Você está na página 1de 24

BAB 1

Pendahuluan
1.1.

Pengertian Sastra Lisan

Sebelum kita membahas apa itu sastra lisan, pertama-tama saya


akan membahas tentang folklor yang merupakan wadah bagi sastra lisan.
Menurut

Danandjaja

(2007,

2),

definisi

folklor

adalah

sebagian

kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun,


di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang
berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Dari pernyataan di atas kita dapat mengetahui bahwa folklor itu
dapat diwariskan secara lisan maupun dengan garakan-gerakan atau alat
pembantu mengingat, dimana folklor dipat dibedakan menajadi beberapa
bagian.
Menurut Brunvand folklor dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:
Folklor lisan
Folklor lisan bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklore yang
termasuk pada kelompok ini antara lain : (1) bahasa rakyat (folk speech)
seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title kebangsawanan; (2)
ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pomeo; (3)
pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (4) puisi rakyat, seperti pantun,
gurindam, dan syair; (5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan
dongeng; dan (6) nyanyian rakyat. (kentongan tanda bahaya di Jawa atau
bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika),
dan musik rakyat.
Folklor sebagian lisan
Folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsure
bukan lisan. Kepercayaan rakyat misalnya, yang oleh orang modern
seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan
ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib,
1

seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat
melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda
material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat
membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk
folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan
rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat,
upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Folklor bukan lisan
Folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya
diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua
subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentukbentuk
folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk
rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan
tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman
rakyat, dan obat-obatan tradisional. (dalam Djananjaja, 2007:21-22)
Dari pembagian-pembagian folklor di atas kita dapat mengetahui
bahwa sastra lisan memamng termasuk kedalam folklor, yaitu folklor lisan.
Dimana sastra lisan mempunyai definisi yang hampir sama seperti definisi
folklor, yaitu sebagian kebudayaan yang dapat diwariskan secara turuntemurun, hanya saja sastra lisan hanya dapat diwariskan secara lisan
walaupun dalam praktiknya sastra lisan dapat dibagi-bagi lagi menjadi
sastra lisan murni, sastra sebagian lisan dan sastra bukan lisan.
Pada makalah objek pengamatan yang saya amati adalah
gambang kromong dimana gambang kromong itu di dalamnya terdapat
nyanyian-nyanyian

tradisional

Betawi,

yang

mana

hal

itu

dapat

dikelompokkan ke dalam nanyian rakyat (folksong). Nanyian rakyat


merupakan salah satu bentuk dari folklor lisan atau sastra lisan murni,
dimana dalam bukunya, Brunvand mendefinisikan nanyian rakyat adalah
salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu,
yang bereda secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk
tradisonal, serta banyak mempunyai varian (Brunvan, 1968:130).

1.2.

Pengertian Sastra Lisan/Tradisi Betawi

Saat kita membahas tentang apa itu sastra/tradisi Betawi berarti


kita sedang membicarakan tentang etnis Betawi. Sryomihardjo (1976)
mengatakan, etnis Betawi muncul dari proses kawin mawin berbagai jenis
etnis di Jakarta sejak abad ke-17 dan yang sudah berbahasa Melayu.
Namun Saidi (1997) menyatakan bahwa etnis Betawi ada sejak abadabad pertama tahun masehi (dalam Chaer, 2012).
Jika kita mengambil kesimpulan Suryomiharjo dan Sidi bahwa etnis
Betawi merupakan proses kawin-mawin berbagai jenis etnis di Jakarta
namun sudah ada sejak abad pertama abad masehi. Maka dapat
dikatakan bahwa sastra lisan/tradisi Betawi merupakan perpaduan
berbagai kebudayaan yang ada di Jakarta pada abad ke-17, tetapi di
dalamnya masih terkandung nilai-nilai kebudayaan masyarakat Betawi asli
yang ada sejak abad pertama tahun masehi.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kesenian gambang
kromong yang merupakan hasil asimilasi antara kebudayaan Betawi
dengan kebudayaan Tionghoa pada masa itu.
Abdul Chaer (2012) dalam bukunya mengatakan setiap bentuk
folklor yang ada di masyarakat Betawi mempunyai fungsi dalam
kehidupan keseharian mereka. Artinya, setiap butir folklor ada konteks
kebudayaan yang meliputinya.
Kita dapat mengetahui bahwa kebudayaan Betawi terutama sastra
lisannya diambil dari kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai contoh
dalam lagu Bini Dua, makna yang terkandung dalam lagu tersebut diambil
dari kehidupan langsung masyarakat Betawi yang mempunyai istri lebih
dari satu lalu kemungkinan para istri-istri Betawi yang dipoligami oleh
suami mereka menciptakan lagu ini sebagai bentuk kekesalan mereka.

