Você está na página 1de 16

ANAK ZINA DAN ANAK HASIL INSEMINASI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A.

Anak Zina

1. Nasab anak zina


2. Anak Zina dan Warisan
B.

Anak Hasil Inseminasi

1. Pengertian Inseminasi
2. Hukum Inseminasi Buatan
3. Benar-Salahkah Inseminasi Buatan
a) Segi Agama
b) Segi Sosial
c) Segi Hukum
BAB III PENUTUP
A.

Kesimpulan

B.

Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak zina adalah anak yang yang lahir dari hubungan zina, yaitu hubungan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan diluar akad nikahyang sah.

Ajaran syariat Islam

mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar
(usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang
diayomi oleh maqashid asy-syariah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl
(memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi
umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk
kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi
modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan
menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya. Inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains
modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan
biologi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Anak Zina?
2. Apa yang menyebabkan timbulnya Inseminasi?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Anak Zina
Tidak dapat dipungkiri lagi musibah perzinaan sudah mulai merebak di negara ini. Kata
zina mulai disamarkan dengan istilah yang samar dan agak menarik, WIL (Wanita Idaman
Lain), PIL (Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang
sejenisnya yang mengesankan permasalahan ini mulai dianggap ringan oleh sebagian kaum
muslimin di negeri ini.
Ditambah lagi dengan ditinggalkannya syariat islam secara umum dan khususnya hukuman
bagi para pezina. Sehingga hal-hal ini mendukung tersebarnya penyakit ini dilingkungan kaum
muslimin. Padahal semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada
kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup
membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan,
perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya.
Realita seperti ini tentunya tidak lepas dari sorotan syariat Islam yang sempurna dan cocok
untuk semua zaman. Tinggal kita melihat kembali bagaimana fikih Islam memandang status anak
zina dalam keluarganya. Hal ini menjadi lebih penting dan mendesak dengan banyaknya realita
status mereka yang masih banyak dipertanyakan masyarakat. Tentunya ini semua membutuhkan
penjelasan fikih islam walaupun dalam bentuk yang ringkas, agar masyarakat menyadari
implikasi buruk zina dan tidak salah dalam menyikapi anak-anak yang lahir dari perzinaan.
Hal ini semakin penting untuk diketahui dengan adanya sikap salah dari sebagian masyarakat
dalam menghukumi mereka. Apalagi dengan adanya sebagian kaum lelaki yang mengingkari
janin yang dikandung istrinya atau anak yang lahir dari istrinya itu adalah hasil hubungan
dengannya. Atau juga sengaja menikahi wanita hamil di luar nikah, kemudian untuk menutupi
aib keluarga dan menasabkan anak tersebut sebagai anaknya.

1. Nasab anak zina


Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mulaanah
dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya.[1]
Nabi Shallallahualaihi Wasallam menyatakan tentang anak zina:
Artinya: Untuk keluarga ibunya yang masih ada [HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab
Fi Iddia` Walad Az-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan
Abu Dawud no. 1983]
Juga menasabkan anak dari Mulaanah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu Umar
Radhiallahuanhuma dalam penuturannya:
Artinya: Nabi Shallallahualaihi Wasallam mengadakan mulaanah antara seorang dengan
istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahualaihi
Wasallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya. [HR. Bukhari,
Kitab Ath-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah.[2]
Inilah salah satu konsekuensi mulaanah. Ibnu al-Qayyim ketika menjelaskan
konsekuensi mulaanah menyatakan: Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari
sisi sang bapak, karena Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menetapkan untuk tidak
dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas
ulama. [Zaad al-Maad 5/357]
Syaikh Musthafa AlAdawi Hafizhahullah menyatakan: Inilah pendapat mayoritas
ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh
Shallallahualaihi Wasallam menetapkan tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat
yang benar. [Jaami Ahkaam an-Nisaa` 4/232]

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan:


Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada
seorangpun baik kepada lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia
bersuami, karena ia tidak memiliki bapak yang syari. [Syarhu al-Mumti, Tahqiq Kholid alMusyaiqih, 4/255]
2. Anak Zina dan Warisan
Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris
anak mulaanah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak.[3] Masalah waris mewaris
bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.
a) Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab
pewarisan (Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syarI kepada
lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak
zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak
mewarisi harta dari anak zina tersebut.
b) Anak zina dengan ibunya
Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama
seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam
keumuman

