Você está na página 1de 36

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn.X

Umur

: 63 tahun

Tanggal lahir

: 20 September 1951

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jl. Tawakal 11 no.25 Grogol Jakarta barat

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Pensiunan

Status perkawinan : Kawin


Suku bangsa

: Jawa

Agama

: Islam

Warga negara

: Indonesia

Tanggal masuk

: 2 Oktober 2014

Jam masuk

: 20.00 WIB

Masuk karena

: Luka terbuka pada tungkai kanan akibat kecelakaan lalu lintas

Ruang perawatan : Pulau Salawati RSAL Mintohardjo


No. Rekam Medik: 097465

1.2

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 2

Oktober 2014 pukul 20.10 WIB di ruang UGD RSAL Mintohardjo.

a. Keluhan Utama
Luka terbuka pada tungkai kanan dan terdengar bunyi krek setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas 40 menit sebelum masuk UGD

b. Keluhan Tambahan
Nyeri hebat pada tungkai kanan bawah dan tungkai bawah kanan sulit
digerakan

c. Riwayat Perjalanan Penyakit:


40 menit sebelum masuk rumah sakit OS tertabrak motor yang sedang
melaju kencang dari arah kanan pasien sehingga mengenai tungkai kanannya.
Kemudian OS terjatuh ke arah kanan dengan posisi lengan dan tungkai kanan
jatuh ke aspal. Saat kejadian OS mengaku memakai helm dan kepala tidak
terbentur. OS sadar penuh saat dan setelah terjadinya kecelakaan. Mual, muntah,
dan pusing tidak dirasakan. OS mendengar bunyi krek sesaat setelah kakinya
ditabrak. Terdapat luka terbuka pada sisi kanan dan kiri serta terdapat perdarahan
pada tungkai kanan bawah yang disertai nyeri hebat di tungkai kanan bawah
sehingga OS tidak dapat menggerakan tungkainya. Kemudian OS ditolong oleh
orang-orang di sekitar tempat kejadian dengan cara digotong oleh 3 orang dan
dibawa ke rumah sakit terdekat dengan angkutan umum.
Di UGD OS diberikan resusitasi cairan, pembersihan luka, antibiotik,
analgetik, dan imobilisasi dengan spalk. Kemudian OS dirujuk ke dokter spesialis
orthopedi.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit dengan keluhan sama
Riwayat operasi
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat alergi makanan dan/atau obat-obatan
Riwayat asma
Riwayat penyakit jantung
Riwayat keganasan

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat alergi makanan dan/atau obat-obatan
Riwayat asma
Riwayat penyakit jantung
Riwayat keganasan

f.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok
Riwayat minum alkohol
Riwayat minum kopi

g.

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

: (-)
: (-)
: (+) 1 kali dalam seminggu

Riwayat Pengobatan
Os mengaku tidak mengkonsumsi obat-obatan berkala maupun obat
yang harus diminum setiap hari

h.

Riwayat Sosial Ekonomi


OS sekarang hanya sebagai pensiunan

i.

Riwayat Lingkungan

Tempat tinggal berada di sebuah gang, letak satu rumah dengan rumah
yang lain berhimpitan. Rumah dibersihkan setiap hari dan memiliki ventilasi
yang cukup

1.3

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2014 pukul 20.30 WIB di

bangsal UGD RSAL Mintohardjo.


A. Status generalis
1. Primary Survey
- Airway
- Breathing
- Circulation
- Disability
- Exposure

: Jalan napas bebas tidak ada sumbatan


: Spontan, tidak tampak sesak, RR : 22x/menit
: Sadar, tidak sianosis, tekanan darah 140/90
mmHg , nadi 84x/menit
: GCS E4 V5 M6, pupil isokor, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung +/+
: mellihat jejas pada seluruh tubuh 37oC
.

