Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Asas mandiri
philosopycal mind tidak pernah sepenuhnya terwujud, bahkan sejak masa-masa awal berdirinya
universitas-universitas besar seperti Oxford atau Cambridge. Buku yang telah dilarang terbit oleh
institusinya sendiri Universitas Melbourne ditakuti semakin meruncingkan kontroversi mengenai
keberadaan mesin cetak manusia berijasah ini.
Permasalahannya sekarang adalah bahasa. Bahasa apa yang perlu disepakati para pendidik tinggi
agar kita terbebas dari penjajahan identitas sebagai manusia yang utuh. Apakah bahasa uang dan
keuntungan lebih penting daripada bahasa intelektual dan himaniora? Apakah setelah selesai
terjajah secara badani kini bangsa kita tak lagi bersatu padu menetang penjajahan jiwa yang lebih
berbahaya.
Sekolah HIMMATA, Plumpang, Jakarta Utara, telah membuktikan bahwa kemiskinan bukanlah
alasan bagi perwujudan phylosophical mind. Tanpa keraguan Siswandi, pendiri sekolah miskin
ini, mampu membuktikan bahwa anak-anak yang tadinya berlarian di jalanan untuk mengamen
dan mengemis telah menjadi pemikir-pemikir yang kreatif dan kritis. Mereka kini tidak lagi
turun ke jalanan tetapi memakai rasa, rasa dan karsanya untuk membangun masa depan yang
lebih baik. Merekalah pahlawan-pahlawan kecil yang telah menang atas penjajahan uang receh
dengan percaya bahwa jika tekad ada semesta mendukung keberadaannya.
Sebebas Siswandikah jiwa-jiwa para pendidik tinggi? Mampukah bahasa kebebasan yang sama
memerdekakan pengelola pendidikan tinggi dari ketakutan tak dapat lebih banyak mencetak
lulusan tiap tahunnya dan memberi pekerja baru bagi pihak industri? Mampukah bahasa
keyakinan mampu mendorong penyelenggara pendidikan tinggi tidak mencemaskan fasilitas dan
dana yang tersedia namun berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan yang mentransformasi?
Akhirnya, seruan satu bangsa, satu bahasa, adalah tekad untuk menciptakan manusia Indonesia
yang merdeka, merdeka dalam berkarya, merdeka dalam berpikir, merdeka dalam mengasah budi
dan panggilan jiwa untuk memanjukan diri sendiri dan bangsanya.
Risa R. Simanjuntak, S.S., M.AppLing.(Melb.)., M.A. (Leeds)
Pengamat dan Pelaku Pendidikan Tinggi
tesebut. Atas putusan pngadilan tanggal 18 Agustus 1913. Suwardi dibuang di Bangka, Duwes
Dekker dibuang di Banda Ranaike dan Dr. Cipto dibuang di Timur Kupang yang akhirnya diubah
menjadi hukuman pengasingan, meninggalkan tanah air dan ketiganya menuju ke Nederlands.
Selama dalam pengasingan, jiwa perjuangan tidak pernah padam dan bekerjasama dengan
Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Belanda yaitu Indische Vereeneging yang berubah
menjadi Indonesiche Vereeneging dengan membuat majalah dengan nama Hindia Putra yang
kemudian berubah menjadi Indonesia Merdeka.
Setelah berakhirnya perang dunia I, berakhir pulalah Suwardi S. menjalani pengasingan di
Negeri Belanda, dan pulang kembali ke tanah air pada anggal 5 September 1919 dan langsung
bergabung dengan Nasional Indische Partai (NIP) dan menjadi ketuanya. Pada waktu itu banyak
pemimpin yang keluar masuk penjara atau gedung pengadilan karena delik pers maupun delik
pidato, dan Suwardi S, adalah orang yang pertama kali wartawan Indonesia yang terkena delik
pers. Pada bulan Nopember 1920, ia masuk penjara di Mlaten Semarang kemudian dipindahkan
ke penjara pusat di Pekalongan sampai dibebaskan oleh pemerintah di Batavia.
Suwardi S, berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyat tidak hanya dicapai melalui jalan politik, tetapi akan lebih efektif melalui
juga bidang pendidikan, sebagai tempat persemaian segala benih kebudayaan yang hidup dalam
masyarakat kebangsaan. Ia yang sebelumnya sudah aktif mengajar di berbagai sekolah dan
menggabung pada Paguyuban Selasa-Kliwon yang berkedudukan di Yogyakarta. Paguyuban
ini membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan uasaha-usaha menaikkan derajat dan
martabat bangsa Indonesia. Selama di negeri Belanda, Suwardi S. telah mengenal nama
Rabendranath Tagore dari India dan Montessori dari Italia yang dianggapnya sebagai
pembongkar dunia pendidikan lama serta pembangunan aliran baru, dan baginya kedua tokoh
tersebut merupakan petunjuk jalan untuk mendirikan sekolah sendiri.
Demikianlah sejak tanggal 3 Juli 1922 Suwardi S. mendirikan Perguruan Taman Siswa yang
pertama-tama di Yogyakarta yang akhirnya namanya terkenal dengan Ki Hajar Dweantara adalah
Bapak Taman Siswa, Bapak Pendidikan Nasional setelah pahlawan yang sepanjang hayatnya
terus berjuang untuk kepentingan nusa dan bangsa.
