Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ec Trauma Tumpul
Dibuat oleh: Zulfia Syafrida,Modifikasi terakhir pada Sat 28 of Aug, 2010 [11:17]
Abstrak
Splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa, yang mana
organ ini merupakan bagian dari system getah bening. Splenektomi biasanya
dilakukan pada trauma limpa, penyakit keganasan tertentu pada limpa (hodkin`s
disease dan non-hodkin`s limfoma, limfositis kronik, dan CML), hemolitik jaundice,
idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista dan splenomegali. Pada
pasien ini terjadi ruptur lien yang dikarenakan trauma tumpul abdomen merupakan
indikasi relatif untuk dilakukannya splenektomi.
Keywords: Splenektomi, ruptur lien
History
Seorang laki-laki, usia 15 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut
,sesak napas, nyeri dada, sakit pada lengan kirinya. Empat jam sebelum masuk RS,
pasien mengalami kecelakaan sehingga tertimpa sepeda motor.
Pada saat masuk RS, keadaan umum OS lemah, compos mentis, tekanan darah (TD) =
100/50 mmHg, nadi (N) = 110x/menit, respirasi rate (RR) = 32x/menit. Tidak
ditemukan konjungtiva pucat,reflek cahaya positif pada mata kanan dan mata kiri,
thorax dalam batas normal, dinding perut sama dengan dinding dada, tidak ditemukan
darm contour, tidak ditemukan darm steifung, defans muskular, nyeri tekan pada
seluruh lapang perut, perkusi perut timpani, terdengar peristaltik usus. Pemeriksaan
colok dubur menunjukkan tonus dan musculus sfingter ani dalam batas normal,
mukosa licin, ampula tidak kolaps, pada sarung tangan terdapat feses, tapi tidak ada
lendir dan darah. OS dikelola dengan observasi abdominal pain karena suspek
perdarahan intra abdominal ruptur organ intra abdominal .
2.
3.
Produksi Imunoglobulin lg M
4.
5.
Limpa dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah merah : dapat
membersihkan sisa sel darah merah normal, Howell-Jolly dan sel siderosit
Pappenheimer. Sel darah merah tua akan kehilangan aktifitas enzimnya dan limpa
mengenali kondisi ini akan menangkap dan menghancurkannya. Pada asplenia kadar
tufsin dan ada dibawah normal. Tufsin adalah sebuah tetra peptida yang melingkupi
sel sel darah putih dan merangsang fagossitosis dari bakteri dan sel-sel darah tua.
Properdin adalah komponen penting dari jalur alternatif aktivasi komplemen, bila
2.
3.
Cedera kapsul
Kerusakan parenkim fragmentasi, pole bawah hampir lepas
III.
IV.
V.
Hematoma subkapsuler
Syok hipovolemi dengan atau tanpa takikardi dan penurunan tekanan darah.
Nyeri alih melalui n.frenikus ke puncak bahu jika rangsangan pada permukaan bawah
peritoneum diafragma
-
Laboratorium leukositosis
Penatalaksanaan
A.
Splenorapy
Bertujuan untuk mempertahankan limpa yang fungsional dengan menjahit limpa yang
mengalami laserasi, tetapi jika perdarahan telah berhenti sebaiknya tidak dilakukan
lagi karena dapat memicu terjadinya perdarahan ulang. Penjahitan dengan benang
poliglycolic acid 0, dilanjutkan dengan ligasi arteri yang mengarah ke pole tersebut.
Jika perdarahan aktif tetap berlangsung, total atau parsial splenektomy(Irving, 1996).
B.
Splenektomy
Tumor primer
Indikasi Relatif :
Kelainan hematologik tanpa hipersplenisme jelas, tetapi
plenektomy dapat
memulihkan kelainan hematologik
-
Ruptur limpa
pankreas)
Metode :
1.
2.
Pedikel dipegang oleh asisten dan ditekan, lalu kauda pankreas dipisahkan
secara tumpul dari hilus dan pembuluh darah dapat diperlihatkan.
3.
4.
5.
