Você está na página 1de 84

MENGENAL ICC

Mahkamah Pidana International

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional

Seri Buku Saku

MENGENAL ICC
Mahkamah Pidana International

2009

Diterbitkan oleh:
Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Mahkamah Pidana Internasional
Sekretariat pusat:
IKOHI
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia
Jl. Kalasan Dalam No. 5
Menteng, Jakarta Pusat
Telp: +62 21 315 79 15
Email : kembalikan@yahoo.com
Penyusun
Tata Letak
Percetakan

: Simon, SH
: Didie P
: Sentralisme Production

Buku saku ini diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil


untuk Mahkamah Pidana Internasional dengan dukungan
Indonesia Austalia Legal Development Facility (IALDF)

Informasi dalam dokumen ini diambil dari berkas-berkas


Departemen Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Amnesti Internasional dan Komite Pengacara untuk Hakhak Asasi Manusia (sekarang Human Rights First). Informasi
ini juga merupakan produk dari Sekretariat CICC dan tidak
selalu mewakili ide-ide organisasi tersebut.

KATA PENGANTAR

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berhasil memenuhi


rasa keadilan masyarakat di Indonesia masih merupakan
harapan. Pembentukan institusi dan instrument HAM
masih belum cukup untuk memuaskan dahaga masyarakat,
terutama korban, akan keadilan. Berbagai upaya dan
pengalian terhadap berbagai mekanisme penyelesaian
terus dilakukan. Tak lebih dan tak kurang untuk memenuhi
dahaga tersebut sekaligus menjamin masa depan umat
manusia yang lebih baik.
Mekanisme Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court ICC) merupakan mekanisme yang dibangun
untuk menunaikan kebutuhan agar tidak lagi ada impunitas
bagi pelaku kejahatan kemanusiaan. Sejak didirikan pada
tahun 2002, Mahkamah Pidana Internasional telah menjadi
lembaga yang kompeten dalam upaya pemidanaan bagi
pelaku kejahatan kemanusiaan.
Buku saku ini disusun sebagai upaya awal dari kami
mengenalkan dan sekaligus memberikan tambahan
semangat bagi korban dan masyarakat akan sebuah
mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang dapat
ditempuh ketika semua mekanisme yang ada di Indonesia
tak berdaya berhadapan dengan kekuasaan. Diskusi yang
lebih mendalam dan aksi-aksi penekanan pada Negara
untuk segera melakukan ratifikasi terhadap perjanjian ini
menjadi agenda berikutnya yang sangat penting dalam
menghadang impunitas.
Salam Solidaritas Melawan Impunitas!
Penyusun

Akhirnya, Mahkamah Pidana


Internasional mengisi keterputusan
yang telah lama hilang dalam
sistem hukum internasional:
sebuah pengadilan tetap untuk
menghakimi berbagai kejahatan
terberat yang menjadi perhatian
seluruh masyarakat internasional
- genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan perang.
Koffi Annan

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I
MENGENAL MAHKAMAH
PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

Buku Saku ICC

Apakah Mahkamah Pidana Internasional itu?


Mahkamah Pidana Internasional (atau dalam bahasa
Inggris disebut sebagai International Criminal Court atau
ICC) adalah pengadilan tetap dan independen pertama
yang mampu melakukan penyelidikan dan mengadili
setiap orang yang melakukan pelanggaran terberat
terhadap hukum kemanusiaan internasional, seperti
kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, pembunuhan
dan tindakan agresi.

Apa dasar Mahkamah Pidana Internasional?


Bagaimana sejarahnya?
Mahkamah Pidana Internasional atau ICC ini dibentuk
berdasarkan Statuta Roma -- perjanjian dasar ICC-- pada
tanggal 1 Juli 2002. Hingga saat ini, perjanjian Mahkamah
Pidana Internasional telah diratifikasi oleh 108 negara
perwakilan di seluruh dunia. Kerangka kerja hukum
Mahkamah Pidana Internasional ini ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tercatat dalam kurun waktu
empat tahun, sejak penandatangan pertama 17 Juli 1998
hingga 11 April 2002, perjanjian Mahkamah Pidana
Internasional telah diratifikasi banyak negara dan dijadikan
hukum internasional pada tanggal 1 Juli 2002.
Mengapa dibutuhkan Mahkamah Pidana Internasional?
Berangkat dari pengalaman sejarah hidup umat manusia
selama berabad-abad yang penuh dengan tindak kekerasan
terburuk dimana lebih dari 86 juta warga sipil tewas,
sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan lebih dari
170 juta orang dirampas hak-haknya, harta benda dan harga
dirinya tanpa adanya pemberian keadilan yang memadai,
Majelis Umum PBB ditahun 1948 mengakui perlu
adanya mekanisme tetap untuk mengadili pembunuhan

Buku Saku ICC


massal dan kejahatan perang. Sejak itu, banyak undangundang, perjanjian, konvensi dan protokol membatasi
dan melarang segala hal menyangkut kejahatan perang
hingga gas beracun dan senjata kimia. Namun, belum ada
pengajuan sistem peradilan yang mampu menahan setiap
individu yang bertanggung jawab atas tindak kejahatan
hukum international hingga tahun 1998 saat Statuta
Roma diadopsi. Selain untuk mewujudkan keadilan bagi
para korban kejahatan, Mahkamah Pidana Internasional
diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku
dan mengakhiri budaya pemberian ampunan (impunitas)
kepada para penjahat internasional.
Apa pencapaian Mahkamah Pidana Internasional hingga
saat ini?
Sejak pengadilan dibentuk bulan Juli 2002, Mahkamah
Pidana Internasional telah mendirikan kantor di Den
Haag dengan 3 organisasi utama pengadilan: Kantor Jaksa
Penuntut, Kepresidenan/Hakim dan Pejabat Catatan Sipil.
Sejak Desember 2005, Kantor Jaksa Penuntut, diketuai oleh
Jaksa Luis Moreno. Kantor Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana
Internasional baru-baru ini sedang meneliti 8 situasi di empat
benua, termasuk Afrika Tengah dan Pantai Gading.
Apa beda antara Mahkamah Pidana Internasional dengan
Pengadilan Tinggi International dan Pengadilan ad hoc
bekas Yugoslavia dan Rwanda?

Pengadilan Tinggi International, badan pengambil


keputusan utama pengadilan PBB, khusus dirancang
untuk menyelesaikan pertikaian antar Negara.
Pengadilan Tinggi International ini tidak memiliki
yuridiksi bagi permasalahan yang melibatkan
tanggung jawab kejahatan setiap orang. Sedang
4

Buku Saku ICC

Pengadilan ad hoc bekas Yugoslavia dan Rwanda


berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional
dalam yuridiksi geografis dan wilayah temporal.
Karena dibuat oleh Dewan Keamanan PBB,
Pengadilan ad hoc hanya diberikan mandat untuk
menangani kejahatan di wilayah-wilayah tersebut
dalam kurun waktu tertentu. Sebaliknya, Pengadilan
Kejahatan International adalah sebuah lembaga yang
permanen dan independen yang mampu mengadili
kejahatan yang teridentikasi oleh Statuta Roma dan
telah dilakukan setiap individu sejak 1 Juli 2002.
Mengana masih dibutuhkan Mahkamah Pidana Internasional bila sudah ada Pengadilan Tinggi International dan
Pengadilan ad hoc bekas Yugoslavia dan Rwanda?
Telah digelarnya peradilan terhadap para penjahat dalam
Perang Dunia Kedua tidak membuat pemikiran untuk
membuat sebuah institusi peradilan permanen memudar
untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Hal
ini disebabkan karena mekanisme pengadilan internasional
yang bersifat ad hoc mempunyai kelemahan-kelemahan
yang mendasar, yaitu:

(1) Victors justice


Dari keempat pengadilan internasional yang telah
diselenggarakan, semuanya mempunyai kesamaan,
yaitu yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan
yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang
kalah perang, sementara bagi negara-negara pemenang
perang akan terbebas dari tanggung jawab, meskipun
mereka juga melakukan kejahatan-kejahatan serupa.
Inilah mengapa keadilan yang dicapai melalui keempat
proses pengadilan tersebut dianggap sebagai victors
justice (keadilan bagi pemenang)

Buku Saku ICC


(2) Selective justice
Kelemahan lain dari mekanisme pengadilan
internasional ad hoc adalah terjadinya keadilan tebang
pilih (selective justice). Maksudnya adalah tidak semua
kasus kejahatan internasional paling serius mempunyai
kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan
internasional, hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap
mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional
saja yang akan diadili, dan hanya kasus-kasus yang
melibatkan negara-negara penting yang mempunyai
kesempatan untuk diselesaikan. Artinya, akan ada
pelaku yang tidak ditindak, dan akan ada korban yang
tidak mendapatkan hak-haknya atas keadilan dan
kompensasi. Lebih jauh, kondisi seperti ini tidak banyak
memberikan sumbangan untuk menghentikan praktekpraktek impunitas di berbagai penjuru dunia.
(3) Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa
mendatang
Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua
Mahkamah Pidana Internasional pasca Perang
Dunia Kedua, kedua pengadilan berikutnya masih
memiliki keterbatasan yang sama. Di antaranya,
tidak adanya kerjasama dengan negara di mana
kejahatan internasional yang serius terjadi; tidak
bisa menghentikan konflik yang sedang berlangsung
dan tidak bisa mencegah berulangnya konflik; serta
jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori
konflik yaitu konflik internal atau internasional.
(4) Muatan politis
Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg
dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka
yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan

Buku Saku ICC


kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Ini
disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan
internasional ad hoc HANYA bisa dilakukan melalui
Dewan Keamanan PBB. Artinya, nasib keadilan
sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan
Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota
tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam konteks ini tentu
saja kepentingan politik akan lebih banyak berperan
ketimbang pertimbangan hukum dan keadilan.
Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka diperlukan
sebuah mekanisme pengadilan internasional yang relatif
bebas dari intervensi politik internasional, menjunjung
tinggi kedaulatan negara, dan bersifat independen dan
berlaku lebih fair, bahkan kepada pelaku.
Bentuk kejahatan apa saja yang ditangani oleh ICC?
Mahkamah ini memiliki yuridiksi untuk mengadili bagi
setiap pelaku tindak kejahatan terberat: genosida, kejahatan
kemanusian, kejahatan perang dan yang disebut agresi.
Apa itu genocida?
Genosida mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar
secara rinci (misalnya pembunuhan, kejahatan serius) dan
bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian,
bangsa, suku bangsa, ras atau kelompok agama.
Apa itu kejahatan terhadap kemanusiaan?
Kejahatan kemanusian mencakup aksi-aksi terlarang
yang didaftar secara rinci, dilakukan sebagai bagian dari
agresi menyeluruh atau sistematis terhadap setiap warga
sipil. Aksi-aksi termasuk pembunuhan, pengusiran,
pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan paksa
dan kejahatan aparteid.

Buku Saku ICC


Apa itu kejahatan perang?
Kejahatan perang mencakup pelanggaran berat atas
Konvensi Geneva tahun 1949 dan pelanggaran serius
lain terhadap undang-undang perang, dilakukan baik
dalam skala besar internasional maupun konflik bersenjata
internal. Adanya konflik internal sesuai dengan hukum adat
internasional dan mencerminkan realitas bahwa dalam 50
tahun terakhir, pelanggaran paling serius terhadap hak
asasi manusia tidak terjadi dalam konflik internasional
tetapi dalam konflik bersenjata internal. Definisi kejahatan
dalam Statuta adalah hasil kerja keras bertahun-tahun
yang melibatkan banyak delegasi dan pakar. Para hakim
Mahkamah Pidana Internasional diharuskan bersikap
tegas dalam menjelaskan definisi tersebut dan tidak boleh
memperluas dengan analogi. Tujuannya adalah untuk
menetapkan standard obyektif internasional tanpa memberi
ruang bagi keputusan arbitrer. Jika terdapat ambiguitas,
definisi tersebut akan diterjemahkan untuk membantu
tersangka atau tertuduh.
Kapan Mahkamah Pidana Internasional menetapkan
yuridiksi kejahatan?
Sejak awal diberlakukan Statuta Roma pada tanggal 1
Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional menetapkan
yuridiksi atas kejahatan yang dilakukan oleh bangsabangsa yang telah meratifikasi Statuta Mahkamah Pidana
Internasional, serta atas kejahatan yang dilakukan di
wilayah Negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian
tersebut. Mahkamah Pidana Internasional dirancang untuk
melengkapi sistem keadilan nasional yang ada, namun
Mahkamah Pidana Internasional dapat menerapkan
yuridiksinya jika pengadilan nasional tidak mau atau
tidak mampu menyelidiki atau menghukum kejahatankejahatan tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah Pidana

Buku Saku ICC


Internasional juga berperan sebagai katalis dalam proses
investigasi dan pemberian hukuman kejahatan Negaranegara yang dilakukan baik dalam wilayah atau oleh
bangsa mereka. Kasus dapat diajukan ke Mahkamah
Pidana Internasional oleh negara anggota Statuta Roma,
Jaksa Penuntut dan Dewan Keamanan PBB. Dengan
demikian Pengadilan dapat melaksanakan yuridiksinya
atas masalah tersebut jika baik negara tempat kejahatan
dilakukan, atau negara kebangsaan tertuduh, merupakan
peserta Statuta. Negara-negara bukan Peserta dapat
menerima yuridiksi di tingkat ad hoc atau ketika suatu
masalah diajukan Dewan Keamanan, Mahkamah Pidana
Internasional akan membuat yuridiksi tanpa memandang
apakah negara tersebut peserta perjanjian Mahkamah
Pidana Internasional atau bukan.
Dapatkah seorang warga negara dari negara bukan
penandatangan Statuta Roma dijatuhi hukuman?
Dapat, semua warga negara manapun berada dibawah
yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam salah
satu kondisi berikut ini: 1) negara dimana kejahatan terjadi
adalah nagara yang telah meratifikasi perjanjian Mahkamah
Pidana Internasional, 2) negara tersebut telah mengakui
yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional pada basis ad
hoc, atau 3) Dewan Keamanan PBB menyampaikannya ke
Mahkamah Pidana Internasional. Namun, menurut prinsip
saling melengkapi, Mahkamah Pidana Internasional akan
bertindak hanya jika pengadilan nasional atas tertuduh
tidak memulai penyelidikan dan hukuman.
Dapatkah Pejabat tingkat tinggi atau petinggi militer
dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Pidana Internasional?
Dapat. Tanggung jawab kejahatan akan diberlakukan
sama kepada semua orang tanpa pengecualian, termasuk