2. Secondary Survey
Keadaan Umum
- Kesan sakit
- Kesadaran
- Kesan gizi
- Sianosis
- Edema
- Dispnea
Tanda vital
- Tekanan darah
- Nadi
- Suhu
- Laju Pernafasan
Kulit
- Warna

: Tampak sakit sedang


: Compos mentis
: Cukup
: tidak ada
: (+) Tungkai kanan bawah
: tidak ada
: 140/90 mmHg
: 84x/menit
: 37oC
: 22 x/menit

: warna kulit sawo matang, tampak pucat, tidak


ikterik, tidak sianosis, tidak terdapat
hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi
: pada tungkai kanan bawah
: turgor baik

- Lesi
- Turgor
Kepala
- Kepala normocephali, tampak benjolan dikepala kiri
depan, wajah simetris, tidak ada deformitas

Mata
- Exophtalmus
- Enophtalmus
- Oedem palpebral
- Konjungtiva anemis
- Sclera ikterik
- Injeksi konjungtiva
- Pupil

: -/: -/: -/: +/+


: -/: -/: bulat, isokor, RCL +/+, RCTL
+/+ miosis kanan = kiri

Hidung
- Septum
: lurus ditengah
- Mukosa
: tidak hiperemis
- Cavum nasi
: secret -/-, perdarahan -/-, benda asing-/ Mulut
- Bibir
: pucat (+), ikterik (-), kering (-)
- Oral hygiene
: terdapat karies gigi
- Faring
: tidak hiperemis
- Lidah
: normoglossi
Telinga
- Normotia
- Liang telinga
: sekret -/-. Serumen +/+, darah -/- Nyeri tekan os mastoid : -/- Nyeri tekan tragus
: -/- Nyeri Tarik
: -/ Leher
- Trakea : lurus ditengah
- KGB
: tidak ada pembesaran KGB
- Tiroid : tidak ada pembesaran tiroid
- JVP
: 5 + 1 cm H2O
- Tidak terdapat memar/jejas
Thoraks
o Paru
- Inspeksi
: gerak napas dada simetris, retraksi
supraklavikula (-), retraksi sela iga (-),
dilatasi vena (-), kelainan efloresensi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi

bermakna (-)
: vocal fremitus +/+
: kedua paru sonor
: Suara napas vesikuler, wheezing -/-,
ronchi -/-

o Jantung
- Inspeksi
- Palpasi

: tidak tampak pulsasi ictus cordis pada


dinding dada
: pulsasi ictus cordis teraba teratur di

ICS 4, 2 cm lateral linea midklavikula


sinistra
Perkusi
: batas kanan : terdengar

- Auskultasi

redup di ICS 2
batas atas
: terdengar redup di ICS 3
linea parasternalis kiri
batas kiri
: dengan suara redup di
ICS 5, 2 cm lateral linea
midklavikularis kiri
: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-),
bunyi jantung tambahan (-)

Abdomen
- Inpeksi

: warna kulit sawo matang, bentuk normal


simetris, smiling umbilicus (-), dilatasi vena (-)
efloresensi yang bermakna (-), sagging of the
flanks (-)
- Auskultasi : BU (+) 3x/menit, normal
- Perkusi
: timpani pada seluruh abdomen,, shifting
dullness (-)
- Palpasi
: supel, rigiditas (-), defens muscular (-), nyeri
tekan (-), massa (-), pembesaran hepar (-),
turgor kulit baik
Punggung
:
o Tidak ada kelainan bentuk pada vertebrae
o Tidak terdapat nyeri pada perabaan vertebra
o Tidak terdapat nyeri ketok pada sudut costovertebra
o Tidak terdapat efloresensi yang bermakna

