Você está na página 1de 30

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan permasalahan kesehatan yang
dihadapi di berbagai negara di dunia. Banyaknya faktor yang mempengaruhi,
menyebabkan diagnosis dan terapi penyakit tersebut terus berkembang. Di
Indonesia kemajuan perekonomian menjadi salah satu faktor dalam meningkatnya
prevalensi penyakit jantung koroner. Kemajuan perekonomian yang terus
berkembang maka pola hidup masyarakatpun berubah dan menyebabkan
perubahan pola kesehatan masyarakat.
Penyakit jantung koroner masih menduduki peringkat teratas sebagai
pembunuh nomor satu di dunia. Berdasarkan laporan World Health Statistic 2010,
tercatat 17,1 juta orang meninggal di dunia akibat penyakit jantung koroner dan
diperkirakan angka ini akan meningkat terus hingga 2030 menjadi 23,4 juta
kematian di dunia.
Penyakit Jantung Koroner dapat dideteksi dengan pemeriksaan diagnostik
non-invasif ataupun pemeriksaan invasif. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan
berbagai alat. Mulai dengan alat sederhana seperti EKG dan treadmill sampai alat
yang canggih yaitu MS-CT. Pemeriksaan secara invasif yang dilakukan adalah
kateterisasi jantung. Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan penunjang
dengan memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa
keadaan anatomi dan fungsi jantung. Prosedur kateterisasi jantung yang
bertujuan untuk mengevaluasi anatomi pembuluh darah koroner disebut tindakan
angiografi koroner. Kateterisasi jantung merupakan teknik yang diakui dunia
internasional sebagai teknik terbaik dan terakurat untuk mendeteksi adanya
sumbatan di pembuluh darah koroner.
1

B. Tujuan
1. Memenuhi tugas yang diberikan oleh penanggung jawab ruang cath lab
2. Memenuhi tugas yang diberikan oleh CI Institusi
3. Untuk mengetahui tentang angiografi koroner
4. Untuk mengetahui konsep keperawatan pada pasien yang dilakukan angiografi
koroner

BAB II KONSEP MEDIS


A. Definisi
Angiografi koroner adalah suatu cara dengan menggunakan sinar X dan
kontras yang disuntikkan kedalam arteri koroner untuk melihat apakah ada
penyempitan pada erteri koroner, pemeriksaan ini dilakukan pada kamar spesial
yang disebut laboratorium kateterisasi. (Peter Kabo,2010)
Angiografi koroner adalah prosedur diagnosa dan intervensi yang dilakukan
untuk menilai fungsi jantung dan pembuluh darah secara komprehensif dimana
satu atau lebih kateter berdiameter 2mm dimasukkan melalui sayatan kecil ke
pembuluh darah perifer dilengan seperti vena dan arteri antecubital atau dari
tungkai vena dan arteri femoralis dengan panduan pesawat fluoroskopi.
Prosedur dilakukan dengan bius lokal, lalu kateter dimasukkan melalui jalur
pembuluh darah sampai ke jantung, dengan bantuan zat kontras yang disuntikkan
dapat diketahui adanya kelainan anatomi jantung, penyempitan / sumbatan
pembuluh koroner, gangguan fungsi pompa jantung, dsb
Pemeriksaan ini merupakan hal penting untuk mendeteksi penyakit jantung
koroner serta untuk tindakan lebih lanjut seperti balonisasi koroner baik dengan
maupun tanpa stent, atau operasi bedah pintas koroner. Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan untuk mendeteksi penyakit katup jantung dan kelainan jantung bawaan

B. Sejarah.
Konsep mengenai penyakit jantung didasarkan pada pengetahuan fisiologi
dan anatomi yang didapat dari percobaan-percobaan dengan kateterisasi jantung
sekitar 70 tahun yang lalu. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Andre
Cournand pada saat penerimaan Nobel pada 11 Desember 1956, kateterisasi
jantung adalah kunci jawaban dari konsep penyakit jantung. Dengan menggunakan
kunci tersebut, Cournand dan koleganya telah membawa kita ke era baru untuk
memahami fungsi normal dan penyakit jantung pada manusia.
Menurut Cournand, kateterisasi jantung pertama kali dilakukan oleh Claude
Bernard pada tahun 1844. Pada tahun 1895 Wihelm Roentgen menemukan sinar X,
penemuan ini membuka kesempatan untuk merekam gambaran arteri koroner
melalui menyuntikkan larutan gelatin yang mengandung timah merah dengan
menggunakan alat Roentgen. Subjeknya pada penelitian Bernard berupa kuda
dimana kedua ventrikel dari kuda tersebut dimasuki dengan pendekatan retrograde
dari vena jugularis dan arteri carotis. Aplikasi yang dilakukan oleh Bernard ini,
memberi suatu nilai yang sangat besar dalam inovasi teknik ini. Suatu era
investigasi pada hewan kemudian berujung pada suatu perkembangan penting
pada teknik dan prinsip teknik kateterisasi jantung yang diterapkan pada manusia.
Pada tahun 1929, Werner Frossmann melanjutkan tehnik kateter ini dengan
menyuntikkan kontras yang lebih tidak toksik kedalam ruang-ruang jantung
sebagai alat diagnostik selalu dipuji sebagai orang pertama yang melakukan
kateterisasi jantung pada manusia, yaitu pada dirinya sendiri. Pada usia 25 tahun,
setelah menerima instruksi medis bedah di Jerman, ia memasukkan kateter
berukuran 65 cm melalui salah satu vena antecubiti kiri, dibantu dengan
fluoroscopy, sampai kateter tersebut memasuki atrium kanan, kemudian ia berjalan
ke departemen radiologi untuk mendokumentasikannya dengan roentgenogram.
Dua tahun berikutnya, Frossmann melanjutkan melakukan studi kateterisasi,
termasuk enam percobaan tambahan untuk mengkateterisasi dirinya sendiri. Untuk
kontribusi yang diberikan Frossmann tersebut, ia bersama dengan Andre Cournand
dan Dickinson Richards memperoleh Nobel pada tahun 1956. Tujuan utama dari
studi kateterisasi jantung yang dilakukan oleh Frossmann adalah untuk
mengembangkan teknik terapi yang dapat memasukkan obat secara langsung ke
jantung.
4

