Você está na página 1de 10

Tugas Ujian

ABORTUS IMINENS DAN PENANGANANNYA

Disusun oleh :
Murzam Nurfajri
NIM. 0908151688

Pembimbing :
dr. Eddy R.Pangaribuan, Sp.OG(K)

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2014

ABORTUS IMINENS DAN PENANGANANNYA

1.

Definisi
Abortus iminens merupakan peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada

kehamilan sebelum 20 minggu dengan hasil konsepsi masih dalam uterus dan viabel dan
ostium uteri masih tertutup.1,2 Abortus iminens disebut juga dengan keguguran mengancam
atau keguguran membakat dan termasuk kedalam salah satu jenis abortus spontan3,4

Gambar 1. Abortus iminens termasuk salah satu jenis abortus spontan

Abortus iminens merupakan komplikasi kehamilan tersering dan menyebabkan beban


emosional serius, terjadi satu dari lima kasus dan meningkatkan risiko keguguran, kelahiran
prematur, bayi berat badan lahir rendah (BBLR), kematian perinatal, perdarahan antepartum,
dan ketuban pecah dini (KPD), namun tidak ditemukan kenaikan risiko bayi lahir cacat.5
Diagnosis abortus iminens ditentukan karena terjadi perdarahan pada awal kehamilan melalui
ostium uteri eksternum, disertai nyeri perut sedikit atau tidak sama sekali, serviks tertutup,
dan hasil konsepsi masih baik dalam kandunga.1,5

2.

Etiologi dan faktor risiko


Penyebab abortus iminens berkaitan dengan penyebab abortus spontan lainnya.

Penyebab abortus spontan secara pasti belum diketahui, diduga akibat infeksi, faktor
hormonal, kelainan bentuk rahim, faktor imunologi (kekebalan tubuh), dan penyakit dari ibu.
Penyebab tersebut pada umumnya dapat dibagi atas faktor janin dan faktor ibu.1-3
1

Faktor Janin
Pada umumnya abortus spontan yang terjadi karena faktor janin disebabkan karena
terdapatnya kelainan pada perkembangan janin seperti kelainan kromosom (genetik),
gangguan pada ari-ari, maupun kecelakaan (trauma) pada janin. Frekuensi terjadinya kelainan
kromosom (genetik) pada triwulan pertama berkisar sebesar 60%.2,5
Faktor ibu
Beberapa hal yang berkaitan dengan faktor ibu yang dapat menyebabkan abortus spontan
adalah faktor genetik orangtua yang berperan sebagai carrier (pembawa) di dalam kelainan
genetik; infeksi pada kehamilan seperti herpes simpleks virus, cytomegalovirus, sifilis,
gonorrhea; kelainan hormonal seperti hipertiroid, kencing manis yang tidak terkontrol;
kelainan jantung; kelainan bawaan dari rahim, seperti rahim bikornu (rahim yang bertanduk),
rahim yang bersepta (memiliki selaput pembatas di dalamnya) maupun parut rahim akibat
riwayat kuret atau operasi rahim sebelumnya. Mioma pada rahim juga berkaitan dengan
angka kejadian aborsi spontan.2,4,5
Faktor risiko terjadinya abortus adalah:6
1. Usia ibu yang lanjut (>35 tahun)
2. Riwayat kehamilan sebelumnya yang kurang baik (abortus, riw.kuret, dll)
3. Riwayat infertilitas (tidak memiliki anak)
4. Adanya kelainan atau penyakit yang menyertai kehamilan
5. Infeksi (cacar, toxoplasma, dll)
6. Paparan dengan berbagai macam zat kimia (rokok, obat-obatab, alkohol, radiasi)
7. Trauma pada perut atau panggul pada 3 bulan pertama kehamilan.

3.

Patofisiologi6
Pada saat spermatozoa menembus zona pelusida terjadi reaksi korteks ovum. Granula

korteks di dalam ovum atau oosit sekunder berfusi dengan membrane plasma sel, sehingga
enzim didalam granula-granula dikeluarkan secara eksositosis ke zona pelusida. Hal ini
menyebabkan glikoprotein di zona pelusida berkaitan satu sama lain membentuk suatu materi
yang keras dan tidak dapat ditembus oleh spermatozoa lain.
Kedua pronukleus saling mendekati membentuk zygot yang terdiri dari bahan genetik
perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat 46 kromosom yaitu 44 kromosom autosom
dan 2 kromosom kelamin.

Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zygot. Hal ini
dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak zat asam amino dan
enzim. Dalam 3 hari terbentuk suatu kelompok sel yang sama besarnya, hasil konsepsi berada
dalam stadium morula dimana sebelumnya telah terjadi pembelahan-pembelahan yang di
peroleh dari vitelus, hingga volume vitelus ini makin berkurang yang akhirnya terisi
seluruhnya oleh morula.
Selanjutnya pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula yang disebut
blastokista dimana bagian luarnya adalah jaringan tropoblas dan dibagian dalamnya disebut
massa sel dalam (inner cell mass) pada satu kutub. Blastokista itu sendiri tertanam diantara
jaringan sel epitel dari mukosa uterus pada hari ke 6-7 setelah ovulasi. Kemudian terjadi
diferensiasi menjadi masa sinsitial. Pada hari ke-8, trofoblas berdiferensiasi menjadi lapisan
luar (outer multinucleated sintitiotrofoblast) dan membentuk lapisan dalam (primitive
mononuclear sytotrofoblast). Kemudian massa sinsitial berpenetrasi diantara sel epitel dan
akan segera menyebar ke stroma. Pada hari ke-9 vakuola atau lakuna muncul pada sinsitial
dan akan segera membesar kemudian akan segera menyatu.
Pembentukan dari sirkulasi uteroplasenta yang potensial terjadi ketika kapiler vena
ibu bersentuhan dengan sinsitial maka darah akan dapat lewat melalui sistem lakuna. Lakuna
akan menjadi daerah intervilus dari plasenta. Pada hari 12-13 setelah fertilisasi, blastokista
sudah sepenuhnya melekat pada stroma desidua sehingga epitel dari permukaan uterus akan
terus tumbuh. Hal ini menandakan bahwasanya tahap awal dari implantasi akan disertai
dengan sedikit nekrosis dari jaringan atau reaksi inflamasi dari jaringan mukosa. Setelah fase
inisial nidasi, diferensiasi dari trofoblas dapat terjadi pada dua jalur utama yaitu villous dan
ekstra villous. Hal ini berguna untuk mempertimbangkan kedua jenis dari jalur diferensiasi
yang dipisahkan oleh kedua fungsi dari kedua trofoblas ini dan tipe dari sel maternal, dimana
masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Villus trofoblas sepenuhnya menutupi
seluruh villi chorialis plasenta dan berfungsi untuk transportasi nutrisi dan oksigen dari ibu ke
janin.
Dalam 2 minggu perkembangan konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi
ke pembuluh darah endometrium, kemudian terbentuk sinus intertrofoblastik yang merupakan
ruangan yang berisi darah maternal. Sirkulasi darah janin ini berakhir dilengkung kapiler (
capillary loops ) didalam vili korialis yang ruang intervilinya dipenuhi dengan darah maternal
yang dipasok oleh arteri spiralis dan dikeluarkan melalui vena uterina. Vili korialis akan
tumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta. Hasil konsepsi diselubungi oleh jonjotjonjot yang dinamakan vili korialis dan berpangkal pada korion. Korion ini terbentuk oleh
3

karena adanya chorionic membrane. Selain itu, vili korialis yang berhubungan dengan
desidua basalis tumbuh dan bercabang-cabang dengan baik, korion tersebut dinamakan
korion frondosum. Darah ibu dan darah janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin
dan lapisan korion.
Didapati bahwa trombosis dari pembuluh darah uteroplasenta akan menyebabkan
perfusi ke plasenta terganggu. Kegagalan pada endovaskular dan interstisial dari diferensiasi
extravillus trofoblas akan menyebabkan abortus pada awal kehamilan. Pada kasus lain dari
abortus spontan pada awal kehamilan, sinsitial extravillous trofoblas tidak mencapai arteri
spiralis. Hal ini menyebabkan arteri tidak berpulsasi dan suplai darah yang melalui arteri
spiralis tidak akan adekuat sampai akhir kehamilan trimester pertama yang menyebabkan
terjadinya abortus spontan.

4.

Diagnosis
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam

pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak
ada sama sekali. Ostium uteri masih tertutup, besarnya uterus masih sesuai dengan usia
kehamilan.1,2
Pada pemeriksaan akan didapatkan serviks tertutup, perdarahan dapat terlihat dari
ostium, tidak ada kelainan pada serviks, tidak terdapat nyeri goyang serviks atau adneksa, tes
kehamilan positif, dan pemeriksaan USG tampak janin masih hidup.1-4

Tabel 1. Jenis-jenis abortus dan gejalanya

Pemeriksaan USG juga diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan
mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan
ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan
HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan di samping ada tidaknya
hematoma retroplasenter atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat
dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal.1,2,5
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kadar hormon HCG pada
urin. Pemeriksaan kadar hormon HCG pada urin dilakukan untuk menentukan prognosis
abortus iminens. Pemeriksaan kadar hormon HCG dilakukan dengan cara melakukan tes urin
kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin
masih positif keduanya, maka prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya
negatif, maka prognosisnya dubia ad malam.1

5.

Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan abortus iminens sangat bergantung pada informed consent

yang diberikan. Bila pasien masih menghendaki kehamilan tersebut maka pengelolaan harus
maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini.1 Pasien diminta untuk melakukan tirah
baring sampai perdarahan berhenti. Pasien diberikan tokolitik seperti salbutamol atau
indometasin agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progeteron atau
derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus.1,3-5 Obat-obatan ini walaupun secara statistik
kegunaannya

tidak

menguntungkan.

bermakna,

tapi

efek

psikologis

kepada

penderita

sangat

1,7

Pada sebagian sumber menyatakan bahwa tidak perlu pengobatan khusus atau tirah
baring total.7 Pasien hanya diminta untuk tidak melakukan aktivitas fisik berlebihan atau
berhubungan seksual dulu dalam 2 minggu.1,7 Sebagian rujukan lain menyatakan bahwa tirah
baring dilakukan selama 2 hari atau 48 jam. Kalau kondisi masih baik, perdarahan dalam
waktu ini akan berhenti sehingga selanjutnya lakukan asuhan antenatal seperti biasa. Tetapi
jika perdarahan tidak berhenti dalam 48 jam, maka kemungkinan besar terjadi abortus dan
tirah baring hanya menunda abortus tersebut. Jika perdarahan disebabkan erosi, maka erosi
diberi nitras argenti 5-10%; kalau sebabnya polip, maka polip diputar dengan cunam sampai
tangkainya terputus.4

Selanjutnya dievaluasi selama 2 minggu dan diperhatikan apakah janin masih hidup
dengan menentukan apakah uterus terus membesar.1,4 Jika janin telah mati, maka uterus tidak
membesar dan reaksi Galli Mainini menjadi negatif.4
6.

Permasalahan pada abortus iminens


Permasalahan pada abortus iminens adalah adanya perdarahan pervaginam.1-4 Pasien

dengan perdarahan pervaginam perlu dipikirkan apakah pasien hamil atau tidak. Jika pasien
hamil, maka perlu ditanyakan berapa minggu usia kehamilannya. Pada pasien yang datang
dengan perdarahan usia kehamilan di bawah usia kehamilan kurang dari 20 minggu, maka
kemungkinannya adalah abortus, abortus mola hidatidosa, dan kehamilan ektopik.1,4
Pasien dengan abortus iminens akan mengeluhkan perdarahan pervaginam pada umur
kehamilan kurang dari 20 minggu.1-4 Perdarahan pervaginam yang terjadi ini menandakan
adanya ancaman untuk terjadinya pengeluaran hasil konsepsi. Namun demikian, pada abortus
iminens masih ada harapan bahwa kehamilan masih berlangsung terus.1,4
Penderita juga akan mengeluh mulas sedikit atau tidak ada sama sekali. Pada
pemeriksaan akan didapatkan serviks tertutup, perdarahan dapat terlihat dari ostium, tidak
ada kelainan pada serviks, tidak terdapat nyeri goyang serviks atau adneksa, besarnya uterus
masih sesuai dengan usia kehamilan, tes kehamilan positif, dan pemeriksaan USG tampak
janin masih hidup.1-4

7.

Sikap dokter di daerah dalam penanganan abortus iminens


Selaku seorang dokter di daerah yang kemungkinan akan menghadapi kondisi dengan

keterbatasan ilmu dan alat dalam menghadapi kasus abortus iminens, perlu diperhatikan
bahwa pasien yang datang dengan keluhan perdarahan pervaginam perlu ditanyakan apakah
pasien hamil atau tidak. Jika pasien mengaku hamil atau pasien tidak tau hamil, maka perlu
digali dari anamnesis tanda-tanda kehamilan seperti amenorea, mual-muntah, perubahan
payudara, perut membesar, dan lain-lain serta dilakukan pemeriksaan fisik dan plano test
untuk mengkonfirmasi apakah pasien hamil atau tidak. Kemudian perlu juga ditanyakan
apakah ada riwayat berhubungan seksual sebelum munculnya keluhan.
Jika dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan plano test menandakan pasien hamil serta
tidak ada riwayat berhubungan seksual sebelum muncul keluhan, maka ditanyakan usia
kehamilannya. Jika pasien tidak mengetahui dirinya hamil, maka ditanyakan sejak kapan
6

tidak dapat haid serta sejak kapan keluhan subjektif kehamilan lainnya mulai dirasakan. Jika
usia kehamilan kecil dari 20 minggu, maka dapat dipikirkan adanya abortus, abortus mola,
dan kehamilan ektopik.
Pada abortus iminens, diagnosis dapat ditegakkan dari adanya keluhan perdarahan
pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit
atau tidak ada sama sekali. Dari pemeriksaan didapatkan ostium uteri tertutup, perdarahan
dapat terlihat dari ostium, tidak ada kelainan pada serviks, tidak terdapat nyeri goyang serviks
atau adneksa, besar uterus masih sesuai dengan usia kehamilan, dan tes kehamilan positif.1-4
Setelah diagnosis ditegakkan, maka sikap selanjutnya adalah menjelaskan (informed
consent) kepada pasien bahwa ibu mengalami keguguran mengancam, maksudnya yaitu
bahwa pasien hamil dan kehamilan tersebut sedang mengancam terjadinya keguguran.
Jika pada pemeriksaan didapatkan perdarahan berhenti, maka lakukan asuhan
antenatal seperti biasa, edukasi pasien untuk istirahat dulu dari kegiatan sehari-hari (kurangi
aktivitas fisik berlebihan) selama 2 hari dan hindari dulu berhubungan seksual selama lebih
kurang 2 minggu.1,4,7 Pasien diberikan spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi dan
diberikan tambahan hormon progesteron untuk mencegah terjadinya abortus.1,4
Setelah 2 minggu, pasien diminta kontrol kembali dan dinilai apakah janin masih
hidup dengan menentukan apakah uterus terus membesar. Jika uterus makin membesar,
berarti kehamilan dapat dilanjutkan. Namun jika janin telah mati, maka rahim tidak
membesar.2,4
Jika hal ini (janin mati disertai dengan pemeriksaan urin kehamilan yang menjadi
negatif) terjadi, maka pasien perlu diberikan penjelasan bahwa janin sudah meninggal di
dalam rahim, sehingga perlu konfirmasi dengan USG dan dikeluarkan dengan kuretase.
Dalam hal ini diperlukan pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap, memiliki
sarana USG dan sarana untuk kuretase dan mengatasi komplikasi yang mungkin terjadi
(perdarahan, perforasi uterus, dan sebagainya) sehingga pasien perlu dirujuk.

Gambar 2. Kuretase
Jika pasien tidak mau atau tidak mampu untuk dirujuk, perlu dijelaskan bahwa janin
yang sudah meninggal ini (a) bisa keluar dengan sendirinya dalam 2-3 bulan sesudah janin
mati, (b) bisa diresorbsi kembali sehingga hilang atau mengalami degenerasi.2,3 Namun hal
terburuk yang mungkin terjadi jika janin tidak dikeluarkan adalah infeksi pada ibu dan terjadi
gangguan pembekuan darah yang serius. Pasien dijelaskan bahwa jika suatu saat tiba-tiba
demam atau mengalami perdarahan dari hidung atau gusi yang cukup mengganggu dan
terutama dari tempat-tempat trauma ringan, maka pasien perlu segera ke pusat pelayanan
kesehatan dan menyiapkan hal-hal yang perlu dipersiapkan utnuk rujukan seperti yang
diuraikan di atas.2,3
Jika pasien bersedia dan setuju untuk dirujuk, maka rujukan dini berencana dapat
dilakukan pada kasus-kasus seperti ini. Dokter yang akan merujuk perlu mengetahui
informasi tentang pelayanan yang tersedia di tempat rujukan dan kemungkinan biaya yang
dibutuhkan.1,8,9 Selain itu, masukkan persiapan-persiapan dan informasi berikut kedalam
rencana rujukan:10
-

Siapa yang akan menemani ibu.

Tempat-tempat rujukan mana yang lebih disukai ibu dan keluarga.

Sarana transportasi yang akan digunakan dan siapa yang akan mengendarainya.

Orang yang ditunjuk menjadi donor darah jika transfusi darah diperlukan.

Uang yang disisihkan untuk asuhan medik, transportasi, obat-obatan, dan bahan.

Siapa yang akan tinggal dan menemani anak-anak yang lain pada saat ibu tidak di
rumah.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Wibowo B., Rachimhadi T., 2010. Perdarahan pada kehamilan muda - abortus, dalam :
Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hal.
459-74.
2. Cunningham F.G., 2005. Abortus, dalam Obstetri Williams. Edisi 21 Vol 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal. 950-81.
3. Muchtar R. 2011. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC,
hal. 209-25.
4. Obstetri Patologi FK UNPAD. Bandung: Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD.
Hal. 7-17.
5. Sucipto NI. 2013. Abortus imminens: upaya pencegahan, pemeriksaan dan
penatalaksanaan. Tinjauan Pustaka. [data internet]. Diakses pada 11 Agustus 2014 dari
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_206Abortus%20ImminensUpaya%20Pencegahan%20Pemeriksaan%20dan%20Penatalaksanaan.pdf.
6. Hamzah E. 2011. Hubungan usia ibu dan suami pada saat kejadian abortus spontan
dengan kelianan kromosom janin. [tesis] Di akses pada 11 Agustus 2014 dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25690/4/Chapter%20II.pdf.
7. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. 2002. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo bekerjasama dengan Jaringan Nasional
Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi POGI- JHPIEGO/MNH Program.
8. Bunga rampai obstetri dan ginekologi sosial. 2010. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
9. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Petunjuk teknis jaminan persalinan. Diakses pada
tanggal
12
Agustus
2014
dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2012/01/Juknis-Jampersal-2012.pdf.
10. Pelatihan asuhan persalinan normal buku acuan. Edisi 3. 2007. Jakarta: Jaringan
Nasional Pelatihan Klinik.

Você também pode gostar