Você está na página 1de 28

S

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Limbah medis adalah hasil buangan dari suatu aktivitas medis. Limbah medis harus sesegera
mungkin diolah setelah dihasilkan dan penyimpanan menjadi pilihan terakhir jika limbah tidak
dapat langsung diolah. Faktor penting dalam penyimpanan limbah medis adalah melengkapi
tempat penyimpanan dengan penutup, menjaga areal penyimpanan limbah medis tidak
tercampur dengan limbah non-medis, membatasi akses lokasi, dan pemilihan tempat yang tepat.
Pemisahan limbah medis berdasarkan kategori
Menurut peraturan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002, limbah medis dikategorikan
berdasarkan potensi bahaya yang terkandung di dalamnya serta volume dan sifat persistensinya
yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Kategori tersebut adalah:
- Limbah benda tajam
Seperti jarum suntik, perlengkapan intravena, pipet Pasteur, pecahan gelas, dan lain-lain.
- Limbah infeksius.
Limbah infeksius adalah limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi
penyakit menular (perawatan intensif) dan limbah laboratorium. Limbah ini dapat menjadi
sumber penyebaran penyakit pada petugas, pasien, pengunjung, maupun masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, limbah ini memerlukan wadah atau kontainer khusus dalam pengolahannya.
- Limbah patologi.
Limbah ini merupakan limbah jaringan tubuh yang terbuang dari proses bedah atau autopsi.
- Limbah sitotoksik
yaitu bahan yang terkontaminasi selama peracikan, pengangkutan, atau tindakan terapi
sitotoksik.
- Limbah farmasi
Yang merupakan limbah yang berasal dari obat-obatan yang kadaluarsa, obat-obat yang terbuang
karena tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang
pasien atau oleh masyarakat, obat-obatan yang tidak diperlukan lagi oleh institusi bersangkutan,
dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
- Limbah kimia
Yang dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, laboratorium, proses sterilisasi
dan riset.
- Limbah radioaktif
Yaitu limbah yang terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal dari penggunaan medis atau
riset radionukleotida.
gitahafas
Moderator

Subject: Re: Limbah Medis Tue Nov 22, 2011 7:44 pm


PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Tuesday, 03 March 2009 08:53 Subbid Pemantauan Pencemaran


Pada umumnya 10 - 15% limbah yang dihasilkan oleh sarana pelayan
kesehatan, adalah limbah medis. Limbah medis kebanyakan sudah
terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun dan bahan radioaktif yang
berbahaya bagi manusia dan makhluk lain di sekitar lingkungannya. Jadi
limbah medis dapat dikategorikan sebagai limbah infeksius dan masuk
pada klasifikasi limbah bahan berbahaya dan beracun. Untuk mencegah
terjadinya dampak negatif limbah medis tersebut terhadap masyarakat atau
lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan secara khusus.
KATEGORI LIMBAH
- Limbah Infeksius
Limbah yang dicurigai mengandung bahan patogen contoh kultur
laboratorium, limbah dari ruang isolasi, kapas, materi atau peralatan yang
tersentuh pasien yang terinfeksi, ekskreta
- Limbah Patologis
Jaringan atau potongan tubuh manusia, contoh bagian tubuh, darah dan
cairan tubuh yang lain termasuk janin
- Limbah Benda Tajam
Limbah benda tajam, contoh jarum, peralatan infus, skalpel, pisau,
potongan kaca
- Limbah Farmasi
Limbah yang mengandung bahan farmasi contoh obat-obatan yang sudah
kadaluwarsa atau tidak diperlukan lagi, item yang tercemar atau berisi obat
- Limbah Genotoksik
Limbah yang mengandung bahan dengan sifat genotoksik contoh limbah
yang mengandung obat-obatan sitostatik (sering dipakai dalam terapi
kanker) zat kimia genotoksik. Produk bersifat genotoksik yang paling
banyak digunakan untuk sarana pelayanan kesehatan:
a. Golongan Karsinogenik
Benzen
b. Obat Sitotoksik
Azatioprin, Klorambusil, Siklosporin, Siklofosfamid, Melfalan, Semustin,
Tamoksifen, Tiotepa, Treosulfan
c. Golongan yang kemungkinan karsinogenik
Azacitidine, bleomycin, carmustine, chloramphenicol, chlorozotocin,
cisplatin, dacarbazine, daunorubicin, dihydroxymethylfuratrizine (e.g.
Panfuran Sno longer in use), doxorubicin, lomustine, methylthiouracil,
metronidazole, mitomycin, nafenopin, niridazole, oxazepam, phenacetin,
phenobarbital, phenytoin, procarbazine hydrochloride, progesterone,

sarcolysin, streptozocin, trichlormethine


- Limbah Kimia
Limbah yang mengandung bahan kimia contoh reagen di laboratorium,
film untuk rontgen, desinfektan yang kadaluwarsa atau sudah tidak
diperlukan, solven. Limbah ini dikategorikan limbah berbahaya jika
memiliki beberapa sifat (toksik, korosif (pH12), mudah terbakar, reaktif
(mudah meledak, bereaksi dengan air, rawan goncangan), genotoksik
- Limbah dengan kandungan logam berat tinggi
Baterai, thermometer yang pecah, alat pengukur tekanan darah
- Wadah bertekanan
Tabung gas anestesi, gas cartridge, kaleng aerosol, peralatan terapi
pernafasan, oksigen dalam bentuk gas atau cair
- Limbah Radioaktif
Limbah yang mengandung bahan radioaktif contoh cairan yang tidak
terpakai dari terapi radioaktif atau riset di laboratorium
SUMBER LIMBAH MEDIS
Unit pelayanan kesehatan dasar
Unit pelayanan kesehatan rujukan
Unit pelayanan kesehatan penunjang ( laboratorium)
Unit pelayanan non kesehatan ( farmasi )
gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:14 am


PENANGANAN DAN PENGOLAHAN LIMBAH RUMAH SAKIT
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa
benda cair, padat dan gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian
dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari limbah rumah sakit.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang
Pokok-pokok Kesehatan, bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat
kesehatanyang setinggi-tingginya. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi
pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan yang berupa pencegahan dan
pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikankesehatan kepada
masyarakat (Siregar, 2001). Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat
dilakukan melalui berbagai macam cara, yaitu pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi,
penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu
dan anak. Selain itu, perlindungan terhadap bahaya pencemaran lingkungan
juga perlu diberi perhatian khusus (Said dan Ineza, 2002). Rumah sakit

merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan


pelayanan kesehatan dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang
dilakukan rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan
pemulihan keadaan cacatbadan serta jiwa (Said dan Ineza, 2002). Kegiatan
rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair,
padat dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan
penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari
limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan pelayanan rumah sakit (termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu
(Giyatmi. 2003) :
- Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.
- Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.
- Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.
- Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas
yang diperlukan.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan
menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan,
pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan
dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping itu
secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan
mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit. Sehingga sampai
saat ini sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas
pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus
disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan
lagi (Barlin, 1995).
1.2. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah
Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap,
pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non medik yang dalam
melakukan proses kegiatan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan
sosial, budaya dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud dapat
mempergunakan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar
terhadap lingkungan (Agustiani dkk, 1998).
Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan
masyarakat, yaitu limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan
Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada
alat penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan Iimbah
padat yang berasal dan rumah sakit dapat berfungsi sebagai media
penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun
masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran udara,
pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran

tersebut merupakan agen agen kesehatan lingkungan yang dapat


mempunyai dampak besar terhadap manusia (Agustiani dkk, 1998).
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok
Kesehatanmenyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak
memperoleh derajatkesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu
Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan pencegahan
dan pemberantasan penyakitpencegahan dan penanggulangan pencemaran,
pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat
dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003). Usaha peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidangkesehatan, maka usaha
pencegahan dan penanggulangan pencemaran diharapkan mengalami
kemajuan. Adapun cara-cara pencegahan dan penanggulangan pencemaran
limbah rumah sakit antara lain adalah melalui (Karmana dkk, 2003) :
- Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.
- Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.
Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya
berfungsi menerima limbah cair yang berasal dari berbagai alat sanitair,
menyalurkan melalui instalasi saluran pembuangan dalam gedung
selanjutnya melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung menuju
instalasi pengolahan buangan cair. Dari instalasi limbah, cairan yang sudah
diolah mengalir saluran pembuangan ke perembesan tanah atau ke saluran
pembuangan kota (Sabayang dkk, 1996). Limbah padat yang berasal dari
bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain sebagainya baik yang medis
maupun non medis perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan
petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terhindar
dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit
tersebut (Sabayang dkk, 1996).
1.3. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997
diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996
tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan
bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari.
Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per
hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat)
berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius
sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah
(limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah
sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan
betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan
kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit
(Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah
besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di

negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat
tidur rumah sakit per hari (Sebayang dkk, 1996). Sementara itu, Pemerintah
Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit (RS)
yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki
instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dariBadan
Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima
Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit
saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang
belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi
rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan, hanya
sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut,
digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ
tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut Kepala
BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran
yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya
setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran
akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan
laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis
yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan
limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu,
kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru
memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis
memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis.
Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi,
limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan
seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai
tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah
sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk,
1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas
Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena
pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit.
Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan
Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan
dengan benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus memiliki IPAL,
juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan
surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia
harus di bakar diincinerator. Persoalannya, harga incinerator itu cukup
mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya (Sebayang dkk,
1996). Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit,
dan jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari
kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian
manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami
masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran,
kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran
karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan
uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami

apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya
(Sebayang dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan
rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan
memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3,
infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan
dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan,
pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat
mencakup pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan
karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan
materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan
serta tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).
1.4. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta
Lingkungan
Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang
mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi
pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan
tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh
kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan
(Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa mengandung bermacam-macam
mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan
yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat
mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan
parameter BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah
sakit terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan
lain-lain. Limbah- limbah tersebut kemungkinan besar mengandung
mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang
menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah
sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang
memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan
peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib
buruk (Said, 1999). Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini
paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah ke dalam
pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara
pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah
rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminsai dan
trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini
(Shahib dan Djustiana, 1998) :
a. Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan
di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan
mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staff
rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko
tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang

kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan


semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
b. Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum
keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.
c. Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik
yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan
resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat
yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga
seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan
bagi staff maupun pasien di rumah sakit.
e. Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di
rumah sakit, pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.
1.5. Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume,
konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan,
melalui proses fisika, kimia atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan
limbah, upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu
mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang
meliputi upaya mengunangi limbah pada sumbernya, serta upaya
pemanfaatan limbah (Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di
Indonesia baru mulai digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan hal
baru, yang tujuannya untuk mengurangi jumlah limbah dan pengolahan
limbah yang masih mempunyainilai ekonomi (Shahib, 1999). Berbagai
upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana
yang terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara
lain reduksi limbah (waste reduction), minimisasi limbah (waste
minimization), pemberantasan limbah (waste abatement), pencegahan
pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source
reduction) (Hananto, 1999).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus
dilaksanakan pertama kali karena upaya ini bersifat preventif yaitu
mencegah atau mengurangi terjadinya limbah yang keluar dan proses
produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi
volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar
ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar, hal ini
banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan

serta mengurangi biaya pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif


murah (Hananto, 1999). Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi
limbah pada sumbernya adalah (Arthono, 2000) :
- House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam
menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran,
tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi
dengan sebaik mungkin. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan
berbagai jenis aliran limbah menurut jenis komponen, konsentrasi atau
keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau
mengurangi biaya pengolahan limbah.
- Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian
alat atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.
- Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar
persediaan bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan,
tetapi tidak berlebihan sehiugga tidak menimbulkan gangguan lingkungan,
sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
- Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan
yang kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang
cukup tinggi, sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit
baru atau penggantian sebagian unitnya.
- Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di
seluruh rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah
dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal
berikut (Haryanto, 2001) :
- Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna,
satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
- Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.
- Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai
limbah klinik.
- Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai
limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.
Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan
kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000)
:
1. Pemisahan limbah
- Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
- Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
- Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang
menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau
dibuang. Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga
sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat
secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini

dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong


dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain
2. Penyimpanan limbah
- Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3
bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas
- Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau
dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat
tertentu untuk dikumpulkan
- Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan
warna yang samatelah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
- Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan
hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya
3. Penanganan limbah
- Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah
ditutup
- Kantung dipegang pada lehernya
- Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai
sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu
mengangkut kantong tersebut
- Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang
bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya
(double bagging)
- Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang
dapat mencederainya di dalma kantung yang salah
Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam
kantung limbah
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode
warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor,
limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran
khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum)
kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya
dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada
kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan
klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat
dibuang ditempat penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus
dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan
ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga
tidak sampai membusuk.
Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana

dibanding dengan limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas
dari upaya penyehatan ruangan dan bangunan khususnya dalam
memelihara kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan
agar (Agustiani dkk, 2000) :
- Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);
- Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata
selama 24 jam.
- Angka kuman.
Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas kuman padao
gen (khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora gas gangrer.
Ruang perawatan dan isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara dan bebas
kuman patogen. Kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara tidak
melebihi konsentrasi maksimum yang telah ditentukan.
Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri.
insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu
1300 - 1500o C atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai
60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu
rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan
melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal dari rumah sakitlain.
Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan
antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan
klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai
(Rostiyanti dan Sulaiman, 2001). Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia,
limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah
pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut (Djoko, 2001) :
- Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
- Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
- Tambahkan lapisan kapur.
- Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan
sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
- Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.
1.6. Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis
Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakitumumnya banyak
mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat
membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah sakittersebut.
Dari sekian banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari
laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan
dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan aerasi atau
activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan
inveksikus, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum
"dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya,
ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya.
Setelah bahan ini digunakan. limbahnya dibuang (Suparmin dkk, 2002).