Pada tahun 1959 Mason Sones melakukan arteriografi koroner pada pasien.
pada tahun 1967 Melvin Judkins dan Sones menciptakan berbagai kateter dan
memperkenalkan angiografi koroner melalui pendekatan transfemoral.
C. Indikasi
Kateterisasi jantung bertujuan untuk mendapat gambaran dan data objektif
secara pasti tentang perubahan anatomis dan fisiologis akibat berbagai kelainan
pada jantung dan pembuluh darah. Dengan kateterisasi jantung dapat diketahui ada
tidaknya kelainan jantung, jenis kelainan jantung, derajat kelainan tersebut, cara
pengobatan yang tepat, dan menilai hasil pengobatan. Selain itu, kateterisasi
jantung juga dapat digunakan untuk mengetahui tekanan pada ruang-ruang di
jantung, melihat bagaimana darah melewati jantung, mengambil sampel darah,
menginjeksikan zat kontras untuk melihat adanya hambatan pada pembuluh darah,
atau abnormalitas dari ruang jantung, serta melakukan koreksi pada kelainan
jantung tersebut.
Berdasarkan data-data di atas, indikasi untuk tindakan kateterisasi jantung
dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu:
1. Untuk menegakkan diagnosis, yaitu dengan menganalisis semua data hasil
kateterisasi sehingga diperoleh gambaran anatomi dan fisiologi secara pasti
2. Untuk melakukan terapi, yaitu kateterisasi intervensi sebagai tindak lanjut dari
diagnosis yang diperoleh
Indikasi dilakukan tindakan coronary angiography adalah:
1.

Memiliki gejala penyakit arteri koroner meskipun telah mendapat terapi medis
yang adekuat

2.

Riwayat henti jantung pasca infark miokard atau tanpa infark miokard. Karena
adanya riwayat henti jantung menunjukkan pasien memiliki resiko tinggi mati
mendadak

3.

Penentuan prognosis pada pasien dengan penyakit arteri koroner

4.

Angina pektoris pasca infark miokard

5.

Nyeri dada stabil dengan perubahan iskemik bermakna pada tes latihan

6.

Pasien dengan nyeri dada tanpa etiologi yang jelas

7.

Sindrom koroner tidak stabil (terutama dengan peningkatan Troponin T atau I).
5

8.

Pasca infark miokard nongelombang Q

9.

Pasca infark miokard gelombang Q pada pasien risiko tinggi (ditentukan


dengan tes latihan atau pemindaian perfusi miokard).

10. Pasien dengan aritmia berlanjut atau berulang


11. Gejala berulang pasca coronary artery bypass Graft (CABG) atau percutaneus
coronary intervention (PCI)
12. Pasien yang menjalani pembedahan katup jantung, khususnya pada pasien
yang berumur > 40 tahun karena sudah memiliki kemungkinan adanya
penyempitan arteri koroner.
13. Pasien gagal jantung dengan etiologi yang tidak jelas
14. Menentukan penyebab nyeri dada pada kardiomiopati hipertropi
D. Kontraindikasi
Kontraindikasi dari kateterisasi jantung ini sangat bervariasi. Hal ini
bergantung pada kemajuan teknik, peralatan serta ketrampilan operator.
Seiring berkembangnya pengetahuan mengenai kateterisasi jantung, hampir
dikatakan tidak ada lagi kontraindikasi absolut, yang ada hanya kontraindikasi
relatif.
Hal-hal yang termasuk dalam kontraindikasi relatif adalah:
1.

Ventrikel iritabel yang tidak dapat dikontrol

2.

Hipokalemia/intoksikasi digitalis yang tidak dapat dikoreksi

3.

Hipertensi yang tidak dapat dikoreksi

4.

Penyakit demam berulang

5.

Gagal jantung dengan edema paru akut

6.

Gangguan pembekuan: waktu protrombin > 18 detik

7.

Gagal ginjal hebat/anuria

8.

Alergi bahan kontras

9.

Riwayat perdarahan yang tidak berhenti

10.

Kehamilan

Sedangkan satu-satunya yang dianggap sebagai kontraindikasi absolut adalah


apabila pasien dan keluarganya menolak untuk dilakukan kateterisasi.

E. Komplikasi
Pada prosedur kateterisasi terdapat beberapa komplikasi, seperti
terjadinya luka pada arteri dan vena pada tempat dilakukannya kateterisasi.
Hal ini terjadi pada 0,5-1,5% pasien. Lebam disertai perubahan warna kulit
pada tempat punksi pembuluh darah terjadi pada 1-5% pasien. Komplikasi
yang paling jarang terjadi adalah infeksi pada lokasi pemasangan kateter.
Injeksi dari zat kontras dapat menyebabkan mual dan muntah pada 3-15%
pasien, rasa gatal pada 1-3% pasien, reaksi alergi pada 0,2% pasien.
Khusus mengenai efek samping radiasi, Harrison dkk melaporkan pada
majalah Australian New Zealand Journal Of Medicine tahun 1998 bahwa dosis
radiasi yang diterima oleh pasien yang dilakukan kateterisasi jantung adalah
3.41.3 mSV. Resiko untuk timbul tumor ganas mematikan adalah 1 diantara
6000 orang yang dilakukan kateterisasi jantung.
Sedangkan efek samping yang ditimbulkan dari kontras yang
disuntikkan, Thomsen dan Morcos melaporkan pada British Journal of
Radiology tahun 2003 bahwa kejadian gangguan fungsi ginjal pada pasien yang
dilakukan kateterisasi akibat kontras adalah 0-5% pada mereka yang memiliki
fungsi ginjal normal, 12-27% pada mereka yang pre-exiting renal impairement,
dan meningkat sampai 50% pada mereka yang sudah ada tanda gagal ginjal.
Komplikasi mayor, seperti kematian, serangan jantung, dan stroke, yang
terjadi dalam 24 jam setelah prosedur dilakukan, ditemui pada 0,2-0,3% pasien.
Kematian dapat dikarenakan perforasi dari jantung maupun pembuluh darah,
abnormalitas irama jantung, serangan jantung, dan reaksi alergi yang parah
akibat injeksi kontras.
F.

Zat Kontras
1.

Angiografin

Angiografin merupakan jenis kontras media ionik.

Komposisi

ml

Angiografin

mengandung

0,65

gr

Meglumine

Amidotrizoate (meglumine diatrizoate ) dalam setiap larutan.

Angiografin mempunyai viskositas (kekentalan) yang tinggi, serta


mempunyai osmolalitas (daya larut) yang tinggi pula.

Indikasi : Angiografin digunakan untuk Intravenus urografi, Retrograde


Urografi, Cerebral Thoracic, Abdominal dan Ekstremitas angiografi,
Plebografi, Computerize Tomography (CT).

Kontra indikasi : Angiografin tidak baik digunakan untuk Myelografi,


Ventrikulografi, Sisternografi, karena bisa menimbulkan neurotoksis.

