Você está na página 1de 16

BAB I

PENDAHULUAN
Istilahsinusitistelahdikenalluasolehmasyarakatawamdanmerupakansalah
satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Harus
dipahamibahwahidungdansinusparanasalmerupakanbagiandarisistempernafasan
sehingga infeksi yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung, sinus
paranasaldan
sebaliknya.Infeksisinusparanasalyangpalingseringditemukanadalahsinusitismaksila.
Sinusitis adalah proses peradangan mukosa yang melapisi sinus. Secara klinis
sinusitisdikatakankronisbilagejalanyaberlangsunglebihdari3bulan.Gambaranklinis
yangdapatdijumpaiadalahhidungtumpat,inguskental,cairanmengalirdibelakang
hidung, hidung berbau, penciuman berkurang, nyeri kepala, sekret di meatus media,
riwayathidungberdarah,danbatuk.
Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumya sukar
disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan
faktor predisposisinya.
Maka dari itu agar kita lebih waspada dan penyakitnya tidak menjadi ke arah
kronik, sebaiknya peran dokter umum sebagai lini pertama mengetahui manifestasi klinis
dari sinusitis. Jika memang sudah mengetahui bahwa pasien ini menderita sinusitis kronis
segera rujuk ke dokter spesialis THT untuk penanganan lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

ANATOMI HIDUNG
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau pyramid hidung dan rongga hidung

dengan perdarahan serta persyarafannya, serta fisiologi hidung.


Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Hidung dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1. Tulang hidung ( os nasalis )
2. Prosessus frontalis os maksila
3. Prossessus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior ( koana ) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum

nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :
1. Lamina perpendicularis os etmoid
2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan adalah :
1. Kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
2. Kolumela
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya
terapat konka-konka yang mengisi sebagian besara dinding lateral hidung. Pada
dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adlah
konka superior, sedangkan yang terkecil adalh disebut konka suprema ini biasanya
rudimeter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung, pada meatus inferior terdapat muara
( ostium ) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terleak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris

merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila, dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas
rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari a.karotis interna.
Pendarahan Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a,sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada

bagian

depan

septum

terdapat

anastomosis

dari

cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang


disebut pleksus kiessselbach ( littles area ). Pleksus kiesselbach letaknya superficial
dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering terjadi epistaksis ( perdarahan hidung
), terutama pada anak.
Vena - vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena disvestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan factor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intracranial.
Persyarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persyarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus ( N.V-1)

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persyarafan sensoris dari


n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum, selain
memberikan persyarafan sensoris, juga memberikan persyarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus profundus . ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.
Mukosa Hidung
Rongga hidung di lapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan ( mukosa respiratori ) dan mukosa penghidu ( mukosa
olfaktorius ).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaanya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu ( pseudostratified columnar
epithelium ) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia, menjadi epithel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lender ( mucous
blanket ) pada permukaanya. Palut lender ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan selsel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lender didalam kavum nasi akan didorong
kearah nasofaring. Dengan emikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak secret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia
dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, secret kental dan
obat-obatan.

Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh


draah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung
mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari
tunika propria dan tersusun secara pararel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari
anyaman kapiler ini membula ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya
dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan
susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil,
yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokondtriksi pembuluh
darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. Pada bagian bawah, mukosa melekat erat
pada periostium dan peikondrium.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dab sepertiga
bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia,
sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.
II.

FISIOLOGI

1. Sebagai jalan napas


Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kea rah naso-faring, sehingga
aliran udara ini membentuk lengkunga atau arkus.
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi dibagian depan aliran udara
memecah , sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran darah nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara ( air conditioning )
Fungsi

hidung

sebagai

pengataur

kondisi

udara

perlu

untuk

mempersiapkan udara yang akan masuk kedalam alveolus paru.


Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembapan udara dan mengatur suhu.
Mengatur kelembapan udara, fungsi ini dilakukan oleh palut lender ( mucous

blanket ). Uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi keadaan sebaliknya.
Mengatur suhu, fungsi ini demungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37 derajat celcius.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk mebersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
a. Rambut ( vibrissae ) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir ( mucous blanket ).
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lender ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberpa jenis bakteri, yang disebut
lysozim
4. Indra penghidu
Hidung juga sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olafaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel baru dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lender
atau bila menarik napas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau ( rinolalia ).
6. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibr dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal ( m, n, ng )
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan resptor refleks yang berhubungan dengan saluran


cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.
III.

EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS MAKSILARIS


III.1 EMBRIOLOGI
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasalis merupakan
hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembanganya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat
anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada
anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai
pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umunya mencapai besar maksimal pada usia 15-18 tahun.
III.2 ANATOMI
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksilaris berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra temporal maksila, didnding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosessus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
a. Dasar sari anatomi sinus makilaris sangat berdekatan dengan akar gigi
rahan atas, yaitu premolar ( p1 dan p2 ), molar ( M1 dan M2 ), kadangkadang juga gigi taring ( C ) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi-geligi mudah
naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapa menimbulkan komplikasi orbita
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagi pula drainase juga harus melalui infundibulum
yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
mengahalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.
Mukosa sinus paranasalis berhungan langsung dengan mukosa rongga
hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung,
hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Tidak ditemukan
rongga-rongga vaskuler yang besar. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih
sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium. Palut lender di dalam sinus
dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral kearah ostium.
Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal ( KOM ) ,
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus usinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.

Sistem mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, didalam hidung juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir diatasnya. Di dalam sinus silia brgerak secara teratur
untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang
sudah tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar Dari
sinus. Lendir yang beraasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirka, ke nasofaring di depan muara tuba eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati secret pasca nasal ( post nasal drip ), tetapi
belum tentu ada secret dirongga hidung.
III.3 FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :
1. Sebagai pengatur kondisi udara.
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung.

