Você está na página 1de 12

A.

TOKSOLOGI FORENSIK
Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut
Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the application of
science to low, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti
sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan
hukum dan peradilan. Guna lebih memahami pengertian dan ruang lingkup kerja
toksikologi forensik, maka akan lebih baik sebelumnya jika lebih mengenal apa itu
bidang ilmu toksikologi. Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja
dan efek berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu
organisme. Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang
berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh:
dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk
efek yang ditimbulkan. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau
pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari
toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari
racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan
apakah ada atau tidaknya racun yang

terlibat dalam tindak kriminal, yang

dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil


analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan
yang sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara
Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau
Surat Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan
ilmu tosikologi untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi
forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh
berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia
instrumentasi,

farmakologi-toksikologi,

farmakokinetik,

biotransformasi.1

(JURNAL ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN INTERPRETASI


TEMUAN ANALISIS)

B. STURUKTUR KIMIA HEROIN


Heroin adalah preparat kasar diamorfin. Ini merupakan produk semisintetik
diperoleh dengan asetilasi morfin, sebagai produk alami opium : lateks kering
dari spesies poppy tertentu ( misalnya Papaver somniferum L. ). Diamorfin
adalah analgesik narkotika yang digunakan dalam pengobatan sakit yang parah.
Heroin ilegal biasa digunakan merokok atau dilarutkan dengan asam lemah dan
disuntikkan. Sedangkan opium telah dipakai merokok sejak zaman dahulu,
diamorfin pertama kali disintesis pada akhir abad kesembilan belas. Heroin di
bawah kontrol internasional.2

(http://www.emcdda.europa.eu/publications/drug-profiles/heroin)

Diamorfin ( diacetylmorphine , CAS 561-27-3 - ) diproduksi oleh asetilasi


morfin mentah . Nama sistematis ( IUPAC ) adalah ( 5 , 6 ) -7,8 - didehydro 4,5- epoksi - 17 - methylmorphinan - 3,6 - diol asetat. Meskipun lima pasang
enantiomer secara teoritis mungkin dalam morfin, hanya satu terjadi secara
alami ( 5R, 6S, 9R, 13S, 14R) .

(http://www.emcdda.europa.eu/publications/drug-profiles/heroin)

C. PEMAKAIAN AWAL HEROIN


Heroin dari selatan-barat Asia dijadikan 'rokok' dengan memanaskan padat
pada foil logam di atas api kecil dan menghirup uapnya. Mereka berniat untuk
menyuntikkan bentuk heroin harus terlebih dahulu dilarutkan, misalnya , asam
sitrat atau asam askorbat. Heroin dari Asia Tenggara cocok untuk injeksi
langsung. Dosis yang umum dipakai dijalanan adalah 100 mg. Kecuali bila
digunakan sebagai terapi obat analgesik.2
(http://www.emcdda.europa.eu/publications/drug-profiles/heroin)
Heroin diproduksi secara sintetis. Dalam tubuh, heroin dapat ditunjukkan
maksimal 15 menit dan dimetabolisme menjadi 6 - monoacetylmorphine ( 6MAM ). Hal ini dimetabolisme menjadi morfin dan akhirnya untuk
glucuronides ( M3G dan M6G ). Dosis mematikan tergantung pada toleransi
individu dan

sebagian

pada keadaan lingkungan. Sementara konsentrasi

morfin bebas dalam kasus overdosis yang mematikan bervariasi (dari 50 mg/l
1500 mg/l), sekarang diasumsikan secara umum bahwa di bawah 100 mg / l
dalam darah sebagian besar selamat, sedangkan melebihi 100 mg / l berpotensi
mematikan ( Recker 1998; Meissner et al . 2002). Kematian di tingkat darah
menunjukkan faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap kematian : sangat
toleransi rendah karena akut drug withdrawal, konsumsi simultan obat lain
seperti alkohol, atau dihydrocodeine, atau menyertai penyakit seperti infeksi
saluran pernafasan ( Koch 2002).3 (forensic neuropati dan asossiated
neurology)
D. PATOMEKASNISME HEROIN4
FARMAKOKINETIK (USU)
Absorpsi
Heroin

diabsorpi

dengan

baik

disubkutaneus,

permukaan mukosa hidung atau mulut.

Distribusi

intramuskular

dan

Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju ke dalam jaringan.
Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan
di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak
relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin
menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan

morfin atau golongan opioid lainnya.


Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin
dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan
asam glukuronik menajdi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik
lebih kuat dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien

gagal ginjal.
Ekskresi
Heroin /morfin

terutama

diekstresi

melalui

urine

(ginjal).

