secara universal, multidimensional,
komprehensif, dan mendalam.
Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas berfikir secara mandiri,
mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi
disisi lain masih mampu mengakui harkat martabat orang lain, mengakui keberagaman dan keunggulan
orang lain.
Belajar filsafat akan memberikan dasar-dasar semua bidang kajian pengetahuan, memberikan
pandangan yang sintesis atau pemahaman atas hakikat kesatuan semua pengetahuan dan kehidupan
manusia lebih dipimpin oleh pengetahuan yang baik.

Você também pode gostar