Você está na página 1de 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bagi Negara, pajak merupakan sumber penerimaan, sedangkan disisi lain pajak
merupakan biaya bagi perusahaan karena beban pajak akan mengurangi laba perusahaan.Beban
pajak yang dipikul subjek pajak khususnya subjek pajak badan, memerlukan perencanaan yang
baik, oleh karena itu strategi perpajakan menjadi mutlak untuk mencapai laba perusahaan yang
optimal, strategi dan perencanaan yang baik dan benar tentu saja harus legal, akan mampu
mendorong perusahaan untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain.
Sebagian besar perusahaan melakukan perencanaan pajak dengan tujuan untuk
mengurangi pajak penghasilan mereka karena mereka merasa beban pajak penghasilan yang
besar akan mengurangi keuntungan mereka.
Perusahaan atau manajemen memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran
pajak karena masih dalam lingkup undang-undang perpajakan. Secara umum diakui bahwa
penggelapan pajak merupakan tindakan di luar hukum sedangkan penghindaran pajak dianggap
suatu tindakan dalam hukum (Mclaren, 2008).
Dua kegiatan yang bisa dilakukan dalam perencanaan pajak yaitu tax avoidance dan tax
evasion, keduanya merupakan tindakan penghematan pajak. Perbedaannya adalah tax avoidance
indakan mengurangi utangpajak secara legal atau tidak melanggar hukum sedangkan tax
evasionmerupakan tindakan mengurangi utang pajak secara ilegal ataumelanggar hukum. Salah
satu manfaat dari adanya tax avoidance adalah unuk memperbesar tax saving yang berpotensi
mengurangi pembayaran pajak sehingga akan menaikan cash flow.
Untuk menghitung PPh 21 karyawan dapat digunakan 3 (tiga) alternatif. Alternatif yang
pertama adalah gross method yaitu metode dimana karyawan yang akan menanggung sendiri
jumlah pajak penghasilan. Alternatif kedua yang dapat dipilih adalah net basis yaitu metode
dimana perusahaan atau pemberi kerja yang akan menanggung pajak karyawannya. Alternatif
ketiga adalah metode gross up method yaitu metode dimana perusahaan memberikan tunjangan

pajak yang perhitunganya menggunakan rumus gross up yang jumlahnya sama besar dengan
jumlah pajak yang dipotong dari karyawan.
Sesuai dengan PER- 31/PJ/2009 Pasal 3 huruf a mengenai Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau Pajak PPh Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi bahwa pegawai adalah orang pribadi yang
merupakan salah satu penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan strategi perencanaan PPh 21/26 ?

Metode apa yang baik digunakan dalam mengefisiensikan beban pajak ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui penerapan strategi perencanaan PPh 21/26 sebagai strategi


penghematan dalam membayar pajak.

Untuk mengetahui Metode apa yang baik digunakan dalam mengefisiensikan beban pajak

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Perencanaan Pajak
Dalam melakukan perencanaan pajak, perusahaan harus mengumpulkan dan melakukan
penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak
yang akan dilakukan (Suandy,2006:7). Dalam hal ini penulis mencoba untuk dapat melakukan
penghematan dan penelitian terhadap ketentuan pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
21 untuk karyawan dan pajak penghasilan badan. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
Pasal 9 Huruf h disebutkan bahwa Pajak Penghasilan tidak dapat dikurangkan dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
Perencanaan pajak memungkinkan perusahaan dengan relatif struktur pajak yang tidak
efisien untuk memperbaiki masalahnya sehingga mampu bersaing dengan struktur pajak yang
lebih efisien. Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya merupakan tindakan penstrukturan
yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap
transaksi yang ada konsekuensi pajaknya (Mangunsong, 2002). Suatu perencanaan pajak yang
tepat akan menghasilkan beban pajak yang minimal yang merupakan hasil dari perbuatan
penghematan pajak dan/atau penghindaran pajak yang dapat diterima oleh fiskus dan sama sekali
bukan karena penyelundupan pajak yang tidak dapat diterima oleh fiskus dan tidak akan ditolerir
(Ruchjana, 2008). Perencanaan yang baik mengharuskan wajib pajak mengikuti dan mengetahui
perkembangan peraturan perpajakan yang terbaru (Gloritho, 2009). Perencanaan pajak yang baik
memungkinkan wajib pajak terhindar dari pengenaan sanksi pajak, baik sanksi administrasi
maupun sanksi pidana (Hardika, 2007).
Oleh karena itu penulis mencoba untuk melakukan tindakan penghematan pajak melalui
perencanaan pajak dengan 3 (tiga) metode perlakuan Pajak Penghasilan pasal 21 terutang yang
nantinya dapat mengurangi laba perusahaan dan dengan laba yang tersebut maka Pajak
Penghasilan untuk badan juga dapat dihemat.

