Você está na página 1de 2

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NAMA : YANUAR ARDIAN PUTRA


NPM

: 14.11.1001.7311.118

KELAS : F (GENAP)

ANALISA PRO KONTRA TENTANG RUU PILKADA


Penggerusan terhadap kedaulatan rakyat nampaknya sedang berlangsung di negeri ini. Hal itu
salah satunya terlihat dari adanya pasal dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada yang
ingin kembali menerapkan pemilihan kepala daerah melalui parlemen sebagaimana zaman
Orde Baru. Padahal selama ini kita telah melaksanakan pemilukada langsung untuk memilih
para kepala daerah. Jika Rancangan Undang-Undang tersebut lolos dan disyahkan, tentu
merupakan sebuah kemunduran dalam praktek demokrasi kita.
Ada banyak alasan yang dikemukakan para anggota parlemen pengusung pilkada tak
langsung, yang kebanyakan berasal dari Koalisi Merah Putih dalam Pemilu Presiden 2014.
Pertama, pilkada langsung menghabiskan banyak anggaran untuk pembelian kertas suara,
kotak suara, dan honor panitia pemilu. Padahal anggaran milyaran rupiah tersebut semestinya
bisa digunakan untuk membangun infrastruktur dan sarana kesejahtaraan yang lain. Kedua,
muncul banyak konflik sosial akibat dugaan kecurangan dalam pilkada. Dalam banyak kasus,
penyelesaian kecurangan pilkada yang lama sering mengganggu roda pemerintahan daerah
akibat kosongnya jabatan kepala daerah. Ketiga, pilkada langsung telah melahirkan budaya
politik uang, sehingga mereka yang memiliki banyak uang akan mampu memenangkan suara
pemilih. Apalagi, untuk maju sebagai kandidat kepala daerah, seseorang harus menghabiskan
biaya besar untuk kampanye, iklan, poster, perekrutan tim sukses, dan lain-lain.
Argumen-argumen di atas tampak meyakinkan untuk menghapuskan pilkada langsung dan
kembali ke pilkada tak langsung, yang dianggap hemat dan sedikit konflik karena hanya
melibatkan anggota parlemen. Namun, entah karena argumen-argumen di atas ataukah karena
motif politik lain, Koalisi Merah Putih, yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai
Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrat terlihat begitu ngotot
dengan Rancangan UUD Pilkada yang ingin mengembalikan wewenang DPRD untuk
memilih kepala daerah. Padahal jika diteliti secara mendalam, salah satu sebab munculnya
pilkada langsung adalah untuk menghapuskan oligarkhi partai dan kesewenang-wenangan
anggota DPRD dalam pilkada yang sering tidak bertindak/memilih calon sesuai aspirasi
rakyat. PIlkada tak langsung telah menjadi lahan intrik politik elite untuk meraih kekuasaan,
dan mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Maka, yang sebenarnya dibutuhkan
sekarang adalah upaya untuk mengurangi/menghilangkan dampak negatif dari pilkada
langsung.
Persoalan yang muncul akibat pilkada langsung sebetulnya bisa dihilangkan dengan
menerapkan pemilu elektronik, atau e-voting. Melalui pemilu berbasis teknologi internet ini,
kita bisa mengadakan pemilu yang murah, cepat dan transparan sebagaimana telah
dipraktekkan di beberapa negara seperti Australia, Brazil, Estonia, Filipina, India, Italia, dan
Perancis, Amerika Serikat.
Selain murah dan cepat,ada banyak keunggulan lain dari sistem e-voting, seperti menghemat
kertas, menghemat biaya pengiriman, tidak membutuhkan pengawalan aparat keamanan

dalam jumlah besar, dan, bisa meningkatkan partisipasi, terutama jika menggunakan voting
online.
Di Indonesia sendiri pelaksanaan e-voting sebetulnya telah dilakukan di beberapa tempat.
Karena terkendala perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa pemilu dilakukan dengan
mencontreng/mencoblos pada kertas, maka e-voting baru dilaksanakan pada level desa
seperti dilakukan di kabupaten Boyolali dan Bantaeng, dan pada level dusun di Jembrana
dengan menggunakan sistem layar sentuh. Mereka banyak dibantu oleh para tenaga ahli IT
dari universitas maupun dari badan pemerintah seperti BPPT. Maka, kini yang diperlukan
adalah mendorong pelaksanaan e-voting pada tahapan yang lebih tinggi. Apalagi, prosedur
pelaksanaan e-evoting ini tidaklah jauh berbeda dengan pemilu konvensional dengan kertas.
Tetap dibutuhkan adanya panitia lokal, saksi, KPU, dan KPUD.
Namun demikian, kesuksesan e-voting perlu dibarengi dengan pelatihan teknologi kepada
para pemilih dan panitia penyelenggara, dengan melibatkan kalangan melek teknologi. Ini
adalah hal yang krusial,tetapi bukan sesuatu yang dijadikan alasan untuk menolak e-voting,
karena bisa dilakukan secara bertahap. Selanjutnya, perlu dilakukan pembangunan
infrastruktur data elektronik dengan menyelesaikan program KTP elektronik yang merupakan
salah satu pusat data kependudukan. Jika ini belum selesai, maka data bisa didasarkan pada
daftar pemilih tetap di KPU. Tentu yang tidak ketinggalan adalah dukungan perundangundangan.
Sebaik apapun sistem pemilu, ia tidak akan berjalan baik jika tidak disertai kemauan politik
yang kuat dari pemerintah dan partai politik yang memang banyak berkepentingan dengan
sistem pemilu. Dan tugas masyarakat adalah memastikan sistem pemilu tersebut berjalan
dengan baik, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Você também pode gostar