Você está na página 1de 12

A.

Pendahuluan
Pada dasarnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, kerena
bagaimanapun juga manusia membutuhkan kontrol diri dan pengawasan agama. Hadirnya
agama sangat berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang
tidak dapat dipecahkan secara empiris dengan adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak
pastian dari manusia.
Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu
adalah

edukatif,

penyelamatan,

pengawasan

sosial,

memupuk

persaudaraan,

dan

transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat
merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya.
Namun, karena agama yang dianut oleh manusia didunia ini tidak hanya satu, maka
tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut oleh setiap orang akan muncul
ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga
akan terjadi benturan anatar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.
Maka, makalah yang ada saat ini mencoba untuk mengungkap bagaimana seseorang
mengeksperesikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain dengan tanpa ada
benturan, atau paling tidak dapat meminimalisir terjadinya konflik antar umat beragama.
B. Pengertian Agama
Jika lihat sepintas tema ini sangat paradoks. Di satu sisi agama di pandang oleh
pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai. Sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber
konflik. Meminjam istilah Afif Muhammad,1 agama acak kali menampakkan diri sebagai
sesuatu yang berwajah ganda. Hal itu seperti yang disinyalir oleh Johan Efendi 2 yang
menyatakan bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju
keselamatan, persatuan dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakan dirinya
sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti
dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan. Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu
jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatankekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan unutk mencapai keselamatan
bagai mereka dan masyarakat luas umumnya. Definisi lain disebutkan dalam kamus sosiologi,
bahwa agama dapat diartikan keadaan tiga macan definisi, di antaranya:
1

Afif muhammad, kerukunan beragama pada era globalisasi, dies natalis sunan gunung jati, bandung, 1997,
hlm. 1
2
Johan efendi, dialog antar umat beragama, bisakah melahirkan teologi kerukunnan dalam prisma,
LP3ES,1978, hlm. 13

1. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual.


2. Perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan
tersendiri.
3. Idiologi mengenahi hal-hal yang bersifat supranatural.
Sementara itu, Thomas F. O`die mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan
sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris. Dari definisi
diatas, dapat tergambar jelas bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran
penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan kemampuannya karena
sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi-masalah yang non-empiris.
Dalam hal ini, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan
konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta berkecendrungan ke arah
perselisihan, ketegangan, dan perubahan.3 Yang harus digarisbawahi pada pernyataan ini
adalah masyarakat. Tampaknya, masyarakat menjadilahan tumbuh suburnya konflik.
Bibitnya bisa bermacam-macam faktor; ekonomi, polotik, sosial, bahkan agama. Oleh karena
itu, pada sisi ini, agama bisa saja menjadi salah satu faktor timbulnya konflik yang ada
dimasyarakat. Pertanyaan yang kemudian timbul: betulka agama menjadi faktor penentu
terjadinya konflik itu? Lantas, pada sisi mana agama termasuk kategori faktor konflik d
masyarakat?
a. Peran Agama dalam Masyarakat
Agama berperan mengatur tentang bagaimana membentuk masyarakat yang madani.
Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam kultur masyarakat yang majemuk.
Seperti yang kita semua ketahui bahwa tidaklah mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap
perbedaan, utamanya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya
perselisihan. Di sinilah posisi agama memainkan perannya yang penting sebagai penegak
hukum dan menjaga agar masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang
berlaku. Jika dalam masyarakat agama sudah tidak dianggap memegang peran yang penting,
dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat tersebut akan mengalami dekadensi moral dan
kekacauan yang nantinya bakal meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa dan negara.
Dan ini merupakan ciri dari akan hancurnya dunia! Yah, kiamat sudah dekat jika agama telah
hilang dari sendi-sendi kehidupan. Agama memainkan perannya yang sentral dalam hal kultur
maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang diajarkannya.
Diantara sekian banyak nilai-nilai yang terdapat dalam agama tersebut, nilai luhur yang paling
3

