Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
SKRIPSI
SYAHRA ZULFAH
H34050039
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
88
RINGKASAN
SYAHRA ZULFAH. Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik Kelompok
Tani Bhineka I, Desa Blendung, Kabupaten Subang. Skripsi. Departemen
Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di
bawah bimbingan POPONG NURHAYATI).
Industri pupuk organik di Indonesia sangat prospektif untuk
dikembangkan. Hal ini dikarenakan berkembanganya pertanian organik yang ikut
meningkatkan penggunaan input-input pertanian organik dimana salah satunya
adalah pupuk organik. Berdasarkan data Departemen Pertanian tahun 2008,
kebutuhan pupuk organik baru dapat dipenuhi 2 persen dari total kebutuhan
sebesar 17 juta ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang pasar pupuk
organik di Indonesia sangat besar.
Kelompok tani (Poktan Bhineka I) adalah salah satu UKM pupuk organik
di Kabupaten Subang. Usaha ini berdiri sejak tahun 2008 dengan dukungan dana
dari Pemerintah Kabupaten Subang. Sejak berdiri pada tahun 2008 hingga
September 2009, Poktan Bhineka I menghadapi permintaan yang meningkat
hingga 90 persen. Akan tetapi permintaan tersebut belum terpenuhi semuanya
karena keterbatasan kapasitas produksi. Oleh karena itu, Poktan Bhineka I
berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi pupuk organiknya menjadi dua
kali lipat pada tahun 2010 .
Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis aspek kelayakan non finansial
dan finansial usaha pupuk organik Poktan Bhineka I yang telah berjalan selama
ini dan (2)Menganalisis kelayakan usaha pupuk organik jika kapasitas produksi
ditingkatkan. Manfaat dari penelitian ini yaitu : (1) Bagi penulis, penelitian ini
dapat menambah pengalaman dan latihan dalam menerapkan ilmu-ilmu yang telah
diperoleh selama kuliah, (2) Bagi perusahaan, penelitian ini dapat menjadi
referensi dan membantu perusahaan dalam mengambil keputusan pelaksanaan dan
pengembangan usaha pupuk organik oleh Poktan Bhineka I, dan (3) Bagi
pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi penelitian
dan pengembangan lebih lanjut mengenai bisnis pupuk organik.
Penelitian ini dilakukan di Desa Blendung pada bulan Mei hingga
September 2009. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Metode
yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis data pada penelitian ini adalah
metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kelayakan non finansial dilakukan
secara deskriptif dengan mengkaji lima aspek yaitu (1) Teknis dan teknologi, (2)
Pasar, (3) Manajemen, (4) Hukum dan (5) Sosial Lingkungan. Analisis kelayakan
finansial dilakukan dengan mengkaji arus kas menggunakan program Microsoft
Excel. Kriteria-kriteria kelayakan finansial diukur dari nilai NPV, IRR, Net B/C
dan Payback Period.
Analisis kelayakan non finansial usaha pupuk organik Poktan Bhineka I
dikatakan layak jika ditinjau dari aspek : (1) Teknis dan teknologi, (2) Pasar, (3)
Manajemen, dan (4) Sosial dan lingkungan. Aspek teknis usaha dikatakan layak
karena : (a) Pemilihan teknologi yang tepat, (b) Ketersediaan bahan baku terjamin
dan (c)Lokasi usaha yang strategis. Aspek pasar dikatakan layak karena
permintaannya yang meningkat dan kondisi pasar yang kompetitif dan teratur
dengan adanya APPOS. Aspek manajemen dikatakan layak karena adanya
89
90
SYAHRA ZULFAH
H34050039
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
91
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Analisis
Kelayakan Usaha Pupuk Organik Kelompok Tani Bhineka I, Desa Blendung,
Kabupaten Subang adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka
dibagian akhir skripsi ini.
Syahra Zulfah
H34050039
92
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 8 September 1987 dari pasangan
Bapak Muhammad Zulfan dan Ibu Rahmawati. Penulis menyelesaikan pendidikan
di SDN 060900 Medan pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima
di SLTPN 2 Medan dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2005,
penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 2 Medan. Pada tahun 2005, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Departemen Agribinis melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB).
Selama kuliah penulis aktif pada kegiatan organisasi dan kepanitian di
lingkungan kampus. Penulis aktif dalam anggota Bina UKM FEM. Penulis juga
aktif di kegiatan luar kampus sebagai pengajar Ekonomi di bimbingan belajar di
Bogor.
93
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penelitian dalam rangka penulisan skripsi untuk mendapatkan
gelar sarjana. Skripsi ini berjudul Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik
Kelompok Tani Bhineka I, Desa Blendung, Kabupaten Subang yang secara
umum bertujuan untuk menentukan kelayakan usaha pupuk organik yang
dijalankan oleh kelompok tani. Hasil analisis penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan masukan bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan investasi.
Selain itu, hasil analisis penelitian ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam pengembangan industri pupuk
organik khususnya di Subang.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak termasuk
penulis, pembaca, pemerintah dan terutama untuk perusahaan tempat penulis
melakukan penelitian. Penulis juga mengharapkan masukan yang bersifat
membangun untuk perbaikan di masa mendatang.
Penulis
94
besar
menyelesaikan skripsi.
11. Semua pihak yang turut membantu dalam pembuatan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
95
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ..........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
xiii
xiv
I.
PENDAHULUAN .........................................................................
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
4
4
6
6
7
8
9
11
12
13
14
14
16
16
18
19
20
20
20
20
21
21
21
22
25
II.
4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
25
25
25
26
26
27
96
30
34
5.1.
5.2.
5.3.
5.4.
34
35
36
37
39
39
39
49
51
55
57
59
60
60
60
61
62
62
63
64
67
68
69
78
78
79
80
LAMPIRAN ............................................................................................
82
V.
70
70
71
73
74
75
76
97
DAFTAR TABEL
Nomor
1.
Halaman
Kebutuhan dan Ketersediaan Berbagai Jenis Pupuk
Di Indonesia Tahun 2008 ........................................................
2.
11
3.
34
4.
39
5.
40
6.
42
7.
52
8.
63
9.
64
65
67
67
67
68
68
70
71
71
72
73
21. Rincian Laba Rugi Usaha Bhineka I pada (Skenario II) ..........
74
74
75
74
98
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.
24
3.
36
4.
43
5.
45
6.
55
7.
55
8.
57
9.
76
99
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
Halaman
Komposisi Unsur Hara Kotoran ternak dari Beberapa Jenis
Ternak di Indonesia ...............................................................
82
83
3.
84
4.
85
5.
86
6.
87
7.
89
8.
91
9.
92
93
95
96
97
98
99
100
102
103
104
2.
100
I PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang
Semenjak dimulainya revolusi hijau (1970-an), kondisi lahan pertanian
mempunyai
kandungan bahan organik (BO) sangat rendah yaitu kurang dari dua persen
(<2%). Padahal BO sangat berperan sebagai faktor pengendali (regulating factor)
dalam proses-proses penyediaan hara bagi tanaman dan mempertahankan struktur
tanah. Rendahnya kandungan hara menyebabkan kebutuhan lahan terhadap
pupuk anorganik sebagai asupan hara semakin meningkat. Urea adalah salah satu
pupuk anorganik yang pada umumnya digunakan petani Indonesia sebagai asupan
hara pokok tanaman. Total konsumsi pupuk urea di Indonesia meningkat dari 0,39
juta ton (1975) menjadi 5,9 juta ton (2008).
6000
5000
Ton
4000
3000
2000
1000
0
1975 1985 1990 1995 2000 2005 2008
Tahun
tahun 2009, anggaran subsidi urea mencapai Rp 7 Triliun untuk 5,5 ton urea dan
pada tahun 2010 mencapai Rp 11 Triliun untuk 6 ton urea1. Salah satu alternatif
dalam penyelesaian masalah penurunan produktifitas lahan dan kelangkaan pupuk
adalah sistem pemupukan terpadu dimana penggunaan pupuk anorganik dikurangi
dengan penambahan pupuk organik dalam komposisi pemupukan. Pupuk organik
adalah pupuk yang bahan bakunya berasal dari sisa makhluk hidup yang telah
mengalami proses pembusukan oleh mikroorganisme pengurai. Pupuk organik
biasanya berasal dari pengomposan kotoran ternak,sisa panen seperti jerami dan
sampah kota. Hasil penelitian pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak
(Crops Livestock System, CLS) pada lahan percobaan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat
mengurangi pemakaian pupuk anorganik 25-35 persen dan meningkatkan
produktivitas 20-29 persen. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, pengurangan
pemakaian pupuk anorganik dapat meningkatkan pendapatan usaha tani sebesar
20-29 persen dan menghemat anggaran subsidi pemerintah sekitar 30 persen atau
sekitar Rp 3,3 Triliun pada tahun 2010.
Pengembangan industri pupuk organik tidak hanya berdasarkan atas
faktor kerusakan lahan tetapi juga nilai bisnis dan ekonominya. Pertanian organik
mengalami perkembangan yang pesat sehingga permintaan pupuk organik ikut
meningkat. International Federation for Organic Agriculture Movement
(IFOAM), sebuah organisasi internasional yang menjadi payung gerakan organik
seluruh dunia, memprediksi bahwa pertumbuhan pasar organik berada di kisaran
20-30 persen setiap tahun.
Pengembangan pertanian organik mendapat dukungan besar dari
pemerintah melalui program Go Organik yang dicanangkan sejak tahun 2005.
Pada tahun anggaran 2007, Departemen Pertanian (Deptan) mengalokasikan dana
Rp 30 Milyar untuk pengembangan pertanian organik dan lingkungan hidup.
Anggaran dialokasikan ke semua Direktorat jendral (Ditjen) teknis di bawah
Deptan yang memiliki program-program teknis pengembangan pertanian organik.
Program-program yang mendapatkan dukungan ini berupa pengembangan pilot
Koran Republika. Harga Eceran Pupuk Urea 2010 Naik . Jumat, 11 September 2009
102
proyek organik,
studi kelayakan,
Hal tersebut
Kebutuhan
(Ton)
5.817.974
Ketersediaan
Pupuk (Ton)
4.300.000
Sp-36
2.443.169
800.000
1.643.169
ZA
1.164.744
700.000
467.744
NPK
1.269.406
900.000
369.406
17.000.000
345.000
16.655.000
Urea
Organik
Selisih (Ton)
1.517.917
Sumber : www.deptan.go.id
Kabupaten Subang adalah salah satu kabupaten yang berperan besar dalam
ketahanan pangan nasional sebagai salah satu lumbung padi nasional yang
menyumbangkan produksi padi mencapai 1.020.606 ton terhadap stok padi
www.biocert.or.id/.../edition_87fdaf7e36e714da66073a3ce1a2741cc39f86ad.pdf Rp 30 milyar
Untuk Pengembangan Pertanian Organik.2007. Diakses pada tanggal 6 juli 2009
103
mensubstitusikannya
pensubstitusian
dengan
penggunaan
pupuk
pupuk
organik.
anorganik
Tujuan
menjadi
utama
organik
dari
adalah
Perumusan Masalah
Salah satu alasan penting pengembangan pertanian organik adalah
kerusakan lahan pertanian yang semakin buruk. Penggunaan pupuk kimia yang
terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak
diimbangi dengan penggunaan pupuk organik. Hasil penelitian Lembaga
Penelitian Tanah (LPT) menunjukkan bahwa 79 persen tanah sawah di Indonesia
memiliki bahan organik (BO) yang sangat rendah 3. Kondisi ini berarti bahwa
sawah di Indonesia sudah sangat miskin hara bahkan dapat dikatakan sakit
sehingga tidak hanya membutuhkan makanan (pupuk kimia), namun juga
memerlukan penyembuhan. Cara penyembuhannya adalah dengan menambahkan
104
BO yang telah diolah menjadi pupuk organik sehingga tanah dapat menjadi lebih
sehat. Untuk meningkatkan kandungan BO, dibutuhkan tambahan bahan-bahan
organik (pupuk organik) berkisar 5-10 ton/ha.
Faktor penting dari pengembangan pertanian organik adalah ketersediaan
input-input yang menunjang sistem pertanian organik, dimana salah satunya
adalah ketersediaan pupuk organik. Dari data Departemen Pertanian tahun 2008,
kebutuhan pupuk organik baru dapat dipenuhi 2 persen dari total kebutuhan
sebesar 17 juta ton. Kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi karena jumlah
industri pupuk organik yang berkembang di Indonesia sangat lambat. Pupuk
organik hanya diproduksi secara parsial dengan skala industri rumah tangga
(home industry) sehingga jumlah produksi yang dihasilkan relatif kecil dan tidak
kontinu. Oleh karena itu, industri pupuk organik di Indonesia sangat penting dan
prospektif untuk dikembangkan. Kebutuhan pupuk organik yang tinggi sedangkan
ketersediaannya tidak mencukupi menunjukkan suatu peluang bisnis yang
prospektif. Gap yang besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik
menunjukkan market potential pupuk organik cukup besar. Market potential yang
besar tersebut menjadi peluang pasar bagi para produsen untuk mengembangkan
usaha pupuk organik.