Buku Saku ICC


Kepala Negara atau pemerintah, anggota pemerintahan
atau parlemen, wakil terpilih atau pejabat pemerintah.
Kenyataan bahwa kejahatan telah dilakukan oleh
seseorang atas perintah penguasa biasanya tidak akan dapat
membebaskan orang tersebut dari pertanggung-jawaban
kejahatan. Komandan militer bertanggungjawab atas
kejahatan yang dilakukan oleh pasukan di bawah perintah
dan pengawasannya. Tanggung-jawab atas kejahatan ini
juga meliputi ketika seorang komandan militer mengetahui
atau seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut
sedang atau akan melakukan kejahatan namun gagal
untuk mencegah atau menekan tindakan mereka. Selain
itu, warga sipil yang bertindak sebagai komandan militer
dianggap bertanggungjawab atas kejahatan ketika mereka
mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang
jelas-jelas menunjukkan bahwa kejahatan sedang atau
akan dilakukan.
Apakah Mahkamah Pidana Internasional melanggar hukum
internasional jika menetapkan yuridiksi atas anggota
pasukan nasional atau pasukan penjaga perdamaian?
Di bawah hukum internasional yang berlaku saat
ini, negara di mana genosida, kejahatan perang atau
kejahatan kemanusiaan ternyata telah dilakukan, atau di
mana bangsa-bangsanya merupakan korban kejahatan
tersebut, berhak untuk dan seringkali secara hukum
wajib melakukan penyelidikan dan menjatuhkan
hukuman atas para tertuduh pelaku kejahatan tersebut.
Statuta Mahkamah Pidana Internasional tidak melanggar
prinsip hukum perjanjian internasional manapun dan
belum menetapkan hak-hak atau kewajiban hukum
apapun yang tidak ada menurut hukum internasional.
Kerjasama Negara bukan peserta sesungguhnya bersifat
sukarela dan tidak ada pemaksaan. Statuta Mahkamah

10

Buku Saku ICC


Pidana Internasional memberikan perlindungan khusus
dari penjaga perdamaian dengan memasukkan serangan
sengaja terhadap personil, instalasi, unit materi atau
kendaraan untuk kemanusiaan atau misi perdamaian
sebagai kejahatan yang dapat dihukum. Pelanggaranpelanggaran tersebut termasuk kejahatan perang atau
kejahatan kemanusiaan dalam situasi tertentu.
Apakah Mahkamah Pidana Internasional membatasi
yuridiksi pengadilan nasional?
Tidak. Mahkamah Pidana Internasional akan melengkapi,
bukan mengambil-alih, yuridiksi pengadilan nasional.
Pengadilan-pengadilan nasional terutama akan tetap
menyelidiki dan menjatuhkan hukuman atas kejahatan
dalam yuridiksi mereka. Atas dasar saling melengkapi,
Mahkamah Pidana Internasional akan bertindak hanya
jika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau
menerapkan yuridiksi. Jika pengadilan nasional mampu
dan mau menerapkan yuridikasinya, Mahkamah Pidana
Internasional tidak dapat mencampuri. Alasan-alasan
untuk membawa sebuah kasus ke hadapan Mahkamah
Pidana Internasional dijelaskan dalam Statuta. Berbagai
keadaan penyebab adanya ketidak-mampuan dan ketidakinginan dijelaskan dengan hati-hati untuk menghidari
keputusan arbitrer. Selain itu, Negara-negara tertuduh
dan yang berminat, baik peserta Statuta atau bukan, dapat
menantang yuridiksi Pengadilan atas diterimanya kasus
tersebut. Mereka juga berhak untuk mengajukan naik
banding untuk keputusan terkait apapun.
Apa peranan Dewan Keamanan PBB dalam kerja
Mahkamah Pidana Internasional?
Kerja Dewan Keamanan dan Mahkamah Pidana
Internasional saling melengkapi. Statuta Roma mengakui

11

Buku Saku ICC


peran Dewan Keamanan dalam memelihara perdamaian
dan keamanan internasional. Lebih jelasnya, menurut Bab
VII Piagam PBB, Dewan Keamanan dapat merujuk suatu
situasi ke Mahkamah Pidana Internasional ketika satu
atau lebih kejahatan yang dibahas Statuta sepertinya telah
dilakukan. Hal tersebut akan menjadi dasar bagi Jaksa
Penuntut untuk memulai sebuah penyelidikan. Karena
situasi yang dirujuk Dewan Keamanan didasarkan pada
kemampuannya yang bersifat mengikat dan dan secara
hukum dapat ditegakkan di semua Negara, pelaksanaan
yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional menjadi
bagian alat penegak Dewan. Yuridiksi tersebut menjadi
mengikat meskipun Negara tempat terjadi kejahatan
tidak mengakui atau Negara kebangsaan tertuduh
bukan anggota Statuta. Dalam contoh tersebut di atas,
Mahkamah Pidana Internasional, lewat penyelidikan dan
pengadilan, membantu Dewan Keamanan dalam menjaga
perdamaian dan keamanan. Yuridiksi hasil dari rujukan
Dewan Keamanan ini memperkuat peran Mahkamah
Pidana Internasional dalam menegakkan hukum kejahatan
internasional. Pada saat yang sama, yuridiksi Pengadilan
diperluas hingga mencakup Negara-negara bukan Peserta.
Tambahan lagi, Dewan Keamanan, dengan mengambil
resolusi, dapat meminta Mahkamah Pidana Internasional
menunda penyeldikan atau pengadilan. Untuk memperjelas
independensi Pengadilan, rujukan Dewan Keamanan
hanya merupakan satu dari tiga cara Mahkamah Pidana
Internasional menjalankan yuridiksinya.
Bagaimana Statuta Roma mengatur independensi Jaksa
Penuntut?
Ada berbagai persyaratan rinci yang dimasukkan dalam
Statuta Roma untuk memastikan pemeriksaan dan
keseimbangan bagi Jaksa Penuntut untuk dapat memulai

12

Buku Saku ICC


penyelidikan ketika ada cukup bukti mendukung
pelanggaran serius. Pertama-pertama, Jaksa Penuntut harus
menerima keinginan Negara-negara tersebut dan sanggup
menyelesaikan penyelidikan mereka sendiri. Sebelum
memulai penyelidikan, Jaksa Penuntut diwajibkan
menyerahkan semua materi pendukung serta memperoleh
izin dari Lembaga Pra-Peradilan yang terdiri dari tiga hakim
untuk diteruskan. Terdakwa dan Negara bersangkutan juga
mempunyai hak untuk menantang yuridiksi Mahkamah
Pidana Internasional atau alasan-alasan kasus sebelum
atau diawal peradilan. Statuta Roma mewajibkan Jaksa
Penuntut memiliki karakter moral tertinggi, kemampuan
dan pengalaman dalam mengajukan tuntutan atau sidang
kasus-kasus kejahatan. Jaksa Penuntut tidak diperbolehkan
berpartisipasi dalam kasus apapun di mana mungkin
perlakuan adilnya diragukan. Semua pertanyaan berkaitan
dengan diskualifikasi akan diputuskan oleh Badan Banding
Pengadilan. Majelis Negara Anggota mempunyai kekuatan
untuk memberhentikan Jaksa Penuntut jika ia diketahui
telah melakukan kejahatan atau pelanggaran serius
terhadap tugas-tugasnya.
Adakah jaminan bagi hak-hak tersangka sebelum proses
dan selama proses sidang?
Ada. Statuta Roma menciptakan sistem pengadilan
kejahatan sebagai refleksi dari masukan semua sistem
dan tradisi hukum utama. Statuta mengakui sejumlah
besar hak-hak tersangka, dan bahkan memperluas
standar-standar lembaga-lembaga yang termasuk dalam
instrumen utama hak-hak asasi manusia internasional. Hal
itu akan menghasilkan hakim-hakim yang tidak berpihak
dan memenuhi syarat, sehubungan dengan proses dan
sidang keadilan dalam wilayah yuridiksi Pengadilan.
Perlindungan tambahan terhadap hak-hak tersangka

13

Buku Saku ICC


termasuk mekanisme screening oleh badan penyidik
dan Jaksa Penuntut dan badan hukum Pengadilan, yang
dirancang untuk melindungi orang-orang tak bersalah
dari penyelidikan dan tuntutan bersifat main-main,
mengganggu dan mengandung muatan politik. Selain itu,
para pengambil keputusan yang memulai penyelidikan atau
sidang kejahatan harus memiliki kualifikasi kemampuan,
independensi dan rasa keadilan maksimal. Terlebih lagi,
Statuta Mahkamah Pidana Internasional juga mengandung
persyaratan rinci (lebih dari 60 pasal) tentang dasar-dasar
hukum tentang kejahatan, penyelidikan, tuntutan, sidang,
bantuan dan kerjasama serta penegak hukum. Persyaratan
ini membutuhkan keselarasan prosedur dan hukum
kriminal nasional yang secara diametris bertentangan
dan berlainan arah. Kesepatan tersebut dicapai atas dasar
permasalahan teknis dan mewakili keberhasilan utama
hukum internasional.
Apa jaminan agar para Hakim bersikap adil dan terbebas
dari pengaruh politik dari luar?

Statuta Roma menuntut agar para hakim memiliki


kemampuan profesional tertinggi, orang-orang
yang bermoral dengan integritas tinggi dan tidak
memihak. Mereka juga harus memenuhi persyaratan
dari Negara mereka bersangkutan untuk duduk di
badan hukum tertinggi atau ICJ. Mereka juga harus
independen dalam melaksanakan fungsi mereka
dan tidak terlibat dalam setiap aktivitas yang akan
menggangu fungsi hukum atau kepercayaan diri
mereka sebagai badan yang independen. Setiap
hakim harus memiliki kemampuan tentang hukum
krimila dan prosedurnya, serta pengalaman yang
diperlukan dalam sidang-sidang kejahatan, atau
14

Buku Saku ICC

kemampuan di bidang-bidang yang berkaitan dengan


hukum internasional seperti hukum kemanusiaan
internasional dan hukum hak-hak asasi manusia.
Untuk memastikan apakah komposisi kursi benarbenar seimbang dan internasional, pemilihan para
hakim mempertimbangkan perlunya mewakili
sistem hukum utama dunia dan memastikan bahwa
para hakim mewakili semua wilayah, jumlah hakim
laki-laki dan perempuan seimbang, serta para
hakim dengan keahlian tentang kekerasan terhadap
perempuan atau anak-anak. Dua hakim tidak
diperkenankan berasal dari satu Negara. Mereka
terpilih untuk periode tiga, enam dan sembilan
tahun. Seorang hakim bisa saja diberhentikan
dari jabatannya jika ia melakukan kejahatan
atau pelanggaran berat dalam tugas. Semua alat
perlindungan tersebut adalah untuk memastikan
independensi, integritas dan kemampuan serta untuk
mencegah masuknya pengaruh politik dari luar.
Apakah Mahkamah Pidana Internasional dapat dipercaya
dan memiliki independensi?
Majelis Negara Anggota (The Assembly of States Party)
-terdiri dari semua Negara yang telah mensahkan perjanjian
sebagai peserta penuh dan negara-negara penanda-tangan
perjanjian sebagai pengamat - mengawasi kerja Mahkamah
Pidana
Internasional;
mempersiapkan
manajemen
menyeluruh sehubungan dengan administrasi Mahkamah
Pidana Internasional untuk Presiden, Jaksa Penuntut dan
Petugas Catatan Sipil; menetapkan anggaran; menetapkan
jumlah para hakim; dan mempertimbangkan segala
pertanyaan berkaitan dengan non-kerjasama negara-negara
dengan Mahkamah Pidana Internasional. Majelis Negara
Anggota tidak dapat mencampuri fungsi-fungsi hukum

15

Buku Saku ICC


Mahkamah Pidana Internasional. Segala pertikaian yang
berhubungan dengan fungsi-fungsi hukum Mahkamah
Pidana Internasional akan diselesaikan oleh Mahkamah
Pidana Internasional itu sendiri. Hingga saat ini ter dapat 94
Negara anggota Majelis Negara-negara Anggota, mewakili
banyak demokrasi dan seluruh wilayah di dunia.
Seberapa kuatkah dukungan untuk membentuk
Mahkamah Pidana Internasional?
Seratus enam puluh negara tergabung dalam Konferensi
Diplomatis PBB (diadakan di Roma dari 15 Juni hingga
17 Juli 1998), mengarah ke pengadopsian Statuta Roma
Mahkamah Pidana Internasional. Melalui kelompok kerja,
perundingan informal dan debat terbuka, teks berimbang
muncul dan penyelesaian yang telah disetujui secara umum
ditemukan untuk banyak isu kompleks secara hukum dan
sensitif secara politik. Statuta dan Final Act diajukan sebagai
paket lengkap pengadopsian. Paket ini merupakan produk
perundingan terus-menerus dan kompromisasi hukum yang
dirancang untuk mendapatkan persetujuan menyeluruh.
Dalam hal ini, mosi tidak percaya - alat prosedural untuk
tidak menganggap undang-undang ini- diadopsi oleh negara
dalam jumlah besar. Meskipun banyak yang mengira
bahwa untuk mencapai 60 ratifikasi agar Statuta berlaku
dan Mahkamah Pidana Internasional terbentuk memerlukan
waktu ratusan tahun, kejadian penting ini akhirnya tercapai
pada tanggal 11 april 2002, dalam kurun empat tahum
pengadopsian perjanjian. Baru-baru ini, 108 negara dari
setiap wilayah telah meratifikasi Statuta Roma.
Mengapa ada negara tidak memilih Statuta?
Tujuh Negara yang tidak memilih Statuta tidak dicatat. Tiga
Negara - Cina, Amerika Serikat dan Israel - menyatakan
alasan mereka mengapa tidak menandatangani perjanjian
tersebut. Cina menyatakan bahwa kekuasaan yang
diberikan ke Pra-Peradilan untuk mengkaji usulan Jaksa

16

Buku Saku ICC


Penuntut tidaklah cukup dan bahwa pengadopsian Statuta
harus berdasarkan konsensus, bukan pemilihan. Keberatan
utama Amerika Serikat adalah terhadap penerapan
yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional atas negaranegara bukan Anggota. Pihak Amerika juga menegaskan
bahwa Statuta harus mengakui peranan Dewan Keamanan
dalam menentukan aksi penyerangan. Israel menegaskan
bahwa Statuta gagal memahami mengapa pemindahan
penduduk ke dalam suatu wilayah terjajah masuk dalam
daftar kejahatan perang.
Apakah Mahkamah Pidana Internasional akan menuntut
kejahatan penyerangan, terorisme dan perdagangan obat
terlarang?
Berbagai dukungan untuk Konferensi Roma telah
disebarluaskan untuk memasukkan agresi sebagai
kejahatan menurut yuridiksi Mahkamah Pidana
Internasional. Tetapi, tidak cukup waktu untuk
menyelesaikan pengertian serangan itu sendiri agar dapat
diterima oleh semua pihak. Hasilnya, Statuta memasukkan
kejahatan jenis ini. Namun, seandainya Mahkamah Pidana
Internasional tidak melaksanakan yuridiksi atas kejahatan
agresi hingga kesepakatan dicapai oleh Negara-negara
Anggota di Konferensi Ulangan tentang definisi, unsurunsur dan persyaratan yang menjadi dasar pelaksanaan
yuridiksi oleh Pengadilan tanpa mengabaikan kejahatan
ini. Menurut Piagam PBB, Dewan Keamanan mampu
menentukan apakah aksi agresi telah dilakukan atau
tidak. Statuta menyebutkan bahwa teks akhir tentang
kejahatan agresi harus konsisten dengan persyaratan
Piagam PBB bersangkutan. Meskipun ada keinginan yang
patut dipertimbangkan ketika memasukkan terorisme dan
perdagangan obat terlarang dalam mandat Mahkamah
Pidana Internasional, negara-negara yang tidak setuju
tentang definisi terorisme di Roma dan yang merasa bahwa
penyelidikan atas kejahatan obat terlarang berada di luar

