Você está na página 1de 20

ANALISIS KEBIJAKAN KIA MENURUT SEGITIGA KEBIJAKAN

Disusun Guna Menenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan kesehatan


Dosen pengampu : dr. Fitri Indrawati. MPH





Oleh:

Fariza Ardhia Guninda
(6411412090)







ADMINISTRASI KEBIJAKAN KESEHATAN
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
Analisis Kebijakan Kesehatan Program Kesehatan Ibu dan Anak
Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan
Untuk menganalisis suatu kebijakan kesehatan dapat dilakukan melalui segitiga analisis
kebijakan dari Bose.
1. Aktor
Pelaksanan Kebijakan KIA terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), organisasi
internasional, LSM nasional dan internasional, kelompok penekan dan kelompok
kepentingan, lembaga-lembaga bilateral, profesi dan lain-lain. Dengan menggunakan
prinsip tata pemerintahan para pelaku kebijakan dikelompokan menjadi:
Pelaku yang terlibat dalam penyusunan kebijakan dan fungsi regulasi. Ada beragam
organisasi yang dapat digambarkan sebagai sektor kesehatan dan sistem antar sektor.
Penyusunan kebijakan sektor kesehatan dan peraturan diselenggarakan oleh Kementrian
Kesehatan dan Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kelompok
intersektoral dipimpin oleh Bappenas di tingkat pusat dan Bappeda di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota.
Pelaku pada fungsi keuangan. Sumber daya keuangan KIA bisa dari pemerintah,
masyarakat, dan sektor swasta. Beberapa pendanaan datang dari donor bilateral asing,
rencana multilateral, dan Tanggug Jawab Social Perusahaan (CSR- Corporate Social
Responsibility).
Pelaku pada fungsi penyediaan layanan. Beragam institusi dan perorangan
menyediakan layanan KIA seperti: rumah sakit pemerintah dan swasta, klinik, praktek
perorangan. Dalam intervensi preventif dan promotif, beragam organisasi bekerja di KIA
seperti sebagai LSM, organisasi swasta, pemimpin formal dan informal.
Jaringan kerja pelaku ini terlihat belum diatur oleh prinsip tata pemerintahan yang
baik untuk meningkatkan akuntabilitas, keterbukaan, dan peran serta pihak-pihak yang
berkepentingan. Setiap organisasi memiliki kekuatan politik untuk meningkatkan
program KIA. Organisasi-organisasi tersebut dikelola oleh para profesional seperti:
politisi, birokrat, manajer, dan profesional kesehatan seperti: bidan, perawat, dokter
umum, dokter ahli kandungan, dokter anak, dokter bius, dan pekerja kesehatan lainnya.
Akan tetapi harus disadari bahwa kebijakan yang saat ini belum komprehensif, belum
inovatif dan banyak mengandalkan Bidan Desa.
Di Indonesia, kebijakan KIA dipengaruhi oleh pelaku internasional dan diprakarsai
oleh pemimpin pemerintahan dan politik yang kuat. Sejak tahun 1988 kesehatan ibu
mendapat prioritas politik yang signifikan. Setelah pertemuan internasional tentang
kesehatan ibu di Nairobi, Presiden Suharto memberikan ceramah utama pada seminar
pertama Indonesia tentang keselamatan ibu pada 1988. Satu tahun setelah program Bidan
Desa, kebijakan diperkenalkan oleh pemerintah pusat. Hal tersebut dirancang untuk
meningkatkan akses kepada perawatan pre natal selama kehamilan dan bantuan saat
persalinan dengan menempatkan penyedia layanan yang terampil di setiap desa. Di tahun
1989 ada sekitar 13.000 bidan yang melayani perempuan-perempuan di desa. Pada tahun
2006, jumlahnya hampir menjadi 80.000. Tujuan utama program tersebut adalah untuk
mendapatkan dampak positif pada proses persalinan itu sendiri, terutama dalam
masyarakat yang tidak mempunyai akses kepada fasilitas kesehatan. Akan tetapi,
diharapkan juga agar dengan memperkenalkan bidan dapat memberi dampak positif
lainnya, seperti cakupan perawatan antenatal yang lebih luas, hasil nutisi yang lebih baik,
dan resiko kematian bayi yang lebih rendah.
Perhatian Internasional pada kesehatan ibu tumbuh dari sebuah Konferensi
Internasional tentang Wanita diselenggarakan di Beijing tahun 1995. Wakil dari
Indonesia hadir pada konferensi tersebut. Dengan dukungan organisasi internasional, dan
dukungan presiden, pada Maret 1996, Kementrian Peranan Wanita menyelenggarakan
simposium nasional yang menindak lanjuti Konferensi Beijing. Tiga bulan kemudian,
seminar nasional dibuka oleh Presiden Indonesia.
Gerakan Sayang Ibu diperkenalkan oleh Wakil Menteri Peranan Wanita sebagai
geraka nasional untuk mendorong kesehatan ibu. Puncak semua event tersebut terjadi
pada tanggal 22 Desember 1996 saat Presiden Suharto mengumumkan pelunvuran secara
resmi Gerakan Sayang Ibu, Pada tahun 2000 diperkenalkan kebijakan Membuat
Kehamilan yang Lebih Aman (MPS-Making Pregnancy Safer) sebagai strategi global
WHO. Pada tahun 2002, Kementrian Kesehatan merampungkan tinjauannya dan rencana
strategisnya dan secara resmi meluncrkan Membuat Kehamilan yang Lebih Aman.