Kabupaten Subang memiliki luas areal pertanian
sebesar 63 persen
(129.975 Ha) dari total luas lahan (205.176 Ha). Berdasarkan anjuran pemakaian
bahan organik (Balitan 2005) dimana setiap hektar lahan memerlukan minimal 2
ton pupuk organik per tahun, maka kebutuhan pupuk organik Subang sekitar
259.950 ton per tahun. Akan tetapi, menurut ketua APPOS, Bapak Suta Suntana,
produksi pupuk organik di Subang hanya mencapai 200 ton per bulan atau 2200
ton per tahun pada tahun 2009. Hal ini dikarenakan usaha pembuatan pupuk
organik baru berkembang sejak tahun 2007 dan rata-rata skala usahanya masih
tergolong dalam usaha kecil. Poktan Bhineka I adalah salah satu pelaku usaha
pembuatan pupuk organik di Subang yang tergabung dalam APPOS. Poktan ini
baru menjalankan usaha pembuatan organik sejak awal tahun 2008. Pendirian
usaha ini mendapat bantuan Pemkab Subang senilai Rp 32.000.000. Penjualan
pupuk organik Poktan Bhineka I meningkat 90 persen dari 120 ton pada tahun
2008 menjadi 230 ton pada September 2009. Menurut pengelola permintaan
105
pupuk organik sangat tinggi sehingga terkadang tidak dapat dipenuhi. Pada bulan
Juli 2009 terjadi penolakan permintaan sebesar 20 ton. Alasan penolakan
permintaan karena usaha ini memiliki kapasitas produksi yang terbatas. Usaha
Poktan Bhineka I hanya mampu menghasilkan 25 ton pupuk per bulan. Oleh
karena itu, pengelola Poktan Bhineka I berencana meningkatkan kapasitas usaha
menjadi dua kali lipat untuk memenuhi permintaan pasar.
Penelitian ini mengkaji kelayakan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I
dalam jangka waktu sepuluh tahun. Analisa kelayakan usaha ditinjau dari aspek
finansial dan non finansial untuk menentukan keputusan mengenai layak atau
tidaknya suatu usaha dijalankan hingga kemudian ditingkatkan kapasitas
produksi. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa perumusan
masalah dalam penelitian ini diantaranya :
1.
2.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
2.
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi
Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengalaman dan latihan dalam
menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama kuliah.
106
2.
3.
1.5
107
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik yaitu pupuk yang bahan bakunya
berasal dari sisa makhluk hidup yang telah mengalami proses pembusukan oleh
mikroorganisme pengurai sehingga warna, rupa, tekstur, dan kadar airnya tidak
serupa lagi dengan aslinya. Pupuk anorganik yaitu pupuk yang bahan bakunya
berasal dari bahan mineral, senyawa kimia yang telah diubah menjadi proses
produksi sehingga menjadi bentuk senyawa kimia yang dapat diserap tanaman.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.2/Pert/Hk.060/2/2006
tentang pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri
atas bahan organik, berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair dan digunakan untuk
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan
bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan
organik daripada kadar haranya. Nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda
dengan pupuk anorganik.
Karakteristik umum yang dimiliki pupuk organik adalah sebagai berikut :
1.
tanah kemudian dialihrupakan dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak
dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik
sederhana yang dapat diserap oleh tanaman.
3.
108
kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan
hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau
merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti
sisa batang dan tunggul akar misalnya sisasisa tanaman, kacang-kacangan, dan
tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan hasil pengomposan kotoran
ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang,
darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian
contohnya seperti limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit,
penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang
dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah
dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas,
botol, dan kertas. Dalam penelitian ini, pupuk organik yang dimaksud adalah
pupuk organik yang sumber organiknya berasal dari pengomposan kotoran hewan,
jerami dan bahan lainnya.
2.1.1 Bahan-Bahan Penyusun Pupuk organik
Menurut Isroi (2009), bahan-bahan yang umumnya digunakan dalam
pembuatan pupuk organik adalah sebagai berikut :
1.
Bahan Organik
a.
Kompos
Kompos sebagai bahan baku utama dalam pembuatan pupuk
Pupuk kandang
Pupuk kandang juga termasuk jenis kompos, tetapi berbahan baku
kotoran hewan. Pupuk kandang bisa dibuat dari kotoran ternak (sapi,
kambing, kerbau, unggas atau kotoran manusia). Kotoran ternak ayam,
sapi, kerbau, dan kambing mempunyai komposisi hara yang bervariasi
(Lampiran 1). Secara umum, kandungan hara kotoran ternak lebih rendah
daripada pupuk kimia sehingga takaran aplikasinya lebih besar.
109
c.
Gambut
Gambut mirip dengan kompos, namun proses dekomposisinya
belum sempurna. Gambut tidak dijadikan sebagai bahan baku utama pupuk
organik. Umumnya gambut digunakan sebagai bahan baku organik
tambahan untuk pupuk organik
2.
Perekat
Perekat berfungsi untuk merekatkan pupuk organik agar pencampuran
bahan sempurna dan menghasilkan tekstur pupuk yang padat. Beberapa bahan
yang biasa digunakan sebagai perekat antara lain adalah molase, tepung tapioka,
kalsium, bentonit, kaoline dan lain sebagainya. Perekat ditambahkan dalam
jumlah sedikit (kurang dari 10 %).
3.
Fosfat alam
Fosfat Alam ditambahkan untuk meningkatkan P didalam pupuk
organik.
b.
Dolomit
Penambahan dolomit digunakan untuk meningkatkan kandungan
Zeolit
Zeolit memiliki pengaruh yang baik untuk tanah, yaitu dapat
110
e.
Abu atau arang sekam memiliki kandungan K2O yang cukup tinggi yaitu
kurang lebih 30 persen. Penambahan abu atau arang sekam digunakan
untuk meningkatkan kandungan hara K.
Menurut Sutanto (2002), keberhasilan proses pengomposan dalam
pembuatan pupuk organik sangat tergantung pada kesesuaian komposisi bahan.
Perlakuan yang paling tepat terhadap bahan dasar untuk berlangsungnya proses
dekomposisi sangat tergantung pada karakteristik limbah organik yang digunakan
(Lampiran 2).
2.1.2 Standar Kualitas Pupuk organik
Mutu atau kualitas adalah segala hal yang menunjukkan keistimewaan atau
derajad keunggulan suatu produk. Menurut Sutanto (2002) spesifikasi dari pupuk
organik yang berkualitas baik adalah :
1.
2.
3.
4.
Sedangkan standarisasi atas pupuk organik yang telah ditetapkan oleh Deptan
diuraikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik di Indonesia
No
Kandungan
Parameter
Padat
Cair
C-organik (%)
Min 16
>6
C/N ratio
12 25
<2
- As (ppm)
< 10
< 10
- Hg (ppm)
<1
<1
- Pb (ppm)
< 50
<50
- Cd
<10
<10
pH
>4 - < 8
>4 - < 8
111
No
Kandungan
Parameter
Padat
Cair
Dicantumkan
Dicantumkan
Dicantumkan
Dicantumkan
Dicantumkan
Dicantumkan
bermacam-macam
metode
pengomposan
yang
telah
Metode Indore
Metode pengomposan Indore biasa digunakan di Asia Selatan dan Asia
menggunakan lubang galian (Indore Pit Method) dan (2) menggunakan timbunan
(Indore Heap Method). Metode Indore sesuai diterapkan di daerah yang bercurah
hujan tinggi dengan lama proses pengomposan kurang lebih tiga bulan.
b.
Metode Bangalore
Metode pengomposan ini dikembangkan di Bangalore India pada tahun
1939. Timbunan bahan disusun sama seperti metode Indore tetapi lubang
dipersempit 60 cm dan dilapisi limbah cair. Proses dekomposisi yang berlangsung
akan mempertahankan hara yang dikandung dan bahan kompos lebih kaya
nitrogen dibandingkan metode Indore. Metode ini cocok untuk wilayah yang
memiliki curah hujan yang rendah.
c.
Metode Berkeley
Pada metode ini, bahan yang dikomposkan merupakan campuran bahan
organik kaya selulosa dan bahan organik kaya nitrogen. Proses pengomposannya
terjadi dengan cepat dan dalam waktu yang relatif singkat
d.
Metode Vermikompos
Vermikompos merupakan bahan campuran hasil proses pengomposan
112
e.
Metode Jepang
Dalam metode ini, lubang galian diganti dengan bak penampung yang
terbuat dari anyaman bambu. Dengan metode ini, kehilangan nitrat dapat
dihindarkan.
2.3
2.
3.
4.
5.
2.4
113
usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia (WNI)
dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000 per tahun.
Definisi usaha kecil Menurut UU No. 9/1995, adalah: (1) Usaha produktif
milik WNI, yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang
tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi, (2)
Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Usaha
Menengah atau Besar (UMB), dan (3) Memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki
hasil penjualan paling banyak Rp. 100.000.000 per tahun. Berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan (Kepmenkeu) 571/KMK 03/2003 maka pengusaha kecil adalah
pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak
dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan
brutto tak lebih dari Rp 600.000.000.
Definisi usaha menengah menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1999,
tentang Pemberdayaan Usaha Menengah adalah ; (1) Usaha produktif milik WNI,
yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi; (2) Berdiri sendiri,
dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan usaha
besar, (3) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000, sampai
denganb Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000 per tahun.
2.5
Penelitian Terdahulu
Mujiati (2004) menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis kelayakan
114
115
dan
dilaksanakan
dalam
satu
bentuk
kesatuan
dengan
Pendirian, berarti objek yang dipelajari dan diteliti merupakan usaha baru
yang akan didirikan
2.
3.
Merger atau akuisisi, berarti objek merupakan usaha yang sudah berdiri
kemudian digabungkan dan diambil alih oleh perusahaan lain.
Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang kemampuan suatu
2.
Manfaat proyek bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan (disebut juga
manfaat ekonomi nasional).
3.
Tujuan dilakukan analisis proyek adalah (1) untuk mengetahui tingkat keuntungan
yang dicapai melalui investasi dalam suatu proyek, (2) menghindari pemborosan
116
Aspek Pasar
Untuk mencapai hasil pemasaran yang diinginkan, suatu perusahaan harus
Aspek Teknis
Aspek teknis mencakup masalah penyediaan sumber-sumber dan
Aspek Manajemen
Tujuan analisis kelayakan usaha dari aspek manajemen adalah untuk
Aspek Hukum
Aspek hukum terdiri dari bentuk usaha yang akan digunakan, jaminan-
jaminan yang dapat diberikan apabila hendak meminjam dana seperti akta,
sertifikat dan izin yang diperlukan dalam menjalankan usaha.
117
5.
Aspek Finansial
Aspek finansial terdiri dari uraian mengenai modal kerja, modal investasi,
menganalisis laporan keuangan dan arus kas usaha dan memutuskan apakah usaha
ini layak berdasarkan indikator-indikator finansial.
3.1.2 Teori Biaya dan Manfaat
Dalam menganalisa suatu proyek tujuan analisa harus disertai dengan
definisi biaya dan manfaat. Biaya diartikan sebagai salah satu yang mengurangi
suatu tujuan, sedangkan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu
terlaksananya suatu tujuan (Gittinger, 1986). Biaya dapat juga didefinisikan
sebagai pengeluaran atau korbanan yang dapat menimbulkan pengurangan
terhadap manfaat yang diterima. Biaya dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
2.
3.
Manfaat langsung yaitu manfaat yang secara langsung dapat diukur dan
dirasakan sebagai akibat dari investasi seperti peningkatan pendapatan dan
kesempatan kerja.
2.
Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang secara nyata diperoleh dengan
tidak langsung dari proyek dan bukan merupakan tujuan utama proyek.
Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan
suatu proyek yang dilaksanakan adalah kriteria investasi. Dasar penilaian investasi
adalah perbandingan antara jumlah nilai yang diterima sebagai manfaat dari
investasi tersebut dengan manfaat dalam situasi tanpa proyek. Nilai perbedaannya
118
adalah berupa tambahan manfaat bersih yang akan muncul dari investasi dengan
adanya proyek (Gittinger, 1986).
3.1.3 Analisis Kelayakan Investasi
Kriteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh dan
biaya yang dikeluarkan dari suatu proyek. Dalam mengukur manfaat suatu proyek
dapat digunakan dua cara. Pertama, menggunakan perhitungan berdiskonto, yaitu
suatu teknik yang dapat menurunkan manfaat yang diperoleh pada masa yang
akan datang dan arus biaya menjadi nilai biaya pada masa sekarang. Kedua,
menggunakan perhitungan tidak berdiskonto. Perbedaan dua cara ini terletak pada
konsep Time Value of Money yang digunakan pada model perhitungan
berdiskonto. Model perhitungan tidak berdiskonto memiliki kelemahan umum
dibandingkan
perhitungan
berdiskonto
yaitu
ukuran
tersebut
belum
119
3.1.4
Analisis Finansial
Analisis finansial adalah analisis yang digunakan untuk membandingkan
antara biaya dan manfaat untuk menentukan apakah suatu proyek akan
menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan Suwarsono, 2000). Analisis
Finansial terdiri dari:
3.1.4.1 Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi melaporkan pendapatan dan beban selama periode
waktu tertentu berdasarkan konsep penandingan atau pengaitan. Menurut Warren,
et al (2005) laporan laba rugi melaporkan kelebihan pendapatan yang dihasilkan
selama periode terjadinya beban tersebut. Kelebihan ini disebut laba bersih atau
keuntungan bersih. Jika beban melebihi pendapatan, maka disebut kerugian.
Adanya laporan laba rugi akan memudahkan untuk menentukan besarnya aliran
kas tahunan yang diperoleh suatu perusahan (Nurmalina, Sarianti dan Karyadi,
2009).
3.1.4.2 Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus
kas yang ditimbulkan oleh investasi. Menurut Keown (2004), NPV diartikan
sebagai nilai bersih sekarang dari arus kas tahunan setelah pajak dikurangi dengan
pengeluaran awal. Dalam menghitung NPV perlu ditentukan tingkat suku bunga
yang relevan. Kriteria investasi berdasarkan NPV yaitu:
a.
b.
c.
NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang
dipergunakan, atau dengan kata lain proyek tersebut merugikan dan
sebaiknya tidak dilaksanakan.
120
value dari net benefit yang negatif. Kriteria investasi berdasarkan Net B/C Rasio
adalah:
a.
Net B/C = 1, maka NPV = 0, artinya proyek tidak untung ataupun rugi
b.
Net B/C > 0, maka NPV > 0, artinya proyek tersebut menguntungkan
c.
121
b.
c.
Kenaikan biaya
d.
