Você está na página 1de 56

KONSEP ALERGI

Alergi atau 'Allon argon'


dalam bahasa Yunani,
merupakan reaksi
kekebalan tubuh yang
menyimpang atau berubah
dari normal yang dapat
menimbulkan gejala yang
merugikan tubuh, mulai
dari gangguan pernafasan,
kulit hingga mata.
Allergies are abnormal
reactions to ordinarily
harmless substances. The
sensitizing substances,
called allergens, may be
inhaled, swallowed, or
come into contact with the
skin.

Alergi dikenal sejak tahun 1570, namun


seiring dengan pesatnya ilmu
pengetahuan, angka kejadian alergi
semakin meningkat. Sebenarnya, penyakit
alergi bersifat genetik--terutama dari ibu-selain bisa juga disebabkan oleh makanan
ataupun lingkungan.
Allergic reactions occur after the immune
system mistakenly learns to recognize
innocent foreign substances (allergens) as
potentially harmful

Hipersensitivitas
Pembentukan antibodi terhadap
toksin & kuman, yang memberikan
proteksi terhadap tubuh, ternyata
tidak selalu bermanfaat sebagai
perlindungan, karena proses
kekebalan juga mempunyai potensi
untuk menimbulkan reaksi yang
merugikan tubuh

Von Pirquet (1906) mengusulkan


nama alergi yang berarti reaksi yang
berlebihan
Penambahan daya tahan tubuh
disebut kekebalan atau imunitas
Penambahan kepekaan tubuh
disebut hipersensitivitas

Combs & Gell membedakan 4 jenis


reaksi hipersensitivitas & kemudian
ditambah 1 jenis lagi reaksi yang lain
Reaksi tipe I, II, III & V berdasarkan
reaksi antara antigen & antibodi
humoral, digolongkan dalam jenis
reaksi tipe cepat
Kecepatan timbulnya reaksi berbeda

Reaksi tipe IV mengikutsertakan


reseptor pada permukaan sel limfosit
(cell mediated). Karena reaksinya
lambat disebut tipe lambat (delayed
type)

Jenis hipersesitivitas
Tipe
Tipe
Tipe
Tipe
Tipe

I : Anafilaksis/Allergy/immediate
II : Cytotoxic
III: complex-mediated
IV : cell-mediated (delayed type)
V : stimulatory hypersensitivity

Tipe I - Anafilaksis
Reaksi alergi yang terjadi karena
terpapar antigen spesifik yang
dikenal sebagai alergen. Dapat
terpapar dengan cara ditelan,
dihirup, disuntik, ataupun kontak
langsung.

Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh APC.


Peptida alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi
Limfosit T.
Aktivasi Limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi
Limfosit TH2 untuk memproduksi sitokin-sitokinnya.
Kontrol specialized pattern recognition receptors (PRRs) yaitu Toll-like
receptors (TLR) dari sel-sel dendritik (DCs) atas respons imun innate
menentukan respons imun adaptif TH1, Treg atau TH2.
Limfosit TH1 memproduksi IL-2, IFN-g dan TNF-a, sedangkan Limfosit TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan GM-CSF.
Limfosit TH yang baru diaktifkan alergen akan berfenotip TH2.
Produksi sitokin TH2 terutama IL-4 akan mensupresi perkembangan TH1
dan produksi sitokin TH1 terutama TNF-a akan mensupresi perkembangan
TH2.
Bila sitokin yang dihasilkan Limfosit TH2 berinteraksi dengan Limfosit B,
maka Limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi IgE.
Sitokin yang dihasilkan TH2 menstimulasi produksi sel mast, basofil dan
eosinofil. Interaksi antara alergen, sel mast dan IgE menghasilkan
degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast melepaskan mediator histamin.
Histamin yang dilepaskan sel mast ditangkap reseptor histamin di target
organ.
Bila terjadi interaksi histamin dengan reseptornya pada target organ,
maka reaksi alergi akan terjadi.
Reseptor H1-histamin mempunyai peran yang lebih luas dalam proses
radang daripada sekedar mediator yang menyebabkan alergi.
Reseptor H2-histamin mempunyai peran dalam terjadinya rasa gatal dan
nyeri pada kulit serta peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi perifer
Reseptor H3-histamin meningkatan pelepasan neurotransmitter seperti
histamine, norepinephrine, asetilkolin, peptide dan 5-hidroksitriptamin.

