Você está na página 1de 38

BAB I

PENDAHULUAN

Ada beberapa pengertian mengenai Megakolon, namun pada intinya sama


yaitu penyakit yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus
sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya sphincter rectum
berelaksasi. Hirschsprung atau Megakolon adalah penyakit yang ditandai dengan
tidak adanya sel sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon dan
ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta
tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit Hirschsprung atau Megakolon
adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus,
dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki
laki dari pada perempuan.1,2
Pasien dengan penyakit Hirschprung pertama kali dilaporkan pada tahun
1961 oleh Frederick Ruysch, namun seorang dokter anak bernama Harold
Hirschprung pada tahun 1886 yang mempublikasikan penjelasan klasik mengenai
megakolon kongenital ini.3,4 Penyakit hirschsprung atau megakolon aganglionik
bawaan disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna
dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Penyakit
hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering
pada neonatus, dengan insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki laki
lebih banyak di banding perempuan (4:1) dan Menurut catatan Swenson, 81,1 %
dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.4 Penyakit hirschsprung mungkin
disertai dengan cacat bawaan lain termasuk salah satunya sindrom down serta
kelainan kardiovaskuler.2
Megakolon non kongenital juga dapat terjadi sebagai penyulit dari
penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon toksik dengan
paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat segmen usus
tersebut, yang disebabkan oleh progresivitas penyakit di dinding yang dapat
dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen barium.
Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok toksik.5-8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi usus besar manusia

Usus besar atau kolon kira-kira 1,5 meter adalah sambungan dari usus
halus dan mulai di katup iliokolik atau ilioseikal yaitu tempat sisa makanan lewat.
Reflek gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung dan menimbulkan
peristaltic didalam usus besar. Refleks ini menyebabkan defekasi. Kolon mulai
pada kantong yang mekar padanya terdapat appendix vermiformis.9
Fungsi serupa dengan tonsil sebagian terletak di bawah sekum dan
sebagian dibelakang sekum atau retrosekum. Sekum terletak di daerah iliaka
kanan dan menempel pada otot iliopsoas. Disini kolon naik melalui daerah daerah
sebelah kanan lumbal dan disebut kolon asendens. Dibawah hati berbelok pada
tempat yang disebut flexura hepatica, lalu berjalan melalui tepi daerah epigastrik
dan umbilical sebagai kolon transvesus. Dibawah limpa ia berbelok sebagai
fleksura sinistra atau flexura linealis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan
lumbal sebagai kolon desendens. Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang
disebut flexura sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis, dan
kemudian masuk pelvis besar menjadi rectum.9
2

Gambar 2. Anatomi rectum dan sigmoid

Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dan,
dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan.9,10
Persyarafan motorik sphincter ani interna berasal dari serabut saraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (n.splanchnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensarafi sphincter ani
eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanchnicus (parasimpatis). sehingga,

kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanchnicus pelvik


(saraf parasimpatis).9,10

Gambar 3. Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus

Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :


1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle

: terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler

3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa


Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3
pleksus tersebut. Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan
dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah
absorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon
sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah
terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml
air per hari, namun demikian kapasitas absorpsi air usus besar adalah sekitar
1500-2000 ml/hr. Berat akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 gram,
dan 80 - 90 % diantaranya adalah air. 9,10

Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi
dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam

kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.10

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :9,10


1. Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik
mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila sphincter eksternal
tenang maka feses keluar.
2. Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal
cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan
rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan sphincter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Sphincter anus individu duduk ditoilet atau depan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma
yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator
ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi
normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam
perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika
refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi
secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan
feses.

Gambar 4. Fisiologi defekasi

Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.


Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru
dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks,
namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan: Tahap I. Tahap awal ini adalah
berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring dengan
frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.
Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna
secara involunter.

Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal

secara involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan


relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.

Tahap IV. Tahap

terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan
menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi.1

MEGAKOLON

Megakolon adalah dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai oleh
paralisis dari peristaltik usus. Selama proses pencernaan makanan, otot otot pada
kolon membawa makanan dengan gerakan peristaltiknya. Ketika kita makan, sel
saraf pada dinding usus (sel ganglion dari pleksus saraf) yang menerima sinyal
dari otak dan akan menghantarkan informasi ke otot intestinal untuk mendorong
isi kolon (feses). Pada keadaan dimana kolon kehilangan atau terjadinya
perkembangan abnormal dari sel saraf, isi kolon tidak dapat terdorong dari
segmen ini.5,11
Pada kebanyakan kasus, penyakit ini terbatas pada rectum atau region
rectosigmoid. Kolon menjadi terhalang oleh feses sebagian maupun total sehingga
terjadi konstipasi. Obstruksi didalam kolon menyebabkan tekanan didalamnya
menjadi meningkat (diatas zona tanpa ganglion atau area obstruksi), relaksasi
dinding usus (ukuran usus lebih besar dari pada normal) serta stagnasi feses akibat
obstruksi ini menjadi media infeksi bakteri dan akumulasi toksin yang dapat
menyebabkan masalah yang serius.7,8,11
Pada kasus yang lebih ekstrim, feses dapat berkonsolidasi menjadi massa
yang keras didalam kolon, yang disebut dengan fecaloma, yang membutuhkan
operasi untuk mengeluarkannya. Kolon manusia dikatakan membesar secara
abnormal bila diameternya mencapai lebih dari 12 cm di caecum, lebih dari 6,5
cm di rectosigmoid dan lebih dari 8 cm di kolon ascenden.7
Megakolon dapat akut maupun kronik. Juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan etiologinya, berdasarkan penyebabnya, megakolon dibagi menjadi 2
yaitu megakolon kongenital yang sering disebut dengan penyakit Hirschsprung
serta megakolon non kongenital atau akuisita yang biasanya terjadi akibat dari
beberapa penyakit tertentu.1,4
Tanda dan gejala eksternal dapat berupa konstipasi yang memanjang, perut
kembung, nyeri perut, teraba massa feses yang keras. Pada megakolon toksik
dapat ditemukan tanda-tanda berupa demam, kadar kalium darah yang rendah,
takikardia dan shock. Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang

penting pada penyakit megakolon. Foto polos abdomen sangat berguna untuk
screening awal, setelah foto polos abdomen dapat menemukan adanya megakolon,
dapat digunakan barium enema untuk pemeriksaan selanjutnya dengan beberapa
alasan:1,11
1. Secara akurat dapat menentukan besarnya kolon.
2. Membantu untuk memisahkan antara adanya megakolon, megarektum,
atau keduanya.
3. Membantu untuk melihat anatomi usus besar, dapat digunakan untuk
pencernaan tindakan terapi selanjutnya

MEGAKOLON KONGENITAL (HIRSCHSPRUNG DISEASE)


Definisi
Penyakit Megakolon kongenital atau penyakit Hirschsprung adalah suatu
kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sphincter ani interna ke arah
proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan
setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase
usus

fungsional. Penyakit Hirschprung merupakan suatu penyumbatan yang

terjadi pada usus besar karena tidak terdapatnya sel ganglion Auerbach dan
Meissner. Penyakit ini lebih dikenal dengan Aganglionalis Kongenital.2,11
Kadang seseorang menderita konstipasi yang begitu parah sehingga
pergerakan usus hanya terjadi beberapa hari sekali atau kadang hanya sekali
dalam seminggu. Keadaan ini menyebabkan sejumlah besar feses menumpuk di
kolon, kadang kadang menyebabkan distensi kolon dengan diameter 3 4 inci.
Keadaan ini disebut megakolon atau penyakit Hirschsprung.10

Gambar 5. Hirschsprung disease


Penyebab paling sering megakolon adalah tidak adanya atau defisiensi sel
sel ganglion pada pleksus mienterikus dalam sebuah kolon sigmoid. Akibatnya
baik refleks defekasi maupun motilitas peristaltik kuat tidak terjadi di daerah usus
besar ini. Sigmoid sendiri menjadi kecil dan hampir spastic sementara feses
tertumpuk di proksimal daerah ini, menyebabkan megakolon pada kolon asenden,
transversus dan desenden.10

Epidemiologi
Penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus. Diperkirakan satu
diantara 5.000 10.000 kelahiran. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak
laki laki (80%) dari pada wanita dan tersering pada neonatus serta terjadi pada
bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg.2,6
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah lakilaki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down
Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya
fekaloma,

maka

dijumpai

gangguan

urologi

seperti

vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai

refluks
1/3

kasus).12

Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Megakolon itu sendiri
adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada
anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam
dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa
dinding plexus.2,3
Beberapa peneliti menyatakan bahwa Hirschsprung disebabkan karena
kekurangan migrasi sel saraf untuk berkembang. Sebuah penelitian menilai neural
cell adhesion molecules (NCAM) pada Hirschsprung. Usus yang mengandung sel

ganglion (kelompok control dan kelompok Hirschsprung) memiliki jumlah


NCAM yang banyak, sedangkan tidak terdapat NCAM pada segmen
aganglionosis. NCAM dipercaya berperan penting dalam migrasi sel saaraf ke
lokasi tertentu selama masa embryogenesis.5,6
Patofisiologi 1,11
-

Pada penyakit hirschsprung terdapat absensi ganglion Meissner dan


ganglion Auerbach dalam lapisan dinding usus (aganglionik parasimpatik
intramural), mulai dari sfingter ani kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen terbatas di daerah
rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitar 5% kurang dapat
mengenai seluruh usus sampai pylorus.

Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus


yang bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltis tidak mempunyai daya
dorong, tidak propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam
proses evakuasi feses ataupun udara. Akibat gangguan defekasi ini kolon
proksimal yang normal akan melebar oleh feses yang tertimbun,
membentuk megakolon. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan
pasase usus. Tiga tanda yang khas, yaitu keterlambatan evakuasi
mekonium, muntah hijau dan distensi abdomen.

