Você está na página 1de 6

ANALISIS PROSES GEOLOGI DARI GUNUNG MALABAR JAWA

BARAT
Aldresto Asront H Nababan
21100113140092
asront@gmail.com
Jurusan Teknik Geologi Universitas Diponegoro
ABSTRAK
Gunung Malabar merupakan sebuah gunung api yang terdapat di Pulau Jawa, Indonesia.
Gunung ini terletak di bagian selatan Kabupaten Bandung dengan titik tertinggi 2,343 meter di atas
permukaan laut. Malabar merupakan salah satu puncak yang dimiliki Pegunungan Malabar. Beberapa
puncak yang lain adalah Puncak Mega, Puncak Puntang, dan Puncak Haruman.Gunung Malabar
mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montana, dan Hutan
Ericaceous atau hutan gunung. Gunung Malabar identik dengan perkebunan teh yang didirikan oleh
perusahaan asing. Secara garis Besar bahwa gunung malabar memiliki potensi geologi yang lumayan
untukdapat diketahui.
Kata Kunci : Gunung Malabar, Proses Geologi.

Gunung Malabar merupakan sebuah


gunung api yang terdapat di Pulau Jawa.
Gunung ini terletak di bagian selatan
Kabupaten Bandung yakni Bajaran, dengan
titik tertinggi 2,343 meter di atas permukaan
laut. Malabar merupakan salah satu puncak
yang dimiliki Pegunungan Malabar. Gunung
wayang,Gunung Haruman,Gunung batu dan
Gunung puntang adalah beberapa di antaranya.
Dari sekitar lokasi bumi perekamahan terdapat
2 jalur pendakian untuk mendaki gunung
puntang dan gunung haruman. Puncak gunung

puntang di sebut puncak mega dengan


ketinggian sekitar 2220 Mdpl. Sedangkan
puncak tertinggi gunung haruman di sebut
dengan puncak besar yang bereketinggian
lebih dari puncak mega. Untuk menuju ke
puncak mega di butuhkan waktu sekitar 3-4
jam perjalanan. Untuk mencapai puncak ini
pendaki dapat memakai 2 jalur umum. Pendaki
dapat memakai jalur biasa yang lebih datar
atau menggunakan jalur VIP yang lebih cepat
dan menanjak. Ke 2 jalur pendakian ini
berakar dari sekitar kawasan ini. Sedangkan
untuk mencapai puncak besar di butuhkan
waktu sekitar 6-7 jam melalui jalur yang

berbeda lagi. Dahulu kala pendaki bisa


mencapai puncak besar setelah melewati
puncak
mega.
Namun
bukit
yang
menghubungkan ke dua puncak tersebut telah
longsor dan jalur pun terputus sehingga harus
menggunakan jalur lain untuk mencapai
puncak besar Untuk menuju ke puncak mega
di butuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan.
Untuk mencapai puncak ini pendaki dapat
memakai 2 jalur umum. Pendaki dapat
memakai jalur biasa yang lebih datar atau
menggunakan jalur VIP yang lebih cepat dan
menanjak. Ke 2 jalur pendakian ini berakar
dari sekitar kawasan ini. Sebaiknya pendaki

banyak banyak bertanya pada Orang orang


basecamp PGPI. Beberapa menit dari puncak
batu kareta pendaki akan mulai keluar dari
hutan dan melewati kawasan yang cukup
terbuka. Jalur yang dilalui cukup extreme
karena jalur sangat sempit dan terletak di
ujung punggungan bukit. Setelah berjalan
sekitar 60 90 menit maka pendaki akan
sampai di puncak gunung puntang. Di puncak
ini terdapat sebuah bangunan yang dahulu di
gunakan sebagai pemancar radio. Dari sini
terlihat puncak haruman di seberang yang
terlihat sunyi. Pendaki dapat melihat 2 air
terjun yang mengucur di gunung haruman.