Ekstremitas
o Atas

Pemeriksaan

Kanan

Kiri

Tidak ada efloresensi

Tidak ada efloresensi

bermakna

bermakna

Tonus

Tonus baik

Tonus baik

Trofi

Eutrofi

Eutrofi

Edema

Tidak ada edema

Tidak ada edema

Kulit

Deformitas

Tidak ada deformitas

Tidak ada deformitas

Nyeri tekan

Tidak ada nyeri tekan

Tidak ada nyeri tekan

o Bawah

Pemeriksaan

Kanan

Kiri

Kulit

Terdapat luka

Tonus

Tonus menurun

Tonus baik

Trofi

Eutrofi

Eutrofi

Edema

Tidak ada edema

Deformitas

Tidak ada deformitas

Nyeri tekan

Tidak ada nyeri tekan

Tidak ada efloresensi


bermakna

Status lokalis : Regio cruris dextra

1.4

Look
Tampak deformitas, tampak tulang menonjol keluar di sisi kanan dan kiri

distal tungkai bawah


Tampak luka terbuka di sisi kanan dan kiri tungkai bawah bagian distal 3cm
Tampak oedem di tungkai bawah kanan disertai hematom di sekitar luka
Tungkai atas tidak ada jejas, jari-jari jumlah lengkap, tidak ada luka di pedis

kanan.
Feel
Teraba hangat (+), nyeri tekan (+), CRT <2, pulsasi a.dorsalis pedis ++
Move
Aktif : terbatas karena nyeri.
Pasif: ROM tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 3 Oktober 2014

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Hemostasis
Masa Pembekuan
Masa Pendarahan
Fungsi Hati
SGOT
SGPT
Fungsi Ginjal
Ureum
Creatinin

9,8 g/dl
7700 /uL
28 %
195000/uL

13,7 17,5
4100 - 10900
41 53
140000 440000

10 menit
3 menit

5-15
1-6

20 U/L
29 U/L

10 35
9 43

35 mg/dl
0,9 mg/dl

20 40
0,7 1,5

2. Pemeriksaan radiologi
Rontgen cruris dextra AP lateral

Kesan: fraktur oblique os tibia fibula 1/3


distal (dextra)

1.5

RESUME
OS

diantar

ke

UGD

RSAL

Mintohardjo dengan luka terbuka dan


nyeri pada tungkai kanan bawah setelah
tertabrak motor yang sedang melaju
kencang dari samping kanan yang mengenai tungkai kanannya. OS jatuh ke kanan
dengan posisi lengan dan tungkai kanan jatuh ke aspal. OS mendengar bunyi krek
sesaat setelah kakinya ditabrak dan OS mengeluhkan nyeri yang hebat.
Pada pemeriksaan fisik tampak luka terbuka di sisi kanan dan kiri distal
tungkai kanan bawah 3cm dan tampak deformitas yaitu tulang menonjol di sisi
kanan dan kiri distal tungkai bawah, dan tampak tungkai bawah kanan oedem disertai

hematom di sekitar luka terbuka. Tungkai bawah kanan teraba hangat, nyeri tekan,
CRT<2 detik, pulsasi a.dorsalis pedis ++. Tungkai bawah kanan tidak dapat
digerakkan karena nyeri, tungkai atas kanan dan jari-jari masih dapat digerakkan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9,8 g/dl. Pada pemeriksaan
rontgen cruris dekstra terdapat gambaran fraktur terbuka oblique os tibia fibula 1/3
distal grade II dekstra.

1.6

DIAGNOSIS KERJA
Fraktur terbuka oblique os tibia fibula 1/3 distal grade II dekstra

1.7

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
- IVFD RL 20 tpm
- Hypobac 2 x 200mg
- Cefixime 2 x 1 gr
- Ketorolac 2 x 30 mg

Operatif:
- Debridement
- Open Reduction Internal Fixation dengan plate dan screw
- Fisioterapi

1.8

PROGNOSIS
Ad vitam

: bonam

Ad functionam

: bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi

2.1.1

Os Tibia dan Fibula


Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik, tulang

terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut dengan korteks dan
bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan dilapisi oleh
periosteum pada bagian luarnya sedangkan yang membatasi tulang dari cavitas
medullaris adalah endosteum , tulang tersusun atas:
a.

Komponen sel :osteocytus, osteoblastocytus dan osteoclastocytus

b. Komponen matrix ossea: serabut-serabut kolagen tipe 1 dan substantia


fundamentalis
Arsitektur jaringan tulang dikenal dengan 2 jenis yaitu:
a. Jaringan tulang dengan arsitektur serupa jala
b. Jaringan tulang yang menunjukkan gambaran lembaran-lembaran (lamella
ossea). Masing-masing memiliki deretan lacuna ossea yang pada keadaan
segar ditempati oleh osteocytus.

