Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
A. Latar belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan permasalahan kesehatan yang
dihadapi di berbagai negara di dunia. Banyaknya faktor yang mempengaruhi,
menyebabkan diagnosis dan terapi penyakit tersebut terus berkembang. Di
Indonesia kemajuan perekonomian menjadi salah satu faktor dalam meningkatnya
prevalensi penyakit jantung koroner. Kemajuan perekonomian yang terus
berkembang maka pola hidup masyarakatpun berubah dan menyebabkan
perubahan pola kesehatan masyarakat.
Penyakit jantung koroner masih menduduki peringkat teratas sebagai
pembunuh nomor satu di dunia. Berdasarkan laporan World Health Statistic 2010,
tercatat 17,1 juta orang meninggal di dunia akibat penyakit jantung koroner dan
diperkirakan angka ini akan meningkat terus hingga 2030 menjadi 23,4 juta
kematian di dunia.
Penyakit Jantung Koroner dapat dideteksi dengan pemeriksaan diagnostik
non-invasif ataupun pemeriksaan invasif. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan
berbagai alat. Mulai dengan alat sederhana seperti EKG dan treadmill sampai alat
yang canggih yaitu MS-CT. Pemeriksaan secara invasif yang dilakukan adalah
kateterisasi jantung. Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan penunjang
dengan memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa
keadaan anatomi dan fungsi jantung. Prosedur kateterisasi jantung yang
bertujuan untuk mengevaluasi anatomi pembuluh darah koroner disebut tindakan
angiografi koroner. Kateterisasi jantung merupakan teknik yang diakui dunia
internasional sebagai teknik terbaik dan terakurat untuk mendeteksi adanya
sumbatan di pembuluh darah koroner.
1
B. Tujuan
1. Memenuhi tugas yang diberikan oleh penanggung jawab ruang cath lab
2. Memenuhi tugas yang diberikan oleh CI Institusi
3. Untuk mengetahui tentang angiografi koroner
4. Untuk mengetahui konsep keperawatan pada pasien yang dilakukan angiografi
koroner
B. Sejarah.
Konsep mengenai penyakit jantung didasarkan pada pengetahuan fisiologi
dan anatomi yang didapat dari percobaan-percobaan dengan kateterisasi jantung
sekitar 70 tahun yang lalu. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Andre
Cournand pada saat penerimaan Nobel pada 11 Desember 1956, kateterisasi
jantung adalah kunci jawaban dari konsep penyakit jantung. Dengan menggunakan
kunci tersebut, Cournand dan koleganya telah membawa kita ke era baru untuk
memahami fungsi normal dan penyakit jantung pada manusia.
Menurut Cournand, kateterisasi jantung pertama kali dilakukan oleh Claude
Bernard pada tahun 1844. Pada tahun 1895 Wihelm Roentgen menemukan sinar X,
penemuan ini membuka kesempatan untuk merekam gambaran arteri koroner
melalui menyuntikkan larutan gelatin yang mengandung timah merah dengan
menggunakan alat Roentgen. Subjeknya pada penelitian Bernard berupa kuda
dimana kedua ventrikel dari kuda tersebut dimasuki dengan pendekatan retrograde
dari vena jugularis dan arteri carotis. Aplikasi yang dilakukan oleh Bernard ini,
memberi suatu nilai yang sangat besar dalam inovasi teknik ini. Suatu era
investigasi pada hewan kemudian berujung pada suatu perkembangan penting
pada teknik dan prinsip teknik kateterisasi jantung yang diterapkan pada manusia.
Pada tahun 1929, Werner Frossmann melanjutkan tehnik kateter ini dengan
menyuntikkan kontras yang lebih tidak toksik kedalam ruang-ruang jantung
sebagai alat diagnostik selalu dipuji sebagai orang pertama yang melakukan
kateterisasi jantung pada manusia, yaitu pada dirinya sendiri. Pada usia 25 tahun,
setelah menerima instruksi medis bedah di Jerman, ia memasukkan kateter
berukuran 65 cm melalui salah satu vena antecubiti kiri, dibantu dengan
fluoroscopy, sampai kateter tersebut memasuki atrium kanan, kemudian ia berjalan
ke departemen radiologi untuk mendokumentasikannya dengan roentgenogram.
Dua tahun berikutnya, Frossmann melanjutkan melakukan studi kateterisasi,
termasuk enam percobaan tambahan untuk mengkateterisasi dirinya sendiri. Untuk
kontribusi yang diberikan Frossmann tersebut, ia bersama dengan Andre Cournand
dan Dickinson Richards memperoleh Nobel pada tahun 1956. Tujuan utama dari
studi kateterisasi jantung yang dilakukan oleh Frossmann adalah untuk
mengembangkan teknik terapi yang dapat memasukkan obat secara langsung ke
jantung.
