Você está na página 1de 20

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Peritonitis
I.1.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritoneum). Peritonitis adalah suatu kegawat daruratan yang
merupakan komplikasi berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ-organ
abdomen (apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptur
saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus
abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi
bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan) tetapi kontaminasi yang terus
menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya
benda asing merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan
menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
I.1.2 Anatomi dan Fisiologi
Peritoneum adalah suatu membran serosa yang tipis, halus dan
mengkilat, terletak pada facies interna cavum abdominis. Secara umum dibagi
menjadi peritoneum parietal, peritoneum viseral, dan cavum peritoneum.
Peritoneum viseral adalah lapisan yang membungkus permukaan organ
abdominal, peritoneum parietal adalah lapisan yang menutupi dinding
abdomen dari dalam rongga abdomen, sedangkan cavum peritoneum adalah
rongga yang terletak di antara kedua lapisan tersebut dan mengandung cairan
serosa.

Gambar Lapisan Peritoneum


Peralihan peritoneum parietal menjadi peritoneum viseral (reflexi
peritoneum) dapat berupa lipatan (plica), lembaran (omentum) atau alat
penggantung visera. Reflexi peritoneum yang berupa lipatan antara lain adalah
plica rectouterina dan plica umbilicalis lateralis. Reflexi peritoneum yang
berupa lembaran adalah omentum majus dan omentum minus. Reflexi
peritoneum yang berupa penggantung adalah mesenterium, mesocolon
transversum, ligamentum hepatogastricum, dan ligamentum falciforme hepatis.

Fungsi dari lapisan peritoneum :


1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis
2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga

peritoneum tidak saling bergesekan


3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen
4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi.

I.1.3 Etiologi dan Klasifikasi


Peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
1. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal.
Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 1030% pasien dengan sirosis hepatis dengan asites akan berkembang
menjadi peritonitis bakterial.
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendisitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus,

kanker serta strangulasi usus halus.


3. Peritonitis tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi
kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya.
Tabel Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal

Penyebab
Boerhaave syndrome

Esophagus

Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy

Stomach

(eg,

adenocarcinoma,

lymphoma,

gastrointestinal stromal tumor)


Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation

Duodenum

Trauma (blunt and penetrating)


Iatrogenic*
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone
ileus) or common duct

Biliary tract

Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)

Pancreas

Trauma (blunt and penetrating)


Iatrogenic*

Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Small bowel

Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy

Large bowel

Ulcerative colitis and Crohn disease

and appendix

Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis,

Uterus,

tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)

salpinx, and

Malignancy (rare)

ovaries

Trauma (uncommon)

I.1.4 Patofisiologi
Pada apendisitis, disebabkan karena penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas
peningkatan

dinding

tekanan

apendiks

intralumen

dan

terbatas

sehingga menyebabkan

menghambat aliran

limfe

yang

mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena


sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.

I.1.5 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Beratnya gejala berhubungan dengan beberapa faktor
yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita
secara umum. Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi :
1. Tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan
2. Manifestasi dari infeksi sistemik.
Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari
dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan
menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada
akhirnya dapat menjadi syok.
I.1.6 Gejala Klinis
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1.

Nyeri seluruh abdomen

2.

Pekak hati hilang

3.

Bising usus hilang

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi


dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a.

Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam

b. Demam tinggi lebih dari 38,50C


c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d. Dehidrasi dan asidosis
e. Distensi
f. Menghilangnya bising usus
g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h. Rebound tenderness sign
i.

Rovsing sign

j.

Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun


lebih dari 50%, ini berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis
dan omentum mayus yang berkembang belum sempurna dibanding anak
yang lebih besar.
I.1.7 Pemeriksaan
1. Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Takikardi, berkurangnya volume
nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan
pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu
mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
2. Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah
adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi
abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika
penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3
hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat
penumpukan dari cairan eksudat atau ileus paralitik.
b. Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian.
Suara bising usus menurun sampai hampir tidak terdengar akibat
obstruksi intestinal pada peritonitis berat.
c. Perkusi
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, Hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi.
Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis. Jika terjadi
pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan

ditemukan pekak hepar yang menghilang.


d. Palpasi
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang
menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan
menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara
involunter. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh
suatu proses inflamasi. Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot
dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme
pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat
seperti papan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel
darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih
biasanya

lebih

dari

20.000/mm3.