Gambar 6. Patofisiologi terjadinya megakolon

10

Penampilan makroskopik
Bagian usus yang tidak berganglion terlihat spastic, lumen terlihat kecil.
Usus dibagian proksimalnya disebut daerah transisi, terlihat mulai melebar
dari bagian yang menyempit. Usus di bagian proksimalnya lagi lebih
melebar lagi dan umumnya mengecil kembali mendekati kaliber lumen
usus normal.

Patologi
Akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus, meluas ke proksimal
dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi. Tidak adanya
inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal.2
Segmen aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 755 penderita; 10%
pada seluruh kolon tanpa sel sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung ujung
saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi.
Secara histology, tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan
ditemukan berkas

berkas

saraf

yang hipertrofi

dengan

konsentrasi

asetilkolinesterase yang tinggi di antara lapisan lapisan otot dan pada


submukosa. Gangguan ini dapat direproduksi pada binatang percobaan dengan
merusak reseptor endothelin B.2

Klasifikasi
Hirschsprung
yaitu:

diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen aganglionnya,

1,3,11

1. Hirschsprung short segment / Hirschsprung klasik (75%)


Daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit
hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak
laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan.
2. Long segment Hirschsprung (20%)

11

Daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid bahkan dapat


mengenai seluruh kolon atau usus halus.
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)
Bila aganglionik mengenai seluruh kolon
4. Aganglionik universal : seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.

Manifestasi klinis
Gejala gejala klinis penyakit hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan:
-

Terlambatnya pengeluaran mekonium


Sembilan puluh Sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan
mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Peyakit hirschsprung harus
dicurigai apabila seseorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak bisa
terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja.
Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi
selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis.1,2,11

Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia


Terjadi karena enteropati pembuang protein, sekarang adalah tanda yang
kurang sering karena penyakit hirschsprung biasanya sudah dikenali pada
awal perjalanan penyakit. Bayi

yang minum ASI tidak dapat

menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula. 1,2,11


-

Kegagalan mengeluarkan tinja


Keadaan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan perut
menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen
meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa
terganggu. Stasis memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat
menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficle, Staphylococcus aureus,
anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda tanda obstruksi
usus besar. Pengenalan dini penyakit hirschsprung sebelum serangan
enterokolitis sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
1,2,11

Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja yang


semakin berat, yang mulai pada umur minggu minggu pertama. Massa

12

tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan
rectum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan
berupa butir butir kecil, seperti pita atau berkonsistensi cair; tidak ada
tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada penderita
dengan konstipasi fungsional. 1,2,11
-

Pemeriksaan rectum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai


dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten
obstruksi intestinum akibat tinja yang tertahan mungkin disertai dengan
nyeri dan demam.2,11

Diagnosis
Penegakkan diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang yaitu :
-

Neonatus hampir selalu dengan berat badan normal, sangat jarang


prematur. Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis
perut membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis.1,2

Datang ke rumah sakit dengan obstruksi usus, dengan tanda tanda


keterlambatan evakuasi mekonium (lebih dari 24 jam pertama setelah
lahir), muntah hijau serta distensi abdomen. Obstruksi ini dapat mereda
spontan atau akibat colok dubur yang dilakukan pada waktu pemeriksaan.
Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rectum yang
sempit.1,2
13

Dikatakan mereda bila neonatus dapat defekasi dengan keluar mekonium


bercampur udara, abdomen kempes dan tidak muntah lagi. Kemudian
dalam beberapa hari lagi neonatus menunjukkan tanda tanda obstruksi
usus berulang. Selanjutnya neonatus secara klinis menunjukkan gejala
sebagai obstipasi kronik dengan disertai abdomen yang buncit.1,11

Gejala klinis dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau baru
menarik perhatian orang tua setelah beberapa bulan.2

Pemeriksaan Manometri anorektal


Mengukur tekanan sfingter ani interna saat balon dikembangkan di rectum.
Pada individu normal, penggembungan rectum mengawali refleks penurunan
tekanan sfingter interna. Pada penderita penyakit hirschsprung, tekanan gagal
menurun, atau ada kenaikan tekanan paradox karena rectum dikembungkan.
Ketepatan diagnostik ini lebih dari 90%, tetapi secara teknis sulit pada bayi
muda.2,11

Gambar 7. Pemeriksaan manometri anorektal

Pemeriksaan Radiologi
-

Pemeriksaan foto polos abdomen: terlihat tanda tanda obstruksi usus


letak rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan gambaran
usus halus. 2,5,11

Pemeriksaan foto dengan barium enema: terlihat lumen rekto sigmoid


kecil, bagian proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian melebar.