1.3.

Pengertian Gambang Kromong

Menurut salah satu warga Betawi yang tinggal Setu Babakan,


gambang kromong merupakan suatu pargelaran seni yang di dalamnya
diisi dengan nyanyian-nyanyian dan musik yang ditujukan untuk
menghibur. Selain untuk menghibur fungsi lain dari gambang kromong
adalah untuk meramaikan acara pernikahan, pesta adat, pargelaran seni
dan lain-lain.
Gambang kromong merupakan orkes tradisional Betawi yang
penyebarannya tidak hanya di wilayah DKI Jakarta saja tetapi mencakup
Jabodetabek. Hal ini terbukti beberapa wilayah di Kab. Tangerang yang
secara administrative termasuk ke dalam propinsi Banten sendiri cukup
banyak perkumpulan gambang kromong dan wayang cokek, sehingga
dapat dikatakan masyarakat Tangerang, terutama komunitas Tionghoa
Peranakannya tak terpisahkan dari gambang kromong dan wayang cokek
(Kwa, 2005).
Mengingat tentang sejarah gambang kromong yang merupakan
proses asimilasi kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan Betawi, tidak
mengherankan kalau penyebaran gambang kromong sampai ke wilayah
Tangerang. Karena pada waktu itu banyak etnis-etnis Betawi dan
peranakan Tionghoa yang menetap di wilayah Jabodetabek. Sehingga
apa yang dikatakan Kwa tersebut tidaklah mengherankan lagi.
Bukti bahwa gambang kromong merupakan proses asimilasi
budaya, yaitu antara kebudayaan Betawi dan kebudayaan Tionghoa dapat
dilihat pada alat-alat musik yang dimainkan pada saat pertunjukan orkes
gambang kromong. Berikut alat-alat musik yang terdapat dalam orkes
gambang kromong:

Sebuah gambang.
Instrument ini terdiri dari atas 18 bilah kayu manggarawan. Ke 18
bilah itu dibagi dalam 3 oktaf. Nada terendah adalah liuh (g) dan
nada tertinggi adalah siang (g).

Seperangkat kromong.
Terdiri dari 10 buah dalam dua baris. Yang terbaik terbuat dari
perunggu, tetapi ada pula yang terbuat dari kuningan. Abris luar

(nomor 1, 2 dan seterusnya) terdiri atas nada-nada siang-liuh-ukong-che (c-a-g-e-d). ditabuh berbarengan antara baris luar dan
dalam: 1-8, 2-10, 3-9, 4-7, dan 5-6.

Sebuah Su-kong
Instrument gesek berdawai dua semacam rebab berukuran besar
dan berasal dari Cina ini dilaras dalam nada su (a) dan kong (e).
tabung di bagian bawah sering terbuat dari cangkang buah berenuk
yang keras.

Sebuah Teh-hian.
Instrument gesek berdawai 2 berukuran sedang ini dilaras dalam
nada siang dan liuh (g).

Sebuah Kong-a-hian.
Instrument gesek berdawai dua berukuran kecil tersebut dilaras
dalam nada liuh (g) dan che (d).

Sebuah Bangsing (suling)


Ditiup secara horizontal, sejajar dengan mulut.

Dua buah gong perunggu atau kuningan.


Digantung. Larasnya nada siang (c).

Seperangkat gendang.
Fungsi gendang sangat menonjol pada lagu-lagu sayur yang
mengiringi orang ngibing Cokek.

Sebuah Pan (kecrek).


Terbuat dari bilah-bilah logam tipis yang dijadikan satu dan dipukulpukul hingga menghasilkan bunyi crek-crek-crek.

Sebuah Sio-lo (ningnong atau ningning).