Pada 1999 Jaring Pengaman Sosial untuk Kesehatan dimulai sebagai kebijakan reaktif
terhadap krisis ekonomi di tahun 1997, Jaring Pengaman tersebut mencakup perawatan
kesehatan ibu, dan dilanjutkan dengan Askeskin pada 2005 dan Jamkesmas pada 2008.
Terlihat jelas bahwa pelaksana nasional dan internasional berperan kunci pada kebijakan
KIA. Masalahnya adalah kebijakan pemerintah daerah tentang Kesehatan Anak lemah.
Pelaksana daerah mempunyai peran yang terbatas. Pemerintah daerah mempunyai
kemauan yang terbatas untuk menyelenggrakan program Kesehatan Anak yang
dicerminkan dengan anggaran yang rendah untuk KIA, termasuk provinsi-provinsi
dengan kapasitas fiskal tinggi.
Terlihat bahwa kebijakan KIA selama ini menimbulkan situasi dimana banyak pelaku
di aspek social, pelayanan primer dan pencegahan namun masih kurang di aspek
klinis.Hal ini terjadi karena selama puluhan tahun KIA aktif dikelola oleh DitJen
BinKesmas dan Bappenas serta kementerian yang terkait masalah sosial.Sementara
pelaku di rumahsakit belum begitu aktif (sebelum reorganisasi Kemenkes yang
menghasilkan DitJen Bina Upaya Kesehatan).Profesi yang paling banyak menjadi obyek
kebijakan adalah bidan.Dokter Spesialis dan dokter umum kurang
berperan.Kepemimpinan dokter spesialis dalam pengurangan kematian belum banyak
ditekankan.Peran dokter umum terkesan dikesampingkan.Tidak ada tenaga ahli
manajemen untuk perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi program
KIA.Kerjasama lintas sektor untuk promosi dan pencegahan hulu belum maksimal.Para
pelaku promosi dan pencegahan yang lintas sektor belum banyak memberikan
kontribusi.
2. Konteks
Dampak Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak
diperhitungkan.Isu program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di
kabupaten.Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak
mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya.Di
berbagai daerah anggaran untuk KIA masih rendah.Kebijakan KIA terlihat hanya satu di
seluruh Indonesia.Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa
sebagian besar berada di rumahsakit belum diperhatikan.
Faktor Struktural
Kebijakan desentralisasi dipicu oleh tekanan politik selama masa reformasi. Dalam
sebuah situasi yang tidak siap, desentralisasi membawa dampak negatif pada sektor
kesehatan seperti: kegagalan sistem, kurangnya koordinasi, sumber daya yang tidak
mencukupi, jenjang karir sumber daya manusia yang buruk, dan pengaruh politik
yang berlebihan. Pada 2004, UU No. 22/1999 diamandemen dengan UU no.32/2004.
UU yang mengamendir menekankan pada peranan baru pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi. Akan tetapi, sektor kesehatan masih tetap didesentralisasi.
Kebijakan desentralisasi tidak efektif untuk kesehatan anak. Kesenjangan antar
provinsi, kabupaten/kota dan kelompok sosial ekonomi masih ada. Contohnya: Angka
kematian balita berkisar dari 22 di DI Yogyakarta menjadi 96 di Sulawesi Barat.
Angka kematian balita juga lebih tinggi secara substansi terhadap anak-anak yang
tinggal di pedesaan (38 kematian per 1000 kelahiran). Secara nasional, 46% kelahiran
terjadi di fasilitas kesehatan, secara sub-nasional berkisar dari 91% di Bali dan 8% di
Sulawesi Selatan. Perbedaan yang sama di antara kelompok sosial ekonomi juga dapat
diamati. Saat 83% perempuan dari kuintil kemakmuran paling atas melahirkan di
fasilitas kesehatan, hanya 14% perempuan dari kuintil paling bawah yang melahirkan
di fasilitas kesehatan.