1.7. Teknologi Pengolahan Limbah


Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan
hanya berkisar antara masalah tangki septik dan insinerator. Keduanya
sekarang terbukti memiliki nilai negatif besar. Tangki septik banyak
dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat
mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang
hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga
dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat medis (Suparmin
dkk, 2002). Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran
pada sampah medis, juga bukan berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan
Lingkungan AS menemukan teknik insenerasi merupakan sumber utama
zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat
dioksin inilah yang menjadi pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh
(Suparmin dkk, 2002). Yang sangat menarik dari permasalahan ini adalah
ditemukannya teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi.
Salah satu metode sterilisasi limbah cair rumah sakit yang
direkomendasikan United States Environmental Protection Agency
(USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan
untuk mengelola limbah pabrik tekstil, cat, kulit, dan lain-lain (Christiani,
2002).
1.7.1. Ozonisasi
Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses
ozonisasi atau proses dengan menggunakan ozon pertama kali
diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai metode sterilisasi pada air minum
pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang
sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang
lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan ozonisasi untuk
proses sterilisasinya di Amerika (Berlanga, 1998).
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi
bahan makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara
pada ruangan kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak
terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah bereaksi
dengan senyawa disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07 V.
Selain itu, ozon telah dapat dengan mudah dibuat dengan menggunakan
plasma seperti corona discharge (Berlanga, 1998). Melalui proses
oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam
mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis,
Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites,
1998). Melalui proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding
bagian luar sel mikroorganisma (cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga
melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti hydrogen peroxy (HO2)
dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam air.
Seiring dengan perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak
diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik dan industri (Akers,

1993).
1.7.2. Ozonisasi Limbah cair rumah sakit
Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur,
laundry, toilet, dan lain sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam
equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor untuk dicampurkan dengan
gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi
mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada
limbah cair (Harper, 1986). Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian
dialirkan ke tangki koagulasi untuk dicampurkan koagulan. Lantas proses
sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada proses ini, polutan mikro, logam
berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat
diendapkan (Harper, 1986). Selanjutnya dilakukan proses penyaringan
pada tangki filtrasi. Pada tangki ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses
penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zatzat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh
permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap
maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus
diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air
yang keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan
aman ke sungai (Harper, 1986).
Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH),
sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi
(2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V). Hidroksil
radikal adalah bahan oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa
organik (fenol, pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh,
fenol yang teroksidasi oleh hidroksil radikalakan berubah menjadi
hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk kemudian teroksidasi kembali
menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa organik asam yang lebih
kecil yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di
sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan didapatkan
karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal berkekuatan
untuk mengoksidasi senyawa organik juga dapat dipergunakan dalam
proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma, menghilangkan bau, dan
menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian akan dapat
mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang
banyak terkandung dalam limbah cair rumah sakit (Wilson, 1986). Pada
saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan
zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila seluruh
permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan berhenti.
Maka, karbon aktif harus diganti baru atau didaur ulang dengan cara dicuci
(Wilson, 1986). Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan
dengan lampu ultraviolet atau hidrogen peroksida.Dengan melakukan
kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah hidroksil radikal dalam air
yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa organik. Teknologi
oksidasi ini tidak hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang

berada dalam air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga limbah


padat (sludge) dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%. Dengan
pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat pihak rumah sakittidak hanya dapat
mengolah limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air
limbah yang telah terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi
waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi
yang luas (Wilson, 1986). Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks
tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tetapi
juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa cemaran akibat
proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang
benar. Pengelolaan limbah rumah sakityang tidak baik akan memicu resiko
terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin pasien ke pekerja,
dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada
masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu untuk menjamin
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di
lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan
kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah rumah sakitsebagai salah astu
indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi
yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah
yang dihasilkan (Wilson, 1986).
Sumber: http://shantybio.transdigit.com/?Biology__Dasar_Pengolahan_Limbah:Penanganan_dan_Pengolahan_Limbah_Rum
ah_Sakit
gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:19 am


MENGELOLA LIMBAH MEDIS
20 Juli 2004 Wawasan
Langkah sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak
disterilisasi, maka barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak
heran bila banyak perawat dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena
infeksi cemaran limbah ini di tempatnya bekerja. Rumah sakit (RS)
merupakan tempat untuk menyembuhkan orang sakit. Namun, RS pun bisa
menjadi sumber penyakit karena di sana banyak penderita berbagai
penyakit, baik menular maupun tak menular. Karena itu, pengelolaan
limbah di RS sangat diperlukan, terutama mekanisme agar buangan dari RS
tak berdampak bagi para pekerja RS dan lingkungan sekitarnya. Di RS
sering kali terjadi infeksi silang (nosokomial). Sebagai contoh, limbah
medis tajam seperti alat suntik. Karena berhubungan langsung dengan
penderita, alat itu mengandung mikroorganisme, atau bibit penyakit. Bila
pengelolaan pembuangannya tidak benar, alat suntik dapat menularkan
penyakit kepada pasien lain, pengunjung RS dan puskesmas, petugas
kesehatan, maupun masyarakat umum. Kasubdit Analisis Dampak

Kesehatan Lingkungan (ADKL) Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular


dan Penyehatan Lingkungan (P2M-PL) Departemen Kesehatan, Samilan,
mengatakan, pengelolaan limbah RS yang tak baik, sangat berbahaya bagi
para pekerja di RS dan lingkungannya. ,''katanya di Jakarta dalam seminar
mengenai limbah RS, pekan lalu.
Limbah alat suntik
Ia mengungkapkan, RS merupakan tempat yang mudah bagi terjadinya
infeksi silang, terlebih limbahnya sangat berbahaya. Salah satu contohnya
adalah penggunaan ulang alat suntik. Penyuntikan yang tidak aman dapat
menularkan berbagai penyakit terutama hepatitis B, hepatitis C, dan
HIV/AIDS. Data P2M-PL menunjukkan, limbah alat suntik di Indonesia
khusus untuk imunisasi diperkirakan sekitar 66 juta per tahun. Dari jumlah
itu 36,8 juta di antaranya merupakan limbah alat suntik imunisasi bayi,
imunisasi ibu hamil/wanita usia subur sekitar 10 juta, imunisasi anak
sekolah (BIAS) sekitar 20 juta. Sedangkan limbah alat suntik secara kuratif
sekitar 300 juta per tahun. Menurut Soehatman Ramli SKM Dipl SM, staf
ahli pusat kajian dan terapan keselamatan dan kesehatan kerja (PKJTK3),
limbah RS dikategorikan atas berat, kepadatan, dan kandungannya.
Limbah padat berupa jarum suntik, jaringan, obat-obatan, kotoran manusia,
dan lainnya. Juga terdapat limbah cair dan gas. Limbah dari laboratorium
paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses
uji laboratorium tak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated pludge.
Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksius sehingga harus
disterilisasi atau dinormalkan sebelum dilempar menjadi limbah tak
berbahaya. Untuk foto rontgen, misalnya, ada cairan tertentu yang
mengandung radioaktif cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan,
limbahnya dibuang. Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS
dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni
berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali (reuse)
dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan
(treatment).
Ada dua hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan limbah yaitu
mutu dan keamanan. Langkah sterilisasi merupakan kewajiban rumah
sakit. Jika tidak disterilisasi, maka barang-barang itu berbahaya bila
disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat dan pegawai di RS berisiko
tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di tempatnya bekerja. Salah satu
cara mengatasi limbah medis adalah insinerasi atau proses pembakaran.
Namun, langkah itu tidak menyelesaikan masalah karena pembakaran
hanya mengubah volume limbah menjadi lebih kecil. Belum lagi debu yang
juga sangat berbahaya dan harus diimobilisasi atau ditentukan lagi tempat
pembuangannya yang kedap air. Debu hasil insinerasi tak terurai dan
materi tetap ada dan malah sangat berbahaya. Pembakaran barang-barang
seperti plastik menghasilkan zat kimia bernama dioksin. ''Dioksin sangat

berbahaya,'' kata Winata dari PT Hepasin Media Pratama.