Terdiri dari dua buah piringan kecil (canang) (Kwa, 2005).
Tidak hanya alat musiknya saja, terdapat pula lagu-lagu gambang

kromong yang mengandung unsur-unsur etnis Tionghoa di dalamnya


seperti Tan Sha Sioe Khie, Tang Hoa Ko Nyanyi dan Poa Si Li Tan (Kwa,
2005).

1.4.

Sejarah Gambang Kromong

Menurut tulisan Phoa Kian Sioe dalam majalah Panca Warna No.9
tahun 1949 berjudul "Orkes Gambang, Hasil kesenian Tionghoa
peranakan

di

Jakarta."

Orkes

Gambang

Kromong

merupakan

perkembangan dari orkes Yang Khim yang terdiri atas Yang-Khim,


Sukong, Hosiang, Thehian, Kongahian, Sambian, Suling, Pan (kecrek)
dan Ningnong. Oleh karena Yang-Khim sulit diperoleh, maka digantilah
dengan gambang yang larasnya disesuaikan dengan notasi yang
diciptakan oleh orang-orang Hokkian. Sukong, Tehian dan Kongahiantidak
begitu sulit untuk dibuat disini. Sedangkan Sambian dan Hosiang di
tiadakan tanpa terlalu banyak mengurangi nilai penyajiannya.
Sekitar tahun 1880 atas usaha Tan Wangwe dengan dukungan
Bek(Wijkmeester) Pasar Senen Teng Tjoe, orkes gambang mulai
dilengkapi dengan kromong. Kempul, Gendang dan Gong. Lagu-lagunya
ditambah dengan lagu-lagu Sunda popular, sebagaimana ditulis oleh
Phoa Kian Sioe sebagai berikut : "Pertjobaan Wijk meester Teng Tjoe
telah berhasil, lagoe-lagoe gambang ditaboeh dengan tambahan alat
terseboet diatas membikin tambah goembira Tjio Kek dan pendengerpendengernya. Dan moelai itoe waktoe moelai brani pasang selendang
boeat "mengibing (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI
Jakarta).
Karena orkes gambang kromong semakin populer baik dikalangan
masyarakat Tionghoa maupun masyarakat Pribumi, sejak abad ke-19
mulai bermunculan seniman-seniman gambang kromong yang berasal
dari etnis Betawi seperti Benyamin S, Ida Royani, Lilis Suryani, dan lainlain.
Para

senimanseniman

tersebut

menyanyikan

lag-lagu

pop

berbahasa Betawi dengan ditambah sedikit pantun dan banyolan dalam


setiap lagu yang mereka bawakan.

Sampai sekarang orkes gambang kromong masih menjadi salah


satu tradisi kebudayaan Betawi yang masih diminati oleh masyarakat
Jakarta selain lenong dan palang pintu.

(Orkes gambang kromong Grup Puja Betawi saat pertunjukan di Setu Babakan)

Bab 2
Isi

2.1.

Runtutan Pertunjukan dan Transkrip

Pertunjukan gambang kromong


ini saya rekam dan saya saksikan
secara langsung di Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta
Selatan pada hari Minggu 19 Oktober
2014.

Pertunjukan ini dimulai pada pukul 13.30 dan dibuka oleh pembawa
acara 1(penyanyi 4). Setelah pembawa acara 1 membuka pertunjukan,
lalu dilanjutkan oleh lagu pertama, Ayam Jago.
Transkrip:
Ayam Jago
Dinyanyikan oleh penyanyi 1, 2 dan 3

Ayam jago jangan diadu(1)


Kalau diadu jenggernya merah(1)
Ayam jago jangan diadu (1)
Kalau diadu jenggernya merah(1)

Baju ijo jangan diganggu(1)


Kalau diganggu yang punya marah(1)
Baju ijo jangan diganggu(1)
Kalau diganggu yang punya marah(1)

Laju laju perahu laju(3)


Perahu laju sampai samudra(3)
Laju laju perahu laju(3)
Perahu laju sampai samudra(3)

Boleh lupa kain dan baju(3)


Asal-lah jangan seni budaya(3)
Bolehlah lupa kain dan baju(3)
Asal jangan lupa seni budaya(3)

