Você está na página 1de 22

APA ITU WTO DAN MENGAPA KITA HARUS MELAWANNYA

Posted by bumirakyat1917 on 19 November 2013 Tinggalkan Sebuah Komentar

Akhir September 2000, puluhan ribu orang mencoba memprotes pertemuan Bank
Dunia dan IMF (Dana Moneter Internasional) di Praha. Protes demikian adalah
tindakan yang benar untuk dilakukan. Namun apa yang mereka protes? Bank Dunia,
IMF, dan WTO (World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia)
langkahnya telah dihentikan di Seattle Desember lalumerupakan pilar-pilar tatanan
ekonomi kapitalis global. Mereka menyarakan bahwa permasalahan-permasalahan
seperti kelaparan dunia, kerusakan lingkungan, dan peracunan makanan terjadi
begitu saja. Padahal semua hal ini sebenarnya akibat perusahaan-perusahaan
multinasional raksasa yang mengendalikan sumber daya-sumber daya ekonomi dunia.
Tiga institusi (Bank Dunia, IMF, dan WTO) adalah para pemaksanya.

Apa Itu WTO?


Mari kita lihat WTO terlebih dahulu. WTO muncul dari GATT (General Agreement on Tariffs and
Trade) pada tahun 1994. Ia memandang dirinya sendiri sebagai sejenis pengadilan yang menjamin
terdapat lapangan bermain yang datar di arena perdagangan dunia. Ia tidak lain dan tidak bukan
adalah gendarme pasar bebas. Gregory Palast, dalam salah satu edisi Big Issue, memberikan kilasan
apa sebenarnya kepentingan WTO. Awal tahun 2000, seorang perempuan berusia 30 tahun
meninggal akibat kanker payudara di London. Maude, nama perempuan itu, bisa saja diselamatkan
namun, Otoritas Kesehatan lokalnya memutuskan bahwa mereka tidak mampu membeli obat Taxol.
Taxol adalah obat yang sangat mahal yang diproduksi oleh Bristol-Myers Squibb, yang menjualnya
dengan mark up sebesar 900%. Perusahaan tersebut bisa menetapkan harga semahal itu karena
perusahaan tersebut adalah suatu perusahaan monopoli. Bila perusahaan atau negara lain berusaha
memproduksi Taxol sesuai harga yang mampu dijangkau oleh otoritas kesehataan, maka BristolMyers Squibb akan menuntut dan menyeret mereka ke meja hijau. Mereka bisa membawa kasusnya
ke WTO di bawah klausa-klausa TRIPS (Trade in Intellectual Property Rights atau Perdagangan Hakhak Kekayaan Intelektual). WTO menganggap bahwasanya melindungi hak-hak monopoli
perusahaan-perusahaan multinasional itu lebih penting daripada menyelamatkan nyawa rakyat
kecil.
Bagaimana bisa mereka membenarkan ini? WTO menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan seperti
Bristol-Myers Squibb telah menghabiskan sejumlah uang yang sangat besar untuk mengembangkan
obat-obatan yang manjur seperti Taxol. Mengapa mereka repot-repot mengurusi kalau obat-obatan
tersebut bisa dirampas oleh si Budi, si Toni, si ini, si itu, dan sebagainya? Karena melindungi hakhak kekayaan intelektual mereka adalah satu-satunya cara untuk merangsang kemajuan. Memang
hal ini menyebabkan Maude meninggal dalam penderitaan namun beginilah cara kerja dunia
kapitalis.
Sesungguhnya penelitian dan pencetusan pemikiran-pemikiran cemerlang demikian tidak dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan demikian melainkan dilakukan oleh para pekerja. Namun tiap pekerja
yang bergabung dengan Bristol-Myers Squibb dipaksa menandatangani kontrak yang menyerahkan
hak-hak kekayaan intelektual mereka pada perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Lagipula
bukanlah perusahaan obat yang menemukan Taxol. Sebenarnya Taxol ditemukan oleh para peneliti
pemerintahan. Semua yang dilakukan oleh Bristol-Myers adalah mematenkan ukuran dosisnya.
Dengan itu, kini dunia harus menebusnya ke Bristol-Myers kalau ingin mendapatkan obatnya. Peran
WTO adalah membantu perusahaan-perusahaan demikian dengan semua kekuatan yang ada. Jadi
siapa yang membunuh Maude? Pelakunya adalah WTO.
Bagi WTO dan Perusahaan-Perusahaan Demikian Laba Lebih Penting daripada Rakyat
Kisah yang dialami Maude bukanlah satu-satunya yang menimpa rakyat. Afrika Selatan kini terancam
oleh wabah AIDS dengan tingkatan yang lebih serius daripada wabah apapun yang pernah dialami di
Eropa sejak wabah Maut Hitam (Black Death). Usia harapan hidup diperkirakan anjlok sampai di
bawah empat puluh tahun. Meskipun belum bisa menyembuhkan sepenuhnya, ada obat-obatan yang
bisa membantu para penderita. Glaxo memproduksi suatu obat yang disebutAZT. Harganya tidak
murah, karena Glaxo bisa me-mark up-kannya hingga 400% karena monopoli patennya. Afrika
Selatan butuh banyak obat demikian, namun tidak mampu membayar harga-harga yang ditetapkan

Glaxo. Argentina menawarkan diri untuk memproduksi AZT dengan harganya yang bisa dijangkau
oleh Jasa Kesehatan Afrika Selatan. Namun Al Gore, Wakil Presiden Amerika saat itu sekaligus
tukang pukul bagi bisnis-bisnis raksasa atau konglomerasi AS seketika memperkarakan Argentina ke
WTO. Dalam hal hak-hak kekayaan intelektual, WTO adalah hakim algojo. Argentina dipaksa
menyurutkan niatnya, sehingga jutaan orang akan menderita dan mati di Afrika Selatan. Terima kasih
banyak, WTO!
Apakah WTO melindungi inovasi? Apa yang pasti adalah WTO tidak melindungi hajat hidup dan
nyawa kita! AZT dirancang di laboratorium-laboratorium AS, dua puluh tahun sebelum virus AIDS
ditengarai. Semua yang dilakukan Glaxo adalah mematenkan hasil-hasil penelitian orang lainwaktu
kita masih kecil ibu kita pernah berkata bahwa nama tindakan tercela macam ini adalah pencurian.
Manajemen Glaxo dengan jelas meyakini bahwa sektor publik harus menanggung ongkos-ongkos
penelitian dasar namun hasil-hasilnya malah dikantongi para pencipta kaya dengan dalih imbalan
atas entrepeneurship mereka.
Contoh paling ekstrim dari hal ini adalah Rice Tec, perusahaan Amerika yang mengklaim nasi basmati
adalah hak ciptanya yang sudah dipatenkan. Klaim ini bermasalah karena beras basmati sudah ada
selama ratusan tahun. Jadi beras basmati dikembangkan oleh kaum tani India sendiri. Bayangkan
kemarahan kaum tani yang leluhurnya telah menemukan beras basmati ini dan mendapati bahwa
berabad-abad kemudian perusahaan-perusahaan kapitalis bisa mengklaim makhluk hidup (berupa
benih padi) yang tidak mereka kembangkan sama sekali.