Faktor pemicu reaksi alergi :


Defisiensi sel T

Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan


peningkatan dari jumlah serum IgE pada penyakit
Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi
yang disusui dengan ASI dan dengan susu bubuk.

Mediator feedback

Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan


enzim lisosom dan aktivasi penahan sel T oleh histamine
akan meningkatkan jumlah IgE

Faktor lingkungan

Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat


meningkatkan permeabilitas mukosa sehingga
meningkatkan pemasukkan antigen dan respos IgE

Dampak yang muncul akibat


hipersensitivitas tipe 1 ada 2, yaitu :
1. Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )
2. Anafilatoksis sistemik

Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )


Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan
gejalanya tergantung dari tipe alergen yang masuk,
misalnya :
a.

b.

c.

Batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke


saluran respirasi (alergi rhinitis) yang mengindikasikan
aksi dari sel mast. Alergen biasanya berupa : pollen, bulu
binatangm debu, spora.
Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan
kontraksi oto polos kontraksi yang mempersempit jalan
udara ke paru-paru sehingga menjadi sesak, seperti pada
penderita asma. Gejala ini dapat menjadi fatal bila
pengobatan tertunda terlalu lama
Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi
makanan. Makanan yang biasanya membuat alergi
adalah gandum, kacang tanah, kacang kedelai, susu
sapi, telur, makanan laut

Anafilatoksis sistemik
Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang
menyebabkan respon dari sel mast yang banyak dan cepat,
sehingga mediator-mediator inflamasi dilepaskan dalam
jumlah yang banyak.
Gejalanya berupa sulit bernafas karena kontraksi otot polos
yang menyebabkan tertutupnya bronkus paru-paru, dilatasi
arteriol sehingga tekanan darah menurun dan
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah sehingga
cairan tubuh keluar ke jaringan.
Gejala ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan
menit karena tekanan darah turun drastis dan pembuluh
darah collapse (shock anafilatoksis). Alergen biasanya
dapat berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari
lebah

Tipe II -Cytotoxic hypersensitivity


Dasar : antigen yang terikat pada
permukaan sel bereaksi dengan antibodi &
menyebabkan :
fagositosis sel melalui proses opsonic
adherence (Fc) atauimmune adherence (C3)
Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (killer
cell) yang mempunyai reseptor untuk IgFc
Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem
komplemen

Contoh
Reaksi transfusi
Inkompatibilitas rhesus
Transplantasi jaringan
Reaksi auto-imun
Reaksi obat

Tipe III - Complex mediated


Pembentukan suatu kompleks oleh
antigen & antibodi humoral dapat
mengaktifkan sistem komplemen &
penggumpalan trombosit, yang
menyebabkan mikrotrombus serta
pengeluaran zat amin vaso-aktif

Tipe IV - Cell Mediated


Disebut juga sebagai delayed type
hypersensitivity
Sel limfosit T dengan reseptor spesifik pada
permukaannya akan dirangsang oleh antigen
yang sesuai dan mengeluarkan zat yang disebut
limfokin
Limfosit yang terangsang akan mengalami
transformasi menjadi besar seperti limfoblas
yang mampu merusak sel - sel target yang
mengandung antigen dipermukaannya

Kerusakan sel atau jaringan yang


disebabkan oleh mekanisme ini
ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi kuman (tuberkulosis, lepra),
infeksi oleh virus (morbili, herpes,
variola), infeksi jamur (candidiasis,
histoplasmosis) & infeksi oleh
protozoa (leishmaniasis,
schistosomiasis)

Tipe V - Stimulatory hypersensitivity


Ini merupakan tipe tambahan yang
terkadang digunakan untuk membedakan
dengan tipe 2
Ada banyak sel didalam tubuh yang
fungsinya tergantung dari instruksi yang
diterima melalui zat tertentu misalnya
hormon, yang menempel pada permukaan
sel melalui reseptor yang khas
Misalnya TSH melekat pada permukaan
sel tiroid & merangsang aktivitas sel
tersebut

