Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Aliran Asy'ariyah
PAHAM ASYARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASYARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan AlAsy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim
bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asyari,
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asyariyah menisbahkan pada namanya sehingga
dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asyariyah.
Abul Hasan Al-Asyaari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq AlMarwazi, seorang fakih madzhab Syafii di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu
kalam dari Al-Jubbai, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubbai, salah
seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata
baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asyari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli
Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah
mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya
dengan Al-Jubbai seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar. Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang
pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang
kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asyari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia
keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada
madzhab Ahmad bin Hambal.
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah
yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa
takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di
dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku,
menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asyariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah
dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia
Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumenargumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asyari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau
kembangkan
merupakan
panggabungan
antara
dalil
naqli
dan
aqli.
Munculnya kelompok Asyariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap
paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata AlAsy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhanmanusia, bahwa
kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani
Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asyariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun
dikota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia.
Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud
Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i
dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa
akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena
jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah
menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok
ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua
perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din
dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus
Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul
Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir
firman Allah Ta'ala, Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula
muka yang muram. [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah
sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang
seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka
kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang
berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah
milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini
menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan
oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham
gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan
perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam.
Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu AlMakmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun
827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Quran tidak bersifat qadim, tetapi
baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu
zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Quran adalah
makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini,
semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran
mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan AlAsyari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk
selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asyariyah
ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di
kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa
yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari
mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab
Salaf.
Sebenarnya, antara Asyariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan,
di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama.
Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya,
bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan
dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam
masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan
bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama
mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham
dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah
berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini
sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa
seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur keIslamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara
dua tempat Manzilatun baina manzilatain.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan
pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASYARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asyariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di
antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Quran itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wad wa al-waid).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid,
melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu
dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka
berkata, Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau
Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Mahaadil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Quran
itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak
berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaanNya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian
hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah
selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi
ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran.
Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh
orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah
boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku
zalim.
Koreksi atas pandangan Asyari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asyari, banyak yang mengkritik paham
Asyari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaranajaran Asyari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani
yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari
Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata
ciptaan Allah, seperti pendapat Asyari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif
dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri
manusia.
Pengikut Asyari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik alJuwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme
al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan)
sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah
harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak
seperti
apa
pus,
sepertidikatakan
Asyari.
Pengikut Asyari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran
Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asyari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Quran bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asyari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke
mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para
khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa
Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para
Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga
menjadi tokohnya antara lain:
Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran
mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Diposkan oleh Rudi Arlan Al-farisi di 13:14
Label: Ilmu Kalam - Aliran Asy'ariyah
http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html
Mu'tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal - Thread Not Solved Yet
sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal
menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau
ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi alal Mutazilatil-Qadariyyah
Al-Asyrar, 1/65)
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka
Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun
kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah,
sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka
membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam AnNahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan
sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah
ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Daru Taarrudhil Aqli wan Naqli, karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawaiq Al-Mursalah Alal-JahmiyyatilMuaththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
Mengapa Disebut Mutazilah?
Mutazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan
ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan AlBashri, salah seorang imam di kalangan tabiin.
Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan AlBashri seraya berkata: Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini
kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa
tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat
toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan
bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan
sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murjiah
umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa
menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau
menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha berseloroh: Menurutku
pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada
pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir. Lalu ia
berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan
pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan AlBashri berkata:
Washil telah memisahkan diri dari kita, maka
disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mutazilah.(Al-Milal WanNihal,hal.47-48 )
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban
Ahlussunnah Wal Jamaah: Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik)
adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih
disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun
menjadi tidak sempurna). (Lihat kitab Lamhah Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya AsySyaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)
Asas dan Landasan Mutazilah
Mutazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka,
bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok).
Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat
Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan
untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka
(Firaq Muashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-
Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan
(penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi
Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering
kehitam-hitaman. (Al-Ala: 1-5)
Adapun dalil aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang
disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa
yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh
dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai
macam sifat (Al-Qawaidul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah
bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah
Al-Hamawiyah: Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian
Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang
meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan.
Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu
menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka
meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah
dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin
sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim
rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan Abidul-Maduum
(penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab AtTadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Muaththilah, dan
penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: Al-Adl (keadilan)
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu
datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak
(masyiah) Allah . Dalilnya adalah firman Allah :
Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan. (Al-Baqarah: 205)
0
Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya. (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian
menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu
mereka menamakan diri dengan Ahlul-Adl atau Al-Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-Imrani t berkata: Kita tidak sepakat bahwa
atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: Telah datang
Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang
meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam
al-jannah. Aku (Abu Dzar) berkata: Walaupun berzina dan mencuri? Beliau
menjawab: Walaupun berzina dan mencuri. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)
(Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).)