Berdasarkan data pengeluaran KIA di Kementrian Kesehatan dan Kementrian
Keuangan, proporsi pengeluaran KIA didominasi oleh sumber-sumber pemerintah
pusat (di luar anggaran Jamkesmas). Pengeluaran pemerintah daerah hanya kurang
dari 15%. Ada beberapa penjelasan dari rasa ikut memiliki pemerintah daerah yang
rendah
Faktor Situasional
Secara kontekstual terlihat bahwa Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan
belum banyak dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan KIA.Isu
program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten.Pemerintah
pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak mampu mengajak
pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya.Di berbagai daerah
anggaran untuk KIA masih rendah.Kebijakan KIA terlihat hanya satu di seluruh
Indonesia.Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa sebagian
besar berada di rumahsakit belum diperhatikan.Belum terlihat banyak program yang
khas daerah. Namun saat ini sudah beberapa propinsi menggunakan kebijakan daerah
misal NTT
Faktor Budaya
Dukungan desa yang kurang terhadap program kesehatan, rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat yang masih SD terutama ibu serta kader kesehatan sehingga
tidak maksimal dalam upaya perbaikan program, faktor budaya yang selalu dalam
membuat keputusan selalu melibatkan keluarga besar sehingga untuk melakukan
tindakan cepat terkendala. Kemudian, jumlah tenaga kesehatan yang kurang meski
ada namun jumlahnya lebih banyak dikota sehingga beban kerja banyak sehingga
tidak maksimal dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang
memerlukan, kondisi geografis yang sulit sehingga terkait biaya persalinan di rumah
sakit karena adanya beban transport, kurangnya koordinasi antara pemerintah. Lalu
tidak meratanya pelatihan terhadap bidan, fasilitas kesehatan yang kurang memadai,
penguasaan bahasa dan budaya setempat yang masih kurang oleh petugas kesehatan,
kurang adanya info kesehatan yang ada bagi bidan didesa, kurangnya akses informasi
kesehatan, Pemerintah desa menganggap program kesehatan bukan tugas dan peran
aparat desa karena beranggapan bahwa program kesehatan hanya menjadi
tanggungjawab puskesmas, serta adanya tugas rangkap dari bidan karena harus
memegang 2 pustu.
Faktor Internasional
Dalam konteks penganggaran, pada tahun 2004 sampai dengan 2009, berada dalam
lingkup UU 33 tahun 2004, PP mengenai Dana Perimbangan (PP 55 tahun 2005),
Permenkeu mengenai DAK (PMK 175). Pada tahun 2008 terbit PP yang mengatur
mengenai Dana Dekonsentrasi. Khusus untuk DAK sebenarnya menurut PP 55 tahun
2005 ada kesempatan Kementrian Kesehatan untuk mengusulkan DAK untuk
prioritas nasional seperti KIA, akan tetapi hal ini tidak berjalan. Akibatnya isi DAK
terkesan menjadi domain Kementrian Keuangan. Kebijakan tentang KIA di
pemerintah pusat sejarahnya dimulai dari pemikiran di luar negeri yang terkait dengan
kesehatan wanita dan anak. Demikian pula isu MDG4 dan MDG5 berasal dari proses
kebijakan lembaga di luar negeri. Kebijakan penganggaran KIA ditetapkan dengan
keputusan politik presiden dalam sebuah konteks yang dipengaruhi oleh kebijakan
internasional. Saat ini kebijakan internasional mengenai pemilihan program KIA
dipengaruhi oleh majalah Lancet yaitu pemaparan pelayanan KIA yang efektif.
Berbagai Program Pengembangan di pelayanan KIA dan terkait dengan lembaga
internasional seperti: Sistem Sister Hospital NTT (AusAid); Mutu Pelayanan Ibu dan
Anak dalam proyek EMAS USAID; University of Queensland tentang Investment
Case bersama UNICEF, berbagai program WHO, kegiatan KIA oleh Bank Dunia, dan
lain-lain.
3. Proses
Mencakup identifikasi masalah dan pengenalan persoalan, perumusan kebijakan, dan
implementasi kebijakan pada tingkat nasional dan daerah. Pada tingkat nasional,
identifikasi masalah menghadapi ketidaktersediaan data. Sebagian besar data (IMR dan
U5MR) dianalisa dari metode estimasi. Hasilnya bisa dianalisa berdasarkan data
provinsi. Akan tetapi, tidak mungkin mendapatkan analisa data tingkat kabupaten/kota
menggunakan kondisi sedang berlangsung. Kebijakan Kesehatan KIA menjadi normatif.
Saat kebijakan tersebut ditransfer dari program perencanaan dan anggaran, ada dasar non
sistemik untuk merencanakan dan mealokasikan sumber daya dari tingkat pusat. Akan
tetapi, dalam dua tahun fiskal terakhir ini, secara bertahap dibuat sebuah kebijakan untuk
alokasi sumber daya yang lebih rasional.
Pada pemerintah daerah, identifikasi masalah KIA tidak ditangani dengan baik.
Penjelasan dari situasi ini adalah ketersediaan data dan proses pengambilan keputusan.
Penjelasan pertama adalah prinsip surveilans respon tidak dipakai secara efektif oleh
pemerintah daerah. Surveilans respon yang telah disusun di Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1116/2003 tentang Panduan Implementasi Sistem Surveilans Kesehatan
Epidemiologis dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/2003 tentang Panduan
Implementasi sistem Surveilans terintegrasi Penyaki Menular dan Tidak Menular, tidak
di implementasikan. Maka, tahapan dalam surveilans respon secara praktis tidak terjadi
di tingkat daerah.
