Você está na página 1de 8

ANALISIS MEDIA DAN GENDER

TUGAS UTS
MATA KULIAH HUKUM MEDIA MASSA
DOSEN PENGAMPU ISMA ADILA, S.I.Kom, M.A

OLEH :
HANIFA KARTIKA DEWI
115120200111057

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

Latar belakang
Pembahasan mengenai media dan gender saat ini dinilai penting akibat adanya globalisasi
khususnya di bidang teknologi. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini, hampir di semua
kegiatan berhubungan dengan teknologi. Karena itu, peran media dirasa cukup besar dalam
membentuk paradigma, opini, atau persepsi masyarakat. Termasuk didalamnya adalah mengenai
pembentukan cara pandang mengenai gender. Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan mengenai
bagaimana media memberi gambaran mengenai wanita atau pria dalam tayangannya. Khususnya pada
media televisi.
Permasalahan yang saat ini sering terjadi adalah tayangan media yang kurang seimbang
dalam merepresentasikan karakter wanita dan pria. Media yang seharusnya menampilkan dan
menggambarkan keadaan yang sebenarnya terkadang melebih-lebihkan dan menguatkan nilai atau
gambaran yang kurang sesuai. Hal ini menyebabkan timbulnya stereotipe dan pandangan negatif
terutama pada kaum wanita dalam segala hal mulai dari iklan, program televisi, surat kabar dan
majalah, buku-buku komik, musik, film dan video game populer, wanita dan anak perempuan
cenderung ditampilkan: di rumah, melakukan tugas-tugas domestik seperti mencuci pakaian atau
memasak, sebagai objek seks yang terutama untuk laki-laki, sebagai korban yang tidak bisa
melindungi diri mereka sendiri dan korban pemukulan, pelecehan, kekerasan seksual dan
pembunuhan. Studi kasus yang akan diangkat adalah penggambaran sosok wanita dalam tayangan
televisi di Indonesia. Salah satunya adalah analisis sinetron Putri yang Ditukar. Sinetron Putri yang
Ditukar dipilih karena banyaknya minat masyarakat terhadap cerita dalam sinetron tersebut. Dan
diharapkan dengan menganalisis penggambaran karakter wanita disini akan memberikan pengetahuan
mengenai

Studi Kasus
Permasalahan gender sering dibicarakan dengan menempatkan perempuan sebagai subyek
pusat perhatian. Untuk itu perlu dibedakan antara konsep jenis kelamin (seksual) dan pembedaan
seksual (gender). Dan kaitannya dengan media
Yang dimaksud dengan gender menurut Fakih (2006,hal.71) adalah suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
Selanjutnya Santrock (2003,hal.365) mengemukakan bahwa istilah gender dan seks memiliki
perbedaan dari segi dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang lakilaki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan
perempuan. Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik
maskulin dan feminim . Selain itu, istilah gender merujuk pada karakteristik dan ciri-ciri sosial yang
diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya
didasarkan pada perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan cultural tentang apa
artinya menjadi laki-laki atau perempuan (Rahmawati, 2004: 19).
Moore (dalam Rahmawati, 2004,hal.22) mengemukakan bahwa gender berbeda dari seks dan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Istilah gender dikemukakan oleh para
ilmuwan sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang
mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Gender adalah
perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Setelah mengkaji beberapa definisi gender yang dikemukakan para ahli, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud gender adalah karakteristik laki-laki dan perempuan berdasarkan dimensi
sosial-kultural yang tampak dari nilai dan tingkah laku.
Sedangkan, yang dimaksud dengan media massa menurut Mondry (2000, hal.12)merupakan
media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan berhubungan dengan khalayak secara
umum, dikelola secara professional dan bertujuan mencari keuntungan. Menurut pengertian tersebut,
dapat diartikan bahwa tidak semua media informasi dapat dikatakan sebagai media massa.
Dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki seperti kebanyakan daerah di Indonesia,
timbullah perbedaan cara pandang terhadap pria dan wanita atas dasar kebudayaan. Hal ini juga
akhirnya berpengaruh pada pengkonstruksian karakter wanita pada tayangan di media, termasuk pada
sinetron. Atas dasar sistem budaya tersebut, media menggambarkan posisi pria yang lebih superior
dibanding wanita. Wanita sering digambarkan sebagai sosok yang lemah, tidak begitu pintar, naif, dan
sebagainya. Hal inilah yang menggambarkan ketidaksetaraan gender yang pada akhirnya
menimbulkan terjadinya dominasi atas pihak yang dinilai baik, dan diskriminasi atau marginalisasi
bagi pihak lain yang dianggap kalah dengan pihak yang mendominasi.