90%

diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan


dalam urine 48 jam heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan
diekskresikan sebagai morfin.
FARMAKODINAMIK
Mekanisme kerja
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor
spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga
mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor
yang spesifik, yaitu reseptor (mu), (delta) dan (kappa). Di dalam otak
terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yitu
enkephalin yang berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor
dandynorpin dengan resptor . Reseptor merupakan reseptor untuk
morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein G
dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi
siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat.
Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter

Pelepasan noradrenalin
Opiat menghambat pelepasan noradrenalin dengan mengaktivasi
reseptor yang berlokasi didaerah noradrenalin. Efek morfin tidak
terbatas dikorteks,tetapi juga di hipokampus,amigdala, serebelum,
daerah peraquadiktal dan locus cereleus

Pelepasan asetikolin
Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum oleh reseptor
deltha, didaerah amigdala dan hipokampus oleh reseptor .

Pelepasan dopamin
Pelepasan dopamin diinhibisi oleh aktifitas reseptor kappa

Tempat Kerja
Ada dua tempat kerja obat opiat yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan
visceral. Di dalam susunan saraf pusat opiat berefek di beberapa daerah
termasuk korteks, hipokampus, thalamus, hipothalamus, nigrostriatal,
sistem mesolimbik, locus coreleus, daerah periakuaduktal, medula
oblongata dan medula spinalis. Di dalam sistem saraf visceral, opiat
bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang
menyebabkan efek konstipasi.

E. PEMERIKSAAN LUAR
Koma, depresi pernafasan, dan miosis merupakan hal yang tersering
didapatkan dari overdosis opioid. Menurut Hoffman dan rekan, hal ini ( yaitu,
koma, depresi pernafasan, dan miosis ) memiliki sensitivitas 92 % dan 76 %
spesifisitas pada overdosis heroin. Presentasi klinis dan koma yang dapat
diubah pada pasien dengan kongesti dan dihadapkan dengan kondisi medis
yang bersamaan seperti hipoksia, trauma, hipoglikemia, dan syok atau dengan
menelan racun lain seperti amfetamin, kokain, dan antikolinergik. Dalam

keadaan ini, pasien mungkin menunjukkan delirium, takipnea, dan midriasis.


Delirium juga dapat dicatat dalam overdosis dengan narkotika resep seperti
dekstrometorfan, meperidine, dan kodein. Kejang terjadi dengan overdosis
meperidine, fentanyl, pentazocine, atau propoxyphene. Hipotensi ringan dan
bradikardi ringan biasanya diamati dengan penggunaan heroin. Ini disebabkan
vasodilatasi perifer, penurunan resistensi perifer dan pelepasan histamin, dan
penghambatan refleks baroreseptors. Pada keracunan heroin, hipotensi tetap
ringan. Adanya hipotensi berat harus segera dicari penyebab lain dari hipotensi,
seperti perdarahan, hipovolemia, sepsis, emboli paru, dan penyebab lain dari
syok. Depresi pernafasan, karena efek heroin pada pusat pernapasan otak
merupakan ciri khas. Namun, adanya takipnea harus mencari komplikasi
penggunaan heroin, seperti pneumonia, edema paru, dan pneumotoraks, atau
diagnosis alternatif, seperti syok, asidosis, atau cedera SSP. Takipnea juga dapat
dilihat dalam overdosis pentazocine atau meperidine
dapat

mengungkapkan

pola

penggunaan

heroin

Pemeriksaan kulit juga


seperti

tanda

track

( ditunjukkan pada gambar di bawah , luka tusukan yang masih baru dan tanda
" kulit - popping " .5(MEDSCPE)

F. PEMERIKSAAN DALAM6
Temuan pada otopsi relatif tidak spesifik. Namun, ada beberapa fitur tertentu
dapat menjadi petunjuk yang berguna. Adanya tanda injeksi (tanda jarum)
biasanya di fossa antecubital di bagian depan siku, atau salah satu pembuluh
darah yang menonjol dari lengan atau punggung tangan. Pada pengguna,
sklerosis pembuluh darah dapat menyebabkan lengan yang digunakan secara
bergantian. Pembuluh darah dari dorsum kaki dapat digunakan ketika tangan
dan lengan telah tidak dapat digunakan karena trombosis dan jaringan parut.