Kedua, proses pengambilan keputusan berdasarkan data tidak terjadi di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Secara teori, berdasarkan data, akan ada 2 respon: (1)
respon segera untuk pengolaan wabah; (2) respon yang terencana untuk program tahunan
dan penganggaran. Respon yang terencana dilakukan melalui Musrenbang dan persiapan
anggaran. Akan tetapi, data yang tersedia tidak digunakan di Musrenbang. Data tersebut
dikirim langsung ke Menteri Kesehatan di Jakarta tanpa dipakai untuk pengambilan
keputusan. Tanpa penggunaan data dengan benar di tingkat kabupaten/kota, alasan utama
di rumah tangga/ masyarakat dan tingkat kabupaten/ kota, dan alasan utama di tingkat
masyarakat tidak bisa dikelola secara lokal. Dalam kasus ini, sulit bagi pemerintah pusat
menganggarkan untuk membiayai pendidikan, akses fisik, perilaku mencari perhatian,
nutrisi, air dan sanitasi, politik lokal dan kondisi sosial ekonomi. Disimpulkan bahwa
data kematian di kabupaten tidak dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan
pemerintah daerah. Data tersebut dikirim ke tingkat pusat tanpa adanya analisa.
Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa Kebijakan KIA sering ditetapkan secara top-
down dari pemerintah pusat. Di masa lalu sebagian inisiatif kebijakan sering berasal dari
lembaga di luar negeri.Kebijakan yang berasal dari daerah belum banyak muncul.Saat ini
dari NTT dan DIY sudah mulai ada inisiatif untuk kebijakan di daerah.Inisiatif daerah ini
menimbulkan berbagai inovasi seperti adanya Revolusi KIA di NTT atau penyusunan
manual rujukan dan Peraturan Gubernur tentang Rujukan KIA di DIY.
Saat ini belum popular adanya tim monitoring dan evaluasi kebijakan dan program
KIA yang independen. Akibatnya belum ada mekanisme kontrol yang sehat terhadap
efektifitas kebijakan dan program KIA. Strategi Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
serta percepatan penurunan AKI dan AKB adalah melalui Advokasi, Bina Suasana dan
Pemberdayaan Masyarakat yang didukung oleh Kemitraan.
a. Advokasi
Advokasi merupakan upaya strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen
dan dukungan dari para pengambil keputusan dan pihak terkait (stakeholders) dalam
pelayanan KIA.
b. Bina Suasana
Bina Suasana merupakan upaya menciptakan opini publik atau lingkungan sosial,
baik fisik maupun non fisik, yang mendorong individu, keluarga dan kelompok
untuk mau melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terkait dengan
upaya peningkatan KIA serta mempercepat penurunan AKI dan AKB. Bina suasana
salah satunya dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada kelompok-kelompok
potensial, seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok opini dan media massa. Bina
suasana perlu dilakukan untuk mendukung pencapaian target program KIA.
c. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya menumbuhkan kesadaran, kemauan,
kemampuan masyarakat dalam mencegah dan mengatasi masalah KIA. Melalui
kegiatan ini, masyarakat diharapkan mampu berperilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) dan berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat di bidang KIA.
d. Kemitraan
Kemitraan dalam penanganan masalah KIA adalah kerjasama formal antara
individu-individu, kelompok-kelompok peduli KIA atau organisasi-organisasi
kemasyarakatan, media massa dan swasta/dunia usaha untuk berperan aktif dalam
upaya peningkatan KIA di masyarakat.
4. Isi/Konten
Secara tradisional KIA adalah sebuah program vertikal yang diatur oleh kebijakan
nasional. Sebagian besar kebijakan utama KIA adalah inisiatif nasional yang dipengaruhi
oleh organisasi internasional seperti Bidan Desa, Membuat Kehamilan lebih Aman, dan
Manajemen Terintegrasi dari Penyakit Masa Anak-anak, Kebijakan KIA adalah program
yang sangat kuat di level pemerintah pusat, tetapi bukan termasuk yang penting di level
pemerintah daerah.
Di pemerintah pusat, kekuatan kebijakan KIA sangat jelas. Program KIA dibahas
dengan baik di Tindakan-tindakan Kesehatan, Rencana Jangka Menengah dan Jangka
Panjang Pemerintah, Kebijakan Bappenas dan dokumen rencana strategis Kementrian
Kesehatan. Di sisi lain, kelemahan kebijakan utama nasional juga jelas. Tidak ada
rencana pendanaan KIA berdasarkan intervensi efektif dalam implementasi kebijakan.
Sebagai hasilnya, implementasi kebijakan menjadi tidak efektif.
Dibandingkan dengan kebijakan mengenai Kesehatan Ibu, kebijakan untuk Kesehatan
Anak relatif tidak kuat. Untuk memenuhi perjanjian untuk Sasaran Pembangunan
Millenium (MDGs) dan Dunia yang Layak Untuk Anak (WFFC- A World Fit for
Children), sebuah inisiatif baru yang disebut Program Nasional Bagi Anak Indonesia
2005 - 2015 (PNBAI 2005 2015) telah dibuat di tahun 2005. Dokumen ini adalah
sebuah refleksi komitmen pemerinyah Indonesia dalam deklarasi A World Fit for
Children di Sidang Umum PBB ke 27 Sesi Khusus mengenai Anak tahun 2001 ada 4
persoalan dalam deklarasi tersebut: mempromosikan hidup sehat, menyediakan
pendidikan berkualitas, melindungi dari pelecehan, eksploitasi dan kekerasan, dan
melawan HIV/AIDS
Dokumen ini merujuk pada UUD 1945 ayat 28a dan 2bc, dan Undang-undang no
23/2002 tentang Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak, dan Sasaran Pembangunan
Milenium (MDGs). Hal ini merupakan sebuah dokumen kebijakan yang menarik
perhatian yang dikeluarkan Bappenas. Hal ini mencakup tidak hanya kesehatan anak tapi
juga pendidikan dan hak-hak anak. Akan tetapi, implementasi kebijakan ini tidak jelas.