Pelajaran ekonomi pertama yang kita dapat di sekolah adalah mengenai kedaulatan konsumen. Hal
ini adalah tentang bagaimana dalam pasar, kapitalis-kapitalis saling bersaing satu sama lain untuk
memberi apa yang kita inginkan. WTO telah melangkah lebih jauh dari pelajaran pertama ini. Bila
kita tidak ingin ada organisme yang direkayasa secara genetis di dalam makanan kita (dan survei
membuktikan mayoritas rakyat menentang rekeyasa genetis demikian) maka WTO bertekad agar
bisnis-bisnis raksasa tetap bisa mencekoki pangan yang sudah direkayasa genetis tersebut ke dalam
kerongkongan kita, suka atau tidak suka. Mereka memberi jalan pada saudagar-saudagar benih dan
pangan untuk mencampur produk-produk pangan yang sudah direkayasa secara genetis dengan
panen yang belum direkayasa serta melarang adanya pelabelan untuk membedakan mana yang
direkayasa dan mana yang tidak sehingga akibatnya konsumen tidak bisa memilih mana yang mereka
ingin beli. Setelah skandal listeria, salmonella, dan BSE, WTO bertekad untuk memberi jalan pada
agribisnis-agribisnis raksasa agar bisa terus meracuni kita demi kepentingan menumpuk laba. Ini
bukanlah tindakan mendorong perusahaan atau menjamin lapangan main dalam perdagangan dunia.
Ini adalah tindakan memaksa para buruh dan konsumen untuk saling berjejer agar bisa ditembak
oleh penindasan dan penghisapan perusahaan-perusahaan multinasional. Peran inilah yang
dimainkan WTO.
IMF dan Bank Dunia
IMF dan Bank Dunia, sebagaimana GATT yang ditransmutasikan menjadi WTO, merupakan badanbadan yang didirikan setelah Perang Dunia II (PD II) untuk mengatur atau meregulasi kapitalisme
dunia. Meskipun perbedaan antara keduanya tidak sepenuhnya jelas, namun Bank Dunia berperan
untuk pengembangan finansial jangka panjang, sedangkan IMF bertugas untuk manajemen krisis
atau sebagaimana yang disebut penulis Anthony Sampson sebagai sheriff finansial. Faktanya kedua
instusi tersebut menjalankan agenda neo-liberal secara kejam, dengan menggunakan jeratan-jeratan
hutang sebagai kapak untuk menjebol dan membuka negara-negara rapuh sehingga bisa dijarah oleh
perusahaan-perusahaan multinasional. Mereka juga menjalankan peran sebagai suatu sistem asuransi
bagi kaum bankir negara dunia pertama. Selama 1980an dan awal 1990an, pinjaman terhadap
pemerintah negara-negara miskin dipandang sebagai suatu lisensi untuk mencetak uang. Oleh karena
itu institusi-institusi finansial maju memandang bahwa sudah merupakan tugasnya untuk masuk
demi kepentingan perusahaan. Dengan adanya krisis Mexico tahun 1994 dan keruntuhan Asia
Timur tahun 1997, ini merupakan situasi panik bagi kaum bankir. Bank Dunia kemudian mengambil
kesempatan sementara IMF kemudian masuk dan menangani mismanajemen ekonomi berbagai
negara yang beberapa minggu sebelumnya dijuluki sebagai keajaiban ekonomi. Akibatnya Bank Dunia
telah menasionalisasi hutang dunia ketiga yang tidak berjalan untuk membebaskan bank-bank di
negara-negara imperialis.
Baik Bank Dunia maupun IMF masuk untuk kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural sebagai
syarat agar negara-negara lain bisa mendapatkan kucuran hutang. Sebagai akibatnya, mereka
menuntut suatu open-house bagi bisnis-bisnis raksasa. Faktanya, Pasal 1 Charter Bank Dunia
menggariskan lima sasaran organisasi tersebut. Satu, untuk mempromosikan investasi asing swasta,
lainnya adalah untuk menjalankan operasi-operasinya dengan mengacu pada efek investasi
internasional di atas syarat-syarat bisnis dalam wilayah-wilayang anggota. Jelas sudah!