Darimana datangnya lintah(2)


Eh dari sawah turun ke kali(2)
Darimana datangnya lintah(2)
Eh dari sawah turun ke kali(2)

Darilah mana datangnya cinta(2)


Darilah mata turun ke hati(2)
Eh dari mana datangnya cinta(2)
Darilah mata turun ke hati(2)

Bengkaklah lidah karena kopi(1)


Lidah saya bukanlah pahit(1)
Bengkaklah lidah karena kopi(1)
Lidah saya bukanlah pahit(1)

Kalau tidak karena kaki(1)


Tidaklah kami sampai kemari(1)
Kalau tidak karena kaki(1)
Tidaklah kami sampai kemari(1)

Satu dua si kuda berlari(3)


Tidaklah sama kuda yang belang(3)
Satu dua kuda berlari(3)
Tidaklah sama kuda yang belang(3)

Satu dua gampang dicari(3)


Tidaklah sama abang seorang(3)
Satu dua gampang dicari(3)
Tidaklah sama abang seorang(3)

Setelah itu pembawa 1 dan pembawa acara 2(penyanyi 5)


menyelingi pertunjukan dengan banyolan-banyolan. Lalu pertunjukan
dilanjutkan dengan tarian Ondel-ondel. Setelah itu mereka menyanyikan
lagu kedua, Jali Jali Bunga Siantan.
Transkrip:
Jali Jali Bunga Siantan
Dinyanyikan oleh penyanyi 4 dan penyanyi 5

Srini junjang semarak, srini junjang semarak(5)


kalau ambil kita di kampung duri(5)
Srini junjang semarak, sayangilah yang manis(5)
Ambil kita di kampung duri(5)

Kalau terselip nona di kampung orang(5)


Terselip di kampung orang(5)
Biar bisa membawa diri(5)

Kalau jali-jali bunga siantan nona(5)


Jali-jali bunga siantan,(5)
Saya nirik, saya pantan(5)
Yang blawetan(5)

Laju laju perahu laju, laju laju perahu


laju(4)

10

Lajunya sampai pulau selawi(4)


Laju laju memang perahu laju(4)
Laju laju perahu laju, lajunya sampai pulau selawi(4)

Lupalah kain, lupa dan baju, nona(4)


Lupa kain, lupa dan baju(4)
Jangan di lupa seni betawi(4)

Jalilah jali setu babakan, nona(4)


Jali jali setu babakan(4)
Ada yang nangis, ada yang makan(4)

Ribu ribu anak manjangan, ribu ribu anak manjangan(5)


Nuruni sawah, bermakan padi(5)
Ribu ribu anak manjangan, sayang di sayang(5)
Nuruni sawah, bermakan padi(5)

Eiy sepuluh ribu dilarang jangan sayang(5)


sepuluh ribu dilarang jangan(5)
Kalau jodoh pasti menjadi(5)

Eiy jali-jali ini lagunya sayang (5)


Jali-jali ini lagunya(5)
Saya nanyi sama kawannya(5)

Setelah lagu kedua selesai dinyanyikan pembawa acara 1 dan 2


kembali

menyelingi

pertunjukan

dengan

banyolan-banyolan

serta

memanggil penyanyi 2, dimana penyanyi 2 dan penyanyi 4 menanyikan


lagu ke 3.
Transkrip:
Bini Dua
Dinyanyikan oleh penyanyi 2 dan penyanyi 4

Bang kenape giliran aye abang ga pulang-pulang(2)

11

Kalau udeh ame yang mude kaga inget yang tue(2)


Bukan abang ga mau pulang, nggak inget yang tua(4) (2: kaga caya abang)
Waktu abang mau kesini inget ama yang muda(4) (4: he-eh salah maaf neng)

Ga percaye, kaga percaye(2)


E dasar emang abang akal buaye(2)
Pulang ngomel, ga pulang ngomel(4)
Emang dasar mulut lu aje yang comel(4)

Eiy sekarang cerein saye(2)


Aye udeh ga sudi(2) (4: oke oke)
Gue bosen hidup begini (2)
Same juge disikse(2)

(4: timbang begitu aje minta bercere


2: yey abang, anak tu dikasih makan bang, bukannya abang ke rumah bini muda
mulu
4: beh, gue perempuan atu, tiga ntar gue cerein ya)