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkattingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik)
maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada
suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah :
Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan
mereka. (Al-Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:
0
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik)
ada yang berkata: Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan
(turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah
imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati
mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping
kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (At-Taubah: 124125)
Dan firman-Nya:
Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam AlJannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan
supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah
keberuntungan yang besar di sisi Allah. (Al-Fath: 4)
0
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami
menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir,
supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman
bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang
mumin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada
penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): Apakah yang dikehendaki Allah dengan
bilangan ini sebagai suatu perumpamaan? Demikianlah Allah menyesatkan orangorang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu
tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia. (Al-Muddatstsir: 31)
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-
kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan
sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa AlQuran itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa
Allah dengan sifat Istilaa (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa
mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar
Firraddi Alal-Mutazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah an
Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawaiq Al-Mursalah alal
Jahmiyyatil-Muaththilah)
Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh
karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asyari (yang sebelumnya sebagai tokoh
Mutazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada
hari Jumat untuk mengumumkan baraa (berlepas diri) dari madzhab Mutazilah.
Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: Aku lepas madzhab
Mutazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini. Dan ketika Allah beri karunia
beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis
sebuah kitab bantahan untuk Mutazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul AlIbanah an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah Anil-Firaq Adh-Dhallah,
hal. 44-45).
Wallahu alam bish-shawab.
__________________
blog tutorial www.soloboys.blogspot.com
http://www.indonesiaindonesia.com/f/6063-mutazilah-kelompok-sesat-pemujaakal/
MU'TAZILAH
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian
muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan
kebebasan berfikir.... satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak
mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar... sehingga
banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini....
akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan
Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahankebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan
kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap
ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam
yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran
dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena
menyelisihi akal menurut prasangka mereka
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih
dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan
kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan nama-nama yang yang
cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya
dengan Aqlaniyah... Modernisasi pemikiran... Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama
lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar
dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman
dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui
penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi
menjadi beberapa pokok pembahasan.
1.Definisi Mu'tazilah
1.a.Secara Etimologi
Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian,
kelemahan dan keterputusan,
1.b.Secara Terminologi Para Ulama
Sedangkan sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang
menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang
dipimpin oleh Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya
hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya
umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus
sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.
2. Perkembangannya.
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan bahwa
akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110
H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin
Atho' Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacammacam aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu sehingga didapatkan padanya
kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah,
kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al
Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad,akan tetapi pada masa ini
mu'tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin bani umayah yang
membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya sehingga hal itu
membuat mereka sangat membenci Bani Umayah karena penentangan mereka terhadap
mazhab (aliran) mu'tazilah dan i'tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan
merekapun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani Umayah
kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia
mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Dalam hal ini berkata Al Mas'udy :Yazid bin Al Waali telah bermazhab dengan mazhab
Mu'tazilah dan pendapat mereka tentang lima pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl,
Al Wa'iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu pendapat Manzilah baina Al Manzilatain -dan amar
ma'ruf nahi mungkar dan berkata lagi:(sehinga Mu'tazilah mengedepankan Yazid bin Al
Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz.
Permusuhan dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazlah ini berlangsung terus
menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya
kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Bani
Abasiyah, berkembanglah Mu'tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan
delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk mendakwahkan mazhab dan i'tikad mereka
kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini
adalah Waashil bn Atho'. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka
dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan
menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma'mun yang condong
mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma'mun terhadap
pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al Ma'mun mengerahkan
seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini
kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di
Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama
dengan pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan
para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan
pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar.
Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin
Hambal -dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah
dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur'an adalah
kalamullah dan bukan makhluk.
Mu'tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Bani Abasiyah
dari zaman Al Ma'mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte
mu'tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka
mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang
menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil.
Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian
pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:
1.
Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr
bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Mamar
bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al
Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
2.
Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu
Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb,
Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy
Al Ka'by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu
kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjahhujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka
sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan
ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya
cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk
mengenal sunnah dari bid'ah, sebagimana yang dikatakan Al Jaahidz: dan sesuatu apakah
yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah
dapat ditetapkan kerububiyahan-Robb, tidak dapat ditegakkan hujjah-hujah kenabian dan
tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan
dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari Al Firqoh (kelompok yang
menyempal) dan sunnah dari bid'ah serta keanehan dari yang masyhur.