Apa yang diakibatkan oleh penyesuaian struktural di negara-negara termiskin? Berikut adalah neraca
Afrika pada 1980an:
Antara 1980 dan 1989 sekitar tiga perempat negara-negara Afrika menerima hutang-hutang
penyesuaian struktural. Selama periode yang sama itulah rata-rata produk domestik bruto per kapita
di negara-negara tersebut turun 1,1% per tahun, sementara produksi pangan per kapita juga
mengalami penurunan secara terus-menerus. Nilai riil upah minimum anjlok sampai 25%, anggaran
pendidikan turun dari $11 milyar ke $t ilyar dan pendaftaran anak sekolah dasar turun dari 80% di
tahun 1980 menjadi 69% di tahun 1990. Jumlah orang miskin di negara-negara tersebut meningkat
dari 184 juta di tahun 1985 menjadi 216 juta di tahun 1990, meningkat sebanyak 17%.
Terimakasih banyak, kawan!
Dan Ampuni Utang Kami!
Tahun 1999 Gordon Brown membual bahwa melalui Bank Dunia dia berhasil mendorong negaranegara kapitalis maju untuk melaksanakan suatu program pengampunan hutang yang sangat terbatas
untuk segelintir negara-negara termiskinasalkan mereka bersedia menjadi anak-anak manis yang
patuh di hadapan kapitalisme dunia. $100 milyar hutang dihapuskan. Namun rencana tinggal
rencana. Oxfam kemudian murka atas tidak dipenuhinya janji tersebut. Mereka mengatakan: Bank
Dunia dan jajarannya terus gagal melaksanakan mandat dan visinya terutama mengenai pengurangan
beban hutang. Memang hutang adalah beban tak berguna bagi negara-negara miskin. Ambil contoh
Republik Guinea-Bissau. Ekspor utama mereka adalah jambu mete. Namun hutang negaranya lebih
dari sepuluh kali total ekspornya. Demi melunasi jeratan hutang yang makin tak terkendali maka
negara tersebut harus mengekspor jambu mete dua setengah kali lebih banyak dari jumlah yang saat
ini bisa mereka produksi.
Dalam semua kasus, hutang-hutang Bank Dunia bukanlah solusi bagi kemiskinan dunia melainkan
bagian dari permasalahan. Bank Dunia meraup keuntungan $1 milyar per tahun dari praktek
meminjamkan hutang. Hal ini jelas merupakan perampasan sumber daya dari yang miskin ke yang
kaya.
Apa syarat-syarat yang diharuskan oleh kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural? Di Zambia,
mereka menuntut pemotongan anggaran pembelanjaan negara serta menuntut privatisasi. Kaum
orang tua sekarang harus membayar untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jelas banyak yang
tidak mampu sehingga sistem pendidikan merosot. Selain itu akibat pertolongan dan bantuan
Bank Dunia, tingkat kelahiran bayi dengan selamat, anjlok sebesar 25%.
Di Bolivia, IMF dan Bank Dunia menuntut pemerintah agar memprivatisasi air. Sistem itu dijual ke
suatu konsorsium Amerika dan Inggris. Keuntungan yang dihasilkan oleh konglomerat-konglomerat
yang merampok konsumen-konsumen Inggris digunakan untuk memiskinkan rakyat Bolivia. Di Kota
Cochabamba, rakyat jelata bangkit menentang undang-undang air yang baru. Militer Bolivia
merespon dengan menembaki lima orang demonstran sampai mati. Semua dilakukan untuk
melindungi keuntungan bisnis imperialis. Sementara militer Bolivia menembaki rakyatnya sendiri,
Presiden Bank Dunia menyatakan dukungannya terhadap represi demikian secara blak-blakan dan
mendukung privatisasi tersebut. Mereka berkata: Menurut pandangan kami, menutut sektor swasta
dalam bisnis air bukan hanya tidak realistis namun juga menghalangi solusi untuk penyediaan air
pada rakyat miskin. Itulah mengapa Bank Dunia bekerjasama dengan pemerintah untuk memobilisasi

inisiatif dan sumber daya swasta. Perkataan indah ini memang menipu karena pada kenyataannya di
lapangan kepentingan perusahaan imperialis dijalankan dengan tangan besi diatas genangan darah
rakyat.

Waktunya Bergerak!
Terlepas dari pemotongan-pemotongan anggaran belanja pemerintahan dan privatisasi yang terjadi,
IMF dan Bank Dunia juga bersikeras untuk menghapus undang-undang dan semua peraturan yang
pro serikat buruh dan melindungi kesehatan serta keamanan kerja; IMF dan WRO menuntut agar
pensiun layak dan skema-skema kesejahteraan dihapuskan; mereka ingin agar setiap negara dibuka
lebar pada masuknya kekuasaan perusahaan multinasional. Bukan hanya negara dunia ketiga yang
menjadi mangsa penerapan program busuk berupa penyesuaian struktural yang memiskinkan rakyat
buruh. Negara tuan rumah yang mengadakan pertemuan, yaitu Republik Ceko, juga terpaksa
mengemis hutang sebesar $ 3,9 milyar. Ongkos ini harus dibayar. Sistem kesejahteraan direformasi
sampai hampir habis sama sekali. Tunjangan-tunjangan anjlok hingga 44% sejak tahun 1997 akibat
tuntutan IMF dan WTO. Jumlah itu bahkan tidak sampai setengah total tunjangan di tahun 1991.
Kaum demonstran sedunia melawan kapitalisme global ini. Sekaranglah saatnya sistem penindasan
dan instrumen-instrumen pemaksanya ini, untuk dienyahkan!

* ditulis oleh Mick Brooks dan dipublikasikan marxist.com pada Rabu 4 Oktober 2000.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan kembali via Bumi Rakyat.

Apa Itu WTO?


Sebagai satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah
perdagangan antar negara, World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan
Dunia merupakan sebuah pintu gerbang bagi suatu negara untuk memperluas akses
pasarnya. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi
Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. Sistem perdagangan multilateral
WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan
internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara
anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat
pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.

I. Sejarah pembentukan WTO


Pasca Perang Dunia II, kondisi perekonomian dunia mengalami perlambatan yang cukup
signifikan. Perbedaan pandangan politik di tengah terbentuknya dua blok baru antara
kapitalisme dan komunisme, menyebabkan semakin menguatnya upaya proteksionisme
perdagangan yang semakin menekan upaya perbaikan ekonomi pasca perang dunia.
Kondisi ini mendorong beberapa negara yang memiliki tingkat perdagangan dunia yang
besar untuk menyusun sebuah sistem perdagangan multilateral yang kemudian
menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal sebagai General Agreement on Tariff and
Trade (GATT)
pada
tahun
1947.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO),
suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan
Bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and
Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga
legislatif negara anggota tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres
Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan tidak meratifikasi
Piagam Havana, sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian,
GATT tetap merupakan instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional.

Bersama berjalannya waktu, GATT semakin membuka diri kepada negara-negara lain untuk
menjadi anggota. Pada tahun 1947, anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan
akhirnya terus berkembang menjadi 123 negara yang terlibat dalam Putaran Uruguay pada
tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara anggota GATT sepakat untuk
membentuk suatu lembaga baru yakni WTO. Setelah melewati masa transisi untuk
memberikan kesempatan ratifikasi di tingkat nasional anggota, WTO secara resmi berdiri
pada tanggal 1 Januari 1995. Walau telah terbentuk organisasi baru di bidang perjanjian
perdagangan internasional, GATT masih tetap ada sebagai payung perjanjian di dalam
WTO berdampingan dengan perjanjian lain seperti General Agreement on Trade in Service
(GATS) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights(TRIPs).
II. Tujuan dan Manfaat WTO
Pembentukan WTO sebagai organisasi di tingkat internasional yang mengatur mengenai
kebijakan perdagangan di tingkat dunia, tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai.
Beberapa tujuan tersebut antara lain:

Mendorong arus perdagangan antara negara, dengan mengurangi dan menghapus


berbagai hambatan (baik dalam bentuk tarif maupun bukan tarif) yang dapat mengganggu
kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.