Wedge reseksi dilakukan dengan cutting diathermy. Jahitan matras dengan
benang absorbel seperti polikglaktin 0, dipakai untuk mengontrol rembesan dari tipe
yang terbuka (Irving, 1996).
C.
Trauma mayor yang berakibat terlepasnya kapsul limpa, khas ditemukan pada pasien
dengan perdarahan yang lambat. Pada pasien ini sering kali ada hematom subkapsuler
yang besar. Anyaman mesh polygkycolic acid sangat menolong dalam mengamankan
hemostasis pada kasus ini (Irving , 1996)
D.
Masih merupakan suatu kontroversi pada penanganan trauma limpa. Ada satu laporan
yang mendukung teknik ini, Namun pengalaman di San Francisco General Hospital
tidak mendukung prosedur ini sejak 2 kasus ligasi arteri lienalis menimbulkan
nekrosis limpa ( Trunkey, 1990 ).
E.
Autotransplantasi Limpa
Banyak pasien yang tidak mengalami komplikasi post splenektomy. Pada umumnya
jumlah trombosit meningkat sangat tajam sampai 2 juta per mm3 dan tidak
diperlukan terapi khusus selain hidrasi yang cukup. Jika diperlukan dapat diberikan
obat pencegah agregasi platelet seperti asam salisilat, dipridamol, dekstran atau jika
pasien resiko tinggi dipakai heparin (trunkey, 1990; Schwartz, 1997). Penulis lain
mengatakan bahwa jika jumlah trombosit lebih dari 1 juta mm3 sebaiknya deberikan
aspirin dosis rendah atau heparin (Danne, 1999; Irving, 1996). Pasien yang
mengalami efusi dan kolapnya lobus bawah paru kiri biasanya memberikan respon
yang baik dengan fisioterapi.
Peningkatan insidensi sepsis umumnya disebabkan oleh H influenza, pnemokokkus,
meningikokkus, Stapilokokkus dan H influenza pada anak perlu diberikan antibiotika
propilaksi melawan H influenza sampai dewasa (Schwartz, 1997). Amoksilin 250 mg
perhari atau penoksimetilpenisilin 250 mg 2 kali sehari dapat diberikan, walaupun
belum ada kesepakatan apakah obat ini akan diberikan selama hidup atau 5 tahun
saja. Waktu pemberian vaksinasi masih kontroversi. Beberapa penulis
merekomendasikan anatara 3 sampai 4 minggu pasca operasi. Dan setelah 5 tahun
dilakukan vaksinasi ulang pnemovax (Boone and Peitzman, 1998).
Komplikasi splenektomy
Komplikasi sewaktu operasi5,6
I.
Usus.
Karena flexura splenika letaknya tertutup dan dekat dengan usus pada lubang
bagian bawah dari limpa, ini memungkinkan usus terluka saat melakukan
2.
operasi.
Lambung.
Perlukaan pada gaster dapat terjadi sebagai trauma langsung atau sebagai akibat
adalah komplikasi yang paling sering pada saat melakukan operasi. Dapat
terjadi sewaktu melakukan hilar diseksi atau penjepitan capsular pada saat dilakukan
retraksi limpa.
C. Trauma pancreas
Pada penelitian terjadi pada 1%-3% dari splenektomi dengan melihat tingkat
enzim amylase. Gejala yang paling sering muncul adalah hiperamilase ringan, tetapi
tidak berkembang menjadi pankreatitis fistula pankeas, dan pengumpulan cairan
dipankreas.
D. Trauma pada diafragma.
Telah digambarkan selama melakukan pada lubang superior tidak menimbulkan
kesan langsung jika diperbaiki. Pada laparoskopi splenektomi, mungkin lebih sulit
untuk melihat luka yang ada di pneomoperitoneum. Ruang pleura meruapakan hal
utama dan harus berada dalam tekanan ventilasi positf untuk mengurangi terjadinya
pneumotoraks.
II.
A. Komplikasi pulmonal
Hampir terjadi pada 10% pasien setelah dilakukan open splenektomi,
termasuk didalamnya atelektasis, pneumonia dan efusi pleura.