PENDAHULUAN

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui manfaat dan proses

geologi yang terdapat dalam dunung malabar


tersebut. Dan manfaat lain ialah untuk
mendalamkan lagi pengetahuan tengtang

GEOLOGI REGIONAL JAWA BARAT

Pulau Jawa terletak di bagian selatan


dari Paparan Sunda dan terbentuk dari batuan
yang berasosiasi dengan suatu aktif margin
dari lempeng yang konvergen. Pulau tersebut
terdiri dari komplek busur pluton-vulkanik,
accretionary prism, zona subduksi, dan batuan
sedimen.
Pada Zaman Kapur, Paparan Sunda yang
merupakan bagian tenggara dari Lempeng
Eurasia mengalami konvergensi dengan
Lempeng Pasifik. Kedua lempeng ini saling
bertumbukan yang mengakibatkan Lempeng
Samudra menunjam di bawah Lempeng
Benua. Zona tumbukan (subduction zone)
membentuk suatu sistem palung busur yang
aktif (arc trench system). Di dalam palung ini
terakumulasi berbagai jenis batuan yang terdiri
atas batuan sedimen laut dalam (pelagic
sediment), batuan metamorfik (batuan
ubahan), dan batuan beku berkomposisi basa
hingga ultra basa (ofiolit). Percampuran
berbagai jenis batuan di dalam palung ini
dikenal sebagai batuan bancuh (batuan
campur-aduk) atau batuan melange. Singkapan
batuan melange dari paleosubduksi ini dapat
dilihat di Ciletuh (Sukabumi, Jawa Barat),
Karangsambung (Kebumen, Jawa Tengah),
dan Pegunungan Jiwo di Bayat (Yogyakarta).
Batuan tersebut
berumur Kapur dan
merupakan salah satu batuan tertua di Jawa
yang dapat diamati secara langsung karena
tersingkap di permukaan.

Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan


beberapa zona fisiografi yang satu sama lain
dapat dibedakan berdasarkan morfologi,
petrologi, dan struktur geologinya. Van
Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa
Barat ke dalam 4 besar zona fisiografi,
masing-masing dari utara ke selatan adalah
Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor,
Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan
Zona Dataran Pantai Jakarta menempati
bagian utara Jawa membentang barat-timur

mulai dari Serang, Jakarta, Subang,


Indramayu, hingga Cirebon. Daerah ini
bermorfologi dataran dengan batuan penyusun
terdiri atas aluvium sungai/pantai dan endapan
gunungapi muda.
Zona Bogor terletak di sebelah selatan Zona
Dataran Pantai Jakarta, membentang mulai
dari
Tangerang,
Bogor,
Purwakarta,
Sumedang, Majalengka, dan Kuningan. Zona
Bogor umumnya bermorfologi perbukitan
yang memanjang barat-timur dengan lebar
maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun
terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan
beku baik intrusif maupun ekstrusif. Morfologi
perbukitan terjal disusun oleh batuan beku
intrusif, seperti yang ditemukan di Komplek
Pegunungan Sanggabuana, Purwakarta. Van
Bemmelen (1949), menamakan morfologi
perbukitannya sebagai antiklinorium kuat yang
disertai oleh pensesaran.
Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan
Zona Bogor, memiliki lebar antara 20 km
hingga 40 km, membentang mulai dari
Pelabuhanratu, menerus ke timur melalui
Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian
besar Zona Bandung bermorfologi perbukitan
curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah
yang cukup luas. Van Bemmelen (1949)
menamakan lembah tersebut sebagai depresi di
antara gunung yang prosesnya diakibatkan
oleh
tektonik
(intermontane
depression). Batuan penyusun di dalam zona
ini terdiri atas batuan sedimen berumur
Neogen yang ditindih secara tidak selaras oleh
batuan vulkanik berumur Kuarter. Akibat
tektonik
yang
kuat,
batuan
tersebut membentuk struktur lipatan besar
yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung
merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat
yang kemudian runtuh setelah proses
pengangkatan berakhir (van Bemmelen, 1949).
Zona Pegunungan Selatan terletak di
bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek
(1946) menyatakan bahwa batas antara kedua
zona fisiografi tersebut dapat diamati di
Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan
bergelombang di Lembah Cimandiri yang
merupakan bagian dari Zona Bandung

berbatasan langsung dengan dataran tinggi


(plateau)
Zona
Pegunungan
Selatan.
Morfologi dataran tinggi atau plateau ini, oleh
proses geologi yang sementara ini sudah kita
tau, sehingga denggan adanya paper ini kita
lebih tau lagi proses geologi yang semana
baiknya.
METODOLOGI
Untuk Mengetahui paper ini kita harus
lebih menegetahui secara garis besar apa yang
akan dipelajari dengan membaca baca astikel
ini baik dari segala sumber yang ada. Dan juga
kita harus mampu menggabung astikrl yang
lama dengan artikel yang baru supaya data
yang kita miliki lebih menguatkan lagi dan
lebih bersifat fakta dengan baik.