2.

Iopamiro

Iopamiro merupakan jenis kontras media non ionik.

Iopamiro mempunyai jenis molekul benzine dikarboxamide monomerik.

Tekanan osmotik yang rendah, sifat non ionik dari molekul serta
kemotoksitas yang rendah merupakan toleransi dari Iopamiro.

Indikasi :
a. Kasus-kasus

neurologis

(Myeloradikulografi,

Sisternografi,

dan

Ventrikulografi).
b. Kasus-kasus Angiografi (Cerebral Angiografi, Coronoriarteriografi,
Thorasic aortografi, Abdominal aortografi, DSA)
c. Kasus urografi (Intravena urografi, kontras enhancement pada CT
Scanning, Artrografi, Fistulografi)

Kontra indikasi: Tidak ada kontra indikasi yang sifatnya absolut pada
pemakain Iopamiro, kecuali waldenstroms, macroglobulinemia, multiple
myeloma serta penyakit hati dan ginjal.

3.

Ultravist

Ultravist merupakan kontras media non ionik dalam bentuk cair yang
dipergunakan untuk pemeriksaan radiografi

Triidinated monomeric contras media

Digunakan secara intra arterial dan intravenous


Pada kateterisasi jantung, injeksi zat kontras dilakukan untuk mengetahui

adanya hambatan maupun penyempitan pada pembuluh darah. Jumlah zat


kontras yang diinjeksikan ke dalam pembuluh darah diusahakan dalam jumlah
paling minimal. Untuk tindakan diagnostik biasa digunakan 20-30cc dan maksimal
50cc. Sedangkan untuk tindakan intervensi sekitar 100-200cc. Pemasukan zat
8

kontras kedalam tubuh harus juga melihat nilai laboratorium ureum kreatinin
pasien.

G.

Prosedur pelaksanaan
a. Alat yang disiapkan
1.

Pesawat Rontgen
Pesawat rontgen yang digunakan dengan sistem TV Monitor yang
mempunyai Image Intensifying beresolusi tinggi yang dilengkapi dengan
Cineangiografi ( Film Cine atau CD ) atau bisa juga dengan menggunakan
Film Changer. Misalnya C-Arm atau U-Arm.

2.

Mesin Injektor
Berfungsi untuk memasukkan cairan kontras dalam jumlah yang banyak
dan mempunyai tekanan atau kecepatan yang dapat diatur.

3.

Peralatan Emergency :

Defibrilator

Trolly emergency dan obat-obatan emergency

Oksigen (O2 )

4.

Peralatan Steril

5.

Introducer, Sheath, Dilator, Quide Wire

6.

Kateter

7.

Sones, Judkin, Castilo, Amplatz, Scoonmaker, Pigtail, NIH, dll

Kateterisasi Jantung Lewat Arteri Radialis


Persiapan Alat
a. Alat Tenun Steril
3 baju operasi
2 duk lubang ukuran 67 x 67 cm
2 duk kecil ukuran 67 x 67 cm
1 stik laken
1 duk besar ukuran 180 cm x 234 cm
b. Set Instrumen Steril
1 kom besar untuk tempat cairan ( 500 cc)
9

1 kom sedang untuk tempat kontras (250 cc)


1 kom kecil untuk tempat bethadine sol 10% (100 cc)
6 depper kecil
5 kassa steril
2 duk klem
1 arteri klem
1 scappel
1 klem kocher / desinfektan tool
1 bengkok
c. Bisturi nomor 11
d. Bethadine solution 10% dan alkohol 70% untuk desinfektan
e. Cairan NaCl 0,9% : 1:5 (heparin 2500 unit dalam 500 NaCls)
f. Syringe 20 cc 2 buah, syringe 5 cc 1 buah, syringe 2,5 cc 1 buah, syringe 1 cc 1
buah
g. Extension tube panjang dan pendek masing massing 1 buah
h. Rotating adaptor (threeway pressure)
i.

Introduser sheath radialis 5 fr / 6 fr

j.

Kateter diagnostic optitorque 5 fr / sesuai kebutuhan

k. Guide wire terumo tip 0,35 / 180 cm


l.

Glove steril

m. Jarum pungsi
n. Zat kontras sesuai kebutuhan
o. Lidocaine 2% 1 ampul
p. Heparin 5000 unit dalam syringe 5 cc (diencerkan dengan NaCl 0,9% menjadi
4 cc)
q. NTG 300 meq dalam syringe 1 cc (diencerkan menjadi 9 strip)
r.

Trolley emergency

Kateterisasi Jantung Lewat Arteri Femoralis


1. Persiapan Alat
a. Alat Tenun Steril
3 baju operasi
2 duk lubang ukuran 67 x 67 cm
10

2 duk kecil ukuran 67 x 67 cm


1 stik laken
1 duk besar ukuran 180 cm x 234 cm
b. Set Instrumen Steril
1 kom besar untuk tempat cairan ( 500 cc)
1 kom sedang untuk tempat kontras (250 cc)
1 kom kecil untuk tempat bethadine sol 10% (100 cc)
6 depper kecil
5 kassa steril
2 duk klem
1 arteri klem
1 scappel
1 klem kocher / desinfektan tool
1 bengkok
c. Bisturi nomor 11
d. Bethadine solution 10% dan alkohol 70% untuk desinfektan
e. Cairan NaCl 0,9% heparin / 1:5 (heparin 2500 unit dalam 500 NaCl)
f. Syringe 20 cc 2 buah, syringe 10 cc 1 buah
g. Lidocaine 2% 5 ampul
h. Jarum puncture
i.

Extension tube

j.

Rotating adaptor (threeway pressure)

k. Introduser sheath no. 6 fr


l.

