Você está na página 1de 9

Apoptosis

Apoptosis merupakan proses fisilogis yang dimiliki oleh semua sel. Pada dasarnya
apoptosis berasal dari bahasa yunani yang berarti menjatuhkan atau meninggalkan. Dalam hal
ini maksud dari menjatuhkan dan meninggalkan adalah meninggalkan sel yang tidak ada lagi
gunanya seperti saat musim gugur dimana pohon akan menjatuhkan daunnya.
Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang terprogram yang penting dalam
berbagai proses biologi. Berbeda dengan nekrosis, yang merupakan bentuk kematian sel
sebagai akibat sel yang terluka akut, apoptosis terjadi dalam proses yang diatur sedemikian
rupa yang secara umum memberi keuntungan selama siklus kehidupan suatu organisme
(Gambar 1). Contohnya adalah pada diferensiasi jari manusia selama perkembangan embrio
membutuhkan sel-sel di antara jari-jari untuk apoptosis sehingga jari-jari dapat terpisah.

Apoptosis memiliki peranan penting dalam fenomena biologis, proses apoptosis yang
tidak sempurna dapat menyebabkan timbulnya penyakit yang sangat bervariasi. Terlalu
banyak apoptosis menyebabkan sel mengalami kekacauan, sebagaimana terlalu sedikit
apoptosis juga menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkontrol (kanker). Beberapa contoh
penyakit yang ditimbulkan karena apoptosis yang tidak sempurna antara lain:
a. Penyakit autoimun disebabkan karena sel T/B yang autoreaktif terus menerus.
1

b. Neurodegeneration, seperti pada penyakit Alzheimer dan Parkinson, akibat dari


apoptosis prematur yang berlebihan pada neuron di otak. Neuron yang tersisa tidak
mempunyai kemampuan untuk meregenerasi sel yang hilang.

c. Stroke iskemik, aliran darah ke bagian-bagian tertentu dari otak dibatasi sehingga
dapat menyebabkan kematian sel saraf melalui peningkatan apoptosis.
d. Kanker, sel tumor kehilangan kemampuannya untuk melaksanakan apoptosis sehingga
proliferasi sel meningkat.

Fungsi dari apoptosis:


a.

Sel yang rusak atau terinfeksi

Apoptosis dapat terjadi secara langsung ketika sel yang rusak tidak bisa diperbaiki lagi atau
terinfeksi oleh virus. Keputusan untuk melakukan apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri,
dari jaringan di sekitarnya, atau dari sel yang merupakan bagian sistem imun. Jika
kemampuan sel untuk ber-apoptosis rusak atau jika inisiasi apotosis dihambat, sel yang rusak
dapat terus membelah tanpa batas, berkembang menjadi kanker.

b.

Respon terhadap stress atau kerusakan DNA

Kondisi stress sebagaimana kerusakan DNA sel yang disebabkan senyawa toksik atau
pemaparan sinar ultraviolet atau radiasi ionisasi (sinar gamma atau sinar X), dapat
menginduksi sel untuk memulai proses apoptosis. Contohnya pada kerusakan genom dalam
inti sel, adanya enzim PARP-1 memacu terjadinya apoptosis. Enzim ini memiliki peranan
penting dalam menjaga integritas genom, tetapi aktivasinya secara berlebihan dapat
menghabiskan ATP, sehingga dapat mengubah proses kematian sel menjadi nekrosis
(kematian sel yang tidak terprogram)

c.

Homeostasis

Homeostasis adalah suatu keadaan keseimbangan dalam tubuh organisme yang dibutuhkan
organisme hidup untuk menjaga keadaan internalnya dalam batas tertentu. Homeostasis
tercapai saat tingkat mitosis (proliferasi) dalam jaringan seimbang dengan kematian sel. Jika
2

keseimbangan ini terganggu dapat terjadi :

1. sel membelah lebih cepat dari sel mati.


2. sel membelah lebih lambat dari sel mati.

Mekanisme apoptosis

Mekanisme apoptosis sangat kompleks dan rumit. Secara garis besarnya apoptosis dibagi
menjadi 4 tahap, yaitu :
1. Adanya signal kematian (penginduksi apoptosis).
2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen apoptosis yang
berhubungan, dll)
3. Tahap pelaksanaan apoptosis (degradasi DNA, pembongkaran sel, dll)
4. Fagositosis.
Apoptosis tidak memerlukan suatu proses transkripsi atau translasi. Molecular
machine yang dibutuhkan untuk kematian sel dianggap mengalami dormansi dan hanya
memerlukan aktivasi yang cepat. Signal yang menginduksi apoptosis bisa berasal dari
ekstraseluler dan intraseluler.