2.1 Histologi Tulang

Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region cruris. Ini
merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini terbentang ke
proksimal untuk membentuk articulatio genu dan ke distal terlihat semakin mengecil.
Os fibula atau calf bone terletak sebelah lateral dan lebih kecil dari tibia. Extremitas
proximalis fibula terletak agak posterior dari caput tibia, dibawah articulatio genu.
Fascia cruris merupakan tempat perleketan musculus dan bersatu dengan perosteum.
Kearah proksimal akan melanjutkan diri ke fascia lata, dan akan melekat di sekitar
articulatio genu ke os patella, ligamentum patellae, tuberositas tibiae, dan capitulum
fibulae. Kearah posterior membentuk fascia poplitea yang menutupi fossa poplitea.
Disini tersusun oleh serabut-serabut transversal yang ditembus oleh vena saphena
parva. Fascia ini menerima serabut-serabut tendo m.biceps femoris disebelah lateral
dan tendo m.sartorius, m.gracilis, m.semitendinosus, dan m.semimembranosus
disebelah medial. Kearah anterior, fascia ini bersatu dengan perosteum tibia serta
perostenium capitulum fibulae dan malleolus fibulae. Kearah distal, fascia
ini melanjutkan diri ke raetinaculum mm.extensorum superior dan retinaculum mm.
flexorum. Fascia ini menjadi tebal dan kuat dibagian proximal dan anterior cruris,
untuk perlekatan m.tibialis anterior dan m.extensor digitorum longus. Tetapi, fascia
ini tipis dibagian posterior yang menutupi m.gastrocnemeus dan m.soleus. disisi
lateral cruris, fascia ini membentuk septum intermusculare anterius dan septum
intermusculare posterius. Musculus di region cruris dibedakan menjadi tiga
kelompok. Yaitu (a) kelompok anterior, (b) kelompok posterior dan (c) kelompok
lateralis :
Musculus di regio anterior

o
o
o
o

M. tibialis anterior
M. extensor hallucis longus
M. extensor digitorum longus dan m.peroneus tertius
Musculus regio cruris posterior kelompok superficialis
o M. Gastrocnemius
o M. Soleus
o M. Plantaris
o Musculus regio cruris posterior kelompok profunda
M. Popliteus
M. flexor hallucis longus
M. flexor digitorum longus
M. tibialis posterior
Musculus region cruris lateralis
M. peroneus longus
M. peroneus brevis

Gambar 2.2 Anatomi Os Tibia dan Fibula

2.2

Fraktur

2.2.1

Pengertian
Fraktur adalah diskontinuitas atau terputusnya jaringan tulang maupun

jaringan skeletal akibat tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang. Trauma yang dapat menyebabkan fraktur dapat berupa trauma
langsung maupun tidak langsung. Dimana trauma langsung menyebabkan tekanan
langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan, sedangkan trauma tidak
langsung apabila trauma tersebut dihantarkan ke daerah yang lebih dari daerah fraktur

(contoh: jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula) dan
pada keadan ini biasanya jaringan lunak akan tetap utuh. Fraktur terbuka sendiri
merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar
untuk menurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi
penyembuhan dari fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak.
Fraktur terbuka sering menimbulkan komplikasi berupa infeksi. Infeksi dapat
berasal dari flora normal di kulit ataupun bakteri pathogen khususnya bakteri gram
(-). Golongan flora normal kulit, seperti Staphylococus, Propionibacterium acne,
Micrococus dan dapat juga Corynebacterium.

2.2.2

Epidemiologi
Frekuensi dari fraktur terbuka bervariasi tergantung pada faktor geografis ,

sosio-ekonomi, populasi penduduk, dan trauma yang terjadi. Dari data yang diambil
didapatkan insidens fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan 3,64 : 1 dan kelompok umur mayoritas dekade
dua atau dekade tiga, dimana mobilitas dan aktifitas fisik tergolong tinggi. Sedangkan
sumber lain mengatakan insiden fraktur terbuka sebanyak 21,3 kasus per 100.000
dalam setahun. Fraktur diafisis menduduki peringkat terbanyak pada tibia (21,6%),
disusul oleh femur (12,1%), radius dan ulna (9,3%), dan humerus (5,7%). Pada tulang
panjang, fraktur terbuka diafiseal lebih sering terjadi dibanding metafiseal (15.3 %
versus 1.2%).