4
Pada tahun 1959 Mason Sones melakukan arteriografi koroner pada pasien.
pada tahun 1967 Melvin Judkins dan Sones menciptakan berbagai kateter dan
memperkenalkan angiografi koroner melalui pendekatan transfemoral.
C. Indikasi
Kateterisasi jantung bertujuan untuk mendapat gambaran dan data objektif
secara pasti tentang perubahan anatomis dan fisiologis akibat berbagai kelainan
pada jantung dan pembuluh darah. Dengan kateterisasi jantung dapat diketahui ada
tidaknya kelainan jantung, jenis kelainan jantung, derajat kelainan tersebut, cara
pengobatan yang tepat, dan menilai hasil pengobatan. Selain itu, kateterisasi
jantung juga dapat digunakan untuk mengetahui tekanan pada ruang-ruang di
jantung, melihat bagaimana darah melewati jantung, mengambil sampel darah,
menginjeksikan zat kontras untuk melihat adanya hambatan pada pembuluh darah,
atau abnormalitas dari ruang jantung, serta melakukan koreksi pada kelainan
jantung tersebut.
Berdasarkan data-data di atas, indikasi untuk tindakan kateterisasi jantung
dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu:
1. Untuk menegakkan diagnosis, yaitu dengan menganalisis semua data hasil
kateterisasi sehingga diperoleh gambaran anatomi dan fisiologi secara pasti
2. Untuk melakukan terapi, yaitu kateterisasi intervensi sebagai tindak lanjut dari
diagnosis yang diperoleh
Indikasi dilakukan tindakan coronary angiography adalah:
1.
Memiliki gejala penyakit arteri koroner meskipun telah mendapat terapi medis
yang adekuat
2.
Riwayat henti jantung pasca infark miokard atau tanpa infark miokard. Karena
adanya riwayat henti jantung menunjukkan pasien memiliki resiko tinggi mati
mendadak
3.
4.
5.
Nyeri dada stabil dengan perubahan iskemik bermakna pada tes latihan
6.
7.
Sindrom koroner tidak stabil (terutama dengan peningkatan Troponin T atau I).
5
8.
9.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kehamilan
E. Komplikasi
Pada prosedur kateterisasi terdapat beberapa komplikasi, seperti
terjadinya luka pada arteri dan vena pada tempat dilakukannya kateterisasi.
Hal ini terjadi pada 0,5-1,5% pasien. Lebam disertai perubahan warna kulit
pada tempat punksi pembuluh darah terjadi pada 1-5% pasien. Komplikasi
yang paling jarang terjadi adalah infeksi pada lokasi pemasangan kateter.
Injeksi dari zat kontras dapat menyebabkan mual dan muntah pada 3-15%
pasien, rasa gatal pada 1-3% pasien, reaksi alergi pada 0,2% pasien.
Khusus mengenai efek samping radiasi, Harrison dkk melaporkan pada
majalah Australian New Zealand Journal Of Medicine tahun 1998 bahwa dosis
radiasi yang diterima oleh pasien yang dilakukan kateterisasi jantung adalah
3.41.3 mSV. Resiko untuk timbul tumor ganas mematikan adalah 1 diantara
6000 orang yang dilakukan kateterisasi jantung.
Sedangkan efek samping yang ditimbulkan dari kontras yang
disuntikkan, Thomsen dan Morcos melaporkan pada British Journal of
Radiology tahun 2003 bahwa kejadian gangguan fungsi ginjal pada pasien yang
dilakukan kateterisasi akibat kontras adalah 0-5% pada mereka yang memiliki
fungsi ginjal normal, 12-27% pada mereka yang pre-exiting renal impairement,
dan meningkat sampai 50% pada mereka yang sudah ada tanda gagal ginjal.
Komplikasi mayor, seperti kematian, serangan jantung, dan stroke, yang
terjadi dalam 24 jam setelah prosedur dilakukan, ditemui pada 0,2-0,3% pasien.
Kematian dapat dikarenakan perforasi dari jantung maupun pembuluh darah,
abnormalitas irama jantung, serangan jantung, dan reaksi alergi yang parah
akibat injeksi kontras.
F.
Zat Kontras
1.
Angiografin
Komposisi
ml
Angiografin
mengandung
0,65
gr
Meglumine
2.
Iopamiro
Tekanan osmotik yang rendah, sifat non ionik dari molekul serta
kemotoksitas yang rendah merupakan toleransi dari Iopamiro.