Signal ekstraseluler contohnya hormon hormon. Hormon tiroksin menginduksi


apoptosis pada ekor tadpole. Apoptosis juga bisa dipicu oleh kurangnya signal yang
dibutuhkan sel untuk bertahan hidup seperti growth factor. Sel lain, sel berhubungan dengan
sel yang berdekatan juga bisa memberikan signal untuk apoptosis. Signal intraseluler
misalnya radiasi ionisasi, kerusakan karena oksidasi radikal bebas, dan gangguan pada siklus
sel.
Kedua jalur penginduksi tersebut bertemu di dalam sel, berubah menjadi famili protein
pengeksekusi utama yang dikenal sebagai caspase. Sel yang berbeda memberikan respon
yang berbeda terhadap penginduksi apoptosis. Misalnya sel splenic limfosit akan mengalami
apoptosis saat terpapar radiasi ionisasi, sedangkan sel myocyte tidak mengalami apoptosis
untuk pemaparan yang sama.
3

Sel yang mengalami apoptosis dapat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya
maupun mikroskop elektron melalui ciri-ciri morfologis yang ditampakkan. Ciri-ciri tersebut
antara lain :
a. Sel menjadi bulat (sirkuler). Ini terjadi karena struktur protein yang menyusun
sitoskeleton dicerna oleh enzim peptidase spesifik yang disebut caspaspse yang telah
diaktifkan di dalam sel.
b. Kromatin (DNA dan protein-protein yang terbungkus di dalam inti sel) mulai
mengalami degradasi dan kondensasi.
c. Kromatin mengalami kondensasi lebih lanjut, menjadi semakin memadat. Pada tahap
ini, membran yang mengelilingi inti sel masih tampak utuh, walaupun caspase tertentu
telah melakukan degradasi protein pori inti sel dan mulai mendegradasi lamin yang
terletak dalam lingkungan inti sel.
d. Lingkungan dalam inti sel tampak terputus dan DNA di dalamnya terfragmentasi
(proses ini dikenal dengan karyorrhexis). Inti sel pecah melepaskan berbagai bentuk
kromatin atau unit nukleosom karena disebabkan degradasi DNA.

e. Plasma membran mengalami blebbing.


f. Sel tersebut kemudian dimakan atau pecah menjadi gelembung-gelembung yang
disebut apoptotic bodies dan kemudian dimakan.

Sel yang mengalami apoptosis juga dapat dikenali dengan :

a. Penandaan inti yang mengalami kondensasi dengan pewarna fluorescence Hoechst


atau DAPI.
b. Sel yang mengalami apoptosis mengeluarkan PS (Phosphatidil Serin) pada permukaan
ekstraselulernya, sehingga dapat ditandai dengan annexin V yang dilabeli
fluorescence. PS secara normal terdapat pada cytosolic surface dari membran plasma
(di bagian dalam membran plasma), tetapi diredistribusikan ke permukaan
ekstraseluler selama apoptosis oleh protein hipotetik yang dikenal sebagai scramblase.

c. DNA

yang

terfagmentasi

dapat

dideteksi

dengan

TUNEL

(Terminal

deoxynuclotidyltransferase-mediated UTP end labelling) atau elektroforesis DNA


4

yang diisolasi dalam gel agarosa. TUNEL juga dapat digunakan untuk mendeteksi
enzim yang terlibat dalam pengrusakan inti sel.

Apoptosis ini berperan penting pada mekanisme homeostatis seperti yang sudah
dijelaskan diatas, hal ini akan memacu keseimbangan antara proliferasi sel dan penghancuran
sel agar organ berada pada bentuk yang sama sehingga bila apoptosis ini terhambat
proliferasi sel akan menjadi berlebihan.
Mekanisme apoptosis yang tidak komplit akan merangsang pembentukan metastase
dari sel itu sendiri hal ini memiliki resiko pada setiap apoptosis sel tersebut. Untuk organ
dengan sel mukosa banyak seperti colon, maka mekanisme proliferase dan apoptosis lebih
banyak dari jenis sel yang lainnya hal ini meningkatkan peluang terjadinya metastase dan
menimbulkan sel kanker kolon yang ukurannya ditentukan dari keseimbangan pembentukan
dan penghancuran sel itu sendiri.