Kateter diagnostic Judkins Right (JR) dan Judkins Left (JL) 4/6 fr atau
sesuai kebutuhan

m. Guide wire J tip 0,38 mm/ 150 cm


n. Glove steril
o. Zat kontras sesuai kebutuhan
p. Trolley emergency

11

b. Prosedur pelaksanaan
1. Kateterisasi Jantung Lewat Arteri Radialis
a) Pasien masuk ruang tindakan, rekam EKG 12 lead
b) Alat alat dipersiapkan diatas meja
c) Scrub nurse atau asisten dan dokter operator memakai apron lalu
melakukan surgical hand washing (cuci tangan steril), mengenakan
jas operasi dan memakai glove steril
d)

Melakukan desinfeksi di daerah radialis kanan dan kiri dengan


bethadine solution 10% dilanjutkan dengan alkohol 70%

e) Tutup bagian yang di desinfeksi dengan duk lubang, lalu tutup bagian
badan pasien dan seluruh tubuh pasien dengan alat dengan tenun
steril (beritahu pasien agar selama tindakan, tangan pasien tidak
menyentuh area steril)
f)

Flash / basahi semua alat kemudian di dekatkan ke pasien, lakukan


zero point, sambungkan extention tube dengan tansduser kemudian
dibalance mesin monitor

g) Dokter melakukan anestesi lokal dengan Lidocaine 2% di daerah


arteri radialis kanan (RAR = Radialis Arteri Right)
h) Pungsi RAR sampai darah arteri memancar masukkan wire pendek
kemudian jarum puncture dilepas, lakukan insisi inchi dangkal
(untuk memudahkan masuknya sheath), massukkan sheath 6 fr
(jangan lupa wire dibersihkan dahulu dengan kassa basah untuk
mencegah darah bekuan / fibrin terkumpul)
i)

Wire pendek dicabut, sheath di aspirasi lalu di flash, masukkan


heparin 2500 iu dan NTG 200 300 meq, kemudian di flash / bilas

j)

Masukkan catheter dengan quide wire didalamnya ke dalam sheath


sampai ke ventrikel kiri, petugas monitor mengambil tekanan LV Ao
dengan catheter ditarik dari LV ke aorta lalu diukur gradient

k) Catheter mengkanulasi ostium arteri koroner kanan (RCA),


l)

Catheter kanulasi ke ostium arteri koroner kiri (LCA),

m) Aspirasi catheter lalu flush kemudian perawat siecor merekam


pressure terakhir dan EKG 6 lead

12

n) Catheter dicabut dengan quide wire ada di dalam dan di dalam dan di
daerah sekitar penusukan dibersihkan
o) Sheath di tarik setengah bagian masih di dalam arteri, kemudian
letakkan nichiband di daerah bekas penusukan sampai menekan
arteri radialis kemudian difikasi menggunakan plester yang tersedia,
sheath ditarik seluruhnya sambil dianjurkan pasien tarik nafas dalam
p) Alat-alat dibersihkan, dirapihkan dan dipisahkan alat dari benda
tajam, infeksius dan non infeksius
q) Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
r) Prosedur selesai
s) Petugas monitor mencatat jumlah cairan infus dan kontras
Prosedur Pencabutan Nichiband Pada Arteri Radialis
1. Persiapan Alat
a. Glove non steril
b. Kassa steril (4 x 4) 3 buah
c. Gunting verband
d. Bengkok
e. Elastikon
f. Plester
2. Prosedur Kerja
a. Lihat jam pada saat pelepasan nichiband
b. Beritahu pasien prosedur yang akan dilakukan
c. Cuci tangan
d. Pasang glove
e.

Letakkan tangan kiri diatas nichiband dan beri sedikit penekanan


secara perlahan

f. Buka plester nichiband dengan tangan kanan kemudian lepas tekanan


pada nichiband secara perlahan sambil diperhatikan apakah ada
darah yang keluar dari luka insisi
- Apabila terjadi perdarahan pasang kembali nichiband dan
tambahkan plester untuk mencegah nichiband terlepas
- Bila tidak terjadi perdarahan lanjutkan membuka nichiband
13

g. Letakkan kassa diatas luka insisi menggunakan tangan kiri dan tekan
secara perlahan
h. Pasang plester elastikon dengan menggunakan tangan kanan, posisi
tangan kiri tetap menekan kassa diatas luka insisi, (jangan terlalu
kencang)
i.

Rapikan alat alat

j.

Berikan penkes pada pasien :


- Anjurkan untuk tidak mengangkat beban lebih dari 5 kg selama 1
minggu untuk menghindari stertching / peregangan pada arteri
radialis
- Beritahu perawat / dokter bila terjadi keluhan berhubungan dengan
gangguan sirkukasi
- Buka elastikon dan ganti dengan tensoplast setelah 12 jam
pemasangan elastikon
- Bila ada haematoma dan pendarahan segera hubungi perawat atau
dokter atau kembali lagi ke rumah sakit.

2. Kateterisasi jantung lewat arteri femoralis


a. Pasien masuk ruang tindakan, rekam EKG 12 lead
b. Alat alat dipersiapkan diatas meja
c.

Scrub nurse dan dokter operator memakai apron lalu melakukan


surgical hand washing (cuci tangan steril), mengenakan jas operasi
dan memakai glove steril

d.

Melakukan desinfeksi di daerah inguinalis kanan dan kiri dengan


bethadine solution 10% dilanjutkan dengan alkohol 70%

e.

Tutup bagian yang di desinfektan dengan duk lubang, lalu tutup


bagian atas badan pasien dengan duk sedang dan bagian bawah
dengan duk besar

f. Flush semua alat kemudian di dekatkan ke pasien


g.

Lakukan balance di mesin monitor (zero point), sambungkan


extention tube dengan tanduser, kemudian lakukan flushing

h. Lakukan anestesi lokal dengan Lidocaine 2% di inguinalis kanan


i.

Lakukan insisi kulit dengan bisturi no. 11


14

j.

Lakukan pungsi Arteri Femoralis Kanan (PEAR) dengan jarum pungsi,


bila darah arteri memancar masukan quide wire pendek 3 mm 1015 cm

k. Cabut puncture menggunakan tangan kanan dan tangan kiri


mempertahankan quide wire agar tatap berada pada arteri femoralis
l.

Menyusuri wire masuk introducer sheath dan pertahankan quide wire


tetap terlihat pada ujung introducer sheath 5 cm

m. Masukkan sheath 6 Fr
n. Cabut wire pendek dan dilator sheath diaspirasii lalu di flush
o. Masukkan kateter JR dengan quide wire didalamnya kedalam sheath
melalui arteri femoralis, aorta decendens, arcus aorta, aorta
assendens sampai ke ventrikel kiri (bila diperlukan pencatatan
tekanan akhir diastolik LV / LVEDP)
p. Lakukan pencatatan tekanan aorta
q. Kateter diarahkan ke ostium arteri koroner kanan (RCA)
r.

Ganti kateter dengan JL, arahkan ke ostium kiri

s. Tarik kateter keluar dari ostium koroner, aspirasi kateter lalu di flush.
Peerawat monitoring merekam tekanan aorta terakhir
t.