Konsep-konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara sangat menarik di
kalangan cendekiawan dalam dan luar negeri, untuk mempelajari, mengerti, dan mendalami citacita dan hasil usaha yang dilakukan sepeti; Belanda, Inggris, Australia, Jepang, Amerika Serikat,
India dan lain-lain. Namun dalam perjalanannya banyak mengalami tantangan dan pernah
mengalami stagnasi antara tahun 1930-1932, sehubungan pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan undang-undang sekolah liar.
Pada saat penjajahan Jepang pada tahun 1942 pindah ke Jakarta untuk memimpin PUTERA
bersama tokoh empat serangkai dan pada tahun 1943 perguruan taman siswa pernah ditutup oleh
Jepang karena dianggap sangat membahayakan. Setelah proklamasi kemerdekaan, Ki Hajar
Dewantara duduk dalam kabinet pertama sebagai Menteri Pengajaran.
Pengabdiannya terhadap nusadan bangsa berakhir setelah wafat pada tanggal 26 April 1959 di
Jogjakarta. Sebagai seorang politikus yang handal dan radikal revolusioner, seperti yang
disampaikan oleh Van Der Plas yang menyatakan; bahwa Ki Hajar Dewantara seorang
pemimpin Indonesia sebagai lawan yang sangat berbahaya namun juga diakui sebagai guru
politiknya.
Demikian halnya oleh Presiden RI yang pertama Ir. Soekarno, pada saat Ki Hajar Dewantara
mendapat gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada pada 19 Desember 1956
dalam sambutannya mengatakan:Saja personlijk saudara-saudara, merasa berbahagia, tepat pada
waktu itu masih muda, maguru kepada Ki Hajar Dewantara, saja termasuk pemuda yang
berbahagia dapat maguru pada orang-orang Indonesia yang besar seperti Ki Hajar Dewantara.
Sebagai seorang jurnalistik yang ulet, tekun, dan profesional, oleh Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI), dua hari setelah wafatnya tanggal 28 April 1959 diangkat secara anumerta sebagai Ketua
Kehormatan PWI atas jasanya di kalangan jurnalistik.
II. DASAR-DASAR PENDIDIKAN
Berdirinya Perguruan Taman Siswa ditandai dengan pemakaian Candrasengkala yang
berbunyi:Lawan Sastra Ngesti Mulya, menunjukkan tahun saka 1851 atau 1922 Masehi, yang
artinya;dengan berilmu mencita-citakan kemuliaan atau ilmu yang luhur dan mulia,
menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Adapun semboyan untuk pengajaran nasional adalah kembali kepada yang bersifat nasional.
Oleh sebab itu sebagai konsekwensi yang pertama dan utama adalah pengajaran harus bersumber
kepada kepribadian dan budaya nasional. Sedangkan tugas-tugas yang diemban dan dilaksanakan
perguruan tersebut ialah:
1. Untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, untuk menjadi
kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar
dengan bangsa-bangsa lain yang merdeka.
2. Tugas kedua untuk membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang dibutuhkan
rakyat banyak.
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat tiga pusat pentingnya
pendidikan, yang kemudian disebut dengan sistem tripusat, yaitu:
1. Alam atau lingkungan keluarga yang bertugasmendidik budi pekerti dan laku sosial.
2. Alam perguruan, yaitu: mengusahakan kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan.
3. Alam pemuda yang membantu pendidikan baik yang menuju kecerdasan jiwa maupun
budi pekrti.
Bagi seorang guru harus memahami dan mengerti peran yang disandangnya dalam menjalankan
kewajibannya mengajar dan mendidik.
Mengajar: guru harus memliki kemampuan untuk memberikan ilmu pengetahuan secara luas,
menuntun gerak pikiran serta melatih kecakapan atau kepandaian anak didik agar mereka kelak
menjadianak yang pandai berpengetahuan dan cerdas.
Mendidik: guru harus memiliki kemampuan untuk dapat menuntun tumbuhnya budi pekerti
dalam hidup anak didik kita, supaya kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila.
Dasar pendidikan Taman Siswa adalah berdasarkan kemanusiaan dan kebangsaan, namun adab
kemanusiaan lebih diutamakan dari adab kebangsaan dan syarat kebangsaan yang berlawanan
dengan sayarat kemanusiaan harus dibatalkan. Pendidikan kebangsaan dilakukan melalui etika,
sejarah kebudayaan, bahasa, kesenian, tari, musik, serta kepemudaan.
III. PEMBENTUKAN BUDI LUHUR
Bahwa manusia yang menjadi harapan masa depan bangsa itu adalah cermin keberhasilan
pendidikan yang dapat membentuk atau membangun manusia berpribadi yang beradab dan
bersusila. Oleh sebab itu adab atau keluhuran budi manusia itu menunjukkan sifat batinnya
manusia itu sendiri harus ditumbuhkembangkan dengan menanamkan kesadaran atau keinsyafan
tentang ketuhanan, kesucian, kemerdekaan, keadilan, cinta kasih, kesetiaan, kedamaian,
kesosialan, ketertiban dan lain sebagainya. Sedangkan kesusilaan atau kehalusan itu
menunjukkan sifat hidup lahirnya manusia yang serba halus dan indah (etis, aestetis) yang
menunjukkan dua sifat manusia yang luhur atau indah itu, yang halus selalu nampak dalam hidup
manusia, karena manusia mahluk terpilih dan berbudi yang lain dengan sifat-sifat mahluk hewan.
Sifat keluhuran dan kehalusan budi sudah harus ditanamkan kepada anak sejak kecil, misalnya
dengan memberikan penghormatan pada tokoh-tokoh pahlawan sekaligus menanamkan perasaan
nasionalisme, pelajaran agama, pewayangan, ceritera, biografi para pahlawan dan sebagainya.