Pada

perhitungan

diferensial

menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear


yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit
tidak menunjukkan peningkatan yang nyata. Analisa gas darah, serum
elektrolit, pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat
dilakukan.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto
thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior
yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto
polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau
keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada
dengan menggunakan foto polos abdomen.
Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi,
yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto
harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan
memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus

halus.
c. Ultrasonografi
Ultrasonografi

telah

banyak

digunakan

untuk

diagnosis

apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses. Untuk dapat


mendiagnosis apendisitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit
penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang
tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak
sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik
pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan
transversal. Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan
densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 11
mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi
lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa
apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding
apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal
atau multiple.
I.1.8 Tata Laksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik
1. Penanganan Preoperatif
a. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial. Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan
status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari
hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole
Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan
yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid

lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan
ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi .
b. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil
kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika
masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai
dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:
(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri
(2) penyebab dari peritonitis trauma atau non trauma
(3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih
efektif, terapi antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
c. Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolisme
tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru.
Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti :
(1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih
(2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg
(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal
d. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi
jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari

10

kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah,
nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.
e. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi
berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti
fibrin, feses, cairan empedu, darah, mukus lambung dan membuat irigasi untuk
mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.
f. Pengananan Postoperatif
Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis dan keadaan umum membaik.
Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder.
I.1.9 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan
sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu
pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata,
peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan
indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal,
hepar, perdarahan, dan sistem imun.
I.1.10 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum
pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas

11

sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia
muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
terdiagnosis lebih awal.

BAB II

12

LAPORAN KASUS
Peritonitis generalisata et causa apendisitis perforata
II.1

Identitas Pasien
Nama

: An. NF

Nomor RM

: 036846-2013

Umur

: 13 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Penawangan

Tanggal Masuk IGD : 2 Juni 2013


II. 2

Anamnesa
Autoanamnesa dilakukan di Bangsal Melati RSUD Ambarawa pada 3 Juni 2013
Keluhan utama

: Nyeri di seluruh bagian perut

Keluhan tambahan

: Tidak bisa BAB, mual dan badan terasa demam

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD karena nyeri di seluruh


bagian perut yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk-tusuk dan berlangsung terus-menerus. Awalnya nyeri
dirasakan di bagian kanan bawah perut yang kemudian menyebar ke
seluruh bagian perut. Nyeri tidak menjalar ke bagian belakang perut.
Sebelumnya pasien tidak bisa BAB dan sudah berobat ke Puskesmas
tetapi gejala tidak berkurang. Nyeri perut disertai dengan rasa mual tapi
tidak muntah. Pasien juga merasa badannya demam yang timbulnya
bersamaan dengan sakit perut. BAK lancar, tidak berdarah dan tidak
keluar pasir
Riwayat penyakit dahulu

: pasien belum pernah dirawat di rumah sakit dan


belum pernah menjalankan operasi sebelumnya,
riwayat DM (-), riawayat penyakit jantung (-),
riwayat darah tinggi (-), riwayat batuk lama (-)

13

Riwayat penyakit keluarga : anggota keluarga yang punya keluhan sama (-),
riwayat DM (-), riawayat penyakit jantung (-),
riwayat darah tinggi (-), riwayat batuk lama (-)
Riwayat alergi

: (-)

Riwayat trauma

: tidak ada trauma sebelumnya

Riwayat habit

: pasien sering olah raga main bola setiap sore,


pasien tidak suka makan sayur dan

buah, dan

jarang minum air putih


II.3 Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum
Kesadaran
Tanda Vital

: Sakit berat
: Compos Mentis
: TD : 110/80 mmHg
N
: 98 x/mnt
R
: 20 x/mnt
S
: 37,7 OC.

Bentuk
Rambut
Mata

: Bentuk bulat, mesosephal, deformitas (-)


: Warna hitam, lebat dan distribusi rambut merata
: Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik

Kepala

(-/-), pupil isokor diameter 4 mm, reflek cahaya


Telinga

(+), pergerakan mata ke segala arah baik.