Dan data-data yang menguatkan itu juga


penyusunan ini dengan mengetahui secara
umum proses geologi yang kita ketahui
dan semua mampu kita ketahui dengan
baik sesuai yang kita terapkanPannekoek
(1946) dinamakan sebagai Plateau Jampang.
PEMBAHASAN

Lempeng Paparan Sunda dibatasi oleh


kerak samudra di selatan dan pusat
pemekaran kerak samudra di timur. Bagian
barat dibatasi oleh kerak benua dan di
bagian selatan dibatasi oleh batas
pertemuan kerak samudra dan benua
berumur kapur (ditandai adanya Komplek
Melange Ciletuh) dan telah tersingkap
sejak umur Tersier. Sejak awal tersier
(Oligosen akhir), kerak samudra secara
umum telah miring ke arah utara dan
tersubduksi di bawah Dataran Sunda
(Hamilton, 1979).
Tektonik kompresi dan ekstensi dihasilkan
oleh gaya tekan pergerakan Lempeng
Indo-Australia dan putaran Kalimantan ke
utara, membentuk rift dan half-graben
sepanjang batas selatan Lempeng Paparan
Sunda pada Eosen-Oligosen (Hall, 1977).
Karakter struktur di daratan terdiri dari
perulangan struktur cekungan dan
tinggian, dari barat ke timur yaitu Tinggian
Tangerang, Rendahan Ciputat, Tinggian

Rengasdengklok, Rendahan Pasir Putih,


Tinggian dan Horst Pamanukan-Kandanghaur,
Rendahan Jatibarang dan Rendahan Cirebon .
Pola struktur batuan dasar di lepas pantai
merupakan pola struktur yang sama pada
Cekungan Sunda, Cekungan Asri, Seribu
Platform, Cekungan Arjuna, Tinggian F,
Cekungan Vera, Eastern Shelf, Cekungan
Biliton, Busur Karimun Jawa dan Bawean
Trough. Beberapa bukti menunjukan adanya
gabungan antara asymmetrical sag dan half
graben pada tektonik awal pembentukan
cekungan di daerah Jawa Barat Utara.
Di daerah Jawa Barat terdapat banyak pola
kelurusan bentang alam yang diduga
merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar
tersebut umumnya berarah barat-timur, utaraselatan, timurlaut-baratdaya, dan baratlauttenggara. Secara regional, struktur sesar
berarah timurlaut-baratdaya dikelompokkan
sebagai Pola Meratus, sesar berarah utaraselatan dikelompokkan sebagai Pola Sunda,
dan sesar berarah barat-timur dikelompokkan
sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah
barat-timur umumnya berjenis sesar naik,
sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya
berupa sesar mendatar. Sesar normal umum
terjadi dengan arah bervariasi.
Dari sekian banyak struktur sesar yang
berkembang di Jawa Barat, ada tiga struktur
regional yang memegang peranan penting,
yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis, dan
Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh van
Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih
aktif hingga sekarang.
Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua
(berumur Kapur), membentang mulai dari
Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui
Lembah Cimandiri, Cipatat-Rajamandala,
Gunung Tanggubanperahu-Burangrang dan
diduga menerus ke timurlaut menuju Subang.
Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah
timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar
mendatar hingga oblique (miring). Oleh
Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini
dikelompokkan sebagai Pola Meratus.
Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara
Jawa merupakan sesar naik dengan arah relatif
barat-timur,
membentang
mulai
dari