14

Permukaan mukosa di bagian usus yang melebar tampak tidak teratur


karena proses enterokolitis.
Barium enema tidak perlu diteruskan ke arah proksimal bila tanda tanda
penyakit hirschsprung yang khas seperti diatas sudah terlihat. Apabila
tanda tanda yang khas tersebut tidak dijumpai, pemeriksaan barium
enema diteruskan untuk mengetahui gambaran kolon proksimal. Mungkin
ditemukan penyebab yang lain.
Pada penyakit hirschsprung dengan gambaran foto barium enema yang
tidak jelas dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dibuat 24 sampai 48
jam setelah foto barium enema pertama. Pada foto retensi barium masih
terlihat di kolon proksimal, tidak menghilang atau kumpul di daerah distal
dan mungkin dijumpai tanda tanda khas penyakit hirschsprung yang
lebih jelas serta gambaran mikrokolon pada hirschsprung segmen panjang.
2,5,11

Gambar 8. Dilatasi colon pada pemeriksaan dengan barium enema

Pemeriksaan patologi anatomi


Pemeriksaan patologi anatomi dimaksudkan untuk mendeteksi adanya ganglion di
lapisan submukosa dan di antara dua lapisan otot. Serta melihat serabut serabut
saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomi didapat dari biopsy
hisap dari mukosa rectum, pemeriksaan hanya untuk melihat ganglion Meissner di
lapisan sub-mukosa dan melihat penebalan serabut serabut saraf. Pada penyakit
hirschsprung tidak dijumpai ganglion dan terdapat penebalan serabut serabut
15

saraf. Biopsi seluruh lapisan rectum dapat dilakukan saat operasi untuk
memastikan diagnosis dan derajat keterlibatan. 2,5,11

Pemeriksaan histokimia
Pada pemeriksaan histokimia aktivitas kolinesterase biasanya meningkat.
Biopsy isapan rectum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea
dentate untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir anus.
Biopsy harus mengandung cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya
sel

ganglion,

biopsy

dapat

diwarnai

untuk

asetilkolinesterase,

untuk

mempermudah interpretasi. Penderita dengan aganglionosis menunjukkan banyak


sekali berkas saraf hipertrofi yang diwarnai positif untuk asetilkolinesterase dan
tidak ada sel ganglion. 2,5,11

Diagnosis banding
Banyak kelainan usus dengan penampilan klinik obstruksi yang menyerupai
penyakit hirschsprung atau sumbatan anorektum oleh mekonium yang sangat
padat, mekonium ileus dan sebagainya.
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,
tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya
normal.2,11
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Auerbach.1,11

Terapi
Prinsip

penanganan

adalah

mengatasi

obstruksi,

mencegah

terjadinya

enterokolitis, membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas


usus.2,11
Tindakan non bedah

16

Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif dengan


pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rectal untuk mengeluarkan
mekonium dan udara (pemasangan harus hati hati, jangan terjadi salah
arah) cara ini juga bertujuan untuk mencegah enterokolitis yang dapat
dilakukan bilasan kolon dengan cairan garam faali. Cara ini efektif pada
segmen aganglionik yang pendek.11

Biopsi hisap hendaknya dikerjakan sebelum pemeriksaan colok dubur dan


pemasangan pipa rectal. Pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi
cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi juga diperlukan.1

Tindakan Pembedahan
I.

Tindakan bedah sementara


-

Tindakan kolostomi. Stoma dibuat di bagian kolon yang berganglion


paling distal. Kolostomi ini dimaksudkan untuk menjamin pasase
usus, dekompresi abdomen dan mencegah penyulit penyulit yang
tidak diinginkan seperti enterokolitis, peritonitis dan sepsis. Manfaat
lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat
dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus
pada

penderita

Hirschsprung

yang

memungkinkan dilakukan anastomose.


II.

telah

besar

sehingga

3,5

Tindakan bedah definitif


-

Tindakan bedah definitif dimaksudkan untuk mereseksi bagian usus


yang aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus. Langkah ini
dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup. Pada waktu itu
megakolon dapat surut, mencapai kolon ukuran normal.1,11

Ada beberapa prosedur bedah definitif yaitu prosedur Swenson,


Duhamel, Endorektal Pull Through dengan modifikasi masingmasing.
Pilihan pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif
sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan atau melakukan
kolostomi sementara dan menunggu sampai bayi berumur 6 12
bulan untuk melakukan operasi.5,12

17

Gambar 9. Beberapa jenis bedah definitif pada megakolon


o Prosedur Swenson
Memotong segmen yang tidak berganglion dan melakukan
anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rectum 1
2 cm di atas garis batas. Terdiri dari rektosigmoidektomi seluas
bagian rektosigmoid aganglionik dengan anastomosis koloanal.
Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada pengembangan
dua prosedur lain.1,12
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra
abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke
bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke
dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan
melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang
tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar
melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2
cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan
kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose
dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler.
Setelah anastomosis selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik /
abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup.1,5,12

18

Gambar 10. Prosedur Swenson


o Prosedur Duhamel
Menguraikan prosedur untuk menciptakan rectum baru, dengan
menarik turun usus besar yang berinervasi normal ke belakang
rectum yang tidak berganglion. Rectum baru yang dibuat pada
prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengans
sensasi normal dan setengan ganglionik posterior dengan propulsi
normal. Operasi Duhamel adalah yang terbaik pada aganglionis
total.