Kateter JL di cabut dan daerah sekitar penusukkan dibersihkan, rekam


EKG 12 lead

u. Sheath tetap dipertahankan, aff sheath dilakukan di ruang recovery


room / pemulihan
v. Bersihkan alat alat, pisahkan benda benda tajam, infeksius dan non
infeksius
w. Petugas monitor mencatat cairan infus dan kontras
x. Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
y. Prosedur selesai

Prosedur Pencabutan Sheath Pada Arteri Femoralis


1. Persiapan Alat
a. Glove non steril
b. Bethadine solution
c. Kassa steril
15

d. Elastikon
e. Gunting verban dan bengkok
2. Prosedur kerja
a.

Beritahu pasien prosedur yang akan dilakukan, cuci tangan dan


pasang glove

b.

Atur posisi pasien, pasien didekatkan ke pinggir tempat tidur di


mana petugas berada, agar petugas mudah melakukan penekanan

c. Observasi apakah ada haematoma di sekitar daerah penusukan


d. Raba arteri femoralis dengan tangan kiri, posisikan tangan / jari kiri
di atas luka pungsi tempat dimana pulsasi teraba
e.

Cabut sheat dengan tangan kanan dan anjurkan pasien untuk tarik
nafas dalam, cabut dengan segera dan hati- hati. Biarkan darah
mengalir sedikit untuk mengeluarkan bekuan darah dalam
pembuluh darah

f. Setelah darah keluar lakukan penekanan selama 10 15 menit


g. Lepaskan tangan kiri secara perrlahan dan observasi apakah massih
ada perdarahan. Bila masih ada perdarahan maka lakukan
penekanan kembali
h. Perhatikan disekitar luka insisi apakah ada haematoma
i.

Bila tidak ada berikan bethadine pada luka tusukan, kemudian tekuk
lutut pasien ke samping hingga membentuk sudut 60 80 derajat

j.

Tutup luka dengan kassa steril dan rekatkan dengan elastikon /


tensoplast

k.

Luruskan kembali kaki pasien, berikan penjelasan kepada pasien


untuk tidak melipat atau menekuk kaki selama 6 8 jam

l.

Jelaskan pada pasien bahwa tindakan telah selesai

m. Rapikan kembali pasien dan alat alat.


Lama prosedur kateterisasi jantung bervariasi. Hal ini bergantung pada
kemampuan operator dan kompleksnya kondisi pasien yang dikateterisasi.
Berdasarkan

penelitian

pada

tahun

1997,

kateterisasi

jantung

kiri

membutuhkan waktu rata-rata 64 menit untuk waktu lab, termasuk 25 menit


waktu prosedur. Sedangkan untuk kateterisasi jantung kanan membutuhkan
16

waktu rata-rata 84 menit untuk waktu lab dan waktu prosedur sekitar 32
menit. Untuk prosedur intervensi, dibutuhkan waktu rata-rata 117 menit,
dengan waktu prosedur sekitar 70 menit. Sedangkan pada saat ini waktu yang
dibutuhkan untuk kateterisasi jantung kurang lebih 15-20 menit tergantung
pengalaman dokter yang melakukan, juga tergantung posisi arteri koronaria
dan kondisi pasien. (Peter Kabo, 2010)
Coronary angiography dilakukan dengan memasukkan kateter melalui
femoral (Judkins) atau brachialis (Sones) kemudian di dorong ke aorta
assendens dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan
fluoroskopi. Pada saat ini kateter femoral lebih banyak digunakan kateter
ukuran 6 atau bahkan 5 French. Kateter tersebut terbuat dari poliuretan atau
polietilen yang telah terbentuk sebelumnya untuk memungkinkan intubasi
yang lebih mudah di ostium arteri koroner kiri dan kanan.
Setelah diposisikan dalam ostium arteri koroner, media kontras
dimasukkan untuk mengopasifikasi arteri koroner sehingga gambar arteri
koroner dapat diperoleh dengan manuver kamera radiografi disekitar pasien
untuk mendapatkan gambar dari sudut yang berbeda. Gambar arteri jantung
kiri dan kanan dapat dilihat dari proyeksi right anterior oblique (RAO) dan left
anterior oblique (LAO). Gambar tersebut diperoleh dari arah kepala atau kaki
untuk memvisualisasi lessi lebih baik.

Adapun urutan gambaran angiografi arteri koronari kiri menurut


Underhil et al adalah:
17

a. RAO-caudal untuk memvisualisai left main arteri coronaria (LMCA), left


anterior decending (LAD), dan proximal circumflex.
b. RAO-cranial untuk memvisualisasi bagian tengah dan distal LAD dengan
cabang-cabang diagonal.
c. LAO cranial untuk memvisualisasi bagian tengah dan distal LAD pada
proyeksi orthogonal.
d. LAO-caudal untuk memvisualisasi (LMCA) dan proximal circumflex. Lateral
kiri untuk menvisualisasi LAD
Urutan yang umum dari gambaran angiografi arteri koronaria kanan
adalah:
a. LAO untuk menvisualisasi arteri koronaria kanan.
b. RAO untuk menvisualisasi cabang posterior desending dan postterolateral.
c. Right lateral untuk menvisualisasi arteri koroner bagian tengah
Derajat keparahan stenosis pembuluh darah koroner dapat dinilai
secara visual oleh operator yang berpengalaman atau dapat digunakan
angiogafi kuantitatif untuk mendapatkan penilaian komputer mengenai derajat
keparahan lesi, dibandingkan dengan segmen arteri normal. Derajat keparahan
lesi koroner dideskripsikan sebagai persentase stenosis dan bila stenosis lebih
dari 50% biasanya dikatakan sebagai stenosis bermakna.
H. Persiapan pasien
1.

Prosedur persiapan pre kateterisasi


a. Persiapan fisik
Penjelasan tentang prosedur tindakan oleh dokter
Rekaman EKG 12 lead
Puasa 4-6 jam sebelum tindakan perlu diperhatikan adalah puasa
makan saja, pasien boleh minum dan obat-obatan tetap diberikan
sesuai resep dokter
Sehari sebelumnya meminum obat yang diinstruksikan dokter
seperti aspilet 2 tablet pada malam hari dan 1 tablet pada pagi hari,
clopidogrel 4 tablet pada malam hari dan 2 tablet pada pagi hari.
18

Cukur area penusukan (daerah inguinalis kanan dan kiri bila arteri
femoralis atau daerah radialis kanan bila dari arteri radialis)
Memasang condom cetheter atau dower cetheter untuk pasien yang
akan dilakukan tindakan PTCA, Ablasi, dan sejenisnya kecuali
koroner angiografi
Memasang infus pada pasien, untuk tindakan koroner angiografi
pada umumnya tidak dipasang infus kecuali pada pasien dengan
hasil kreatinin lebih dari 1,5 diberikan cairan NaCl 0,9% . Pada
pasien yang akan dilakukan PTCA, Ablasi dan sejenisnya yang
memerlukan waktu yang lama diberikan cairan RL dan cairan NaCl
0,9% untuk pasien dengan creatinin lebih dari 1,5
Mengukur tanda tanda vital pasien (tekanan darah, heart rate ,
respirasi, dan suhu )
Mengukur berat badan dan tinggi badan
Hasil pemeriksaan laboratorium seperti :
a.