Paul B. Horton, sosiologi jilid1, penerbit eirlangga, jakarta, 1987, hlm.25

banyak dan paling relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap
menjaga agar masyarakat tetap konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai
kemanusiaan yang mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain, serta
dapat saling bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan langkah awal
yang bagus untuk membentuk masyarakat yang madani. Peran agama semakin kuat ditandai
dengan semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan diramalkan akan mencabut peran agama
dalam masyarakat. Namun ramalan itu ternyata tidak sepenuhnya tepat. Hingga kini kita
masih melihat kecenderungan kuatnya peran agama dalam masyarakat. Dalam masyarakat
modern di kota-kota besar Indonesia, misalnya, menggambarkan adanya kegairahan dalam
beragama. Maraknya acara-acara keagamaan dan bermunculannya tokoh-tokoh pendakwah
muda menunjukkan adanya permintaan yang sangat besar dari masyarakat kota terhadap
otoritas agama. Dalam industri televisi juga dapat dilihat dari begitu tingginya rating acaraacara yang bernuansa agama. Dapat disimpulkan bahwa semakin modern sebuah masyarakat
tidak serta merta menggeser peran agama dalam kehidupan mereka. Dalam hal-hal tertentu
memang kita saksikan adanya pergeseran. Dahulu, hampir semua persoalan sosial yang
dialami masyarakat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh agama. Mereka menjadi
konsultan dari persoalan publik hingga problem keluarga. Modernisasi kemudian menggeser
peran itu. Persoalan sosial tersebut kini sudah terfragmentasi dalam lembaga-lembaga khusus
sesuai dengan keahlian dari pengelola lembaga tersebut. Jadi, dalam batas-batas tertentu
modernisasi atau perkembangan ilmu pengetahuan memang telah menggeser posisi agama.
Namun itu tidak serta merta dapat dimaknai bahwa agama akan kehilangan fungsi dan
menghilang dengan sendirinya.
b. Fungsi Agama dalam Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memiliki fungsi yang vital, yakni sebagai salah
satu sumber hukum atau dijadikan sebagai norma. Agama telah mengatur bagaimana
gambaran kehidupan sosial yang ideal, yang sesuai dengan fitrah manusia. Agama juga telah
meberikan contoh yang konkret mengenai kisah-kisah kehidupan sosio-kultural manusia pada
masa silam, yang dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi kehidupan bermasyarakat di
masa sekarang. Kita dapat mengambil hikmah dari dalamnya. Meskipun tidak ada
relevansinya dengan kehidupan masyarakat zaman sekarang sekalipun, setidaknya itu dapat
dijadikan pelajaran yang berharga, misalnya agar tidak terjadi tragedi yang sama di masa yang
akan datang. Seperti yang kita semua ketahui, sekarang banyak terdengar suara-suara miring
mengenai Islam. Banyak orang kafir yang memanfaatkan situasi ini untuk memojokkan umat
3

Islam di seluruh dunia dengan cara menyebarkan kebohongan-kebohongan. Menghembuskan


fitnah yang deras ke dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga membuat umat Islam itu sendiri
merasa tidak yakin dengan keimanannya sendiri.
C. Agama dan Indikasi Konflik
Berkaitan dengan hal ini, Elizabeth K. Notthingham mengelompokkan tipe manusia
dalam kehidupan masyarakat dan hubungannya dengan agama. Yaitu segabai berikut;
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakt ini kecil, terisolasi, dan
terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain
yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi
pengintegrasi dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Dengan
demikian, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral keadalam sistem nilainilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari pada tipe pertama. Agama memberikan arti
dan ikatan kepada sistem nilai dalam masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan
yang sakral dan yang sekuler sedikit banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase
kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain,
pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung, agama hanya mendukung adat istiadat
saja. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan
kemanusaian sehingga lingkungan yang bersifat sekular semkin meluasa.
Pada dasarnya, apabila merujuk kepada Al-Quran, banyak indikasi yang menjelaskan
adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas, Al-Quran menyebutkan bahwa
faktor konflik itu sesungguhnya berawal dari manusia. Misalnya, dalam surat yusuf ayat 5
yang bebunyi:


)5(
Dia berkata,wahai anakku ! janganlah engkau bercerita mimpimu kepada saudarasaudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu, sungguh, setan itu
musuh yang jelas bagi manusia.
Dalam ayat ini di jelaskan tentang adanya kekuasaan pada diri manusia yang selalu
berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma ilahi. Atau, secara
lebih tegas, disebutkan bahwa kerusakan bisa berbentuk kerusuhan, demonstrasi dan lain-lain.
Diakibatkan oleh tangn manusia; seperti dalam surat Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi:
4


telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).
Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya
adalah manusia. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini akan melihat dari asei penganut
agamanya, bukan amanya, untuk mengidintifikasi timbulnya konflik. Penganut suatu
agamatentu saja manusia, dan manusia adalah bagian dari masyaraka. Oleh karena itu, betul
bahwa masyarakat akan menjadi lahan adanya konflik sebagaimana diisyaratkan dalam
pertanyaan tentang teori konflik diatas.
Mengapa pembicaraan dimulai dari tataran penganut

agamanya. Penganut

agamaadalah orang yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya itu
akan melahirkan bentuk perbuatan baik dan buruk, yang dalam term islam disebut amal
perbuatan. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik atau buruk.
Keyakinan ini di miliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu.
Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar interpretasi yang beragam
dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.4 Akibat
perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakalkonflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian,
pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk konflik
(intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflikintra agama atau disebut juga,
konflik antarmadzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.
Paling tidak, ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama,
pertama, agama si pahami sebagai suatu doktrin dan ajaran; dan kedua agama dipahami
sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah.5

Nurcholis Majid

meyebutkan kedua istilah itu dengan istilah doktrin dan peradaban. 6 Sedangkan Sayyed
Hoesein Nasr, menyebutnya dengan istilah islam ideal dan islam realita.7 Oleh karean itu
wajah ganda, seperti yang diistilahkan oleh Afif Muhammad,bisa dilihat dalam kedua
pemahaman terhadap agama itu. Dalam ajaran atau doktrin agama, terhadap seruan untuk
menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju
4

Roland Robertson, agam dalam analisa dan interpretasi sosiologis, rajawali pers, jakarta,1993, hlm.13
Loc.cit
6
Cak Nur, islam doktrin dan peradaban, yayasan wakaf paramadina, jakarta, 1992
7
Sayyed hoesein nasr, islam cita dan islam fakta , yayasan obor, jakarta, 1984
5

keselamatan tersebut. Dan dalam pengalaman suatau ajaran agama oleh para pemeluknya,
tampak kesenjangan jika dibandingkan dengan doktrin agamanya.
D. Faktor- faktor Konflik Sosial Ditinjau dari Aspek Agama
Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja
antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di dalam terminologi Al-Quran,
misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun
dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu
sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, agama
acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda Hal ini sama dengan
pendapat Johan Efendi yang menyatakan Bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan
perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan. Namun, pada waktu
yang lain menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik.
Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah menimbulkan peperangan. Konflik sosial yang
berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada
Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah
kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya.
Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan
konsekuen nilai- nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep
gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka.
Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme
dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan
keagamaan.