Kolon

kiri

tetap

ditinggalkan

dan

menganastomosis kolon kiri ini pada usus halus.

tidak

perlu

1,5

Gambar 11. Prosedur Duhamel


19

o Prosedur Endorectal Pullthrough atau Soave


Prosedur yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa
rectum yang tidak berganglion dan membawa kolon yang
berinervasi normal ke lapisan otot yang terkelupas tersebut, dengan
demikian memintas usus yang abnormal dari sebelah dalam.
anastomosis koloanal dibuat secara tarik terobos (Pull Through)

Gambar 12. Prosedur Soave

Penyakit hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang


tanpa ganglion hanya terbatas pada sfingter interna. Gejalanya sama
dengan gejala konstipasi fungsional. Sel ganglionik mungkin terdapat pada
biopsy isap rectum. Tetapi motilitas rectum akan tidak normal. Eksisi
pengupasan mukosa otot rektum, termasuk sfingter anus interna,
merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.5,11
Penyakit

hirschsprung

yang

melibatkan

segmen

panjang

merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan biopsy isap rectum akan


menunjukkan adanya tanda tanda penyakit hirschsprung, namun sulit
diinterpretasikan pada pemeriksaan radiologi karena tidak ditemukan
daerah peralihan. Luasnya aganglionosis hanya dapat ditentukan dari
biopsy pada saat laparotomi. 5,11

20

Bila seluruh kolon aganglionis, sering bersama dengan panjang


ileum terminal, anatomosis ileum anus merupakan terapi pilihan dengan
masih mempertahankan bagian kolon yang tidak berganglion untuk
mempermudah penyerapan air. Sehingga membantu tinja menjadi
keras.5,11

Komplikasi
-

Sering neonatus meninggal akibat penyulit seperti enterokolitis atau


peritonitis dan sepsis.2,11

Obstruksi kronik yang dapat terjadi pada penyakit hirschsprung dapat


disertai oleh diare berat dengan feses yang berbau dan berwarna khas yang
disebabkan oleh timbulnya penyulit berupa enterokolitis. Enterokolitis
biasa disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada daerah kolon
yang iskemik akibat disetnsi berlebihan dindingnya. Enterokolitis dapat
timbul sebelum tindakan operasi atau berlanjut setelah operasi definitif. 2,11

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah pada penyakit


hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis nekrotikans, dan gangguan fungsi sphincter. 2,11

Faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya: usia


muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah
yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan
cara pemberian antibiotik, serta perawatan pasca bedah. 2,11

Prognosis
Prognosis baik kalau gejala obstruksi segera diatasi. Penyakit hirschsprung
yang diterapi dengan pembedahan umumnya memuaskan. Sebagian besar
penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia). Penyulit pasca bedah seperti
kebocoran anastomosis atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi. Masalah
pasca bedah meliputi enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses perianal dan
pengotoran tinja. 2,11

21

MEGAKOLON AKUISITA

Megakolon merupakan kondisi dimana terjadi pembesaran kolon, dilatasi


kronik, elongasi serta hipertrofi kolon. Megakolon juga dapat terjadi sebagai
penyulit dari penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon
toksik dengan paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat
segmen usus tersebut, yang disebabkan oleh progresivitas penyakit di dinding
yang dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen
barium. Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok
toksik.7,8

Gambar 13. Toksik megakolon

Penyakit Chagas adalah penyakit yang endemik di Amerika selatan dan


tengah. Pada penyakit chagas, organisme penyebabnya Trypanosoma Cruci
menghilangkan persarafan ganglia usus sehingga menyebabkan dilatasi kolon
(megakolon).5,7
Megakolon adalah satu komplikasi dari penyakit kronis ini, dimana terjadi
kerusakan yang menyebar dari system saraf intramural. Terapi pembedahan yang
dilakukan bertujuan untuk mengatasi konstipasi, gangguan buang air besar yang
berulang maupun volvulus. Kolektomi subtotal dengan ileoproctostomy
memungkinkan terapi pilihan yang sesuai, namun beberapa ahli lebih menyukai
abdominoendoanal rectosigmoidectomy.5

22

Megakolon organik yang didapat, juga dapat terjadi sebagai kondisi yang
disebabkan obstruksi mekanis dari colon bawah, rectum maupun anus. Beberapa
kasus di sebabkan oleh :5
-

Stricture anorectal postoperative

Limphogranuloma venereum

Endometriosis

Radiasi proktitis

Kerusakan anorectal (anorectal injury)

Termasuk trauma yang diakibatkan karena kecelakaan atau trauma seksual

Megakolon juga berhubungan dengan kelainan neurologis seperti paraplegia atau


poliomyelitis. Konstipasi menjadi masalah utama karena hilangnya otot volunter
defekasi. Megakolon sekunder ini dapat normal kembali ketika penyebab primer
dapat terobati.5

Megakolon toksik
Megakolon toksik merupakan tahap klinis dari colitis akut dengan dilatasi
segmental ataupun total dari kolon yang berhubungan dengan tanda toksik dengan
gejala klinis yaitu :5,13
-