Ada teknologi untuk mengatasi emisi dioksin, yaitu desorpsi suhu rendah
sebagai metode pengganti insinerator. Prinsipnya menggunakan metode
siklon dan aliran termal. Teknologi ini dikembangkan sendiri dengan
sistem rotary carboruzer atau prinsip X-flow. Sistem ini menggunakan
titanium oksida untuk mereduksi dioksin. Pembakaran, lanjut Eka,
digunakan dengan pemanasan tak langsung bersuhu rendah (200 derajat
Celsius hingga 350 derajat Celsius). Pemanasan ini tanpa oksidasi sehingga
meminimalkan dioksin. Konsumsi bahan bakarnya menerapkan sistem
hampa udara. Untuk limbah berupa jarum suntik, Presiden Direktur PT
MediBest Indonesia, Arief Wibowo menjelaskan, saat ini banyak yang
menerapkan disposable (jarum suntik sekali pakai). ''Namun, masih banyak
kebiasaan yang sulit dihilangkan, seperti menggunakan kembali jarum
tersebut, baru dibuang.''
Ia mengatakan, tempat pembuangan untuk jarum dan limbah padat lain dari
RS pun harus ada standarnya sendiri. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
mempunyai standar internasional untuk itu. ''Ketebalan, bentuk, dan jenis
bahan dari tempat pembuangan sudah ada standarnya,'' lanjut Arief. Di
Indonesia pada 2003 ada program yang mengembangkan proyek
penanganan limbah tajam dengan metode insenerasi di 21 kabupaten dari
enam provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan) terutama di pelayanan
kesehatan dasar (Puskesmas). Diharapkan proyek tersebut bisa
dikembangkan di seluruh Indonesia. Saat ini ada beberapa alat untuk
mengatasi limbah berupa jarum suntik. Yaitu, alat pemisah jarum, alat
penghancur jarum, tempat pembuangan jarum khusus (needle pit), syringe
safety box, dan insinerator SICIM.
gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:21 am


PENANGAN LIMBAH MEDIS TAJAM HARUS SEGERA DIBENAHI
Pada tahun 1999 WHO melaporkan bahwa di Perancis pernah terjadi 8
kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui luka, 2 kasus diantaranya
menimpa petugas yang menangani limbah medis. Di Indonesia dalam satu
laporan diketahui bahwa setiap bulan pemakaian alat suntik untuk
pengobatan mencapai 10 juta pelayanan. Padahal selain untuk pengobatan,
alat suntik juga digunakan dalam program imunisasi bagi bayi dan anakanak yang setiap tahunnyamencapai 4,9 juta anak dan setiap anak
memerlukan 8 suntikan. Dengan demikian jumlah limbah medis tajam di
Indonesia menjadi sangat tinggi. Oleh karena itu, penanganan limbah
medis tajam harus segera dibenahi, karena limbah ini sangat berbahaya
bukan hanya bagi pengunjung rumah sakit atau pelayanan kesehatan
lainnya, namun juga bagi petugas kesehatan serta masyarakat umum. Hal
itu penting karena, limbah alat suntik dan limbah medis lainnya dapat

2008-09-30

menjadi faktor risiko penularan berbagai penyakit seperti HIV/AIDS,


Hepatitis B dan C serta penyakit lain yang ditularkan melalui darah.
Demikian penegasan Menkes Dr. Achmad Sujudi ketika membuka
Lokakarya Penanganan Limbah Medis Tajam pada Pelayanan Kesehatan
Dasar (PKD) di Yogyakarta tanggal 1 Juli 2003. Lokakarya yang
berlangsung selama 3 hari diikuti 105 peserta dari Depkes Pusat, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi, Wakil dari Kantor Meneg Lingkungan Hidup,
pemerhati masalah limbah, produsen pengolah limbah lokal dan PATH
(Programme for Appropriate Technology in Health).
Kendati Departemen Kesehatan telah menyusun Standar Pelayanan
Minimal (SPM) untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan dasar yang
salah satunya adalah kewajiban rumah sakit dan Puskesmas untuk
mengolah limbahnya. Namun Menkes mengakui bahwa penerapannya
masih belum baik. Berdasarkan hasil assesment tahun 2002, diketahui
bahwa baru 49 % dari 1.176 rumah sakit (526 rumah sakit pemerintah dan
652 rumah sakit milik swasta) di 30 provinsi, baru 648 RS yang memiliki
incinerator dan 36% memiliki IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah)
dengan kondisi sebagian diantaranya tidak berfungsi. Lebih lanjut
ditegaskan, Depkes yang secara teknis memiliki kewenangan dalam
penatapan standar-standar pelayanan kesehatan telah mengeluarkan
berbagai ketentuan tentang penanganan limbah, terutama melalui
Kepmenkes No. 876/2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak
Kesehatan Lingkungan serta Permenkes No. 986/1992 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan.
Limbah medis sebagaimana limbah lainnya berkaitan dengan masalah
lingkungan. Karena itu dalam penanganan limbah medis ini dilakukan
bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang memiliki otoritas
dalam penerbitan produk hukum di bidang lingkungan hidup. Koordinasi
juga dilakukan dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
(BPPT) yang memiliki otoritas dalam pengembangan teknologi tepat guna
dalam pembuangan limbah medis. Selain itu, Depkes juga mengajak
BKKBN yang dalam pelayanannya juga menghasilkan limbah medis tajam.
Menkes menegaskan, di masa lalu penggunaan alat suntik baik untuk
pengobatan maupun imunisasi masih mengandalkan semprit atau syrenge
yang disterilkan melalui perebusan berulang-ulang sehingga hampir tidak
ditemui limbah alat suntik. Tetapi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, para dokter dan petugas kesehatan harus menggunakan alat
suntik disposable (sekali pakai) dan bahkan memakai autodisable syringe
(alat suntik sekali pakai yang betul-betul tidak dapat dipakai kembali),
mengakibatkan adanya limbah alat suntik yang dikategorikan limbah medis
tajam dan berbahaya.
Sementara itu Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi dalam keterangannya
kepada wartawan menjelaskan bahwa lokakarya yang diselenggarakan ini

merupakan bagian dari paket safe injection (suntikan yang aman). Dengan
lokakarya ini diharapkan penerapan safe injection dapat berkembang secara
sistematik di seluruh Indonesia melalui para peserta yang hadir. Program
imunisasi merupakan bagian dari upaya kesehatan dasar yang wajib
tersedia bagi masyarakat dengan mutu yang baik. Hal ini seirama dengan
prinsip hidup sehat dimana masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan
dengan mutu baik dalam lingkungan fisik yang sehat sehingga dapat
memotivasi masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Menkes
menyambut baik lokakarya ini dan berharap menjadi forum untuk
mempertemukan para pakar dari berbagai ilmu serta para praktisi baik
dalam maupun luar negeri. Dengan demikian hasilnya akan menjadi acuan
Depkes untuk menyusun konsep manajemen penanganan limbah medis
yang komprehensif di Indonesia.
Berita ini disiarkan oleh Bagian Humas Biro Umum dan Humas. Untuk
informasi lebih lanjut dapat menghubungi telp./fax. 5223002.
gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:31 am