Menyediakan forum perundingan yang lebih permanen sehingga akses pasar dapat
terbuka dan berkesinambungan.

Memfasilitasi penyelesaian sengketa akibat konflik-konflik kepentingan yang


ditimbulkan dalam hubungan dagang.
Cita-cita WTO perdagangan dunia yang lebih bebas menjadi hal yang menarik bagi banyak
negara. Hal ini terlihat dari semakin banyak negara yang bergabung dalam WTO. Pada
tahun 2008 jumlah negara yang bergabung dalam keanggotaan WTO telah mencapai 153
negara yang merepresentasikan 95% volume perdagangan dunia dan 30 negara observer
yang sedang menanti keanggotaan WTO. Banyaknya negara yang bergabung dalam WTO
mengindikasikan besarnya manfaat yang dapat diberikan WTO dalam perdagangan dunia.
Setidaknya terdapat 10 keuntungan yang diklaim melalui penerapan sistem perdagangan
WTO (WTO, 2008) yakni:

Sistem perdagangan multilateral yang diterapkan oleh WTO dapat mendorong


terjaganya perdamaian. Penerapan sistem proteksionisme pada dekade 1930 dinilai menjadi
salah satu pemicu meletusnya Perang Dunia. Dengan adanya sistem perdagangan yang
lebih terbuka melalui WTO, konflik kepentingan dagang antar negara diharapkan dapat
dihindari sehingga perdamaian dunia akan lebih terjaga.

Persengketaan dagang antar negara dapat diatasi secara konstruktif. Selain


menyediakan forum penyediaan sengketa antara negara, kesepakatan WTO dapat menjadi
basis penilaian atas sengketa perdagangan yang terjadi. Dengan demikian melalui WTO,
sengketa perdagangan dapat diselesaikan dengan menyesuaikan terhadap kesepakatan
yang ada dibandingkan melakukan negosiasi bilateral yang lebih berpotensi melahirkan
ketegangan hubungan diplomatik.

Peraturan yang seragam akan memudahkan perdagangan antar negara. Dengan


adanya peraturan yang seragam bagi setiap anggota, variasi-variasi dalam perdagangan
dapat dihindari sehingga proses perdagangan akan berjalan dengan lebih lancar.

Perdagangan bebas dapat membuat biaya hidup menjadi lebih murah. Dengan
adanya pembebasan tarif, harga yang harus dibayarkan oleh konsumen maupun bahan
baku yang akan digunakan dalam proses produksi dapat menjadi lebih murah sehingga
biaya hidup yang ditanggung akan menjadi lebih rendah.

Memberikan lebih banyak pilihan produk dan kualitas untuk kosumen. Dengan
sistem perdagangan yang lebih global, konsumen di setiap negara dapat mengakses
produk-produk yang dihasilkan di negara lain sehingga akan ada lebih banyak pilihan baik
dari sisi produk maupun kualitas.

Perdagangan dapat meningkatkan pendapatan. Berdasarkan estimasi WTO,


semenjak Putaran Uruguay, perdagangan dunia menyumbangkan $ 109 Milyar - $ 510
Milyar terhadap perekonomian dunia.

Mendorong pertumbuhan ekonomi. Meluasnya akses pasar hasil produksi akan


mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang berarti akan semakin besarnya jumlah
lapangan pekerjaan yang dapat disediakan.

Mendorong sistem ekonomi berjalan lebih efisien. Perdagangan menyebabkan dapat


terjadinya perputaran sumber daya baik bahan baku maupun tenaga kerja sehingga sistem
ekonomi dapat berjalan dengan lebih efisien.

Negaranegara anggota WTO akan terlindung dari praktekpraktek persaigan yang


tidak sehat. Aturan perdagangan yang dihasilkan dalam kesepakatan WTO dapat mencegah
terjadinya praktek perdagangan yang tidak sehat dari negara lain.

Mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih. Kesepakatan WTO berkomitmen


untuk menciptakan perdagangan yang lebih bebas yang berkelanjutan. Kondisi ini akan
memberikan tingkat kepastian yang lebih baik kepada dunia usaha sekaligus dapat
mengawal pelaksanaan pemerintahan yang bersih.
III. Prinsip WTO
Untuk menjaga agar tujuan dari WTO dapat dicapai dengan baik, diperlukan prinsip dasar
yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota. Prinsip-prinsip ini disusun dengan tujuan
mencegah pembatasan perdagangan yang tidak diperlukan. Prinsip-prinsip dasar yang
dianut oleh seluruh anggota WTO meliputi:

Perlakuan sama terhadap semua mitra dagang (Most Favored Nation). Prinsip ini
menekankan bahwa semua anggota WTO diharuskan memperlakukan mitra dagangnya
sebagai rekan dagang yang paling difavoritkan. Sehingga satu kebijakan perdagangan
spesial yang diberikan kepada satu mitra dagang harus diberikan pula kepada seluruh
anggota WTO yang lain. Dengan demikian, anggota WTO tidak dapat melakukan
diskriminasi kepada negara tertentu. Namun terdapat beberapa pengecualian kepada
negara-negara yang bergabung dalam perjanjian pasar bebas yang dapat memberlakukan
kebijakan eksklusif kepada kelompoknya serta perdagangan di bidang jasa dalam batas dan
kondisi tertentu.

Perlakuan Nasional (National Treatment). Selain bertindak sama kepada seluruh


mitra dagang, anggota WTO turut memegang prinsip tidak melakukan diskriminasi terhadap
produk impor yang masuk ke negaranya. Prinsip ini menyatakan bahwa produk impor harus
diperlakukan setara dengan kebijakan yang dilakukan terhadap produk domestik setidaknya
setelah produk impor tersebut masuk ke dalam pasar domestik.