Tempat yang kurang umum adalah paha, dinding perut ; di mana suntikan
mungkin subkutan, yang dapat menyebabkan daerah sclerosis subkutan,
nekrosis lemak dan abses, dll. Tato merupakan hal yang umum di antara
pecandu, kadang-kadang untuk menyembunyikan bekas luka lama atau tempat
suntikan yang masih baru, tetapi sering dimanifestasikan sebagai makna
kejiwaan. (textbook forensic medicine)
Kelainan pemeriksaan dalam pada karena narkotik tidak menonjol pada
otopsi. Pemeriksaan bekas jarum akan mengungkapkan adanya fibrosis
perivenous di intravena pecandu dan akut atau abses kronis atau jaringan parut
subkutan menyebar pada kulit popper. Penggunaan jangka panjang dari heroin
itu sendiri tidak menyebabkan kerusakan organ tubuh yang dapat diidentifikasi
di otopsi. Mungkin ada terjadi perubahan kronis halus dalam sistem
retikuloendotelial, yang mungkin hasil dari stimulasi antigenik terus-menerus
oleh injeksi yang tidak steril dari bahan asing. Perubahan ini meliputi
pembesaran kelenjar getah bening di dekat hati dan pankreas, timus menonjol,
sel mononuclear menginfiltrasi di portal triad hati. Perubahan yang paling
mencolok adalah kongesti yang parah dan edema paru-paru dengan banyaknya
buih mengisi bronkus, dan trakea, dan menonjol dari hidung dan mulut. Ini
yang disebut heroin lung.
Heroin, sendiri atau dicampur dengan kokain, sesuai dengan urutan cara yang
paling mungkin penularan hepatitis, HIV dan piogenik infeksi. Sehubungan
dengan AIDS dan HIV positif, pendapat berbeda. Tampaknya jelas bahwa virus
HIV tidak dalam sama kategori infektivitas hepatitis dan tidak ada kasus yang
belum diketahui penularan postmortem. Telah dilaporkan bahwa HIV dapat
tetap layak untuk beberapa hari setelah kematian.

G. PEMERIKSAAN LAB

Protokol screening forensik toksikologi postmortem (post mortem toksikologi)


Secara umum tugas analisis toksikologi forensik (klinik) dalam melakukan
analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel sample
preparation , 2) analisis meliputi uji penapisan screening test atau dikenal juga
dengan general unknown test dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan
kuantifikasi, 3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan
laporan analisis.1
1) Uji Penapisan Screening test1
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam
sampel. Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia
maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara
umum dalam uji penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain,
kannabinoid, turunan amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti
dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, turunan metadon. Pengelompokan ini
berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh, disini diambil senyawa
golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar morfin, beberapa
senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti, heroin, mono-asetil morfin,
morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida, asetilkodein, kodein, kodein6-glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya, serta senyawa turunan opiat
lainnya yang mempunyai inti morfin.
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan derajat
reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya relatif
cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu: a) kromatografi lapis tipis (KLT) yang
dikombinasikan dengan reaksi warna, b) teknik immunoassay.

Teknik

immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, serta
dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat, namun alat dan bahan

dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini menjadi relatif tidak
murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif lebih murah, namun dalam
pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih lama.
a) teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam
analisis obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan antidrug antibody untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam
sampel (materi biologik). Jika di dalam matrik terdapat obat dan metabolitnya
(antigen-target) maka dia akan berikatan dengan anti-drug antibody , namun
jika tidak ada antigentarget maka anti-drug antibody akan berikatan dengan
antigen-penanda. Terdapat berbagai metode / teknik untuk mendeteksi
ikatan antigenantibodi ini, seperti enzyme linked immunoassay (ELISA),
enzyme multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization
immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay.
b) kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya,
namun KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay.
Untuk meningkatkan sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis
toksikologi forensik, uji penapisan dengan KLT dilakukan paling sedikit lebih
dari satu sistem pengembang dengan penampak noda yang berbeda. Dengan
menggunakan spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT
dapat dideteksi spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya
akan meningkatkan derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan
dengan metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk uji
pemastian.
2) Uji pemastian confirmatory test 1
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya.
Konfirmatori test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun harus
lebih spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang
dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti: kromatografi gas spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair kenerja tinggi (HPLC)
dengan diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri massa (LCMS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat

spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit,
sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan yang ada.
H. ASPEK MEDIKOLEGAL7
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel
3.

sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.


Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan
menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi
atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya,

termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.


4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke
dalam Daerah Pabean. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
5. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum
yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika
7.

dan Prekursor Narkotika.


Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor

Narkotika dan Prekursor Narkotika.


8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan
Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana
angkutan apapun.
9. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
10. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin

untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat,
termasuk Narkotika.
11. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara
lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang
terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
12. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.
13. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat
agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi
dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang
khas.
14. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.
15. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
16. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
17. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol
atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta
melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi,memberi konsultasi,
menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan
suatu tindak pidana Narkotika.
18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau
penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau
jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi
elektronik lainnya.
19. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok
yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk
suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu
tindak pidana Narkotika.
20. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik

merupakan badan hokum maupun bukan badan hukum.


21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan
dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah
Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Você também pode gostar