Você está na página 1de 35

AUDIOVESTIBULOLOGI

By : MEX SUHARTO [2008]

Teknik Manual Audiometri

DEFINISI :
Audiologi adalah ilmu tentang pendengaran, meliputi :
1. Penilaian derajat pendengaran, dan
2. Rehabilitasi pendenderita dengan problem komunikasi akibat gangguan
pendengaran.
PENGENALAN AUDIOMETER
Audiometer terbagi menjadi:
1. Audiometer Skrening (fasilitas hanya AC intensitas per 20 dB)
2. Audometer klinik (fasilitas AC dan BC)
3. Audiometer diagnotik (fasilitas lengkap, AC, BC, Speech, Supra treshold)
Macam-macam Audiometer :
1.

Audiometer nada murni

2.

Play Audiometer

3.

Bekesy Audiometer

4.

Impedance Audiometer

5.

BERA

Audiometer terdiri dari beberapa komponen ; komponen amplifier, komponen ateunator,


ocilator, interuptor, masking, head phone, vibrator.
Amplifier

: Untuk penguat out put dari tape recorder.

Atenator

: Untuk memilih intensitas.

Ocilator

: Untuk memilih frekuensi.

Interuptor

: Untuk memberikan stimulus kepada pasien.

Masking

: Untuk memberikan suara desis, apabila ada gab.


1

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Macam masking :
1. NB Noise (untuk masking tutur).
2. White noise (untuk masking nada murni).
Head Phone : Warna merah untuk kanan, warna biru untuk kiri.
Vibrator

: Untuk tes bone conduction (BC) yang di letakkan di procesus


Mastoidius.

Untuk tes audiometri, disamping audiometer diperlukan sarana lain:


1. Stop Watch (untuk mengukur tes supra treshold : SISI TES, tone DECAY).
2. Sound Proof (kalibrasi 20 dB SPL, dengan lingkungan di luar dibawah 60 dB
SPL).
3. Tape recorder (untuk Speech Audiometri).
4. Kaset PB List Gajah Mada.
5. Spidol merah-biru (untuk Audiometer yang tidak dilengkapi sarana Print).
6. Formulir Audiogaram.
URUTAN MELAKUKAN TES AUDIOMETRI :
I. NADA MURNI
Terdiri dari ;
a. Air Conduction (AC) : tes pendengaran lewat udara (head phone)
Head phone merah = kanan
Head phone biru = kiri
Kode : AC kanan :

Masking :

AC kiri

Masking :

b. Bone Conduction (BC) : Tes pendengaran lewat tulang (Vibrator)


BC kanan

Masking :

BC kiri :

Masking :

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Keterangan gambar Audiogram


dB

Garis Horisontal untuk dB


0

Garis Vertikal untuk Frekuensi

10

Garis tebal pada 20 dB : batas normal

20

Antara 2 garis vertikal ada garis bayangan

30

untuk frekuensi oktav :

40

* 750 Hz (antara 500 & 1.000 Hz)

50

* 1500 Hz (antara 1.000 & 2.000 Hz)

60

* 3000 Hz (antara 2.000 & 4.000 Hz)

70

* 6000 Hz (antara 4.000 & 8.000 Hz)

80

Oktav diperlukan pada Audiogram yang curam

90

contohnya pada Audiogram Ototoxsic

100
Hz 125 250 500 1000 2000 4000 8000 10000

Teknik Manual Audiometri Nada Murni :


1) Dimulai dari telinga yang baik.
2) AC terlebih dahulu, baru BC.
3) Diawali dari 1.000 Hz (sebab frekuensi ini paling enak didengar) pada 40 dB,
kalau 40 dB tidak mendengar naikkan 20 dB menjadi 60 dB, kemudian turunkan
setiap 10 dB sampai tidak mendengar sama sekali kemudian naikkan 5 dB. Catat
di Audiogram.
Berikutnya 2.000 Hz, 4.000 Hz, 8.000 Hz, kembali ke 1.000 Hz, 500 Hz, 250 Hz.
4) Pemberian Stimulus secara interuptor, tidak monoton. Pemeriksaan telinga sehat
selesai.
5) Pindah ke telinga yang sakit.
6) Kalau AC 1.000 Hz pada telinga yang sakit ada gab lebih dari 40 dB, tes AC
dihentikan terlebih dahulu. Kita lakukan tes Weber menggunakan Vibrator dengan
maksud agar ada gambaran bahwa yang sakit SNHL / CHL.
Lateralisasi ke yang sehat : SNHL
Lateralisasi ke yang sakit : CHL
3

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

7) AC tertinggi : 100 Db.