Transparansi (Transparency). Demi menjaga kesinambungan kebijakan WTO,


negara anggota diwajibkan untuk transparan terhadap kebijakan perdagangan yang diambil

sehingga mempermudah para pelaku usaha dalam membuat perencanaan dan mengambil
keputusan. Oleh karena itu, setiap negara diwajibkan untuk menotifikasi seluruh kebijakan
perdagangan yang diambil.

Pengikatan Tarif (Tariff Binding). Walau dalam perjanjian GATT suatu negara tidak
dilarang untuk mengenakan tarif terhadap barang impor, GATT memberikan kesempatan
untuk masing-masing negara mengikatkan diri untuk memberikan konsensi tarif berdasarkan
negosiasi tarif secara multilateral. Apabila telah disepakati, tarif suatu negara atas produk
tersebut tidak boleh melebihi komitmen tarif yang telah disepakati. Dalam hal pelanggaran
komitmen dari negara importir, negara eksportir berhak untuk mendapatkan kompensasi
ataupun bila tidak melakukan tindakan balasan (retaliasi) dengan meningkatkan tarif untuk
produk yang menjadi kepentingan negara eksportir. Selain itu, dalam Protokol Maraskesh
disepakati untuk melakukan penurunan tarif secara bertahap antar negara anggota WTO.

Penghapusan Kuota. Sesuai dengan Artikel XI dalam GATT, WTO bertujuan untuk
melakukan pengurangan hambatan kuota atas ekspor dan impor. Pertimbangan ini
dilakukan untuk mencegah kurangnya transparansi dalam pengaturan bea masuk dan
distorsi harga yang disebabkan tidak berlakunya hukum permintaan dan penawaran.
Terdapat pengecualian terhadap prinsip tersebut yakni apabila penerapan kuota tersebut
dimaksudkan dalam rangka program stabilitas pasar terkait produk pertanian, permasalahan
pada neraca pembayaran, dan alokasi kuota.
IV. Sistem Organisasi WTO
Berbeda dengan beberapa organisasi internasional yang lain seperti IMF dan Bank Dunia,
WTO merupakan organisasi yang sepenuhnya dijalankan oleh anggota. Di dalam WTO,
setiap negara memiliki kedudukan yang sama dan saling bernegosiasi dalam mengambil
kesepakatan bersama. Dengan demikian tidak terdapat susunan dewan direksi yang akan
menjalankan kegiatan organisasi, namun seluruh kegiatan dilakukan secara bersama-sama
oleh perwakilan negara anggota WTO.
Oleh karena itu, WTO dalam mengambil keputusan melalui berbagai jenis dewan (council)
dan komite (committee). Sedangkan keputusan tertinggi WTO diambil melalui forum
Konferensi Tingkat Menteri yang dilakukan secara periodik selama 2 tahun sekali.
Konferensi Tingkat Menteri ini mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atas
semua hal-hal yang dirundingkan ditingkat bawah dan menetapkan masalah-masalah yang
akan dirundingkan dimasa mendatang. Struktur di bawah Konferensi Tingkat Menteri
adalah General Council (Dewan Umum) yang didukung oleh 2 badan pendukung
yakni Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) dan Trade Policy Review
Body (Badan Pengkajian Kebijakan Perdagangan). Untuk mendukung kinerjanya, General
Council membawahi 3 badan yaitu:

Council For Trade in Goods (CTG) yaitu badan yang menangani masalah
perdagangan barang. Badan ini membawahi berbagai komite ditambah kelompok kerja
(working group) serta badan yang khusus menangani masalah textil dan pakaian jadi
yaitu Textiles Monitoring Body (TMB). Komite-komite yang berada di bawah CTG adalah
Komite yang menyangkut masalah Market Access, Agriculture, Sanitary and Phytosanitary,
Rules of Origin, Subsidies and Countervailing measures, Custom Valuation, Technical
Barriers to Trade, Anti-dumping Practices, Import Licensing, dan Safeguard.

Council For Trade in Services (CTS) yaitu badan yang menangani masalah
perdagangan jasa. CTS hanya membawahi satu komite yaitu Committee Trade in Financial

Services ditambah dengan satu kelompok kerja (working party) di bidang jasa profesional
(professional services).

Council For Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Council For
TRIPs) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan yang berkaitan dengan masalah
penggunaan hak kekayaan intelektual.
Selain dewan dan komite tersebut, WTO mempunyai Komite Plurilateral yang mengatur
kesepakatan khusus diantara beberapa anggota WTO saja. Keputusan dari Komite
Plurilateral ini hanya mengikat kepada negara yang menandatangani kesepakatan tersebut
saja. Adapun Komite Plurilateral diwajibkan untuk menginformasikan aktivitas dan
keputusan mereka kepada General Council maupun badan di bawahnya.
Untuk mendukung peran dari organisasi WTO tersebut, dibentuk sebuah sekretariat yang
berlokasi di Jenewa, Swiss. Sekretariat WTO dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang
diangkat oleh sidang tingkat menteri. Sekretariat tersebut tidak memiliki kewenangan dalam
mengambil keputusan. Tugas utama dari sekretariat WTO antara lain:

Menyediakan bantuan teknis dan profesional kepada badan-badan yang berada di


dalam struktur WTO.

Memberikan bantuan teknis untuk negara berkembang.

Mengawasi dan menganalisa perkembangan perdagangan dunia.

Menyediakan informasi kepada publik dan media.

Memberikan bantuan hukum dalam proses penyelesaian sengketa.

Memberikan saran kepada pemerintah yang ingin bergabung menjadi anggota WTO.

Menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri.


Pengambilan keputusan dalam WTO dilakukan melalui konsensus yang diperoleh dari hasil
perundingan seluruh negara anggota. Namun, apabila konsesus tersebut sulit untuk dicapai,
pengambilan keputusan akan dilakukan dengan pengambilan suara terbanyak (voting)
dengan sistem satu negara satu suara yang ditentukan oleh suara mayoritas. Adapun
kondisi yang harus dipenuhi dalam pengambilan suara terbanyak antara lain:

Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk memutuskan kesepakatan


perdagangan multilateral.

Mendapat persetujuan minimal anggota WTO untuk melepaskan suatu negara dari
suatu kewajiban dalam WTO.

Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk mengamandemen


kesepakatan WTO.

Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk menetapkan anggota baru.
V. Putaran-putaran Perundingan WTO
Dalam pelaksanaannya, pengambilan keputusan di GATT dan WTO dilakukan melalui
mekanisme perundingan multilateral yang kemudian dikenal sebagai Putaran
Perdagangan (trade round). Perundingan ini dilakukan untuk mendorong liberalisasi
perdagangan
internasional.

Pada tahun-tahun awal ,dari Putaran Jenewa 1 sampai Putaran Dillon, Putaran
Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Baru
pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) mulai dibahas mengenai kesepakatan
di luar tarif yakni Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tarif secara progresif.
Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor
terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tarif rata-rata atas produk industri
turun menjadi 4,7%. Pengurangan tarif, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur
harmonisasi yakni semakin tinggi tarif, semakin luas pemotongannya secara proporsional.
Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang
berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru
mengenai safeguards (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian
persetujuan mengenai hambatan non tarif telah muncul di berbagai perundingan, yang
dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan
WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup
semua bidang perdagangan. Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem
perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun
mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil
yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket
pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang,
penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler
mengenai kebijakan perdagangan. Selain itu, pencapaian terbesar dari Putaran Uruguay
tentunya adalah tercapainya kesepakatan pembentukan organisasi perdagangan dunia
yang kemudian dikenal sebagai WTO. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan
transparansi
aturan
perdagangan
di
seluruh
dunia.
Setelah terbentuknya WTO, putaran perdagangan digantikan dengan Konferensi Tingkat
Menteri (KTM) sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi di WTO. KTM pertama
diselenggarakan pada 9 13 Desember 1996 di Singapura. Diikuti lebih dari 120 Menteri
negara anggota WTO, KTM Singapura tersebut menghasilkan 2 deklarasi yakni dalam
bidang standar inti perburuhan dan keputusan untuk membentuk kelompok kerja (working
group) untuk melakukan pengkajian atas hubungan antara perdagangan dan investasi,
hubungan antara perdagangan dan kompetisi, fasilitasi perdagangan, dan transparansi di
bidang pengadaan pemerintah (government procurement) yang kemudian dikenal sebagai
Isu
Singapura
(Singapore
Issues).
KTM kedua dilaksanakan di Jenewa pada 18 20 Mei 1998 sebagai peringatan atas 50
tahun tercapainya kesepakatan di bidang perdagangan multilateral melalui GATT. Hasil
utama dari KTM ini adalah deklarasi di bidang perdagangan elektronik global (global
electronic commerce) termasuk penguatan komitmen negara anggota WTO untuk
meneruskan upaya pembebasan kepabeanan (customs duties) dalam transmisi elektronik.
Setelah mencapai beberapa keberhasilan di kedua KTM sebelumnya, KTM ketiga yang

dilaksanakan di Seattle pada tahun 1999 yang diagendakan untuk merumuskan agenda
millenium WTO justru mengalami kegagalan. Demonstrasi besar-besaran di luar gedung
pertemuan delegasi WTO dan di berbagai kota di dunia serta perbedaan pandangan antara
negara maju dengan negara berkembang menyebabkan KTM Seattle gagal dalam
mencapai
kesepakatan.
Sebagai upaya perbaikan dari kegagalan di KTM Seattle, dilaksanakan KTM keempat di
Doha (9-14 November 2001) yang dihadiri oleh 142 negara. KTM Doha menghasilkan
dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya
putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri,
lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian
sengketa,
dan
peraturan
WTO.
Deklarasi tersebut mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi
tercapainya konsensus mengenai Singapore Issues. Deklarasi juga memuat mandat untuk
meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce, usaha kecil (small
economies), serta hubungan antara perdagangan, hutang dan alih teknologi.
Deklarasi Doha dikenal pula dengan sebutan Agenda Pembangunan Doha (Doha
Development Agenda) mengingat didalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi
kepentingan negara-negara berkembang paling terbelakang (Least developed
countries/LDCs), seperti bantuan teknik untuk peningkatan kapasitas (capacity building),
pertumbuhan,
dan
integrasi
ke
dalam
sistem
WTO.
Mengenai perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment), deklarasi
tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan
mengenai Perlakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of Special and
Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkrit mengenai isu
tersebut. Para menteri setuju bahwa masalah S&D ini akan ditinjau kembali agar lebih efektif
dan
operasional.
KTM kelima WTO berlangsung di Cancun, Meksiko tanggal 10-14 September 2003.
Berbeda dengan KTM IV di Doha, KTM V di Cancun kali ini tidak mengeluarkan Deklarasi
yang rinci dan substantif, karena gagal menyepakati secara konsensus, terutama terhadap
draft teks pertanian, akses pasar produk non pertanian (MANAP) dan Singapore issues.
Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003, Sidang Dewan Umum
WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang
Program Kerja Doha, yang juga sering disebut sebagai Paket Juli. Pada kesempatan
tersebut berhasil disepakati kerangka (framework) perundingan lebih lanjut untuk DDA
(Doha Development Agenda) bagi lima isu utama yaitu perundingan pertanian, akses pasar
produk non-pertanian/Non Agriculture Market Access (NAMA), isu-isu pembangunan dan
impelementasi, jasa, serta fasilitasi perdagangan dan penanganan Singapore issues
lainnya.
Perundingan WTO dilanjutkan pada 13 18 Desember 2005 melalui KTM VI yang

dilaksanakan di Hongkong. Salah satu keputusan penting yang masuk dalam Deklarasi
Hongkong adalah isu menyangkut bantuan untuk perdagangan serta penetapan batas
waktu negosiasi untuk beberapa isu seperti isu mengenai modalitas pertanian dan NAMA.
Sedangkan Perundingan WTO selanjutnya direncanakan di luar rutinitas agenda yang
dilaksanakan 2 tahun sekali yakni dilaksanakan di Jenewa pada 30 November hingga 2
Desember 2009. Dalam KTM VII Jenewa ini, Indonesia melalui Menteri Perdagangan Mari
Elka Pangestu ditunjuk sebagai wakil ketua konferensi. Pada akhirnya KTM VII Jenewa tidak
menghasilkan kesepakatan yang berarti dimana para menteri menegaskan kembali
komitmen mereka untuk menyelesaikan perundingan putaran Doha dan mengharapkan
adanya
perubahan
yang
positif
pada
kuartal
pertama
2010.
VI.

