Você está na página 1de 4

ARTIKEL GREEN INDUSTRI.

Sistem peternakaan berkesinambungan diindonesia,Sistem


peternakan ramah lingkungan ditengah krisis pemanasan
global....
HARDIANSYAH
Perubahan iklim global merupakan isu yang mendapatkan perhatian cukup serius dari
masyarakat dunia karena telah mengancam masa depan planet bumi termasuk manusia dan
makhluk hidup lain di dalamnya. Pemicu perubahan iklim global yang paling mendasar
adalah adanya efek gas rumah kaca yang utamanya disebabkan karena adanya gas buangan
CO2 yang berlebihan di atmosfer selain itu ada gas lain yang turut juga menyumbang efek
gas rumah kaca walaupun dikeluarkan dalam jumlah lebih sedikit tetapi tidak kalah penting
dalam menyumbang efek rumah kaca, karena kemampuan gas tersebut untuk menyerap
radiasi lebih tinggi dan bertahan lebih lama di atmosfer daripada karbon dioksida, Gas
tersebut yakni methan dan nitrogen monoksida yang memiliki potensi untuk mengakibatkan
global warming (pemanasan global), 23 dan 296 kali lipat lebih kuat daripada karbon
dioksida.
Dewasa ini ada suatu isu menarik kaitan antara rekomendasi pengurangan konsumsi pangan
hasil peternakan khususnya daging dengan pengurangan dampak perubahan iklim global.
Menurut salah satu laporan Food and agriculture Organization (FAO) PBB berjudul Livestock
Long Shadow tahun 2008 tentang perubahan iklim global, sektor industri peternakan
memiliki kontribusi sebesar 18 persen dari total emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh
aktivitas manusia. Gas methan merupakan gas rumah kaca yang dihasilkan dari hasil
samping produksi peternakan, kuantifikasi 18 persen sumbangan perubahan iklim global
bukan hanya berasal dari gas methan akan tetapi berasal dari semua kegiatan industri
peternakan, terutama industri ternak jenis ruminansia yang menghasilkan daging sehingga
kegiatan produksi peternakan diasumsikan pada banyaknya orang mengonsumsi daging,
Konsumsi daging meningkat seiring dengan meningkatnya produksi peternakan, artinya bila
produksi peternakan ditekan maka konsumsi
daging akan lebih sedikit dan dampak perubahan iklim global bisa ditekan pula, Sumbangan
Angka 18 persen terhitung signifikan bila dilihat dari satu sektor yang menghasilkan saja,
namun yang perlu kita cermati kontribusi emisi gas rumah kaca tersebut dihasilkan
terutama dari peternakan yang sudah bergerak dalam skala industri yang tentunya lebih
banyak berkembang di negara maju. Selain itu sebagian besar kalangan menganggap
rekomendasi pengurangan konsumsi daging akan sulit di aplikasikan terutama di negara
berkembang seperti di Indonesia yang memang mayoritas penduduknya masih kekurangan