Parameter
sangat
122
manajemen, aspek hukum dan aspek sosial. Analisis finansial mancakup kajian
mengenai NPV, IRR, Net B/C Rasio, Payback Period dan kemudian dilakukan
analisis sensitivitas usaha dengan switching value. Adapun kerangka operasional
penelitian ini adalah sebagai berikut.
123
Studi Kelayakan
Aspek Finansial
1. Laba Rugi
2. NPV
3. Net B/C
4. Payback Period
Analisis
Sensitivitas
Tidak Layak
1. Relokasi sumberdaya
2. Reevaluasi aspek-aspek
Layak
Usaha Pupuk organik
dikembangkan
124
IV METODE PENELITIAN
4.1
penelitian ini merupakan teknik non probabality sampling yang terdiri dari dua
cara yaitu purpossive sampling dan snowball sampling. Pemilihan Poktan Bhineka
I dilakukan secara sengaja purposive sampling yaitu menentukan dengan sengaja
objek yang akan diteliti untuk menggambarkan beberapa sifat di populasi tersebut
dengan pertimbangan bahwa objek yang dipilih memiliki potensi untuk
pengembangan industri pupuk organik. Penentuan stakeholder sebagai sumber
informasi dilakukan secara snowball sampling atas rekomendasi pengelola usaha
Poktan Bhineka I (Bapak Haji Dedi Sobandy). Menurut Siagian dan Sugiarto
(2008), teknik snowball sampling sangat tepat dilakukan bila populasinya kecil
dan sangat spesiifk. Metode yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis
data pada penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif
digunakan untuk mengetahui keragaan usaha pupuk organik, sedangkan metode
kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha pupuk organik
secara finansial berdasarkan analisis kelayakan usaha. Pengolahan data dilakukan
dengan bantuan software Microsoft Excel untuk membuat proyeksi cash flow dari
total biaya dan manfaat yang dihasilkan oleh usaha ini beberapa tahun ke depan.
125
Data dan informasi kuantitatif yang telah diolah disajikan dalam bentuk
tabulasi yang bertujuan untuk mengklasifikasikan serta memudahkan dalam
menganalisis data. Sedangkan untuk data yang bersifat kualitatif yaitu aspek
pasar, aspek teknis, aspek bahan baku, aspek manajemen, aspek hukum, dan aspek
sosial ekonomi dan lingkungan selanjutnya akan disajikan dalam bentuk analisis
deskriptif.
4.4
finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial yang dikaji adalah (1) Aspek
teknis, (2) Aspek Pasar, (3) Aspek Manajemen, (4) Aspek Hukum, (5) Aspek
Sosial Lingkungan. Aspek finansial yag dikaji dalam penelitian ini yaitu arus kas
usaha yang menghasilkan kriteria-kriteria investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C dan
Payback period.
4.4.1 Analisis Kelayakan Non Finansial
Dalam penelitian ini, aspek kelayakan non finansial dikaji secara deskriptif
dan kualitatif
a.
Aspek Teknis
Aspek teknis mencakup lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, skala
Aspek Pasar
Aspek pasar mengkaji permintaan dan market potential serta proyeksi
Aspek Manajemen
Aspek manajemen yang dikaji dalam penelitian ini adalah struktur
organisasi yang dijalankan, jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan pembagian
kerja.
d.
Aspek Hukum
Aspek hukum yang dikaji dalam usaha ini yaitu bentuk badan usaha yang
e.
dialami oleh masyarakat yang biasa disepakati secara bersama. Aspek sosial yang
dikaji dalam penelitian ini adalah manfaat ekonomi dan sosial yang diterima
masyarakat
seperti
pengurangan
pengangguran,
peningkatan
pendapatan
Laba Rugi
Laba rugi adalah ikhtisar pendapatan dan beban selama periode waktu
tertentu. Dalam penelitian ini, laba rugi dianalisis dalam periode satu tahun pada
kondisi kapasitas maksimum. Pendapatan dari usaha ini adalah penjualan pupuk
organik. Beban usaha terdiri dari beban adiministrasi, listrik dan penyusutan.
Beban penyusutan dalam penelitian ini dihitung dengan metode garis lurus
(linear) dengan rumus :
Kondisi dimana pendapatan lebih besar dari beban usaha disebut laba atau
sebaliknya. Laba bersih setalah dikurangi beban bunga tetapi sebelum pajak
disebut EBT (Earning Before Tax) dan laba setelah dikurangi nilai pajak disebut
EAT (Earning After Tax). Beban bunga yang ditetapkan dalam penelitian ini
adalah sebesar 16 persen. Bunga dalam perhitungan merupakan bunga sederhana
(simple interest) yaitu bunga yang dihitung secara linear dan tidak ditambahkan
ke dana pokok untuk menghitung perolehan berikutnya (Soeharto,2002).
Total pinjaman X 16 %
Umur tahun
127
b.
diterima proyek selama umur proyek pada tingkat suku bunga tertentu. NPV juga
dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus kas yang ditimbulkan oleh
investasi. Dalam menghitung NPV perlu ditentukan tingkat suku bunga yang
relevan. Rumus perhitungan sebagai berikut:
NPV =
=1 (1+)
Dimana:
Bt
Ct
b.
c.
c.
setiap satu satuan biaya yang telah dikeluarkan selama umur proyek. Net B/C
merupakan angka perbandingan antara present value dari net benefit yang positif
dengan present value dari net benefit yang negatif.
Rumus perhitungan Net B/C:
Net B/C =
n Bt Ct
t=1(1i)t
n Bt Ct
t=1(1i)t
Dimana
Bt Ct 0
Bt Ct 0
128
Keterangan:
Bt = manfaat yang diperoleh setiap tahun
Ct = biaya yang dikeluarkan setiap tahun
t = umur proyek
n = jumlah tahun atau jumlah umur ekonomis
i = tingkat bunga (diskonto)
Adapun kriteria investasi berdasarkan Net B/C ratio adalah sebagai berikut:
d.
a.
b.
c.
Net B/C = 1, maka NPV=0, proyek tidak untung dan tidak rugi
value kas keluar yang diharapkan dengan present value aliran kas masuk yang
diharapkan, atau didefinisikan juga sebagai tingkat bunga yang menyebabkan
NPV sama dengan nol. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:
IRR =
NPV
i' i
'
NPV NPV
Keterangan:
i = Discount rate yang menghasilkan NPV positif
i = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif
NPV = NPV yang bernilai positif
NPV = NPV yang bernilai negatif
Gittinger (1986) menyebutkan bahwa IRR adalah tingkat rata-rata
keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan
dinyatakan dalam satuan persen. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga
maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan.
Suatu investasi dianggap layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku
bunga yang berlaku dan sebaliknya jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku
bunga yang berlaku, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
e.
metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur
129
periode jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat
kembali, semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali
dapat dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono, 2000).
Adapun perhitungan Payback Periode adalah sebagai berikut:
Payback Period =
I
Ab
Keterangan:
I = Besarnya investasi yang dibutuhkan
Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh setiap tahunnya
f.
Analisis Sensitivitas
Analisis Sensitivitas adalah teknik untuk mengantisipasi perubahan yang
V = i+ +
(NPV+)
(i i+)
(NPV+ NPV)
Keterangan :
i+
i-
Analisis aspek finansial dan non finansial dalam penelitian ini dilakukan
dalam jangka waktu umur proyek. Umur proyek adalah 10 tahun,
didasarkan pada umur investasi yang paling berpengaruh signifikan
terhadap proses produksi dan paling lama, yaitu bangunan.
2.
130
a.
Skenario I yaitu kondisi usaha dengan perolehan bahan baku yang telah
dilaksanakan saat ini dan tanpa penambahan kapasitas produksi 25 ton per
bulan selama umur proyek. Kapasitas produksi sesuai dengan luas
bangunan pengomposan. Pada skeanrio I modal yang digunakan adalah
modal sendiri ditambah bantuan pemerintah senilai Rp 32.000.000. Akan
tetapi bantuan pemerintah tidak dimasukkan dalam perhitungan dalam
nalisis arus kas penelitian ini karena arus kas yang dianalisis adalah arus
kas incremental yaitu arus kas yang mempengaruhi kondisi kelayakan
finanisial secara langsung selama proyek berlangsung.
b.
3.
Pada skenario I, tingkat diskon yang digunakan dalam analisis arus kas
merupakan tingkat suku bunga deposito Bank Rakyat Indonesia (BRI)
pada tanggal 1 September 2009 sebesar 7 persen. Hal ini dikarenakan
modal yang digunakan adalah modal sendiri sehingga oppourtunity cost
dalam investasi adalah bunga deposito. Pada skenario II, tingkat bunga
yang digunakan dalam analisis arus kas adalah bunga pinjaman Kredit
usaha Rakyat (KUR) dengan tingkat bunga 16 persen. Hal ini dikarenakan
pada skenario II, usaha ini memperoleh pinjaman KUR untuk peningkatan
investasi. Bank BRI menjadi acuan dalam penentuan tingkat bunga karena
BRI adalah bank mitra dari pengelola usaha pupuk organik Poktan
Bhineka I.
4.
Inflow dan Outflow pada tahun 2010 hingga akhir umur proyek merupakan
proyeksi berdasarkan pada penelitian dan informasi yang didapatkan pada
tahun 2008 dan tahun 2009.
5.
131
hingga selanjutnya merupakan harga pada tahun 2009 dan tidak berubah
sepanjang umur proyek.
6.
Semua bahan baku habis di produksi sehingga tidak ada persediaan bahan
baku di awal dan akhir tahun.
7.
Harga pupuk Bhineka I yang digunakan mulai tahun ke-3 hingga tahun ke10 adalah harga yang berlaku pada tahun 2009 yaitu Rp 650 per kilogram.
Tingkat harga yang digunakan adalah tingkat harga ditempat produksi
(farm gate price)
8.
9.
untuk
peralatan-peralatan
yang
telah
habis
umur
Pajak yang digunakan dalam usaha ini adalah pajak penghasilan untuk
orang pribadi karena usaha ini belum memiliki bentuk badan usaha.
Besarnya pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan:
a.
b.
c.
d.
e.
11.
132
c.
133
V GAMBARAN UMUM
5.1
Curah hujan 1.721 mm dengan jumlah bulan hujan yaitu 6 bulan hujan
2.
3.
Jumlah (keluarga)
1.014
15
870
108
21
15
1.014
Desa Blendung memiliki empat Poktan dan dan satu gabungan kelompok
tani (gapoktan). Kelompok tani tersebut tersebar di empat dusun yaitu;
Dusun I
Dusun II
Dusun III
Dusun IV
petani dalam penyerapan informasi dan teknologi baru. Dengan adanya kelompok
tani dapat menunjang pembangunan desa dalam pengembangan agribisnis
pedesaan.
Kelompok tani Bhineka II, III, dan IV termasuk Poktan pemula yang
dibentuk pada tahun 2007. Poktan Bhineka I merupakan Poktan yang sudah
berdiri lama yang menjadi pelopor pembentukan Poktan di Desa. Aktifitas Poktan
Bhineka I yaitu usaha pembuatan emping dan kripik nangka, pembibitan dan
pembuatan pupuk organik.
Pendirian Poktan Bhineka II, III, IV di Desa Blendung dirancang
sedemikian rupa oleh hasil musyawarah dengan aparat desa dan masyarakat
dimana setiap Poktan mengelola jenis usaha yang spesifik. Poktan Bhineka I
difokuskan dalam pengolahan dan penyediaan input, Bhineka II dalam usaha
peternakan, Poktan Bhineka III dalam usaha perikanan dan Bhineka IV dalam
usaha padi.
5.2
Ketua
2.
Wakil
: Pak Odeng
3.
Sekretaris
: Elis Selangi
4.
Bendahara
2.
3.
4.
didirikannya,
APPOS
telah
memberikan
kontribusi
bagi
Sekretaris
Opik
Bendahara
Ajo
Anggota kelompok tani
Bhineka I
Usaha pembibitan dilakukan sejak tahun 2005 yang terdiri dari pembibitan
melinjo, rambutan, durian dan jenis tanaman keras yang dikelola oleh
Bapak Dedi Sobandi.
2.
3.
5.4
Poktan Bhineka I atas dasar dorongan dari Pemkab Subang dan inisiatif oleh
anggota kelompok tani. Pemkab Subang mempunyai proyek yaitu menumbuhkembangkan industri kecil pupuk organik di Subang sebagai program penunjang
Go Organik 2010. Motivasi dari petani sendiri atas pembentukan usaha pupuk
organik yaitu kebutuhan pupuk organik yang meningkat karena semakin sadarnya
para petani akan kerusakana lahan pertanian mereka. Penggunaan pupuk
anorganik yang semakin meningkat sementara jumlah pupuk yang ada terbatas
menyebabkan seringnya terjadi kelangkaan pupuk. Akibat dari hal tersebut adalah
perkembangan usahatani di Desa Belendung menjadi terkendala. Oleh karena itu,
para petani berinisiatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk
anorganik khususnya urea dengan cara melakukan pemupukan terpadu dimana
mengurangi pemakaian pupuk anorganik dengan penambahan pupuk organik
dalam komposisi pemupukan.
Usaha pembuatan pupuk organik ini berlokasi di Dusun IV, Desa
Blendung. Usaha ini dikelola oleh Bapak Dedi Sobandi. Dalam pendirian usaha
ini, usaha ini mendapat bantuan dari Pemkab Subang senilai Rp 32.000.000.
Usaha ini baru berproduksi sejak Februari 2008. Produksi awal usaha ini adalah
137
138
gambaran terhadap usaha yang akan dijalankan maupun yang sudah dijalankan.
Kelayakan aspek non finansial menjadi penentu atas kelayakan aspek finansial
suatu usaha. Dalam analisis kelayakan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I,
aspek yang ditinjau meliputi ; (1) Aspek teknis dan teknologi, (2) Aspek pasar, (3)
Aspek manajemen, (4) Aspek hukum, dan (5) Aspek sosial lingkungan.