2.2 Strategi Perencanaan Pajak Untuk Mengefisiensikan Beban Pajak


Dalam melakukan perhitungan dan pembayaran pajak khususnya Pajak Penghasilan
Pasal 21 wajib pajak memiliki 3 (tiga) opsi dan masing-masing memiliki nilai plus dalam rangka
mengefisienkan beban perusahaan yaitu : 1). Gross Method dimana PPh Pasal 21 ditanggung
oleh Karyawan, 2). Net Method, PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan. dan 3). Gross Up
Method merupakan suatu metode dimana tunjangan pajak yang digross up.
I. Gross Method (PPh Pasal 21 ditanggung sendiri oleh karyawan).
Merupakan suatu metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri
jumlah pajak penghasilannya, pada umumnya dipotong langsung dari gaji karyawan. Perhitungan
metode ini adalah hal yang hampir sebagian besar dilakukan perusahaan karena mungkin tidak
terlalu rumit bagi perusahaan atau mungkin memang cocok dengan keadaan perusahaan (siklus
hidup perusahaan).
II. Net Method (PPh Pasal 21 ditanggung Perusahaan)
Net Method, yaitu metode yang pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
ditanggung oleh perusahaan (pemberi kerja) dengan cara membebankan pajak karyawan sebagai
beban pajak. Menurut Undang- Undang Pajak Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 9 ayat 1 huruf (h)
disebutkan bahwa beban pajak merupakan beban yang tidak dapat dikurangkan dalam
perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) perusahaan (non deductible expenses). Dengan
demikian maka perusahaan akan terkena koreksi fiskal jika menggunakan metode ini.
III. Gross Up Method (Tunjangan pajak yang digross up)
Suatu metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang
jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari karyawan. Pada prinsipnya
Gross Up adalah untuk mencari tunjangan pajak yang jumlahnya sama dengan pajak yang
terutang. Karena besarnya tunjangan pajak yang diberikan perusahaan dimasukan sebagai
penghasilan yang dicantumkan dalam SPT PPh Pasal 21 maka atas seluruh tunjangan pajaknya
dapat dibiayakan (deductible).

2.3 Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21


Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos pos yang
dapat / tidak dapat dikenakai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan)
dan pos pos yang dapat / tidak dapat dibiayakan (pengurangan hasil bruto), yang
mekanismenya: Jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan / penghasilan dapat
dibiayakan (pengurang hasil bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut
bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan
pengurang penghasilan bruto).
Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim diterapkan dalam
perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan mengubah atau mengkonversikan
penghasilan yang merupakan objek pajak, atau sebaliknya mengubah biaya yang tidak boleh
dikurangkan menjadi biaya yang baik dikurangkan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan
pajak terutama akibat pengurangan atau konversi tersebut.
Jika kondisi perusahaan baik dan perusahaan menghasilkan laba yang besar, maka salah
satu alternative yang direkomendasikan adalah mengkaji mana yang lebih menguntungkan antara
memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk tunjangan atau dalam bentuk natura.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari ketiga metode tersebut di atas, maka metode gross up adalah yang lebih adil,
mengapa? karena perusahaan yang menerapkan ini memperlakukan karyawannya sebagai mitra
perusahaan. Karena seperti apa yang dikatakan oleh John L Mariotti bahwa terdapat 6 (enam)
etika bisnis dan salah satunya adil, atau win-win solution dimana dalam kerja sama harus ada
keadilan diantara ke dua pihak. Dengan menggunakan metode gross up tampak beban PPh
Pasal 21 yang disetor lebih besar dibandingkan metode lainnya, namun sebagai perencana pajak
pasti akan mengetahui bahwa ada nilai lebih bagi karyawan (take home pay) dan PPh badan.
Sejujurnya saya tidak pernah tahu siapa yang pertama kali mengungkapkan metode ini bahkan
rumusan penghitungan tersebut yang ternyata terbukti cocok belum ada dalam ketentuan
peraturan perpajakan, namun siapapun itu dia adalah seorang tax planer yang handal. Gross
up bukan hanya berlaku pada penghitungan tunjangan saja, namun sering dipakai oleh perencana
pajak dalam suatu objek pajak yaitu apabila mitra bisnisnya menghindar dalam pembayaran
pajak , sementara setiap badan hukum diwajibkan untuk melakukan pemotongan suatu objek
tertentu.
Namun bagaimana menyikapi wajib pajak yang tidak mau tahu tentang hal-hal yang
diwajibkan sehubungan dengan objek PPh Pasal 21 semisal dokumentasi status karyawan, slip
gaji dan lain-lainnya. Sehingga seorang fiskus akan mengambil jalan praktisnya menganggap
status karyawan TK dan mengalikannya dengan tarif lapisan pertama atau perusahaan membayar
PPh Pasal 21 sama persis seperti PPh Pasal 25 yang sama setiap bulannya? atau menumpuk
pembayaran di masa Desember. Maka ini hendaknya dalam menghitung pajaknya khususnya
PPh Pasal 21 setidaknya akan lebih baik karena PTKP sudah disesuaikan.

LAMPIRAN

DASAR HUKUM

a.

Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, dinyatakan bahwa:
Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,
jelas, dan menandatanganinya.

b.

Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


Mengatur tentang Objek Pajak Penghasilan

c.

Pasal 4 ayat (3) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


Mengatur tentang Yang Bukan Objek PenghasilaN

d.

Pasal 21 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


Mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri

e.

Pasal 17 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


Mengatur tentang Tarif Pajak Penghasilan

f.

Peraturan Dirjen Pajak Nomor 31/PJ./2009 Jo Peraturan Dirjen Pajak Nomor 57/PJ/2009
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegiatan Orang Pribadi

g. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan


Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung norma penghasilan neto dengan
norma penghitungan.

TUGAS MANAJEMEN PAJAK

STRATEGI PERENCANAAN PPh 21/26

OLEH :

SRI RACHMAWATY R.
B1C1 11 128

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
2014

Você também pode gostar