Walaupun mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami
kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan
keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan
dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber
manhaj mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan
bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat yunani dan
bermacam-macam aliran pemikiran. Sebab setiap pemikiran yang tidak diterangi dengan
manhaj kitabullah dan Sunnah Nabi dan jalannya para Salaf Ash Sholeh maka akhirnya
adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber
dan penerangan dari Al Kitab dan Sunnah akan menerangi jalannya akal sehingga tidak
salah dan tersesat dan berjalan dengan jalannya para salafus sholeh adalah pengaman dari
kesesatan dan penyimpangan karena mereka telah mengambil sumber mazhabnya dari
sumber-sumber yang murni dari Al Kitab yang tidak terdapat padanya satu kebathilanpun
dan dari As Sunnah yang barang siapa yang berpegang teguh dengannya berarti telah
berada pada hujjah yang terang benderang.
Berkata Shodruuddin Ibnu Abil Izzi Al Hanafy dalam mengomentari ahlil kalam yang
menta'wil nash-nash Al Kitab dan As sunnah dengan akal-akal mereka,diantaranaya
Mu'tazilah:dan sebab kesesatan mereka adalah berpalingnya mereka dari meneliti
kalamullah dan kalam Rasulillah dan menyibukkah diri dengan kalam Yunani dan
bermacam-macam aliran pemikiran yang ada.
Oleh karena itu keutuhan dan kekelanggengan adalah miliknya Ahlissunnah dan kehancuran
adalah miliknya Mu'tazilah sebagai aplikasi dari firman Allah :
Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi
manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. (QS. 13:17)
3.Sebab penamaannya.
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama
Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama: Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin
Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan
oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry,
lalu berkata:wahai imam agama...telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang
mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafran yang
mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah
yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak
mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk
rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan
bersama kekufuran, dan mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau
memberikan hukum bagi kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung
sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya
tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi
dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina manzilatain),
tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang dari
tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan, lalu berkata Al
Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah
Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka
ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini
-permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan
meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya
Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.
Kedua: Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah
kepada Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka
Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al
Ghozaal serta para pengikutnya, mereka dinamakan demikian karena mereka memisahkan
diri dari Al Jamaah setelah wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan
mereka itu bermajlis sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya:
merekalah Mu'tazilah.
Murji'ah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij.
Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri
ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak.
Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan
hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun
berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut
membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal
dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam
merupakan satu kesatuan.
2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir.
Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak
menjatuhkannya di akhirat.
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar. Dalam
perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan bin
Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).
http://id.wikipedia.org/wiki/Murji'ah
Salafiyah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Islamisme
Ikhwanul
Muslimin Deobandi Barelwi Hizbullah Hizbut
Tahrir Salafi Wahhabi Jamaat-e-Islami
Salafy (Arab: Salafi) adalah salah satu aliran dalam agama Islam yang mengajarkan syariat
Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan, berdasarkan syariat yang ada pada
generasi Muhammad danpara sahabat, setelah mereka dan orang-orang setelahnya. [1]
Dalam buku yang berjudul Ghazali And The Poetics Of Imagination, karya Ebrahim Moosa, Salafy adalah
sebuah gerakan paham politik Islamisme yang mengambil leluhur (salaf) dari patristik masa awal Islam
sebagai paham dasar. [2]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Etimologi
1.1 Penggunaan
[sunting]Etimologi
Kata "Salaf" adalah kependekan dari "Salaf al-li" (Arab: ) , yang berarti "terdahulu". Dalam
terminologi Islam, secara umum digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat
muslim: Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut tabi'in. Ketiga generasi ini dianggap sebagai contoh bagaimana Islam
dipraktekkan.
Awal penggunaan istilah Salafy yang muncul di dalam kitab Al-Ansab karangan Abu Sa'd Abd al-Kareem
al-Sama'ni, yang meninggal pada tahun 1166 (562 dari kalender Islam). Di bawah untuk masuk dalam
pemikiran al-Salafi ujarnya, "Ini merupakan pemikiran ke salaf, atau pendahulu, dan mereka mengadopsi
pengajaran pemikiran berdasarkan apa yang saya telah mendengar."