Plastisitas otak

Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi


dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang
menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional.
Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf
(neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi
pada proses perkembangan dan kematangan sistem saraf.
Suatu benda yang tadinya berbentuk bulat seperti bola bila mendapat tekanan atau
manipulasi dan bentuknya berubah menjadi bulat lonjong. Tetapi tatkala tekanan dihilangkan
maka akan kembali menjadi bulat. Sifat benda ini disebut elastis. Tetapi bila perubahan
bersifat permanen maka keadaan benda ini disebut plastis. Otak saat ini disebut plastis. Istilah
ini erat hubungannya dengan neuroplastisitas atau plastisitas sinaps.
Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat
elastik artinya kemampuan suatu benda untuk dapat kembali pada bentuk asalnya, sedangkan
sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk lain. Jadi
dapat dikatakan bahwa plastisitas otak bersifat irreversible secara langsung tetapi perubahan
dapat kembali jika membentuk pola yang seperti dulu.
Pada masa fetal terdapat keseimbangan antara neurogenesis dan apoptosis sel neuron
5

untuk mendapatkan jumlah neuron tertentu pada setiap regio otak, proses ini terutama
diamati pada trimester kedua kehamilan. Berbagai penelitian pada hewan menunjukkan
bahwa terdapat produksi neuron yang sangat berlebihan pada masa fetus dibandingkan
dengan jumlah akhir yang ditemukan pada otak yang matur.
Over-produksi neuron ini diduga menjadi semacam reservoir yang dapat digunakan
jika terjadi cedera (injury) otak. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa neurogenesis ternyata
masih terjadi setelah masa fetal bahkan hingga dewasa pada area tertentu di otak, termasuk
zona subventrikular dari ventrikel lateral dan zona subgranular dari girus dentate
hipokampus.
Plastisitas otak melingkupi perubahan pola fungsional dan struktural sebagai respons
terhadap lingkungan, secara fisiolofis atau patologis, melalui beberapa mekanisme yang
berbeda. Perubahan terjadi pada tingkat kortikal berupa pola sinaptik dan representasi.
Hipotesis lain menyebutkan dapat pula terjadi perubahan pada tingkat neuronal baik berupa
perubahan morfologi ataupun fungsional.
Saat seorang anak lahir, ia memiliki jumlah neuron lebih dari 100 milyar, suatu
jumlah sel neuron maksimal sepanjang hidupnya, sementara berat otak bayi saat lahir tidak
lebih dari seperempat berat otak orang dewasa. Peningkatan massa otak dalam perkembangan
seorang anak merefleksikan peningkatan yang spektakuler dari koneksi kortiko-kortical yang
bersifat experience-dependent. Plastisitas experience-dependent merujuk pada mekanisme
belajar dan penyimpanan memori sebagai hasil interaksi seorang individu dengan
lingkungannya, kemudian membentuk jaringan neuronal tertentu yang mewakili memori
autobiografikal.
Plastisitas merupakan hasil dari kapasitas intrinsik otak untuk mengenali efek suatu
pengalaman terhadap kebutuhan dasarnya sebagai makhluk hidup, untuk memulai proses
belajar dan menyimpan memori. Proses ini akan bermuara pada pembentukan jutaan jaringan
neuronal (mnemonic) pada neokorteks, yang merepresentasikan isi memori autobiografik.
Plastisitas ini bisa bersifat positif dan juga negative. Dimana yang dimaksud dengan
positif neuroplastisitas mengacu kepada perubahan morfologi dari otak yang terjadi pada
pengalaman dan tantangan lingkungan. Perubajan ini dapat meningkatkan hubungan antara
dendrit di neuron, memperkuat hubungan antara neuronm meningkatkan faktor neurotrophik
dan meningkatkan ukuran otak yang pada akhirkan akan menaikan dari fungsi kognitif otak.
Sebaliknya negative neuroplastisitas mengacu kepada perubahan otak akibat
kurangnya pengalaman dan tantangan lingkungan dan menurunnya kesehatan. Perubahan
6

yang dimaksud mengacu kepada penurunan hubungan dendrit antar neuron, penurunan
ukuran otak, penurunan kekuatan hubungan antar neruton dan penurunan gaktor neurotrophik
yang akhirkan akan melemahkan fungsi kognitif otak. Hal negative ini bisa karena adanya
cedera pada otak. Faktor yang mempengaruhi plastisitas otak akan ditunjukan pada gambar 2.

Gambar 2. Faktor yang Mempengaruhi Plastisitas Otak.