B. Abses subfrenika
Terjadi pada 2-3% pasien setelah dilakukan open splenektomi. Tetapi ini
sangat jarang terjadi pada laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi biasanya dengan
memasang drain di bawak kulit dan pemkaian antibiotic intravena. Jika pada 24 jam
pertama ada manifestasi perdarahan lebih dari 1 atau 2 unit maka ada indikasi
untuk operasi ulang untuk mengontrol sumber perdarahan dan evakuasi hematom
untuk mencegah timbulnya abses subfrenik (Trunkey, 1990).
Atelektase lobus inferior kiri
Trombosis vena dalam (dvt).
Emboli paru.
Trombosis vena splenika dengan perluasan ke vena porta dan vena mesenterika
superior jarang terjadi. Umumnya pada pasien dengan kelainan mieproliperasi atau
sepsis yang mengakibatkan abses intra abdomen (Scwartz, 1997).
Trauma pada pankreas akibat truma murni atau akibat tindakan splenektomy dapat
menimbulkan pankreatitis post operasi.
C. Akibat luka
Seperti hematoma, seroma dan infeksi pada luka yang sering terjadi setelah
dilakukan open splenektomi adanya gangguan darah pada 4-5% pasien. Komplikasi
akibat luka pada laparoskpoi splenektomi biasanya lebih sedikit (1,5% pasien).
D. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik.
Dapat terjadi setelah dilakukan laparoskopt splenektomi.
E. Ileus
Dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi, juga pada berbagai jenis
operas intra-abdominal lainnya.
III. Komplikasi yang lambat terjadi setelah opeasi4,5,6
A. Infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post Splenektomy Infection/OPSI)
adalah komplikasi yang lambat terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi
kapan saja selama hidupnya. Pasien akan merasakan flu ringan yang tidak spesifik,
dan sangat cepat berubah menjadi sepsis yang mengancam, koagulopati konsumtif,
bekateremia, dan pada akhirnya dapat meninggal pada 12-48 jam pada individu yang
tak mempunyai limpa lagi atau limpanya sudah kecil. Kasus ini sering ditemukan
pada waktu 2 tahun setelah splenektomi.
B. Splenosis
terlihat adanya jaringan limpa dalam abdomen yang biasanya terjadi pada
setelah trauma limpa.
C. Pancreatitis dan atelectasis.
Perdarahan awal post operasi harus dimonitor secara teliti, terutama pasien dengan
trombositopenia atau kelainan mieloproliperasi. Perdarahan umumnya berasal dari
vasa gastrika brevis atau kauda pankreas.
Splenektomy mengakibatkan berbagai defek imunologi termasuk respon antibodi
yang buruk terhadap imunisasi, defisiensi tuftsin dan penurunan level serum Ig M,
Properdin, Opsonin. Walaupun studi pada hewan menunukan bahwa 25 % dari
jaringan limpa sudah cukup untuk berfungsi sebagai pertahanan melawan bakteri
2.
3.
Devaskularisasi lambung
Fistula gaster
Abses subfrenik
Peritonitis
4.
Komplikasi tromboemboli
Emboli paru
5.
Infeksi
Kesimpulan
Pada kasus rupture lien harus dicermati indikasi splenektomi pada pasien.
Splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa, yang mana
organ ini merupakan bagian dari system getah bening. Splenektomi biasanya
dilakukan pada trauma limpa, penyakit keganasan tertentu pada limpa (hodkin`s
disease dan non-hodkin`s limfoma, limfositis kronik, dan CML), hemolitik jaundice,
idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista dan splenomegali.
Komplikasi dapat terjadi selama dan setelah operasi dilakukan dan yang lambat
terjadi pada pasien splenektomi bisa terjadi kapan saja selama hidupnya.
Referensi
DAFTAR PUSTAKA
1. Morris, Peter J. Oxford Tetbook of Surgery 2nd Edition. Oxford Press. 2000
2. Rothrock K, J C. DNSc, CNOR, FAAN. Alexanders : Care of The Patient Surgery.
3. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedoktera
EGC. 1996