Salah satu contoh yang ada di tayangan televisi Indonesia adalah pada sinetron Putri yang
Ditukar. Sinetron yang diproduksi oleh Sinemart Production ini mulai tayang pada 20 September
2010 hingga tamat pada tanggal 25 November 2011. Inti cerita dari sinetron ini adalah dikisahkan
dua orang tokoh wanita yang bernama Amira dengan latar belakang hidup yang sederhana, dan Zahira
yang merupakan anak dari pengusaha yang kaya raya. Tapi sebenarnya kedua wanita ini ditukar pada
saat mereka masih baru lahir sehingga mereka tinggal tidak dengan keluarganya yang asli. Disitulah
timbul konflik utamanya. Perkembangan dari cerita tersebut, diceritakan dua tokoh wanita ini masingmasih akan jatuh cinta pada dua tokoh pria yang akan muncul selanjutnya. Disamping itu, pada kisah
ini juga terdapat dua orang wanita yang berperan antagonis yaitu Malena dan Meisya.
Sinteron merupakan salah satu program acara yang mendominasi televisi di Indonesia.
Hampir semua stasiun tel evisi memiliki program rutin sinetron dengan berbagai tema seperti drama
keluarga, religius, horor, laga dan komedi. Tidak berbeda dengan film, sinetron dalam
menggambarkan perempuan penuh dengan hiper realitas yakni dipenuhi dengan nilai -nilai
konsumerisme, seksualitas, dan stereotip gender (Suryandaru, 2002). Dalam kaitannya dengan peran
gender, dalam sinetron ini terlihat adanya konstruksi sosial yang masih dengan pandangan atau
stereotipe bahwa wanita adalah makhluk yang lemah. Hal ini digambarkan dari tokoh Amira dan
Zahira yang diperankan dengan lemah lembut dan dalam cerita tokoh ini sering mendapatkan
hambatan dan tantangan dari tokoh yang jahat dan menampilkan adegan menangis. Pada tahap ini,
image perempuan sebagai seorang yang lemah akan mulai dieksploitasi oleh media untuk memuaskan
imajinasi penonton. Karena dengan kelemahan wanita, cerita kepahlawanan dari lawan main (main
actor) si pemeran utama akan mendapatkan jiwanya. Kemudian muncul sosok pria yang berusaha
menolong tokoh wanita tersebut. dari sini secara tidak langsung penonton dikonstruksi bahwa wanita
butuh pertolongan dari pria, dan pria lebih kuat daripada wanita.
Veven SP Wardhana (2000) dengan kritis mengungkapkan pengamatannya tentang
perempuan dalam sinetron Indonesia. Perempuan dalam sinetron digambarkan dalam rentangan
petaka (nasib malang) dan perkasa. Kedua wacana ini ditampilkan dengan cara yang ekstrim sehingga
tidak memenuhi kaidah nalar akal sehat, nasib malang yang berlebihan, atau keperkasaan perempuan
yang diwujudkan melalui hantunya.
Selain stereotipe mengenai karakter wanita yang lemah dengan segala keterbatasannya dan
kurang dominan dibanding pria, tayangan di media juga masih sering menggambarkan wanita dengan
sisi sensualnya. Tubuhnya masih sering dieksploitasi dengan penggunaan pakaian minim yang
memperlihatkan lekuk tubuh memperlihatkan wanita sebagai objek seks. Seperti yang dijelaskan oleh
Liestianingsih pada studinya terhadap iklan obat Kuku Bima TL dan vitamin Hemaviton di televisi.
memperlihatkan perempuan digambarkan sebagai obyek seks, untuk kepuasan seks laki laki
(Liestianingsih, 2000). Selain itu, studi pada iklan kosmetik di televisi tubuh perempuan dieksplorasi
sedemikian rupa, dan secara sistematis terjadi konstruksi tentang perempuan ideal yakni berkulit
putih, halus, berambut indah, hitam, lurus serta bertubuh langsing, perempuan cantik adalah