Salafy melihat tiga generasi pertama dari umat Islam, yaitu Muhammad dan sahabat-sahabatnya, dan dua
generasi berikut setelah mereka, Tabi'in dan Taba 'at-Tabi'in, sebagai contoh bagaimana Islam harus
dilakukan. Prinsip ini berasal dari aliran Sunni, hadits (tradisi) diberikan kepada Nabi Muhammad:
Pokok ajaran dari ideologi dasar Salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa
Muhammad dan sahabat-sahabatnya, oleh karena itu tidak dikehendaki inovasi yang telah ditambahkan
pada abad nanti karena material dan pengaruh budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk
menghidupkan kembali praktek Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini
[4]
Salafisme juga telah digambarkan sebagai sebuah versi sederhana dan penetahuan Islam, di mana
penganutnya mengikuti beberapa perintah dan praktek.
[5]
Salafy sangat berhati-hati dalam agama, apalagi urusan Aqidah dan Fiqh. Salafy sangat berpatokan
kepada Salafussholeh. Bukan hanya masalah agama saja mereka perhatikan, tetapi masalah berpakaian,
salafy sangat suka mengikuti gaya berpakaian seperti zaman salafussholeh seperti memakai Sorban atau
gamis bagi laki-laki atau memaki celana mengantung, dan juga memakai cadar bagi kebanyakan wanita
salafy.
Salafy juga terkadang digunakan untuk merujuk dengan paham Wahabi meskipun yang kedua lebih dapat
dijelaskan sebagai sub-sekte, Penganut Salafi biasanya menolak istilah ini karena dianggap bersifat
merugikan karena mereka percaya bahwa Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak mendirikan pengajaran
agama baru dalam pemikiran atau penggambaran diri.
Namun, pada saat sekarang para pengikut Salafi memperlakukan Muhammad ibn Abd-al-Wahhab hanya
sebagai seorang pemikir besar dalam agama Islam, sebuah fakta yang dikonfirmasikan oleh mereka
menutup ketaatan kepada ajaran doktrinal. Biasanya, penganutnya dari gerakan Salafi menjelaskan dirinya
sebagai "Muwahidin," "Al Hadis,"
[sunting]Penggunaan
[6]
Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama,
digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua
abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba
memurnikan kembali ajaran yang telah di bawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an, khurafat,
syirik dalam agama Islam"[8]
Penggunaan "yang cukup berbeda" kedua yang lebih disenangi oleh para Salafi kontemporer secara
sepihak, mendefinisikan seorang Salafi sebagai Muslim yang mengikuti "perintah kitab suci ... secara
literal, tradisional" dan bukannya "penafsiran yang nampak tak berbatas" dari "salafi" awal. Para Salafi ini
melihat ke Ibnu Taimiyah, bukan ke figur abad ke 19 Muhammad Abduh, Jamal al-Din, Rashid Rida.[8]
[sunting]Para
Al Bukhary
Muslim,
Abu Daud,
Abu Hatim,
Abu Zur'ah,
At-Tirmidizy,
An-Nasa'i.
http://id.wikipedia.org/wiki/Salafiyah
Kelompok ini tidak begitu nampak sikap panatik terhadap beliau, namun mereka berlebihan dalam
memuliakan beliau sampai-sampai lebih memuliakan beliau dari pada Rasulullah.SAW.
Risalah Al-quran menurut mereka bukan merupakan risalah Rasul SAW melainkan risalah Ali.ra, di anggapnya
malaikat Jibril.as salah dalam menyerahkan risalah tersebut, yang seharusnya di tangan Ali.ra namun berada di
tangan Raul.SAW, keyakinan yang fasyil.
Kelompok ini menyamakan kedudukan Ali.ra sama dengan Rasulullah.SAW, bahkan lebih dari itu.
Adapun kelompok lain berasal dari luar Syiah, namun berperan dalam membantu Ali.ra serta sefikrah dengan
Syiah itu sendiri. Kelompok tersebut adalah:
-
- -
Sikap panatik Syiah
Kelompok Syiah bersepakat dalam menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai Pemimpin pilihan/utama dan
terpilih langsung dari Rasulullah SAW, serta beliau merupakan sahabat yang paling mulia dari yang lainnya.
Syiah dalam berpolitik
Dalam perpolitikan yang di wadahi dalam bentuk pemerintahan pengangkatan pemimpin tidak dalam bentuk
pemilihan bersama , kejadian di masa pengangkatan Ali.ra di saat Rasulullah wafat dan dianggap tidak ada yang
menggantikannya melainkan anak dari paman beliau yaitu Ali.ra. Sebagai tatanan kehidupan( Pemerintahan)
Syiah sudah tercampur dengan peradaban yahudi, peradaban ini dibawa oleh kelompok As-sabaiyah . Tidak
hanya pemikiran yahudi saja, tapi juga pemikiran serta peradaban Persiapun menyelimuti pemerintahan Syiah,
sehingga ada yang bilang Syiah adalah mazhap Persia. Pengecualian yang perlu sama-sama di pikirkan bahwa
Syiah yang berkembang sekarang bukan seperti halnya yang dulu, karena ebagian kelompok Syiah di bawah
kekuasaan orang yahudi yaitu Abdullah bin saba.