Purwakarta hingga ke daerah Baribis


di Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949).
Bentangan jalur Sesar Baribis dipandang
berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo
(1984), menafsirkan jalur sesar naik
Baribis menerus ke arah tenggara melalui
kelurusan
Lembah
Sungai
Citanduy,
sedangkan oleh Simandjuntak (1986),
ditafsirkan menerus ke arah timur hingga
menerus ke daerah Kendeng (Jawa Timur).
Penulis terakhir ini menamakannya sebagai
Baribis-Kendeng Fault Zone. Secara
tektonik, Sesar Baribis mewakili umur paling
muda di Jawa, yaitu pembentukannya terjadi
pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh
Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini
dikelompokkan sebagai Pola Jawa.
Sesar Lembang yang letaknya di utara
Bandung, membentang sepanjang kurang lebih
30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini
berjenis sesar normal (sesar turun) dimana
blok bagian utara relatif turun membentuk
morfologi pedataran (Pedataran Lembang).
Van
Bemmelen
(1949),
mengaitkan
pembentukan Sesar Lembang dengan aktifitas
Gunung
Sunda
(G.
Tangkubanperahu
merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda),
dengan demikian struktur sesar ini berumur
relatif muda yaitu Plistosen.
Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola
Sunda umumnya berkembang di utara Jawa
(Laut Jawa). Sesar ini termasuk kelompok
sesar tua yang memotong batuan dasar
(basement) dan merupakan pengontrol dari
pembentukan cekungan Paleogen di Jawa
Barat.
Mekanisme pembentukan struktur geologi
Jawa Barat terjadi secara simultan di bawah
pengaruh aktifitas tumbukan Lempeng HindiaAustralia dengan Lempeng Eurasia yang
beralangsung sejak Zaman Kapur hingga
sekarang. Posisi jalur tumbukan (subduction
zone) dalam kurun waktu tersebut telah
mengalami beberapa kali perubahan. Pada
awalnya subduksi purba (paleosubduksi)
terjadi
pada
umur
Kapur,
dimana
posisinya berada pada poros tengah Jawa
sekarang. Jalur subduksinya berarah relatif
barat-timur melalui daerah Ciletuh-Sukabumi,
Jawa Barat menerus ke timur memotong
daerah
Karangsambung-Kebumen,
Jawa

Tengah. Jalur paleosubduksi ini selanjutnya


menerus ke Laut Jawa hingga mencapai
Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973).
Penulis ini menarik jalur paleosubduksi
berdasarkan pada singkapan melange yang
tersingkap
di
Ciletuh
(Sukabumi),
Karangsambung (Kebumen), dan Meratus
(Kalimantan
Timur).
Berdasarkan
penanggalan radioaktif yang dilakukan
terhadap beberapa contoh batuan melange,
diketahui umur batuannya adalah Kapur.
Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas
magmatik yang menghasilkan endapan
gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat,
endapan gunungapi Eosen diwakili oleh
Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok.
Formasi Jatibarang menempati bagian utara
Jawa dan pada saat ini sebarannya berada di
bawah permukaan, sedangkan Formasi
Cikotok tersingkap di daerah Bayah dan
sekitarnya.
Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya
lebih muda dari dua formasi tersebut di atas
adalah
Formasi
Jampang.
Formasi
ini berumur Miosen yang ditemukan di Jawa
Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat
ditafsirkan telah terjadi pergeseran jalur
subduksi dari utara ke arah selatan.
Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini
berubah lagi. Pada saat sekarang, posisi jalur
subduksi berada Samudra Hindia dengan arah
relatif barat-timur. Kedudukan jalur subduksi
ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa
pemunculan sejumlah gunungapi aktif.
Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan
dengan aktifitas subduksi tersebut, antara lain
G. Salak, G. Gede, G. Malabar, G.
Tanggubanperahu, dan G. Ciremai.
Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah,
namun jalur subduksinya relatif sama, yaitu
berarah barat-timur. Posisi tumbukan ini
selanjutnya menghasilkan sistem tegasan
(gaya) berarah utara-selatan.
Aktifitas tumbukan lempeng di Jawa Barat,
menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah
utara-selatan.
Bagian utara didominasi oleh struktur ekstensi,
sedangkan struktur kompresi sedikit sekali.