17

Buku Saku ICC


sumber-sumber Mahkamah Pidana Internasional. Resolusi
konsensus telah dilalui dan menuntut Negara-negara
Peserta untuk kembali membicarakan masalah kejahatan
tersebut dalam konferensi berikutnya.
Apakah Mahkamah Pidana Internasional akan menuntut
kejahatan seksual? Bagaimana Mahkamah Pidana
Internasional membicarakan kebutuhan para korban dan
saksi?
Ya. Statuta memasukkan kejahatan seksual seperti
perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksaan
dan kehamilan paksa sebagai kejahatan kemanusiaan
ketika mereka dilakukan sebagai bagian dari serangan
menyeluruh atau sistematis terhadap penduduk sipil.
Mereka juga dianggap sebagai kejahatan perang ketika
dilakukan konflik bersenjata internasional atau dalam
negeri. Di Rwanda dan bekas Yugoslavia, pemerkosaan
dan kekerasaan gender secara luas dipakai sebagai
senjata teror dan menghina serta merendahan perempuan
etnis tertentu, dan seluruh kelompok masyarakat mereka.
Dalam mengadili kasus perkosaan dan kekerasaan gender
lain, sidang ad hoc menemukan para korban yang takut
mengajukan kisah mereka dan bahkan takut menjadi
korban proses pengadilan. Untuk membantu para korban
dan saksi menghadapi proses pengadilan, Mahkamah
Pidana Internasional membentuk Unit Korban dan Saksi.
Unit ini memberikan langkah-langkah perlindungan dan
keamanan, konseling dan bantuan lain bagi para saksi dan
korban dengan menghormati hak-hak penuh tertuduh.
Pengadilan juga harus mengambil langkah-langkah
tetap untuk melindungi privasi, harga diri, kondisi fisik
dan sikologi serta keamanan para korban dan saksi,
khususnya kejahatan yang melibatkan kekerasan seksual
dan gender.

18

Buku Saku ICC


Apakah para korban berhak atas kompensasi?
Mahkamah Pidana Internasional telah mendirikan Lembaga
Pengumpul Dana Bagi Para Korban dan Keluarga, termasuk
restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Pengadilan diberi
kekuasaan untuk menentukan luas wilayah kerusakan,
kerugian dan luka para koban, dan memerintahkan
terdakwa untuk mengganti. Sumber dana dapat berupa
uang dan harta benda hasil pembayaran denda dan
ganti rugi pelanggaran yang diharuskan Mahkamah
Pidana Internasional. Negara dan perorangan dianjurkan
untuk memberikan sumbangan ke unit ini. Hal tersebut
merupakan mekanisme perbaikan pertama yang pernah
ada dan ditetapkan oleh pengadilan internasional.
Bagaimana mengajukan para terdakwa ke hadapan
Mahkamah Pidana Internasional?
Semua Negara Anggota Statuta harus berjanji pada
diri mereka sendiri untuk sejalan dengan perintah dan
permintaan Mahkamah Pidana Internasional. Jika mereka
gagal memenuhi komitmen mereka berarti mereka telah
melanggar hukum internasional sehingga membuat
negara tersebut semakin ditekan untuk memenuhi
permintaan. Lebih dari satu abad, negara-negara telah
memenuhi hampir setiap keputusan yang dikeluarkan
oleh pengadilan-pengadilan internasional atas dasar
perjanjian - seperti Pengadilan Tinggi Internasional dan
Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia Eropa - dan biaya
politis karena menolak bekerja sama biasanya terlalu
besar agar penolakan diizinkan selamanya. Kasus tentang
negara-negara yang gagal bekerja sama berada di halaman
depan berita. Undang-undang beberapa negara melarang
negara tersebut untuk mengekstradisi dakwaan kejahatan
perang untuk diadili di negara lain. Namun, selama
perundingan Mahkamah Pidana Internasional, banyak

19

Buku Saku ICC


negara menyatakan bahwa undang-undang mereka tidak
akan menghalangi mereka untuk membawa tersangka ke
pengadilan internasional karena hal itu dianggap menyerah
dan bukan ekstradisi. Negara-negara lain menunjukkan
bahwa mereka akan mengubah undang-undang mereka.
Hukuman apa yang dapat diberikan Mahkamah Pidana
Internasional? Dapatkah berupa hukuman mati?
Sejalan dengan standar hak-hak asasi manusia, Mahkamah
Pidana Internasional tidak mampu untuk memutuskan
hukuman mati. Pengadilan dapat memperpanjang masa
tahanan hingga 30 tahun atau seumur hidup sesuai dengan
berat kasus. Selain itu, Pengadilan bisa saja menuntut
denda atau ganti rugi pengadilan, harta benda atau aset
hasil kejahatan.
Apa kewajiban negara bukan anggota kepada Mahkamah
Pidana Internasional?
Karena tidak ada kewajiban umum disebutkan dalam
Statuta Roma yang menganjurkan negara-negara bukan
Anggota untuk bekerjasama, semua negara - baik peserta
atau bukan - diwajibkan hukum internasional untuk
mengadili mereka yang bertanggung-jawab atas genosida,
kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang. Jika Negara
tidak mampu, mereka diminta untuk mengekstradisi para
tersangka ke negara pelaksana pengadilan. Terlebih lagi,
pada Desember 1973, Majelis UmumPBB mengadopsi
Prinsip-prinsip kerjasama internasional dalam mendeteksi,
menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang
pelaku kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan ke
dalam Resolusi 3074 yang menyatakan bahwa semua
negara saling bekerja sama secara bilateral atau multilateral
untuk mengadili orang-orang yang bertanggung-jawab
atas kejahatan tersebut. Mahkamah Pidana Internasional

20

Buku Saku ICC


melengkapi sistem hukum nasional yang ada dan akan
masuk hanya bila pengadilan nasional tidak ingin atau
tidak mampu menyelidiki atau mengadili kejahatan
tersebut, Pengadilan dapat meminta pengadilan nasional
untuk bekerja sama berdasarkan kesepakatan ad hoc. Jika
suatu negara memilih untuk menyimpulkan kesepakatan
itu, negara tersebut harus mau membantu. Tambahan
lagi, jika Dewan Keamanan merujuk suatu situasi yang
mengancam persamaian san keamanan internasional
kepada Mahkamah Pidana Internasional, maka Dewan
Keamanan dapat menggunakan kekuasaannya menurut
Piagam PBB untuk memaksa Negara bukan anggota agar
bekerja sama membantu Mahkamah Pidana Internasional.

21

BAB II
INDONESIA DAN RATIFIKASI STATUTA
ROMA UNTUK MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL

Buku Saku ICC


Bagaimana peran Indonesia dalam proses Pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional?
Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonesia
terlibat secara aktif dengan mengirimkan delegasi untuk
mengikuti Konferensi Diplomatik di Roma ketika Statuta
Roma itu disahkan pada bulan Juli 1998. Pada saat
bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas
pengesahan Statuta Roma dan pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional dan menyatakan niatnya untuk
meratifikasi Statuta Roma. Dalam pernyataan yang sama,
Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah
arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam
PBB yang meliputi persepakatan, imparsialitas, nondiskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan wilayah.
Adakah ratifikasi Statuta Roma dalam rencana legislasi
Indonesia?
Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputeri
mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-Hak
Asasi Manusia (RANHAM) 2004 -2009. Rancangan
tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud
meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Untuk
melaksanakan Rancangan tersebut, Presiden membentuk
sebuah Komite Nasional. Dalam beberapa kesempatan,
pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta Roma sedang
dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu dibuat demi
keperluan kerjasama dengan Mahkamah sebelum ratifikasi
dilaksanakan.
Bagaimana parlemen Indonesia menyikapi ratifikasi
Statuta Roma di Indonesia?
Pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia
berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh

24

Buku Saku ICC


parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional
dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/
aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah
didirikan pula Parliamentarian for Global Action (PGA)
Indonesia Chapters, dimana sekretariat internasional PGA
selama ini sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah
Pidana Internasional.
Mengapa Indonesia harus Meratifikasi Statuta Roma?
Keharusan ratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008 tidak
hanya karena alasan normatif bahwa hal tersebut sudah
disebutkan dalam RANHAM 2004 2009 tetapi juga akan
memberikan kontribusi yang sangat positif bagi penegakan
dan perlindungan HAM di Indonesia dan perdamaian
kawasan dan dunia. Selain itu, ratifikasi Statuta Roma juga
akan menjadikan Indonesia dipandang sejajar dengan
bangsa-bangsa lain di dunia yang sudah lebih dulu
mengikatkan dirinya pada tatanan keadilan internasional.
Apa landasan untuk segera meratifikasi Statuta Roma?
Terdapat beberapa hal yang melandasi Pemerintah
Indonesia untuk segera meratifikasi statuta Roma.
Pertama, mengenai komitmen perlindungan HAM telah
diatur dalam UUD 1945. UUD 1945 telah merumuskan
pengaturan perlindungan HAM dalam UUD 1945
baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh. Dalam
Pembukaan, secara eksplisit dan implisit Indonesia
mengemukakan pernyataan dan komitmennya dalam
upaya perlindungan HAM. Dimana salah satunya dilakukan
melalui peran aktif dalam upaya melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial yang juga merupakan salah satu tujuan
bangsa Indonesia.

25

Buku Saku ICC


Bahwa paska reformasi, UUD 1945 mengalami perubahan
penting dalam rangka untuk menjamin perlindungan hak
asasi manusia baik dalam bidang hak-hak sipil dan politik
maupun yang termasuk dalam hak-hak sosial, ekonomi dan
budaya. Pada tahun 2002, perubahan Kedua UUD 1945
menambahkan aturan yang lebih rinci berkenaan dengan
pengaturan perlindungan HAM khususnya di bidang hakhak sipil dan politik, yaitu dalam BAB X A Pasal 28A
Pasal 28J.
Kedua, dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM) 2004-2009 berdasarkan Keppres No.40
Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004 diantaranya mencakup
persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional dan
penerapan norma dan standar HAM. Peratifikasian Statuta
Roma merupakan hal yang sejalan dengan pelaksanaan
RANHAM 2004-2009 menegaskan itikad baik serta
komitmen Indonesia dalam rangka perlindungan HAM
internasional yang selaras dengan hukum nasional. Agenda
ratifikasi Statuta Roma dalam RANHAM akan dilaksanakan
pada tahun 2008. Urgensi peratifikasian Statuta Roma
sudah semakin mendesak, untuk melengkapi mekanisme
penyelesaian pelanggaran HAM dan komitmen Indonesia
dalam upaya perlindungan dan penegakan hukum HAM.
Ratifikasi Statuta Roma diperlukan agar dapat mendorong
kemajuan perlindungan HAM dan penegakan hukum
terutama dalam konteks perbaikan sistem peradilan
Indonesia.
Apakah Ratifikasi Statuta Roma Akan Mengurangi
Kedaulatan Hukum Nasional Indonesia?
Berdasarkan pembukaan Statuta Roma, Mahkamah
Pidana Internasional merupakan pelengkap dari peradilan
nasional. Apa yang tercantum dalam pembukaan tersebut
menegaskan salah satu prinsip penting dalam Mahkamah

26

Buku Saku ICC


Pidana Internasional yaitu prinsip komplementer.
Berdasarkan pasal 17 ayat (1) Statuta Roma, pengadilan
nasional tidak dapat dikontrol oleh ICC.
Larangan ICC untuk mencampuri yurisdiksi hukum
nasional jika suatu negara sedang menyelidiki atau
menuntut kejahatan tersebut, kasusnya tidak cukup gawat
untuk membenarkan tindakan lanjutan oleh ICC, dan
kasusnya telah diputuskan oleh pengadilan yang layak dan
adil. Berdasarkan ketentuan ini, ICC sebetulnya bertujuan
untuk mengefektifkan peradilan pidana nasional suatu
negara.
Dengan demikian, tidak ada kekhawatiran bahwa ICC akan
mengurangi kedaulatan dalam sistem hukum di Indonesia.
Kasus-kasus yang akan dibawa ke ICC benar-benar hanya
akan didasarkan pada pelanggaran terhadap proses
peradilan domestik yang hanya ditujukan sebagai upaya
untuk melindungi pelaku, adanya ketidakmauan negara,
dan sistem hukum suatu negara tidak mampu mengadili
kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Mekanisme
hukum nasional tetap menjadi langkah yang utama
dan pertama (the forum of first resort) untuk melakukan
penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan tersebut.
Apa saja arti penting dan keuntungan Indonesia bila
meratifikasi Statuta Roma?
Sedikitnya ada tiga arti penting dan keuntungan Indonesia
bila meratifikasi Statuta Roma. Pertama, menghentikan
rantai impunitas di Indonesia. Pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional bertujuan untuk menghentikan
dan mencegah praktik impunitas terhadap pelaku
kejahatan internasional yang serius yang diatur oleh
Statuta Roma serta membuat perubahan signifikan atas
perilaku aktor negara-bangsa. Para pelaku kejahatan

27

Buku Saku ICC


demikian tidak dapat bebas dari penuntutan sekalipun
mereka adalah representasi dari kedaulatan negaranya.
Dengan keberadaan Mahkamah Pidana Internasional para
penguasa tidak dapat lagi melakukan praktik dengan alasan
apapun termasuk melakukan impunitas dengan maksud
melindungi para pelaku menggunakan mekanisme hukum
nasional, baik dengan jalan menggelar pengadilan yang
bertujuan melindungi pelaku yang ataupun pengampunan
(amnesty). Hal ini bisa dicegah karena Mahkamah Pidana
Internasional memiliki kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan yang
serius yang terjadi serta menentukan apakah peradilan
nasional yang digelar telah memenuhi persyaratan
independen dan imparsial. Juga, dengan keberadaan
Mahkamah Pidana Internasional yang sangat luas dalam
menerapkan yurisdiksinya sekalipun kehadirannya bersifat
komplementer. Para pelaku selain tidak dapat berlindung
melalui mekanisme perundangan nasional negaranya juga
tidak dapat berlindung pada negara lain sekalipun negara
itu bukan menjadi pihak dari statuta.
Kedua. Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional
juga sangat menguntungkan Indonesia yang seringkali
mengirimkan pasukan perdamaian. Mahkamah Pidana
Internasional memberikan perlindungan bagi para personil
pasukan penjaga perdamaian dari kemungkinan tindakantindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius
internasional. Statuta Roma memberikan jaminan kepada
setiap personil angkatan bersenjata dari berbagai negara
yang bertugas sebagai Pasukan Perdamaian PBB. Jaminan
itu berupa peringatan, pencegahan dan perlindungan dari
segala bentuk tindakan kejahatan yang menjadi yurisdiksi
mahkamah selama bertugas di daerah konflik dan bukan
sebaliknya menjadi penghalang dari kerja-kerja mereka
dalam operasi perdamaian. Statuta Roma menyediakan