akan nutrisi dari produk pangan asal hewan, artinya masyarakat miskin atau malnutrisi yang
tidak memakan daging tidak mungkin bisa mengurangi konsumsinya.
Menurut Mc Michael (2007) merupakan fakta yang sangat jelas bahwa peningkatan
konsumsi produk hewan diseluruh dunia bukan akibat peningkatan konsumsi produk hewan
oleh orang miskin yang tidak bisa makan daging, akan tetapi akibat orang kaya yang
mengonsumsi semakin banyak produk hewan. Konsumsi produk hewan secara berlebihan
khususnya daging, merupakan penyebab utama terjadinya peningkatan jumlah orang yang
menderita kegemukan secara global .
Kebanyakan peningkatan produksi hewan terdapat pada industri peternakan berskala besar.
Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa peningkatan produk hewan dengan cepat atau
penggunaan metode industri ternak untuk memenuhi kebutuhan konsumen merupakan
solusi untuk mengurangi angka kelaparan dan kemiskinan atau meraih keamanan pangan. Di
negara berkembang, keamanan pangan sering kali tidak diperhatikan: daging yang
diproduksi harganya terlalu mahal untuk orang-orang yang sangat miskin dan kelaparan,
dan peternakan-peternakan besar tersebut menghancurkan lapangan pekerjaan dan
kestabilan sosial di dalam masyarakat petani (COX, 2007) dari segi lingkungan peternakan
skala industri yang intensif tidak ramah lingkungan karena berpotensi mengkonversi lahan
produktif.
menjadi lahan peternakan, kemudian biasanya melakukan perdagangan multinasional
(ekspor-impor) baik itu dari pakan sampai produk peternakan yang dihasilkan yang tentunya
menambah emisi gas buang dari transportasi, serta pemenuhan kebutuhan pakan yang
cukup besar pada satu tempat dan suatu waktu membutuhkan lahan pakan yang luas untuk
ditanami pakan yang seragam.
Telah banyak hasil penelitian memberikan solusi yang lebih aplikatif dan tidak menimbulkan
masalah lain di bidang sosial ekonomi peternakan dibanding rekomendasi pengurangan
produksi peternakan dan penurunan konsumsi daging, inti dari berbagai hasil penelitian
adalah peternakan berkesinambungan, dimana kriteria dari peternakan yang
berkesinambungan adalah peternakan harus tetap memperhatikan ekologi lingkungan,
pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sosial, dan kemanusiaan. Menurut Pretty JN et.
al.(2000) kriteria tersebut dapat dicapai oleh sistem peternakan bukan industri yang
intensif melainkan peternakan berbasis keluarga, yang relatif berskala kecil, dan berbasis
lokal merupakan kerangka yang terbaik untuk meraih seluruh tujuan yang diinginkan yakni
guna mencapai keamanan pangan, stabilitas sosial, dan kesinambungan lingkungan.
Peternakan berbasis keluarga, yang relatif berskala kecil, dan berbasis lokal dapat
mengembalikan produktifitas lahan, terlebih lagi ternak yang dikelola dengan baik di
peternakan yang ektensif dengan menggunakan sumberdaya lokal, mengolah kembali
produktifitas tanah dan pemberian pakan rumput pada ternak tidak hanya akan mengurangi
dampak buruk industrialisasi ternak terhadap kesinambungan, akan tetapi juga dapat

memiliki dampak positif yang nyata karena rumput juga dapat menyerap karbon.
Penyimpanan atau penyerapan karbon dapat diperkuat oleh manajemen tanah seperti
pelestarian dan penggarapan tanah, ditambah lagi dengan membiarkan 30 persen atau lebih
dari sisa-sisa palawija dipermukaan tanah setelah penanaman rerumputan merupakan lahan
terbanyak yang digunakan manusia maka daripada itu memiliki potensi untuk menyerap
lebih banyak karbon dibandingkan dengan tumbuhan lainnya (Steinfeld H. et. al.,2006)
Melihat dua sistem peternakan di atas jelas sistem peternakan berbasis industri adalah tidak
berkesinambungan dibanding sistem peternakan berbasis keluarga dan berbasis lokal.
Sistem peternakan berbasis keluarga dan berbasis lokal yang dapat mengembalikan
produktifitas lahan akan lebih mudah diterapkan di Indonesia dibanding negara maju,
karena sebagai mana yang kita ketahui sistem peternakan di Indonesia didominasi sistem
peternakan rakyat dan didukung oleh banyaknya sumberdaya pakan. Sistem peternakan
rakyat relatif berskala kecil dan mengandalkan sumberdaya local, namun kelemahannya
belum semua sistem peternakan rakyat di Indonesia yang mampu mengembalikan
produktifitas lahan lagi tetapi yang pasti tidak sesulit mengembalikan produktifitas lahan
yang rusak akibat sistem peternakan industri yang intensif, dengan dukungan dan kebijakan
yang tepat dari pemerintah, dan kerja sama dari produsen peternakan, lembaga riset,
perguruan tinggi serta masyarakat pada umumnya, sistem peternakan rakyat di Indonesia
menjadi sistem peternakan yang benar-benar berkesinambungan yakni tetap
memperhatikan ekologi lingkungan, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sosial, dan
kemanusiaan.
Sumber Utama
http://www.wspa-international.org/Images/WSPA_Eating_Our_Future_Bahasa_tcm259143.pdf
Sumber terkait lainnya
Mc Michael AJ, Powles JW, Butler CD & UAuy R 2007 Food, livestock production, energy, climate
change, and halth. The Lancet 370: 1253-1263
Pretty JN, Brett C, Gee D, Hine R, Mason CF, Morison JIL, Raven H, Rament M & van der Bijl G
2000 An assessment of the total external costs of UK agriculture. Agricultural Sistems 65:
113 136
Steinfeld H, Gerber P, Wassenaar T, Castel V, Rosales M & de Haan C 2006 Livestocks Long
Shadow: environmental issues and options. FAO Agriculture Organisation, Rome
COX 2007 Industrial animal agriculture part of the poverty problem. WSPA London
Oleh :
Departemen Kajian Peternakan dan Advokasi
BEM Fakultas Peternakan IPB 2011

Você também pode gostar