Penjelasannya hanya satu yaitu dokumen strategi tersebut terlalu luas dan kekurangan
implementasinya secara detail, termasuk keuangan strategis dan operasional.
Rencana Strategis National tentang Membuat Kehamilan Lebih Aman (Makes
Pregnancy Safer) di Indonesia 2001-2010 menyatakan visinya adalah memastikan bahwa
semua ibu mengalami kehamilan dan persalinan yang aman dan melahirkan bayi yang
sehat. Misinya adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang baru
lahir. Obyektif: mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang baru lahir
melalui perbaikan sistem kesehatan untuk menjamin akses kepada intervensi dengan
biaya-efektif dan berkualitas, memberdayakan ibu- ibu, keluarga dan masyarakat dan
mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir sebagai prioritas nasional. Strategi
utama yang diimplementasikan meliputi: meningkatkan akses dan jangkauan layanan
kesehatan ibu dan neonatal yang berkualitas; Membangun kemitraan yang efektif melalui
kerjasama antar program dan antar sektor dan koordinasi yang lebih baik; Meningkatkan
pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin
perilaku yang sehat dan memanfaatkan layanan untuk ibu dan bayi baru lahir; dan
mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan layanan
kesehatan ibu dan neonatal.
Beberapa kebijakan untuk kesehatan anak terkait dengan baik dengan kesehatan ibu,
seperti program Bidan Desa. Kebijakan lain yang juga penting adalah IMCI. Di beberapa
provinsi, sebuah kebijakan untuk meningkatkan kinerja bidan pada kesehatan anak
diperkenalkan oleh proyek PATH-USAID. Sesuai pengamatan, kebijakan Kesehatan
Anak seharusnya mencakup kelangsungan hidup anak, dan kebijakan-kebijakan untuk
remaja. Kebijakan kelangsungan hidup anak dalam proses penyusunan di tahun 2010.
Jika dikaji lebih lanjut, isi kebijakan sebagian besar berada di wewenang DitJen Bana
Kesehatan Masyarakat.Jarang ada kebijakan mengenai kesehatan ibu dan anak yang
berasal dari Ditjen Pelayanan Medik, Akibatnya di lapangan terjadi fragmentasi
pelayanan KIA antara pelayanan dengan pelayanan sekunder dan tertier.
Lebih lanjut, isi kebijakan jarang yang langsung berhubungan dengan indikator
kematian yang menjadi penekanan program MDG4 dan MDG5. Penggunaan data
kematian absolut kurang dimaksimalkan.Kebijakan terlalu menekankan pada
penggunaan rates dengan data yang sudah terlambat dan memberikan rasa aman yang
palsu (misal sudah lebih baik dari angka rata-rata nasional).
Sebagian besar kebijakan KIA ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam isi kebijakan
pelayanan, KIA terjadi beberapa hal:
Kebijakan-kebijakan KIA sangat kuat dipemerintah pusat sejak masa Presiden
Suharto.
Dukungan dana semakin meningkat di lima tahun terakhir ini dan terus meningkat.
Sementara itu pemerintah daerah yang diharapkan mendanai berbagai program KIA,
terlihat belum cukup memberikan perhatian.
Terjadi fragmentasi kebijakan antara Direktorat Jendral BinKesmas dan Direktorat
Jendral Bina Pelayanan Medik dalam pelayanan KIA primer dan sekunder/tertier.
Belum ada pelaksanaan kebijakan yang integratif antara kedua DitJen, termasuk
dalam PONED dan PONEK.
Kebijakan KIA di pemerintah pusat belum mencakup hubungan antar berbagai profesi
di kesehatan ibu dan anak. Belum ada kebijakan yang mengatur hubungan dokter
spesialis obsgin, anak, dokter umum, bidan dan perawat (misalnya dalam ijin dokter
umum melakukan bedah Sesar kalau tidak ada dokter spesialis obsgin). Penganggaran
pusat untuk KIA selama ini terdiri dari berbagai sumber dana yang cukup kompleks,
antara lain:
1. Dana pusat yang tetap menjadi APBN: Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas
Pembantuan;
2. Dana pemerintah pusat yang menjadi APBD: Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus;
3. Dana Jamkesmas; dan
4. Dana lain-lain seperti komponen KIA dalam BOK. Mekanisme penganggaran yang
banyak ini menyulitkan koordinasi, termasuk untuk memastikan apakah ada dana
untuk pelayanan preventif dan promotif.
Target Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Target program adalah meningkatnya ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang bermutu bagi seluruh masyarakat pada tahun 2014 dalam program gizi
serta kesehatan ibu dan anak yaitu :
1. Ibu hamil mendapat pelayanan Ante Natal Care (K1) sebesar 100%.
2. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90%.
3. Cakupan peserta KB aktif sebesar 65%.
4. Pelayanan kesehatan bayi sehingga kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90%
dan KN Lengkap (KN1, KN2, dan KN3) sebesar 88%.