Sesar-sesar yang terbentuk yaitu sesar-sesar


berarah baratlaut-tenggara, utara dan timur
laut membentuk rift dan beberapa cekungan
pengendapan yang dikenal sebagai Subcekungan Arjuna Utara, Sub-cekungan Arjuna
Tengah dan Sub-cekungan Arjuna Selatan,
serta Sub-cekungan Jatibarang dan sesar-sesar
geser menganan berarah baratlaut-tenggara.
Fase rifting pada Eosen-Oligosen memiliki
arah ekstensi utama berarah timurlautbaratdaya hingga barat-timur. Cekungan ini
tidak terbentuk sebagai cekungan busur
belakang, namun sebagai pull-apart. Hamilton
(1979) menyebutkan dua alasan yang dapat
menjelaskan hal tersebut yaitu pertama, arah
ekstensi cekungan hampir tegak lurus dengan
zona subduksi saat ini, dan kedua, kerak benua
yang tebal terlihat dalam pembentukan
struktur rift cekungan tersebut.
Terdiri atas dua grup sedimen, yaitu syn rift
sedimen yang didominasi oleh non
marin/sedimen darat dan post rift sedimen
(sag) yang didominasi oleh sikuen endapan
marin dan transisi.
Batuan dasar cekungan merupakan batuan
dasar Pra-Tersier yang mewakili kerak benua
Daratan Sunda, terdiri atas batuan beku dan
metamorf berumur Kapur atau lebih tua dan
juga endapan klastik dan gamping yang
terbentuk pada awal Tersier.
Endapan syn rift diawali oleh pengendapan
Formasi Jatibarang (di Cekungan Sunda
diendapkan Formasi Banuwati), dicirikan oleh
perselingan volkanik-klastik dan sedimen
lakustrin.
Endapan Post rift/sag basin fill (Miosen AwalPlistosen) merupakan fase transgresif di
daerah Laut Jawa. Pada endapan Post-rift
tersebut diendapkan secara selaras setara
batugamping Formasi Baturaja. Pengendapan
selanjutnya berupa endapan laut dangkal
Formasi Cibulakan Atas dan Formasi Parigi.
Pengendapan terakhir adalah Formasi Cisubuh
yang berada di bawah endapan aluvial yang
terjadi saat ini.
KESIMPULAN

Gunung Malabar sendiri, seperti yang banyak


ditulis orang, merupakan komplek gunung api
yang di sekitarnya terdapat beberapa puncak
gunung. Puncak Mega, puncak Gunung
Puntang, puncak Gunung Wayang, puncak
Gunung Haruman. Pegunungan Malabar ini
membentang dari Kabupaten Garut hingga
Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan
Pangalengan.
Usai lebaran kemarin, sebelum trip selanjutnya
ke Bromo Rabu besok, saya menyempatkan
diri ke Puncak Mega bersama tiga teman
semasa SMA. Perjalanan dengan jalan kaki
selama enam jam yang menguras tenaga itu,
baru saya lakukan untuk pertama kalinya
dalam seumur hidup saya. Sedangkan
sejumlah teman-teman SMA saya, sudah lebih
dulu mendakinya saat kami masih duduk di
bangku SMA. Sehingga, saya merasa
kampungan sekali mengunjungi puncak Mega
ini.
Puncak Mega dengan ketinggian 2222 sampai
2223 mdpl ini, tepat berada di pegunungan
Malabar. Jalur pendakian sendiri, dimulai dari
obyek wisata Gunung Puntang Kabupaten
Bandung. Saat itu, tepat pukul 11.00, kami
mulai mendaki. Puncak pertama yang kami
lewati adalah Puncak Gunung Puntang.
REFRENSI
http://wisata.kompasiana.com/jalanjalan/2013/08/12/pertama-kali-mendakigunung-mencari-puncak-malabar583133.html(diakses tanggal 20 Desember
2013 pada pukul 19.49)
https://www.google.com/search?q=ge
ologi+regional+jawa+barat&ie=utf-8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a(diakses tanggal
20 Desember 2013 pada pukul 19.51)

LAMPIRAN

Você também pode gostar