Bahwa pelajaran moral dan kesusilaan akan berharga apabila dapat dipraktekkan dalam hidup
sehari hari. Asas-asas kesusialaan yang tidak dipraktekkan dalam hidup sehari-hari tidak berguna
sama sekali. Barangsiapa yang tidak menjalankan hidup menurut hukum-hukum kesusilaan, ia
tidak dapat dianggap manusia dalam arti yang sebenarnya.
IV. METODE AMONG: TUTWURI HANDAYANI
Didalam proes belajar mengajar, setiap pamong atau guru harus memegang teguh dan
melaksanakan 3 (tiga) semboyan yaitu: Suci tata ngesti tunggal, tutwuri handayani dan
mengabdi kepada sang anak, dengan menggunakan bahasa pengantar ialah bahasa melayu
karena mudah dipahami dibandingkan dengan bahasa jawa, namun juga tetap diperhatikan
bahasa ibu.
Hubungan antara pamong dengan anak didik berdasarkan kekeluargaan atau yang disebut dengan
metode among, sehingga terdapat hubungan yang erat diantara guru dan muridnya. Di sekolahsekolah gubernemen, guru seperti pegawai yang berdiri di depan kelas, ia tidak pernah menaruh
perhatian kepada murid-muridnya, selain mengajar yang dipusatkan pada pembentukan intelek
dan ia tidak mengerti kesulitan anak didiknya. Sebaliknya di Taman Siswa, siswa-siswa merasa
bahwa perguruannya merupakan rumah kedua di tempat itu, dan ia menemukan bapak atau
ibu yang dapat dimintai nasehatnya atau pertimbangannya apabila menghadapi kesulitan,
mereka tidak takut menyampaikan masalahnya kepada Bapak/Ibu pamong, karena terdapat
ikatan batin dalam keluarga dan setiap saat dapat menemui bapak atau ibu pamongnya.
Dalam melaksanakan tugasnya mengajar dan mendidik, pamong harus memberikan tuntunan dan
mendorong pada anak didik agar dapat tumbuh dan berkembang berdasarkan kekuatan sendiri.
Cara mengajar dan mendidik dengan mengguanakan alat perintah, paksaan dan pemberian
hukuman sangat dihindari.
Semboyan yang digunakan untuk melaksanakan metode among adalah Tutwuri Handayani,
artinya mendorong pada anak didik untuk membiasakan diri mencari dan belajar sendiri, pamong
atau guru mengikuti dari belakang dan memberi pengarah, bertugas mengamati dengan segala
perhatian dan pertolongan diberikan apabila dipandang perlu. Anak didik dibiasakan disiplin
sendiri bukan paksaan dari luar atau perintah dari orang lain. Dengan metode among, berarti
membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak sehinga
anak akan dapat berkembang menurut kodratdan bakatnya. Oleh sebab itu murid-murid
perguruan Taman Siswa menyebut gurunya bapak dan ibu, lain halnya di luar Taman Siswa
menyebut gurunya dengan; tuan, nyonya, nona, masbehi, den behi, ndoro dan sebagainya.
Pada saat mengalami ksulitan yang sangat menghimpit akibat dikeluarkannya undang-undang
sekolah liar oleh pemerntah Hindia Belanda, diserukan kepada seluruh unsur pimpinan
perguruan Taman Siswa untuk memegang teguh dan melaksanakan semboyan yang sangat
terkenal sampai saat ini yaitu: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani.
V. MENANAMKAN JIWA MERDEKA.
Usaha untuk menuju sebagai bangsa yang merdeka yang terlepas dari penindasan dan
penghisapan penjajah sudah dirintis melalui Indische Partai. Didorong adanya cita-cita untuk
hidup merdeka sebagai bangsa maupun sebagai manusia yang dapat hidup mandiri itulah yang
kemudian menjadi arah pendidikan Taman Siswa. Karena itulah pada masa itu Perguruan Taman
Siswa menjadi lembaga dan sekaligus satu gerakan pendidikan dan kebudayaan yang kokoh
bagaikan benteng ideologi bagi gerakan kebangsaan dan gerakan kemerdekaan serta menjadi
tempat berkomunikasi dan berkonsultasi bagi pejuang-pejuang politik, para cendekiawan dan
seniman yang berjuang melawan kolonialisme Belanda.
Oleh sebab itu yang menjadi arah perguruan Taman Siswa adalah berusaha mendidik anak-anak
menjadi manusia yang mampu dan pandai menegakkan hidup dan penghidupan dalam keadaan
bagaimanapun dan kapanpun pada anak didik, sehingga tidak menggangtungkan diri pada
pertolongan orang lain, melainkan pada kemampuan diri sendiri. Hal ini juga didasari atas
kenyataan bahwa pendidikan kolonial hanyalah membentuk manusia intelek yang dipersiapkan
untuk menjadi pegawai pada pemerintah kolonial, sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa
lagi kalau tidak ada lowongan pekerjaan di kantor-kantor pemerintah.
Penanaman jiwa merdekaatau bebas, dimaksudkan setiap orang harus tetap menjunjung tinggi
kesusilaan dan bahwa kebebasan itu bersifat sekunder yakni akibat dari kemerdekaan.