Pemeriksaan Hb, Hb yang tinggi akan mempengaruhi tindakan


kateterisasi dimana lebih mudah terjadi pembekuan darah pada
kateter, begitu juga Hb yang rendah karena kemungkinan terjadi
pendarahan selama tindakan

b.

Leukosit, untuk mengetahui apkah pasien dalam keadaan dalam


infeksi atau tidak

c.

Ureum

dan

kreatinin,

mengtahui

fungsi

ginjal

pasien

berhubungan dengan penggunaan zat kontras saat tindakan, bila


hasilnya tinggi dilakukan hidrasi terlebih dahulu dengan obat
oral flumucyl 2 tablet dan loading cairan NaCl 0,9% sesuai
instruksi dokter (biasa diberikan 100 cc) . zat kontras yang
osmolaritasnya lebih redah, ( misalnya omnipaque) dan dosis
yang lebih sedikit
d.

CT, BT, PT, APTT untuk mengetahui apakah memanjang waktu


pendarahan dan pembekuan karena berhubungan dengan saat
pencabutan sheath

e.

HbsAg untuk mencegah terjadinya penularan baik terhadap


petugas maupun kepasien lain
19

Mencatat

obat

yang

diminum,

ditunda

atau

dihentikan

pemberiannya. Obat hipertensi dan obat diureik tetap diberikan,


sedangkan obat DM, anti koagulan, ditunda pemberiannya sesuai
dengan instruksi dokter
Menanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat-obatan
Mengkaji keluhan pasien apakah ada nyeri dada, sesak nafas, pusing
atau keluhan yang lain
Mengganti pakaian pasien dengan pakaian rumah sakit, termasuk
pakaian dalam dilepas
Memberitahu kepada pasien bahwa alat bantu seperti kaca mata,
alat bantu dengar (hearing aid), gigi palsu boleh tetap dipakai
selama tindakan untuk lebih memudahkan berkomunikasi dengan
pasien tetapi tetap diinformasikan pada saat serah terima pasien
dengan petugas diruang tindakan
Melakukan allent test bila tindakan dilakukan melalui arteri radialis,
untuk melihat sirkulasi darah ditangan pasien
Teknik menilai allen test:
-

Anjurkan pasien untuk mengepal tangannya dengan kuat selama


3-15 menit

Periksa pulsasi arteri radialis kemudian tekan arteri radialis


dengan tiga jari tangaan kiri/ibu jari dan tekan arteri uinaris
dengan tiga jari tangan kanan/ibu jari secara bersamaan

Buka kepalan tangan pasien , telapak tangan akan terlihat pucat

Lepas tekanan arteri ulnaris, arteri radialis tetap ditekan

Lihat jika refeskuler 1-3 detik berarti arteri ulnaris baik dan
tindakan dapat dilakukan melalui arteri radialis

b. Persiapan mental

Mengkaji pengetahuan pasien mengenai tindakan kateterisasi jantung

Bila pasien belum mendapat penjelasan, fasilitasi agar dokter/asisten


dokter untuk menjelaskannya

Memberi penjelasan hal-hal yang mungkin diperlukan saat dilakukan


tindakan seperti cara nafas dalam dan batuk efektif dan juga
20

memberitahukan keluhan yang mungkin timbul saat tindakan kepada


petugas atau perawat

Melakukan pendekatan spiritual dengan mengajak berdoa

c. Persiapan pasien dari ruangan / rawat inap


Persiapan sama seperti pasien datang dari rumah , hanya saja
persiapannya dilakukan oleh perawat ruangan. Jadi perawat di ruang pre
keteterisasi hanya dilakukan serah terima pasien dengan petugas ruangan
dan memeriksa kembali kelengkapan persiapan administrasi fisik dan
mental pasien serta membuat form laporan kateterisasi jantung untuk
pasien yang akan dilakukan tindakan koroner angiografi dan form laporan
angioplasti koroner untuk pasien yang akan dilakukan tindakan PTCA, ablasi
dan sejenisnya
2.

Prosedur pelaksanaan post kateterisasi


a.

Berikan pasien minum banyak sekitar 2000 cc /6 jam, bila tidak ada
kontra indikasi

b.

Harus diperhatikan catatan kejadian selama prosedur serta hasil


kateterisasi

c.

Observasi vital sign: setiap 15 menit pada jam pertama, setiap 30 menit
pada jam ke 2 dan selanjutnya tiap jam hingga hemodinamik tetap
stabil

d.

Observasi efek samping pemakaian zat kontras seperti : gatal-gatal,


menggigil, mual muntah atau urtikaria

e.

Observasi hematom dan pendarahan di sekitar area penusukan


1) Lakukan haemostasis yang benar
2) Immobilisasi daerah penusukan selama 6-8 jam untuk penusukan
pada femonalis dan 4 jam pada penusukan radialis berikan bantal
pasir diatas area penusukan khusus untuk penusukan femoralis
3) Libatkan pasien dan keluarga untuk mengawasi adanya tandatanda perdarahan dan haematoma pada daerah penusukan

f.

Observasi keluhan pasien; pening, pusing atau nyeri dada dan


sebagainya
21

g.

Observasi tanda-tanda adanya gangguan sirkulasi di daerah perifer,


pulsasi arteri dibagian distal dari penusukan, kemudian dibandingkan
dengan kanan dan kiri, observasi kehangatan akral dibandingkan
dengan kanan dan kiri. Bila terjadi gangguan (nadi lemah/tidak
terabah) beritahu dokter, biasanya diberi obat anti koagulan bolus atau
drips.

h.