Secara umum, cedera daerah kortikal yang bersifat fokal pada masa kanak-kanak
mempunyai morbiditas yang lebih rendah dibandingkan cedera pada usia dewasa. Namun
demikian, pendapat bahwa cedera otak yang terjadi pada usia lebih dini akan mempunyai
prognosis yang lebih baik ternyata tidaklah sepenuhnya benar. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa cedera otak pada usia tertentu, prognosisnya tergantung pada titik
dampak kritisnya (critical impact points hypothesis). Berdasarkan paradigma ini, ternyata
cedera otak pada usia dini dapat sama fatalnya dengan cedera otak pada usia yang lebih tua.
Jika cedera terjadi pada suatu usia dimana sel-sel otak masih dalam tahap
pematangan, dan tepat pada titik dimana perkembangan neurologi dan kognitif memerlukan
dukungan lingkungan yang optimal dan kondusif, maka prognosis yang buruk bisa
diramalkan pada kasus ini. Penelitian longitudinal terhadap kelainan di kortek serebri dengan
kelainan kongenital menyimpulkan prognosis yang lebih uruk jika dibandingkan dengan
kelainan serupa yang didapat kemudian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa anak dengan
kelainan kongenital justru mengalami gangguan perkembangan otak pada keseluruhan
7

hemisfer.
Selaras dengan critical impact points hypothesis, Kolb dan Gibbs (2001) menemukan
bahwa kerusakan otak yang terjadi pada usia dini, walaupun proliferasi neural telah sempurna
namun masih dalam proses migrasi dan diferensiasi, akan mengakibatkan atrofi menyeluruh
dendritik dan penurunan densitas neuron terutama bagian selubung kortek pada area tulang
belakang, yang tampak sebagai retardasi mental. Sebaliknya, jika selubung kortek ini rusak
pada waktu pertumbuhan cepat dendritik dan pembentukan formasi sinaps, justru akan terjadi
peningkatan percabangan dendritik dan densitas spinal melalui kortek yang masih tersisa,
sehingga akan didapatkan hasil akhir berupa pemulihan (recovery) fungsi yang lebih baik.
Dengan demikian disimpulkan bahwa cedera otak yang terjadi lebih awal tidak selalu
mempunyai prognosis yang lebih baik, hasil akhir (outcome)nya ditentukan oleh tingkat
maturasi yang sudah atau sedang berlangsung saat cedera terjadi, yang dipengaruhi oleh
kemampuan selular yang spesifik sehubungan dengan plastisitas otak.
Berdasarkan data studi hemisferektomi menyimpulkan bahwa perbedaan masa pulih
(recovery) sesudah cedera/trauma pada sistem nervus matur vs imatur, bukan hanya berkaitan
dengan usia saat cedera/trauma terjadi,namun juga merefleksikan lamanya masa pulih yang
dihubungkan dengan penyebab lesi dan jenis pemeriksaan atau tes yang dilakukan. Studi
kohort pada usia dewasa akan mempunyai masa follow up yang singkat sehubungan dengan
keterbatasan usia harapan hidup. Demikian juga halnya pada studi yang melibatkan subjek
dengan tumor otak, tentu akan mempengaruhi potensial masa pulih penderitanya.
Menurunnya plastisitas otak seiring dengan bertambahnya usia tidak berarti reorganisasi tidak mungkin terjadi pada waktu yang panjang. Sebagai contoh, pada sindrom
Sturge-Weber, terjadi kalsifikasi yang progresif walaupun pada saat bersamaan re-organisasi
kemampuan bahasa yang terus berlanjut hingga usia lebih tua.
Masa pulih pada cedera hemisfer kiri dimana hemisfer kanan secara perlahan
mengambil alih aspek bahasa dan memori verbal juga bisa memakan waktu yang cukup
panjang. Akuisisi bahasa pada anak yang belum terpapar (exposed) bahasa sama sekali, atau
belum bicara hingga akhir dekade pertama juga akan memperpanjang masa re-organisasi
yang dibutuhkan. Dalam berbagai kasus, masa transfer kemampuan bahasa dari hemisfer
kanan ke kiri memerlukan waktu yang relatif lebih panjang dibandingkan dengan durasi
plastisitas serebral pada umumnya
Dengan demikian plastisitas otak mempengaruhi fungsi kognitif seseorang baik secara
positif maupun secara negatif. Faktor yang mempengaruhi neuroplastisitas ini sangat banyak
8

yang akan membawa baik secara postif (untuk meningkatkan fungsi kognitif) dan negatif.
Plastisitas ini juga dapat menutupi kekurangan fungsi yang hilang dengan mengadaptasi
bagian tertentu yang seharusnya memiliki fungsi yang berbeda. Maka plastisitas ini penting
dalam mekanisme kehidupan manusia yang selalu beradaptasi.

Você também pode gostar