8) Nilai ambang dicatat pada Audiogram sampai selesai pada semua frekuensi.
9) Kemudian kita lakukan tes BC, prosedur sama dengan di atas. Untuk BC hanya
500 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, 4.000 Hz.
BC tertinggi : 65 dB
10) BC harus lebih baik daripada AC karena BC langsung Kokhlea atau BC identik
dengan tuli SNHL.
11) Air Bone Gab lebih dari 40 dB adalah pemeriksaan yang salah (bisa salah pada
BC atau AC).
12) Pemasangan vibrator jangan menyentuh pina.
13) Pada Borneo Fenomena, BC pada 500 Hz dibawah AC, biasanya pada penderita
Presbycusis.
Masking
Apabila AC kanan dan kiri gab lebih 40 dB perlu dilakukan masking, dari AC
yang baik akan dirembetkan ke telinga yang sakit. Untuk menghindari ini, telinga yang
sehat kita beri suara masking. Kalau tidak dilakukan masking akan terbentuk gambaran
Audiogram palsu.
Apabila gab AC kanan dan kiri lebih dari 10 dB, untuk melakukan BC pada
telinga yang sakit perlu dilakukan masking. Atau setiap melakukan BC sebaiknya
menggunakan Masking.
Masking AC
250Hz
60dB

500Hz
50dB

1000Hz
40dB

Masking BC
2000Hz
40dB

4000Hz
40dB

250Hz
70dB

500Hz
60dB

1000Hz
50dB

2000Hz
45dB

4000Hz
40dB

Contoh Audiogram Nada Murni AC yang perlu menggunakan Masking :


Pada telinga yang sehat AC 1.000 Hz umpama 10 dB, pada telinga yang sakit 60
dB. Berarti ada gab 50 dB (melebihi 40 dB), hal seperti ini perlu dilakukan
masking.
4

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Cara melakukan Masking ;


1. Pada telinga yang sehat di 1.000 Hz diberikan Masking Nerobenoise (NBNoise)
sebesar 40 dB (tabel) + 10 dB (AC 1.000 Hz yang sehat) = 50 dB.
2. Apabila AC yang sakit setelah diberi Masking turun menjadi 70 dB maka Masking
ditambah 10 dB lagi, menjadi 60 dB.
3. Apabila setelah diberi Masking 60 dB, AC yang sakit menjadi 80 dB maka Masking
ditambah lagi 10 dB menjadi 70 dB.
4. Pada pemberian 70 dB tersebut AC yang sakit tetap pada 80 dB maka pemeriksaan
ini sudah benar yaitu 80 dB adalah hasil AC Masking.
Audiogram AC yang sakit hasil dari masking, kode menggunakan Masking.
Contoh Audiogram AC, Kanan dbn, kiri AC menggunakan masking ;
dB
0
10
20
30
40
50
60

I (+10 dB)

70

II (+10 dB)

80

III (+10 dB)

Hasil akhir AC kiri Masking

90
100
Hz 125 250 500 1000 2000 4000 8000 10000

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Interpretasi Audiogram Nada Murni


A. DBN (Dalam Batas Normal), apabila AC maupun BC diatas garis batas Normal
(dibawah 20 dB)
B. CHL (Conductive Hearing Loss), apabila BC dbn sedang AC di bawah garis normal,
Air Bone Gab tidak lebih 40 dB
C. SNHL (Sensori Neural Hearing Loss), apabila baik AC maupun BC sama-sama
dibawah garis normal, Air Bone Gab kurang dari 15 dB (berhimpit).
D. MHL (Mixed Hearing Loss), apabila baik AC mapun BC sama-sama di bawah garis
normal, Air Bone Gab lebih dari 15 dB
AUDIOGRAM NADA MURNI : DBN
dB
0
10
20
30
40
AC BC diatas garis normal
50
60
70
80
90
100
Hz 125 250 500 1000 2000 4000 8000 10000