Observasi adanya tanda-tanda infeksi

Hal yang umum diperhatikan di ruang post kateterisasi;


1) Keluhan pasien
2) Diagnosa medis, tindakan yang dilakukan, penyulit yang muncul saat
tindakan dan hasil tindakan
3) Dokter yang mengerjakan
4) Tanda-tanda vital post kateterisasi
5) Obat-obat yang dilanjutkan
6) Intake dan output
7) Kelengkapan status
8) Pulsasi daerah distal dari area penusukan dan kehangatan akral
9) Pemeriksaan yang harus dilakukan di ruang perawatan setelah post
kateterisasi/ intervensi
10) Alat-alat perawatan yang masih terpasang pada pasien

22

BAB III KONSEP KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Sebelum tindakan kateterisasi
a. Mengakaji tanda-tanda vital, meliputi tekanan darah, nadi, pernafasan dan
suhu
b. Mengakaji keluhan pasien
c. Mengkaji obat-obatan yang diminum oleh pasien dan yang dihentikan
d. Menanyakan kembali apakah pasien telah berpuasa selama 6-8 jam. Lambung
harus kosong pada saat pelaksanaan kateterisasi agar jika terjadi reaksi alergi
seperti mual-muntah tidaka akan mudah terjadi aspirasi
e. Mengkaji tingkat pengetahuan pasien mengenai tindakan kateterisasi jantung
f. Mengkaji perasaan takut/ketidakberdayaan pasien dan keluarga
g. Mengakaji pemasukan dan pengeluaran urine selama 24 jam
h. Mengkaji riwayat alergi pada pasien
i. Melakukan perekaman EKG 12 lead
j. Mengkaji rasa nyeri atau ketidaknyamanan pada pasien
k. Memeriksa hasil pemeriksaan laboratorium pasien
2. Setelah tindakan kateterisasi
a. Mengkaji tanda-tanda vital setiap 15 menit pada jam pertama, 30 menit pada
jam ke dua dan selanjutnya setiap jam pada jam berikutnya sampai
hemodinamik stabil
b. Observasi dan kaji adanya tanda-tanda alergi karena zat kontras, seperti
demam, gatal-gatal, sesak nafas.
c. Observasi adanya hematom pada area penusukan
d. Kaji tingkat nyeri pasien
e. Kaji tingkat kecemasan pasien dan keluarga
f. Observasi keluhan pasien ; pening, pusing, nyeri dada, sesak nafas, dsb
g. Observasi tanda-tanda infeksi
h. Observasi tanda-tanda gangguan sirkulasi didaerah perifer, pulsasi arteri
dibagian distal dari penusukan, kemudian dibandingkan dengan kanan dan
kiri, observasi kehangatan akral dibandingkan dengan kanan dan kiri.
23

B. Diagnosa keperawatan
1. Sebelum tindakan kateterisasi
a. Ketakutan

berhubungan

dengan

sumber

alamiah

(nyeri,

prosedur

pelaksanaan tindakan)
b. Defisiensi pengetahuan (tindakan kateterisasi) berhubungan dengan kurang
pengalaman sebelumnya, kurang pemanjanan informasi, kurang kemampuan
mengingat kembali, kurang familier dengan sumber-sumber informasi
2. Setelah tindakan kateterisasi
a. Resiko

penurunan

cardiac

output

berhubungan

dengan

gangguan

kontraktilitas, gangguan frekuensi, iskemia ventrikel


b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler
alveolar, udema paru akut
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (prosedur
kateterisasi)
d. Defisiensi pengetahuan ( perawatan pasca kateterisasi) berhubungan dengan
kurang kemampuan mengingat kembali, kurang pemajanan informasi
C. Intervensi keperawatan
1.

Sebelum tindakan kateterisasi


a.

Ketakutan

berhubungan

dengan

sumber

alamiah

(nyeri,

prosedur

pelaksanaan tindakan)
Tujuan : pasien akan memperlihatkan pengendalian diri terhadap ketakutan
yang dibuktikan dengan mencari informasi untuk menurunkan ketakutan,
menggunakan tehnik relaksasi, mengendalikan respon ketakutan.
1) Kaji respon takut subjektif dan objektif pasien
2) Nilai pemahaman pasien terhadap proses penyakitnya
3) Jelaskan semua pemeriksaan dan pengobatan kepada pasien dan
keluarga
4) Bantu pasien membedakan antara ketakutan rasional dan tidak rasional
5) Ajarkan tehnik relaksasi kepada pasien seperti nafas dalam
6) Dorong diskusi antara pasien dengan dokter tentang ketakutan pasien

24

7) Tetap bersama pasien selama menghadapi situasi baru atau ketika


pasien merasa sangat ketakutan
8) Sering berikan penguatan verbal dan nonverbal yang dapat membantu
menurunkan ketakutan pasien
b.

Defisiensi pengetahuan (tindakan kateterisasi) berhubungan dengan kurang


pengalaman

sebelumnya,

kurang

pemanjanan

informasi,

kurang

kemampuan mengingat kembali, kurang familier dengan sumber-sumber


informasi
Tujuan : pasien dan keluarga akan mampu memperlihatkan pemahaman
mengenai tindakan kateterisasi jantung, menambah pendidikan kesehatan
pasien dan keluarga untuk mengurangi kecemasan/ketakutan pasien, mulai
mencari informasi/mengajukan pertanyaan, berpartisispasi dalam proses
belajar,
1) Periksa keakuratan umpan balik untuk memastikan bahwa pasien
memahami program terapi dan informasi lainnya yang relevan
2) Beri penyuluhan sesuai tingkat pemahaman pasien, ulangi informasi bila
diperlukan
3) Gunakan berbagai pendekatan penyuluhan seperti redemontrasi dan
berikan umpan balik secara verbal dan tertulis
4) Bina hubungan saling percaya
5) Ikut sertakan keluarga atau orang terdekat bila perlu
2.

Setelah tindakan kateterisasi


a.

Resiko

penurunan

cardiac

output

berhubungan

dengan

gangguan

kontraktilitas, gangguan frekuensi, iskemia ventrikel


Tujuan : diharapkan penurunan curah jantung teratasi, dengan kriteria klien
akan, menunjukkan tanda vital dalam batas normal, disritmia terkontrol atau
hilang dan bebas gejala gagal jantung, warna kulit normal , melaporkan
penurunan episode dispnea, ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi
beban kerja jantung.
1)

Auskultasi nadi apical, kaji frekuensi, irama jantung.

2)

Catat bunyi jantung

3)

Palpasi nadi perifer


25

4)

Pantau tekanan darah

5)

Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis

6)

Pantau haluaran urin, catat penurunan haluaran dan kepekatan/


kosentrasi urin

7)

Kaji perubahan pada sensori, contoh latergi, bingung, disorientasi,


cemas, dan depresi

8)

Berikan istirahat pada tempat tidur atau kursi.