DIAGNOSIS
Tes diagnosis untuk reaksi
hipersensitivitas yang baik termasuk
anamnesa yang detil dan
pemeriksaan fisik sangat penting
untuk mengklasifikasikan
reaksi,menentukan terapi,
mengidentifikasi penyebab yang
menimbulkan reaksi tersebut dan
untuk mengetahui insiden alergi

Anamnesis
Anamnesis yang mendetail dan pasti harus
didapatkan dari pasien. Hal-hal yang harus
didapatkan pada saat anamnesis adalah :
1. Gejala klinis serta waktu timbulnya gejala serta jarak
timbul gejala dari paparan yang dicurigai
2. Kemungkinan onset timbulnya gejala:
Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga 6 jam
dari paparan, gejala klinis yang dapat timbul adalah
anafilaksis, urtica, angioudem, bronkospasme
Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah
paparan. Gejala yang mungkin didapatkan antara lain
urtika dan asma
Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan.
Gejala yang mungkin didapatkan antara lain sidrom
mukokutan (rash, dermatitis eksfoliatif) atau tipe
hematologis (anemia, trombositopenia, netropenia)

Tes Alergi
Uji Kulit
Uji kulit intradermal
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml
semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial
pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung.
Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan
berangsur masing-masing dengan konsentrasi 10
kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm.
Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk
titrasi alergen pada kulit.

Uji tusuk
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih
sesuai untuk anak.
Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah volar
lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari
lipat siku dan pergelangan tangan.
Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50% gliserol)
diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit
ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum
yang dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum
khusus untuk uji tusuk.
Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih
pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal.
Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit,
diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat
rendah.
Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan
dengan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah
pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah.

Faktor yang mempengaruhi


Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh
karena itu, obat yang mengandung antihistamin harus
dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji kulit.
Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh
yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit
dilakukan.
Obat golongan agonis juga mempunyai pengaruh, akan
tetapi karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat
diabaikan.
Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun
pada usia yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda.
Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas yang
lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik
adalah dilakukan setelah usia 3 tahun.

UJI PROVOKASI OBAT


Cara terbaik untuk membuktikan apakah
seseorang alergi tehadap obat tertentu
adalah dengan memberikan kembali obat
tersebut untuk melihat kemungkinan
timbulnya reaksi alergi yang serupa, yang
dikenal sebagai uji provokasi obat.
Uji provokasi obat dapat dilakukan dengan
cara uji tempel (patch test), atau dengan
pemberian ulang obat yang dicurigai
(rechallenge test) yang sehari-hari disebut
sebagai uji provokasi obat.

Uji tempel
Uji tempel sering dipakai untuk
membuktikan dermatitis kontak. Suatu
seri sediaan uji tempel yang mengandung
berbagai obat ditempelkan pada kulit
(biasanya daerah punggung) untuk dinilai
48-72 jam kemudian.
Uji tempel dikatakan positif bila terjadi
erupsi pruritus, eritema, dan vesikular
yang serupa dengan reaksi klinis alergi
sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan
skala lebih ringan.

Uji provokasi
Uji provokasi obat, yang dalam kepustakaan disebut
rechallenge test, adalah pemberian kembali obat yang
sudah dihentikan beberapa waktu.
Masa penghentian ini harus cukup untuk eliminasi komplit.
Karena sulit untuk menentukan eliminasi total maka ada
penulis yang menganjurkan untuk menghentikan obat
sampai selama 5 kali masa paruh obat tersebut.
Uji provokasi dikatakan positif bila reaksi yang timbul sama
dengan gejala dan tanda seperti pada pemberian obat
sebelumnya, pada saat dicurigai alergi obat.
Bila tidak terjadi reaksi, atau reaksi yang timbul tidak sama
dan tidak berhubungan dengan gejala dan tanda alergi,
maka uji provokasi dikatakan negatif.
Bila reaksi yang timbul tidak sama tetapi diperkirakan
sebagai gejala prodromal alergi obat maka hasil uji
provokasi dikatakan sugestif.