Demam tinggi

Nyeri abdomen

Malaise

Takikardia

Leukositosis

Distensi abdomen

Dehidrasi

Kondisi ini dapat berkembang menjadi kondisi toksik dan termasuk kegawat
daruratan medis, yang merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dari colitis
ulseratif (Morbus Chron) serta dapat terjadi sebagai penyakit kronis eksaserbasi
akut namun lebih sering berkembang selama timbulnya gejala awal. Penyebab nya
tidak diketahui namun beberapa faktor yang menyebabkannya yaitu obat obatan
anti diare, opiate, alkaloid beladona dan barium enema.5,13

23

Pada keadaan awal penyakit jarang terjadi komplikasi, mungkin dapat


berhubungan dengan terapi awal yang cepat dan tepat seperti pada pasien yang
sakit berat dapat dilakukan resusitasi untuk memperbaiki homeostasis, pemberian
antibiotik untuk membunuh flora bakteri bila mungkin, kortikosteroid intravena
(terkecuali pada pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi kortikosteroid,
dimana segera dilakukan langsung tindakan pembedahan). Terapi pembedahan
komplikasi ini adalah kolektomi darurat.5,8

Gambar 14. Penderita toksik megakolon

24

BAB III

ILUSTRASI KASUS
STATUS PASIEN
I.

II.

III.

IDENTIFIKASI PASIEN
Nama

: An. NA

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 11 Bulan

IDENTITAS ORANG TUA


Nama Ayah

: Tn. S

Usia

: 43 Tahun

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Pegawai swasta

Nama Ibu

: Ny. N

Usia

: 43 Tahun

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesa
Tanggal

: 7 agustus 2014 pukul 07.00

a. Keluhan Utama
Nyeri Perut sebelah kiri bawah yang dirasakan seperti
ditusuk-tusuk sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
b. Keluhan peyerta
Mual (+), Muntah (+) , Demam hilang timbul , Perut
kencang dan kembung, Nafsu makan menurun, belum BAB sejak
7 hari yang lalu.

25

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan anak rewel menangis terus
menerus sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. disertai
dengan perut yang terasa besar dan kembung. pasien menjadi tidak
ingin makan (nafsu makan menurun). Ibu Pasien juga mengeluh
belum BAB sejak 7 hari yang lalu, namun BAB menjadi mencret
setelah diberikan obat melalui lubang anus sehari sebelum dibawa
ke rumah sakit.
Keluhan

belum

BAB

seperti

ini

sering

berulang

sebelumnya. Mencret sedikit-sedikit 2x/hari bewarna kecoklatan,


lembek, disertai ampas, tanpa lendir maupun darah. Mual dan
muntah juga dikeluhkan oleh pasien. Mual selalu mendahului
muntah. Muntah selalu terjadi setelah pasien makan, muntah
awalnya berisi ampas namun lama kelamaan muntah hanya lendir
bewarna putih terjadi terus menerus. Pasien juga mengeluh demam
yang hilang timbul. Hilang setelah pasien minum obat penurun
panas.
d. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat trauma pada perut disangkal.

Riwayat operasi sebelumnya disangkal.

e. Riwayat penyakit keluarga


Ibu pasien menyatakan tidak ada dalam keluarga yang
pernah mengalami keadaan seperti ini sebelumnya.
f. Riwayat kehamilan Ibu, kelahiran dan Pasca Lahir
KEHAMILAN
KELAHIRAN

Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan

Rutin kontrol
Rumah bersalin
Bidan

Cara persalinan
Masa gestasi

Partus spotan
Cukup bulan (40 minggu)

26

o Berat lahir
: 3300 gr
o Panjang
:o Lingkar kepala
:o Langsung menangis : Ya
o Nilai APGAR
:o Kelainan bawaan : -

Keadaan bayi

Ibu pasien lupa kapan pasien keluar mekonium pertama kali setelah lahir.
Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan baik.
g. Riwayat gizi dan nutrisi

ASI diberikan sampai usia sekarang

Saat usia 6 bulan sudah mulai diberikan buah (jeruk, pisang),


biscuit, dan bubur.

Ibu pasien mengeluh bahwa anaknya sulit untuk makan,


nafsu makan tidak sebaik anak-anak pada sebayanya,
sehingga terlihat kurus.

h. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dilakukan di Puskesmas
BCG

1 bulan

HEPATITIS B

0,1 bulan

DPT

2, 3, 4 bulan

POLIO

1, 2, 3, 4 bulan

Kesan : Imunisasi lengkap.


i. Riwayat Tumbuh Kembang

IV.