Sedangkan arti perkataan merdeka adalah sanggup dan mampu untuk berdiri sendiri, untuk
mewujudkan hidup diri sendiri, hidup tertib dan damai dengan kekuasaan atas diri sendiri, dan
ini merupakan sifat primer Merdeka tidak hanya berarti bebas, tetapi harus pula diartikan
sebagai kesanggupan dan kemampuan yaitu: kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah diri
sendiri. Dalam kita bertindak berdasarkan jiwa kemerdekaan harus ingat akan kesusilaan, karena
kesusilaan itu merupakan pagar dan bentengkeselamatan bagi dii kita sendiri.
VI. PENUTUP
Demikianlah sekelumit gambaran persembahan jiwa dan raga yang telah ditumpahkan untuk
nusa dan bangsa oleh Ki Hajar Dewantara, untuk mengenang kembali atas jasa-jasa
perjuangannya, sekaligus untuk bahan intropeksi bagi kita semua seberapa jauh nilai-nilai luhur
dalam dunia pendidikan khususnya telah dapat dilaksanakan sesuai dengan relevansinya
pendidikan yang berlangsung selama ini. Terutama yang berkaitan dengan metode pembelajaran
dalam rangka mewujudkan pendidikan yang berkualitas sekarang ini.
Sebagai bangsayang besar tidak saja dapat menghormati atas jasa-jasa para pahlawan, akan tetapi
yang lebih penting dan yang menjadi tantangan berat bagi generasi pewaris adalah bagaimana
kita dapat mewujudkan cita-cita para pahlawan dengan didasari oleh nilai-nilai kepahlawanan
selama perjuangan hingga akhirnya memperoleh kemerdekaan.
MERDEKA!
Sumber bacaan
1. Ki Hajar Dewantara, oleh Darsiti Soeratman, penerbit: Depdikbud, Jakarta, 1986
2. Mereka Yang Selalu Hidup, Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara, oleh:
Bambang Soekawati Dewantara, penerbit: Roda Pengetahuan, Jakarta, 1981.
3. Soewardi Soerjaningrat Dalam Pengasingan, oleh: Dra. Irna H.N. Hadi
Soewito, penerbit: PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1985
4. Nyi Hajar Dewantara; Dalam Kisah dan Data, oleh: Bambang Soekawati
Dewantara, penerbit: PT. Gunung Agung, Jakarta, 1979.
PENDAHULUAN
Pemenuhan hak atas pendidikan merupakan proses yang sedang berjalan, demikian juga dengan
upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai Pendidikan untuk Semua (PUS).
Kerangka Kerja Aksi Dakar mempertegas kenyataan bahwa pendidikan merupakan hak asasi
manusia yang mendasar dan telah menekankan pentingnya aksi pemerintah untuk mewujudkan
pendidikan berbasis hak asasi manusia yang diimplementasikan untuk semua pada lingkup
negara. Agar pendidikan dapat disediakan (available); Pemerintah perlu menjamin pendidikan
tanpa biaya dan wajib belajar bagi semua anak. Pemerintah juga dituntut untuk menghargai
kebebasan para orang tua untuk memilihkan anak-anaknya dalam memperoleh pendidikan; Agar
pendidikan dapat dijangkau (accessible); penghapusan diskriminasi sebagai mandat dari undangundang hak asasi manusia internasional perlu menjadi prioritas kebiajakan pendidikan; Agar
pendidikan dapat diterima (acceptable); hak-hak manusia seyogianya diterapkan dalam proses
pembelajaran; Agar pendidikan dapat disesuaikan (adaptable); pendidikan perlu mengakomodasi
dan menyesuaikan minat utama setiap individu anak.
Sayangnya selama pemerintahan orde baru, dan sampai saat ini masih terasa belum ada
perubahan yang signifikan, sistem pendidikan kita masih jauh dari harapan untuk dapat
memenuhi hak atas pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia. Masih banyak kelompok masyarakat
yang sulit mendapatkan hak atas pendidikan sebagai perlindungan HAM terutama anak-anak
korban bencana, di daerah konflik, terpencil dan perbatasan negara. Guna mendesak para politisi
untuk memberikan lebih banyak bantuan dana serta kekuasaan politiknya untuk mewujudkan
EFA sebagai pengakuan mereka terhadap Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia, saat ini GCE
tengah mengorganisir aksi global The Big Chain Re-Action untuk tahun 2007.
Tujuan yang ingin dicapai dalam GAW 2007 adalah untuk menghadapkan para politisi dan
pemimpin dengan kenyataan bahwa tahun 2007 adalah titik tengah pencapaian sasaran EFA dan
dengan kecepatan kemajuan yang ada sekarang, sasaran-sasaran tersebut tak dapat dipenuhi.
Pada kampanye EFA 2007, KerLiP bersama mitra strategis mendorong pemerintah dan
pemerintah daerah untuk merealisasikan bantuan operasional bagi komunitas sekolahrumah dan
tersedianya pendidikan layanan khusus gratis bagi korban bencana di Indonesia.
B.
1.
Meningkatnya keyakinan masyarakat untuk menjadikan sekolahrumah sebagai model
pemenuhan hak anak atas pendidikan berkualitas dan bebas biaya bagi keluarga Indonesia.
2.
Meningkatnya komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyediakan anggaran
yang memadai untuk pemenuhan hak atas pendidikan dasar dan bebas biaya terutama bagi
keluarga miskin dan korban bencana.
C.
TUJUAN KEGIATAN :
1.
Mendorong pemerintah untuk menyediakan anggaran yang memadai dalam pemenuhan
hak atas pendidikan berbasis keluarga dan masyarakat melalui perbaikan kesejahteraan pendidik
dan bantuan operasional bagi komunitas sekolahrumah dan pendidikan layanan khusus bagi
korban bencana.