Cara provokasi
Uji provokasi biasanya dilakukan untuk pembuktian alergi
obat dengan gejala klinis tidak berat, misalnya demam obat
atau erupsi obat fikstum. Bila gejala klinisnya berat maka
uji provokasi harus dilakukan dengan secara hati-hati.
Sebelum dilakukan uji provokasi dibuat daftar urut obat
yang akan diuji, mulai dengan obat yang paling tidak
dicurigai. Biasanya diberikan obat mulai dengan dosis
rendah secara oral. Dosis awal dapat sampai 1% dari dosis
terapeutik, tetapi untuk reaksi alergi obat hebat dosis awal
harus 100-1000 kali lebih rendah. Dosis tersebut dinaikkan
10 kali setiap 15-60 menit (tergantung dari cara pemberian
obat). Bila terjadi reaksi maka uji provokasi dihentikan,
atau dilanjutkan dengan desensitisasi bila obat tersebut
dianggap sangat penting dan sulit digantikan. Pada uji
provokasi dan desensitisasi harus selalu tersedia peralatan
resusitasi untuk mengatasi kedaruratan yang mungkin
terjadi.

Desensitisasi
Pada dasarnya desensitisasi adalah perluasan tindakan uji
provokasi dengan tujuan untuk melanjutkan pengobatan,
bukan hanya diagnosis. Tindakan ini antara lain telah
berhasil mengatasi sensitivitas terhadap antituberkulosis
ketika belum tersedia obat alternatif untuk tuberkulosis.
Akhir-akhir ini telah dilaporkan pula sukses serupa
terhadap karbamazepin, sulfasalazin, dan bahkan
alopurinol. Umumnya desensitisasi tersebut dilakukan
sangat perlahan, dan dosis diturunkan setiap kali timbul
reaksi sebelum dinaikkan kembali. Desensitisasi terhadap
obat lain umumnya dilakukan lebih cepat.
Desensitisasi terhadap serum xenogenik mulai dengan
suntikan 0,l ml subkutan larutan serum dengan
pengenceran terendah yang memberi hasil uji kulit positif.
Dosis dinaikkan dengan kelipatan dua setiap 15 menit
sampai dengan dosis 1 ml serum tanpa pengenceran.
Setelah itu diberikan suntikan intramuskular dengan dosis
tersebut, dan kemudian suntikan obat dengan dosis penuh.

Desensitisasi penisilin sangat sering dilakukan terhadap pasien dengan uji


kulit benzilpenisiloil positif, yang dapat dilakukan secara oral maupun
parenteral
Desensitisasi peroral mulai dengan dosis 100 unit dan memerlukan waktu
5 jam dengan kenaikan bertahap sampai selesai. Secara parenteral
benzilpenisilin atau homolognya diberikan intravena secara bertahap (lihat
Tabel 36-1). Tetesan diberikan perlahan dahulu, kemudian secara
bertahap semakin cepat sampai timbul tanda untuk berhati-hati dengan
munculnya gejala pruritus atau flush. Pada saat itu tetesan segera
dikurangi dan diberikan antihistamin serta kortikosteroid, dan setelah
gejala tersebut menghilang tetesan dinaikkan kembali. Umumnya
diperlukan waktu 30 menit untuk setiap tahap pengenceran, dan dosis
penuh tercapai dalam waktu 3 jam.
Desensitisasi terhadap insulin saat ini jarang dilakukan karena sudah
tersedia insulin yang berasal dari manusia Bila dicurigai alergi terhadap
insulin manusia dapat dilakukan desensitisasi seperti terhadap serum
xenogenik.
Desensitisasi dilaporkan berhasil pula terhadap obat anti-inflamasi
nonsteroid (OAINS) yang biasanya tercapai dalam waktu beberapa jam.
Dosis awal adalah dosis terkecil yang menimbulkan gejala (biasanya
paling rendah 10 mg), kemudian dinaikkan bertahap setiap 3 jam.
Toleransi akan terjaga terus bila obat dimakan setiap hari, tetapi akan
menghilang bila tidak dimakan lebih dari 2 hari.

UJI PROVOKASI MAKANAN


Sebelum melakukan uji provokasi makanan harus diberikan penjelasan
rinci kepada pasien atau orang tua pasien tentang prosedur pemeriksaan,
keuntungan dan kegunaan pemeriksaan, serta komplikasi yang mungkin
terjadi.
Eliminasi makanan

Eliminasi makanan diperlukan sebelum melakukan provokasi.