firman

Allah

Taala

Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam

dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS.
An-Nisaa` 4: 11]
A. Anak Hasil Inseminasi
1. Pengertian Inseminasi
Inseminasi merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya buatan
ataua tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata latin. Inseminatus artinya pemasukan atau
penyampaian. artificial insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Dalam kamus
, seperti dalam kitab al-fatawa karangan mahmud syaltut.
Jadi, insiminasi adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara
memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah
lain yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan permainan buatan (PB). Yang
dimaksud dengan bati taqbung (Test tubebaby) adalah bayi yang di dapatkan melalui proses
pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio dengan bantuan ilmu
kedokteran. Dikatakan sebagai kehamilan, bayi tabung karena benih laki-laki yang disedut dari
zakar laki-laki disimpan dalam suatu tabung.
Untuk menjalani proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim, perlu disediakan ovom
(sel telur dan sperma). Jika saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur) terdapat sel-sel
yang masak maka sel telur itu di hisab dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut,
kemudian di taruh dalam suatu taqbung kimia, lalu di simpan di laboratorium yang di beri suhu

seperti panas badan seorang wanita. Kedua sel kelamin tersebut bercampur (zygote) dalam
tabung sehingga terjadinya fertilasi. Zygote berkembang menjadi morulla lalu dinidasikan ke
dalam rahim seorang wanita. Akhirnya wanita itu akan hamil. Inseminasi permainan
(pembuahan) buatan telah dilakukan oleh para sahabat nabi terhadap pohon korma. Bank sperma
atau di sebut juga bank ayah mulai tumbuh pada awal tahun 1970.
2. Hukum Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan dilihat dari asal sperma yang dipakai dapat dibagi dua:
a. Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (artificial insemination husband)
b. Inseminasi buatan yang bukan sperma suami atau di sebut donor atau AID (artificial
insemination donor).
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau
ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi
atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No.
1 tahun 1974, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan
donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat
lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam
pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. [1]
Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan
antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak mengizinkan
inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi
dan hukum yang berlaku.

Sedangkan hukum inseminasi buatan pada hewan dan hasilnya sebagaimana yang sering
orang lakukan juga harus diddudukkanmasalahnya. Pada umumnya, hewan baik yang hidup di
darat, air dan udara, adalah halal dimakan dan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk
kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan/hewan yang dilarang dengan jelas oleh
agama.
Adapun tentang inseminasi buatan dengan bukan sperma suami atau sperma donor para
ulama mengharamkannya seperti pendapat Yusuf Al-Qardlawi yang menyatakan bahwa islam
juga mengharamkan pencakukan sperma (bayi tabung). Apabila pencakukan itu bukan dari
sperma suami.
Mahmud Syaltut mengatakan bahwa penghamilan buatan adalah pelanggaran yang
tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena memasukan mani orang lain ke dalam rahim
perempuan tanpa ada hubungan nikah secara syara, yang dilindungi hukum syara.
Pada inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri tidak menimbulkan masalah pada
semua aspeknya, sedangkan inseminasi buatan dengan sperma donor banyak menimbulkan
masalah di antaranya masalah nasab.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer
ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Quran dan As-Sunnah
bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut
Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh
para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan
jiwa Al-Quran dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian
masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para
ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh

kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran,
peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai
bidang spesialisasi pada 1960 an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada,
yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi
reproduksi. Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui
senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan
dalam dunia kedokteran, antara lain adalah: Pertama; Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara
mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah terjadi
pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri. Kedua; Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara
mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera
ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat lebih alamiah, sebab sperma
hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual.
Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan
multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang
relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar.
Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika. span style=fontweight:bold;b. Hukum Inseminasi bayi tabung menurut Islam/span Masalah inseminasi buatan
ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional
maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980,
mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat
edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986.

Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman
tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan
pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi
tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis
kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia. Mantan
Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan
bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan menerima bayi tabung
dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari suami-isteri sendiri.[2]
Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan pada manusia harus
diklasifikasikan persoalannya secara jelas, setidaknya dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara
mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri,
maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam
di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar
memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh
keturunan.
Hal ini sesuai dengan kaidah al hajatu tanzilu manzilah al dharurat (hajat atau
kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat). Hukumnya haram bila
sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri,
atau apa yang disebut sebagai ibu pengganti (surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya
bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur
bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma

bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan
dalam rahim isteri.
2. Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan
ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil
inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Diantara dalil-dalil syari yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi
buatan dengan donor ialah: Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra : 70

s)s9ur
$oYBx.
_t/
tPy#u
*
NgoY=uHxqur hy99$# st79$#ur NgoY%y
uur iB Mt7h9$# OguZ=sur 4n?t
9V2 `JiB $oY)n=yz Wxs?
Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di
daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan
Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini
inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar
dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kemudian hadits Nabi Saw yang mengatakan, tidak halal bagi seseorang yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang
lain). (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban). Berdasarkan hadits

tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan
wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak
mengawini wanita hamil.
Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya
lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah
inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari
mereka. Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada
manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa dalam bahasa Arab bisa berarti
air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma
seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6. Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh
hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah
diharamkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, proses bayi tabung hendaknya dilakukan dengan
memperhatikan nilai moral Islami dan tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah
syariah.
3. Benar-Salahkah Inseminasi Buatan?
a) Segi Agama
Dalam hukum Islam tidak menerima cara pengobatan ini dan tidak boleh menerima anak
yang dilahirkan sebagai anak yang sah, apalagi jika anak yang dilakukan perempuan karena
nantinya akan mempersoalkan siapa walinya jika anak tersebut menikah. Bolehkah ayah yaitu
suami yang memiliki gangguan reproduksi dapat diterima sebagai walinya? Selain masalah
agama juga muncul soal hukum dalam pembagian harat. Bolehkah anak yang dilahirkan AID
mewarisi harta ayah juga dalam hal lain-lain yang berkaitan dengan pewarisan. Di negara
barat, yang mana inseminasi benih penderma dilakukan dengan giatnya, mereka atasi masalah

Undang-Undang dengan menjalani proses adopsi secara sah. Tetapi kedudukan di negara
Indonesia masih belum jelas.
Alasan lain dari sekelompok agamawan menolak teknologi reproduksi ini karena mereka
meyakini bahwa kegiatan tersebut sama artinya bertentangan dengan ajaran Tuhan yang
merupakan Sang Pencipta. Allah adalah kreator terbaik. Manusia dapat saja melakukan campur
tangan dalam pekerjaannya termasuk pada awal perkembangan embrio untuk meningkatkan
kesehatan atau untuk meningkatkan ruang terjadinya kehamilan, namun perlu diingat Allah
adalah Sang pemberi hidup.
b) Segi Sosial
Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan masyarakat, terutama bila sperma yang
digunakan berasal dari bank sperma atau sel sperma yang digunakan berasal dari pendonor,
akibatnya status anak menjadi tidak jelas. Selain itu juga, di kemudian hari mungkin saja terjadi
perkawinan antar keluarga dekat tanpa di sengaja, misalnya antar anak dengan bapak atau
dengan ibu atau bisa saja antar saudara sehingga besar kemungkinan akan lahir generasi cacat
akibat inbreeding. Lain halnya dengan kasus seorang janda yang ditinggal mati suaminya, dan
dia ingin mempunyai anak dari sperma beku suaminya. Hal ini dianggap etis karena sperma yang
digunakan berasal dari suaminya sendiri sehingga tidak menimbulkan masalah sosial, karena
status anak yang dilahirkan merupakan anak kandung sendiri. Kasus lainnya adalah seorang
wanita ingin mempunyai anak dengan inseminasi tetapi tanpa menikah, dengan alasan ingin
mempunyai keturunan dari seseorang yang diidolakannya seperti artis dan tokoh terkenal. Kasus
tersebut akan menimbulkan sikap tidak etis, karena sperma yang diperoleh sama halnya dari
sperma pendonor, sehingga akan menyebabkan persoalan dalam masyarakat seperti status anak

yang tidak jelas. Selain itu juga akan ada pandangan negatif kepada wanita itu sendiri dari
masyarakat sekitar, karena telah mempunyai anak tanpa menikah dan belum bersuami.

c) Segi Hukum
Dilihat dari segi hukum pendonor sperma melanggar hukum. Contoh kasus pada bulan
Juni 2002, pengadilan di Stockholm, Swedia menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang
mengaku sebagai pendonor sperma kepada pasangan lesbian yang akhirnya bercerai. Dan diberi
sanksi untuk memberi tunjangan terhadap 3 orang anak hasil inseminasi spermanya, sebesar 2,5
juta perbulan. Dalam kasus ini akan timbul sikap etis dan tidak etis. Sikap etis timbul dilihat dari
sikap pendonor sperma yang telah memberikan spermanya kepada pasangan lesbian, karena
berusaha untuk membantu pasangan tersebut untuk mempunyai anak. Sedangkan sikap tidak etis
muncul dari pasangan lesbian yang bercerai, karena telah menuntut pertanggungjawaban kepada
pendonor sperma yang mengaku sebagai ayahnya untuk memberikan tunjangan hidup bagi ke-3
anak hasil inseminasi spermanya.
Dengan demikian maka inseminasi buatan harus berlandaskan nilai etika tertentu, karena
bagaimanapun juga perkembangan dalam dunia bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab
manusia sebagai agen moral dan subjek moral.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma
dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa
inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah
satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal.
Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa:
1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian
nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria
dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu
penulis berharap kritikan dari bapak agar pembuatan makalah selanjutnya akan menjadi lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detilid_online=469
http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hukum-bayi-tabung.htm

Shannon, T. A. 1995. Pengantar Bioetika.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


Beno, E. 1988. Bioteknologi Dan Bioetika. Kanisius. Jakarta.
Udhiexz | Hukum Islam | Hasil Anak Inseminasi Dan Bayi Tabung.

[1] Lihat http://www.halalguide.info/content/view/104/55/

[2]

http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/bayi-tabung/ /span

Diposkan oleh Abid Fauzan di 20:01

Você também pode gostar