Bang kenape giliran aye abang ga pulang-pulang(2)


Kalau udeh ame yang mude kaga inget yang tue(2)
Bukan abang ga mau pulang, nggak inget yang tue(4)
Waktu abang mau kesini abang disuruh kerje(4)

(2: boong, aye kaga percaya


4: tanya bu RT noh)

Ga percaye, kaga percaye(2)


E dasar emang abang akal buaye(2)
Pulang ngomel, ga pulang ngomel(4)
Emang dasar mulut lu aje yang
comel(4)

Eiy sekarang cerein saye (2)


Aye udeh ga sudi(2)

12

Gue bosen hidup begini(2)


Same juga disikse(2)

Setelah lagu ke 3 selesai dinyanyikan pembawa acara 1 dan 2


serta penyanyi 2 mengeluarkan banyolan-banyolan. Lalu penyanyi 2
menyanyikan lagu ke 4
Transkrip:
Bibir Merah
Dinyanyikan oleh penyanyi 2

Bibir merah, bajunya merah


Kain merah, pita merah, semua merah
Tertawa pula, tanda suka
Itu dia nyonya yang berkepang dua

Senyum simpulnya, aduh manisnya


Rambut ikal berias muka berseri-seri tanda suka
Warna merah, bajunya merah
Sepatu merah, cincin merah, semua merah

Bibir merah, bajunya merah


Kerudung merah, baju merah, semua merah
Tertawa pula, tanda suka
Itu dia nyonya yang berkaos merah

Senyum simpulnya, aduh manisnya


Rambut ikal berias muka berseri-seri tanda suka
Warna merah, jilbabnya merah
Baju merah, sepatu merah, semua merah

Setelah

lagu

ke

selesai

dinyanyikan, penyanyi 2 keluar dari


panggung

dan

digantikan

dengan

penyanyi 3. Lalu pembawa acara 1

13

dan 2 kembali menyelingi acara dengan banyolan-banyolan mereka.


Setelah itu penyanyi 3 dan penyanyi 4 menyanyikan lagu ke 5.
Transkrip:

Sawah Ladang
Dinyanyikan oleh penyanyi 3 dan penyanyi 4

Adek manis adek manis(4)


Abang pergi jangan menangis(4)
Baik-baik jaga diri (4)
Abang ke kote cari rezeki(4)

Abang sayang abang sayang(3)


Ane baik jangan pulang(3)
Abang sayang abang sayang(3)
Lekas pergi segera datang(3)

Selamat tinggal oh sayang, selamat jalan ya abang(4)


Sawah dan ladang oh sayang jangan lupakan(4)
Selamat tinggal oh sayang(3 dan 4), selamat jalan oh sayang(3)
Sawah dan ladang oh sayang jangan lupakan(3 dan 4)

Abang sayang abang sayang(3 dan 4)


Cepat pergi jangan datang(3)
Abang sayang abang sayang(3)
Lekas pergi segera datang(3)

(4: sabar ya de ya
3: ga mau bang
4: abang mencari rezeki ke kota
3: jangan lama-lama bang, adek sendirian
bang)

14

Adek manis(4) (3: iye bang) adek manis(4) (3: saya)


Abang pergi jangan menangis(4)
Baik baik jaga diri(4)
Abang ke kote cari rezeki(4)

Abang sayang abang sayang(3)


Lekas pergi segera datang(3)
Baik baik jaga diri(4)
Lekas pergi, sawah dan ladang(4)

Selamat tinggal oh sayang, selamat jalan oh abang(4)


Sawah dan ladang oh sayang jangan lupakan(4)
Selamat jalan oh sayang(3), selamat jalan oh abang(3)
Sawah dan ladang oh sayang jangan lupakan(3 dan 4)

Abang sayang abang sayang(3 dan 4)


cepat pergi jangan pulang(3)
Baik baik jaga diri(4)
Jangan lupakan adek seorang(4)

Setelah itu para penyanyi terus menyanyikan lagu-lagu gambang


kromong lainya dan pertunjukan berakhir pada pukul 16.00
Keterangan:
Penyanyi 1: prempuan berbaju hitam
Penyanyi 2: prempuan berbaju merah muda
Penyanyi 3: prempuan berbaju merah
Penyanyi 4: pria berbaju ungu
Penaynyi 5: pria berbaju putih

2.2.

Analisis Unsur-Unsur

2.2.1. Analisis Pemain(penyanyi)

15

Secara

keseluruhan

penyanyi-penyanyi

yang

tampil

dalam

pertunjukan gambang kromong ini bagus. Hanya saja karena penyanyi 3


lupa lirik pada lagu sawah dan ladang, jadinya lagu tersebut menjadi
sedikit berantakan.

2.2.2. Analisis Pemusik dan Musik

Para pemusik pada pertunjukan gambang kromong ini terlihat


begitu bersemangat dalam meminkan alat musik mereka masing-masing.
Sedangkan musik yang dimainkan pada saat pertunjukan sangat sesuai
dengan lagu yang dibawakan.

2.2.3. Analisis Penonton

Sebagian besar pengunjung yang hadir pada pertunjukan tersebut


merupakan pengunjung Setu Babakan. Mereka terlihat sangat antusias
dengan pertunjukan tersebut, terutama anak-anak. Walaupun mereka
tidak naik ke atas panggung untuk berjoget bersama penyanyi, tetapi ada
beberapa penonton yang me-request lagu dan menyawer.

2.2.4. Analisis Panggung

Panggung yang disiapkan oleh panitia pada pertunjukan tersebut


terbilang cukup luas, karena dapat menampung para penanyi dan
pemusik di atasnya ditambah dengan ondel-ondel yang berada di kedua
sisi panggung yang membuat panggung tersebut menjadi lebih indah.

2.2.5. Analisis Perlengkapan Lain

Busana dan riasan yang dikenakan oleh para penyanyi sudah


sesuai dengan tema pertunjukan tersebut, yaitu budaya Betawi.
Sedangkan untuk pencahayaan, saya rasa pencahayaan di atas

16

panggung kurang begitu diperhatikan. Hal itu terlihat dengan minimnya


pencahayaan di atas panggung.

2.2.6. Analisis Tuturan


2.2.6.1.

Analisis Jeda dan Intonasi

Analisis jeda pada lagu pertama Ayam Jago:


dari hasil rekaman video yang saya dengar, seluruh bait yang
terdapat di lagu ini memiliki cara penyanyian yang sama antara bait
satu dengan bait yang lain, sehingga penjedaannya dan intonasinya
pun sama.
Ayam jago jangan diadu//
Kalau diadu/ jenggernya merah//
Ayam jago jangan diadu//
Kalau diadu/ jenggernya merah//

Baju ijo jangan diganggu//


Kalau diganggu/ yang punya marah//
Baju ijo jangan diganggu//
Kalau diganggu/ yang punya marah//

...
Analisis jeda pada lagu ke-2 Jali-Jali Bunga Siantan:
pada lagu ke-2 ini walaupun pada setiap bait terdapat perbedaan
tetapi tetap memiliki pola tersendiri, sehingga dapat saya katakan
setiap bait pada lagu ini memiliki jeda dan intonasi yang hampir sama.
Srini junjang semarak//, srini junjang semarak///
kalau ambil kita di kampung duri///
Srini junjang semarak//, sayangilah yang manis///
Ambil kita di kampung duri///

Kalau terselip nona di kampung orang//


Terselip di kampung orang/
Biar bisa membawa diri///

17

Kalau jali-jali bunga siantan nona//


Jali-jali bunga siantan,/
Saya nirik, saya pantan//
Yang blawetan
Laju laju perahu laju//, laju laju perahu laju//
Lajunya sampai pulau selawi///
Laju laju memang perahu laju///
Laju laju perahu laju//, lajunya sampai pulau selawi///
...