Eliminasi dilakukan selama 3 minggu dengan bentuk diet yang disesuaikan
dengan anamnesis, pemeriksaaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Ada 5
bentuk diet yang telah disebutkan di dalam bab tentang alergi makanan. Jika
diet eliminasi berhasil menyembuhkan semua gejala alergi maka setelah 3
minggu dari awal diet dapat dilakukan uji provokasi.
Penghentian obat tertentu Menjelang provokasi maka beberapa jenis obat yang
dapat mengganggu penilaian uji provokasi makanan harus disingkirkan dalam
selang waktu tertentu, yaitu antihistamin (96 jam), agonis ( 12 jam), teofilin (
12 jam), dan kromolin ( 12 jam).

Metode dan cara uji provokasi


Ada 2 macam cara uji provokasi makanan, yaitu uji provokasi makanan
terbuka (open food challenge), dan uji provokasi makanan buta ganda
(double blind placebo controlled food challenge=DBPCFC).

Uji provokasi makanan terbuka


Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan
meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat
dilakukan setelah melakukan diet eliminasi selama 3
minggu.
Pemilihan makanan untuk provokasi dilakukan oleh pasien
sendiri. Dianjurkan untuk memulai dengan makanan yang
paling tidak dicurigai akan menimbulkan reaksi alergi.
Setiap kali provokasi dipilih satu jenis bahan makanan
dalam bentuk apa saja yang diberikan selama seminggu
dalam jumlah seperti biasa dimakan oleh pasien. Misalnya
telur, boleh direbus, digoreng atau dadar, satu atau dua
butir setiap hari seperti yang biasa dimakan sebelumnya.
Provokasi dilakukan di rumah pasien, dan bila terjadi gejala
alergi maka makanan tersebut dihentikan.
Semua gejala yang timbul dicatat, misalnya setelah 2 hari
makan telur timbul gejala urtikaria dan pilek. Bila terjadi
hal seperti itu maka telur dihentikan pada hari ketiga.

Uji provokasi makanan buta ganda


Cara ini merupakan cara yang ideal untuk menentukan adanya reaksi
terhadap makanan.
Dokter dan pasien tidak mengetahui jenis makanan apa yang akan diuji. Di
dalam catatan tidak disebutkan makanan apa yang diberikan dan dicatat
reaksi apa saja yang timbul.
Bahan makanan dikeringkan lalu dijadikan tepung dan dimasukkan ke
dalam kapsul. Ikan, udang dan kerang-kerangan merupakan masalah
besar dalam pengemasan karena baunya yang cukup tajam dan rasanya
yang cukup khas. Bahan-bahan ini dikeringkan dengan microwave
kemudian dimasukkan ke dalam kapsul dan dibekukan atau dimasukkan ke
dalam vehikulum.
Untuk memenuhi persyaratan buta ganda maka vehikulum harus
memenuhi syarat sebagai berikut, 1) menghilangkan bau, 2)
menghilangkan rasa, 3) menghilangkan penampilan, dan 4) dapat memuat
sejumlah banyak makanan hingga dapat dilak provokasi multipel dalam
beberapa jam. Vehikulum tersebut dapat berupa kapsul, es kering, es
krim, saus apel, hamburger, atau campuran tapioka dengan buah dan sop.
Kapsul yang dipakai umumnya ukuran 00 terbuat dari gelatin buram
dengan bintik-bintik titanium oksida. Untuk 5 gram tepung telur kering
biasanya memerlukan 10-15 kapsul. Setelah diisi, kapsul disalut dengan
bubuk gula sehingga rasanya sama dengan kapsul plasebo. Plasebo yang
dipilih sesuai dengan vehikulum yang dipakai.