Indikasi :
a. Kasus-kasus
neurologis
(Myeloradikulografi,
Sisternografi,
dan
Ventrikulografi).
b. Kasus-kasus Angiografi (Cerebral Angiografi, Coronoriarteriografi,
Thorasic aortografi, Abdominal aortografi, DSA)
c. Kasus urografi (Intravena urografi, kontras enhancement pada CT
Scanning, Artrografi, Fistulografi)
Kontra indikasi: Tidak ada kontra indikasi yang sifatnya absolut pada
pemakain Iopamiro, kecuali waldenstroms, macroglobulinemia, multiple
myeloma serta penyakit hati dan ginjal.
3.
Ultravist
Ultravist merupakan kontras media non ionik dalam bentuk cair yang
dipergunakan untuk pemeriksaan radiografi
kontras kedalam tubuh harus juga melihat nilai laboratorium ureum kreatinin
pasien.
G.
Prosedur pelaksanaan
a. Alat yang disiapkan
1.
Pesawat Rontgen
Pesawat rontgen yang digunakan dengan sistem TV Monitor yang
mempunyai Image Intensifying beresolusi tinggi yang dilengkapi dengan
Cineangiografi ( Film Cine atau CD ) atau bisa juga dengan menggunakan
Film Changer. Misalnya C-Arm atau U-Arm.
2.
Mesin Injektor
Berfungsi untuk memasukkan cairan kontras dalam jumlah yang banyak
dan mempunyai tekanan atau kecepatan yang dapat diatur.
3.
Peralatan Emergency :
Defibrilator
Oksigen (O2 )
4.
Peralatan Steril
5.
6.
Kateter
7.
j.
Glove steril
m. Jarum pungsi
n. Zat kontras sesuai kebutuhan
o. Lidocaine 2% 1 ampul
p. Heparin 5000 unit dalam syringe 5 cc (diencerkan dengan NaCl 0,9% menjadi
4 cc)
q. NTG 300 meq dalam syringe 1 cc (diencerkan menjadi 9 strip)
r.
Trolley emergency
Extension tube
j.
Kateter diagnostic Judkins Right (JR) dan Judkins Left (JL) 4/6 fr atau
sesuai kebutuhan
11
b. Prosedur pelaksanaan
1. Kateterisasi Jantung Lewat Arteri Radialis
a) Pasien masuk ruang tindakan, rekam EKG 12 lead
b) Alat alat dipersiapkan diatas meja
c) Scrub nurse atau asisten dan dokter operator memakai apron lalu
melakukan surgical hand washing (cuci tangan steril), mengenakan
jas operasi dan memakai glove steril
d)
e) Tutup bagian yang di desinfeksi dengan duk lubang, lalu tutup bagian
badan pasien dan seluruh tubuh pasien dengan alat dengan tenun
steril (beritahu pasien agar selama tindakan, tangan pasien tidak
menyentuh area steril)
f)
j)
12
n) Catheter dicabut dengan quide wire ada di dalam dan di dalam dan di
daerah sekitar penusukan dibersihkan
o) Sheath di tarik setengah bagian masih di dalam arteri, kemudian
letakkan nichiband di daerah bekas penusukan sampai menekan
arteri radialis kemudian difikasi menggunakan plester yang tersedia,
sheath ditarik seluruhnya sambil dianjurkan pasien tarik nafas dalam
p) Alat-alat dibersihkan, dirapihkan dan dipisahkan alat dari benda
tajam, infeksius dan non infeksius
q) Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
r) Prosedur selesai
s) Petugas monitor mencatat jumlah cairan infus dan kontras
Prosedur Pencabutan Nichiband Pada Arteri Radialis
1. Persiapan Alat
a. Glove non steril
b. Kassa steril (4 x 4) 3 buah
c. Gunting verband
d. Bengkok
e. Elastikon
f. Plester
2. Prosedur Kerja
a. Lihat jam pada saat pelepasan nichiband
b. Beritahu pasien prosedur yang akan dilakukan
c. Cuci tangan
d. Pasang glove
e.
g. Letakkan kassa diatas luka insisi menggunakan tangan kiri dan tekan
secara perlahan
h. Pasang plester elastikon dengan menggunakan tangan kanan, posisi
tangan kiri tetap menekan kassa diatas luka insisi, (jangan terlalu
kencang)
i.
j.
d.
e.
j.
m. Masukkan sheath 6 Fr
n. Cabut wire pendek dan dilator sheath diaspirasii lalu di flush
o. Masukkan kateter JR dengan quide wire didalamnya kedalam sheath
melalui arteri femoralis, aorta decendens, arcus aorta, aorta
assendens sampai ke ventrikel kiri (bila diperlukan pencatatan
tekanan akhir diastolik LV / LVEDP)
p. Lakukan pencatatan tekanan aorta
q. Kateter diarahkan ke ostium arteri koroner kanan (RCA)
r.
s. Tarik kateter keluar dari ostium koroner, aspirasi kateter lalu di flush.