Lokasi

Jumlah kasus fraktur Fraktur Terbuka

% Fraktur Terbuka

Ekstremitas atas

15,406

503

3.3

Ekstremitas bawah

13,096

488

3.7

Lingkar bahu

1,448

0.2

Pelvis

942

0.6

Tulang Belakang

683

0.0

Total

31,575

1,000

3.17

Tabel 2.1 Epidemiologi fraktur

Fraktur tibia merupakan fraktur yang paling sering dari semua fraktur tulang
panjang. Kejadian tahunan fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per
100.000 orang, dengan 40% terjadi di ekstremitas inferior. Fraktur di ekstremitas
inferior paling banyak adalah fraktur yang terjadi pada diafisis tibia.
Periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama pada daerah depan yang
hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen frakturnya
bergeser karena berada langsung dibawah kulit sehingga sering juga ditemukan
fraktur terbuka.

2.2.3

Klasifikasi

Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:

Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).


1). Faktur Terbuka (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.

2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara


hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur.


1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme


trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.

Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.

Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.


1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).

Berdasarkan posisi frakur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal

Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis


tulang.

Gambar 2.3 Klasifikasi fraktur sesuai konfigurasi


Menurut Gustilo dan Anderson pada tahun 1990 membagi fraktur terbuka
menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Grade I : Luka kecil kurang dari 1cm panjangnya, biasanya karena luka tusukan
dari fragmen tulang yang menembus kulit. Terdapat sedikit kerusakan jaringan
dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur
yang terjadi biasanya bersifat simple, transversal, oblik pendek atau sedikit
komunitif.
2. Grade II : Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan
sedikit kontaminasi fraktur.
3. Grade III : Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit
dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya di
sebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3
subtipe:

1. Tipe IIIA : Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun
terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental
atau komunitif yang hebat
2. Tipe IIIB: fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan
kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka,
kontaminasi yang hebatserta fraktur komunitif yang hebat.
3. Tipe IIIC: fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan
lunak.

Gambar 2.4 Derajat fraktur terbuka menurut Gustilo dan Anderson


2.2.4

Etiologi

Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan

fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin
D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau
fosfat yang rendah.

Gambar 2.5 Pathway fraktur


Tekanan pada tulang dapat berupa:
1.

Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral


atau oblik

2.

Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal

3.

Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan


fraktur impaksi, dislokasi atau fraktur dislokasi

4.

Kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur komunitif atau


memecah misalnya pada badan vertebra, talus atau fraktur buckle
pada anak-anak

5.

Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak


tertentu akan menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z

6.

Fraktur oleh karena remuk

7.

Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan


menarik sebagian tulang

2.2.5

Gejala klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat. Nyeri berkurang jika fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur.
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan
lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa
jam atau beberapa hari setelah cedera.

2.2.6

Diagnosis

1. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang hebat
maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat karena fraktur tidak
selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau pendarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Menurut pedoman ATLS mengikuti akronim AMPLE, yaitu:
1. A

: Alergi

2. M

: Medikasi yang dikonsumsi sebelum kecelakaan

3. P

: Past illness atau riwayat penyakit yang relevan

4. L

: Last meal atau makanan yang dikonsumsi sebelum kecelakaan

5. E

: Events related to the accident atau kejadian yang terkait dengan

kecelakaan, termasuk keadaan alam, keadaan saat terjadinya kecelakaan

3. Pemeriksaan Lokal

Inspeksi (Look) Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang


abnormal,angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal
yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka memiliki
hubungan dengan fraktur, cedera terbuka, keadaan vaskularisasi

Palpasi (Feel) Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita


biasanya mengeluh sangat nyeri. Adanya cedera pembuluh darah adalah
keadaan darurat
o Temperatur setempat yang meningkat.
o Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan
oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
o Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati.
o Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena.
o Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma , temperatur kulit.
o Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai.