PENANGANAN LIMBAH MEDIS YANG BAIK
Penyimpanan
Fasilitas medis harus memiliki fasilitas penyimpanan di pusat diberikan
oleh instansi yang bersangkutan mengelola pusat atau oleh Departemen
Kesehatan. Fasilitas Medis menghasilkan dua jenis limbah, yang harus
disimpan dan dibuang dengan cara yang berbeda. Ini dikenal sebagai
limbah benda tajam dan patologis. Benda tajam yang diidentifikasi sebagai
barang-barang seperti jarum, pisau dan jarum suntik. WHO / UNICEF
telah disetujui kotak kardus khusus benda tajam, yang harus diperoleh dari
UNICEF atau lembaga medis lain di wilayah itu. Benda tajam kotak harus
disegel dan disimpan dengan aman untuk mencegah pencurian atau
merugikan pemulung. Limbah patologis adalah setiap limbah, yang telah
melakukan kontak dengan cairan tubuh. Limbah ini harus disimpan di
dalam wadah dengan tutup dan pegangan (untuk memastikan transportasi
yang aman dan pembuangan mudah). kontainer harus aman disegel untuk
menghindari kontak dengan limbah terkontaminasi, dan untuk mengurangi
lalat.
Pengumpulan dan Transportasi
Limbah medis jika keadaan memungkinkan harus dibuang di tempat.
Transportasi ke lokasi pembuangan harus berada dalam wadah
penyimpanan, yang harus dirancang untuk memiliki pegangan dan tutup
penghapusan ketat pas tapi mudah. (Wikipedia ember dengan pegangan
dan tutup).
Pembuangan
Tanggung jawab untuk pembuangan limbah medis harus didefinisikan

secara jelas dan harus tetap dengan organisasi mengelola fasilitas jika
memungkinkan. Jika hal ini diamati tidak aman terjadi kemudian
menawarkan bantuan.
Benda tajam,
Benda tajam dapat dibakar jika ada proses pembakaran yang efektif (ini
biasanya tidak terjadi) atau dimakamkan di bawah lokasi pembuangan
limbah. Pemakaman adalah metode yang paling umum digunakan. Lubang
pembuangan harus cukup dalam untuk memastikan bahwa benda tajam
tidak dapat dijangkau oleh pemulung manusia atau hewan.
Patologis,
Semua sampah non-logam yang telah di kontak dengan cairan tubuh harus
dibakar pada suhu tinggi untuk benar-benar menghancurkan semua
patogen. Pemakaman tidak dianjurkan. Insinerator sementara atau
permanen bisa dibangun di dalam kompleks fasilitas medis. Lihat angka 3
& 4. Staf fasilitas kesehatan harus dilatih pada penggunaan yang benar
terhadap penggunaan insinerator sebagai salah dapat menyebabkan sampah
yang sedang terbakar kurang.
Insinerator sementara , ini dapat terbuat dari logam 200l diubah drum.
Drum harus dimodifikasi untuk membentuk ruang kebakaran, menolak
kamar dan cerobong asap. Setelah pembakaran abu secara berkala harus
dihapus dan dikubur di daerah yang cocok di tempat yang tidak akan
menimbulkan risiko pencemaran air tanah.
Insinerator tetap , untuk penggunaan jangka panjang insinerator dapat
dibangun dari batu bata.
Sumber: Ardhi2010, SWM Guideline Oxfam BG
http://kiathidupsehat.com/bagaimana-penanganan-limbah-medis-yangbaik/
gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:39 am


LIMBAH RUMAH SAKIT
Limbah domestik biasanya berupa kertas, karton, plastik, gelas, metal, dan
sampah dapur. Hanya 19% limbah domestik yang telah diolah dan
dimanfaatkan kembali, sisanya limbah domestik dari rumah sakit masuk ke
tempat pembuangan akhir (TPA). Limbah medis sangat penting untuk
dikelola secara benar, hal ini mengingat limbah medis termasuk kedalam
kategori limbah berbahaya dan beracun. Sebagian limbah medis termasuk
kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori
infeksius. Limbah medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah
farmasi, logam berat, limbah genotoxic dan wadah bertekanan masih
banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan limbah infeksius

Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik


kepada petugas, pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar
lingkungan rumah sakit. Limbah infeksius biasanya berupa jaringan tubuh
pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan
yang bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang
diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan lingkungan yang
tidak tepat akan beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa resiko
kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara
lain: penyakit menular (hepatitis,diare, campak, AIDS, influenza), bahaya
radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan resiko bahaya kimia.
Penaganan limbah medis sudah sangat mendesak dan menjadi perhatian
Internasional. Isu ini telah menjadi agenda pertemuan internasional yang
penting. Pada tanggal 8 Agustus 2007 telah dilakukan pertemuan High
Level Meeting on Environmental and Health South-East and East-Asian
Countries di Bangkok. Dimana salah satu hasil pertemuan awal Thematic
Working Group (TWG) on Solid and Hazardous Waste yang akan
menindaklanjuti tentang penanganan limbah yang terkait dengan limbah
domestik dan limbah medis. Selanjutnya pada tanggal 28-29 Pebruari 2008
dilakukan pertemuan pertama (TWG) on Solid and Hazardous Waste di
Singapura membahas tentang pengelolaan limbah medis dan domestic di
masing masing negara.
Pada saat ini masih banyak rumah sakit yang kurang memberikan perhatian
yang serius terhadap pengelolaan limbahnya. Pengelolaan limbah masih
terpinggirkan dari pihak manajemen RS. Hal ini terlihat dalam struktur
organisasi RS, divisi lingkungan masih terselubung di bawah bag. Umum.
Pemahaman ataupun pengetahuan pihak pengelola lingkungan tentang
peraturan dan peryaratan dalam pengelolaan limbah medis masih dirasa
minim. Masih banyak yang belum mengetahui tatacara dan kewajiban
pengelolaan limbah medis baik dalam hal penyimpanan limbah, incinerasi
limbah maupun pemahaman tentang limbah B3 sendiri masih terbatas.
Data hasil pengawasan di DKI Jakarta per Juni 2005 menunjukkan bahwa
dari 77 Rumah Sakit yang diawasi :
Hanya 32 RS (40 %) yang mempunyai alat ukur debit
Hanya 27 RS (35 %) yang melakukan swapantau
Hanya 25 RS (32 %) yang memenuhi BMAL
Disamping itu, hasil kajian terhadap rumah sakit yang ada di Bandung pada
tahun 2005 menunjukkan:
jumlah limbah rumah sakit yang dihasilkan di Bandung sebesar 3.493 ton
per tahun,
Komposisi limbah padat rumah sakit terdiri atas :
- 85% limbah domestik,
- 15% limbah medis terdiri atas: 11% limbah infeksius dan 4% limbah