6 bulan : merangkak dan duduk

9 bulan : berdiri dan lepas tangan

PEMERIKSAAN
a. PEMERIKSAAN
Keadaan umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Nadi

: 103 x/menit

Respirasi

: 27 x/menit

27

Suhu

: 37,4 C

Status Gizi:
Klinis: edema (-), tampak kurus (+)
Antropometris:
Berat Badan (BB)

:9

Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 98

kg
cm

BB/U

: 3,6

TB/U

: 21,4

BB/TB

: 0,16

BMI

: (BB) / [(TB)*(TB)]
18 / [107]2 = 15,7

Simpulan status gizi: underwight / berat badan kurang (< 18,5)

b. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala

: Normocephal

Mata

: Conjunctiva anemis+/+, Sklera ikterik -/-

Leher

: KGB leher tidak teraba membesar

Thoraks

: Simetris, statis dan dinamis

Cor

: BJ I-II normal reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

: Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

: Membuncit, Keras,Timpani, BU (+) , hepar dan lien


tidak teraba

Genitalia

: Tidak ada kelainan

Ekstrimitas

: Akral hangat, Edema (-) di keempat ekstrimitas

Kulit

: Tidak sianosis, tidak ikterik, tekanan turgor kembali

cepat

c. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Hb

: 9,3 g/dl(14-16 g/dl)

Ht

: 30% (40-46%)

28

Leukosit

: 10.000 ul(5000-10000/ul)

Trombosit

: 245.000ul(200000-500000/ul)

Na+

: 138 mmol/L

K+

: 3,4 mmol/L (3,5-5)

Cl

: 99 mmol/L (98-108 )

SGOT

: 11 U/L (<29 )

SGPT

: 26 U/L (<29 )

GDS

: 108 mg/dl ( <200 )

Ureum

: 21,9 mg/dl ( <48 mg/dl)

Kreatinin

: 0,6 mg/dl ( < 1.0 mg/dl )

Hitung Jenis
Basofil

:0

Eosinofil

:0

Batang

:0

Segmen

:78

Limfosit

: 15

Monosit

:7

Pemeriksaan Urin
Warna

: kuning

BJ

: 1,015

PH

: 7,0

Keton

:+2

Darah/Hb

: +2

Protein

: +1

Leukosit

: 1-3

Eritrosit

: 8-10

Sel epitel

: +1

Bakteri

:+

29

Pemeriksaan USG tanggal 8 agustus 2014

Tidak tampak massa intraabdominal

Dinding gaster, caecum, colon transversum dan sigmoid sebagian menebal

Mc Burney, tidak tampak tanda khas appendicitis acut/ infiltrat

Usus dilatasi sampai ke rectum dengan gangguan pasase usus.

Kesan : - Meteorismus Suspek Ileus

Pemeriksaan BNO

30

- usus dilatasi
- distribusi udara usus tidak tampak di rectum
- herring bone di kiri
Kesan : Suspek Ileus

V.

DIAGNOSIS KERJA
-

VI.

Suspek Hisprung Disease

RINGKASAN DATA DASAR:


A . ANAMNESIS:
Seorang anak laki-laki, 11 bulan, datang dengan keluhan nyeri perut,
lemas, demam tidak tinggi, mual, muntah, perut membesar dan
kembung, nafsu makan berkurang dan belum BAB sejak 7 hari
yang lalu. Belum pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.
B. PEMERIKSAAN FISIS:

Mata

: konjungtiva pucat dan mata terlihat cekung

Dada

: jantung dan paru dalam batas normal

Abdomen

: Membuncit dan keras

Kulit

: Tidak ikterik, tekanan turgor kembali agak lambat

31

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG:

Terdapat anemia, hipokalemia, leukositosis, suspek ileus dan


meteorismus.

VII.

RENCANA TERAPI
Non- mendikamentosa

Tirah Baring

Puasa

O2 2-3 L

Pemasangan NGT

Konsul Ke Dokter Spesialis Bedah

Rujuk ke bedah anak RS terdekat

Medikamentosa

VIII.

IX.

Infus KAEN- 3B 20 tetes/ menit

Injeksi Ranitidin 2x1/2 ampul

Microlac supp 5 ml

Aminofusin 250cc /hari

Ondansentron 2x2mg

Omeprazol 2x10 mg

Inj. Metronidazol 2 x 500mg

Inj. Ceftriaxon 1 g

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad fungsionam

: ad bonam

RESUME
Pasien anak laki-laki datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kiri
seperti ditusuk-tusuk sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluh lemas, mual, muntah, sulit untuk BAB, demam yang

32

hilang timbul. Setelah dilakukan perawatan inap di rumah sakit, dilakukan


juga pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang laboratorium darah, USG
abdomen, BNO dan Rontgen. Selanjutnya, pasien disarankan untuk
dirujuk ke Rumah sakit terdekat yang terdapat bedah anak.

BAB IV

ANALISIS KASUS
Hirschsprung Disease adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meissner pada kolon. Sembilan puluh persen (90%)
terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan
seluruh usus (Total Colonic Aganglionois). Tidak adanya ganglion sel ini
mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus
fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon
yang lebih proksimal. Pada kasus yang disajikan kali ini didapatkan pasien datang
dengan keluhan utama nyeri perut sebelah kiri yang tidak berhubungan dengan
posisi tubuh dan dirasakan terus menurus. Selain itu, didapatkan juga keluhan
tambahan berupa mual, muntah, konstipasi, demam yang hilang timbul dan nafsu
makan yang menurun. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol
adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Kegagalan
mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan perut
menjadi kembung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan yang normal, hanya pada
pemeriksaan abdomen terlihat bentuk abdomen yang membuncit dan pada
perabaan teraba keras. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding

33

abdomen. Namun, pada pasien ini tidak terlihat spontan gerakan peristaltik dari
luar. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan hasil hemoglobin yang
menurun, jumlah leukosit yang meningkat dan jumlah LED yang meningkat.
Jumlah atau hasil hemoglobin yang menurun mungkin dikarenakan masukan
nutrisi yang kurang dan kehilangan melalui usus ( perdarahan yang menyertai
diare). Tapi pada kasus ini lebih kepada asupan nutrisi yang kurang. Sedangankan
pada jumlah leukosit dan LED yang meningkat disebabkan oleh faktor infeksi
dalam tubuh pasien.
Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa
neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak
mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Walaupun
barium enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi
gold standard penegakkan diagnosis. Biasanya, karena bayi tumbuh dalam
kandungan, kumpulan sel saraf (ganglia) mulai terbentuk antara lapisan otot di
bagian usus besar yang panjang. Proses ini dimulai pada bagian atas dan berakhir
di usus besar bagian bawah (dubur). Pada anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung, proses ini tidak selesai dan tidak ada ganglion di sepanjang seluruh
panjang dengan dua titik. Kadang-kadang sel-sel yang hilang dari hanya beberapa
centimeter dari usus besar. Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti.
Pada pasien ini dilakukan terapi cairan maupun obat. Namun pada selanjutnya,
pasien dirujuk untuk mendapat penanganan yang lebih lagi diutamakan terapi
definitif bedah.

34

BAB V

KESIMPULAN

Megakolon merupakan dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai


oleh paralisis dari peristaltik usus., tidak adekuatnya motilitas pada usus
menyebabkan tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya sphincter
rectum berelaksasi. Megakolon dibagi menjadi 2 yaitu megakolon kongenital
yang sering disebut dengan penyakit Hirschsprung serta megakolon non
kongenital atau akuisita yang biasanya terjadi akibat dari penyakit tertentu dan
faktor obat - obatan.
Gambaran

klinis

penyakit

Hirschsprung

(megakolon

kongenital)

dibedakan berdasarkan usia, gejala klinis mulai terlihat dimana pada periode
neonatal terdapat trias gejala klinis yakni pengeluaran mekonium yang terlambat,
muntah hijau dan distensi abdomen sedangkan gambaran klinis pada megakolon
yang didapat, sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
Penatalaksanaan megakolon kongenital terdiri dari tindakan non bedah dan
tindakan bedah. Tindakan bedah terdiri dari Prosedur Swenson, Prosedur

35

Duhamel,

Prosedur

Soave

atau

Endorectal

Pull

Through

sedangkan

penatalaksanaan terhadap penyakit yang mendasari megakolon yang didapat,


merupakan terapi yang dipilih untuk mengatasinya.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamami AH, J Pieter, I Riwanto, T Tjambolang, I Ahmadsyah. Penyakit


Hirschsprung. Dalam : R Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi ke 2. Jakarta: EGC; 2004. 670-671.
2. Wyllie R. Megakolon Aganglionik bawaan (Penyakit Hirschsprung).
Dalam : WE Nelson, RE Behrman, editor. Ilmu kesehatan Anak Nelson.
Edisi ke 15. Volume 2. Jakarta:EGC; 1999.1316 - 1319.
3. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan
Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 2009.
4. Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. Dalam: Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis
H, editors. Maingots Abdominal Operation. Edisi ke - 10. New York:
Prentice - Hall intl.inc.; 1997. 2097-105.
5. Goldberg SM, S Nivatvongs, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam :
Schwartzs Principles of Surgery. SI Schwarts, GT Shires, FC Spencer,
WC Hussen. Edisi ke - 5. Volume 2. Library of Congress Cataloging in
Publication Data; 1989.
6. Bullard KM, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartzs
Principles of Surgery. FC Brunicardi, DK Andersen, TR Billiar, DL Dunn,
JG Hunter, RE Pullock. Edisi ke - 8. Volume 2. Library of Congress
Cataloging in Publication Data; 2005.
7. Silbernagl S. Konstipasi dan Pseudo Obstruksi. Dalam: Teks dan Atlas
Berwarna Patofisiologi. S Silbernagl, F Lang. Jakarta: EGC; 2006. 156
157.
8. Lindshet GN. Radang Usus Besar. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses Proses Penyakit. SA Price. LM Wilson. Edisi ke 6. Volume 1.
Jakarta: EGC; 2005. 461 463.
9. Snell RS. Anatomi Cavitas Abdominalis. Dalam: Anatomi klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran. Snell RS. Edisi ke 6. Jakarta: EGC; 2006
10. Guyton AC, JE Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Guyton AC, JE Hall. Edisi ke 11. Jakarta:
EGC; 2007

37

11. Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatus . Dalam: Kumpulan Kuliah


Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia / RS dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Binarupa Aksara. 141143.
12. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swensons pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &
Lange; 1990: 555-77
13. Devuni D. Toxic Megacolon Workout (online). Dalam: Medscape. Juli
2013

(diakses

28

Agustus

2013).

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/181054-overview

38

Você também pode gostar