Pergerakan (Movement). Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan,


tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan
sendi sendi di bagian distal cedera. Pergerakan dengan mengajak penderita
untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari
daerah yang mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan
akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan
secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta
gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis.
Kelaianan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan
masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk
pengobatan selanjutnya.

2.2.7

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan radiologis
Macam-macam pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menetapkan
kelainan tulang dan sendi :
o Foto Polos
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun
demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan bidai yang bersifat radiolusen untuk
imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Tujuan
pemeriksaan radiologis :

Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi


Untuk konfirmasi adanya fraktur
Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmenserta

pergerakannya
Untuk menentukan teknik pengobatan
Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak
Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru.

Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan beberapa prinsip dua (rule of 2):

dua posisi proyeksi (minimal AP dan lateral)

2 sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan diatas
sendi yang mengalami fraktur

2 anggota gerak

2 trauma, pada trauma hebat sering menyebabkan fraktur pada 2 daerah


tulang. Misal: fraktur kalkaneus dan femur, maka perlu dilakukan foto pada
panggul dan tulang belakang

2 kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya tulang skafoid foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya
10-14 harikemudian.
Pemeriksaan radiologis lainnya:

o CT-Scan. Suatu jenis pemeriksaan untuk melihat lebih detail mengenai bagian
tulang atau sendi, dengan membuat foto irisan lapis demi lapis.
o MRI, dapat digunakan untuk memeriksa hampir seluruh tulang, sendi, dan
jaringan

lunak.

MRI

dapat

digunakan

untuk

mengidentifikasi

cedera

tendon,ligamen, otot, tulang rawan dan tulang.


o Radioisotop scanning
o Tomografi
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu ditanyakan
apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan lokasinya, apakah
sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur
dapat menentukan prognosis serta waktu penyembuhan fraktur.

2.2.8

Penatalaksanaan
Fraktur terbuka sendiri merupakan suatu kasus emergensi karena dapat terjadi

kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam

(golden period). Agar kuman tidak terlalu jauh masuk kedalam tubuh, maka
dilakukan:
1.

Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCL fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat pada luka.

2.

Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)


Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
perkembangan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas.
Debridemen adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati sehingga luka
menjadi bersih. Untuk melakukan debridemen yang adekuat, luka lama dapat
diperluas, jika diperlukan dapat membentuk irisan yang berbentuk elips untuk
mengangkat kulit, fasia serta tendon ataupun jaringan yang sudah mati.
Debridemen yang adekuat merupakan tahapan yang penting untuk pengelolaan
dan dapat dilakukan secara berulang. Diperlukan cairan yang cukup untuk fraktur
terbuka dan dapat menggunakan cairan normal salin.

3.

Pengobatan fraktur itu sendiri


Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.

4.

Penutupan kulit

Fraktur terbuka harus diobati dalam waktu periode emas (6-8 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skingraft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum
pada luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi
tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary
closure. Yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan
yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
5.

Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, saat dan sesudah tindakan operasi. Pemberian
antibiotika efektif mencegah terjadinya infeksi pada fraktur terbuka. Untuk
fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan sefalosporin dan
dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.

6.

Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus.
Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian
toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin
(manusia).

Terapi invasif (Operasi atau pembedahan)


Peralatan proteksi diri yang dibutuhkan saat operasi adalah google, boot dan
sarung tangan tambahan. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pencucian dengan
povine iodine, lalu drapping area operasi. Debridemen dilakukan pertama kali pada

daerah kulit. Kemudian rawat perdarahan di vena dengan melakuan koagulasi. Buka
fascia untuk menilai otot dan tendon. Viabilitas otot dinilai dengan 4C, Color,
Contractility, Circulation and Consistency. Lakukan pengangkatan kontaminasi
canal medullary dengan saw atau rongeur. Curettage canal medulary dihindarkan
dengan alasan mencegah infeksi ke arah proksimal. Irigasi dilakukan dengan normal
salin. Penggunaan normal salin adalah 6-10 liter untuk fraktur terbuka grade II dan
III. Tulang dipertahankan dengan reposisi. Penutupan luka dilakukan jika
memungkinkan. Berdasarkan jumlah jaringan lunak yang hilang, luka-luka kompleks
(complex wound) dapat ditutupi dengan menggunakan metode yang berbeda, yakni :
a.