6.1.1 Aspek Teknis dan Teknologi
Kajian aspek teknis dan teknologi menitikberatkan pada penilaian atas
kelayakan proyek dari sisi teknis dan teknologi. Penilaian meliputi pemilihan
bahan baku dan peralatan, penentuan metode dan penentuan lokasi usaha.
1.
organik. Menurut Bapak Suta Suntana, Ketua APPOS, komposisi pupuk organik
yang baik yaitu:
1. Kotoran hewan
: 40-50 persen
2. Jerami
: 20-30 persen
3. Arang sekam
: 20 persen
: 10 persen
Komposisi bahan baku pupuk organik Bhineka I diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 4. Komposisi Bahan Baku 10 Ton Pupuk Organik Bhineka I
No
Jumlah
Total (Kg)
Kotoran Hewan
460 karung
13800
Proporsi
(%)
48.75
Arang Sekam
180 karung
5400
19.07
Karung @30 kg
Jerami
9 bak mobil
9000
31.79
Bak @500kg
Zeolit
1 kwintal
100
0.35
Kwintal@100kg
Molase
10 kg
10
0.04
Dekomposer
10 botol
Botol @ 1 liter
Air
1500 liter
1500 liter
23810
100
Total
Keterangan
Karung @30 kg
139
a.
Kotoran Hewan
Produksi pupuk organik yang dilakukan Bhineka I menggunakan kotoran
sebagai salah satu sumber bahan organik utama. Kotoran hewan yang digunakan
dalam usaha ini berasal dari kotoran sapi pedaging, sapi perah, domba dan ayam.
Menurut pengelola, penggabungan dari beragam jenis kotoran ini meningkatkan
kualitas pupuk karena setiap kotoran memiliki karakter sendiri (Lampiran 1).
Kotoran sapi pedaging lebih banyak digunakan daripada sapi perah karena
kandungan airnya lebih sedikit. Pada tahun 2008, sebagian besar kotoran dipasok
dari PT Kresna yaitu sebuah perusahaan peternakan terbesar di Kecamatan
Purwadadi. Pada tahun 2009, sebagian besar pasokan kotoran berasal dari
peternakan milik warga Desa Blendung dan sekitarnya. Menurut pengelola
kualitas kotoran dari peternakan warga lebih baik dibandingkan yang berasal dari
peternakan besar karena kandungan sampah ransum dan air lebih rendah.
Tabel 5. Ketersediaan Kotoran Hewan di Kecamatan Purwadadi
No
Jenis Ternak
Total Produksi
Kotoran per Bulan
(Kg)
708
Rata-rata Produksi
Kotoran per hari
(kg)
3
Jumlah (Ekor)
Sapi
Kambing, Domba
5619
0.5
84.285
5650
0.2
33.900
Total
63.720
181,905
Sumber: diolah, Warta Penelitian Pengembangan Pertanian Vol 27. No 25. 2006 dan Laporan
Penyuluh Pertanian Desa BLendung, 2007
dalam pupuk. Jerami yang baik digunakan untuk pembuatan pupuk organik yaitu
jerami yang tercacah kasar dan kering agar mudah dikomposkan. Dalam usaha
pupuk organik Poktan Bhineka I, jerami yang digunakan berasal dari limbah
usaha budidaya jamur yang sudah tercacah dan terurai sehingga proses
140
pengomposan menjadi lebih cepat. Selain itu, alasan penggunaan jerami dari
limbah jamur adalah ketersediaanya cukup banyak, harganya lebih murah dan
akses memperolehnya lebih dekat.
c.
Arang sekam
Fungsi arang sekam yaitu memberikan kandungan unsur K dalam pupuk
organik. Dalam usaha pupuk organik Bhineka I, arang sekam berasal dari usaha
penggorengan kerupuk dan pembuatan batu bata. Arang sekam yang berasal dari
limbah penggorengan kerupuk lebih banyak digunakan dibandingkan dari
pembuatan bata. Alasannya adalah arang sekam dari limbah penggorengan
kerupuk tidak terlalu matang dalam pembakaran sehingga lebih banyak
mengandung K2O dan tidak berbentuk abu.
d.
Molase
Fungsi molase yaitu sebagai katalisator perkembangan mikroba pembusuk
bahan tambahan dalam pembuatan pupuk organik juga dapat berperan sebagai
perekat agar pupuk organik yang dihasilkan tidak remah. Pada proses produksi
pembuatan pupuk organik Poktan Bhineka I digunakan molase sebanyak 10 kg
untuk memproduksi 10 ton pupuk organik. Takaran penggunaan molase tersebut
dapat bertambah atau berkurang tergantung kondisi bahan kompos. Jika bahan
kompos terlalu basah maka penggunaan molase akan dikurangi. Dan sebaliknya
jika kondisi bahan kompos terlalu kering maka takaran molase ditambah.
e.
Dekomposer
Dekomposer berbentuk cairan yang berisi bakteri pembusuk yang
dilarutkan dengan 150 liter air. Pemakaian tersebut sesuai dengan aturan pakai
yang tertera pada label dekomposer. Merek dagang dekomposer yang banyak
beredar dipasar yaitu merek Superfarm dan Em4. Merek dekomposer yang
141
digunakan dalam usaha ini yaitu Superfarm yang diproduksi oleh Greenland
Agrotecht Industries (Lampiran 4, Gambar 5). Alasan dari penggunaan Superfarm
karena mempunyai bakteri lebih banyak sehingga hasil pengomposan lebih baik.
Pembelian dekomposer melalui APPOS.
f.
Kaptan
Kaptan dalam pembuatan pupuk organik beperan sebagai zat adiktif untuk
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Drum
Garu
Embrat /Penyiram
2
1
1
13
Sepatu Boot
14
142
2.
15-20 hari
Memberikan perlakuan
berdasarkan suhu dan
kelembapan
Pemanenan
Penjemuran
Pengayakan
pengomposan. Bahan baku seperti kotoran dan limbah jamur tidak dapat dibiarkan
lama di ruangan terbuka karena bahan baku tersebut menjadi padat dan bersifat
anaerobik. Jika demikian, maka kualitas dari pupuk organik yang dihasilkan akan
menurun. Menurut Djaja (2008), bahan baku seperti kotoran, jerami limbah jamur
dan arang sekam diletakkan dan disimpan di tempat yang teduh dan tertutup agar
143
tidak terkena air hujan, angin, dan panas. Tempat yang terbuka memungkinkan zat
hara bahan baku tercuci oleh air hujan atau menguap karena terbawa angin dan
panas. Namun, tempat yang sangat tertutup pun tidak dianjurkan, karena uap
bahan baku dapat menumpuk, sehingga bisa menimbulkan alergi pada pekerja,
dan keracunan. Jadi, tempat penyimpanan dan penimbunan yang baik adalah
tempat setengah terbuka dan beratap. Poktan Bhineka I hanya memiliki bangunan
untuk pengomposan sedangkan ruang penyimpanan bahan baku tidak ada. Bahan
baku seperti kotoran dan limbah jamur disimpan di luar tanpa atap (Lampiran 4,
Gambar 2 ) dan tidak beralas sehingga dapat dikatakan dalam proses
penyimpanan bahan baku, penanganan yang dilakukan kurang baik.
2.
144
Zeolit
Kapur
Kotoran Sapi/Domba
Arang Sekam
Jerami Limbah Jamur
Kotoran Ayam
Alas Bambu
Pemantauan suhu
Suhu yang diinginkan selama proses pelapukan berkisar antara 45-65oC.
Pengukuran suhu biasanya hanya dirasakan dengan tangan. Bila suhu tumpukan
diatas 65oC maka harus dilakukan pembalikan sekaligus penyiraman. Tujuan
pembalikan yaitu : (1) meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, (2)
membuang panas yang berlebihan, (3) memasukkan udara segar kedalam
tumpukan, (3) meratakan pemberian air, dan (4) membantu penghancuran bahan.
Jika suhu dibawah 45 oC maka yang dilakukan adalah dengan menutup sedikit
tumpukan dan penambahan dekomposer.
b.
Pemeriksaan kelembapan
Kondisi kelembapan yang ingin dicapai yaitu 50 persen dimana jika bahan
kompos diremas maka akan terdapat sedikit air pada sela tangan. Jika bahan
145
terlalu kering, dimana saat diremas tidak keluar air dan terlalu remah sehingga
harus dilakukan penyiraman. Akan tetapi, jika saat diremas terlalu banyak air
maka harus dilakukan pembalikan agar uap air keluar dari tumpukan kompos.
4.
Pemanenan
Kompos yang siap dipanen memiliki ciri-ciri yaitu suhu rata-rata setelah
dua minggu menurun hingga dibawah 45oC dimana bahan kompos telah
menyerupai tanah dan warnanya coklat kehitaman. Setelah pengomposan selesai,
bahan kompos dijemur terlebih dahulu beberapa jam sebelum dikemas.
5.
Penjemuran
Bahan kompos yang telah matang kemudian dijemur atau dikeringkan
terlebih dahulu sebelum dikemas. Hal ini bertujuan untuk menormalkan suhu
bahan kompos dan mengeringkannya. Penjemuran membutuhkan waktu 1-3 hari
tergantung dari hasil pengomposan dan cuaca. Jika hasil pengomposan cukup
kering saat cuaca kemarau maka penjemuran bisa dilakukan dalam waktu sehari.
Penjemuran dilahan kosong disebelah ruang pengomposan. Lokasi penjemuran
belum bersemen sehingga digunakan terpal sebagai alas penjemuran (Lampiran 5,
Gambar 5).
6.
Pengayakan
Pengayakan dilakukan untuk memisahkan sampah dan bahan yang tidak
agar tidak terkena cahaya matahari langsung dan hujan. Proses penyimpanan
pupuk organik dalam usaha ini kurang baik. Pupuk disimpan diruang terbuka
menyebabkan pupuk mengalami pengikisan air hujan dan terlalu kering saat
kemarau (Lampiran 5, Gambar 6).
146
3.
Penentuan Lokasi
Lokasi kantor dan pabrik pupuk organik berada di dusun IV Desa
Blendung pada lahan seluas 1500m2 dengan luas bangunan 8m x 20m. Lokasi
usaha ini berdekatan dengan lokasi usaha pembibitan Poktan Bhineka I, usaha
peternakan ayam milik pengelola, usaha perikanan dan usahatani padi sawah
milik warga. Denah lokasi dari usaha ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
1.
Oleh karena itu, kedekatan lokasi usaha dengan pasar penting untuk di analisis.
Penjualan pupuk organik yang dilakukan oleh Poktan Bhineka I dengan cara
penjualan di tempat dimana biaya pengangkutan tidak ditanggung oleh penjual.
Oleh karena itu, jarak tidak menjadi masalah yang berarti bagi penjual. Sebagian
besar pembeli pupuk berlokasi di wilayah sekitar Kabupaten Subang. Konsumen
menganggap bahwa lokasi dari usaha ini cukup terjangkau.
2.
jamur dan arang sekam. Kotoran hewan seperti sapi dan domba didapat dari
peternak sekitar lingkungan usaha yaitu peternak dari Desa Blendung sendiri dan
dari desa sekitar seperti Desa Koranji dan Panyingkiran. Sedangkan untuk kotoran
ayam diperoleh dari kandang ayam milik pengelola (Bapak Dedy Sobandi).
Limbah jamur diperoleh dari Desa Rancabango dimana di daerah tersebut terdapat
20 pengusaha budidaya jamur. Arang sekam diperoleh dari limbah usaha
pembuatan kerupuk dan usaha pembuatan bata yang berada di Kalijati yang
berjarak sekitar 10 km dari lokasi usaha. Untuk bahan bantu seperti fosfat alam,
molase, zeolit dan lain-lain diperoleh dari luar Subang yaitu Jakarta dan Bandung
dan dipesan melalui APPOS.
3.
produksi. Oleh karena itu, ketersediaan air penting bagi usaha ini. Usaha ini
menggunakan air tanah dalam proses produksi. Berdasarkan laporan penyuluhan
pertanian 2007, Desa Blendung memiliki drainase yang baik sehingga
ketersediaan air cukup dan terjamin.
147
4.
yang berasal dari lingkungan sekitar dengan tingkat pendidikan terakhir SD.
Ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pupuk organik
Poktan Bhineka cukup terjamin.
5.
Fasilitas transportasi
Desa Blendung memiliki jalan utama desa dalam kondisi baik dan
beraspal. Lokasi usaha berada sekitar 300 meter dari jalan utama desa dengan
kondisi jalan kurang baik dan belum beraspal.
6.
dengan
Sikap masyarakat
Proses pembuatan pupuk organik menghasilkan bau sehingga pemilihan
lokasi
harus
mempertimbangkan
kedekatan
dengan
lokasi
pemukiman
masyarakat. Lokasi usaha pembuatan pupuk organik Bhineka I berada jauh dari
pemukiman penduduk sehingga tidak menimbulkan masalah sosial. Selama
berlangsungnya usaha pembuatan pupuk organik, Poktan Bhineka I mendapat
dukungan dari masyarakat.
148
8.
1500m milik pengelolanya yaitu Bapak Dedi Sobandi. Luas banguan proses
pengomposan yaitu 7x20 meter. Pemanfaatan lahan ini sebagai lokasi usaha baru
sekitar 50 persen sehingga perluasan usaha dapat dilakukan.
6.1.2 Hasil Analisis Aspek Teknis dan Teknologi
Analisis yang dilakukan terhadap aspek teknis dan teknologis usaha
Poktan Bhineka I menghasilkan beberapa hal yang menjadikan usaha ini layak
untuk dijalankan dan dikembangkan. Kriteria-kriteria yang menyebabkan usaha
ini menjadi layak untuk dikembangkan berdasarkan analisis aspek teknis dan
teknologi :
1.
baku utama pupuk organik. Ketersediaan dari bahan baku seperti limbah jamur,
arang sekam dan kotoran hewan cukup melimpah di daerah sekitar tempat usaha.