Pemberian makanan secara buta


Pemberian harus bertahap mulai dari jumlah yang diperkirakan
tidak menyebabkan serangan gejala alergi, kemudian
ditingkatkan 2 kali lipat setiap 15-60 menit sampai timbul gejala
yang nyata, atau dihentikan setelah mencapai 8-10 gram
makanan kering atau 60-100 gram makanan basah dosis tunggal.
Cukup jelas bahwa ketika dosis mencapai 8-10 gram makanan
kering, berarti pasien mendapat dosis total sebesar 15-20 gram
sejak dari awal sampai akhir.
Jika provokasi buta ganda sampai 8 gram makanan kering
hasilnya negatif maka makanan tersebut boleh dicoba secara
terbuka yang dianjurkan dilakukan dengan pengawasan.
Kadang-kadang pada pemberian provokasi makanan secara
terbuka terjadi gejala alergi. Hal ini disebabkan karena nilai
ambang serangan alergi lebih tinggi daripada provokasi buta,
alergenisitas makanan mungkin berbeda karena perbedaan
penyajian, dan faktor psikologis berpengaruh pada provokasi
terbuka.
Selama provokasi catat skor gejala yang diamati oleh petugas
yang tidak mengetahui apa yang sedang diprovokasi. Pengamatan
dilakukan selama 2 jam setelah selesai provokasi terakhir.

Pada uji provokasi makanan terbuka, apabila dalam waktu


1 minggu setelah provokasi timbul gejala alergi maka
makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi tersebut
dicatat sebagai suspek penyebab alergi. Bila pada 3 kali
kesempatan lain uji semacam itu menimbulkan gejala alergi
maka makanan tersebut dinyatakan definitif sebagai
penyebab alergen definitif. Jadi diperlukan 3 kali provokasi
pada saat berbeda yang menimbulkan gejala alergi.
Secara akademis DBPCFC merupakan baku emas prosedur
uji provokasi makanan. Pada provokasi buta ganda yang
positif setelah 2 jam akhir provokasi maka makanan itu
dinyatakan sebagai alergen penyebab.
Komplikasi yang terpenting adalah kemungkinan terjadi
reaksi anafilaksis. Orang tua pasien harus diberi keyakinan
bahwa jika timbul reaksi anafilaksis maka pengobatan yang
tepat dan cepat akan dilakukan. Komplikasi yang lain
adalah timbulnya gejala alergi makanan misalnya serangan
asma, urtikaria, mual, muntah dan diare

UJI ELIMINASI DAN PROVOKASI SUSU SAPI


Eliminasi susu sapi diperlukan sebelum melakukan provokasi. Eliminasi
susu sapi dan makanan yang mengandung susu sapi dilakukan minimal
selama 14 hari sebelum uji provokasi. Pada dermatitis atopik eliminasi
dilakukan minimal selama 4 minggu. Tujuan uji provokasi adalah untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan melihat apakah pada pasien sudah tidak
ada intoleransi.
Uji ini dilakukan dengan syarat pasien sudah terbukti sensitif terhadap
susu sapi melalui pemeriksaan uji kulit tusuk atau IgE spesifik. Selain itu,
tidak boleh terdapat riwayat anafilaksis karena konsumsi susu sapi.
Beberapa jenis obat dapat mengganggu penilaian uji provokasi, oleh
karena itu obat seperti antihistamin generasi pertama tidak boleh
diberikan minimal 3 hari, sedangkan antihistamin generasi kedua minimal
7 hari. Steroid dan bronkodilator harus dihentikan minimal 1 hari.
Uji provokasi sebaiknya dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas
memadai untuk penanganan anafilaksis. Obat dan fasilitas gawat darurat
harus tersedia, seperti adrenalin 1:1000, antihistamin intravena,
nebulizer, larutan agonis-2, dan fasilitas intubasi endotrakea serta
trakeostomi.
Sebelum dilakukan uji provokasi, maka dilakukan uji kulit dengan
mengusapkan sedikit susu sapi ke kulit pasien dengan kapas/kasa dan
diobservasi selama 15 menit untuk melihat timbulnya urtikaria. Jika
terjadi urtikaria maka uji provokasi tidak dilakukan dan penghindaran
protein susu sapi terus dilakukana. Uji kulit dapat diulang setelah 12
bulan.