28

Buku Saku ICC


panduan yang lebih lengkap tentang aturan pelibatan
(rules of engagement) pasukan perdamaian, sehingga
anggota pasukan dapat memahami dengan lebih jelas apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menjalankan
tugasnya. Lebih lanjut, dengan definisi dan parameter
element of crimes yang lebih jelas, Statuta roma justru
mereduksi kemungkinan politisasi sebuah kasus yang
melibatkan pasukan perdamaian.
Ketiga, Mengatasi Kelemahan Sistem Hukum Indonesia.
Membawa pelaku kejahatan internasional ke pengadilan
dan menghukumnya adalah bentuk dari kewajiban Negara
(state responsibility) dan wujud perlindungan HAM yang
diberikan Negara kepada warganegaranya. Namun,
untuk melaksanakan kewajiban tersebut, Indonesia sering
terhambat oleh berbagai kelemahan dan tidak memadainya
sistem hukum yang ada. Dengan meratifikasi Statuta Roma,
akan menjadi dorongan agar Indonesia segera membenahi
kekurangannya tersebut. Selain itu, dengan meratifikasi
Statuta Roma yang berisi aturan mengenai bentuk-bentuk
kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang bersifat
dinamis tetapi tidak diatur dalam KUHP dapat memotivasi
negara untuk memperbaiki sistem peradilannya, termasuk
dalam hal hukum acaranya. Mengingat bahwa setelah
meratifikasi Statuta, negara pihak harus mempunyai aturan
pelaksanaan yang berjalan sesuai isi Statuta dan Hukum
nasional harus mampu memberikan jaminan bagi kerjasama
penuh dengan Mahkamah Pidana Internasional.
Keempat, Memberikan Perlindungan pada Saksi dan
Korban. Proses peratifikasian Statuta Roma merupakan
upaya pencegahan terjadinya kejahatan dengan akibat
yang lebih besar di kemudian hari, juga memberikan
perlindungan dan reparasi bagi korban. Selain
melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian
kompensasi kepada korban adalah merupakan salah satu

29

Buku Saku ICC


bentuk tanggung jawab Negara ketika terjadi pelanggaran
HAM yang berat di wilayahnya.
Bagaimana Statuta Roma mengatur perlindungan Saksi
dan Korban?
Aturan perlindungan korban untuk pelanggaran berat
HAM di Indonesia diatur dalam Pasal 34 UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan diikuti oleh
PP No. 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban sebagai aturan pelaksanaannya. Namun jika
dibandingkan dengan Statuta Roma, banyak aturan
dalam Statuta Roma tidak terakomodasi dalam peraturan
tersebut. Misalnya, adanya Trust Fund untuk kepentingan
saksi dan korban yang didapat dari hasil denda atau
penebusan, yang pengaturannya diserahkan kepada
Majelis Negara Pihak.
Selanjutnya Statuta Roma juga mengatur mengenai adanya
Unit Saksi dan Korban yang tujuannya untuk menyediakan
langkah-langkah perlindungan dan pengaturan keamanan,
jasa nasihat dan bantuan yang perlu bagi para saksi, korban
yang menghadap di depan Mahkamah dan orang-orang
lain yang mungkin terkena risiko karena kesaksian yang
diberikan oleh para saksi tersebut. Dengan meratifikasi
Statuta Roma, maka Indonesia akan dapat secara efektif
mengadopsi sistem dan mekanisme perlindungan saksi dan
korban sebagaimana tercantum dalam Statuta ke dalam
sistem dan mekanisme nasional. Lebih jauh lagi, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban yang dibentuk berdasarkan
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban akan mendapatkan legitimasi hukum yang lebih
tegas ketika merujuk pada praktek-praktek yang dilakukan
oleh Mahkamah Pidana Internasional dalam melaksanakan
tugasnya.

30

Buku Saku ICC


Apa yang didapat Indonesia ketika meratifikasi Statuta
Roma?
Berikut adalah keuntungan dan kesempatan yang
terbuka bagi Indonesia ketika meratifikasi Statuta Roma.
Diantaranya adalah:
a. Hak Preferensi Aktif

Keuntungan nyata yang diperoleh adalah apabila ada


suatu mekanisme yang melibatkan Negara Pihak,
misalnya Majelis Negara Pihak (Assembly of States
Parties), maka kita akan dapat memberikan suara dan
pandangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
perubahan/perbaikan isi Statuta maupun hal-hal
lain yang menyangkut pengaturan dan pelaksanaan
Mahkamah Pidana Internasional, termasuk masalah
administratif. Dengan meratifikasi Statuta Roma maka
Indonesia otomatis menjadi anggota dari Majelis
Negara Pihak yang memiliki fungsi sangat penting
dalam Mahkamah Pidana Internasional. Fungsi
penting dari Majelis Negara Pihak diantaranya adalah
dapat ikut serta melakukan pemilihan terhadap semua
posisi hukum di Mahkamah Pidana Internasional.

b. Kesempatan untuk menjadi bagian dari organ


Mahkamah Pidana Internasional

Sebagai negara pihak tentunya Indonesia akan dapat


berkesempatan untuk masuk dan terlibat dalam organ
Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini dikarenakan
setiap negara pihak berhak mencalonkan salah satu
warganegaranya untuk menjadi hakim, jaksa penuntut
ataupun panitera. Tentunya kesempatan ini dapat
meningkatkan kemampuan para aparat penegak
hukum Indonesia dalam berpraktik di peradilan
internasional dan dapat menguatkan posisi tawar

31

Buku Saku ICC


negara dalam pergaulan internasional. Itu juga berarti
sumber-sumber daya manusia Indonesia akan memiliki
kesempatan untuk berperan aktif dalam sistem
international, sehingga hal itu akan meningkatkan
kapasitas sumber daya manusia Indonesia.
c. Mempercepat proses reformasi hukum di Indonesia

Konsekuensi logis dari peratifikasian suatu ketentuan


internasional yaitu bahwa negara peratifikasi terikat
dengan aturan dalam konvensi tersebut. Dengan
meratifikasi Statuta Roma, maka Indonesia akan segera
terdorong untuk membenahi instrumen hukumnya
yang belum memadai agar selaras dengan aturan
dalam Statuta Roma. Hal ini dikarenakan prinsip nonreservasi dalam peratifikasian Statuta Roma, yang
berarti bahwa negara peratifikasi tunduk pada semua
aturan dalam Statuta Roma. Untuk mengefektifkan
implementasi Statuta Roma, Negara yang telah
meratifikasi diwajibkan membuat aturan implementasi
yang dilakukan melalui proses harmonisasi perangkat
hukum nasional disertai dengan sosialisasi aturan
tersebut kepada berbagai elemen yang terkait dengan
perlindungan hak asasi manusia.

d. Efektivitas sistem hukum nasional


32

Dalam Statuta Roma ditegaskan bahwa penyelesaian


suatu perkara tetap mengutamakan upaya hukum
nasional baik secara formal maupun material dengan
prinsip dan asas-asas yang sesuai dengan hukum
internasional. Artinya, Mahkamah Pidana Internasional
justru membuka kesempatan yang besar untuk
mengefektifkan sistem hukum nasional dan peradilan
nasional dalam menuntut para pelaku kejahatan.

Buku Saku ICC


Lebih lanjut, Statuta Roma juga memungkinkan
untuk memberikan bantuan teknis bagi Negara Pihak
dalam proses perbaikan dan penyesuaian sistem
hukum domestiknya agar memenuhi standar dan
prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku.
Bagi praktisi hukum di Indonesia, khususnya para
hakim dan jaksa, Mahkamah Pidana Internasional
juga membuka luas kesempatan untuk belajar dan
berkarir baik melalui mekanisme magang maupun
jalur visiting professional.
e. Peningkatan Upaya Perlindungan HAM

Adanya Mahkamah Pidana Internasional dapat menjadi


motivator untuk terus menggiatkan dan meningkatkan
peran Indonesia dalam upaya perlindungan HAM
internasional, seperti tujuan negara yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu turut aktif dalam
upaya menjaga ketertiban dan perdamaian dunia.
Serta menunjukan komitmen Indonesia bahwa
Indonesia dapat melaksanakan perlindungan HAM
melalui pengadilan HAM secara efektif dan efisien
dengan menjamin prinsip pertanggungjawaban
individu, penuntutan dan penghukuman bagi pelaku
kejahatan.

f. Posisi Diplomatik

Ratifikasi Indonesia akan menempatkan Indonesia


sebagai salah satu pendukung utama keadilan
internasional. Dalam pelaksanaannya, Indonesia akan
bergabung dengan lebih dari setengah masyarakat
dunia untuk meyakinkan adanya sistem keadilan
yang efektif akan mencegah kejahatan terburuk yang
pernah terjadi terhadap kemanusiaan dan memastikan

33

Buku Saku ICC


adanya perlindungan bagi seluruh bangsa di dunia,
termasuk Indonesia sendiri.

Dengan meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional,


Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga
di dunia yang juga salah satu negara terpenting di
kawasan Asia Tenggara dapat menjadi contoh yang
baik dalam upaya perlindungan HAM khusunya
bagi negara-negara tetangganya, maupun negaranegara besar lainnya di dunia. Secara politis,
Ratifikasi ini penting bagi pergaulan internasional
karena akan menunjukan komitmen Indonesia
yang tinggi dalam pemajuan dan perlindungan hak
asasi manusia khususnya dalam penegakan hukum
pidana internasional dan yang terpenting adalah
ikut serta bersama masyarakat internasional dalam
menghapuskan praktik impunitas.

Bagaimana Mekanisme Perlindungan Bagi Perempuan


Korban Konflik dalam Mahkamah Pidana Internasional?
Di setiap konflik, perempuan dan anak adalah pihak yang
sangat rentan dan selalu menjadi korban. Pada Nuremberg
Tribunal dan Tokyo Tribunal terdapat kelemahan pada
kedua charter-nya sebagai pedoman untuk mengadili
pelaku kejahatan. Hal ini dikarenakan para perancang kedua
charter tersebut telah gagal memasukan pemerkosaan atau
kejahatan seksual (sexual crimes and gender violence).
Unsur kejahatan lain seperti perbudakan seksual yang
dilakukan oleh Jepang selama perang Asia Timur Raya juga
tidak dimasukan dalam Tokyo Tribunal.
Pada ICTY, Dan ICTR , perancang statuta dari kedua
Mahkamah Pidana Internasional tersebut berhasil
memasukkan
pemerkosaan.
ICTY
memasukkan
pemerkosaan sebagai bagian dari penyiksaan (torture) dan

34

Buku Saku ICC


ICTR memasukkannya dalam bagian dari genocide. Akan
tetapi dalam praktiknya di ICTR dalam kasus Akayesu,
kejahatan terhadap perempuan terungkap ketika anggota
majelis hakim bertanya kepada saksi korban sehingga
kemudian jaksa baru juga menambahkan dakwaannya.
Mahkamah Pidana Internasional menyediakan sebuah
mekanisme perlindungan bagi perempuan yang jauh
lebih progresif dibandingkan Mahkamah-mahkamah
internasional yang pernah ada. Perlindungan tersebut
dapat ditemui dalam bentuk:
(1) Kodifikasi Kejahatan. Statuta Roma memasukan
kekerasan seksual dan jender sebagai bagian dari
kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Secara rinci, kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan tersebut termasuk diantaranya perkosaan,
perbudakan seks (termasuk didalamnya perdagangan
perempuan), prostitusi dengan paksaan, kehamilan
dengan paksaan, dan segala bentuk kekerasan yang
dilakukan karena pembedaan jender.
(2) Korban dan saksi perempuan dalam mekanisme
ICC dapat meminta prosedur pemeriksaan dilakukan
sesuai dengan kebutuhan mereka. Mahkamah memiliki
kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap
korban dan saksi perempuan untuk memperoleh
rasa aman, kondisi fisik dan mental yang sehat, serta
kerahasiaan saksi dan korban dengan kekhususan
untuk kasus-kasus terkait kekerasan seksual dan
jender. Statuta juga mengatur adanya unit khusus
perlindungan saksi (Victim and Witness Protection),
konsultasi dan berbagai bentuk asistensi lainnya.
(3) Mekanisme pembuktian yang dibuat sedemikian
rupa untuk melindungi korban kejahatan seksual
dari proses pembuktian yang mampu merusak

35

Buku Saku ICC


kredibilitas mereka maupun harga diri mereka sebagai
perempuan.
(4) Adanya staf ahli khusus untuk kejahatan jender
dan seksual yang disediakan bagi penuntut umum
(Office of The Prosecutor) ICC. Unit khusus saksi
dan korban yang berada dibawah panitera (The
Registry) Mahkamah juga harus memiliki staff yang
berpengalaman dalam menangani kasus-kasus
kejahatan seksual. Pemilihan hakim Mahkamah pun
dilakukan dengan pertimbangan representasi yang
adil antara jumlah hakim perempuan dan laki-laki.
(5) Partisipasi korban dalam proses Mahkamah
berupa keterlibatan langsung korban dalam proses
peradilan. Korban dapat menyamaikan pendapatnya
sesuai dengan aturan yang ada dimana mereka diberi
kesempatan untuk menceritakan pengalamannya
meskipun jika mereka tidak dihadapkan sebagai saksi.
Mekanisme ini akan membuka kesempatan bagi setiap
individu perempuan untuk bicara yang sering tidak
terekam dalam proses peradilan internasional.
Dengan berbagai pengaturan dan mekanisme yang
disediakan oleh Mahkamah Pidana Internasional ini berarti
Mahkamah tidak saja memberikan kepastian bagi para
pencari keadilan namun juga menjamin kehormatan saksi
dan korban perempuan.
Bagaimana Mahkamah Pidana Internasional memberikan
perlindungan bagi Buruh Migran Indonesia?
Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah
buruh migran terbanyak didunia. Tidak jarang buruh
migran Indonesia bekerja di wilayah konflik yang dapat
memungkinkan mereka menjadi korban dari konflik
tersebut. Mahkamah Pidana Internasional dapat menjadi

36

Buku Saku ICC


salah satu pilihan bagi Pemerintah Indonesia untuk
melindungi buruh migran Indonesia ketika kejahatan
serius yang telah menjadi yurisdiksi Mahkamah. Hal ini
terjadi jika Indonesia secepatnya meratifikasi Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional.
Sebagai negara pihak, Indonesia dapat saja mendorong Jaksa
Penuntut Mahkamah untuk segera melakukan investigasi
terhadap kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah
yang menimpa buruh migran Indonesia. Dorongan ini
tentunya muncul ketika pelaku kejahatan berasal dari
negara yang telah pula menjadi pihak dalam Statuta Roma.
Akan tetapi patut pula diingat bahwa Indonesia juga tidak
kehilangan kesempatannya untuk mencari keadilan, walau
pelakunya bukan dari Negara pihak.
Akan tetapi hal itu tidak menjadikan kesempatan
menegakan keadilan bagi Warga Negara Indonesia
yang menjadi buruh migran telah tertutup , Pemerintah
Indonesia masih dapat mendorong dimulainya investigasi
jika negara tersebut tidak berniat (unwilling) atau tidak
mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan.
Adakah kesesuaian pengaturan dan upaya perbaikan
hukum di Indonesia?
Tentu saja ada kesesuaian antara Statuta Roma dengan
prinsip-prinsip dan ketentuan umum Hukum Pidana
Pidana Indonesia. Diantaranya adalah:
Penerapan asas non retroaktif (asas legalitas)

Berdasarkan pasal 24 Statuta Roma menyatakan


bahwa seseorang tidak dapat bertanggung jawab
secara pidana berdasarkan Statuta ini atas perbuatan
yang dilakukan sebelum diberlakukannya Statuta ini.