Berdasarkan data produksi kotoran hewan di sekitar Desa Belendung (Tabel 5),
ketersediaan kotoran hewan mencapai 181,9 ton per bulan. Sedangkan
pemanfaatan kotoran hewan baru mnecapai 7,5 persen (13,8 ton). Peningkatan
kapasitas produksi dua kali lipat tidak akan mengalami kendala dalam pasokan
kotoran hewan. Ketersediaan jerami juga cukup terjamin mengingat disekitar
Desa Belendung merupakan sawah padi. Berdasarkan data luas panen padi sawah
di Kecamatan Purwadai Tahun 2007 denga produksi jerami 5 ton per hektar maka
ketersediaan jerami yaitu sekitar 1750 ton per bulan. Sedangkan pemanfaatan
jerami baru mencapai 24,5 ton (12,5 persen). Poktan Bhineka I memiliki banyak
pemasok dan tidak tergantung pada satu pasokan. Hal ini juga menyebabkan
Poktan Bhineka I dapat mengontrol kualitas pasokan bahan baku. Kotoran hewan
dipasok dari peternakan anggota Bhineka I, peternakan warga sekitar atau
peternakan besar (PT Kresna). Begitu juga dengan arang sekam yang memiliki
beberapa pemasok (usaha-usaha kerupuk, usaha-usaha pembuatan batu bata) dan
jerami (usaha-usaha jamur dan petani-petani setempat). Sedangkan untuk bahan
tambahan seperti molase, dekomposer, zeolit dan lain-lain, ketersediaannya cukup
dan tidak menjadi masalah. Hal ini dikarenakan bahan-bahan tambahan tersebut
149
diperoleh dari APPOS yang juga dapat berfungsi layaknya koperasi bagi
anggotanya. Jika kedepannya usaha ini mengalami peningkatan kapasitas dua kali
lipat, maka kebutuhan bahan baku untuk memenuhi permintaan tersebut
dipastikan tercukupi.
2.
Lokasi produksi
Lokasi usaha produksi pupuk organik Bhineka I sangat strategis dimana
usaha ini berada di Desa Blendung yang memiliki jalan desa cukup baik. Akses
lokasi terhadap bahan baku dan pasar juga terjangkau. Kondisi geografis lokasi
usaha juga mendukung. Selain itu, lokasi produksi berada jauh dari pemukimam
penduduk dan berada di lahan yang cukup luas. Sehingga jika dilakukan
pengembangan usaha, tidak akan terhambat dengan masalah lokasi produksi.
3.
metode yang sederhana dan mudah dilakukan yaitu metode Jepang. Kelebihan
dari metode ini dibandingkan dengan metode lain untuk diterapkan Bhineka I
adalah : (1) Lebih menghemat tenaga kerja karena proses pembalikan dan
penumpukan praktis sehingga mengurangi biaya upah, (2) Sesuai dengan kondisi
geografis lokasi pengomposan dan jenis bahan kompos yang digunakan dan (3)
Dapat mengomposkan lebih banyak bahan kompos dengan luas bangunan yang
terbatas.
Akan tetapi, terdapat juga pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan
usaha ini menjadi tidak layak jika ditinjau dari aspek teknis yaitu belum ada uji
mutu pupuk organik. Pupuk organik yang dihasilkan oleh Poktan Bhineka I belum
ada uji mutu sesuai standarisasi pupuk organik yaitu kandungan C organik, C/N
ratio, kadar air, kadar logam berat dan bahan ikutan. Uji mutu pupuk organik
penting untuk meningkatkan keyakinan pembeli terhadap kualitas produk. Hasil
uji mutu pada umumnya ditunjukkan dalam kemasan pupuk organik (Lampiran 5,
Gambar 7). Menurut pengelola, belum dilakukannya pengujian mutu organik
karena belum adanya tuntutan dari pembeli terhadap uji mutu dan keterbatasan
dana.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka secara umum usaha
pembuatan pupuk organik Poktan Bhineka I dinilai layak untuk ditingkatkan
150
kapasitas usaha jika dikaji secara aspek teknis dan teknologi. Hal ini dikarenakan
atas pertimbangan yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan skala
usaha dan keberlanjutan usaha yaitu ketersediaan bahan baku dan lokasi strategis.
6.1.3 Aspek Pasar
Aspek pasar digunakan untuk mengkaji mengenai potensi pasar produk
pupuk baik dari sisi permintaan, penawaran maupun harga yang berlaku, juga
strategi pemasaran yang dilakukan perusahaan menyangkut bauran pemasaran
yaitu harga, tempat, promosi, dan distribusi.
1.
Bentuk Pasar
Bentuk pasar yang dihadapi oleh Poktan Bhineka I jika dilihat dari sisi
(129.975 Ha) dari total luas lahan (205.176 Ha). Berdasarkan anjuran pemakaian
bahan organik (Balitan 2005) dimana setiap hektar lahan memerlukan minimal 2
ton pupuk organik per tahun, maka kebutuhan pupuk organik Subang sekitar
259.950 ton per tahun. Dari kebutuhan tersebut, hanya 1 persen atau 2200 ton per
tahun yang dapat disediakan oleh APPOS. Hal itu menunjukkan prospek pasar
dari usaha penyediaan pupuk organik kedepannya sangat prospektif.
Sejak berdiri dari tahun 2008 hingga Agustus 2009, Poktan Bhineka I
menghadapi permintaan yang meningkat hingga 90 persen dari 120 ton pada
tahun 2008 menjadi 230 ton hingga Agustus 2009 (Tabel 4). Bahkan menurut
151
pengelola, ada permintaan yang tidak dapat dipenuhi sekitar 20 ton pada bulan
Juli 2009. Permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Poktan Bhineka I karena
kapasitas produksi. Poktan Bhineka I berencana
meningkatkan kapasitas
produksinya, dimasa yang akan datang agar dapat memenuhi semua permintaan
yang datang.
Tabel 7. Penjualan Pupuk Organik Tahun 2008 hingga September 2009
Jumlah Penjualan (ton) Bulan ke-
Tahun
1
2008
2009
11
Total
10
11
12
30
20
20
20
20
120
20
50
90
40
230
3.
Strategi Pemasaran
a.
produk dan jasa atas dasar kebutuhan dan keinginan mereka secara umum.
Segmen pasar dari pupuk organik Bhineka I adalah pelaku agribisnis budidaya
tanaman perkebunan, pangan maupun hias yang berlokasi di sekitar Kabupaten
Subang. Segmen pasar diklasifikasikan berdasarkan jenis usaha adalah:
1.
sehingga diperkirakan
berbagai jenis sayuran yang berada di sekitar Desa Blendung menjadi segmen
pasar dari Poktan Bhineka I. Jumlah permintaan pupuk oleh segmen pasar ini
cukup tinggi dan kontinu walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Ratarata
permintaan pupuk dari kelompok ini adalah 2 ton per bulannya.
152
3.
Bhineka I dengan ukuran pasar yang kecil. Permintaan dari segmen pasar ini
relatif tidak kontinu dan dalam jumlah kecil.
Setelah dilakukan pengelompokan konsumen (segmentation), maka hal
yang kemudian dilakukan adalah menetukan target pasar. Pelaku bisnis
perkebunan menjadi terget pasar karena permintaan dari segmen ini paling besar
yaitu sekitar 80 persen.
Penetapan posisi (positioning) yaitu tindakan merancang tawaran dan citra
perusahaan sehingga menempati posisi yang khas (diantara para pesaing) di dalam
benak pelanggannya. Positioning produk pupuk organik Bhineka I dipasar adalah
produk yang berkualitas standar dengan harga standar. Produk yang dihasilkan
oleh Bhineka I memiliki standar umum pupuk organik. Citra khusus dari pupuk
organik UMKM termasuk Poktan Bhineka I adalah pupuk organik karya petani
kecil. Citra tersebut mengartikan bahwa dalam pembelian pupuk organik dari
anggota APPOS tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi tetapi juga sosial
karena telah meningkatkan kesejahteraan kelompok tani. Dengan citra tersebut,
Poktan Bhineka I mendapat dukungan besar dari pemerintah terutama dalam hal
promosi. Pemerintah Daerah Subang merekomendasikan kepada perkebunan
besar untuk membeli pupuk organik dari anggotan APPOS.
Persaingan yang dihadapi oleh Poktan Bhineka I dalam usaha pupuk tidak
berasal dari usaha-usaha lain yang tergabung dalam APPOS akan tetapi dari
perusahaan pupuk BUMN yang berlokasi di Subang seperti Petrokimia dan
Kujang. Perusahaan pupuk tersebut berencana akan memproduksi pupuk organik
dan memasarkannya pada tahun 2010 atas kebijakan pemerintah dengan harga
yang telah disubsidi yaitu Rp 500 per kilogram. Kebijakan tersebut dikhawatirkan
akan menyebabkan industri pupuk oganik yang ada di Subang gulung tikar. Untuk
menghadapi masalah tersebut, APPOS telah melakukan perundingan dengan
pemerintah Subang dan pihak perusahaan pupuk Kujang. Hasil kesepakatan awal
adalah bahwa industri kecil pupuk organik berperan sebagai pemasok bahan baku
bagi pupuk Kujang dan Petrokimia. UKM penghasil pupuk memasok bahan
mentah pupuk yang sudah dikomposkan. Menurut pihak APPOS, hasil
153
kesepakatan ini masih belum menjadi solusi yang tepat untuk dijalankan karena
masih merugikan bagi pihak industri kecil.
b.
Kebijakan produk
Produk yang dihasilkan oleh Poktan Bhineka I adalah pupuk organik
padat. Pupuk dijual dalam bentuk curah dengan satuan pembelian yaitu karung isi
50 kilogram. Kualitas pupuk organik yang diproduksi oleh Kelompok Tani
Bhineka I dikatakan cukup baik jika dilihat secara fisik. Kualitas pupuk organik
secara kimia tidak diketahui karena belum pernah dilakukan uji laboratorium.
Kualitas fisik dari pupuk organik Bhineka I baik dilihat dari sifat fisik organik
antara lain; (1) Warna yang gelap menuju hitam, (2) Bau seperti tanah, (3) Ukuran
partikel serbuk gergaji dan (4) Bila dikepal tidak mengumpal keras.
c.
Kebijakan Harga
Kelompok tani Bhineka I menetapkan harga berdasarkan kesepakatan yang
ditetapkan oleh APPOS yaitu 650 per kilogram. Harga tersebut dikenakan untuk
pembelian dengan syarat FOB shipping point dimana pembeli yang menanggung
biaya transportasi.
d.
Kebijakan Promosi
Poktan Bhineka I tidak melakukan kegiatan promosi. Produsen pupuk
yang tergabung dalam APPOS tidak melakukan promosi sendiri-sendiri tetapi atas
nama APPOS. Promosi APPOS termasuk didalamnya Poktan Bhineka I didukung
oleh Pemkab Subang melalui Dinas Pertanian, Dirjen Perkebunan Subang dan
Dinas Perindustrian. Promosi yang dilakukan APPOS tersebut dilakukan dari
mulut ke mulut, melalui pameran, dan internet.
e.
Kebijakan Distribusi
Distribusi pemasaran pupuk organik kelompok tani Bhineka I dilakukan
secara langsung dan tidak langsung. Pada pola distribusi langsung, penjualan
dilakukan dengan syarat FOB shipping point dimana biaya angkut dalam proses
penjualan ditanggung oleh produsen. Harga jual adalah Rp 650 per kilogram.
154
Pelaku bisnis
perkebunan
Poktan Bhineka I
Petani tanaman
pangan
Pelaku bisnis
tanaman hias
APPOS
Petani Tanaman
pangan
Gambar 7. Bagan Distribusi Tidak Langsung Pupuk Organik Bhineka I
6.1.4
organisasi dengan pasar yang bersangkutan melalui informasi. Dari hasil analisis
terhadap aspek pasar dapat dinilai apakah suatu usaha marketable atau tidak.
Analisis yang dilakukan terhadap aspek pasar usaha Poktan Bhineka I
menghasilkan beberapa hal yang menjadikan usaha ini layak untuk dijalankan dan
dikembangkan. Kriteria-kriteria yang menyebabkan usaha ini menjadi layak untuk
dikembangkan berdasarkan analisis pasar :
155
1.
Potensi pasar
Ketersediaan pupuk organik di Indonesia baru mencapai dua persen dari
total kebutuhan. Hal ini menunjukkan potensi pasar pupuk organik di Indonesia
sangat besar. Untuk Kabupaten Subang, ketersediaan pupuk organik baru
mencapai 1 persen dari total kebutuhan pupuk organik. Permintaan puupk organik
yang dihadapi oleh Poktan Bhineka I meningkat hingga 90 persen dari 120 ton
pada tahun 2008 menjadi 230 ton hingga Agustus 2009 (Tabel 4). Bahkan
menurut pengelola, ada permintaan yang tidak dapat dipenuhi sekitar 20 ton pada
bulan Juli 2009. Permintaan juga kedepannya diperkirakan akan meningkat
dengan adanya sosialisasi pemakaian pupuk organik menuju Subang Go Organik
2010 yang dilakukan oleh Pemkab Subang.
2.
156
kapasitas usaha jika dikaji secara aspek pasar. Hal ini dikarenakan atas faktor
yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan skala usaha pupuk organik
Bhineka I dan keberlanjutan usaha yaitu potensi pasar dan kekuatan pasar
(bargaining position) yang kuat karena adanya APPOS.