berbahaya.
Limbah domestik yang sudah dimanfaatkan hanya sebesar 19%
Beberapa peraturan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan Rumah
Sakit antara lain diatur dalam :
- Permenkes 1204/Menkes/PerXI/2004, mengatur tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
- Kepmen KLH 58/1995, mengatur tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi
Kegiatan Rumah Sakit
- PP18 tahun 1999 jo PP 85 tahun 1999, mengatur tentang pengelolaan
limbah bahan berbahaya dan Beracun (B3)
- Kepdal 01- 05 tahun 1995 tentang pengelolaan limbah B3
Limbah medis termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan beracun
(LB3) sesuai dengan PP 18 thn 1999 jo PP 85 thn 1999 lampiran I daftar
limbah spesifik dengan kode limbah D 227. Dalam kode limbah D227
tersebut disebutkan bahwa limbah rumah sakit dan limbah klinis yang
termasuk limbah B3 adalah limbah klinis, produk farmasi kadaluarsa,
peralatan laboratorium terkontaminasi, kemasan produk farmasi, limbah
laboratorium, dan residu dari proses insinerasi.
Dalam pengelolaan limbah padatnya, rumah sakit diwajibkan melakukan
pemilahan limbah dan menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda
beda berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah domestik di masukkan
kedalam plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam kantong plastik
berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah
kimia/farmasi kedalam kantong plastik berwarna coklat dan limbah radio
aktif kedalam kantong warna merah. Disamping itu rumah sakit diwajibkan
memiliki tempat penyimpanan sementara limbahnya sesuai persyaratan
yang ditetapkan dalam Kepdal 01 tahun 1995. Pengelolaan limbah
infeksius dengan menggunakan incinerator harus memenuhi beberapa
persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun
1995. Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi
yang dikeluarkannya. Incinerator yang diperbolehkan untuk digunakan
sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi pembakaran dan
efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction Reduction Efisience)
yang tinggi.
Baku Mutu DRE untuk Incinerator
No--------Parameter-----Baku Mutu DRE
1. POHCs 99.99%
2. Polychlorinated biphenil (PCBs) 99.9999%
3. Polychlorinated dibenzofuran (PCDFs) 99.9999%
4. Polychlorinated dibenzo-p-dioksin 99.9999%
Disamping itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam menjalankan

incinerator adalah emisi udara yang dikeluarkannya harus sesuai dengan


baku mutu emisi untuk incinerator. Dalam penangan limbah medis ini
rumah sakit dapat mengelolanya sendiri atau dikelola oleh rumah sakit lain
atau pengelola lain yang sudah memperoleh izin dari Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Beberapa contoh rumah sakit yang sudah memperoleh
izin pengoperasian incineratornya dari Kementerian Negara Lingkungan
Hidup
No----------Rumah Sakit ---------Alamat
1. RSU Unit Swadana Kab Sumedang, Jabar
2. RSU Daerah Ajidamo R Rangkasbitung, Banten
3. RSUD Dr. M. Ashari Pemalang Pemalang, Jateng
4. RSUD Blambangan Banyuwangi, Jatim
5. RS Otorita Batam Sekupang, Batam
6. RSUD Ulin Banjarmasin, Kalsel
7. RS Tembakau Deli PRPN II Medan
8. RS Haji Jakarta
9. RS Prof Dr. Sulianti Saroso Jakarta
10. RS Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
11. RSD Cibinong Jawa Barat
Green Hospital
Dalam mendorong pengelolaan lingkungan rumah sakit yang ramah
lingkungan (Green Hospital), Kementerian Negara Lingkungan Hidup
mendorong Rumah Sakit agar dalam pengelolaannya tidak hanya bersifat
reaktif tetapi juga bersifat proaktif. Masih banyak rumah sakit yang dalam
mengelola lingkungannya hanya mengandalkan terhadap kecanggihan
teknologi end of pipe treatment dan belum memaximalkan opsi atau pilihan
pencegahan dan minimisasi limbah. Agar mencapai green hospital maka
rumah sakit ddidorong untuk tidak hanya mengelola limbahnya sesuai
degan peraturan saja tetapi juga menerapkan prisip 3R (Reuse, Recycle,
Recovery) terhadap limbah yang dihasilkannya serta melakukan
penghematan dalam penggunaan sumber daya alam dan energi seperti
penghematan air, listrik, bahan kimia, obat-obatan dan lain lain. Disamping
itu pengelola juga didorong untuk terus meningkatkan pengelolalaan
kesehatan lingkungan rumah sakitnya.
Tahap awal dalam pengelolaan limbah medis adalah melakukan
pencegahan pada sumbernya.
Semaksimal mugkin harus diupayakan pencegahan terhadap timbulnya
limbah yang seharusnya tidak terjadi. Upaya pencegahan pencemaran dan
minimisasi limbah yang sering dikenal dengan Produksi Bersih (Cleaner
Production) akan memberikan keuntungan bagi pengelola dan lingkungan.
Dengan berkurangnya jumlah limbah yang harus dimusnahkan dengan
incinerator maka akan mengurangi jumlah biaya operasionalnya dan akan
mengurangi emisi yang dikeluarkan ke lingkungan. Berikut adalah

beberapa upaya dalam melakukan pencegahan timbulan limbah:


- Pelaksanaan House Keeping yang baik, dengan menjaga kebersihan
lingkungan, mencegah terjadinya ceceran bahan. Dengan pelaksanaan good
house keeping yang baik di laboratorium dan kamar rawat akan
menghindarkan terjadinya ceceran bahan kimia ataupun racikan obat.
- Pemakaian air yang efisien akan mengurangi jumlah air yang masuk
kedalam instalasi pengolahan limbah cair (IPLC).
- Kalaupun timbulan limbah tidak bisa dihindari maka perlu dilakukan
segregasi atau pemilahan limbah sehingga limbah yang masih bisa
dimanfaatkan atau didaur ulang tidak terkontaminasi oleh limbah infeksius.
Contoh lainnya adalah pemisahan limbah klinis dengan limbah dari
kegiatan non klinis.
- Pelaksanaan preventif maintenance, yang ketat akan menghindarkan
terjadinya kerusakan alat yang pada akhirnya dapat mengurangi jumlah
limbah yang terjadi.
- Pengelolaan bahan-bahan atau obat-obatan yang tepat, rapi dan selalu
terkontrol sehingga tidak terjadi ceceran dan kerusakan bahan atau obat,
berarti mengurangi limbah yang terjadi.
Tahap selanjutnya terhadap limbah yang tidak bisa dihindari adalah
langkah segregasi atau pemilahan.
Pemilahan dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan limbah berdasarkan
karakteristiknya. Limbah domestik harus terpisah dari limbah B3 ataupun
limbah infeksius. Hal ini bertujuan agar jumlah ataupun limbah yang harus
ditreatmen secara khusus (limbah B3) tidak terlalu besar (minimal).
Limbah kimia dari laboratorium dan sisa racikan obat harus memiliki
tempat penampungan tersendiri agar tidak mengkontaminasi limbah cair
lainnya yang bukan limbah B3.
Tahap ketiga adalah pemanfaatan limbah.
Limbah yang masih bisa dimanfaatkan agar dipisahkan dari limbah yang
tercemar oleh limbah B3 ataupun limbah infeksius. Limbah domestik yang
dapat didaur ulang ataupun dimanfaatkan harus dipisah dalam tempat
terpisah. Limbah domestik berupa kertas/karton, plastik, gelas dan logam
masih mempunyai nilai jual untuk di reuse. Begitu pula dengan limbah
domestik berupa sampah organik bisa untuk kompos. Limbah plastik bekas
pengobatan lainnya seperti bekas infus yang tidak terkontaminasi limbah
B3 atau limbah infeksius dapat didaur ulang. Pada saat ini hanya sekitar
19% limbah domestik dari rumah sakit yang sudah dimanfaatkan untuk
didaur ulang. Limbah berbahaya dan beracun sendiri tidak menutup
kemungkinan untuk dapat dimanfaatkan ataupun untuk direuse. Beberapa
limbah kimia yang dapat dimanfaatkan kembali antara lain adalah limbah
radiologi seperti fixer dan developer dengan dikirimkan ke pihak ke-3 yang
berizin.