Lokal Flap
Jaringan otot dari ekstremitas yang terlibat diputar untuk menutupi fraktur.
Kemudian diambil sebagian kulit dari daerah lain dari tubuh (graft) dan
ditempatkan di atas luka.

b.

Free Flap
Beberapa luka mungkin memerlukan transfer lengkap jaringan. Jaringan ini
sering diambil dari bagian punggung atau perut. Prosedur free flap membutuhkan
bantuan dari seorang ahli bedah mikrovaskuler untuk memastikan pembuluh
darah terhubung dan sirkulasi tetap berjalan.

Tulang patah dalam fraktur terbuka biasanya digunakan metode fiksasi eksternal
atau internal. Hal ini penting untuk menstabilkan patah tulang sesegera mungkin dan
mencegah kerusakan jaringan yang lebuh lunak. Adapun metodenya memerlukan
operasi:
a.

Fiksasi Internal

Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi (dikurangi) ke posisi


normal kemudian diikat dengan sekrup khusus atau dengan melampirkan pelat
logam ke permukaan luar tulang. Fragmen juga dapat diselenggarakan bersamasama dengan memasukkan batang bawah melalui ruang sumsum di tengah tulang.
Karena fraktur terbuka mungkin termasuk kerusakan jaringan dan disertai dengan
cedera tambahan, mungkin diperlukan waktu sebelum operasi fiksasi internal
dapat dilakukan dengan aman. Indikasi untuk fraktur terbuka, fraktur multipel.
b.

Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini digunakan untuk
menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi eksternal, pin atau sekrup
ditempatkan ke dalam tulang yang patah di atas dan di bawah tempat fraktur.
Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin atau sekrup dihubungkan ke sebuah
lempengan logam di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu kerangka
stabilisasi yang menyangga tulang dalam posisi yang tepat. Indikasi dilakukan
fiksasi eksterna yaitu fraktur terbuka grade II & III, fraktur terbuka disertai
hilangnya jaringan atau tulang yang hebat.
Pada beberapa kasus, amputasi menjadi pilihan terapi. Immediate amputation

biasanya diindikasikan pada keadaan berikut:

Fraktur terbuka derajat IIIC dimana lesi tidak dapat diperbaiki dan iskemia

sudah terjadi >8 jam


Anggota gerak yang mengalami crush berat dan jaringan viable yang

tersisa untuk revaskularisasi sangat minimal


Kerusakan neurologis dan soft tissue yang berat, dimana hasil akhir repair

tidak lebih baik dari penggunaan prosthesis.


Cedera multipel dimana amputasi dapat mengontrol perdarahan dan
mengurangi efek sistemik/life saving

Kasus dimana limb salvage bersifat life-threatening dengan adanya


penyakit kronik yang berat, seperti diabetes mellitus dengan gangguan

vaskular perifer berat dan neuropati


Kondisi bencana / mass disaster

Tabel 2.6 Penilaian amputasi menurut MESS

2.2.9

Komplikasi

Komplikasi Fraktur Terbuka


1. Komplikasi Umum
Syok, koagulopati difus atau gangguan fungsi pernapasan yang dapat terjadi
dalam 24 jam pertama setelah trauma dan setelah beberapa hari kemudian
akan terjadi gangguan metabolisme berupa peningkatan katabolisme.
Komplikasi umum yang lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena
dalam, infeksi tetanus atau gas gangren.