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi
dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu ( thermal insulator )
sinus paranasal berfungsi sebagai penahan ( buffer ) panas, melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataanya
sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang
dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1 % dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi udara
sinus

mungkin

berfungsi

sebagai

rongga

untuk

resonansi

suara

dan

mempengaruhi kualita suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mucus
Mucus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
IV. DEFINISI

Sinusitis maksilaris kronis adalah proses peradangan pada mukosa sinus dan
dinding tulang sinus maksilaris.
Sinusitis maksilaris merupakan salah satu sinusitis yang paling sering ditemukan dan
sering terinfeksi, disebut juga antrum High-more karena :
1. Merupakan sinus paranasal yang terbesar
2. Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran secret ( drenase ) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia
3. Dasar sinus maksila adala dasar gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila.
4. ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang
sempit, sehingga mudah tersumbat.
V. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Faktorfaktorfisik,kimia,saraf,hormonalatauemosionaldapatmempengaruhi
mukosahidungyangselanjutnyadapatmempengaruhimukosasinus. Padaumumnya,
infeksi sinus kronik lebih sering dijumpai pada daerah beriklim lembap dan dingin.
Defisiensinutrisi,kelelahan,kesegaranfisikyangmenurun,danpenyakitsistemikjuga
pentingdalametiologisinusitis. Perubahanfaktorlingkungansepertiudaradingin,panas,
kelembapan, kekeringan dan polusi udara termasuk asap tembakau juga merupakan
predisposisiinfeksi. Faktorlokalyangjugadapatmerupakanpredisposisipenyakitsinus
antaralaindeformitastulang,alergi,keadaangigigeligi, bendaasing,tumor, polipnasi,
deviasiseptum,parutstenotikostiumsinus,konkahipertrofi1,rinolit.
Bakteri-bakteri penyebab sinusitis kronik antara lain Pneumokokus, Streptokokus,
Stafilokokus, Hemofilus influensa, kokus gram positif anaerob, Klebsiella, batang gram
negatif, Streptokokus pneumonia, Stafilokokus aureus, Branhamella katarrhalis,
Streptokokus hemolitikus, Mikrokokus katarrhalis, E.coli, Pseudomonas.
Berdasarkan hasil penelitian di Sumatra Utara kuman aerob yang paling banyak
menyebabkan sinusitis maksilaris kronis pada pemeriksaan kultur adalah streptokokus
pnemonis ( 45 % ), yang diikuti pseudomonas sp ( 20 % ), Streptokokus piogenes dan
Klebsiella pneumonia masing-masing 12,5 %.

VI. PATOFISIOLOGI
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa
hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi
imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya infeksi
akan menyebabkan edema konka, sehingga drenase sekret akan terganggu. Drenase
sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan seterusnya.

VII. GEJALA KLINIS


Gejala subyektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
1. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret dihidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip).
2. Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan
3. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbat tuba
Eustachius.
4. Adanya nyeri /sakit kepala.
5. Gejala mata, oleh karena perjalanan infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
6. Gejala saluran napas berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi
di paru, berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga
terjadi penyakit sinobronkitis.

7. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat


menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
Kadang- kadang gejala sangat ringan hanya terdapat sekret di nasofaring yang
mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang terus menerus akan mengakibatkan batuk
kronik.
Nyeri kepala pada sinusitis kronik biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,
tetapi mungkin karena malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan
sinus serta adanya stasis vena.
Gejala obyektif, pada sinusitis kronis, temuan pemeriksaan klinis tidak seberat
sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat
ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau superior. Pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorokan.
VIII. DIAGNOSIS
Dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
posterior serta pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi untuk sinus maksila dan,
pemeriksaan radiologik, pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus maksila, pemeriksaan
histopatologik dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan
meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-endoskopi dan
pemeriksaan CT-Scan.
Pemeriksaan Mikrobiologik
Biasanya merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti
kuman aerob S. aerus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Peptostreptokokus
dan fusaobakterium.
X. TERAPI
Pada sinusitis kronik perlu diberikan terapi antibiotika untuk mengatasi infeksinya
dan obat-obatan simtomatis lainnya. Antibiotika diberikan selama sekurang-kurangnya 2
minggu. Selain itu dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek selama 10 hari
di daerah sinus yang sakit.

Tindakan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan untuk membantu memperbaiki
drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis maksila dilakukan
pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis etmoid, sinusitis frontal atau sinisitis
sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus ini dilakukan 2
kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih
tetap banyak sekrer purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal
(perubahan irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.
Untuk mengetahui perubahan mukosa sinus masih reversible atau tidak, dapat
juga dilakukan dengan pemeriksaan sinoskopi, yaitu melihat antrum (sinus maksila)
secara langsung dengan menggunakan endoskop.
X.1 Pembedahan Radikal
Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi radikal yaitu mengangkat
mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus
maksila dilakukan operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan
etmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar
(ekstranasal).
Drenase sekret pada sinus frontal dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal)
operasi dari luar(ekstranasal), seperti pada operasi Killian. Drenase sinus sfenoid
dilakukan dalam hidung (intranasal).
X.2 Pembedahan Tidak Radikal
Akhir-akhir

ini

dikembangkan

metode

operasi

sinus

paranasl

dengan

menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).


Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang
menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan dranase sinus dapat
lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali
normal.
XI. KOMPLIKASI

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika.


Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik engan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah :
1. Osteomielitis dan abses subperiostal.
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan orbita.
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).
Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
sinusitis maksila. Penyebab infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses periostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi
trombosus sinus kavernosus.
3. Kelainan intrakranial.
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
4. Kelainan paru.
Seperti bronkitis kronik dan bronkiektaktasis. Adanya kelainan sinus
paranasal sisertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga timbul asma bronkial.

Você também pode gostar