2.
Tersosialisasikannya Komunitas sekolahrumah sebagai model pendidikan kesetaraan yang
mengarustamakan perlindungan hak anak atas pendidikan berkualitas dan bebas biaya.
D.
SASARAN
Semiloka akan dihadiri oleh 200 anak-anak dan keluarga marjinal, homeschooler, pejabat terkait,
LSM/Ormas, Organisasi Kampus dan Mahasiswa.
E.
DESKRIPSI KEGIATAN
Nama kegiatan
Hari,tanggal
Waktu
: 09.00-16.00
Tempat
Narasumber
Amar
Alur Acara
Waktu Kegiatan
09.00-09.05
Pembukaan
9.05 9.15
Sambutan Panitia.
09.15 09.25
Presentasi Raka : (homeschooler Rumah KerLiP)
09.25-09.35
Kilas Pandang Kegiatan belajar Amar
09.35-10.00
Presentasi Amar
10.00-10.15
Diskusi Anak
10.15 10.30
Tea Break
10.30 10.50
Selayang pandang Rumah KerLiP
11.00-11.15
Pembukaan Semiloka
Sambutan Walikota Bandung
Sambutan Dirjen PLS sekaligus membuka Semiloka
11.15-12.30
Pemaparan
1.
Salam,
Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional dengan maksud memberikan
penghargaan atas jasa dan pengabdian Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959) yang
telah meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pendidikan merdeka yang
memandirikan adalah konsep dasar pendidikan nasional yang dirancang Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan
Merdeka
Menentang kolonialisme dan feodalisme dengan perjuangan politik hanya akan mampu
mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Menanamkan jiwa merdeka
melalui pendidikan nasional, disamping akan mampu mengantar ke depan pintu gerbang
merdeka,
sekaligus
memberi
modal
mengisi
kemerdekaan
Pendidikan mempunyai tugas menanamkan jiwa merdeka. Pada gilirannya, jiwa merdeka yang
tertanam adalah basis pembangunan bangsa. Hanya pendidikan yang memerdekakan yang
mampu
menanamkan
jiwa
merdeka.
Arah pembangunan jiwa merdeka telah jelas. Sebagaimana pesan Bung Karno, bangsa Indonesia
harus (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara
kebudayaan. Satu dasawarsa sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara memberikan panduan bangsa
merdeka melalui tembang Wasita Rini. Penggalan pupuh ketiga tembang itu berbunyi
mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhiri
priyangga. Maknanya kurang lebih, merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari perintah orang
lain. Tetapi harus kuat dan mampu mengatur diri sendiri atau mandiri.
Dalam hal ini, tiadalah mungkin merdeka hakiki direngkuh jika tidak mandiri. Untuk dapat
mandiri maka harus makarya. Sebab dengan makarya orang akan mampu memperoleh
penghasilan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga dan mengambil peran dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara.
Intelektualisme
Pengajaran
Diakui atau tidak, kini pendidikan nasional kita masih didominasi oleh pengajaran. Ketika
pendidikan terkungkung oleh pengajaran, maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari.
Setidaknya, indikasi intelektualisme nampak dalam kelulusan dan kenaikan kelas yang diukur
dari capaian angka-angka kognitif semata dan mengabaikan sikap, perilaku, budi pekerti apalagi
kecakapan motorik peserta didik. Pengajaran yang seharusnya hanya menjadi bagian dari
pendidikan
malah
mengambil
peran
lebih
dominan.
Jika kemudian tamatan sekolah tidak mampu berkarya di masyarakat, merupakan konsekuensi
logis dari berkuasanya pengajaran terhadap pendidikan. Seharusnya pendidikan nasional
bertugas membimbing insan yang memiliki kepandaian dan kecakapan yang berguna bukan
hanya
untuk
dirinya
sendiri
tetapi
juga
untuk
kepentingan
masyarakat.
Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui bahwa sudah
banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat oleh
anak-anak bangsa Indonesia. Tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan merdeka
menuju kemandirian, kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya. .
Tidak sedikit lulusan sekolah yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map
berisi lamaran kerja. Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan
pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Dalam kenyataan,
mereka menggantungkan diri kepada pemerintah. Tidak mampu bernisiatif dan bekerja tanpa
diperintah
orang
lain.
Kegagalan mendidik insan mandiri nampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan
hanya setelah lulus para siswa tidak percaya diri. Sejak di bangku sekolah mereka sangat
tergantung orang lain. Fenomena menyontek sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam
peneyelanggaraan ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa
oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit diantara
mereka
malah
terlibat
dalam
praktik
kecurangan
itu.
Lihatlah, betapa sibuknya orangtua murid mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean
panjang di loket Pendaftaran Siswa Baru bukan dijejali oleh para calon murid, tetapi didominasi
orangtua murid. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orangtua
untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya,
memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.
Di samping itu, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan akhir-akhir ini kental nuansa
otoritas. Seolah-olah pemerintahlah yang paling tahu dan mampu menyelenggarakan sistem
pendidikan nasional. Salah satu akibatnya semua hal tentang pendidikan serba diatur tanpa
memberikan peluang otonomi. Penyelenggaraan pendidikan mengarah pada konformitas.
Konformitas itulah yang berbahaya, sebab dapat mematikan identitas diri. .
Akhirnya, dalam peringatan hari pendidikan nasional ini, kiranya perlu diingat pesan Ki Hadjar
Dewantara pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidup lahir,
sedangkan merdekanya batin didapat dari pendidikan. Dirgahayu Pendidikan Nasional.