Kesepakatan-Kesepakatan

WTO

Sepanjang perjalanannya, WTO telah berhasil mencapai berbagai kesepakatan yang


memiliki peranan penting dalam perkembangan perdagangan dunia. Kesepakatankesepakatan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang
mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Adapun secara umum struktur dasar
kesepakatan dalam WTO meliputi:

General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yakni kesepakatan di bidang


perdagangan barang

General Agreement on Trade and Services (GATS) yakni kesepakatan di bidang


perdagangan jasa

General Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Properties (TRIPs)


yakni kesepakatan di bidang hak kekayaan intelektual.

Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)


Dari keempat kesepakatan utama yang dihasilkan oleh WTO, GATT dinilai memiliki peranan
terbesar bagi sistem perdagangan multilateral mengingat peranan perdagangan barang
yang jauh lebih besar dibandingkan peranan perdagangan dari sektor jasa.
Hasil kesepakatan GATT mengatur banyak hal guna mengurangi hambatan-hambatan yang
terjadi dalam perdagangan multilateral dari mulai upaya penurunan hambatan tarif dan non
tarif hingga upaya pengaturan penggunaan hambatan teknis/ technical barriers to trade
(TBT) sehingga menjadi lebih transparan dan berkesinambungan.

ddin Jauharudin: WTO dan


Catatan Buruk Pemimpin Bangsa

Rabu, 04 Desember 2013 15:53


Oleh: Addin Jauhari

Addin JauhariFoto: Sayangi.com/Emil

Pertama dan yang terpenting, kita semua perlu melaksanakan peran


masing-masing guna mencegah kebijakan proteksionis, dan melanjutkan
liberalisasi perdagangan. Cara tersebut akan meningkatkan kesejahteraan
semua warga. Kita juga harus memastikan hubungan perdagangan tidak
hanya kuat, namun juga seimbang. (Kutipan sambutan Presiden SBY pada
acara pembukaan KTT APEC, Oktober 2013, di Bali.)

Dari penggalan kalimat di atas, Presiden SBY secara eksplisit menegaskan


tiga hal. Pertama, lanjutkan liberalisasi perdagangan. Kedua, cegah
kebijakan proteksionis. Ketiga, liberalisasi perdagangan bisa
mensejahterakan semua warga negara.
Pertanyaannya, apakah kepala negara sadar dengan segenap jiwa patriot
bangsa bahwa liberalisasi adalah jalan kita? Dimana tanggung jawab
negara untuk memproteksi kepentingan nasionalnya, disaat negara lain
justru melakukan proteksi terhadap produk nasional mereka? Apakah
betul liberalisasi mampu dan menjamin terciptanya kesejahteraan warga
negara? Esensi forum APEC sama dengan WTO, yaitu liberalisasi
perdagangan, meskipun keputusan dalam WTO bersifat mengikat
sementara APEC tidak mengikat. Gambaran dalam forum APEC tidak jauh
berbeda dengan forum WTO
WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia
yang dibentuk tahun 1994, sebagai kelanjutan dari GATT (General
Agreement on Tariff and Trade) yang didirikan tahun 1947. Sejatinya WTO
lahir dan dibentuk untuk menciptakan perdagangan yang adil (fair trade),
tetapi kenyataannya telah menciptakan perdagangan bebas (free trade)
yang tidak adil, hanya menguntungkan segelintir negara-negara maju.
Paling penting dari keputusan WTO adalah pertemuan KTM IV WTO di
Doha, Qotar, tahun 2001 yang lebih dikenal dengan putaran Doha yang
telah menghasilkan rumusan agenda pembangunan untuk negara-negara
berkembang dan LDCs (Last Development Countries) yang disebut
dengan Doha Development Agenda (DDA).
Indonesia sendiri masuk dalam organisasi WTO semenjak diratifikasinya
perjanjian WTO melalui UU No 7/ 1994. Jadi sudah sembilan belas tahun
Indonesia bergabung dengan WTO
Kebuntuan perundingan perdagangan putaran Doha masih menyisakan
banyak persoalan sampai saat ini. Ketegangan antara negara-negara
maju, berkembang dan kurang berkembang terutama soal pertanian telah
menyisakan kesengsaraan banyak negara-negara berkembang, praktik
dumping masih marak terjadi di berbagai negara. Negara maju sampai
saat ini mash memberikan subsidi untuk para petaninya, misalnya AS

masih melndungi petaninya dengan 100 Undang-undang dan


mengelontorkan subsidi 48,4 miliar dollar AS per tahun, Uni Eropa 110,3
miliar euro per tahun, sementara Indonesia hanya menganggarkan 2,5%
dari total anggaran APBN 2014.
Pertemuan KTM ke 9 WTO di Bali adalah harapan banyak negara untuk
bisa menciptakan solusi konkrit perdagangan multilateral. Pemerintah
indonesia berusaha menggolkan istilah paket kecil tapi kredibel.
Kebuntuan perundingan Doha itulah yang kemudian dikembangkan
dalam bentuk agenda-agenda perdagangan bilateral, misalnya ASEANChina, dimana dalam banyak keputusan lebih radikal dari perundingan
pedagangan multilateral di WTO, sebagai contoh dalam FTA Bea Masuk
(BM) sejumlah barang lebih rendah dari kesepakatan WTO, BM beras dan
gula hanya 30 persen dan susu 5 persen, bahkan BM kedelai dan jagung
0 persen, padahal di WTO telah disepakati 30-40 persen dan 9-40 persen
Keanggotaan WTO terdiri dari negara-negara maju, negara berkembang,
dan negara kurang maju yang seluruhnya berjumlah 159 negara. Karena
dua pertiga anggota WTO adalah negara berkembang dan kurang
berkembang, seharusnya WTO banyak mendengar suara negara
berkembang untuk menciptakan keseimbangan perdagangan dunia,
bukan sebaliknya saling menerkam dan menegasikan. Tetapi apakah itu
mungkin, sementara ambisi ekspansi pedagangan negara-negara maju
terus menghisap kekayaan negara-negara berkembang dan terbelakang.
Pada perjalanannya, Indonesia sebagai negara agraris telah dipercaya
untuk mengkoordinir kelompok G33 (beranggotakan 46 negara anggota
WTO), yang memperjuangkan konsep special product (SP) dan Special
Safeguard Mechanism (SSM), dimana produk pertanian negara-negara
berkembang di kecualikan dari liberalisasi perdagangan, dan SSM adalah
tidak ada pengurangan berupa kenaikan tarif bea masuk jika terjadi
lonjakan impor. Indonesia sendiri untuk special product komoditas
pangan mengusulkan empat komponen ; beras, jagung, kedelai, dan
Gula, tapi problem terbesarnya adalah pemerintah tidak pernah konsisten
mendukung sistem produksi nasional yang selama ini didengungdengungkan. Kenapa sampai saat ini kemampuan produksi nasional tidak