37

Buku Saku ICC


Ketentuan ini menunjukkan bahwa Statuta Roma tidak
berlaku surut (retroaktif) dan menjunjung tinggi asas
legalitas sebagai asas kardinal dalam hukum pidana.
Bahwa ketentuan tidak berlakunya ICC sejalan dengan
asas pokok dalam hukum pidana bahwa tidak ada
penghukuman tanpa adanya pemidanaan terlebih
dahulu. Hal ini sesuai dengan hukum pidana nasional
pasal 1 KUHAP yang menyatakan bahwa tiada suatu
perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada
ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah
diadakan terlebih dahulu. Dengan demikian, baik
Statuta Roma maupun hukum nasional mempunyai
prinsip yang sama yakni melindungi setiap individu dari
penerapan tuntutan pidana tertentu yang sebelumnya
belum menjadi tindak pidana dalam hukum nasional
maupun internasional.
Pertanggungjawaban individual, percobaan,
pembantuan dan permufakatan jahat.
Berdasarkan pasal 25 ayat (2) Statuta Roma,
pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban
yang bersifat individual. Dalam ayat (2) juga dinyatakan
bahwa pelaku kejahatan dapat dikenakan pidana dan
dijatuhi hukuman atas tindakan yang dilakukan secara
bersama-sama,
memerintahkan,
mengusahakan,
membantu atau melakukan persekongkolan untuk
melakukan kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Statuta Roma tersebut juga
telah diatur dalam pasal 1 angka 4 UU Pengadilan
yang menyatakan bahwa setiap orang adalah orang
perseorangan, baik sipil, militer maupun polisi yang
bertanggungjawab secara indvidual. Sementara tindakan
berupa percoabaan, permufakatan jahat diatur dalam
pasal 41 UU No. 26 Tahun 2000 dan dalam berbagai
ketentuan dalam KUHP.

38

Buku Saku ICC


Ne bis in idem

Berdasarkan pasal 20 Statuta Roma melarang adanya


pengadilan dihadapan ICC atau pengadilan jika dasar
kejahatan terhadap orang itu telah dinyatakan bersalah
atau dibebaskan oleh ICC. Ketentuan tersebut dapat
dikecualikan jika pengadilan lain yang mengadili
kalau proses pengadilannya dilakukan; 1) dengan
tujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari
tanggung jawab pidana, dan 2) tidak dilakukan secara
mandiri dan memihak sesuai dengan norma-norma
mengenai proses yang diakui oleh hukum internasional
dan dilakukan dengan maksud untuk membawa orang
tersebut ke pengadilan. Larangan untuk mengadili
kembali tersebut merupakan salah satu prinsip penting
dalam hukum pidana yaitu prinsip ne bis in idem.
Prinsip ini diakui dalam hukum pidana Indonesia dan
bahkan juga telah diatur secara tegas dalam UU No.
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal
18 yang menyatakan bahwa setiap orang tidak dapat
dituntut kedua kalinya dalam perkara yang sama atas
suatu perbuatan yang memperoleh putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap.

Daluwarsa
Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma
tidak mengenal daluwarsa yakni jangka waktu atau
masa dimana suatu tindak pidana tidak dapat diadili
atau diajukan ke pengadilan. KUHP Indonesia
memang menganut asas ini sebagai sebuah asas dalam
hukum pidana. Namun, ketentuan ini telah disimpangi
berdasarkan ketentuan pasal 46 dalam UU Pengadilan
HAM yang menyatakan bahwa untuk pelanggaran
hak asasi manusia yang berat tidak berlaku ketentuan
mengenai kadaluwarsa.

39

Buku Saku ICC


Harmonisasi dalam produk hukum Nasional apa saja
yang perlu dilakukan ketika Indonesia meratifikasi Statuta
Roma?
1. KUHP, RUU KUHP dan KUHAP

KUHP Indonesia belum mengatur tentang Kejahatan


Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dan
Kejahatan Perang sebagaimana diatur dalam Statuta
Roma. Baru pada tahun 2000, Kejahatan Genosida
dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan masuk dalam
leksikon hukum nasional sebagai pelanggaran HAM
yang berat yang diatur secara khusus dalam UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun
demikian, Prinsip-prinsip dalam hukum pidana yang
dianut oleh ICC yang juga telah diatur dalam KUHP
Indonesia, yakni prinsip legalitas (non-retroactive
principle), pertanggungjawaban individual, hal
tentang penyertaan, percobaan dan pembantuan serta
pemufakatan.

Dari sisi hukum acara, terdapat perbedaan yang


cukup besar. Dalam Statuta Roma semua unsur
penegak hukum dalam sistem peradilan ICC bersifat
independen, berdiri sendiri tanpa pengaruh pihak
manapun, begitu juga dengan proses beracara yang
berbeda dengan perkara pidana biasa yang merupakan
gabungan antara Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental.
Sedangkan dalam Pengadilan HAM kita yang diatur
oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000, hukum
acara yang digunakan adalah sama dengan acara
yang terdapat dalam KUHAP dengan sistem kita yang
menganut Eropa Kontinental.

Dalam Rancangan UU KUHP Tahun 2006, telah


dimasukkan kejahatan-kejahatan yang menjadi

40

Buku Saku ICC


jurisdiksi ICC (kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan perang) menjadi
bagian RKUHP. Pengaturan ini diantaranya terdapat
dalam Buku Kedua tentang Tindak Pidana Hak
Asasi Manusia, yang berisi pengaturan dari segi
materi tindak pidana beserta hukuman yang dapat
dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana tersebut.
Bila RKHUP ini disahkan dengan segera artinya kita
tidak perlu mengkhawatirkan kemungkinan buruk
yang dapat timbul, dari peratifikasian Statuta Roma
berkenaan dengan pengaturan jurisdiksi yang berbeda
dengan Undang Undang Pengadilan HAM yang
hanya memasukan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam jurisdiksinya. Rancangan KUHP
ini menunjukan komitmen dan kesiapan Indonesia
dalam upaya perlindungan HAM yang sejalan dengan
standar aturan hukum internasional.
2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Komnas
HAM

Undang-Undang
ini merupakan awal tonggak
pengaturan HAM karena Undang Undang ini
mengatur mengenai hak-hak mendasar yang wajib
mendapat perlindungan diantaranya yang termasuk
dalam hak-hak sipil dan politik serta yang termasuk
dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. UndangUndang ini mengatur tentang KOMNAS HAM sebagai
lembaga yang independen. Lembaga independen ini
diantaranya memiliki fungsi pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantuan dan meditasi tentang hak
asasi manusia.

Berkaitan dengan forum internasional, Undang Undang


ini pun tidak menentang adanya upaya yang dilakukan
ke forum internasional dalam rangka perlindungan

41

Buku Saku ICC


HAM bilamana upaya yang dilakukan di forum
nasional tidak mendapat tanggapan. Pasal 7 ayat (1)
Undang Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk mengajukan semua
upaya hukum nasional dan forum internasional atas
semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin
oleh hukum Indonesia dan hukum internasional
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima
negara Republik Indonesia. Maksudnya bahwa
mereka yang ingin menegakan HAM dan kebebasan
dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya
hukum Indonesia terlebih dahulu (exhaustion of local
remedies) sebelum menggunakan forum di tingkat
regional maupun internasional. Hal ini seiring dengan
prinsip komplementer yang dianut ICC.
Meskipun tidak secara rinci menyebutkan kejahatankejahatan seperti dalam jurisdiksi ICC, tetapi Undang
Undang ini telah memandatkan pembentukan
pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran
HAM yang berat. Kejahatan-kejahatan yang termasuk
pelanggaran HAM yang berat dalam UU ini adalah
pembunuhan massal (genocide) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
3. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

42

Undangundang ini dibuat atas dasar kesadaran


dan kepentingan bahwa Indonesia sebagai negara
yang berdaulat. Sebagi landasan filosofis, UndangUndang ini dibuat sebagai penerapan cita-cita
bangsa yang dipelopori oleh para pendiri bangsa ini
dalam rangka pencapaian tujuan bangsa diantaranya
mensejahterakan rakyat Indonesia melalui perlindungan
HAM. Pertimbangan yuridis yang menjadi landasan
Undang-Undang ini yaitu untuk menjamin keadilan

Buku Saku ICC


dan kepastian hukum, dikarenakan KUHP Indonesia
tidak mengatur pelanggaran berat terhadap HAM yang
merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).
Dalam sistem hukum Indonesia, suatu hal yang belum
diatur dalam KUHP dapat diatur dalam peraturan
tersendiri sehingga Undang-Undang 26 tahun 2000
banyak melakukan terobosan-terobosan aturan hukum
yang tidak diatur sebelumnya dalam KUHAP.
4. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban

Sejak tahun 2006, Indonesia telah mempunyai UU


khusus tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini
mengatur tentang hak-hak korban dan saksi, termasuk
dalam saksi dan korban kejahatan-kejahatan yang
merupakan pelanggaran HAM yang berat. Beberapa
hak saksi yang diatur diantaranya hak-hak saksi untuk
diberikan perlindungan pergantian identitas dan
relokasi saksi (pasal 5). Selain itu juga mengadopsi
berbagai ketentuan dalam Statuta Roma tentang
perlindungan saksi diantaranya pemeriksaan saksi
in camera, atau pemberian kesaksian melalui media
elektronik lainnnya (pasal 9). Dalam UU perlindungan
saksi dan korban, para korban kejahatan yang
termasuk pelanggaran HAM mendapatkan hak untuk
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Hal ini sesuai
dengan ketentuan di Statuta Roma mengenai hak-hak
korban kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC.

43

PERJALANAN WAKTU
PEMBENTUKAN MAHKAMAH
PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

Oktober 1946
Setelah Keputusan Pengadilan Nuremberg, kongres internasional mengadakan pertemuan di Paris dan menyerukan
pengadopsian undang-undang kejahatan internasional yang
melarang kejahatan kemanusiaan, dan penetapan Mahkamah
Pidana Internasional (ICC).
9 Desember 1948
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB)
mengadopsi Konvensi tentang Larangan dan Hukuman
Kejahatan Genosida Konvensi ini menyerukan para
penjahat untuk diadili oleh pengadilan akhir internasional
seperti halnyayang dilakukan yuridiksi. Secara terpisah,
para anggota meminta Komisi Hukum Internasional
(International Law Commission) untuk mengkaji
kemungkinan dibentuknya ICC.
10 Desember 1984
Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal
tentang Hak-Hak Asasi Manusia berisi tentang rincian hakhak asasi manusia dan kebebasan fundamental

45

Buku Saku ICC


1949 - 1954
ILC membuat rancangan untuk ICC, tetapi ditentang oleh
negara-negara adi kuasa di kedua pihak dalam Perang
Dingin mencegah usaha tersebut. MU PBB secara efektif
mengabaikan usaha penundaan kesepakatan tentang definisi
kejahatan agresi dan Hukum Kejahatan internasional
1974
Majelis Umum PBB menyetujui definisi agresi
1989
Akhir Perang Dingin meningkat drastis dari segi
jumlah operasi perdamaian PBB di dunia, memberikan
kepercayaan bagi pembentukan ICC
Juni 1989
Setelah termotivasi oleh usaha untuk memerangi
perdagangan obat terlarang, Trinidad dan Tobago
menerapkan kembali proposal yang pernah ada untuk
membentuk ICC. MU PBB meminta ILC mempersiapkan
statuta rancangan
1991-1992
Perang Bosnia-Herzegovina dan Kroasia, termasuk
pelanggaran atas Konvensi tentang Genosida dan Genewa,
mengarahkan Dewan Keamanan PBB untuk membentuk
pengadilan ad hoc sementara bagi bekas Yugoslavia (tahun
1993) dan memperkuat pembahasan mengenai ICC tetap
1994
ILC menyerahkan statuta rancangan ICC kepada
Majelis Umum PBB. Perang di Rwanda mengarahkan
Dewan Keamanan PBB untuk menetapkan pengadilan
kejahatan perang ad hoc PBB ke dua. ILC mengajukan

46

Buku Saku ICC


statuta rancangan tentang ICC kepada MU PBB dan
menganjurkan sebuah konferensi para pejabat berwenang
untuk merundingkan suatu perjanjian tentang penegakkan
Statuta. Majelis Umum PBB menetapkan komite ad hoc di
ICC untuk mengkaji ulang statuta rancangan tersebut.
1995
Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat dibentuk untuk
mengkoordinir usaha-usaha organisasi hak-hak asasi
manusia seperti Amnesti Internasional, Asociacion Pro
Derechos Humanos, federation Internationale des Ligues
des Droits de l'Homme, Badan Pemantau Hak-Hak Asasi
Manusia, Komite Pengacara bagi Hak-Hak Asasi Manusia.
TIdak Ada Perdamaian Tanpa Keadilan, Parlementarian
untuk Aksi Global, Hak-Hak dan Demokrasi serta Kaukus
Perempuan untuk Keadilan Gender. Tn. Willian Pace,
Direktur Eksekutif Lembaga Gerakan Kaum Federal Dunia
bagi Kebijakan Global, dipilih sebagai Pelaksana. Komite
ad hoc menyelenggarakan pertemuan selama 2 minggu di
markas besar PBB. Pada bulan Desember 1995, MU PBB
membentuk Komite Persiapan (Preparatory Committee)
untuk masa kerja 3 tahun dari bulan Maret 1996 hingga
april 1998, untuk menyelesaikan sebuah teks yang akan
diajukan di hadapan konferensi para pejabat berwenang
15 Juni - 17 Juli 1998
160 Negara hadir dalam Konferensi Diplomatis Para
Pejabat Berwenang PBB untuk membentuk Mahkamah
Pidana Internasional di Roma, Italia
17 Juli 1998
Tanpa diduga negara-negara anggota memberikan suara
mereka untuk Statuta Roma ICC sehingga tercipta perjanjian
yang menetapkan pengadilan internasional tetap pertama