Analisis lagu ke-3 Bini Dua:


pada lagu ke-3 ini bait 4 sampai 6 merupakan pengulangan dari
bait 1 sampai 3, karena itu bait 4 memiliki persamaan jeda dan intonasi
yang sama dengan bait 1, bait 5 sama dengan bait 2 dan bait 6 sama
dengan bait 3.
Bang kenape/ giliran aye/ abang ga pulang/-pulang//
Kalau udeh/ ame yang mude/ kaga inget yang tue///
Bukan abang/ ga mau pulang/, nggak inget yang tua///
Waktu abang/ mau kesini/ inget ama yang muda///

Ga percaye/, kaga percaye//


E/ dasar emang abang/ akal buaye//
Pulang ngomel/, ga pulang ngomel//
Emang dasar mulut lu/ aje yang comel//

Eiy/ sekarang cerein saye/


Aye udeh ga sudi///
Gue bosen/ hidup begini/
Same juge disikse///
...

Analisis lagu ke-4 Bibir Merah:


pada lagu ke-4 ini terdapat persamaan intonasi dan penjedaan
antara bait 1 dengan bait 3 dan bait 2 dengan bait 4.
Bibir merah/, bajunya merah//
Kain merah/, pita merah/, semua merah//
18

Tertawa pula/, tanda suka//


Itu dia/ nyonya yang ber/kepang dua//

Senyum simpulnya/, aduh manisnya//


Rambut ikal/ berias muka/ berseri-seri tanda suka//
Warna merah/, bajunya merah//
Sepatu merah/, cincin merah/, semua merah///
...

Sedangkan untuk lagu ke-5, Sawah Ladang, tidak saya analisis


karena seperti yang saya katakan pada 2..2.1 mengenai analisis
pemain/penyanyi bahwa penyanyi 3 lupa lirik lagu. Sehingga lagu
Sawah Ladang tidak bisa dianalisis.
ket: intonasi ditandai dengan tanda () dan jeda ditandai dengan tanda (/). Semakin banyak
jumlah tandanya semakin tinggi intonasinya dan semakin panjang jedanya.

2.2.6.2.

Analisis Vokal

Pada lagu pertama bait pertama baris 1 dan 3 besifat aliterasi, dan
baris 2 dan 4 bersifat asonansi. Bait ke-2, 7, 9, dan 10, sama seperti
bait pertama. Bait ke-3, 4, 6, dan 8 bersifat aliterasi. Sedangkan bait ke5 pada baris ke- 1 dan 2 bersifat asonansi sedangkan baris 3, dan 4
bersfiat aliterasi.
Pada lagu ke-2
Srini junjang semarak, srini junjang semarak(asonansi)
kalau ambil kita di kampung duri(aliterasi)
Srini junjang semarak, sayangilah yang manis(aliterasi)
Ambil kita di kampung duri(aliterasi)

Kalau terselip nona di kampung orang(asonansi)


Terselip di kampung orang(asonansi)
Biar bisa membawa diri(aliterasi)

Kalau jali-jali bunga siantan nona(aliterasi)


Jali-jali bunga siantan,(asonansi)

19

Saya nirik, saya pantan(asonansi)


Yang blawetan(asonansi)

Laju laju perahu laju, laju laju perahu laju(alisterasi)


Lajunya sampai pulau selawi(aliterasi)
Laju laju memang perahu laju(aliterasi)
Laju laju perahu laju, lajunya sampai pulau selawi(aliterasi)

Lupalah kain, lupa dan baju, nona(aliterasi)


Lupa kain, lupa dan baju(aliterasi)
Jangan di lupa seni betawi(aliterasi)

Jalilah jali setu babakan, nona(aliterasi)


Jali jali setu babakan(aliterasi)
Ada yang nangis, ada yang makan(asonansi)

Ribu ribu anak manjangan, ribu ribu anak manjangan(asonansi)


Nuruni sawah, bermakan padi(aliterasi)
Ribu ribu anak manjangan, sayang di sayang(asonansi)
Nuruni sawah, bermakan padi(aliterasi)

Eiy sepuluh ribu dilarang jangan sayang(asonansi)


sepuluh ribu dilarang jangan(asonansi)
Kalau jodoh pasti menjadi(aliterasi)

Eiy jali-jali ini lagunya sayang (asonansi)


Jali-jali ini lagunya(aliterasi)
Saya nanyi sama kawannya(aliterasi)