Peerawat monitoring merekam tekanan aorta terakhir
t.
d. Elastikon
e. Gunting verban dan bengkok
2. Prosedur kerja
a.
b.
Cabut sheat dengan tangan kanan dan anjurkan pasien untuk tarik
nafas dalam, cabut dengan segera dan hati- hati. Biarkan darah
mengalir sedikit untuk mengeluarkan bekuan darah dalam
pembuluh darah
Bila tidak ada berikan bethadine pada luka tusukan, kemudian tekuk
lutut pasien ke samping hingga membentuk sudut 60 80 derajat
j.
k.
l.
penelitian
pada
tahun
1997,
kateterisasi
jantung
kiri
waktu rata-rata 84 menit untuk waktu lab dan waktu prosedur sekitar 32
menit. Untuk prosedur intervensi, dibutuhkan waktu rata-rata 117 menit,
dengan waktu prosedur sekitar 70 menit. Sedangkan pada saat ini waktu yang
dibutuhkan untuk kateterisasi jantung kurang lebih 15-20 menit tergantung
pengalaman dokter yang melakukan, juga tergantung posisi arteri koronaria
dan kondisi pasien. (Peter Kabo, 2010)
Coronary angiography dilakukan dengan memasukkan kateter melalui
femoral (Judkins) atau brachialis (Sones) kemudian di dorong ke aorta
assendens dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan
fluoroskopi. Pada saat ini kateter femoral lebih banyak digunakan kateter
ukuran 6 atau bahkan 5 French. Kateter tersebut terbuat dari poliuretan atau
polietilen yang telah terbentuk sebelumnya untuk memungkinkan intubasi
yang lebih mudah di ostium arteri koroner kiri dan kanan.
Setelah diposisikan dalam ostium arteri koroner, media kontras
dimasukkan untuk mengopasifikasi arteri koroner sehingga gambar arteri
koroner dapat diperoleh dengan manuver kamera radiografi disekitar pasien
untuk mendapatkan gambar dari sudut yang berbeda. Gambar arteri jantung
kiri dan kanan dapat dilihat dari proyeksi right anterior oblique (RAO) dan left
anterior oblique (LAO). Gambar tersebut diperoleh dari arah kepala atau kaki
untuk memvisualisasi lessi lebih baik.
Cukur area penusukan (daerah inguinalis kanan dan kiri bila arteri
femoralis atau daerah radialis kanan bila dari arteri radialis)
Memasang condom cetheter atau dower cetheter untuk pasien yang
akan dilakukan tindakan PTCA, Ablasi, dan sejenisnya kecuali
koroner angiografi
Memasang infus pada pasien, untuk tindakan koroner angiografi
pada umumnya tidak dipasang infus kecuali pada pasien dengan
hasil kreatinin lebih dari 1,5 diberikan cairan NaCl 0,9% . Pada
pasien yang akan dilakukan PTCA, Ablasi dan sejenisnya yang
memerlukan waktu yang lama diberikan cairan RL dan cairan NaCl
0,9% untuk pasien dengan creatinin lebih dari 1,5
Mengukur tanda tanda vital pasien (tekanan darah, heart rate ,
respirasi, dan suhu )
Mengukur berat badan dan tinggi badan
Hasil pemeriksaan laboratorium seperti :
a.
b.
c.
Ureum
dan
kreatinin,
mengtahui
fungsi
ginjal
pasien
e.
Mencatat
obat
yang
diminum,
ditunda
atau
dihentikan
Lihat jika refeskuler 1-3 detik berarti arteri ulnaris baik dan
tindakan dapat dilakukan melalui arteri radialis
b. Persiapan mental
Berikan pasien minum banyak sekitar 2000 cc /6 jam, bila tidak ada
kontra indikasi
b.
c.
Observasi vital sign: setiap 15 menit pada jam pertama, setiap 30 menit
pada jam ke 2 dan selanjutnya tiap jam hingga hemodinamik tetap
stabil
d.
e.
f.
g.
h.