perempuan dengan wajah Eropa. Keindahan tubuh perempuan dibentuk untuk menarik perhatian laki laki.
Penggambaran perempuan yang tidak adil di media terus terjadi dan pada akhirnya dianggap
sebagai sesuatu yang wajar. Masalahnya media, terutama televisi saat ini telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari keluarga di Indonesia. Hal ini mengakibatkan terpaan informasi terjadi terus menerus
pada khalayak dan menjadikan media s ebagai penuntun atau pedoman berperilaku.
Seiring dengan hal tersebut, di sisi lain media memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas
dan realitas ini dikonstruksi sesuai dengan latar belakang masing -masing individu para pengelola
media. Produk media yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh latar belakang seperti pemahaman
mereka tentang gender. Jika pemahaman mereka sarat ketidakadilan gender maka produk yang
dihasilkan juga akan bias gender. Di sini ada titik temu antara pengelola media yang bias gender dan
kekuatan media mengkonstruksi realitas. Hasilnya adalah audiens akan semakin dikokohkan
pemahamannya tentang nilai -nilai atau ideologi tertentu.
Salah satu faktor konstruksi ini semakin kuat tertanam karena kebanyakan tayangan yang
menggambarkan peran wanita yang kurang mendominasi muncul di waktu utama (Prime-time)
sehingga semakin banyak orang yang menonton tayangan tersebut dan jumlah konstruksi yang
dibentuk oleh media semakin meningkat. Misalnya tayangan sinetron Putri yang Ditukar tayang
pada pukul 20.00 WIB. Dan di Indonesia Prime time berkisar antara pukul delapan malam sampai
sebelas malam.
Ternyata fenomena dominasi pria tidak hanya terjadi di media Indonesia. seperti penelitian
yang dilakukan oleh Stacy L. Smith, PhD | Marc Choueiti | Ashley Prescott | Katherine Pieper, PhD
dari University of Southern California. Mereka meneliti beberapa tayangan di 10 stasiun TV besar.
Diantaranya, ABC, NBC, CBS, Fox, CW, Cartoon Network, Disney, Nickelodeon, E!, MTV. Mereka
melakukan pengamatan pada stasiun TV tersebut khususnya pada prime-time. Fokus penelitian ini
adalah menguji peran gender mengenai bagaimana penggambaran wanita dan pria dengan ukuran
stereotipe yang berlaku di masyarakat. Hasil dari penelitian ini ternyata masih ditemukan
ketidakseimbangan gender yang masih hidup di media. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah presentase
karakter wanita yang lebih sedikit daripada pria. Kebanyakan cerita yang ditayangkan masih berpusat
pada pria. Hasil selanjutnya adalah wanita masih memiliki stereotipe dalam hal seksual dalam
tayangan hiburan. Dalam tayangan di TV tersebut wanita memiliki presentase yang besar pula dalam
penggunaan pakaian yang minim dan seksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Stacy juga memiliki hasil yang mirip dengan penelitian oleh
Julia T. Wood. Dalam Jurnalnya, Julia menyampaikan bahwa terdapat tiga kesimpulan mengenai
peran antara wanita dan pria yang tergambar pada media. Tiga kesimpulan tersebut antara lain;
Pertama, wanita kurang direpresentasikan dibanding pria sehingga menimbulkan kesimpulan yang
salah yakni pria sebagai standar budaya sedangkan wanita tidak penting atau bahkan tidak ada.
Kedua, wanita dan pria digambarkan pada stereotipe yang mencerminkan dukungan atas pandangan

yang berlaku di kehidupan sosial mengenai gender. Ketiga, gambaran hubungan antara pria dan
wanita menegaskan peran tradisi dan menggambarkan bahwa kekerasan pada wanita adalah hal yang
normal.
Julia menjelaskan mengenai misrepresentasi mengenai kehidupan di Amerika dalam media.
Media sering menayangkan cerita dengan komposisi jumlah tokoh pria yang lebih banyak daripada
tokoh wanita. Hal ini menimbulkan kepercayaan yang salah bahwa lebih banyak jumlah pria daripada
wanita di Amerika. Padahal, realitas sesungguhnya, jumlah penduduk wanita di Amerika lebih banyak
daripada jumlah pria. Kurangnya jumlah wanita dalam tayangan media juga disebabkan sedikitnya
wanita yang berkerja di industri media. Selain itu juga terdapat pandangan yang sama dengan
penelitian Stacy sebelumnya, bahwa penggambaran wanita sebagai objek seksual. Wanita yang
ditampilkan oleh media biasanya muda, cantik, langsing. Wanita dengan usia yang tua lebih jarang
ditampilkan. Wanita juga digambarkan sebagai sosok yang pasif, tergantung, dan kurang pintar.
Karakter wanita masih sering ditokohkan dengan peran domestik misalnya mengurus urusan rumah.
Penggambaran stereotipe perempuan di Amerika pada media juga mencerminkan keadaan
yang berbeda dengan realitas yang ada. Media menegaskan citra budaya wanita sebagai hal yang
tergantung, hiasan, termarginalisasi. Media menciptakan dua gambaran bagi perempuan yakni yang
baik dan yang buruk. Namun ditampilkan dengan melebih-lebihkan. Hasil yang terakhir adalah
mengenai stereotipe hubungan antara wanita dan pria. Dalam hubungan, media menggambarkan
bahwa wanita lemah dan tergantung-pria mandiri. Misalnya dalam film kartun Little Mermaid dari
Walt Disney yang menceritakan mengenai seorang putri duyung yang rela menyerahkan identitasnya
demi diterima menjadi kekasih seorang pria yang berwujud manusia. Dari kisah tersebut kita dapat
mengambil gambaran bahwa wanita memiliki hubungan yang tidak imbang dengan pria. Wanita
direpresentasikan sebagai makhluk yang tunduk pada pria.
Analisis dalam tayangan MTV yang ada di Amerika, menggambarkan peran wanita sebagai
sosok yang pasif dan menunggu perhatian pria, sedangkan pria digambarkan sebagai sosok yang
mengabaikan, mengeksploitasi, dan mengarahkan wanita. (Brown, Campbell, & Fisher, 1986)
Dengan begitu maka konstruksi wanita di medi baik dalam maupun luarnegeri memiliki
kesimpulan yang sama dimana wanita tetap memiliki posisi yang terpinggirkan dan kurang
mendominasi dibanding dengan pria. Selain itu stereotipe wanita yang dipandang hanya sebagai objek
seksual juga memberi dampak yang merugikan bagi kaum wanita. Dimana dengan adanya konstruksi
yang seperti itu, tingkat kekerasan pada wanita semakin tinggi.