Absolutisme

adalah

kesombongan

intelektual,

eksklusivisme

adalah

kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebihlebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan
fisik.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang
dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini
biasa disebut dengan istilah daiyah. Daiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak,
merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan
6

menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan,
masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan
memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti
inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara
umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.
2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras.
Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi,
sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seprti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni
Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie.
Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya Megawati Pindah
Agama menjadi Agama Hindu. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang yang
beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali.
Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi, bahkan berubah
menjadi kerusuhan.
3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain
yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan
cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka
menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada
dalam agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum
mengejeknya, karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama
yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah
agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah
perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini
adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan
yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga
berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan
memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua
orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika
seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka orang baik itu justru semakin kuat
membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak mengejar7

ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi
sumber kebenaran.
4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Quran (Q.S. 2 : 148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam
komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima
keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing
komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam
yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau berada di Madinah,
masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk mengikuti agamanya. Bahkan dalam
perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya
perdamaian dan kerukunan. Salah satunya Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian
dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim.
Jika di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik
yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan
Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa
sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan
masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang,
yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Potret
seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan
diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu,
manusia harus mampu mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di
antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini
dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan
tempat-tempat ibadah.
E. Cara Menyelesaikan Konflik di dalam Masyarakat
Pada sisi ini di rasakan perlunya memandang istilah toleransi beragama. Sebab, setiap
agama mengajarkan kasih sayang dan toleransi. Sebenarnya, cara pemahaman dan
pengalaman para penganutnya yang sering kali membuat ajaran terebut menjadi kabur.
Dibawah ini ada beberapa langkah penting dan strategis untuk memupuk jiwa toleransi
beragama dan membudayakan hidup rukun antarumat beragama. Langkah-langkah berikut

paling tidak akan meminimalkan kalau tidak bisa menghilangkan konflik agama. Kiat-kiat itu
adalah sebagi berikut:
1. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama; tidak memperdebatkan segi-segi perbedaan
dalam agama.
2. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3. Mengubah oreintasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi
pendidikan agama yang berorietasi pada pengembangan aspek universal rabbaniyah.
4. Meningkatkan pembinaan yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi
pekerti yang luhur dan akhlakul karimah.
5. Menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang paliang
benar.

PENUTUP
KESIMPULAN
Agama di pandang oleh para pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, Sementara di sisi
lain dianggap sebagai sumber konflik. Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah
suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta
berkecendrungan ke arah perselisihan, ketegangan, dan perubahan.
Dua pendekatan untuk sampai kepada pemahaman terhadap agama:
1. Agama di pahami sebagai doktrin dan ajaran
2. Agama di pahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebutyang terdapat di dalam sejarah.
dalam agama ada istilah dakwah, Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan
(mengajak, menyeru) ajaran agama. Dan dari sinilah perlunya memandang istilah toleransi
beragama, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama; tidak memperdebatkan segi-segi
perbedaan dalam agama.
2. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3. Mengubah oreintasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi
pendidikan agama yang berorietasi pada pengembangan aspek universal rabbaniyah.
4. Meningkatkan pembinaan yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi
pekerti yang luhur dan akhlakul karimah.
5. Menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang
paliang benar.

10

DAFTAR PUSTAKA
Dr. H.Kahmad Dadang, M. Si, sosiologi agama, penerbit PT remaja rosdakarya, bandung,
2009.
Robertson Roland, agam dalam analisa dan interpretasi sosiologis, rajawali pers,
jakarta,1993.
Muhammad Afif, kerukunan beragama pada era globalisasi, dies natalis sunan gunung jati,
bandung, 1997.
Efendi Johan, dialog antar umat beragama, bisakah melahirkan teologi kerukunnan dalam
prisma, LP3ES,1978
B. Horton Paul, sosiologi jilid1, penerbit eirlangga, jakarta, 1987
http://asnawatistarwhite.blogspot.com/2012/05/agama-dalam-masyarakat_19.html
http://etno06.wordpress.com/2010/01/10/agama-dan-konflik-sosial/
http://indahnyamenrtari.blogspot.com/2011/11/agama-dan-konflik-sosial.html

11

AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL


Makalah Ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sosiologi Agama
Dosen Pengampu: Ahmad Abbas Mustofa, M. Ag

Disusun Oleh:

Hanni Khotimah

: NIM. 212 342 9338

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


JURUSAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2013
12

Você também pode gostar