22
B. Diagnosa keperawatan
1. Sebelum tindakan kateterisasi
a. Ketakutan
berhubungan
dengan
sumber
alamiah
(nyeri,
prosedur
pelaksanaan tindakan)
b. Defisiensi pengetahuan (tindakan kateterisasi) berhubungan dengan kurang
pengalaman sebelumnya, kurang pemanjanan informasi, kurang kemampuan
mengingat kembali, kurang familier dengan sumber-sumber informasi
2. Setelah tindakan kateterisasi
a. Resiko
penurunan
cardiac
output
berhubungan
dengan
gangguan
Ketakutan
berhubungan
dengan
sumber
alamiah
(nyeri,
prosedur
pelaksanaan tindakan)
Tujuan : pasien akan memperlihatkan pengendalian diri terhadap ketakutan
yang dibuktikan dengan mencari informasi untuk menurunkan ketakutan,
menggunakan tehnik relaksasi, mengendalikan respon ketakutan.
1) Kaji respon takut subjektif dan objektif pasien
2) Nilai pemahaman pasien terhadap proses penyakitnya
3) Jelaskan semua pemeriksaan dan pengobatan kepada pasien dan
keluarga
4) Bantu pasien membedakan antara ketakutan rasional dan tidak rasional
5) Ajarkan tehnik relaksasi kepada pasien seperti nafas dalam
6) Dorong diskusi antara pasien dengan dokter tentang ketakutan pasien
24
sebelumnya,
kurang
pemanjanan
informasi,
kurang
Resiko
penurunan
cardiac
output
berhubungan
dengan
gangguan
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
stress,
mendengar/berespons
terhadap
ekspresi
perasaan/takut
10) Istirahatkan klien dengan tirah baring optimal dalam lingkungan yang
tenang
11) Berikan pispot di samping tempat tidur. Hindari aktivitas respon
valsalva, contoh mengejan selama defekasi, menambah nafas selama
perubahan posisi
12) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat
sesuai indikasi (kolaborasi)
13) Berikan obat sesuai indikasi (contohnya Diuretik, Vasodilator,
Captopril, Morfin sulfat, sedatif, antikoagulan)
14) Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah total sesuai indikasi. Hindari
cairan garam
15) Pantau/ganti elektrolit
16) Panatau seri EKG dan perubahan foto dada
17) Pantai
pemeriksaan
laboratorium
(fungsi
ginjal,
fingsi
hati,
pemeriksaan koagulasi)
b.
d.
dan
pasien
tidak
dianjurkan
untuk
membawa
kendaraan/mengemudi
2) Dorong
periode
istirahat
bergantian
dengan
aktifitas,
hindari
mengangkat berat
3) Anjurkan mempertahankan masukan nutrisi dan cairan secara adekuat,
pertahankan diet yang dijalani
27
28
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemeriksaan angiografi koroner adalah pemeriksaan pencitraan yang
bertujuan untuk menangkap citra pembuluh darah koroner, khususnya untuk
melihat adanya penyempitan di pembuluh darah koroner. Terlihatnya penyempitan
di pembuluh darah koroner merupakan tanda pasti untuk diagnostik penyakit
jantung koroner.
Pemeriksaan angiografi merupakan pemeriksaan pencitraan dengan sinar-x
(sinar Rontgen) yang dilakukan di dalam suatu ruangan khusus yang disebut
sebagai cath lab (laboratorium tindakan kateterisasi).
Pada pemeriksaan sinar Rontgen biasa, pembuluh darah tidak akan tampak
di dalam foto. Untuk menangkap gambaran pembuluh darah, dokter perlu
menginjeksikan suatu zat kontras di lokasi target pembuluh darah. Zat kontras
membuat citra Rontgen pembuluh darah jadi tampak jelas.
Tindakan angiografi koroner pada saat ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk
dilakukan, pada pasien-pasien dengan penyakit jantung koroner tindakan
diagnostik ini merupakan standart emas dalam menegakkan diagnosa dan
intervensi selanjutnya yang harus dilakukan. Penjelasan/edukasi kepada pasien
dapat membantu pasien memahami tindakan serta keuntungan yang didapatkan
jika menjalani prosedur tersebut.
Pada saat tindakan angiografi koroner selesai dilakukan, dapat diketahui
bagian mana saja dari pembuluh darah koroner yang mengalami penyumbatan dan
dapat ditentukan tindakan selanjutnya sesuai dengan kemampuan pasien.
B. Saran
1. Peran perawat pada saat tindakan angiografi koroner sebaiknya dapat maksimal
untuk memenuhi kebutuhan psikologis pasien
2. Perawat harus cermat dan teliti pada saat melakukan pengkajian keperawatan
3. Perawat harus memperhatikan tindakan perawatan pasca pelaksanaan
kateterisasi untuk mencegah timbulnya komplikasi
29
DAFTAR PUSTAKA
30