Khawarij (Perkembangan)
Sakte atau Kelompok ini muncul serta berkembang sejalan dengan Syiah di zaman Ali.ra, hanya saja pemikiran
serta peradaban Syiah lebih dahulu tertuang dari pada Khawarij. Bermula dari persengketaan antara
pemerintahan Ali.ra dengan Muawiyah dalam perang Shofin, dalam peperangan tersebut ada salah satu tentara
ada yang merasa ada suatu perbedaan terjadi, sehingga tentara tersebut dngan sengaja mengangkat al-quran
guna menengahi dan memisah antara keduanya, namun apa boleh dikata tentara Ali.ra terus bersikeras melawan
para tentara muawiyah, sampai AllahSWT memisahkan antara keduanya.
Kemudian dari peperangan tersebut terjadilah persidangan , dari muawiyah di wakili oleh Amru bin ash, dam
dari Ali.ra Abu musa al-asyary(pengganti Abdullah bin abas) yang di tolak oleh kelompok Khawarij sehingga di
gantikan dengan Abu Musa, sampai usailah persidangan dengan keputusan Ali.ra turun dari pemerintahan dan
Muawiyah maju. Awalnya kelompok Ali.ra sepakat dengan keputusan tersebut, tapi kelompok itupun
mengeluarkan hujatan ahwa tiada hokum kecuali hanya milik AllahSWT, dari situ timbullah rasa
pengkhianatan sehingga penyerangan pun di luncurkan oleh golongan Muawiyah sampai terjadi pembunuhan
serta penindasan.
Segelintir Pemikiran Khawarij:
Kelompok ini berkeyakinan bahwa Allah SWT telah mengutus hamba-Nya dari di turunkan
kepadanya kitab lengkap dengan Syariat,
membolehkan nikah dengan mahrom.
Dasar pemirintihan Khawarij:
Pemerintah di pilih secara demokrasi ( dilakukan secara bersama), pemerintahan tiada batas waktu, selama
pemerintahan berjalan sesuai syariat, namun apabila terdapat penyelewengan pemerintahan bisa diganti dengan
yang lain.
Kepemimpinan mereka anggap bukan suatu yang harus ada, dalam catatan pemerintahan tersebut aman,
tentram, namun ketika dirasa butuh itupun bukan suatu kewajiban. Pemikiran Khawarij tentang penyamaan
kafir dalam setiap perbuatan dosa, setiap yang melakukan dosa maka dianggap kafir
Diposkan oleh forperadaban di 09:55
http://forperadaban.blogspot.com/2010/07/syiah-dan-khawarij-dalamsejarah.html
Aliran Maturidiyah
Posted: 16 April 2010 by chekie in Ilmu Kalam
Tag:aliran ilmu kalam, aliran maturidiyah, makalah aliran maturidiyah, makalah ilmu
kalam,makalah maturidiyah
1.
A. Asal-Usul Maturidiyah
1.
2.
3.
Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam ciptaciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia
bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan
wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan
iradahnya.
1.
2.
1. Golongan samarkand.
Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini
cenderung ke arah paham mutazilah, sebagaimana pendapatnya soal
sifat-sifat tuhan, maturidi dan asyary terdapat kesamaan pandangan,
menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan
dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatanperbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mutazilah,
2. Golongan bu hara
definisi arbitrase
Posted on April 14, 2009 by Dodik Setiawan Nur Heriyanto| 4 Komentar
hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya di sini dalam bidang
perdagangan industri dan keuangan; dan
3. Putusan tersebut meupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding).
Referensi:
1.
2.
3.
4.
Brierly J. Law, The Law of Nation, Oxford, Clarendon Press, 1983, hlm.347.
5.
Frank Elkoury dan Edna Elkoury, How Arbitration Work,Washington DS., 1974,
dikutip dari M. Husseyn dan A. Supriyani Kardono, Kertas Kerja Hukum
Ekonomi, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan
Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri
Negara Koordinasi Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan,
1995, hlm.2.
6.
7.
Bryan A. Garner, et.al, eds, Blacks Law Dictionary, 9th ed., Thomson Business,