5. Pelayanan kesehatan anak Balita sebesar 85%.
6. Balita ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya (D/S)
sebesar 85%).
7. ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan sebesar 80%.
8. Rumah Tangga yang mengonsumsi Garam Beryodium sebesar 90%.
9. Ibu hamil mendapat 90 Tablet Tambah Darah sebesar 85% dan Balita usia 6-59
bulan mendapatkan Kapsul Vitamin A sebanyak 85%.
10. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap kepada bayi 0-11 bulan sebesar 90 %.
11. Penguatan Imunisasi Rutin melalui Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional (GAIN)
UCI, sehingga desa dan kelurahan dapat mencapai Universal Child Immunization
(UCI) sebanyak 100%.
12. Pelaksanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dalam mendukung
terwujudnya Desa dan Kelurahan Siaga aktif sebesar 80%

Kesimpulan
Program KIA masih belum mampu menjamin berjalannya pelayanan kesehatan ibu dan
anak yang efektif; masih belum terintegrasinya pelayanan kesehatan primer dengan
sekunder/tertier; pelaksanaan program kegiatan yang dilakukan oleh Dinas sektor lain dan
masyarakat di luar Dinas Kesehatan masih belum maksimal, pembagian wewenang antar
berbagai profesi kesehatan belum jelas pelaksanaannya.
Kebijakan monitoring dan evaluasi program KIA belum maksimal dijalankan, padahal
kunci keberhasilan program berada pada monitoring dan evaluasi program dan pelaksanaan
kebijakan. Saat ini belum popular adanya tim monitoring dan evaluasi kebijakan dan program
KIA yang independen. Akibatnya belum ada mekanisme kontrol yang sehat terhadap
efektifitas kebijakan dan program KIA.
Selain itu, adanya hambatan dan sumbatan dalam pembiayaan dan penyaluran dana
program KIA oleh pemerintah pusat dan fragmentasi pelayanan dapat meningkatkan risiko
terjadinya kegagalan dalam skala yang lebih luas di tahun-tahun mendatang. Dana
dekonsentrasi untuk perencanaan dan pembinaan teknis (termasuk monev) belum maksimal
dipergunakan. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa kebijakan KIA kurang memberikan
perhatian pada indikator kematian.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Program Kesehatan Ibu Dan Anak

Strategi Pembangunan Kesehatan menuju indonesia sehat 2010 mengisyaratkan bahwa
pembangunan kesehatan ditujukan pada upaya menyehatkan bangsa. Indikator
keberhasilannya antara lain ditentukan oleh angka mortalitas dan morbiditas, angka kematian
ibu dan angka kematian bayi. Program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu
prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung jawab
terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal. Salah satu
tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Anak (AKB) masih tinggi yaitu, 307 per 100.000
kelahiran hidup dan AKB 35/1000 kh. Target yang ditetapkan untuk dicapai pada RPJM
tahun 2009 untuk AKI adalah 226 per 100.000 kh dan AKB 26/1000 kh. Dengan demikian
target tersebut merupakan tantangan yang cukup berat bagi program KIA. Sebagaian besar
penyebab kematian ibu secara tidak langsung (menurut survei Kesehatan Rumah Tangga
2001 sebesar 90%) adalah komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan segera setelah
bersalin. Penyebab tersebut dikenal dengan Trias Klasik yaitu Pendarahan (28%), eklampsia
(24%) dan infeksi (11%). Sedangkan penyebab tidak langsungnya antara lain adalah ibu
hamil menderita Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (HB kurang dari 11 gr%) 40%.
Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu
dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
Upaya pencapaian MDG 4 untuk mengurangi tingkat kematian anak dan MDG 5
untuk meningkatkan kesehatan ibu di Indonesia sampai saat ini masih berat. Banyak
hambatan baik dari segi teknis program maupun dari faktor pembiayaan kesehatan yang
mempengaruhi upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan. Sistem desentralisasi
kesehatan yang telah diterapkan selama bertahun-tahun memberi kesempatan daerah untuk
lebih berperan dalam merencanakan dan melaksanakan program kesehatan khususnya untuk
kesehatan ibu dan anak, namun di dalam pelaksanaannya banyak menghadapi kendala.
Saat ini telah dilakukan analisis mengenai hambatan dan sumbatan (bottleneck) pada
sistem perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah. Telah dilakukan pula
berbagai diskusi dan pengamatan tentang pendanaan kesehatan ibu dari pemerintah pusat
selama beberapa tahun terkahir. Hasilnya adalah ada berbagai hambatan dan sumbatan dalam
peraturan, sistem penyaluran, dan aspek politik. Akibatnya dana pemerintah pusat tidak
mampu secara efektif menjangkau yang membutuhkan.
Untuk mengatasi hambatan dan sumbatan yang ada dalam upaya pencapaian MDG 4
dan 5 baik dari segi teknis program maupun pembiayaan, diperlukan perbaikan sistem
penganggaran dan penyaluran anggaran pemerintah. Dalam proses penganggaran dan
penyaluran anggaran untuk KIA saat ini, masih belum banyak peranan LSM dan universitas.