AUDIOGRAM NADA MURNI : CHL


dB
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

BC DBN AC dibawah garis normal


Air Bone Gab < 40 dB

Hz 125

AUDIOGRAM NADA MURNI : SNHL


dB
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Air Bone Gab < 15 dB
90
100
Hz 125 250 500 1000 2000 4000 8000 10000

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

AUDIOGRAM NADA MURNI : MHL


dB
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

Air Bone Gab > 15 dB

Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Macam-macam Audiogram CHL


A.

Stifness (kekakuan)
Pada frekuensi rendah jelek kemudian menaik pada frekuensi yang lebih tinggi
(BC dbn, AC di bawah normal).

B.

Massa bertambah
Pada frekuensi rendah baik, pada frekuensi tinggi jelek.
(BC dbn, AC di bawah normal).

C.

Oss Chain putus


Pada AC turun di bawah normal pada semua frekuensi dengan dB yang sama
(mendatar).

D.

Otosklerosis ringan
BC dbn, AC dibawah garis normal, adanya fenomena Carharts Notch; yaitu adanya
takik di 2.000 Hz (pertemuan AC dan BC).

AUDIOGRAM NADA MURNI : Stefness


dB
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hz 125 250 500 1000 2000 4000 8000 10000

AUDIOGRAM NADA MURNI : Massa bertambah


dB
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hz 125

AUDIOGRAM NADA MURNI : Oss Chain putus

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

AUDIOGRAM NADA MURNI : Oto Sklerosis ringan

dB

dB

0
10
20
30
40
50

0
10
20
30
40
50

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]
60
70
80
90
100

60
70
80
90
100
Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

Macam-macam Audiogram SNHL


A. Otosklerosis berat
Gambaran Audiogram sama dengan Otosklerosis ringan pada CHL tetapi pada tipe
yang berat BC semua di bawah normal, fenomena Carharts Notch tetap muncul. Air
Bone Gab lebih dari 15 dB.
B. Presbycosis (Prof. DR. Soewito)
Adalah Penurunan ketajaman pendengaran yang tidak terjadi secara alamiah karena
usia lanjut tetapi terkontaminasi atau tercemari dengan faktor ototoksis lingkungan
baik internal maupun eksternal tubuh manusia.
Faktor eksternal di antaranya ; bising lingkungan (mikronoise), pola kehidupan
modern lebih berperan dibandingkan dengan faktor resiko internal seperti genetik,
hipertensi, dan penyakit vaskuler, dan diabetes militus.
Presbycosis dibagi menjadi;
1. Presbycosis sensorik :
Atrofi putaran basal sel corti dan saraf pendengaran.
Gambaran Audiogram : penurunan tajam frekuensi tinggi.
2. Presbycosis neural :
Atrofi neuron saraf pendengaran.
Gambaran Audiogram : pada SDS (Audiometri Tutur) terjadi penurunan
tanpa rekruitmen.
3. Presbycosis metabolik :
Atrofi Stria Vaskularis.
Gambaran Audiogram : tuli sensori neural datar (flat) dengan rekruitmen.
4. Presbycosis mekanik :
8

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Membrana Basilaris mengeras (kaku).