Kesimpulan
Peran media dirasa cukup besar dalam membentuk paradigma, opini, atau persepsi
masyarakat terkait masalah gender. Media massa merupakan media informasi yang terkait dengan
masyarakat, digunakan berhubungan dengan khalayak secara umum, dikelola secara professional dan
bertujuan mencari keuntungan. Menurut pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa tidak semua
media informasi dapat dikatakan sebagai media massa. Yang dimaksud gender adalah karakteristik
laki-laki dan perempuan berdasarkan dimensi sosial-kultural yang tampak dari nilai dan tingkah laku.
Gender berbeda dari seks dan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Istilah
gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan
perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya
(konstruksi sosial). Saat ini di Budaya Indonesia yang menggunakan sistem patriarki menyebabkan
media turut membentuk konstruksi yang tidak seimbang antara peran karakter wanita dan pria di
berbagai tayangannya. Termasuk dalam sinetron, iklan, film, atau hasil media yang lainnya. Hal ini
berdampak pada marginalisasi kaum wanita di Indonesia sehingga sering terjadi kekerasan atau
diskriminasi pada wanita. Konstruksi yang terjadi terus menerus akan sulit dihilangkan apabila media
dan budaya tetap memberlakukan sistem yang sama dengan sebelumnya. Karena media menciptakan
suatu produk atas dasar minat penonton, sedangkan penonton membentuk opini dipengaruhi apa yang
ditayangkan oleh media. Konstruksi media mengenai gender di luar negeri juga mengalami hal yang
sama, dimana posisi wanita digambarkan lebih rendah daripada pria. Selain itu juga masih berlakunya
stereotipe yang ada di masyarakat tentang peran wanita sebagai hiasan dengan tuntutan penampilan
yang menarik dan menyenangkan bagi kaum pria. Media sebaiknya membentuk gambaran yang
seimbang antara pria dan wanita agar tidak terjadi hubungan yang asimetris diantara keduanya dengan
cara menayangkan tontonan yang mendekati realitan di kehidupan nyata agar tidak timbul masalah
dominasi antar gender yang dampaknya akan merugikan bagi pihak yang minoritas atau
dimarginalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, J. D., Campbell, K., & Fisher, L. (1986). American adolescents and music videos: Why do
they watch Gazette 37 9-32
Fakih, M. (2006). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Liestianingsih D., (2000). Ideologi Gender Dalam Iklan Kosmetik Di Televisi, Laporan Penelitian .
Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga.

Liestianingsih D., (2000).Penggambaran Relasi Gender Dalam Iklan Obat Kuat dan Suplemen Di
Televisi, Laporan Penelitian .Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga.

Mondry. 2008. Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik.Bogor: Ghalia Indonesia


Rahmawati, A. (2004). Persepsi Remaja tentang Konsep Maskulin dan Feminim Dilihat dari
Beberapa Latar Belakangnya. Skripsi pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.

Santrock, J. W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Suryandaru, Yayan Sakti.(2002). (ed), Potret Kesadaran Gender Orang Media .Surabaya: Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga
Wood, T Julie (1994).Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture(pp. 231-244). Reprinted
with permission of Wadsworth Publishing, a division of Thomson Learning.
Wardhana, Veven SP, (2000) Perempuan dalam Sinetron Indonesia: Petaka atau Perkasa, dalam
Siregar, Ashadi; Pasaribu, Rondang; Prihastuti, Ismay, ed., Eksplorasi Gender di Ranah
Jurnalisme dan Hiburan, Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford
Foundation, Yogyakarta

Você também pode gostar