2. Komplikasi Lokal Dini


Komplikasi dalam 1 minggu pertama pasca trauma disebut sebagai komplikasi
lokal dini dan bila lebih dari 1 minggu pasca trauma disebut komplikasi lokal
lanjut. Macam komplikasi lokal dini dapat mengenai tulang, otot, jaringan
lunak, sendi, pembuluh darah, saraf, organ viseral maupun timbulnya sindrom
kompartemen atau nekrosis avaskuler.
3. Komplikasi Lokal Lanjut
Komplikasi pada tulang, osteomielitis kronis, kekakuan sendi, degenerasi
sendi, maupun nekrosis pasca trauma. Dalam penyembuhan fraktur dapat juga
terjadi komplikasi karena teknik, perlengkapan ataupun keadaan yang kurang
baik, sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi, nonunion, delayed union,
dan malunion.
Malunion adalah keadaan dimana tulang menyambung dalam posisi tidak
anatomis, bisa sembuh dengan pemendekan, angulasi ataupun rotasi. Delayed
union adalah proses penyembuhan patah tulang yang melebihi waktu yang
diharapkan, hal ini berarti bahwa proses terjadi lebih lama dari batas waktu
yang umumnya 3-5bulan. Non union sendiri merupakan tidak adanya proses
penyembuhan setelah 6 bulan.
2.2.10 Prognosis
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan terbukanya barier
jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam untuk terjadinya infeksi. Seperti
kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang terbuka, luka yang terjadi masih
dalam stadium kontaminasi (golden period) dan setelah waktu tersebut, luka berubah
menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patah tulang terbuka harus
dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah
tulang terbuka tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya, tulang
secara primer menempati urutan prioritas ke 6.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Jong WD, Sjamsuhidajat R. Patah Tulang dan Dislokasi. Dalam :


Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta, 1997 : 1138.

2.

Rasjad Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Bintang


Lamumpatue : Ujung pandang,1998 :327.

3.

Mark

Baratz,

MD.

Tibia

and

Fibula

Fracture.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/826304-overview.
4.

Lung-fung,

TSE.

Management

of

Open

Fractures.

http://www.aado.org/file/open-fracture-ws_mar09/LFTse.pdf.

Available
Accessed

at
on

March, 18th 2013.


5.

Koval Kenneth J., Zuckerman Joseph D. Handbook of Fractures. 3 rd Edition.


Lippincott William & Wilkins Press. 2006.

6.

Chapman MW. Open Fractures in in Chapmans Orthopaedic


Surgery 3rd ed Vol 1. 2001[online database]. Lippincott Williams & Wilkins.

7.

Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed:
Ke-6. Jakarta: EGC.

8.

Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Struktur dan Fungsi

9.

Tulang, Edisi ke-3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2008; 6-11.


Carlos Junqueira, Jose Carniero, Robert Kelley. 1998. Histologi

10.

Dasar. Jakarta : EGC.


Salter RB.

Textbook

Disorders

and

Injuries

of

The

Muskuloskeletal System Third Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins.


11.

1999. p417-498
Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood &
Green's Fractures in Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006.
p80-331

Você também pode gostar

  • Asma
    Asma
    Documento46 páginas
    Asma
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • SSP Sso
    SSP Sso
    Documento32 páginas
    SSP Sso
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • Case Hemel
    Case Hemel
    Documento9 páginas
    Case Hemel
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • Laring Fisiologi
    Laring Fisiologi
    Documento7 páginas
    Laring Fisiologi
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • Ucapan Terima Kasih
    Ucapan Terima Kasih
    Documento2 páginas
    Ucapan Terima Kasih
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • Revisi Biopsi
    Revisi Biopsi
    Documento14 páginas
    Revisi Biopsi
    deirahayu
    0% (1)
  • Referat Otalgia
    Referat Otalgia
    Documento17 páginas
    Referat Otalgia
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • Referat Otalgia
    Referat Otalgia
    Documento17 páginas
    Referat Otalgia
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • Makalah Konjungtivitis Fix
    Makalah Konjungtivitis Fix
    Documento25 páginas
    Makalah Konjungtivitis Fix
    deirahayu
    Ainda não há avaliações
  • Rhinitis Vasomotor
    Rhinitis Vasomotor
    Documento13 páginas
    Rhinitis Vasomotor
    deirahayu
    Ainda não há avaliações