Gambaran Audiogram : kurva menurun

Kriteria gambaran klinis Presbycosis :


1. Usia antara 60 90 Tahun.
2. Tidak mempunyai penyakit serius.
3. Pemeriksaan Otoskopi dan rinoskopi tidak ada kelainan.
4. Gambaran Audiogram : Tuli SNHL dengan penurunan pada nada tinggi
secara landai, tidak lebih dari 10 15 dB per oktaf.
5. Audiogram semetris kanan kiri (bilateral), perbedaan tidak lebih dari 15 dB.
6. Rata-rata penurunan ketajaman frekuensi 500 1.000 2.000 Hz antara 10
60 dB.
C. Trauma Akustik
Terjadi akibat makrotrauma yang menimbulkan gegar labyrinth.
Kerusakan pada trauma akustik organ telinga berupa SNHL atau MHL oleh karena
bising keras atau sangat besar (biasanya berupa letusan/ledakan) sekali atau
beberapa kali.
Secara histologis kejadian di atas dapat diutarakan sebagai berikut ;
Kerusakan Kokhlea berupa robekan pada sel penunjang, terkoyaknya, selsel sensorik bersilia dalam dan luar, terlepasnya lamina basilaris dari
dasarnya, atau campuran dari keadaan di atas. Bila bising sangat keras
dapat mengakibatkan dislokasi oscicula auditiva dan robekan membrana
timpani.
Karena energi suara terlalu cepat hingga melebihi batas ambang (40-160 mS) maka
belum sampai reflek akustik trauma akustik tersebut langsung mengenai kokhlea
bagian basis oleh sebab itu kerusakan ada di 4.000 Hz.
D. Noise Induced (DR. RM Tedjo Oedono)
9

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Adalah kebisingan yang bisa berupa subyektif maupun obyektif.


Kebisingan subyektif adalah kebisingan yang tidak disukai atau tidak diharapkan
seseorang.
Kebisingan obyektif adalah bising terdiri dari getaran kompleks, dalam arti
beragam frekuensi dan intensitas,baik yang sifat getarannya tidak periodik (bising
lalu lintas, keramaian, musik), maupun getaran yang periodik (mesin pabrik).
Pengaruh bising ;
1. Efek pada pendengaran dengan timbulnya trauma bising (Noise Induced
Hearing Loss).
2. Gangguan komunikasi antar 2 orang yang disebut Speech Interfrence Level
(SIL).

Faktor-faktor yang menimbulkan trauma bising ;


1. Kerentanan individu
2. Lamanya telinga terpajan bising dalam perhari
3. Intensitas bising
4. Spektrum frekuensi bising
5. Sifat bising
6. Keberadaan bising
Patogenesis Trauma Bising :
1. Adalah trauma bising akibat akumulasi tahap demi tahap mikro trauma
mekanik.
2. Pengaruh sedikit demi sedikit perubahan biokamia berupa akumulasi proses
kelelahan pada metabolisme taraf sitokimia dan enzimatik.
Hal ini karena penghantaran suara mulai dari skala media sampai
nervus cokhlearis memerlukan energi yang dihasilkan oleh proses
metabolisme intraseluler, semakin keras bising semakin banyak energi yang

10

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

diperlukan atau dengan kata lain semakin banyak oksigen dan glukosa yang
dibutuhkan.

Gejala klinis :
1. Mengeluh setelah mendapat kebisingan selama 5 tahun.
2. Penderita kalau bicara cukup keras, menghidupkan radio, kaset selalu keras.
3. Tinitus.
4. Pada yang hobi musik tidak bisa membedakan 2 frekuensi nada.
5. Pada Audiogram mempunyai bentuk khusus yaitu C5-Dip atau ToehanC5
pada 4.000 Hz.
Macam-macam kebisingan :
a)

Kebisingan Infrasonik dengan gejala adanya penurunan


Audiogram antara 15 20 dB pada keadaan sebelum dan sesudah di
lingkungan bising.

b)

Kebisingan Ultrasonik, kebisingan ini lebih berbahaya


karena kebisingan ini dapat mudah menjalar ke tulang tengkorak.