Penulis
adalah
Pamong
Tamansiswa
tinggal
di
GEMARI
bulan
Yogyakarta
Mei
2010
Media Indonesia
Pendidikan
Namun sayang, era pascakemerde-kaan hingga saat ini, model pendidikan paripurna yang
menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka itu, dicerabut dan dikebiri oleh para
stakeholders bangsa ini. Bukannya menjadi sarana memerdekakan peserta didik, tetapi sistem
pendidikan saat ini secara jujur telah membelenggu, memenjarakan, bahkan menindas.
Pendidikan yang mestinya mampu menjadi ruang ekspresi, imajinasi dan wahana pembangun
kreativitas, justru menjadi ruang sempit; lantaran mengejar capaian portofolio, standar
kompetensi yang kental unsur kognitif.
Para stakeholder pendidikan memang seo-1 a h - o 1 a h menjadi pahlawan, atau seolah-olah
memihak wong cilik ketika berebut tender/proyek. Namun, ketika diminta tanggung jawab
aplikasi soft-were pendidikan yang gagal, mereka saling menyalahkan. Seperti pada kasus
kurikulum, ujian nasional, sertifikasi guru, sekolah bertaraf internasional (SBI / RSBI) dan
sebagainya. Para pahlawan pembuat softiuere itu selalu menjelek-jelekkan pendahulu, sementara
formula yang dibuatnya justru lebih amburadul.
Pada level tinggi pembuat kebijakan pendidikan, budaya buruk bongkar-pasang sistem dan
kebijakan terus terulang setiap menteri baru. Model pergantian yang amat instan ini, jelas tidak
relevan bagi korpus pendidikan. Jika aspek lain seperti pembangunan infrastruktur fisik mungkin
ada baiknya, tetapi pendidikan adalah sesuatu yang berbeda. Akibatnya, pemerintah meminjam
istilah Doni Koesoema (2008), justru menciptakan miopi pendidikan, atau sebuah keadaan di
mana perubahan dalam pendidikan (educational dtange) dilakukan hanya demi kepentingan
sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang bisa langsung dilihat, tetapi
mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang.
Seyogianya, terjalin kesinambungan program antara pucuk pimpinan lama dan yang baru. Benar
pimpin-a nbaru dituntut kreativitas serta ide-ide baru, tetapi kebijakan lama yang sifatnya masih
bagus dan relevan mestinya juga tetap dipertahankan. Proses kesinambungan program dan kebijakan jelas berdampak positif bagi manajemen pendidikan kita, tetapi jika yang terjadi
sebaliknya justru semakin memperburuk arah pelaksanaan manajemen itu. Dilihat dari aspek
filosofis, pendidikanyang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses
formal, sekadar proses alih pengetahuan. Akibatnya pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana
liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan
memberdayakan para pelajar. Pendidikan kita bahkan menampakkan- wajah yang berbeda; beringas dan menyeramkan. Seperti temuan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), yang
menyebutkan bahwa kekerasan pada anak di sekolah terus meningkat setiap tahun minimal 10%.
Pada aspek pembiayaan, pendidikan kita semakin tak terjangkau rakyat miskin. Benar undangundang badan hukum pendidikan (BHP) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Tetapi, pihak perguruan tinggi (PT) tetap membuat undang-undang pengganti BHP yang sejenis.
Akibat sistem yang dikebiri, serta model kebijakan yang berubah-ubah itu, pendidikan bangsa
laksana kapal tanpa nak-h o d a yang berputar-putar tanpa progres tetapi malah karam. Maka
sangat tepat komentar Amien Rais (2008), mengenai output atau lulusan pendidikan kita.
Mereka, kata Amien Rais, kebanyakan bermental buruk; inlander, penjilat dan gemar korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN).
Spirit kemerdekaan
Sebelum pendidikan bangsa ini benar-benar menjadi kapai karam, sebelum budaya buruk
mewaris kepada generasi muda, dan sebelum masa depan bangsa menjadi suram, landasan
filosofi pendidikan harus diperbaiki. Bangsa ini harus mengambil semangat dan spirit para
pendahulu dan bapak bangsa guna merancang model pendidikan berjiwa merdeka.
Menurut Romo Mangun (200369), sistem pendidikan berjiwa merdeka itu dahulu sangat
mengutamakan kedisiplinan, kejujuran, dan kreativitas di samping penguasaan terhadap bahasa
asing. Konon, dahulu untuk memupuk kreativitas itu, anak didik setiap minggu disuruh membuat
karangan ilmiah ringkas. Tema yang diangkat sangat sederhana, dan sesuai konteks saat itu.
Kegiatan membuat karangan itu memaksa siswa belajar observasi, atau istilah sekarang
mengumpulkan data, menyusunnya secara sistematis, danmenganalisis data tersebut dengan
pendapat pribadi. Kejujuran dan kebenaran sangat diutamakan. Maka, siswa yang kedapatan
melakukan duplikasi, hukumannya dikeluarkan dari sekolah. Selain itu, siswa dituntut berprinsip
lebih baik saat ini tidak bisa menjawab, dari pada menyontek atau membeo. Singkatnya,
keruntutan logika dan moralitas menjadi dasar mendidik siswa saat itu. Tidak heran jika dahulu,
siswa di tingkat dasar sudah kreatif membuat berbagai tulisan dan karya ilmiah. Bandingkan
dengan siswa kita sekarang! Jangankan siswa SD, mahasiswa S-l, bahkan doktor (S-3) kita
miskin dengan karya ilmiah.