6.1.5 Aspek Manajemen
Usaha pupuk organik Bhineka I didirikan pada tahun 2007 atas mandat
dari Pemkab Subang dimana setiap desa hendaknya memiliki usaha pembuatan
pupuk organik yang dikelola oleh kelompok tani untuk memenuhi kebutuhan
pupuk organik di setiap desa. Tujuan dari usaha ini didirikan adalah memenuhi
kebutuhan organik petani Desa Blendung dan sekitarnya. Visi dan misi dari usaha
ini sama dengan visi dan misi Poktan Bhineka I. Anggota Poktan Bhineka I
menyerahkan tanggung jawab pengelolaan usaha ini kepada Bapak Dedi Sobandi.
Struktur organisasi dari usaha memiliki tipe organisasi lini. Tipe organisasi
ini memiliki struktur organisasi sederhana, jumlah karyawan kecil dan spesialisasi
kerja belum tinggi. Bagan organisasi dapat dilihat pada Gambar 8 dimana terdiri
dari pengelola,
wewenang dari usaha pupuk organik Bhineka I telah diberikan kepada Bapak
Dedi Sobandi. Menurut Schroef dalam Wibowo (2002), pusat wewenang adalah
orang yang memegang kewenangan tertinggi untuk mengambil keputusan,
memerintah, dan sekaligus bertanggung jawab atas keberhasilan organisasi
mencapai sasaran.
Pengelola
Dedi Sobandi
Penanggung Jawab
Produksi
Urip
Penanggung Jawab
Penjualan
Agus
Penanggung Jawab
Keuangan
Adok
157
anggota Bhineka I dan juga memiliki ikatan keluarga dengan pengelola. Tugas
yang diberikan yaitu melakukan pengawasan terhadap proses produksi sedangkan
wewenangnya adalah pengendali produksi dan penentu tenaga kerja yang
digunakan dalam produksi pupuk organik. Bapak Urip memiliki usia 42 tahun
dengan pendidikan terakhir yaitu Sekolah Dasar. Bapak Urip juga berperan
sebagai pekerja pembuatan pupuk organik.
2.
anggotan Bhineka I dan memiliki ikatan darah dengan pengelola. Bapak Adok
berusia 36 tahun dengan pendidikan terakhir Sarjana Pendidikan. Tugas dari
Bapak Adok adalah mencatat pendapatan dan pengeluaran uang (kas) dari usaha
ini kemudian melaporkannya kepada pengelola. Wewenang dari Adok adalah
sebagai pemegang kas.
Sistem penggajian dari usaha pupuk organik Bhineka I untuk tenaga kerja
langsung dalam produksi yaitu sistem HOK dimana satu hari kerja 8 jam. Tenaga
kerja berasal dari Desa Blendung. Harga per HOK yaitu Rp 25.000 pada tahun
2008 dan Rp 30.000 pada tahun 2009. Sedangkan untuk tenaga kerja pengemasan
diberi upah per hasil karung yang dikemas yaitu Rp 1000 per karung pada tahun
158
2008 dan Rp 1500 per karung. Untuk penanggung jawab, tidak diberikan gaji
tetapi berupa bagi hasil dari pemilik.
6.1.6
secara umum usaha ini dinilai layak jika ditinjau dari aspek manajemen. Usaha
pupuk organik Bhineka I telah memiliki pembagian tugas dan wewenang yang
jelas. Usaha ini telah menjalankan manajemen usaha sederhana yang cukup baik
dimana telah terjadi pembagian tugas dan wewenang. Akan tetapi terdapat
beberapa hal yang menjadi kendala dalam peningkatan skala usaha ini
kedepannya, yaitu :
1.
penjualan merangkap juga sebagai pekerja. Hal ini dapat menyebabkan tugas dan
wewenang yang diberikan kepada penanggung jawab tidak dapat dilaksanakan
dengan baik.
2.
Administrasi
Sistem pembukuan atau administrasi usaha Poktan Bhineka I dinilai
keuangan yang kurang baik. Usaha ini belum menyusun laporan keuangan seperti
laporan laba rugi, arus kas dan neraca. Penyusunan anggaran belanja usaha hanya
dilakukan diawal pendirian usaha saja sedangkan selanjutnya tidak. Pengaturan
keuangan merupakan hal yang sering diabaikan oleh usaha kecil yang
menyebabkan usaha kecil sulit berkembang. Menurut Iqbal dan Simanjuntak
(2004) dalam bukunya yang berjudul Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil dan
159
usaha dan SIUP. Hal ini menyebabkan usaha ini sulit memperoleh pinjaman
modal dari bank untuk pengembangan usaha. Persyaratan dalam memperoleh
Kredit Usaha Rakyat untuk badan usaha kecil menengah adalah menyertakan
minimal SIUP untuk batas pinjaman maksimal 100 juta. Pengelola berencana
mengurus izin usaha tersebut pada tahun 2010.
Usaha pupuk organik memiliki status kepemilikan yang belum jelas.
Selama ini usaha berjalan atas nama Poktan Bhineka I, akan tetapi pengelolaan
mutlak dimilki oleh Bapak Dedi Sobandi dan keluarga. Adanya badan usaha dan
kejelasan dari kepemilikan usaha sangat penting dalam berjalannya suatu usaha
terutama dalam pengurusan izin usaha. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara
umum dapat dinilai bahwa usaha Poktan Bhineka I dikatakan tidak layak ditinjau
dari aspek hukum. Hal ini dikarenakan faktor ketidakjelasan kepemilikan usaha.
6.1.8 Aspek Sosial dan Lingkungan
Usaha yang dikelola oleh kelompok tani Bhineka I bukan merupakan suatu
usaha yang hanya berorientasi pada keuntungan (profit oriented) bagi anggota
akan tetapi juga suatu usaha yang bersifat sosial. Pada dasarnya, usaha ini
160
jamur dan UKM kerupuk. Bagi usaha budidaya jamur, usaha ini telah
memberikan tambahan pendapatan dari penjualan limbah jamur senilai Rp
600.000 per bulannya. Bagi UKM kerupuk, usaha ini memberikan tambahan
pendapatan dari penjualan limbah sekam penggorengan kerupuk senilai Rp
540.000.
3.
161
162
1
2
Penjualan
(Ton)
120
300
Harga
(Rp)
650
650
Penerimaan Total
(Rp)
78,000,000
195,000,000
300
650
195,000,000
300
650
195,000,000
5
6
300
300
650
650
195,000,000
195,000,000
300
650
195,000,000
300
650
195,000,000
9
10
300
300
650
650
195,000,000
195,000,000
Tahun
b.
163
Jumlah
Harga
satuan
(Rp)
Nilai (Rp)
Umur
Ekonomi
Tanah
1500m2
Bangunan
(7x20)m
38,000,000
38,000,000
10
Alas bambu
1 unit
500,000
500,000
Mesin giling
1 unit
3,000,000
3,000,000
Mesin kemas
Timbangan gantung
100kg
Timbangan duduk
500 kg
1 unit
650,000
650,000
1 unit
300,000
300,000
1unit
500,000
500,000
200,000
Terpal
1 Rol
500,000
500,000
Cangkul
4 unit
30,000
120,000
Sekop
3 unit
40,000
120,000
Ayakan
1 unit
10,000
10,000
Ember+ gayung
2 unit
20,000
40,000
Garu
1 unit
15,000
15,000
Embrat/penyiram
1 unit
20,000
20,000
2 pasang
50,000
100,000
2 unit
100,000
200,000
Sepatu boot
Drum
22,500,000
Nilai Sisa
(Rp)
Total
66,575,000
22,500,000
22,700,000
Dari tabel ditas dapat dilihat bahwa investasi pada usaha ini memiliki nilai sisa
pada tanah dan timbangan duduk. Tanah tidak memiliki umur ekonomis sehingga
nilai tanah tidak menyusut. Asumsi nilai sisa tanah pada penelitian ini sama
dengan nilai pada pembelian di awal proyek.
6.2.1.3 Arus Biaya (Outflow)
Biaya adalah segala sesuatu yang menjadi biaya dan mengurangkan nilai
suatu proyek. Arus pengeluaran terdiri dari pengeluaran untuk biaya investasi dan
biaya operasional.
a.
164
Jumlah
Harga
satuan
(Rp)
1500m2
Nilai
(Rp)
22,500,000
(7x20)m
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
38,000,000
500,000
3,000,000
650,000
300,000
38,000,000
500,000
3,000,000
650,000
300,000
1unit
1 rol
4 unit
3 unit
1 unit
2 unit
1 unit
1 unit
2 pasang
2 unit
500,000
500,000
30,000
40,000
10,000
20,000
15,000
20,000
50,000
100,000
500,000
500,000
120,000
120,000
10,000
40,000
15,000
20,000
100,000
200,000
66,575,000
Selain biaya investasi juga ada biaya reinvestasi yang dikeluarkan oleh
perusahaan apabila ada komponen pada investasi telah habis umur ekonomisnya.
Komponen investasi yang mengalami reinvestasi jika memiliki umur ekonomis
tidak sepanjang umur proyek. Rincian dari biaya reinvestasi dapat dilihat pada
Lampiran 8. Total biaya reinvestasi yang dikeluarkan oleh Poktan Bhineka I dari
tahun ke-2 hingga umur proyek selesai adalah Rp 36.250.000. Nilai dari biaya
reinvestasi per unit diasumsikan tetap atau sama dengan nilai per unit pada tahun
2008.
b.
Biaya Operasional
165
variabel meliputi biaya bahan baku dan upah tenaga kerja produksi. Biaya tetap
meliputi beban listrik, beban administrasi. Terjadi peningkatan biaya variabel
sebesar 17, 14 persen dari tahun 2008 hingga tahun 2009.
Total produksi pupuk pada tahun 2008 adalah 120 ton pupuk sehingga
total pengeluaran biaya variabel adalah Rp 54.996.000.Pembelian bahan baku
dilakukan dengan cara FOB destination dimana harga bahan baku sudah termasuk
biaya pengangkutan hingga ke tempat. Dari tabel diatas dapat dilihat rincian biaya
produksi pada tahun 2008. Pada tahun 2008, bahan baku merupakan biaya dengan
proporsi terbesar yaitu 82.22 persen.
Tabel 11. Rincian Biaya Variabel Produksi 10 Ton Pupuk pada Tahun 2008
Uraian
Bahan baku :
Kotoran Hewan
Arang Sekam
Jerami
Zeolit
Dekomposer
Molase
Total bahan baku
Karung
Benang
Tenaga kerja produksi
Upah kemas
Total
Jumlah
Tahun 2008
Nilai per satuan
(Rp)
2 bak mobil
180 karung
9 bak mobil
1 kwintal
10 botol
10 kg
1,000,000 /mobil
4000/ karung
200.000/ 3 mobil
78,000/kwintal
2500/ botol
3000/ kg
200 karung
2 gulung
15 HOK
1000/karung
10,000/gulung
25,000/HOK
1000/karung
Nilai Total
(Rp)
2,000,000
540,000
600,000
78,000
250,000
30,000
3,788,000
200,000
20,000
375,000
200,000
4,583,000
Proporsi
biaya (%)
44.71
16.10
13.41
1.74
5.59
0.67
82.22
4.47
0.45
8.38
4.47
100.00
Pada tahun 2009, proporsi biaya bahan baku sebesar 80,17 persen dimana
komposisi biaya bahan baku terbesar adalah kotoran hewan. Total produksi pupuk
pada tahun 2009 adalah 300 ton pupuk sehingga total pengeluaran biaya variabel
adalah Rp 16.940.000. Total biaya variabel mengalami kenaikan pada tahun 2009
sebesar 17,14 persen. Biaya bahan baku mengalami kenaikan sebesar 14,25
persen dimana kenaikan terbesar pada kotoran hewan sebesar 27,5 persen. Hal ini
dikarenakan semakin berkembangnya usaha-usaha yang memanfaatkan kotoran
hewan sehingga harga kotoran meningkat. Biaya bahan baku yang mengalami
penurunan yaitu arang sekam yang turun hingga 33,33 persen. Hal ini dikarenakan
166
Tahun 2009
Nilai per satuan
(Rp)
Jumlah
Proporsi
Biaya
(%)
Perubahan
biaya
(2008-2009)
2,760,000
540,000
600,000
78,000
320,000
30,000
4,328,000
300,000
20,000
51.13
10.00
11.12
1.44
5.93
0.56
80.17
5.56
0.37
27.54
-33.33
0.00
0.00
21.88
0.00
14.25
33.33
0.00
450,000
300,000
5,398,000
8.34
5.56
100
16.67
33.33
17.14
Nilai Total
(Rp)
Bahan baku :
Kotoran Hewan
Arang Sekam
Jerami
Zeolit
Dekomposer
Molase
460 karung
@ karung =30 kg
180 karung
9 bak mobil
1 kwintal
10 botol
10 kg
6000 /karung
3000/karung
200.000 / 3mobil
78,000/ kwintal
25,000 /botol
3000/kg
200 karung
2 gulung
1500/karung
10,000
15 HOK
-
30,000/HOK
1500 per karung
Karung
Benang
Tenaga kerja
produksi
Upah kemas
Total
Tabel 12. Rincian Biaya Variabel 10 Ton Pupuk pada Tahun 2009
Selain biaya variabel, yang juga menjadi pengeluaran usaha ini adalah
beban operasi meliputi beban administrasi dan komunikasi, beban listrik, dan
beban pajak.
Tabel 13. Rincian Biaya Tetap Usaha Pupuk Organik Poktan Bhineka I
No
Uraian
360.000
Listrik
1.020.000
Total
1.386.000
senilai Rp 1.020.000 dihitung dari rata-rata pembayaran iuran listrik per bulan
yaitu Rp 85.000 dikali 12 (jumlah bulan dalam setahun). Pada tahun-tahun
berikutnya, diasumsikan nilai biaya administrasi dan listrik tetap per bulannya.
6.2.1.3 Laporan Laba Rugi (Skenario I)
Laporan laba rugi usaha dapat dilihat pada Tabel 14. Laporan laba rugi
Poktan Bhineka I diasumsikan sama mulai dari tahun ke-2 hingga ke-10 dimana
usaha ini telah mencapai kapasitas penuh.