Tabel Kalkulasi Kesetaraan Resiko Pajanan Bising sesuai dengan Hukum 5-dB
untuk Steady State Noise
HCP
PEL
Lama Pajanan/hari
80
85
16
85
90
8
88
93
6
90
95
4
93
98
3
95
100
2
98
103
1,5
100
105
1
105
110
0,5
110
115
0,25
HCP Hearing Conservation Progam, PEL = Permissible Exposure Level
11

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Tuli akibat kebisingan yang melebihi ambang batas secara terus-menerus (lebih 5
tahun)
Biasanya yang lebih dahulu curiga akan ketulian ini adalah dari pihak orang lain,
sedang yang bersangkutan hanya mengeluh Tinitus frekuensi tinggi.
Gambaran Audiogram pada awal Noise Enduced ada penurunan di 4.000 dan 8.000
Hz. Bila kebisingan melebihi 5 tahun biasanya sudah ada penurunan juga di 2.000
Hz.
E.

Akustik Neuroma (tumor otak)


Pada gambaran Audiogram terlihat dbn, tetapi pada speech Audiometri SDS
hanya mencapai 20 %, jadi penderita hanya mampu mendengar nada murni tapi
tidak mampu mendegarkan kata-kata sosial.
Gejala lain pada Akustik Neuroma adalah adanya vertigo sentral terutama di
spontan Nistagmus.

F.

Meniere Disease
Adalah tuli SNHL yang disertai Vertigo dan Tinitus.
Gambaran pada Audiogram pada frekuensi rendah jelek kemudian frekuensi
berikutnya membaik.
Pada Miniare Disease disamping dilakukan Vestibulometri juga dilakukan Tes
Gliserol.
Gliserol Tes pada penyakit meniere :
Tujuan : membedakan reversibel / ireversibel

hidrop indolimf untuk

menentukan prognosis dan terapi.


Manfaat : membantu menegakkan diagnosis dan mengevaluasi penyakit
meniere.
Cara kerja : penderita diminta datang pagi pada keadaan puasa, kemudian dibut
Audiogram nada murni sebagai pretes. Segera diberi minuman
cairan yang terdiri dari ; gliserol 95% sebanyak 1,2 cc/Kg berat
12

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

badan dan garam fisiolosis dengan volume yang sama, sebagai


penyedap diberi beberapa aroma jeruk. Kemudian 2 jam sesudah
minum dibuat Audiogram sebagai Post Tes. Audiometer dan
petugas yang melakukan tes awal sampai akhir adalah sama.
Kriteria positif :
Menurut Klockhnof dan Lindolom : Peningkatan 5 dB nilai ambang ratarata pada frekuensi 250 500 1.000
Hz.
Menurut Angelborg : Peningkatan 10 dB minimal pada 2 frekuensi 250
1.000 Hz disertai peningkatan speech disrimination
14 %.
Menurut Shyder : Peningkatan 15 dB pada salah satu frekuensi 250 8.000
Hz dan atau peningkatan speech disrimination 12 %
Efek samping : Nyeri kepala ringan sedang, rasa mual ringan, dapat sampai
muntah-muntah. Keluhan tersebut maksimal terjadi pada satu
jam sesudah minum dan menghilang sesudah 2 (dua) jam.
H.

Konginental
Adalah tuli SNHL karena faktor keturunan.

I.

Ototoxic
Adalah SNHL karena pemberian obat-obatan Kanamycin, Streptomycin, Kina,dll.
Dengan gambaran Audiogram yang ada penurunan tajam dimulai dari 2000 Hz di
sertai vertigo hebat dan tinitus.
SNHL : Otosklerosis Berat