Aktor-aktor pelaku lebih banyak pada Kementrian (Kesehatan dan Keuangan), DPR, dan
Bappenas. Secara konkrit, belum ada semacam Watch Group untuk penganggaran dan
penyaluran dana pemerintah untuk KIA.
Beberapa kegiatan dalam meningkatkan upaya percepatan penurunan AKI telah
diupayakan antara lain melalui peningkatan kualitas pelayanan dengan melakukan pelatihan
klinis bagi pemberi pelayanan kebidanan di lapangan. Kegiatan ini merupakan implementasi
dari pemenuhan terwujudnya 3 pesan kunci Making Pregnancy Safer yaitu:
1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
2. Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan
3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak
diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga atau
diramalkan sebelumnya sehingga ibu hamil harus sedekat mungkin pada sarana pelayanan
ndicator emergency dasar. Penyebab utama kematian Ibu adalah Perdarahan, Infeksi,
Eklampsi, Partus lama dan Komplikasi Abortus. Perdarahan merupakan sebab kematian
utama. Dengan demikian sangat pentingnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
karena sebagian besar komplikasi terjadi pada saat sekitar persalinan, sedang sebab utama
kematian bayi baru lahir adalah Asfiksia, Infeksi dan Hipotermi Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR).
Selama kurun waktu 20 tahun angka kematian bayi (AKB) telah diturunkan secara
tajam, namun AKB menurut SDKI 2002-2003 adalah 35 per 1000 KH. Angka tersebut
masih tinggi dan saat ini mengalami penurunan secara lambat. Dalam Rencana
Pembangunan jangka panjang Menengah Nasional (RPJMN) salah satu sasarannya adalah
menurunkan AKB dari 35 1000 KH menjadi 26 per 1000 KH pada tahun 2009. Oleh karena
itu perlu dilakukan intervensi terhadap masalah-masalah penyebab kematian bayi untuk
mendukung upaya percepatan penurunan AKB di indicator.
Upaya peningkatan derajat kesehatan keluarga dilakukan melalui program pembinaan
kesehatan keluarga yang meliputi upaya peningkatan kesehatan Ibu dan Bayi, Anak Pra
Sekolah dan Anak Usia Sekolah, Kesehatan Reproduksi Remaja, dan Kesehatan Usia Subur.
Era Desentralisasi menurut pengelola program di Kabupaten / Kota untuk lebih proaktif
didalam mengembangkan program yang mempunyai daya ungkit dalam akselerasi
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sesuai situasi dan
kemampuan daerah masing-masing mengingat AKI dan AKB merupakan salah satu
indicator penting keberhasilan program kesehatan Indonesia.

Program Pokok Kia
1. Program ANC
2. Deteksi risti ibu hamil
3. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
4. Rujukan kasus risti ibu hamil
5. Pemeriksaan BBL (Neonatus), bayi dan balita
6. Penanganan neonatal yang berisiko
7. Pelayanan kesehatan bayi umur 1 bulan sampai 1 tahun
8. Pelayanan kesehatan balita
9. Pelayanan kesehatan pra school

Berbagai permasalahan kesehatan anak prasekolah, usia sekolah dan kesehatan remaja
yang semakin kompleks yang meliputi kesehatan reproduksi remaja, masalah penyalagunaan
narkotik dan zat adiktif lainnya merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh program
Kesehatan Keluarga. Diharapkan melalui kegitan-kegiatan yang dilaksanakan dapat
memperluas cakupan pelayanan yang pada akhirnya dapat meningkatkan status Kesehatan
keluarga secara khusus dan masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan penerapan system desentralisasi, maka pelaksanaan strategi MPS
didaerah pun diharapkan dapat lebih terarah dan sesuai dengan permasalahan setempat.
Dengan adanya variasi antara daerah dalam hal demografi dan geografi, maka kegaiatan
dalam program kesehatan ibu dan Anak (KIA) akan berbeda pula. Namun agar pelaksanaan
Program KIA dapat berjalan lancer, aspek peningkatan mutu pelayanan program KIA
puskesmas maupun di tingkat Kabaupaten/Kota. Peningkatan mutu program KIA juga dinilai
dari besarnya cakupan program di masing-masing wilayah kerja.
Untuk itu, perlu di pantau secara terus menerus besarnya cakupan pelayanan KIA di
suatu wilayah kerja, agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai kelompok mana dalam
wilayah kerja tersebut yang paling rawan. Dengan diketahuinya lokasi rawan kesehatan ibu
dan anak, maka wilayah kerja tersebut dapat lebih diperhatikan dan dicarikan pemecahan
masalahnya. Untuk memantau cakupan pelayanan KIA tersebut dikembangkan sistem
Pemantau Wilayah Setempat (PWS-KIA).
Landasan Teori Kebijakan Kesehatan Ibu Dan Anak Kesehatan Ibu, Bayi, dan Anak
(Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan)
- Pasal 126-135 Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. (3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga,
fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman,
bermutu, dan terjangkau. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Pasal 127
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dengan ketentuan: a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b. dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan c. pada
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam)
bulan, kecuali atas indikasi medis. (2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. (3) Penyediaan fasilitas khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.
- Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi
untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
- Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
- Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan
generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan
angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga,
masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
- Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga
memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku
untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
- Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi
dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin
terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
- Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan atau kriteria terhadap kesehatan bayi
dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan
terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana
lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak
membahayakan kesehatan anak.
Visi dan Misi Departemen Kesehatan yaitu meningkatnya akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas, maka untuk mencapai upaya tersebut adalah :
1. Pelayanan Kesehatan Dasar yang terdiri dari :
a. Pelayanan Kesehatan ibu dan anak :
Kebijakan tentang KIA secara khusus berhubungan dengan pelayanan antenatal,
persalinan, nifas dan perawatan bayi baru lahir yang diberikan di semua fasilitas
kesehatan, dari posyandu sampai rumah sakit pemerintah maupun fasilitas kesehatan
swasta.
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan
profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan
perawat) seperti pengukuran berat badan dan tekanan darah, pemeriksaan tinggi
fundus uteri, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) serta pemberian tablet besi kepada ibu
hamil selama masa kehamilannya sesuai pedoman pelayanan antenatal yang ada
dengan titik berat pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal
dapat dilihat dari cakupan pelayanan ibu hamil K1 dan K4.
b. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi
Kebidanan. Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian
besar terjadi pada masa di sekitar persalinan. Hal ini antara lain disebabkan
pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi
kebidanan (profesional). Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
sebesar 70,62 % - 77,21 %.
c. Deteksi Resiko, Rujukan Kasus Resti dan Penanganan Komplikasi.
Kegiatan deteksi dini dan penanganan ibu hamil berisiko/komplikasi kebidanan
perlu lebih ditingkatkan baik di fasilitas pelayanan KIA maupun di masyarakat.
Deteksi risiko oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007 sebesar 46,17% sedangkan
deteksi risiko oleh masyarakat (kader, tokoh masyarakat,dll) sebesar 22,08%.
Resti komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal yang secara
langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Resti/komplikasi
kandungan meliputi Hb < > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg). Oedeme nyata,
ekslampsia, perdarahan pervaginam, ketuban pecah dini, letak lintang pada usia
kehamilan > 32 minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis,
persalinan prematur.
2. Pelayanan Keluarga Berencana (KB)
Masa subur seorang wanita memiliki peranan penting bagi terjadinya kehamilan
sehingga peluang wanita melahirkan menjadi cukup tinggi. Menurut hasil penelitian, usia
subur seorang wanita terjadi antara usia 15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur
jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita/ pasangan lebih diprioritaskan
untuk menggunakan alat/cara KB.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2007, persentase wanita berumur
10 tahun keatas yang pernah kawin dengan jumlah anak yang dilahirkan hidup terbesar
adalah 2 orang (23,02%), 1orang (19,52%) dan 3 orang (17,11%). Sedangkan rata-rata
jumlah anak lahir hidup per wanita usia 15-19 tahun adalah 1,79 untuk daerah perkotaan
dan 1,98 di pedesaan.
3. Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi 0-1 tahun
(BCG,DPT, Campak, Polio, HB), imunisasi untuk wanita usia subur/ibu hamil TT dan
imunisasi untuk anak SD (kelas 1; DT dan kelas 2-3; TT), sedangkan kegiatan imunisasi
tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya masalah seperti desa non UCI,
potensial/resti KLB, ditemukan/diduga adanya virus polio liar atau kegiatan lainnya
berdasarkan kebijakan teknis.
Pencapaian UCI pada dasarnya merupakan proksi terhadap cakupan atas imunisasi
secara lengkap pada kelompok bayi. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan suatu
wilayah tertentu, berarti eilayah tersebut tergambarkan besarnya tingkat kekebalan
masyarakat atau bayi (herd immunity) terhadap penularan penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD31). Dalam hal ini pemerintah menargetkan pencapaian UCI pada
wilayah administrasi desa dan kelurahan. Pencapaian UCI pada tahun 2007 sebesar 71,18
% dengan target nasional UCI 80%.
Adapun Program-program kebijakan pemerintah terhadap kesehatan ibu dan anak di
Indonesia yang sedang berlangsung diantara meliputi :
1. Perawatan Penyakit Anak yang Terpadu (IMCI)
2. Rencana Kesehatan Remaja Nasional
3. Kebijakan dan rencana untuk mencegah malaria dalam kehamilan dan malaria
bawaan, penularan vertikal HIV dan syphilis dalam kehamilan
4. Making Pregnancy Safer
5. Peningkatan kesadaran akan HIV/AIDS
Solusi Permasalahan
1. Memperbaiki akses pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dengan cara pemberian
pelayanan antenatal yang optimal secara menyeluruh dan terpadu, peningkatan deteksi
dini resiko tinggi baik pada ibu hamil maupun pada bayi di institusi pelayanan ANC
maupun di masyarakat, disamping itu pengamatannya harus secara terus menerus.
2. Berfungsinya mekanisme rujukan dari tingkat masyarakat dan puskesmas hingga rumah
sakit tempat rujukan.
3. Adanya keseragaman dan persamaan persepsi tentang sistem pelaporan antara pengelola
program kesehatan ibu dan anak yang berada di kabupaten/kota dengan pengelola yang
ada di propinsi.

Você também pode gostar