Tabel 14. Proyeksi Laporan Laba Rugi per Tahun Usaha Pupuk Organik
Poktan Bhineka I (Skenario I)
Uraian
Pendapatan:
I. Pendapatan penjualan
II. Pengeluaran
1.Beban Pokok produksi:
Bahan baku
Karung
Benang
Tenaga kerja produksi
Upah kemas
2.Beban Operasi:
Beban Administrasi
Beban Listrik
Beban Penyusutan
Total Beban (a+b)
III. Laba (I-II)
Beban Pajak
IV.Laba setelah pajak
Tahun ke
1
2,310
78,000,000
195,000,000
44,136,000
2,400,000
240,000
4,500,000
2,400,000
129,840,000
9,000,000
600,000
13,500,000
9,000,000
360,000
1,020,000
5,743,929
60,799,929
17,200,071
860,004
16,340,068
360,000
1,020,000
5,743,929
169,063,929
25,936,071
1,296,804
24,639,268
Beban pajak dihitung berdasarkan laporan laba rugi usaha per tahun.
Beban pajak yang ditanggung usaha ini sebesar 5 persen dari laba. Pada kondisi
yang terjadi (aktual), usaha ini tidak mengeluarkan pajak.
Pertimbangan
dimasukkan beban pajak adalah agar penilaian laba dan NPV usaha tidak terlalu
tinggi (overstated). Pada tahun pertama (tahun 2008) usaha ini mendapat laba
setelah dikurangi pajak usaha sebesar Rp 16.340.068 dan pada tahun ke-2 hingga
tahun berikutnya sebesar Rp 24.639.268.
6.2.1.4 Hasil Analisis Kelayakan Finansial (Skenario I)
Analisis kelayakan finansial dilihat dari kriteria nilai NPV, Net B/C, IRR,
dan payback periode. Discount rate yang digunakan dalam analisis arus kas
168
skenario I sebesar 7 persen (suku bunga deposito BRI September 2009). Hasil
analisis kelayakan finansial Poktan Bhineka I dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 15. Hasil Analisis Finansial Skenario I
Kriteria
Net Present Value (NPV)
Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C)
Internal Rate Return (IRR)
Payback Periode (PP)
Hasil
Rp 156,179,316
4.5104
65%
2.7948
169
Penentuan nilai pengganti terhadap bahan baku dan upah tenaga kerja berdasarkan
analisis terhadap perubahan biaya pada tahun 2008 dan 2009 dimana bahan baku
dan tenaga kerja mengalami peningkatan yang cukup besar (Tabel 8).
Pertimbangan perubahan harga jual sebagai nilai pengganti atas dasar adanya
kecenderungan penurunan harga akibat masuknya pasokan pupuk organik
bersubsidi dengan harga Rp 500 di Subang tahun 2010. Hasil switching value
adalah sebagai berikut.
Persentase (%)
4,41
19,20
14,4
170
Peningkatan kapasitas produksi dari 300 ton menjadi 600 ton per tahun
dilakukan dengan penambahan luas tempat usaha dan penambahan investasi.
Rencana ini akan dilakukan pada tahun 2010.
6.2.2.1 Arus Manfaat (Inflow)
Manfaat adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan pendapatan suatu
proyek. Pada usaha pembuatan pupuk organik ini, inflow diperoleh dari hasil
penjualan dan nilai sisa dari investasi.
a.
Penerimaan penjualan
Peningkatan kapasitas produksi menjadi dua kali lipat juga meningkatkan
b.
Jumlah pupuk
(Ton)
Harga
(Rp)
Penerimaan Total
(Rp)
120
650
78,000,000
300
650
195,000,000
600
650
390,000,000
600
650
390,000,000
600
650
390,000,000
600
650
390,000,000
600
650
390,000,000
600
650
390,000,000
600
650
390,000,000
10
600
650
390,000,000
Nilai Sisa
Biaya-biaya investasi pada usaha ini yang masih memiliki nilai hingga
akhir umur proyek tanah, bangunan tambahan investasi, dan timbangan duduk.
Total nilai sisa hingga akhir umur proyek adalah Rp 51.080.000 (Lampiran 14).
6.2.2.2 Arus Biaya(Outflow)
171
Jumlah
Bangunan
Alas bambu
Mesin kemas
Timbangan gantung 100kg
Terpal
Cangkul
Sekop
Ayakan
Ember+ gayung
Garu
Embrat/penyiram
Sepatu boot
Drum
Total
(15m x 20m)
1 unit
1 unit
1 unit
1 Rol
4 unit
3 unit
1 unit
2 unit
1 unit
1 unit
2 pasang
2 unit
Harga Satuan
(Rp)
70,000,000
500,000
650,000
300,000
500,000
30,000
40,000
10,000
20,000
15,000
20,000
50,000
100,000
Nilai (Rp)
70,000,000
500,000
650,000
300,000
500,000
120,000
120,000
10,000
40,000
15,000
20,000
100,000
200,000
73,575,000
luas lahan,
timbangan duduk 500 kg dan mesin giling. Luas lahan yang ada masih dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan kapasitas produksi. Menurut pengelola, mesin
giling dan timbangan duduk tidak perlu ditambah jumlahnya
karena
pemanfaatannya selama ini belum optimal. Selain biaya investasi juga ada biaya
reinvestasi yang dikeluarkan oleh perusahaan apabila ada komponen pada
investasi telah habis umur ekonomisnya. Komponen investasi yang mengalami
172
reinvestasi jika memiliki umur ekonomis tidak sepanjang umur proyek. Rincian
dari biaya reinvestasi dapat dilihat pada Lampiran 14.
b. Biaya Operasional
Biaya operasional pada skenario II terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap.
Biaya variabel pada skenario II mengalami peningkatan dua kali lipat karena
penggunaan input variabel juga ikut meningkat dengan proporsi yang sama.
Asumsi harga pada setiap input variabel tidak mengalami perubahan dari tahun
2009.
Tabel 19. Rincian Biaya Variabel per Tahun Skenario II
Tahun ke1
Jumlah produksi
(ton)
120
300
161,940,000
600
323,880,000
600
323,880,000
600
323,880,000
600
323,880,000
600
323,880,000
600
323,880,000
600
323,880,000
10
600
323,880,000
No
Uraian
360,000
Listrik
1,020,000
Total
1,386,000
173
Uraian
1
Pendapatan:
78,000,000
195,000,000
390,000,000
44,136,000
129,840,000
259,680,000
Karung
2,400,000
9,000,000
18,000,000
Benang
240,000
600,000
1,200,000
4,500,000
13,500,000
27,000,000
Upah kemas
2,400,000
9,000,000
18,000,000
360,000
360,000
360,000
Beban Listrik
1,020,000
1,020,000
1,020,000
Beban Penyusutan
5,743,929
5,743,929
13,993,929
60,799,929
169,063,929
339,253,929
Laba (I-II)
17,200,071
25,936,071
50,746,071
I. Pendapatan penjualan
II. Pengeluaran
1.Beban Pokok produksi:
Bahan baku
2.Beban Operasi:
Beban Administrasi
1,471,500
17,200,071
25,936,071
49,274,571
860,004
1,296,804
2,537,304
16,340,068
24,639,268
46,737,268
174
Hasil
Rp164,690,803
4.0936
68%
3.1822
Kriteria lain yang dianalisis adalah Net B/C. Pada Skenario II usaha ini diperoleh
nilai Net B/C >0 yaitu sebesar 4 yang menyatakan bahwa usaha ini ini layak
dijalankan. Nilai Net B/C sama dengan 4 artinya setiap Rp 1 yang dikeluarkan
selama umur proyek menghasilkan Rp 4 satuan manfaat bersih. IRR yang
diperoleh dari analisis finansial pada skenario I adalah 68 persen dimana IRR
tersebut lebih besar dari discount factor (rate) yang berlaku yaitu 16 persen.
Payback period dengan adanya peningkatan kapasitas yaitu enam tahun enam
bulan.
6.2.2.5 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi
apabila keadaan berubah dengan menggunakan nilai pengganti (switching value).
Nilai pengganti (switching value) didapat setelah memperoleh nilai NPV yang
mendekati nol. Dengan pertimbangan yang sama pda analisis sensitivitas skenario
I, nilai pengubah dalam skenario II adalah biaya bahan baku, upah tenaga kerja
(upah produksi dan kemas) dan harga jual. Hasil switching value pada Skenario II
adalah sebagai berikut.
Tabel 23. Hasil Analisis Sensitivitas (Skenario II)
175
Perubahan
Persentase
(%)
4,16
17,85
11,25
Skenario II
150,000,000
100,000,000
50,000,000
(50,000,000)
10
(100,000,000)
4,41%
4,16%
19,2%
17,85%
14,4%
11,25%
177
2.
178
179
DAFTAR PUSTAKA
Djaja W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan
Sampah. Jakarta : PT Agro Media Pustaka.
Gittinger J P. 1985. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta : UIPress.
Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspaitella PFL, Varley RCG. 1992.
Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Husnan S dan Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta : Unit
Penerbit dan Pencetak AMP YPKN.
Isroi.
Petunjuk
Praktis.
Iqbal M dan Simanjuntak KMM. 2004. Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil dan
Menengah. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Keown AJ, Scott DF, Martin JD and Petty JW. 2002. Financial Management.
Singapore : Simon and Schuster (Asia) Pte. Ltd.
Khadaffy M. 2009. Analisis kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung
Wira Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor :
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kottler P. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid 1. Jakarta : PT Indeks
Kottler P. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid 2. Jakarta : PT Indeks
Mujiati. 2004. Analisis kelayakan finansial usaha pengomposan di Kawasan
Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon [Skripsi]. Bogor : Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Manalu P. 2006. Analisis kelayakan finanisal Usaha Kompos Limbah Ternak
Sapi Perah ( Studi Kasus di CV. Cisarua Integrated Farminng)
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Modul Pembelajaran Studi
Kelayakan Bisnis. Bogor: Lembaga Penerbit Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Siagian D dan Sugiarto. 2000. Metode Statistika untuk Ekonomi dan Bisnis.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Simanungkalit RDM. 2006. Prospek Pupuk hayati dan Pupuk Organik di
Indonesia.http://balitan.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/.../pupuk/p
upuk13.pdf. [22 Agustus 2009].