SNHL : Presbycosis

dB

dB

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90

13

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]
100

100
Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

Hz 125

SNHL : Trauma Akustik

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

SNHL : Noise Induced

dB

dB

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

Hz 125

Speech Audiometri
Akustik Neuroma

SNHL : Akustik Neuroma


dB

% 100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
dB

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

10 20

30 40

50 60 70

80 90 100 110

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

SNHL : Meniere Disease

SNHL : Konginental

dB

dB

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

Hz 125

SNHL : Ototoxic
dB
0
10
20
30
40
50
60

14

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]
70
80
90
100
Hz 125

250 500 1000 2000 4000 8000 10000

TEKNIK MANUAL AUDIOMETER AMPLAID 300

A. Nada Murni AC
1.

CH. Amplifier Ext Gain : Tape on, Lain-lain Off, vol monitor off, monitor selector
posisi CH1 out put. On/Off switch posisi off.
Channel Satu ( CH1 )
Modulation increment posisi 1dB, CH1 out put posisi R/L. Pulse rate posisi
off semua, signal mode continua on lain-lain off. CH 1 frequency 1000 Hz,
CH1 HTL.0 dB, CH1 input pada OSC CH1, manual interuptor posisi normal,
slide for selecting R/L posisi phone.
Channel Dua ( CH2 )
CH2 out posisi kebalikan CH1 out put, modulation increment posisi 1dB, CH 2
HTL 0 dB, CH2 frequency posisi 1000 Hz, reverse posisi continua, CH 2 input
posisi NB noise.

2. AUDIOMETER Dihidupkan
3. CH1 HTL 40 db interuptor terputus-putus. dB diturunkan setiap 10 dB hingga
tidak ada respon,

kemudian

naikkan 5dB, bila ada respon, itulah ambang

nada murni 1000 Hz, catat di AUDIOGRAM.


4. Pindah dari 1000 Hz ke 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, 1000 Hz, 500 Hz, 250 Hz.
Adapun dB yang disajikan berpatokan pada nilai ambang frequency sebelumnya.
5. Apabila menjumpai Gap yang dratis dari kedua frequency yang berurutan, maka
harus lewat

frequency

setengah oktaf (750 Hz, 1500 Hz, 3000 Hz, 6000 Hz ).

6. Apabila salah satu frequency hingga 100 dB tidak ada respon, maka diberi kode
7. Bila menjumpai Gap AC, R dan AC, L lebih dari 40 dB, maka lakukan tes weber
lewat Vibrator BC

(lateralisasi ke yang baik curiga yang dikeluhkan SNHL.


15

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Laterasi ke yang sakit curiga yang sakit CHL ) Ini hanya

untuk

gambaran

sesuai tidak dengan anamnese.


8. Tindak lebih lanjut untuk kasus seperti ini adalah dilakukan Masking
menggunakan NB Noise.
Masking AC
250Hz
60dB

500Hz
50dB

1000Hz
40dB

Masking BC
2000Hz
40dB

4000Hz
40dB

250Hz
70dB

500Hz
60dB

1000Hz
50dB

2000Hz
45dB

4000Hz
40dB

Nilai ambang AC yang baik + rumus masking. Kalau dB sebelum dimasking dan
sesudah dimasking tetap, maka sudah benar.
Tetapi bila dB semula berubah/hilang setelah dimasking, maka dB CH 1
HTL dinaikkan 10dB, bila masking

dinaikkan 10dB nada murni hilang lagi,

maka dB CH1 HTL naikkan 10 dB lagi, hingga didapatkan hasil yang akurat
(waspada dengan shadow curve).
9. Kode : AC kanan :
AC kiri

Masking :
:

Masking :

10. Masing-masing frequency dihubungkan garis lurus sesuai warna AC.


11. AC melebihi 60 dB curiga SNHL.

B. NADA MURNI BC
Teknik manual sama dengan AC, hanya 8000 Hz dan 250 Hz tidak dilakukan.
Code BC AS

masking

BC AD

masking

Untuk masking BC.


Bila Gap kedua AC lebih dari 10 dB maka harus dimasking. Adapun patokan
masking lihat

tabel masking BC.

BC harus di atas AC atau berhimpit kecuali pada borneo fenomena


(presbycusis) 500 Hz BC di bawah AC. Atau posisi BC tidak benar (yang benar
pada prosesus mastoideus).
16

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

BC tidak lebih dari 60 dB.


Untuk BC garis penghubung antar frequency berupa garis terputus-putus.
C. AUDIOMETRI TUTUR

Channel Amplifier

: Ext gain yang digunakan tombal tape.

Tombol Talk-Back

: untuk volume mic pasien.

Tombol monitor

: untuk operator.

Channel 1 Input

: pada posisi Ext

Channel Interuptor : posisi Continue (naik ke atas)=Reverse.


Channel 1 HTL

: 0 (nol) dB.