pernah mampu dan mencukupi kebutuhan dalam negeri? Kita tinggal lihat
apakah pemerintah bisa menegosiasikan kepentingan nasional ataukah
delegasi Indonesia hanya menyetujui apa keinginan negara-negara maju?
Meskipun Indonesia menuntut dipertahankanya kenaikan tarif bea masuk
dalam forum WTO, tetapi kenyataannya jalannya liberalisasi di Indonesia
lebih cepat, dibuktikan dengan paling rendahnya tarif bea masuk
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia, yaitu 4,3 %, padahal
negara lain, seperti India 35,2 persen, Vietnam 24,9 persen, Jepang 34,0
persen dan China 17,4 persen (The Economistt, 2012)
Terkait pertanian, dalam catatan BPS tahun 2011 jumlah petani menyusut
7,43%. Dan data BPS pada Mei 2013 jumlah keluarga tani sebanyak 26,13
juta keluarga atau berkurang 500.000 keluarga setiap tahunnya sejak
tahun 2003. Lalu dimana kepentingan membela petani? Empat komponen
produk pertanian yang di tuntut oleh pemerintah dalam forum WTO yang
masuk dalam kategori special product pun mash impor, dimana produksi
dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Pasokan kedelai nasional hanya 800 ribu ton sementara konsumsi
mencapai 2,4 juta ton. Dua pertiga kebutuhan kedelai berasal dari impor.
Jagung menurut data BPS, selama 2000-2011, kenaikan konsumsi jagung
pertahun rata-rata 8 persen, sementara angka peningkatan produksi
jagung pertahun hanya 6 persen begitupun dengan beras. Menurut rilis
Serikat Petani Indonesia (SPI), sepanjang tahun 2012 negara telah
mengeluarkan dana sebanyak Rp 125 triliun untuk melakukan impor
seluruh komoditas pangan seperti daging, gandum, beras, kedelai, dan
garam. Khusus untuk komoditas kedelai pada periode Januari-Juli 2013
total impor sebanyak 1,1 juta ton atau bernilai Rp 6,7 triliun.
Kita tidak tahu apakah kebetulan, ataukah ini semua bagian dari
keramahan bangsa ini terhadap investasi asing secara besar-besaran.
Sebelum diselenggarakannya sidang WTO di Bali dan sebelum berlakunya
ASEAN Economic Community 2015, pemerintah telah menyiapkan
berbagai infrastruktur liberalisasi perdagangan disemua lini, bahkan
kategori Daftar Negatif Investasi (DNI) yang selama ini telah diatur dalam
Peraturan presiden (Perpres) No 36 tahun 2010 pun akan di revisi dengan

dibukanya akses pasar yang selama ini tertutup dan diperluasnya akses
yang sudah dibuka.
Beberapa Daftar Negatif Investasi yang akan dibuka maupun di perluas
yaitu Sepuluh bidang usaha yang selama ini sudah dibuka akan diperluas
akses pasarnya, yaitu sektor pariwisata alam dari kepemilikan saham
asing dari maksimal 49 persen menjadi 70 persen, sektor telekomunikasi
jaringan tertutup dari 49 persen menjadi 65 persen, sektor farmasi dari
75 persen menjadi 85 persen. Diluar itu ada fakta-fakta penguasaan
asing pada sektor-sektor strategis, yaitu ; Dua Belas Bank swasta dikuasai
asing, pertambangan migas 75 persen dikuasai asing, pertambangan
tembaga, emas 85 persen di kuasai asing, perkebunan sawit 40 persen
dari 8,5 juta hektar lahan dikuasai asing, dan komunikasi dari dari 35
persen-60 persen dikuasai asing. Disamping itu, ada Lima bidang usaha
yang sebelumnya tertutup akan dibuka pengelolaannya ke pihak asing,
jenis bidangnya yaitu ; bandara, pelabuhan, jasa bandara sampai 100
persen, terminal darat, terminal barang, distribusi film sampai dengan 49
persen
Maka dengan data-data diatas, terlihat jelas bahwa forum WTO hanya
menjadi landasan pacu (runway) liberalisasi perdagangan. Sekali lagi saya
katakan, pertama, pemerintah tidak pernah konsisten antara apa yang
diucapkan dan apa yang dilakukan. Komoditas pertanian yang selalu
didengung-dengungkan hanya menjadi jargon, karena tidak ada upaya
melakukan intensifikasi dan ektensifikasi lahan pertanian, bahkan jumlah
petani dan lahan pertanian semakin menyusut, lahan pertanian di ganti
dengan perkebunan dan properti. Kedua, pemerintah genit, karena terlalu
ambisius melakukan liberalisasi sektor-sektor strategis yang semestinya
tidak dibuka dan bisa dikelola oleh negara dan anak bangsa. Pemerintah
selalu berdalih investasi asing sebagai penopang pertumbuhan ekonomi
nasional, sementara tidak pernah dipikirkan, anak cucu bangsa ini
kedepan mau makan apa jika menjadi kuli di negeri sendiri. Ketiga,
pemerintah korup, mengobral perijinan tambang, birokrasi yang berbelitbelit dan di korupsinya dana pembangunan masyarakat menjadi satu
paket, liberalisasi dan korupsi menjadi paket penghancur bangsa ini.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah, di satu sisi kita patut
berbangga dilaksanakannya berbagai pertemuan internasional di
Indonesia, dari mulai Bali Demokrasi Forum, APEC, Wolrd Culture Forum
dan WTO. Semua ini adalah wujud dari apresiasi internasional terhadap
Indonesia.
Akan tetapi dalam konteks perdagangan multilateral, bangsa Indonesia
terkesan hanya menjadi landasan pacu liberalissasi perdagangan dunia.
Maka tidak ada pilihan lain, kecuali WTO harus ditolak jika tidak
menguntungkan bangsa ini.

Você também pode gostar