Memang tidak tepat memang, membandingkan masa lalu dengan masa sekarang, karena setiap
zaman atau setiap generasi memiliki kelebihan dan kesulitan masing-masing. Hanya saja, jika
sistem pendidikan lama itu ternyata lebih relevan dengan konteks kekinian, bukankah tidak salah
jika kita mencontohnya? Maka, spirit pen-didikan berjiwa merdeka itu setidaknya bisa
diwujudkan paling tidak dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan
dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan egalitarianisme, dalam
menyusun visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran,
kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru. Kedua, dalam praktik pendidikan
dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi
antara siswa dengan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang
kontekstual, dialog dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang
transparan, dan sebagainya.
Pendidikan berjiwa merdeka juga kental dengan penanaman sikap kritis pada anak didiknya.
Akhirnya, dari model pendidikan merdeka ini diharapkan terlahir manusia-manusia kritis yang
mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah
lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya. Mereka akan terasah kuriositas intelektual,
kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik.
PARTISIPASI OPINI
Kirimkan ke email opini@mediaindonesia.com atau opinimi@yahoo.com atau fax(021)5812105
(Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon dan (oto
kopi KTP).
Dalam satu kesempatan blog walking saya menemukan sebuah tulisan dalam bentuk e-paper,
berjudul Tujuh Ciri Orang Merdeka, yang ditulis oleh dai kondang Aa Gym. Saripati dari
ketujuh ciri tersebut adalah:
Pertama, orang yang merdeka dalam mengarungi hidup ini tidak akan disiksa oleh banyaknya
keinginan. Memiliki keinginan sebenamya sangat manusiawi, bahkan manusia bisa maju dan
berprestasi karena ada keinginan. Tetapi, jika hidup diperbudak keinginan sampai terampas
kebahagiaan, ibadah, waktu, pikiran, tenaga, bahkan biaya hanya untuk meladeni keinginan kita
dan keinginan tersebut nyata-nyata tidak membawa manfaat bagi kemuliaan dunia dan akhirat,
berarti kita sudah dijajah oleh keinginan.
Kedua, bebas dari perbudakan hawa nafsu. Hawa nafsu adalah bagian dari karunia Allah yang
melengkapi kehidupan kita menjadi bahagia bahkan mulia. Namun, nafsu itu sendiri harus kita
kendalikan. Kita lihat orang-orang yang diperbudak nafsu syahwat, hari-harinya hanya
memikirkan kemaksiatan sehingga menghancurkan nilai-nilai yang ada pada dirinya dan
menghancurkan orang lain, semata-mata karena diperbudak syahwat. Begitu pula orang yang
diperbudak nafsu amarah, pikirannya penuh kekejian, dendam membara. Tutur katanya penuh
angkara murka, tindakannya menjadi tidak terkendali dan hina, dan sudah pasti dia tidak akan
pernah disukai oleh orang lain, sehingga hari-harinya penuh ketegangan.
Ketiga, ciri orang yang hidupnya merdeka ialah ia tidak mudah diperbudak oleh asmara. Salah
satu yang memperindah dan menghiasi hidup kita adalah cinta. Tapi kita lihat ada orang yang
terjerumus ke lembah nista dalam perbuatan-perbuatan yang hina justru karena cinta, tentu yang
dimaksud adalah cinta buta yang membuatnya buta terhadap kebenaran.
Keempat, jujur. Setiap kali berbohong maka bohong itu akan menjadi penjara bagi kita. Kita
akan selalu was-was, takut kebohongan (kedustaan) kita diketahui yang mengharuskan kita
berbuat bohong lanjutannya. Oleh karena itu, tidak akan menjadi merdeka orang-orang yang
tidak menjaga dirinya dari kedustaan dan ketidakjujuran.
Kelima, tawadhu tidak akan pernah menghinakan, bahkan sebaliknya akan mengangkat derajat
seseorang. Mimpi kalau kita ingin bahagia jika kita menjadi orang yang sombong dan takabur.
Kebahagiaan dan kemerdekaan adalah milik orang-orang tawadhu.
Keenam ikhlas. Ikhlas adalah kunci kemerdekaan hati. Orang-orang riya yang suka pamer, yang
hidupnya tamak akan pujian, akan menjadi korban mode dan korban zaman. Tetapi orang yang
ikhlas tidak akan ambil pusing dengan penilaian manusia. Yang dia pikirkan adalah selalu
memikirkan yang terbaik dan puas dengan penilaian Allah SWT.
Ketujuh, semakin banyak bergantung kepada sesuatu maka kita akan takut kehilangan sesuatu.
Seperti orang yang bersandar di kursi akan takut kursinya diambil. Tetapi bergantung kepada
Allah, itulah yang akan memuaskan karena Allah menggenggam segala yang kita butuhkan.
Jika ingin mengetahui selengkapnya isi makalah tersebut, silahkan klik DISINI
Sumber : http://www.purwakarta.org/
Ilmu Pendidikan
October 1, 2007 at 3:05 am (Uncategorized)
BAB II
HAKIKAT PENDIDIKAN
Materi yang akan dibahas:
1. Konsepsi pendidikan
2. Pengertian pendidikan
3. Ilmu pendidikan bersifat descriptif-normatif
4. Ilmu pendidikan bersifat teoritis dan praktis-pragmatis
5. Pendidikan bersifat sebagai sistem
6. Unsur-unsur atau faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan
Ilmu dapat diperoleh dari teori maupun praktek
Tujuan teori pendidikan
1. menentukan arah dan tujuan pendidikan
2. Untuk memperkecil adanya kesalahan
3. Untuk mengetahui atau sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan itu sendiri
1. Konsepsi Pendidikan
Menurut Langeveld
Pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa terhadap anak yang belum
dewasa.