Selanjutnya adalah penghancuran terhadap limbah infeksius dan padatan


limbah B3 dengan incinerator.Incinerator yang digunakan adalah
incinerator yang mempunyai spesifikasi khusus sesuai dengan yang
disyaratkan dalam Kepdal No 03 Tahun 1995. Incinerator yang memiliki
nilai pembakaran dan penghancuran yang tinggi akan membakar habis
limbahnya dan hanya meninggalkan sedikit sekali abu. Abu yang
dihasilkan dapat dikirim ke industri jasa pengolah limbah atau
dimanfaatkan sendiri seizin Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Sumber: limbah rs
http://b3.menlh.go.id/pengelolaan/article.php?article_id=95
gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:42 am


CARA PENANGANAN LIMBAH MEDIS INFEKSIUS BERBAHAYA
SELASA, 30 AGUSTUS 2011
Dalam kehidupan sehari-hari , limbah merupakan sesuatu yang akrab
dengan kehidupan kita manusia. Bagaimana tidak, adanya limbah tidak
terlepas dari adanya aktivitas manusia hampir di segala bidang kehidupan
mulai dari rumah tangga hingga tempat-tempat fasilitas atau layanan
umum. Meskipun bagi beberapa kelompok manusia, limbah berarti berkah.
Namun bagi kebanyakan manusia keberadaan limbah lebih banyak dan
lebih sering menimbulkan masalah. Salah satu limbah yang bisa menjadi
masalah bagi manusia adalah limbah medis infeksius berbahaya. Limbah
medis berarti limbah atau sampah-sampah yang dihasilkan dari aktifitas
manusia dalam bidang pengobatan. Baik dari rumah-rumah praktik dokter /
petugas medik lainnya hingga rumah sakit-rumah sakit besar.. Sedangkan
infeksius berarti bisa menimbulkan "penularan bibit penyakit" dari orang
yang terinfeksi bibit penyakit ( pasien ) kepada orang lain yang
berhubungan dengannya. Dalam hasl ini salah satunya adalah petugas
medis seperti : dokter, bidan, perawat termasuk petugas kebersihan di
tempat layanan kesehatan. Oleh karena itu orang-orang yang terlibat dalam
kegiatan medis perlu memperhatikan cara penanganan limbah medis
infeksius berbahaya yang dikenal dengan istilah pemberantasan infeksi
silang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberantasan infeksi
silang ,antara lain :
- Selalu memasukkan alat suntik bekas ( yang telah digunakan untuk
menginjeksi ) ke dalam wadah tertentu ( disposafe box ) segera setelah
pemakaian.
- Selalu menggunakan alat suntik sekali pakai yang baru untuk setiap satu
penyuntikan ( 1 al sun = 1 pasien )
- Selalu memusnahkan disposafe box pada tempat pembakaran tersendiri,
tidak dicampur dengan limbah-limbah lainnya.
- Tidak boleh menggunakan kembali alat suntik yang telah dipakai untuk
menyuntik pasien ataupun hanya dengan mengganti jarumnya saja

- Tidak melepas / mengganti dan menutup kembali jarum suntik bekas


sebelum dimasukkan ke dalam disposafe box
- Tidak memegang jarum suntik yang telah digunakan tanpa proteksi yang
aman, semisal sarung tangan dari karet
Itulah beberapa hal yang perlu dan harus diperhatikan dalam penangan
limbah medis infeksius berbahaya. Semoga bermanfaat, meskipun kita
bukan termasuk orang yang terlibat dalam bidang medis sekalipun.
Sumber: http://bangwahhid.blogspot.com/2011/08/cara-penangananlimbah-medis-infeksius.html
gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:45 am


LIMBAH MEDIA TAK TERPANTAU
Asep Candra | Kamis, 5 Agustus 2010 | 10:18 WIB
JAKARTA, KOMPAS - Pertambahan jumlah rumah sakit, klinik
kesehatan, laboratorium medis, dan puskesmas menambah jumlah limbah
medis. Namun, penanganan limbah medisberupa peralatan medis, sisa
jaringan tubuh atau cairan pasien, dan cairan kimiatidak terpantau.
Sebagian limbah itu dibuang tanpa pengolahan. Asisten Deputi Urusan
Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3) dan Limbah B3 ManufakturAgroindustri Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Emma Rachmawaty
menyatakan, kebanyakan rumah sakit, klinik, atau laboratorium belum
memisahkan limbah medis yang dihasilkan. Proses pengolahan limbah
medis tidak terpantau sehingga sulit memastikan volume limbah medis
yang dibuang tanpa pengolahan.
Sebagian limbah medis rumah sakit, klinik, atau laboratorium dibuang
tanpa pengolahan. Ada yang tercampur sampah domestik dan terbuang ke
tempat pembuangan akhir atau TPA. Ada limbah rumah sakit yang dibuang
ke sungai. Ada pula limbah medis yang diperjualbelikan tanpa izin.
Padahal, limbah medis termasuk B3, kata Emma dalam seminar limbah
medis di Jakarta, Rabu (4/ . Profil Kesehatan Indonesia 2008 yang
diterbitkan Kementerian Kesehatan menyatakan, jumlah rumah sakit di
Indonesia pada 2008 mencapai 1.372 unit. Sementara jumlah puskesmas
telah mencapai 8.548 unit. Tidak diperoleh jumlah klinik dan laboratorium.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) Harnowati menyatakan, sulit memantau jumlah klinik dan
laboratorium swasta di DIY. Jumlahnya telah berlipat-lipat dibandingkan
10 tahun lalu. Aktivitas mereka tentu saja menghasilkan limbah medis dan
itu belum terpantau, kata Harnowati.
Kepala Bidang Industri Logam, Elektronika, dan Mesin KLH Anton
Sardjanto menyatakan, sepanjang Januari hingga Juli 2010, pihaknya
memantau 16 rumah sakit kelas A di empat provinsi. Semua rumah sakit

itu memiliki instalasi pengolahan air limbah. Namun, kandungan amonium,


fosfat, dan chemical oxygen demand dalam air limbah sebagian rumah
sakit melebihi baku mutu, kata Anton. Direktur Bali Fokus Yuyun
Ismawati menyatakan, 49 persen dari rumah sakit di Indonesia memiliki
insinerator, tetapi sebagian besar insinerator itu suhu pembakaran
maksimalnya kurang dari 800 derajat celsius. Padahal, pemusnahan
limbah medis dengan suhu kurang dari 800 derajat celsius berisiko
mencemari udara dengan dioksin. Jika pemusnahan juga membakar limbah
medis yang mengandung PVC, pemusnahan dengan insinerator akan
mencemari udara dengan dioksin, kata Yu
gitahafas
Moderator