Uji provokasi dilakukan dengan cara menaruh 1 tetes susu sapi di lidah
pasien dan diobservasi selama 15 menit. Apabila tidak terjadi reaksi,
maka dapat diberikan 5 ml susu sapi dan diobservasi lagi selama 15
menit. Jika tidak terjadi reaksi, diberikan 10 ml susu sapi dan diobservasi
selama 15 menit. Jika tidak terjadi reaksi lagi, diberikan 30 ml susu sapi
dan diobservasi selama 15 menit. Jika sampai tahap ini tidak terjadi
reaksi, maka dapat diberikan susu sapi dan makanan bebas protein susu
sapi dalam porsi normal pada saat makan, dengan catatan bahwa pasien
telah mengkonsumsi minimal 200 ml susu sapi.
Observasi yang dilakukan selama 60 menit pertama terhadap pasien
mencari tanda-tanda reaksi simpang antara lain eritema di sekitar mulut,
eritema dengan urtika, bersin-bersin, muntah, gelisah dan pucat, mengi
atau batuk-batuk, BAB cair, stridor atau pingsan. Setelah itu, pasien
diperiksa tiap 30 menit jika bersama orangtuanya, atau tiap 15 menit jika
tidak ada orangtua. Durasi observasi tergantung dari reaksi yang timbul
(minimal 2 jam setelah provokasi selesai). Apabila timbul gejala, uji
provokasi dihentikan. Bila perlu pasien dirawat inap semalam di rumah
sakit untuk dimonitor dengan ketat.
Hasil uji provokasi negatif menunjukkan pemberian susu sapi dapat
diteruskan di rumah. Bila tidak timbul gejala saat itu, orang tua diberi
penjelasan dan catatan harian untuk mengamati dan mencatat timbulnya
gejala alergi yang muncul kemudian. Orang tua perlu diberitahu bahwa
reaksi simpang masih dapat terjadi dalam beberapa hari. Jika hal itu
terjadi maka protein susu sapi harus dihindari lagi. Tindak lanjut dilakukan
dalam 4-6 minggu.

UJI KULIT TIPE LAMBAT


Bergantung kepada tujuannya, maka pemeriksaan imunologi selular dapat
berupa pemeriksaan status imunologi selular yang umum (nonspesifik)
atau pemeriksaan imunologi spesifik.
Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo
maupun secara in vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur
reaksi imunologi selular secara in vivo dengan melihat terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat setelah penyuntikan antigen yang sudah
dikenal sebelumnya (recall antigen) pada kulit.
Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal.
Antigen yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu
normal, misalnya tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida
albicans, trikofiton, dan proteus. Pada 85% orang dewasa normal reaksi
akan positif dengan paling sedikit pada satu dari antigen tersebut. Pada
populasi anak persentase ini lebih rendah, walaupun terdapat kenaikan
persentase dengan bertambahnya umur. Hanya 1/3 dari anak berumur
kurang dari satu tahun yang akan bereaksi dengan kandida, dan akan
mencapai persentase seperti orang dewasa pada usia di atas 5 tahun.
Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan
larutan gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan
Merieux Institute sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis
antigen (Candida albicans, toksoid tetanus, toksoid difteri, streptokinase,
old tuberculine, trikofiton, dan proteus) serta kontrol gliserin secara
bersamaan sekaligus dapat diuji.

Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat


digunakan banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup
antigen, harus dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak
tumpah. Kalau tidak ada aplikator seperti itu dapat digunakan antigen
yang mudah didapat (tetanus, tuberculin, dan sebagainya). Dengan
menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan bahwa sejumlah 0,1 ml
antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk gelembung dan tidak
subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi antigen.
Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap
negatif maka cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih
kuat. Indurasi yang terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai
ujungnya, diukur dalam mm dengan diameter melintang (a) dan
memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula (a+b):2. Suatu
reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih.
Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari
tanpa meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat
timbul vesikel dan ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen.
Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik
selular seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus
disesuaikan dengan anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji
kulit, seperti juga prosedur diagnostik yang lain, sangat tergantung pada
pemeriksanya. Bila disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat gangguan
pada sistem imunitas selular, maka dapat dipertimbangkan pemberian
imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya pemeriksaan
dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo.

Radio Allergo Sorbent Assay (RAST)


Merupakan solid phase radioimmunoassay yang
mengukur circulating allergen spesific IgE
antibodies.
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen
hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel
serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah
tersebut diproses dengan mesin komputerisasi
khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4
jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia
berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.

Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan


III
Tes hemaglutinasi (Coombs test direk atau
indirek) telah digunakan untuk menentukan
adanya antibodi IgG dan IgM spesifik untuk
membantu diagnosis anemia hemolitik yang
diperantarai obat. Karena keterbatasannya
(harus menjaga kesegaran eritrosit yang
terkonyugasi dengan obat ) sekarang lebih
banyakmenggunakan metode Enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Yang terpenting
adalah menentukan hubungan IgG dan IgM
dengan manifestasi klinis, karena antibodi dapat
positif tanpa kelainan imunopatologi

Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe


IV
Patch test dapat menentukan etiologi
reaksi yang diperantarai sel T, terutama
eczematous, erupsi terinduksi obat. Tes ini
dapat diaplikasikan pada kelainan kulit
karena obat serta rekasi sistemik.
Kegunaan metode ini tergantung dari
pembawa obat dan tempat aplikasinya.
Patch test berguna untuk antikonvulsan
seperti carbamazepin dan penisilin.
Metode ini terbatas penggunaannya
karena terbatasnya reagen yang sesuai
dengan determinan imunogenik dari obat

Tes-tes lain
Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis
dan perjalanan respon inflamasi, tetapi hanya hal
umum saja yang bisa didapatkan (tipe infiltrat
seluler, adanya edema).
Pemeriksaan imunohistokimia dapat memberikan
informasi tambahan. Tryptase yang merupakan
mast cell spesific protease dapat meningkat pada
reaksi anafilaksis. Konsentrasi yang meningkat
didapatkan pada obat anestesi, lateks dan
beberapa antibiotik.
Tes lain yang dapat berguna antara lain basofil
histamin release, proliferasi limfosit, aktivasi
komplemen dan tes lymphocyte cytotoxicity. Testes ini masih dalam penelitian.

Pengobatan Alergi
Avoidance (Pencegahan)
Pada kasus alergi makanan, pencegahan adalah satu-satunya cara
mengatasi alergi makanan. Dengan tidak makan makanan yang sudah
terbukti menyebabkan alergi. Dengan avoidance maka orang dapat
terlindungi dari alergen kimia dan alergen non-makanan. Pada beberapa
orang dengan avoidance cukup untuk mencegah reaksi alergi sehingga
tidak perlu menggunakan obat antialergi.
Beberapa cara mencegah alergen udara :
Jauhkan binatang peliharaan dari ruangan tertentu, misal tidak boleh
ada binatang peliharaan di dalam kamar tidur. Mandikan binatang
peliharaan secara teratur
Jangan gunakan karpet atau bahan-bahan berbulu dalam ruangan Anda
(karena karpet mengumpulkan debu)
Jangan menggantung pakaian karena dapat mengumpulkan debu
Bersihkan rumah/ruangan secara teratur
Gunakan pelapis untuk bantal atau tempat tidur jika Anda alergi tungau
debu rumah
Ika Anda alergi serbuk sari maka tutup jendela saat musim
penyerbukan, ganti baju setiap Anda dari luar ruangan
Hindari tempat lembab seperti ruang bawah tanah jika Anda alergi
terhadap spora jamur. Jaga kamar mandi dan ruangan yang lembab tetap
bersih dan kering.

Obat-obatan
Obat seperti obat minum dan semprot hidung
seringkali digunakan untuk mengobati alergi.
Obat alergi dapat mengobati gejal alergi (seperti
bersin, sakit kepala atau hidung tersumbat)
namun tidak menyembuhkan dan tidak
menghilangkan bakat alergi.
Obat untuk alergi berat / anafilaksis adalah
epinefrin. Jika Anda memiliki riwayat riwayat
anafilaksis maka dokter dapat menyarankan
Anda untuk membawa epinefrin auto inject.

Imunoterapi
Imunoterapi dengan cara pemberian injeksi
sejumlah kecil alergen, sehingga tubuh Anda
secara bertahap dapat membentuk antibodi dan
mengubah sistem kekebalan tubuh sehingga
dapat mencegah reaksi terhadap zat alergen
nantinya.
Imunoterapi direkomendasikan untuk alergi yang
spesifik, seperti alergi yang terhirup (seperti
serbuk sari atau debu binatang) atau sengatan
binatang. Imunoterapi tidak berkerja pada alergi
lain seperti alergi makanan.

Você também pode gostar