Tombol phone RL

: posisi naik.

Channel 2 Interuptor (Reverse): posisi naik.


Channel 2 Input

: posisi pink noise.

Channel 2 HTL

: 0 (nol) dB.

Kaset PB List Bisilabik : dihidupkan hingga ada suara/nada tiiiiiiiiit sambil


tombol Ext gain diputar ke kanan hingga jarum
Voltmeter pada posisi 0 (nol).
Langkah pertama mencari SRT ( untuk lebih memudahkan rata-rata 500 1.000
2.000 Hz adalah sama dengan nilai SRT) sambil mengoreksi respon pasien
dengan tabel PB List Gajah Mada (satu deret dua puluh kata, per kata harganya
5%). Berikutnya mencari nilai SDS menggunakan kaset monosilabik atau kirakira 20 sampai 30 dB di atas SRT (untuk tuli CHL).
Garis diagram Audiometri Tutur, kanan : warna merah, kiri : warna biru.

D. TES SUPRA TRESHOLD

1. S.I.S.I. Tes adalah 20 dB di atas nilai ambang 1.000 dan 4.000 Hz disajikan
nada murni continue yang setiap 5 detik ada kenaikan 1 dB.
17

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

1.000 Hz
NA

1 dB

1 dB

+ 20 dB
4.000 Hz
Sisi tes dikerjakan pada Audiogram SNHL atau MHL dengan Audiometri
Tutur, SDS tidak bisa mencapai 100 % baik ada roll over maupun tidak.
Apabila selama 2 menit (20 kali) bisa mendengar kenaikan 1 dB maka hasil
100%.
Audiometer Amplaid 300 :
Channel (Ch) 1 Ocilator pada posisi 1.000 / 4.000 Hz
Ch 1 HTL : nilai ambang 1.000 / 4.000 Hz + 20 dB
Ch 1 + dB Vernier Cont mode : tombol diputar ke angka 4 dB jika ada
respon dari pasien (nada naik) tombol diturunkan dari 4 dB 3 dB 2
dB 1 dB. Pada 1 dB ini disajikan selama 20 kali.
Signal Mode ditekan pada posisi sisi
Pulse Rate ditekan pada angka 2 (dua).
Kemudian hasil dicatat pada formulir Audiogram.

2. Tone Decay :
Tes ini dilakukan pada Audiometri Nada Murni SNHL atau MHL dengan
Audiometri Tutur gambaran SNHL tipe Kokhlea atau Retro Kokhlea.
Tone Decay untuk mencari kelainan di N.VIII (kelelahan).
Disajikan Nada Murni Continue 10 dB di atas NA 1.000 / 4.000 Hz selama 1
(satu) menit. Apabila pada detik tertentu Nada Murni hilang, dB kita naikkan 5
dB sehingga pasien mendengar nada continue tersebut. Dalam satu menit
dihitung berapa kali suara tersebut hilang (contoh : 5 kali hilang berarti Tone
Decay 5 x 5 = 25 dB).
Interpretasi : 0 15 dB
15 ke atas

kelainan ada pada Kokhlea


kelainan pada Retro Kokhlea

Catat Tone Decay pada formulir Audiogram.


18

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Audiometer Amplaid 300 (semua Audiometer bisa untuk tes Tone Decay)
Ch 1 Oscilator :1.000 Hz / 4.000 Hz
Ch 1 HTL : Nilai ambang nada murni 1.000 / 4.000 Hz + 5 dB
Ch Interuptor pada posisi cotinue
Perhatikan lampu menyala tanda respon pasien
3. A.B.L.B. tes (Alteurnator binaural logness balance)
Tes ini harus menggunakan Audiometer Diagnotik yang stereo. Untuk
Audiometer Maico 21, Maico 42, Peters 771, Kamplek ini semua tidak bisa
untuk tes A.B.L.B. karena Audiometer mono.
Indikasi tes A.B.L.B. adalah SNHL Kokhlea satu telinga. Telinga yang normal
sebagai pembanding. Tes ini disajikan nada murni 1.000 4.000 Hz.
Interpretasi : