Kewajiban untuk memberikan informasi dan konfidensialitas klien
merupaka satu isu yang juga kontroversial. Kontroversi muncul
terutama terkait dengan kewajiban psikolog/psikiater secara etik dan legal untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan oleh klien dan kewajiban untuk memperingatkan pihak yang terancam bahaya oleh tindakan yang mungkin dilakukan klien. Meski prinsip konfidensialitas klien berakar dari psikologi, aturan hukum yang ada memicu pertanyaan kritis, yaitu Kapan sesungguhnya konfidensialitas klien dapat dilanggar?
Prinsip etik APA menyebutkan bahwa seorang psikolog profesional harus menjaga konfidensialitas kliennya. Konfidensialitas ini dimaksudkan agar klien dapat merasa lebih bebas dalam mengungkapkan pikiran maupun perasaanya. Di samping itu, konfidensialitas juga dimaksudkan untuk meminimalkan stigmatisasi. Oleh karena itu, prinsip etik konfidensialitas sebenarnya sangat erat kaitannya dan berperan dalam proses hubungan psikolog dan klien yang efektif. Konfidensialitas sebagian besar berkaitan dengan informasi yang disampaikan oleh klien selama proses konseling atau terapi. Pengungkapan informasi tersebut kepada orang lain hanya diijinkan atas persetujuan klien atau persetujuan dari representasi legal klien. Oleh karena hal ini sangat menentukan kepercayaan yang sulit terbangun di awal relasi, maka pelanggaran konfidensialitas berkorelasi dengan terminasi dini dan kegagalan proses terapi atau konseling.