Subject: Re: Limbah Medis Sat Nov 26, 2011 10:47 am


KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 432/MENKES/SK ...
1 keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
432/menkes/sk/iv/2007 tentang pedoman manajemen kesehatan dan
keselamatan kerja (k3) di rumah sakit menteri ...
http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%20432IV%20K3%20RS.pdf

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:

Subject: Re: Limbah Medis Tue Mar 06, 2012 7:36 pm


KEMENKES TAK TEMUKAN LIMBAH MEDIS YANG DIBUANG
SEMBARANGAN
Selasa, 06/03/2012 16:02 WIB Putro Agus Harnowo - detikHealth
Jakarta, Limbah medis dari 2 rumah sakit yakni RS Pasar Rebo dan RS
Mitra Keluarga Depok dikabarkan beredar di masyarakat. Namun hasil
inspeksi mendadak oleh Kementerian Kesehatan tidak menunjukkan
adanya penyimpangan di kedua rumah sakit. Sejak diberitakan di salah satu
media nasional Jumat silam, beredarnya limbah-limbah rumah sakit di
masyarakat tak ayal menimbulkan keresahan di masyarakat. Dua rumah
sakit yang diberitakan menjadi sumber limbah adalah RS Pasar Rebo dan
RS Mitra Keluarga, Depok. "Kami segera melakukan pengecekan ke
lapangan dan memeriksa seluruh kamar di rumah sakit, juga memeriksa
pengelolaan limbahnya. Tapi tidak ditemukan adanya penyimpangan. Kami

2008-09-30

tidak tahu dari mana sumber pemberitaan media tersebut," kata Indra
Kusuma, pengawas limbah dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemda
Depok dalam inspeksi Kementerian Kesehatan RI di RS Mitra Bersama,
Selasa (6/3/2012).
RS Mitra milik swasta ini telah bekerjasama dengan pihak ketiga yang
bernama PT Wastex Internasional yang bermarkas di Cilegon untuk
mengelola limbah medisnya. Hasil pemeriksaan manifest sendiri
menunjukkan tidak ada kejanggalan. BLH melakukan pemeriksaan limbah
rumah sakit tiap 6 bulan sekali. Sedangkan RS Mitra Keluarga melaporkan
limbahnya ke BLH tiap 3 bulan sekali. Meskipun demikian, pemberitaan
mengenai peralatan media ini tetap menjadi permasalahan serius. Pada
tahun 2005 lalu, 3 rumah sakit di Depok terbukti telah lalai dalam
pengolahan limbahnya dan menyebabkan kejadian serupa.
"Kami akan tetap menyelidiki mengenai penyalahgunaan limbah-limbah
ini. Tapi dari hasil inspeksi sementara di lapangan, kami tidak menemukan
adanya kejanggalan-kejanggalan. Instansi terkait akan kami kerahkan
untuk mencari tahu asal-usul limbah rumah sakit tersebut," kata dr.
Supriyantoro, Sp.P, MARS, Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Diduga, beredarnya limbah rumah sakit di
masyarakat ini disebabkan adanya beberapa rumah sakit di Jakarta yang
tidak memilki alat pengelolaan limbah sendiri. Akibatnya, kemungkinan
penyalahgunaan limbah oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab
masih terbuka.

gitahafas
Moderator

Number of posts:
22844
Age: 56
Location: Jakarta
Registration date:
2008-09-30

Subject: Re: Limbah Medis Sun Mar 18, 2012 8:14 pm


LIMBAH RUMAH SAKIT JANGAN SAMPAI JATUH KE TANGAN
MASYARAKAT
Jakarta, 6 Maret 2012
Beberapa waktu lalu, pemberitaan mengenai sampah medis yang
ditemukan di pasaran sebagai mainan anak-anak, menjadi perhatian publik.
Seperti diketahui bahwa seharusnya sampah medis seperti alat infus, alat
suntik, dan sarung tangan harus dimusnahkan setelah digunakan, jangan
sampai jatuh ke tangan masyarakat. Demikian disampaikan Menteri
Kesehatan RI, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih MPH, Dr.PH di sela-sela
sambutannya saat membuka Konferensi Nasional I Promosi Kesehatan
Rumah Sakit bertema New Challenges of Health Promoting Hospital in
Indonesia di Bandung, Selasa malam (6/3/12). Apabila rumah sakit belum
memiliki alat penanganan medis sendiri, harus memiliki mekanisme
kerjasama dengan rumah sakit yang lebih besar agar dapat ditangani. Ini
harus diupayakan, ujar Menkes. Pada kesempatan tersebut Menkes
menegaskan, tiga hal yang harus diperhatikan oleh para penyelenggara
pelayanan kesehatan, khususnya penyelenggara rumah sakit, bahwa sarana
pelayanan kesehatan harus menjadi tempat yang aman bagi para

pekerjanya, pasiennya, dan masyarakat di sekitarnya.


Tanggapan mengenai permasalahan tersebut juga diungkapkan oleh
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK), dr. Supriyantoro, Sp.P,
MARS saat melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke sejumlah rumah
sakit di wilayah DKI Jakarta dan Depok, Jawa Barat, guna melakukan
pengecekan secara langsung standar pembuangan dan pengolahan limbah
yang dilakukan rumah sakit pada Selasa siang (6/3/12). Secara garis besar,
sistem pembuangan dan pengolahan limbah rumah sakit sudah berjalan,
tetapi masih harus disempurnakan. Yang harus diperhatikan adalah jangan
sampai sampah medis tercecer, apalagi dimanfaatkan oleh orang-orang
yang tidak bertanggungjawab, bahkan sampai berdampak pada penyakitpenyakit yang dapat membahayakan masyarakat, jelas Dirjen BUK.
Menurut Dirjen BUK, bila terdapat rumah sakit yang melanggar standar
pembuangan limbah dan pengelolaannya, Kementerian akan menindak
tegas pengelola rumah sakit tersebut. Limbah RS berbeda dengan limbah
rumah tangga. Sebab limbah RS yang tidak dikelola dengan baik, dapat
menimbulkan penyakit, tandas Dirjen BUK.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat
menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669,
Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567 dan 081281562620,
atau alamat e-mail info@depkes.go.id, kontak@depkes.go.id.

Você também pode gostar