9)

Berikan istirahat psikologi dengan lingkungan tenang; menjelaskan


manajemen medik/ keperawatan; membantu pasien menghindari
situasi

stress,

mendengar/berespons

terhadap

ekspresi

perasaan/takut
10) Istirahatkan klien dengan tirah baring optimal dalam lingkungan yang
tenang
11) Berikan pispot di samping tempat tidur. Hindari aktivitas respon
valsalva, contoh mengejan selama defekasi, menambah nafas selama
perubahan posisi
12) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat
sesuai indikasi (kolaborasi)
13) Berikan obat sesuai indikasi (contohnya Diuretik, Vasodilator,
Captopril, Morfin sulfat, sedatif, antikoagulan)
14) Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah total sesuai indikasi. Hindari
cairan garam
15) Pantau/ganti elektrolit
16) Panatau seri EKG dan perubahan foto dada
17) Pantai

pemeriksaan

laboratorium

(fungsi

ginjal,

fingsi

hati,

pemeriksaan koagulasi)
b.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler


alveolar, udema paru akut
Tujuan : Pasien akan menunjukkan ekspansi paru simetris, mempunyai
kecepatan dan irama pernafasn normal, tidak ada suara nafas tambahan,
mempunyai fungsi paru dalam batas normal, tidak mengalami ortopneu.
1) Kaji suara paru, frekuensi nafas, kedalaman dan usaha nafas
26

2) Pantau adanya pucat dan sianosis


3) Pantau saturasi oksigen
4) Pantau kadar elektrolit dan status mental
5) Auskultasi suara nafas
6) Berikan pasien posisi nyaman
7) Berikan terapi oksigen jika diperlukan
c.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (prosedur


kateterisasi)
Tujuan : menunjukkan perilaku/tehnik untuk meningkatkan penyembuhan,
mencegah komplikasi, menunjukkan penyembuhan luka tepat waktu
1) Lihat tempat insisi, evaluasi proses penyembuhan
2) Anjurkan menggunakan baju/celana yang tidak sempit, biarkan insisi
terbuka terhadap udara sebanyak mungkin
3) Perhatikan/laporkan pada dokter insisi yang tidak sembuh, pembukaan
kembali insisi yang telah sembuh, adanya darinase berupa darah atau
purulen, area lokal yang bengkak dengan kemerahan, rasa nyeri
meningkat, dan panas pada sentuhan
4) Tingkatkan nutrisi dan masukan cairan adekuat

d.

Defisiensi pengetahuan (perawatan pasca kateterisasi) berhubungan dengan


kurang kemampuan mengingat kembali, kurang pemajanan informasi
Tujuan : pasien akan berpartisipasi dalam belajar, mulai mencari
informasi/mengajukan pertanyaan, mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, prognosis dan kebutuhan terapeutik.
1) Anjurkan untuk tidak mengangkat beban berat selama seminggu
kedepan

dan

pasien

tidak

dianjurkan

untuk

membawa

kendaraan/mengemudi
2) Dorong

periode

istirahat

bergantian

dengan

aktifitas,

hindari

mengangkat berat
3) Anjurkan mempertahankan masukan nutrisi dan cairan secara adekuat,
pertahankan diet yang dijalani

27

4) Anjurkan untuk melanjutkan meminum obat-obatan yang telah


ditentukan oleh dokter
5) Anjurkan untuk melapor kepada dokter jika merasakan nyeri dada,
sesak nafas dan pusing

28

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemeriksaan angiografi koroner adalah pemeriksaan pencitraan yang
bertujuan untuk menangkap citra pembuluh darah koroner, khususnya untuk
melihat adanya penyempitan di pembuluh darah koroner. Terlihatnya penyempitan
di pembuluh darah koroner merupakan tanda pasti untuk diagnostik penyakit
jantung koroner.
Pemeriksaan angiografi merupakan pemeriksaan pencitraan dengan sinar-x
(sinar Rontgen) yang dilakukan di dalam suatu ruangan khusus yang disebut
sebagai cath lab (laboratorium tindakan kateterisasi).
Pada pemeriksaan sinar Rontgen biasa, pembuluh darah tidak akan tampak
di dalam foto. Untuk menangkap gambaran pembuluh darah, dokter perlu
menginjeksikan suatu zat kontras di lokasi target pembuluh darah. Zat kontras
membuat citra Rontgen pembuluh darah jadi tampak jelas.
Tindakan angiografi koroner pada saat ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk
dilakukan, pada pasien-pasien dengan penyakit jantung koroner tindakan
diagnostik ini merupakan standart emas dalam menegakkan diagnosa dan
intervensi selanjutnya yang harus dilakukan. Penjelasan/edukasi kepada pasien
dapat membantu pasien memahami tindakan serta keuntungan yang didapatkan
jika menjalani prosedur tersebut.
Pada saat tindakan angiografi koroner selesai dilakukan, dapat diketahui
bagian mana saja dari pembuluh darah koroner yang mengalami penyumbatan dan
dapat ditentukan tindakan selanjutnya sesuai dengan kemampuan pasien.
B. Saran
1. Peran perawat pada saat tindakan angiografi koroner sebaiknya dapat maksimal
untuk memenuhi kebutuhan psikologis pasien
2. Perawat harus cermat dan teliti pada saat melakukan pengkajian keperawatan
3. Perawat harus memperhatikan tindakan perawatan pasca pelaksanaan
kateterisasi untuk mencegah timbulnya komplikasi

29

DAFTAR PUSTAKA

David Zieve, Michael A, Cardiac catheterization. Division of Cardiology, Harborview


Medical Center, University of Washington Medical School, Seattle, Washington..
National Institutes of Health (U.S. Department of Health and Human Services)
available at www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003419.htm.
Hanafi,Idrus Alwi, Muin Rahman,S Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Penyadapan
jantung (Cardiac Catheterization) Jakarta: FKUI 2006, hal 1491-496.
Panggabean, Henri Apul. 2011. Perbedaan pengaruh ambulasi dini 2 jam dengan ambulasi 8
jam terhadap kejadian perdarahan pada pasien pasca angiografi koroner diagnostik di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Jakarta: Tesis Program Magister Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Kabo, Peter. 2010. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Arthur Selzer, M.D., William L. Anderson, M.D., Harold W. March, M.D.,Indications For
Coronary Arteriography Risks Vs. Benefits. California Medicine. The Western Journal
Of Medicine. 2001
Doenges E. Marilynn, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, cetakan I. EGC: Jakarta.
Guyton, Arthur C & John E.Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11. EGC:
Jakarta.
Wilkinson, J.M., Ahern, N.R, 2011. Buku saku diagnosis keperawatan NANDA NIC NOC,
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta

30

Você também pode gostar