47

Buku Saku ICC


yang mampu mengadili para tertuduh genosida, kejahatan
perang dan kejahatan kemanusiaan
2 Februari 1999
Senegal menjadi Negara Anggota pertama yang meratifikasi
Statuta Roma
13 Mei 1999
Koalisi ICC meluncurkan kampanye dari Den Haag dan
menyerukan ratifikasi Statuta ICC ke seluruh dunia
30 Juni 2000
Komisi Persiapan mengadopsi teks-teks rancangan bagi
Peraturan tentang Prosedur, Bukti dan Unsur-unsur
Kejahatan, seperti diperintahkan oleh Undang-undang
Akhir Konferensi Roma
September 2000
Selama Pertemuan Tingkat Tinggi, Sekretaris Jenderal PBB
Kofi Annan menyerukan semua negara anggota PBB untuk
meratifikasi Statuta Roma secepatnya
31 Desember 2000
Batas waktu bagi penanda-tanganan Statuta Roma. Amerika
Serikat bergabung dengan Iran Israel sebagai negara
terakhir yang menanda-tangani perjanjian sehingga jumlah
total tanda tangan mencapai 139
30 April 2001
Setengah dari jumlah tanda tangan menuju 60 ratifikasi atau
pengakuan yang diperlukan untuk memicu ditegakkannya
Statuta Roma tercapai ketika Andorra menjadi negara ke30 penanda tangan Statuta Roma

48

Buku Saku ICC


11 April 2002
Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk menegakkan Statuta
Roma disimpan dalam upacara khusus di markas besar PBB.
Negara-negara yang menyimpan peralatan perjanjian mereka
selama upacara berlangsung adalah Bosnia dan Herzegovina,
Bulgaria, Kamboja, Republik Demokrat Kongo, Irlandia,
Yordania, Mongolia, Nigeria, Rumania san Slovakia
6 Mei 2002
Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan
Bush secara resmi memberitahukan tujuannya di hadapan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tidak meratifikasi Statuta
Roma, dan pendapat mereka bahwa mereka tidak lagi
terikat oleh ketentuan dalam perjanjian. Maksud mereka
tersebut dinyatakan dengan tanda tangan Pemerintahan
Clinton pada bulan Desember 2001
30 November 2002
Hari terakhir nominasi para calon untuk pos-pos 18
hakim danJaksa Penuntut di ICC tercapat. Hanya negaranegara yang telah menyerahkan alat-alat ratifikasi atau
pengakuan atas Statuta Roma sebelum tanggal ini berhak
masuk nominasi resmi atau mempunyai hak suara dalam
pemilihan para hakim. Empat puluh lima nominasi diterima
sebelum hari terakhir yang telah ditetapkan, meskipun dua
negara mengundurkan diri dari pencalonan, meninggalkan
43 calon pada waltu pemilihan berlangsung. Tidak
pengumuman tentang calon Jaksa Penuntut
3 - 7 Februari 2003
Sesi pertama Majelis Negara-negara Anggota (ASP) bertemu
di marka besar PBB di New York untuk memilih 18 hakim
pertama Pengadilan. Presiden Majelis Negara-negara

49

Buku Saku ICC


Anggota, Duta Besar Yordania Pangeran Zeid Ra'ad Zeid
al-Husein, mengumumkan bahwa periode nominasi untuk
jabatanJaksa Penuntut akan dibuka kembali dari tanggal 24
Maret - 4 April 2003
11 Maret 2003
18 Hakim pertama ICC diambil sumpah dalam upacara
tingkat-tinggi di Den Haag, Belanda
21 - 23 April 2003
Sesi kedua Majelis Negara-negara Anggota memilih Tn.
Luis Moreno Ocampo dari Argentina sebagai ketua Jaksa
Penuntut pertama
12 Mei 2003
Lituania menjadi Negara anggota Statuta Roma ICC ke-90
16 Juni 2003
Luis Moreno Ocampo diambil sumpahnya sebagai Jaksa
Penuntut dalam sebuah upacara yang berlangsung di Den
Haag, Belanda
3 Juli 2003
Bruno Cathala dari Prancis disumpah sebagai Pejabat
Catatan Sipil Pengadilan, setelah dipilih oleh para Hakim
ICC di bulan Juni. Peristiwa ini merupakan tanda pertemuan
akhir para pejabat senior Pengadilan
16 Juli 2003
Jaksa Penuntut ICC Moreno Ocampo konferensi pers
pertamanya untuk membahas hampir 500 komunikasi
telah diterima Pengadilan. Ia menyebut situasi tersebut
dalam Republik Demokratis Kongo sebagai situasi paling
mendesak yang harus "dipantau dari dekat"

50

Buku Saku ICC


12 September 2003
Sembilan puluh dua (92) anggota Majelis Negara-negara
anggota bertemu di PBB New York untuk memilih
Lembaga Direktur untuk Pendanaan Para Korban ICC
yang akan mengadakan pemulihan bagi para korban. Para
Direktor bersal dari masing-masing lima kelompok regional
PBB: Yang Dipertuan Agung Ratu Rania Al-abdullah dari
Yordania, Yang Mulia Tn. Oscar arias Sanches, mantan
Presiden Costa Rica dan Peraih Nobel Perddamaian; Yang
Mulia Tn. Tadeusz Mazowieki, mantan Perdana Menteri
Polandian dan mantan Repoporter Khusus Komisi HakHak Asasi Manusia di PBB di Wilayah bekas Yugoslavia;
Mme. Somine Veil, mantan Menteri Kesehatan Prancis dan
mantan Presiden Parlemen Eropa; dan Archbishop Desmon
Tutu, mantan Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Afrika Selatan dan Peraih Nobel Perdamaian
3 November 2003
Deputi Jaksa Penuntut (Penyelidikan Serge Brammertz)
dari Belgia diambil sumpah jabatannya
29 Januari 2004
Kantor jaksa Penuntut menngumumkan bahwa Uganda
(Negara Anggota ICC) telah mengajukan situasi di Uganda
bagian Utara ke Pengadilan. Jaksa Penuntut mengumumkan
bahwa ada "basis yang cukup untuk mulai merencanakan
Penetapan penyelidikan resmi
19 April 2004
Kantor Jaksa Penuntut mengumumkan bahwa Republik
Demokratis Kongo (DRC), termasuk Negara anggota
Statuta Roma, telah merujuk sistuasi kejahatan yang
terbukti dilakukan di DRC sejak diterapkan dalam Statuta.
Jaksa Penuntut kini akan langsung memutuskan apakah

51

Buku Saku ICC


ada basis yang masuk akal untuk memulai penyelidikan di
bulan-bulan mendatang
22 April 2004
Lembaga Tingkat Tinggi Direktur mengadakan pertemuan
di ICC untuk pertama kali mengenai Pengumupulan
Dana Bagi Para Korban. Selama pertemuan pertama, para
anggota mulai mengembangkan kriteria-kriteria yang akan
menuntun pelaksanaan Pengumpulan Dana Bagi Para
Korban
22 Juni 2004
Kanada memicu ditegakkannya Kesepakatan tentang HakHak dan Kekebalan ICC (APIC). Kanada merupakan negara
ke-10 yang meratifikasi APIC sehingga mencapai jumlah
yang dibutuhkan agar Kesepakatan bermamfaat. Para
pejabat Pengadilan akan menikmati hak-hak dan kekebalan
sama dengan PBB dan organisasi internasional lainnya
23 Juni 2004
Kantor Jaksa Penuntut mengumumkan penetapan
penyelidikan resmi situasi Republik Demokratis Kongo
(DRC). Kantor Jaksa Penuntut kini memperhatikan buktibukti kejahatan di wilayah yuridiksi ICC
23 Juni 2004
Setelah melewati perundingan berminggu-minggu dan
dihapkan pada oposisi terus-menerus, pemerintah Amerika
Serikat menarik permohonannya untuk memperbaharui
Resolusi 1487 Dewan Keamanan untuk menarik pasukan
perdamaian AS dari yuridiksi ICC. Pemberitahuan ini
datang setelah konsultasi tak resmi sehingga jelas bahwa
teks kompromis yang diajukan AS di menit terakhir tidak
akan mendapat dukungan yang diperlukan

52

Buku Saku ICC


29 Juli 2004
Kantor Jaksa Penuntut mengumumkan penetapan
penyelidikan resmi situasi di Uganda. Jaksa Penuntut kini
akan memerikasa bukti-bukti kejahatan dalam yuridiksi
ICC
6-10 September 2004
Den Haag menjadi tuan rumah Majelis Negara-negara
Anggota ke Tiga, yang mengadopsi anggaran ICC untuk
tahun 2005 dan memilih Deputi Jaksa Penuntut untuk
Dakwaan, Fatou Bensouda dari Gambia, selain keputusankeputusan penting lain
7 Januari 2005
Jaksa Penuntut menerima surat yang dikirimkan atas nama
pemerintah Republik Afrika Tengah, merujuk pada situasi
kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah yang
terjadi di dalam teritori Republik Afrika tengah sejak 1 Juli
2002. Sebagai tanggapan terhadap surat tersebut, Jaksa
Penuntut mengumumkan bahwa ia tengah melakukan
sebuah analisa untuk menentukan apakah sebuah
investigasi bisa dilakukan.
31 Maret 2005
Dewan Keamanan PBB merujuk situasi di Darfur, Sudan
ke ICC dengan adopsi Resolusi 1593. Menindak lanjuti
rujukan tersebut, Jaksa Penuntut menerima arsip dokumen
Komisi Internasional Penyelidikan Atas Darfur.
12 Mei 2005
Republik Dominika menjadi Negara Pihak ke-99 dari
Statuta Roma tentang ICC.

53

Buku Saku ICC


6 Juni 2005
Jaksa Penuntut memutuskan untuk membuka sebuah
investigasi atas situasi di Darfur, Sudan. Setelah analisa
menyeluruh atas ribuan dokumen dan wawancara
dengan lebih dari 50 ahli independen, Jaksa Penuntut
menyimpulkan bahwa persyaratan untuk melakukan
investigasi telah terpenuhi.
29 Juni 2005
Jaksa Penuntut untuk yang pertama kalinya melaporkan
secara singkat kepada Dewan Keamanan PBB mengenai
perkembangan investigasinya di Darfur, Sudan sesuai
mandat Resolusi 1593 yang mensyaratkan laporan dua kali
setahun kepada Dewan
28 Oktober 2005
Mexico menjadi Negara Pihak ke-100 dari Statuta Roma
tentang ICC.
8 November 2005
Presiden ICC Philippe Kirsch menyampaikan untuk yang
pertama kalinya laporan ICC kepada Sidang Umum PBB.
28 November - 3 Desember 2005
Den Haag menjadi tuan rumah Sidang Negara Pihak yang
keempat yang diselenggarakan pada 26 27 Januari 2006
dengan dipilihnya enam Hakim ICC dan enam anggota
Komite Anggaran Dana dan Keuangan.
13 Desember 2005
Jaksa penuntut menyampaikan laporan singkat pada
Dewan Keamanan untuk yang kedua kalinya mengenai
perkembangan investigasinya di Darfur, Sudan.

54

Buku Saku ICC


11 Januari 2006
Serge Brammertz, deputi Jaksa penuntut yang memegang
tanggung jawab terhadap investigasi ICC, menjadi Direktur
Komisi Internasional PBB Untuk Penyelidikan Atas Lebanon
(untuk masa waktu enam bulan pertama).
26 - 27 Januari 2006
Sesi Sidang Negara Pihak (ASP) keempat dilanjutkan
dengan pemilihan enam hakim ICC dan enam anggota
Komite Anggaran Dana dan Keuangan (di New York).
26 Januari 2006
Enam hakim terpilih di sesi keempat ASP. Dari enam hakim
ini, lima diantaranya sudah pernah menjabat sebagai hakim
ICC selama tiga tahun dan satu hakim terpilih yang baru
berasal dari Eropa Timur (Professor Ekaterina Trendafilova
dari Bulgaria).
11 Maret 2006
Pemilihan Presiden: Hakim Philippe Kirsch (Canada) dan
Akua Kuenyehia (Ghana) terpilih kembali sebagai Presiden
dan Wakil Presiden Pertama Mahkamah.
17 Maret 2006
ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk
Thomas Lubanga Dyilo, yang dituduh melakukan
kejahatan perang di daerah Ituri, DRC. Thomas Lubanga
Dyilo ditangkap dan dipindahkan ke Den Haag oleh
pemerintah Kongo pada hari yang sama setelah Majelis
Sidang Pendahuluan I mengeluarkan surat perintah
penangkapan. Ini merupakan surat perintah penangkapan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah untuk situasi DRC dan
merupakan penangkapan pertama.

55

Buku Saku ICC


20 Maret 2006
Majelis Sidang Pendahuluan I ICC menggelar Dengar
Pendapat Publik dimana Thomas Lubanga Dyilo hadir di
hadapan Majelis untuk yang pertama kalinya. Jean Flamme
(Belgia) ditunjuk sebagai dewan permanen untuk Lubanga
dan konfirmasi dengar pendapat tuntutan dijadwalkan
pada 27 Juni 2006.
5 April 2006
ICC mengumumkan kematian Dr. Medard Rwelamira,
Direktur Sekretariat Permanen Sidang Negara Pihak.
10 April 2006
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Uni Eropa
menandatangani sebuah perjanjian kerjasama dan bantuan.
19 April 2006
Peraturan untuk Pengajuan Mahkamah Pidana Internasional
dipublikasikan. Peraturan ini disetujui pada 6 Maret
2006 oleh Presiden Mahkamah, dibawah Aturan 15 dari
Peraturan Prosedur dan Bukti.
16 Mei 2006
Mantan Presiden Trinidad dan Tobago, Arthur Napoleon
Raymond Robinson, terpilih sebagai Dewan Direktur
Dana Untuk Korban ICC.
14 Juni 2006
Jaksa Penuntut menyampaikan laporan singkat pada Dewan
Keamanan untuk ketiga kalinya tentang perkembangan
investigasinya di Darfur, Sudan. Di presentasi terbarunya ini,
Jaksa menegaskan kembali pentingnya kerjasama dengan
Negara dan organisasi dalam rangka menjalankan mandatnya.

56

Buku Saku ICC


16 Juni 2006
Dewan keamanan PBB mengadopsi sebuah resolusi yang
mengijinkan pemindahan legal mantan Presiden Liberia
Charles Taylor dari Sierra Leone ke Belanda. Pengadilan
Khusus untuk Sierra Leone (SCSL) meminta pengadilan
Taylor dipindahkan dari Freetown ke Den Haag dimana
SCSL akan menyelenggarakan pengadilan dengan
menggunakan fasilitas ruang pengadilan ICC.
9 Oktober 2006
Presiden ICC menyampaikan laporan tahunan kedua di
hadapan Sidang Umum PBB.
9 November 2006
ICC untuk pertama kalinya melakukan pembacaan surat
dakwaan dalam kasus Jaksa penuntu umum melawan
Thomas Lubanga Dyilo yang berlangsung hingga 28
November 2006.
23 November1 Desember 2006
Sesi kelima ASP bertempat di Den Hag, dibuka dengan
Debat Umum. Sidang ini menyepakati anggaran Mahkamah,
termasuk permintaan Mahkamah atas sumber daya untuk
aktivitas menjangkau masyarakat luas, dan memilih kembali
4 anggota Dewan Direktur Dana Untuk Korban.
14 Desember 2006
Jaksa Penuntut menyampaikan laporan singkat tentang
perkembangan investigasinya di Darfur, Sudan pada
Dewan Keamanan untuk keempat kalinya. Jaksa Penuntut
mengumumkan bahwa beliau sudah hampir menuntaskan
investigasinya dan siap untuk menyerahkan bukti-bukti
kepada hakim pada bulan Februari 2007.

57

Buku Saku ICC


25 Januari-1 Februari 2007
Sidang Negara Pihak kelima diselenggarakan di Markas Besar
PBB di New York dan memfokuskan pada diskusi-diskusi
mengenai Kelompok Kerja Khusus tentang Kejahatan Agresi.
29 Januari 2007
Majelis Sidang Pendahuluan I mensahkan dakwaan
terhadap Thomas Lubanga Dyilo, yang mana melancarkan
jalan menuju persidangannya.
27 Februari 2007
Jaksa Penuntut menyerahkan sebuah pengajuan
kepada Majelis Sidang Pendahuluan I meminta Majelis
mengeluarkan panggilan terhadap Ahmad Muhammad
(mantan Menteri Dallam Negeri Pemerintahan Sudan) dan
Ali Muhammad Ali Abdal-Rahman (pemimpin milisia yang
juga dikenal sebagai Ali Kushayb) agar mereka hadir dalam
Mahkamah untuk pengadilan awal.
6 Maret 2007
Kepresiden ICC mengeluarkan sebuah Keputusan yang
mengatur Majelis Sidang I. Keputusan ini menentukan
bahwa Majelis Sidang I terdiri dari Hakim Elizabeth Odio
Benito, Hakim Ren Blattmann, dan Hakim Adrian Fulford
dan merujuk kasus Jaksa Penuntut melawan Thomas
Lubanga Dyilo ke Majelis.
14 Maret 2007
Hakim Karl T. Hudson-Phillips mengajukan pengunduran
dirinya dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dengan
alasan pribadi.
2 Mei 2007
ICC mengumumkan kepada publik bahwa hakim-hakim

58

Buku Saku ICC


Majelis Sidang Pendahuluan I mengeluarkan surat perintah
penangkapan pada tanggal 27 April 2007 untuk Ahmad
Muhammad Harun dan Ali Muhammad Al Abd-Al-Rahman.
8 Mei 2007
Hakim Claude Jorda mengundurkan diri dari ICC.
22 Mei 2007
Jaksa Penuntut mengumumkan dibukanya investigasi
keempat atas kejahatan serius yang diduga dilakukan oleh
CAR selama puncak kekerasan yang terjadi di tahun 2002
dengan fokus pada kekerasan seksual.
7 Juni 2007
Jaksa Penuntut menyampaikan laporan singkat kepada
Dewan Keamanan untuk yang ke-5 kalinya mengenai
perkembangan investigasinya di Darfur, Sudan yang
mendorong penangkapan Ahmad Harun dan Ali Kushayb.
Beliau menyampaikan bahwa Dewan Keamanan
dan organisasi-organisasi regional harus mengambil
kepemimpinan dalam menyerukan Sudan sebagai Negara
territorial untuk menangkap dua orang tersebut dan menjamin
kehadiran mereka di pengadilan. Dan kami mengandalkan
semua Negara untuk melakukan penangkapan jikalau kedua
orang tersebut memasuki wilayah mereka.
7 Juni 2007
Presiden Kirsch dan Menteri Luar negeri Maxime Verhagen
dari Belanda menandatangani Perjanjian Markas Besar
antara ICC dan Belanda.
14 Juni 2007
Serge Brammertz, Deputi Jaksa Penuntut untuk Investigasi,
mengajukan pengunduran dirinya.

59

Buku Saku ICC


1 Juli 2007
Peringatan lima tahun diberlakukannya Statuta Roma.
17 Juli 2007
Jepang secara formal mengaksesi Statuta Roma, yang
membawa jumlah Negara pihak Mahkamah menjadi
105. Di saat yang sama pemerintah, organisasi non
pemerintah dan masyarakat sipil merayakan Hari Keadilan
Internasional.
4 September 2007
Sebuah dengar pendapat untuk persiapan pengadilan
Thomas Lubanga Dyilo diselenggarakan di ICC.
20 September 200
Dalam laporan singkat PBB untuk pers, Jaksa Penuntut
menyerukan pada semua pemimpin dunia untuk
memahami bahwa bila komponen keadilan diabaikan,
maka kejahatan akan terus berlangsung, dan akan
mempengaruhi operasi kemanusiaan dan keamanan.
17 Oktober 2007
Pemerintah Kongo menahan dan menyerahkan pada ICC
Germain Katanga, seorang warga Negara Kongo dan diduga
sebagai komandan Force de Resistance Patriotiques en Ituri
(Gerakan Perlawanan Patriotik di Ituri). Pada tanggal 2 Juli
2007, Majelis Sidang Pendahuluan I mengeluarkan sebuah
surat perintah penangkapan untuk Katanga, tetapi surat perintah
ini baru diumumkan pada tanggal 18 Oktober 2007.
1 November 2007
Presiden Kirsch menyampaikan Laporan ICC ketiga
pada UN GA. Dalam pidatonya, beliau mencatat bahwa
Mahkamah membutuhkan dukungan dan kerjasama di

60

Buku Saku ICC


banyak wilayah, terutama di wilayah penangkapan dan
penyerahan terdakwa dan perlindungan bagi korban dan
saksi.
30 November-14 Desember 2007
Sidang Negara Pihak ICC keenam diselenggarakan di
Markas Besar PBB di New York.
30 November-3 Desember 2007
MsFumiko Saiga (Jepang), Bruno Cotte (Perancis) dan
Daniel Ntanda Nsereko (Uganda) terpilih sebagai hakim
ICC. Mereka menggantikan tiga hakim yang mengundurkan
diri sebelum masa jabatan mereka habis.
5 Desember 2007
Jaksa Penuntut menyampaikan laporan singkat kepada
Dewan Keamanan untuk yang keenam kalinya mengenai
perkembangan ivestigasinya di Darfur, Sudan. Beliau
melaporkan tentang penolakan Pemerintah Sudan untuk
bekerjasama dengan Mahkamah dan mengumumkan
pembukaan dua kasus baru: yang pertama akan
menginvestigasi serang yang berlanjut terhadap masyarakat
sipil, terutama di kemah-kemah pengungsian, dan
yang kedua akan fokus pada serangan terhadap pekerja
kemanusiaan yang baru terjadi.
17 Januari 2008
Tiga hakim baru ICC yang dipilih oleh Sidang Negara Pihak
(ASP) pada akhir tahun 2007 disumpah di sebuah upacara
yang digelar di tempat Mahkamah berada di Den Haag.
Hakim Daniel David Ntanda Nsereko (Uganda), Hakim
Fumiko Saiga (Jepan) dan Hakim Bruno Cotte (Perancis)
masing-masing mengucapkan sumpah dengan sungguhsungguh di depan publik.

61

Buku Saku ICC


7 Februari 2008
Mathieu Ngudjolo Chui, seorang warga kebangsaan Kongo
dan diduga sebagi mantan pimpinan Fron Integrasionis
Nasional (FNI) dan sekarang menjabat sebagai seorang
kolonel di Tentara Nasional Pemerintahan Demokratik
Kongo, ditangkap oleh pemerintah Kongo dan diserahkan
kepada ICC. Surat perintah penangkapan tersegel
dikeluarkan pada tanggal 6 Juli 2007 dan dibuka pada
tanggal 7 Februari 20008.
28 Februari 2008
Hakim-hakim ICC dipilih, dengan suara Meioritas absolut,
Silvana Arbia dari Italia sebagai Panitera ICC untuk masa
jabatan lima tahun sesuai dengan prosedur yang dituangkan
dalam Peraturan Prosedur dan Bukti.
10 Maret 2008
Pejabat Panitera ICC bertemu dengan delegasi Tentara
Perlawanan Tuhan Uganda (LRA) di Den Hag untuk
mendiskusikan isyu-isyu prosedural yang terkait dengan
perwakilan hukum dari orang-orang yang dituduh dan
juga yang terkait dengan prosedur dan batas waktu
untuk melengkapi dokumen dan materi-materi dengan
panitera.
11 Maret 2008
Majelis Sidang Pendahuluan I memutuskan bergabung
dalam kasus Jaksa Penuntut melawab Germain Katanga
dan Jaksa Penuntut melawan Mathieu Ngudjolo Chui.
Pembacaan surat dakwaan dalam kasus Jaksa Penuntut
melawan Germain Katanga dan Mathieu Ngudjolo Chui
harus dimulai pada tanggal 21 Mei 2008. Dalam kasus
gabungan ini, setiap tertuduh harus diberikan hak yang
sama seperti halnya bila mereka diadili secara terpisah.

62

Buku Saku ICC


Baik Katanga Maupin Ngudjolo Chui didakwa karena
tuduhan bertanggung jawab atas kejahatan yang diduga
dilakukan selama dan setelah serangan gabungan atas desa
Bogoro, Ituri pada tanggal 24 Februari 2003.
14 Maret 2008
Madagaskar mendepositkan instrumen ratifikasi Statuta
Roma tentang ICCnya, menjadikan total Negara pihak
menjadi 106.
17 April 2008
Silvana Arbia (Itali) disumpah sebagai Panitera ICC di
tempat kedudukan Mahkamah di Den Haag.
27 April 2008
Koalisi dan kampanye baru Keadilan Untuk Darfur
menyerukan aksi yang lebih besar dari Dewan Keamanan
PBB di peringatan satu tahun dikeluarkannya surat
penahanan Darfur.
28 April 2008
Pembacaan surat dakwaan kasus melawan Katanga dan
Ngudjolo Chui ditunda hingga 27 Juni 2008.
29 April 2008
Majelis Sidang Pendahuluan I membuka surat perintah
penangkapan melawan Bosco Ntaganda, yang diduga
sebagai mantan Deputi Ketua dari Staff Umum Forces
Patriotiques pour la Libration du Congo (FPLC), dan
diduga sebagai Ketua Staff dari kelompok bersenjata
Congrs national pour la dfense du people (CNDP),
aktif di Kivu Utara, DRC. Ini merupakan surat perintah
penangkapan keempat yang dibuka dalam konteks situasi
di DRC.

63

Buku Saku ICC


23 Mei 2008
Parlemen Eropa mengadopsi sebuah resolusi yang
keras mengenai kasus ICC untuk Darfur, menyerukan
penangkapan dan penyerahan Ahmad Harun dan Ali
Kushayb kepada ICC.
24 Mei 2008
Jean-Pierre Bemba Gombo, yang diduga sebagai Presiden
dan Komandan Tertinggi Mouvement de Libration du
Congo (MLC) ditangkap oleh otoritas Belgia dengan
tuduhan kejahatan yang dilakukan di Republik Afrika
Tengah (CAR). Pada 23 Mei 2008, Majelis Sidang
Pendahuluan III mengeluarkan surat penangkapan tersegel
untuk Bemba Gombo, yang dibuka di hari berikutnya. Surat
perintah penangkapan ini berisi dua dakwaan kejahatan
melawan kemanusiaan: perkosaan dan penyiksaan,
dan juga empat dakwaan kejahatan perang: perkosaan;
penyiksaan; penghinaan martabat personal, khususnya
perlakuan yang mempermalukan dan menjatuhkan harkat
martabat; dan penjarahan sebuah kota.
5 Juni 2008
Jaksa Penuntu ICC Luis Moreno-Ocampo menyampaikan
laporan ketujuhnya tentang Darfur kepada Dewan
Keamanan PBB. Ia menggarisbawahi sikap pembangkangan
pemerintah Sudan atas Resolusi PCC 1593 satu tahun
setelah surat perintah penangkapan pertama dikeluarkan
oleh ICC untuk Ahmed Harun dan Ali Kushayb dan
meminta Dewan untuk bertindak dengan tegas dan untuk
meminta kerjasama penuh dari pihak Sudan dengan
Mahkamah. Jaksa Penuntut mengumumkan bahwa beliau
akan menyampaikan kasus kedua Darfur pada hakim ICC
di bulan Juli yang akan fokus pada keterlibatan aparat
Negara dalam tindak kekejaman tersebut.

64

Buku Saku ICC


11 Juni 2008
Dalam sebuah dengar pendapat yang digelar pada 11
Juni 2008, Majelis Sidang I mengumumkan bahwa sidang
kasus Lubanga tidak akan diselenggarakan pada 23 Juni
2008 seperti yang sudah dijadwalkan. Sebuah keputusan
tertulis akan diserahkan pada hakim dalam tujuh hari
kedepan.
16 Juni 2008
Majelis Sidang memutuskan penangguhan persidangan
kasus Jaksa Penuntut melawan Thomas Lubanga Dyilo.
Hanya jika keputusan penangguhan ini dicabut maka
semua aspek dalam proses pengadilan akan tetap
dihentikan.
16 Juni 2008
Dewan Keamanan mengadopsi sebuah Pernyataan
Presiden yang mendesak pemerintah Sudan dan pihakpihak lainnya untuk menghentikan impunitas di Darfur
dan bekerjasama sepenuhnya dengan ICC.
1 Juli 2008
Peringatan keenam diberlakukannya Statuta Roma.
2 Juli 2008
Majelis Sidang I memerintahkan pembebasan Thomas
Lubangan Dyilo. Pihak diberi waktu lima hari untuk
mengajukan banding.
3/4 Juli 2008
Jean-Pierre Bemba Gombo menyerahkan diri dan
dipindahkan oleh otoritas Belgia kepada Den Haag dan
hadir untuk pertama kalinya di hadapan Majelis Sidang
Pendahuluan III dan Jaksa Penuntut.

65

Buku Saku ICC


14 Juli 2008
Jaksa Penuntut Luis Moreno-Ocampo meminta Majelis
Sidang Pendahuluan I untuk mengeluarkan sebuah perintah
penangkapan untuk Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad
al-Bashir dalam situasi Darfur.
17 Juli 2008
Peringatan sepuluh tahun Pengadopsian Statuta Roma.

66

Buku Saku ICC

STATUTA ROMA
YANG DISEDERHANAKAN
Statuta ICC yang disetujui di Roma pada tanggal 17 Juli
1998 terdiri dari 13 bagian dan 128 pasal. Berikut ini
adalah garis-garis besar singkat dari bagian dan masalah
dalam Statuta Roma. Teks penuh Statuta Roma dapat
dilihat di situs CICC di www. iccnow.org.
BAGIAN 1: Pembentukan Pengadilan
Bagian 1 dimuali dari pasal 1 hingga 4. Bagian ini berisi
tentang pembentukan Pengadilan dan hubungannya
dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengadilan akan
dibentuk oleh perjanjian dan berbasis di Den Haag,
Belanda. Hubungan Pengadilan dengan PBB akan
ditentukan oleh kesepakatan menurut perundingan di
Komisi Persiapan.
BAGIAN 2: Yuridiksi, Pengakuan dan Hukum Terapan
Bagian 2 dimulai dari pasal 5 hingga 21. Bagian ini berisi
tentang kejahatan yang masuk dalam yuridiksi Pengadilan,
peran Dewan Keamanan, pengakuan kasus, dan penerapan
hukum untuk kasus-kasus yang masuk ke Pengadilan.
Awalnya Pengadilan akan menetapkan yuridiksi atas
kejahatan perang, genosida serta kejahatan kemanusiaan.
Tambahan lagi, Pengadilan akan menerapkan yuridiksi
atas kejahatan agresi begitu definisi tentang kejahatan
disepakati. Pengadilan juga menetapkan prinsip saling
melengkapi dengan yuridiksi nasional, dengan alasan
bahwa Pengadilan hanya akan melaksanakan yuridiksinya
ketika Negara dengan yuridiksi nasional tidak mampu atau
tidak mau melaksanakannya.

67

Buku Saku ICC


BAGIAN 3: Prinsip-prinsip Umum Hukum Kejahatan
Bagian 3 dimulai dari pasal 22 hingga 33. Bagian ini
berhubungan dengan prinsip-prinsip hukum kejahatan
yang diambil dari sistem hukum berbeda dan bertujuan
untuk memberikan semua jaminan atas kasus. Bagian ini
mencakup prinsip non-retroaktivitas, di mana Pengadilan
tidak akan menetapkan yuridiksi sebelum Statuta
diberlakukam. Bagian ini mengakui prinsip tanggungjawab
kejahatan perorangan agar dapat mengadili setiap orang
yang melakukan pelanggaran berat terhadap hukum
internasional. Bagian ini juga membicarakan tanggung
jawab para pemimpin atas tindakan para bawahan, lama
tanggung jawab, statuta batasan dan tanggung jawab
individu untuk kedua aksi dan omisi.
BAGIAN 4: Komposisi dan Administrasi Pengadilan
Bagian 4 dimulai dari pasal 34 hingga 52. Bagian ini
menyebutkan struktur Pengadilan dan kualifikasi serta
independensi para hakim secara rinci. Pengadilan terdiri
atas Kepresidenan, Lembaga Banding, Divisi Pengadilan
dan Pra-Peradilan, Jaksa Penuntut dan Pejabat Catatan
Sipil. Delapan belas hakim akan dipilih oleh Majelis
Negara-negara Anggota untuk masa jabatan 9 tahun.
Mereka harus memiliki kepribadian kuat dan kualifikasi
profesional di bidang-bidang hukum kejahatan dan
internasional. Komposisi Pengadilan mencerminkan
keseimbangan sistem hukum berbeda dunia, wilayah
geografis dan kesetaraan gender.
BAGIAN 5: Penyelidikan dan Pengadilan
Bagian 5 dimulai dari pasal 53 hingga 61. Bagian
membicarakan masalah penyelidikan kejahatan yang
telah terbukti dan proses di manaJaksa Penuntut dapat
memulai dan melaksanakan penyelidikan. Bagian ini juga
menyebutkan hak-hak pelaku kejahatan.

68

Buku Saku ICC


BAGIAN 6: Pengadilan
Bagian 6 dimulai dari pasal 62 hingga 76. Bagian ini
berhubungan dengan pengajuan peradilan, pertanyaan
tentang pengadilan tanpakehadiran tertuduh atau mengikuti
pengakuan atas kesalahan, serta hak-hak dan perlindungn
tertuduh. Statuta menyatakan bahwa setiap orang
dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah menurut
hukum. Bagian ini juga mendukung pembentukan Unit
Korban dan Saksi dan kemampuan Pengadilan untuk
memutuskan batas kerusakan dam memerintahkan
terdakwa untuk memperbaiki.
BAGIAN 7: Hukuman
Bagian 7 dimulai dari pasal 77 hingga 80. Bagian ini
mencakup hukuman bagi pelaku kejahatan, termasuk: penjara
seumur hidup, pemenjaraan selama kurun waktu tertentu,
dan denda, di antara hukuman-hukuman lain. Hukuman mati
bukan hukuman Pengadilan. Bagian statuta ini menetapkan
sumbangan dana sebagai keuntungan korban kejahatan
dalam yuridiksi pengadilan, dan keluarga korban.
BAGIAN 8: Banding dan Pengkajian Ulang
Bagian 8 dimulai dari pasal 81 hingga 85. Bagian ini
membahas permohonan banding atas putusan pengadilan
atau hukuman, sidang banding, revisi dakwaan atau
hukuman, serta kompensasi bagi tersangka, tertutuduh
atau terdakwa. Terdakwa, atau Jaksa Penuntut dapat naik
banding ke Pengadilan menurut persidangan yang adil.
Statuta menyatakan bahwa orang yang salah tangkap, tahan,
atau dakwa berhak mendapat kompensasi dari Pengadilan.
BAGIAN 9: Bantuan Hukun dan Kerjasama Internasional
Bagian 9 dimulai dari pasal 86 hingga 102. Bagian ini
membahas kerjasama dan bantuan hukum internasional
antara Negara dan Pengadilan. Kerjasama dan bantuan
hukum internasional ini termasuk penyerahan orang-orang

69

Buku Saku ICC


ke Pengadilan, kemampuan Pengadilan untuk membuat
syarat-syarat penahanan dan tanggung jawab Negara untuk
membiayai segala kebutuhan Pengadilan.
BAGIAN 10: Penegakan
Bagian 10 dimulai dari pasal 103 hingga 111. Bagian ni
mencakup pengakuan keputusan, peran Negara-negara
dalam menegakkan hukuman, pemindahan orang untuk
menjalani hukuman, dan pengurangan dan komutasi masa
hukuman.
BAGIAN 11: Majelis Negara Anggota
Bagian 11 dimulai dari pasal 112. Bagian menetapkan
pembentukan Majelis Negara Anggota oleh satu wakil
dari tiap Negara anggota untuk mengawasi berbagai
lembaga Pengadilan, anggarannya, laporan dan kegiatan
Biro Majelis. Para wakil mempunyai satu hak suara dan
keputusan akan diambil berdasarkan konsensus atau
suara mayoritas. Majelis Negara anggota juga mempunyai
kekuasaan untuk mengadopsi atau maengundangkan teks
rancangan Peraturan Prosedur dan Bukti serta Unsur-unsur
Kejahatan.
BAGIAN 12: Keuangan Pengadilan
Bagian 12 dimulai dari pasal 113 hingga 118. Bagian ini
menyatakan bahwa pengadaan dana untuk Pengadilan
berasal dari tiga sumber: (a) kontribusi kekayaan dari
Negara-negara Pesserta; (b) dana-dana dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa; dan (c) kontribusi sukarela dari pemerintah,
organisasi internasional, perorangan, perusahaan dan
lembaga-lembaga lain.
BAGIAN 13: Klausa Akhir
Bagian 13 dimulai dari pasal 119 hingga 128. Bagian
membahas penyelesaian pertikaian, reservasi dan undangundang Statuta, serta ratifikasi. Reseravasi dibuat bukan

70

Buku Saku ICC


berdasarkan ratifikasi perjanjian. Namun, tujuh tahun
setelah perjajinan ditegakkan, setiap Negara anggota
dapat mengajukan undang-undang untuk Statuta dalam
Konferensi Pengkajian Ulang. Klausa-klausa akhir meminta
Statuta agar terbuka untuk ditanda-tangani mulai 17 Juli
1998 hingga 31 Desember 2000 oleh semua Negara yang
menghadiri Konferensi Roma. Statuta memberikan peluang
kepada Negara Peserta untuk mengundurkan diri dari
Statuta dengan pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

71

Buku Saku ICC

PROFIL
KOALISI MASYARAKAT SIPIL
UNTUK MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL

Tentang Koalisi
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana
Internasional, merupakan kumpulan organisasi masyarakat
sipil yang mengkampanyekan ratifikasi dan implementasi
Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court). Dalam pandangan Koalisi,
kampanye dan penggalangan dukungan bagi Indonesia
untuk ratifikasi Statuta Roma sangat penting. Selain karena
sudah dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009, ratifikasi Statuta
Roma ini akan menjadi ukuran keseriusan Indonesia dalam
rejim keadilan internasional dan menghentikan impunitas.
Mahkamah Pidana Internasional yang merupakan
mekanisme sistem keadilan internasional menjadi satu
kebutuhan untuk menghentikan impunitas bagi berbagai
kasus pelanggaran HAM yang berat yang tidak tuntas
dan mencegah terjadinya kasus pelanggaran HAM yang
berat di kemudian hari. Sampai hari ini, 108 negara telah
meratifikasi Statuta Roma dan hanya 7 diantaranya dari Asia
yaitu Afghanistan, Tajikistan, Mongolia, Kamboja, Timor
Leste, Jepang dan Korea Selatan. Ratifikasi oleh Indonesia
akan memberi contoh dan dorongan bagi negara-negara
lain di wilayah Asia.

73

Buku Saku ICC


Beberapa kegiatan telah dilakukan oleh Koalisi yang
sudah terbentuk sejak tahun 2006 terutama difokuskan
pada pembuatan dan penyempurnaan Naskah Akademis
dan RUU Ratifikasi Statuta Roma; sosialisasi mengenai
pentingnya ratifikasi Statuta Roma bagi pemenuhan
keadilan untuk korban dan perbaikan system hukum di
Indonesia; melakukan advokasi dalam proses legislasi
RUU Ratifikasi Statuta Roma di DPR RI; serta mendorong
berbagai kebijakan pemerintah untuk merealisasikan
ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana
Internasional.
Struktur Koalisi
Convenor: Mugiyanto
Tim ahli:
n Agung Yudhawiranata, S.IP, LL.M
n Bhatara Ibnu Reza, S.H., M.Si, LL.M.
n Reny Rawasita Pasaribu, S.H., LL.M
n Zainal Abidin, S.H.
Penasehat:
n Enny Soeprapto, Ph.D
n Fadillah Agus, S.H., M.H.
n Galuh Wandita
n Ifdhal Kasim, S.H.
n Kamala Tjandrakirana, M.A
n Dr. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M
Sekretariat:
Simon, S.H.
n Dhyta Caturani,
n Veronica Iswinahyu
n

74

Buku Saku ICC


Anggota:
Koalisi ini beranggotakan lembaga-lembaga dan individu
yang menaruh perhatian pada reformasi sistem hukum,
penegakan keadilan, dan hak asasi manusia di Indonesia,
antara lain Elsam, IKOHI, Imparsial, PSHK, YLBHI,
Demos, KontraS, PAHAM FH Unpad, FRR, terAs Trisakti,
Komunitas Korban 65, Komunitas Korban Tanjung Priok,
Federasi LBH APIK Indonesia, Gema Prodem, DPP.SSSV,
Kontras Medan, SBMI-SU, FH USU, PBHI Wil. USU,
Univ.D Agung, Bakuaa SU, LBH Medan, SMM Medan,
KKP HAM, Senat FH UNCEN, Kontras Papua, Komunitas
Supervisor Papua, PMKRI Jayapura, Komunitas Supervisor
Abepura, UKM Dehaling, LBH Papua, IKOHI K2N,
Elsham-PB, HMI Cab. Jayapura, LP3A-P, 6 MKI JPR, KPK
GKI, KPKC HKBP-Medan, STH Uel Mandiri, Dewan adat
papua, STIH, AMTPI, Aji papua, UKM Dehaling UNCEN,
BEM STIH, Fosis UMI, LBH Makasar, Walhi Sul-Sel,
EPW Sul Sel, PUSHAM UH, Gardan, PKHUN-UH,
Aji Makasar, Kontras Sulawesi, FIK ORNOP, LPR KROB,
LAPAR, Sedrap, LBH Apik Makasar, SP-AM, SKP-HAM,
Pusham Univ45, Walhi Sulsel, LBH-Makassar, LPKP,
BEM- UNM, SKP- HAM Sul Sel, Komisi A DPRD Jatim,
SBMI-Jatim, KPPD Surabaya, ALHA-RAKA, SyarikatJember, LBH-Surabaya, IKOHI-Malang, LPKP 65-Surabaya,
MBH-Surabaya, SMKR-Surabya, BEM UWK-Surabaya,
LHKI-Surabaya, BEM FISIP Unair- Surabaya, Repdem
Jatim, Forsam Unair, Marules Banyuwangi, CRCS
Surabaya, Lakpesdam NU Sumenep, LSAPS Lamongan,
AGRA Jatim, Walhi Jatim, FKTS Pasuruan, Korban
Alas Tlogo Pasuruan, Jerit, WE SBY, KBS, CRCS, CRCS,
Aji Surabaya, AIMSA Surabaya, BM PAN Jatim, Staff
Pengajar HI FISIP Unair, Paham Unpad, LPKP 65, ICRC,
FRR Law Office, LESPERSSI, IKOHI-Jakarta, Voice Human
Rights, dan lainnya.

75

Buku Saku ICC


Alamat Sekretariat:
Jl. Kalasan Dalam No.5 Menteng
Jakarta Pusat
Telepon/Fax: (021) 3157915
e-mail: icc.indonesia@gmail.com
IALDF
Indonesia Australia Legal Development Facility atau
IALDF adalah suatu program reformasi hukum lima tahun
yang didanai oleh Program Bantuan Pemerintah Australia
melalui Australian Agency for International Development
(AusAID). LDF bertujuan untuk memperkuat kapasitas
institusi pemerintah Indonesia dan masyarakat sipil dalam
mempromosikan pembaruan hukum dan juga melindungi
hak asasi manusia. LDF mendukung lembaga-lembaga
masyarakat sipil dalam penelitian, pelatihan dan advokasi
mereka. LDF juga berusaha mendukung keterlibatan
masyarakat sipil dalam pembaruan institusi, suatu
kunci pendorong utama di bidang hukum dan hak asasi
manusia.

76

Buku ini dipersembahkan kepada para korban


dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia
serta masyarakat yang bersimpati
dan rela berjuang bersama

Didukung oleh :

ld f
INDONESIA AUSTRALIA

LEGAL DEVELOPMENT FACILIT Y

ISBN : 978-979-16587-0-6

Você também pode gostar