Soeharto I. 2002. Studi Kelayakan Proyek Industri. Jakarta : Erlangga
180
181
Jenis
ternak
Keterangan
Nitrogen
Fosfor
Kalium
Air
-Padat
0,55
0,30
0,40
75
-Cair
1,40
0,22
1,60
90
-Padat
0,40
0,20
0,10
85
-Cair
1,00
0,50
1,50
92
-Padat
0,60
0,30
0,34
85
-Cair
1,00
0,15
1,50
92
-Padat
0,60
0,30
0,17
60
-Cair
1,35
0,05
2,10
85
-Padat
0,75
0,50
0,45
60
-Cair
1,35
0,05
2,10
85
-Padat
0,95
0,35
0,40
80
-Cair
0,40
0,10
0,45
87
-Padat
1,00
0,80
0,40
55
-Cair
1,00
0,80
0,40
55
Kuda
Pupuk panas
Sapi
Pupuk dingin
Kerbau
Pupuk dingin
Kambing
Pupuk dingin
Domba
Pupuk panas
Babi
Pupuk panas
Ayam
Pupuk dingin
182
Kapur alginik
Makanan alga
Darah kental
granulasi lempung
Kapur pertanian
Serbuk tulang
dikomposisi
Pasir
183
Luas
50,600 ha
92,340 ha
73,247 ha
0,1 ha
334,937 ha
1,884 ha
1,951 ha
0,864 ha
2,800 ha
3,908 ha
4,687 ha
567,318 ha
184
Gambar 4 : Molase
Gambar 6 : Zeolit
185
186
Gambar 6A : Tempat
Penyimpanan Pupuk Organik
Poktan Bhineka I ( Diluar/ Tidak
Beratap )
Gambar 6B : Tempat
penyimpanan pupuk organik yang
dianjurkan
187
10
11
12
10
11
12
88
Lanjutan Lampiran 6
Siklus Produksi per Bulan
Aktivitas
Penyediaan Bahan
Baku
Kohe
Limbah Jamur
Arang sekam
Bahan Tambahan
Membuat Tumpukan
Kompos
Tumpukan 1
Tumpukan 2
Tumpukan 3
Tumpukan 4
Tumpukan 5
Pengomposan
Tumpukan 1
Tumpukan 2
Tumpukan 3
Tumpukan 4
Tumpukan 5
Pemanenan dan
Penjemuran
Tumpukan 1
Tumpukan 2
Tumpukan 3
Tumpukan 4
Tumpukan 5
Pengemasan
10
11
12
13
14
15
Hari ke16 17 18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
89
Longyam
Bapak Dedi Sobandi
Sawah Warga
Penyimpanan Alat
dan Saung Istirahat
Tempat Penjemuran
Tempat
Penumpukan
Kohe dan
Limbah Jamur
Pembibitan
Ruang Kompos
Jalan Desa
90
Jumlah
Harga
satuan
Umur
Ekonomi
Investasi
1
10
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
Tanah
1500m2
Bangunan
(7x20)m
38,000,000
10
38,000,000
Alas bambu
500,000
500,000
Mesin giling
3,000,000
3,000,000
3,000,000
Mesin kemas
Timbangan gantung
100 kg
Timbangan duduk
500 kg
650,000
650,000
650,000
300,000
300,000
300,000
500,000
500,000
1 Rol
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
Cangkul
30,000
120,000
120,000
120,000
120,000
120,000
Sekop
40,000
120,000
120,000
120,000
120,000
120,000
Ayakan
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000
Ember+ gayung
20,000
40,000
40,000
40,000
40,000
40,000
Garu
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
1
2
pasang
20,000
20,000
20,000
20,000
20,000
20,000
50,000
100,000
100,000
100,000
100,000
100,000
100,000
200,000
200,000
200,000
200,000
200,000
Terpal
Embrat/penyiram
Sepatu boot
Drum
22,500,000
Total
Total Reinvestasi
66,575,000
500,000
500,000
1,625,000
500,000
1,625,000
4,450,000
1,625,000
1,000,000
1,625,000
500,000
36,250,000
91
Jumlah
Penyusutan per
tahun
10
1
5
5
5
Nilai
Investasi
22,500,000
38,000,000
500,000
3,000,000
650,000
300,000
500,000
500,000
71,429
1 Rol
500,000
4
30,000
3
40,000
1
10,000
2
20,000
1
15,000
1
20,000
2
50,000
pasang
2
100,000
Total Penyusutan
2
2
2
2
1
2
2
2
500,000
120,000
120,000
10,000
40,000
15,000
20,000
100,000
250,000
60,000
60,000
5,000
40,000
7,500
10,000
50,000
200,000
66,575,000
100,000
5,743,929
Tanah
Bangunan
Alas bambu
Mesin giling
Mesin kemas
Timbangan gantung
100 kg
Timbangan duduk 500
kg
Terpal
Cangkul
Sekop
Ayakan
Ember+ gayung
Garu
Embrat/penyiram
Sepatu boot
Drum
Harga
satuan
1500m2
(7x20)m 38,000,000
1
500,000
1
3,000,000
1
650,000
1
300,000
1
Umur
Ekonomi
3,800,000
500,000
600,000
130,000
60,000
92
Uraian
1
10
78,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
INFLOW
1. Penjualan
2. Nilai Sisa
Total Inflow
22,700,000
78,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
195,000,000
217,700,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
OUTFLOW
1. Biaya Investasi
Tanah
Bangunan dan instalasi
listrik
22,500,000
38,000,000
Alas bambu
500,000
Mesin giling
3,000,000
3,000,000
Mesin kemas
650,000
650,000
300,000
300,000
500,000
Terpal
500,000
500,000
500,000
500,000
500,000
Cangkul
120,000
120,000
120,000
120,000
120,000
Sekop
120,000
120,000
120,000
120,000
120,000
Ayakan
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000
Ember+ gayung
40,000
40,000
40,000
40,000
40,000
Garu
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
Embrat/Penyiram
Sepatu boot
500,000
20,000
20,000
20,000
20,000
20,000
100,000
100,000
100,000
100,000
100,000
93
Tahun
Uraian
1
Drum
200,000
200,000
200,000
200,000
10
200,000
2. Biaya Operasional
a. Biaya Variabel
Bahan baku
44,136,000
129,840,000
129,840,000
129,840,000
129,840,000
129,840,000
129,840,000
129,840,000
129,840,000
129,840,000
Karung
2,400,000
9000000
9000000
9000000
9000000
9000000
9000000
9000000
9000000
9000000
Benang
240,000
600,000
600,000
600,000
600,000
600,000
600,000
600,000
600,000
600,000
4,500,000
13,500,000
13,500,000
13,500,000
13,500,000
13,500,000
13,500,000
13,500,000
13,500,000
13,500,000
Upah kemas
2,400,000
9,000,000
9,000,000
9,000,000
9,000,000
9,000,000
9,000,000
9,000,000
9,000,000
9,000,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
Listrik
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
Pajak
860,004
1,296,804
1,296,804
1,296,804
1,296,804
1,296,804
1,296,804
1,296,804
1,296,804
1,296,804
Total Outflow
122,491,004
165,116,804
166,241,804
165,116,804
166,241,804
169,066,804
166,241,804
165,616,804
166,241,804
165,116,804
Net Benefit
(44,491,004)
29,883,196
28,758,196
29,883,196
28,758,196
25,933,196
28,758,196
29,383,196
28,758,196
52,583,196
1.0000
0.9346
0.8734
0.8163
0.7629
0.7130
0.6663
0.6227
0.5820
0.5439
PV DF 7%
(44,491,004)
27,928,221
25,118,523
24,393,590
21,939,490
18,490,011
19,162,801
18,298,378
16,737,532
28,601,775
PV Negatif
(44,491,004)
PV Positif
200,670,320
NPV
156,179,316
b. Biaya Tetap
Administrasi
DF 7%
Net B/C
IRR
Payback Period
4.5104
65%
2.7948
94
Lampiran 11. Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga Jual Skenario I (14,4%)
Uraian
Tahun ke1
(44,491,004)
29,883,196
678,196
1,803,196
678,196
(2,146,804)
678,196
1,303,196
678,196
24,503,196
1.0000
0.9346
0.8734
0.8163
0.7629
0.7130
0.6663
0.6227
0.5820
0.5439
PV DF 7%
(44,491,004)
27,928,221
592,363
1,471,945
517,393
(1,530,641)
451,911
811,565
394,716
13,328,115
PV Negatif
(44,491,004)
PV Positif
43,965,589
NPV
(525,415)
Net Benefit
DF 7%
Net B/C
IRR
Payback Period
10
0.9882
7%
-
95
Lampiran 12. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Harga Bahan Baku pada Skenario I (4,41 %)
Tahun ke-
Uraian
1
(44,491,004)
29,883,196
22,635,352
17,367,491
1.0000
0.9346
0.8734
0.8163
PV DF 7%
(44,491,004)
27,928,221
19,770,593
14,177,046
PV Negatif
(44,491,004)
Net Benefit
DF 7%
PV Positif
NPV
5
9,567,704
0.7629
7,299,156
6
(226,440)
0.7130
(161,449)
10
(4,677,924)
(11,650,301)
(20,207,722)
(4,664,963)
0.6663
0.6227
0.5820
0.5439
(11,761,078)
(2,537,431)
(3,117,098)
(7,255,222)
44,342,737
(148,266)
Net B/C
0.9967
IRR
Payback
Period
7%
-
96
Tahun ke-
Uraian
1
(44,491,004)
29,883,196
24,438,196
20,413,756
13,150,624
1.0000
0.9346
0.8734
0.8163
PV DF 7%
(44,491,004)
27,928,221
21,345,267
16,663,706
PV Negatif
(78,282,554)
Net Benefit
DF 7%
PV Positif
NPV
Net B/C
IRR
Payback Period
10
3,008,970
(2,887,481)
(12,658,452)
(25,675,448)
(16,621,708)
0.7629
0.7130
0.6663
0.6227
0.5820
0.5439
10,032,548
2,145,354
(1,924,051)
(7,883,047)
(14,943,345)
(9,041,108)
78,115,096
(167,458)
0.9979
7%
-
97
Lampiran 14. Rincian Biaya Investasi, Reinvestasi dan Nilai Sisa Usaha (Skenario II)
Jenis Investasi
Tanah
Jumlah
total
Harga
satuan
Investasi
Umur
Ekonomi
10
1500m2
(7x20)m+
(15x30)m
38,000,000
10
38,000,000
Alas bambu
500,000
500,000
Mesin giling
3,000,000
3,000,000
Mesin kemas
Timbangan gantung
100 kg
Timbangan duduk
500 kg
650,000
650,000
650,000
650,000
650,000
260,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
120,000
500,000
500,000
500,000
200,000
2 roll
500,000
500,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
Cangkul
30,000
120,000
240,000
240,000
240,000
240,000
Sekop
40,000
120,000
240,000
240,000
240,000
240,000
Ayakan
10,000
10,000
20,000
20,000
20,000
20,000
Ember+ gayung
20,000
40,000
80,000
80,000
80,000
80,000
Garu
15,000
15,000
30,000
30,000
30,000
30,000
Embrat/penyiram
20,000
20,000
40,000
40,000
40,000
40,000
Sepatu Boot
50,000
100,000
100,000
100,000
100,000
100,000
Drum
100,000
200,000
400,000
400,000
400,000
400,000
Bangunan
Terpal
Total
22,500,000
Nilai Sisa
66,575,000
22,500,000
70,000,000
500,000
1,000,000
28,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
3,000,000
500,000
74,100,000
1,000,000
3,150,000
4,950,000
3,150,000
2,450,000
3,150,000
1,000,000
51,080,000
98
Jumlah
Umur
Ekonomi
(7x20)m+ (15x30)m
108,000,000
10
10,800,000
Alas bambu
1,000,000
1,000,000
Mesin kemas
1,300,000
260,000
Mesin giling
3,000,000
600,000
600,000
120,000
500,000
71,429
Terpal
2 Rol
1,000,000
500,000
Cangkul
8 unit
240,000
120,000
Sekop
6 unit
240,000
120,000
Ayakan
2 unit
40,000
20,000
Ember+ gayung
4 unit
160,000
160,000
Garu
2 unit
15,000
7,500
Embrat/penyiram
2 unit
30,000
15,000
4 pasang
200,000
100,000
4 unit
200,000
100,000
Sepatu boot
Drum
Total Penyusutan
116,525,000
13,993,929
99
Uraian
1
10
78,000,000
195,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
INFLOW
1. Penjualan
2. Nilai Sisa
Total Inflow
51,080,000
78,000,000
195,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
390,000,000
441,080,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
OUTFLOW
1. Biaya Investasi
Tanah
22,500,000
Bangunan
38,000,000
70,000,000
Alas bambu
500,000
Mesin giling
3,000,000
Mesin kemas
650,000
650,000
650,000
650,000
300,000
300,000
300,000
300,000
500,000
Terpal
500,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
1,000,000
Cangkul
120,000
240,000
240,000
240,000
240,000
Sekop
120,000
120,000
120,000
120,000
120,000
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000
Ayakan
500,000
1,000,000
3,000,000
500,000
100
Tahun
Uraian
1
Ember+ gayung
40,000
80,000
80,000
80,000
80,000
Garu
15,000
30,000
30,000
30,000
30,000
Gembrot/penyiram
Sepatu Boot
Drum
20,000
40,000
40,000
40,000
40,000
100,000
100,000
100,000
100,000
100,000
400,000
400,000
400,000
200,000
400,000
10
2. Biaya Operasional
a. Biaya Variabel
Bahan baku
44,136,000
129,840,000
Karung
2,400,000
9000000
Benang
240,000
600,000
4,500,000
Upah kemas
259,680,000
259,680,000
259,680,000
259,680,000
259,680,000
259,680,000
259,680,000
259,680,000
18000000
18000000
18000000
18000000
18000000
18000000
18000000
1,200,000
1,200,000
1,200,000
1,200,000
1,200,000
1,200,000
1,200,000
1,200,000
13,500,000
27,000,000
27,000,000
27,000,000
27,000,000
27,000,000
27,000,000
27,000,000
27,000,000
2,400,000
9,000,000
18,000,000
18,000,000
18,000,000
18,000,000
18,000,000
18,000,000
18,000,000
18,000,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
360,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
1,020,000
860,004
1,296,804
2,537,304
2,537,304
2,537,304
2,537,304
2,537,304
2,537,304
2,537,304
2,537,304
Total Outflow
122,491,004
165,116,804
401,767,304
328,797,304
330,817,304
332,747,304
330,817,304
330,247,304
330,817,304
328,797,304
Net Benefit
(44,491,004)
29,883,196
(11,767,304)
61,202,696
59,182,696
57,252,696
59,182,696
59,752,696
59,182,696
112,282,696
1.0000
0.8621
0.7432
0.6407
0.5523
0.4761
0.4104
0.3538
0.3050
0.2630
PV DF 16%
(44,491,004)
25,761,376
(8,745,023)
39,209,977
32,686,076
27,258,754
24,291,079
21,142,268
18,052,229
29,525,070
PV Negatif
(53,236,027)
PV Positif
217,926,830
NPV
164,690,803
18000000
b. Biaya Tetap
Administrasi
Listrik, Air, Telepon
Pajak
DF 16%
Net B/C
IRR
4.0936
68%
101
Tahun
Uraian
1
Payback Period
10
3.1822
Tahun ke1
Net Benefit
DF 16%
(44,491,004)
1.0000
29,883,196
0.8621
(55,642,304)
0.7432
17,327,696
0.6407
15,307,696
0.5523
PV DF 16%
(44,491,004)
25,761,376
(41,351,296)
11,101,122
8,454,304
PV Negatif
(85,842,299)
PV Positif
NPV
Net B/C
IRR
Payback Period
10
13,377,696
0.4761
15,307,696
0.4104
15,877,696
0.3538
15,307,696
0.3050
68,407,696
0.2630
6,369,295
6,282,925
5,617,998
4,669,237
17,988,008
86,244,266
401,966
1.0047
16%
-
102
Lampiran 18. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Biaya Bahan Baku Skenario II (4,16 %)
Uraian
Tahun ke5
6
(44,491,004)
29,883,196
(55,642,304)
17,327,696
15,307,696
13,377,696
15,307,696
15,877,696
15,307,696
68,407,696
1.0000
0.8621
0.7432
0.6407
0.5523
0.4761
0.4104
0.3538
0.3050
0.2630
PV DF 16%
(44,491,004)
25,761,376
(41,351,296)
11,101,122
8,454,304
6,369,295
6,282,925
5,617,998
4,669,237
17,988,008
PV Negatif
(61,264,184)
Net Benefit
DF 16%
PV Positif
NPV
Net B/C
IRR
Payback
Period
10
61,227,067
(37,117)
0.9994
16%
-
103
Tahun ke1
(44,491,004)
29,883,196
(19,799,804)
43,703,895
30,527,859
15,450,471
1.0000
0.8621
0.7432
0.6407
0.5523
PV DF 16%
(44,491,004)
25,761,376
(14,714,479)
27,999,236
16,860,265
PV Negatif
(59,205,483)
Net Benefit
DF 16%
PV Positif
NPV
Net B/C
IRR
Payback Period
10
1,886,273
(15,803,638)
(37,892,944)
(10,153,446)
0.4761
0.4104
0.3538
0.3050
0.2630
7,356,170
774,206
(5,591,794)
(11,558,312)
(2,669,879)
58,931,268
(274,215)
0.9954
16%
-
104
105