Pada lagu ke-3 bait 1 dan 4 memiliki sifat yang sama yaitu, baris
pertama bersifat asonansi dan baris 2, 3, 4 bersifat aliterasi. Bait 2 dan
5 memiliki sifat yang sama yaitu, baris 1 dan 2 bersifat aliterasi
sedangkan baris 3 dan 4 bersifat asonansi. Bait 3 dan 6 memiliki sifat
yang sama yaitu semua barisnya bersifat aliterasi.
Pada lagu ke-4 bait 1 dan 3 memiliki sifat yang sama yaitu, baris 1,
2, 4 bersifat asonansi sedangkan baris ke 3 bersifat aliterasi. Bait 2 dan
20

4 memiliki sifat yang sama yaitu, baris 1 dan 2 bersifat aliterasi


sedangkan baris 3 dan 4 bersifat asonansi.
Ket: Aliterasi berakhiran vokal sedangkan asonansi berakhiran konsonan pada akhir
baris.

2.2.6.3.

Analisis Rima

Pada lagu pertama semua bait berima a-b-a-b. Pada lagu kedua
tidak terdapat ola rima yang jelas.
Pada lagu ketiga, keempat,maupun kelima terdapat persamaan
pola rima.

2.2.6.4.

Analisis Paralelisme

Yang terlihat adanya sifat paralelisme adalah lagu kedua yaitu pada
larik Laju laju perahu laju, laju laju perahu laju". Pada larik tersebut
terdapat sifat paralelisme pada awal kalimat.
Hal serupa terlihat juga pada lagu ketiga pada larik Bang kenape
giliran aye abang ga pulang-pulang. Pada larik tersebut terdapat sifat
paraelisme pada akhir kalimat.

21

Bab 3
Penutup

3.1.

Kesimpulan

Gambang kromong merupakan hasil asimilasi kebudayaan etnis


Betawi dan etnis Tionghoa, hal ini dapat terlihat dari alat musik dan lagulagu gambang kromong yang bernuansa Tionghoa. Penyebaran gambang
kromong tidak hanya di wilayah DKI Jakarta saja, tetapi juga mencakup
wilayah Jabodetabek yang terdapat peranakan Tionghoa.
Lagu-lagu gambang kromong dewasa ini kebanyakan berasal dari
para seniman Betawi yang bergenre pop, tetapi masih sering dijumpai
lagu-lagu gambang kromong seperti Jali-Jali dan Ayam Jago yang
merupakan lagu gambang kromong klasik.
Dari hasil analisis tuturan yang saya lakukan, ternyata dari lima
lagu gambang kromong yang dianalisis terdapat 4 lagu yang berupa
pantun yaitu Ayam Jago, Jali-Jali Bunga Siantan, Bini Dua dan Bibir
Merah, walaupun pada lagu Jali-Jali Bunga Siantan kurang begitu terlihat
pola pantun.

3.2.

Saran

Dari hasil kunjungan saya ke perkampungan budaya Betawi Setu


Babakan yang berada di Srengseng, Sawah Besar. Terlihat bahwa
perkampungan itu kurang begitu terawat dangan baik terutama di daerah
pinggiran danau. Karena saya melihat banyak sekali sampah-sampah
berserakan di tanah, kios-kios pedagang yang letaknya berantakan, tidak
adanya lahan parkir, jadi mobil dan motor parkir seenaknya di pinggir jalan,
dan sebagainya.

22

Saran

saya

adalah

seharusnya

pemerintah

harus

lebih

memperhatikan dan mengelola daerah ini dengan baik, karena saya yakin
jika daerah ini dikelola dengan baik bukannya tidak mungkin jika nantinya
di masa depan daerah ini dapat dijadikan objek wisata oleh wisatawanwisatawan domestik maupun mancanegara.

23

Referensi

Brunvand, Jan Hrold. 1968. The Study of American Folklore An


Introduction. New York: W.W. Norton & CO- Inc.

Chaer, Abdul. 2012. Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan


Orang Betawi. Jakarta: Masup.

Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Ikhtiar


Kesenian Betawi. 2003.

Djananjaja, James. 2007. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng,


dan lain-lain. Jakarta: Kreatama.

Kwa, David. 2005. Lebih Dalam tentang Gambang Kromong dan


Wayang Cokek. Dewan Kesenian Tanggerang. Jurnal Kesenian Cisadane
Nomor 1, Juni 2005.

24

Você também pode gostar