: Deformitas (-/-), benjolan (-/-), discharge (-/-),

Hidung

nyeri tekan (-/-), pendengaran normal


: Deformitas (-), deviasi septum (-), napas cuping
hidung (-), perdarahan (-), sekret (-), daya
penciuman normal
: warna mukosa bibir kemerahan, sianosis (-),

Mulut

mukosa kering (-)


Jantung

Inspeksi
- Permukaan kulit : massa (-), sikatriks (-), petekie (-), jejas (-)
- Ictus cordis tidak tampak
- Deviasi trakea (-)
- Tipe pernapasan abdominotorakal dengan frekuensi
20x/menit

14

Palpasi
- Tidak teraba adanya massa (-), krepitasi (-), edema (-), suhu
teraba normal.
- Ictus cordis tidak kuat angkat
- Nyeri tekan di kedua lapang paru (-)
- Deviasi trakea (-)
Perkusi
- Sonor di seluruh lapang paru
- Nyeri ketok (-)
Auskultasi
- Suara jantung I dan II normal, reguler, suara tambahan
-

(-)
Pulmo

: Vesikuler (+/+) di seluruh lapang paru, Ronkhi

Cor

(-/-), wheezing (-/-)


: S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Paru

Inspeksi
- Permukaan kulit : massa (-), sikatriks (-), petekie (-), jejas (-)
- Pergerakan simetris, statis dan dinamis, retraksi intercoste (-),
ketinggalan gerak (-)
- Tipe pernapasan abdominotorakal

dengan

frekuensi

20x/menit
Palpasi
- Tidak teraba adanya massa (-), krepitasi (-), edema (-), suhu
teraba normal.
- Nyeri tekan di kedua lapang paru (-)
- Fremitus taktil dextra dan sinistra sama
Perkusi
- Sonor di seluruh lapang paru
- Nyeri ketok (-)
Auskultasi
- Suara dasar vesikuler (+/+) di seluruh lapang paru, ronkhi
(-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi
- Bentuk : distensi (+)
- Permukaan kulit : sikatrik (-), massa (-), darm kountur (-),

darm steifung (-)


Auskultasi
- Bising usus (+) cenderung menghilang
Palpasi
- Turgor : normal

15

- Defans muscular, nyeri tekan (+) diseluruh lapang abdomen


- Hepar/Lien/Ginjal: tidak teraba
Perkusi
- Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
Atas
: Akral hangat (+/+), deformitas (-/-), edema (-/-),
sianosis (-/-), perfusi refill < 2 dtk, infus terpasang
: Akral hangat (+/+), deformitas (-/-), edema (-/-),

Bawah
Pemeriksaan khusus

perfusi refill < 2 dtk


: Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), Psoas sign

Pemeriksaan Genitalia

(+), Obturator sign (+)


: warna kulit coklat, benjolan penis (-),
pembengkakan penis (-), lesi penis (-), cairan yang
keluar (-), warna skrotum coklat kehitaman,
benjolan skrotum (-), pembengkakan skrotum (-),

testis di skrotum (+/+)


Pemeriksaan colok dubur :
Inspeksi : warna kulit coklat, benjolan (-)
Palpasi : tonus sfingter ani mencekik, mukosa licin, benjolan (-) nyeri
tekan (+) di seluruh bagian, darah (-), feses (-)

II. 4

Diferensial Diagnosis
Suspek Peritonitis generalisata ec apendisitis perforata
Suspek Peritonitis generalisata ec perforasi gaster
Suspek Peritonitis generalisata ec trauma

II.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin
Parameter
HB
Leukosit
Ht
MCV
MCH
Limfosit
Monosit
Granulosit
Limfosit %

Nilai
13,6
14,3
39,3
67,4
23,3
1,3
0,9
12,1
9,1

Normal
14,0-18,0 g/dL
410 ribu
40-58 %
96-108 mikro
27-34 g
1,7-3.5 mikro
0,2-0,6
2,5-7
25-35 %

16

Granulosit %

84,6

50-80 %

Kimia Darah
GDS
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT

90
27,2
0,95
18
12

60-100 mg/dl
10-50 mg/dl
0,5-1,0 mg/dl
15-40 mg/dl
10-40 mg/dl

USG abdomen
: untuk melihat gambaran appendix yang meradang
Foto polos abdomen : untuk melihat ada atau tidaknya udara bebas di abdomen
II.6

Diagnosis Kerja
Peritonitis generalisata ec apendisitis perforata

II.7

II.8

Terapi

Infus RL 20 tpm

Injeksi Ketolorac 3 x 10 mg

Injeksi Cefotaxim 2 x 500 mg

Pamol 3 x 1 tablet

Konsul dokter bedah

Edukasi
Banyak makan-makanan berserat dan air putih setelah pulang dari rumah sakit

17

BAB III
ANALISA KASUS
Analisa kasus berdasarkan SOAP
III.1

S (Subjektif)
Sakit perut di bagian kanan bawah. Sakit perut sudah berlangsung selama 4 hari.