Pelaku pendidikan ada 2
1. Pendidik
2. Peserta didik
BAB III
LANDASAN DAN ASAS PENDIDIKAN
Landasan adalah dasar atau titik tolak dalam usaha meraih tujuan tertentu
Asas adalah semangat yang menjiwai usaha dalam meraih tujuan tertentu.
Landasan dalam pendidikan
1 Landasan filosofis pendidikan
Untuk mengangkat harkat dan martabat manusia
2.Landasan sosiologis pendidikan
Pendidikan hanya bisa dilaksanakan dalam masyarakat aktif
3.Landasan kultural pendidikan
Sekolah beperan :
teknologi
demografi
tingkat urbanisasi
Asas merdeka
Asas kebudayaan Indonesia
Asas kerakyatan
Asas mandiri
Leave a Comment
menandatangani perjanjian tersebut, maka secara otomatis Indonesia wajib tunduk dalam sistem
yang mengharuskan negara ini terlibat dalam globalisasi (baca: liberalisasi) pendidikan.
Sedikit mengingat kembali isi pembukaan UUD 1945, bahwa di situ jelas tertulis penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan. Penjajahan zaman tradisional adalah bentuk penjajahan fisik,
tampak. Akan tetapi, sekarang ini yang kita alami bukanlah penjajahan seperti itu. Penjajahan
yang sedang kita alami sekarang ini ialah, sebagaimana ungkapan Tyasno Sudarto, penjajahan
gaya baru. Penjajah masuk ke negeri ini melalui bidang moral, hukum, politik, ekonomi, budaya,
dan sekarang: pendidikan.
Ironis, memang. Pendidikan yang seharusnya fitrah bagi manusia, justru dijadikan alat untuk
pemaksaan kehendak, penanaman jiwa budak istilahnya. Padahal, dengan pendidikan
seharusnya masyarakat menjadi manusia yang berjiwa merdeka secara utuh. Baik merdeka
secara lahir, secara batin, maupun secara pemikiran. Manusia merdeka yang bebas menyuarakan
pendapat. Manusia merdeka yang bebas menjadi dirinya sendiri.
Manusia Indonesia produk pendidikan adalah manusia cerdas yang merdeka dalam upaya
menjadi dirinya sendiri. Nonton, niteni, nirokke, nambahi, itulah proses dan pengalaman
pendidikan yang memang harus dirasakan oleh peserta didik. Tidak cukup hanya menerima nilai.
Pendidikan lebih dari itu, menemukan dan mengkonsepkan nilai yang kemudian ditaati dan
dipatuhi. Suatu kata-kata yang prinsipil bagi penyelenggaraan pendidikan ala Ki Hadjar. Atau
slogan yang sudah sangat dekat di telinga kita, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani. Dimana guru berkewajiban membersamai peserta didik, baik di
depannya untuk menjadi teladan, di tengah untuk memahami dan menyertai, serta di belakang
untuk mendorong dan memotivasi.
Pendidikan Ideal, Menuju Manusia Merdeka
Pendidikan di Indonesia saat ini belum ideal. Sebuah pendidikan seharusnya sesuai dengan
kepribadian bangsa, tidak memaksakan kehendak, memerdekakan peserta didik dalam menyerap
ilmu pengetahuan, pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada akal/ilmu/bidang akademik
saja, namun juga psikomotor dan afektif. Selain itu, proses pendidikan juga tidak boleh terlepas
dari kebudayaan dan seni. Pada kedua hal ini terkandung makna etika dan estetika yang termasuk
salah satu faktor penunjang pendidikan.
Pada kenyataannya, pendidikan sama sekali belum menyentuh semua hal di atas. Pendidikan
yang ada saat ini tidak berpihak pada kebebasan dan kemerdekaan. Pendidikan yang ada
sekarang merupakan pendidikan robot yang hanya berorientasi mendengarkan, menghafal
data, dan menirukan. Tidak ada internalisasi pengalaman pembelajaran di situ. Kalaupun dewasa
ini kerap digembar-gemborkan isu teori pendidikan rekonstruksi sosial maupun pendidikan
teknologi yang berbasis kemerdekaan pengalaman pendidikan, namun penerapannya sangatlah
jauh berbeda. Salah satunya adalah masih adanya Ujian Akhir Nasional (UAN) secara seragam.
Ki Hadjar menuturkan, yang berhak melakukan evaluasi adalah pamong sekolah sendiri. Tidak
akan pernah bisa jika evaluasi dilakukan serentak, itupun dengan menyemaratakan soal yang
harus dikerjakan.
Maka alangkah tidak bebasnya sekolah pinggiran yang justru memiliki potensi alam yang besar.
Peserta didik dipaksa untuk memiliki kemampuan dan kompetensi yang seragam satu sama
lain. Itupun hanya di bidang yang diujikan. Bagaimana yang tidak? Akhlak, kejujuran, nilai-nilai
tanggungjawab, apakah itu tidak penting dibandingkan IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris?
Berdasarkan uraian di atas, cukuplah bukti bagi kita untuk mengatakan pendidikan di Indonesia
saat ini masih jauh dari idealisme pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara yang pro-kemerdekaan
jiwa. Wallahu alam.