Sakit perut terasa seperti ditusuk-tusuk dan berlangsung secara terus-menerus. Sakit
tidak menjalar ke bagian belakang perut. Sakit perut disertai mual tapi tidak
muntah. Awalnya pasien tidak bisa BAB dan sudah berobat ke mantri tetapi tidak
ada perbaikan. Pasien tidak tahu jenis obat yang diberikan. Pasien juga mengeluh
demam yang dirasakan berbarengan dengan waktu timbulnya sakit perut. BAK
lancar, tidak berdarah dan tidak keluar pasir. Berdasarkan keluhan pasien diatas,
harus diobservasi abdominal pain yang dirasakan di bagian kanan bawah dengan
melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menegakan diagnosis. Salah
satu yang dapat menyebabkan abdominal pain di bagian kanan bawah adalah
peradangan apendis di regio ilika dextra (apendisitis).
III.2

O (Objektif)
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap An. NF didapatkan hasil

keadaan umum tampak sakit berat dan kesadaran kompos mentis. Hal ini berarti
pasien merasa sangat sakit akibat dari sakit perutnya. Tekanan darah, nadi dan
respirasi dalam batas normal serta suhu meningkat. Suhu meningkat menandakan

18

adanya tanda-tanda peradangan pada pasien. Pada pemeriksaan status lokalis pasien
di abdomen :
Inspeksi
- Bentuk : distensi (+)
- Umbilicus : masuk merata
- Permukaan Kulit : sikatrik (-)
Auskultasi
- Bising usus (+) cenderung menghilang
Palpasi
- Turgor : normal
- Defans muscular, nyeri tekan (+) diseluruh lapang abdomen
- Hepar/Lien/Ginjal: tidak teraba
Perkusi
- Timpani di seluruh lapang abdomen
Pada pemeriksaan khusus didapatkan Psoas sign (+) yang berarti terdapat nyeri
akibat peradangan pada otot psoas, Obturator sign (+) yang terdapat nyeri perut
akibat peradangan pada otot obturator, Rovsing sign (+) yang berarti ada nyeri perut
di kanan bawah selama sisi kiri ditekan dan Blumberg sign (+) yang berarti nyeri di
kanan bawah selama penekanan perut di kiri bawah. Berdasarkan hasil lab darah
didapatkan peningkatan nilai leukosit yang menandakan adanya infeksi bakteri.
III.3

A (Assesment)
Berdasarkan gejala klinis dan temuan klinis yang ditemukan dari hasil anamnesa

dan pemeriksaan fisik pada pasien dapat ditegakan diagnosis An. NF adalah
peritonitis ec apendisitis perforata.
III.4

P (Planning)
1. Infus RL 20 tpm
Terapi cairan diberikan pada pasien peritonitis untuk perbaikan perfusi cairan
dan nutrisi.
2. Injeksi Ketolorac 3 x 10 mg
Merupakan analgetik yang digunakan untuk mengurangi nyeri jangka pemdek
yang sifatnya sedang sampai berat. Dosis awal yang diberikan adalah 10 mg
yang dapat dialnjutkan 10-30 mg tiap 4-6 jam, dengan dosis maksimal 90
mg/hari.
3. Injeksi Cefotaxim 2 x 500 mg
Pemberian antibiotik diberikan untuk mengobati infeksi bakteri pada

19

peritonitis. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan kepada pasien selama


hasil kultur bakteri belum didapat. Cefotaxim merupakan antibiotik golongan
sefalosporin yang berguna sebagai antibakteri spectrum luas yang dapat
digunakan untuk infeksi abdominal, infeksi saluran nafas dan ISK. Dosis
maksimal pemberian cefotaxim adalah 12 gram.
4. Pamol 3 x 1 tablet
Berisi paracetamol yang berguna untuk menurunkan demam pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Jong, W. D & Sjamsuhidayat, R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
2. Pramudianto, A. 2012. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. PT. Buana Ilmu
Populer. Jakarta

20

Você também pode gostar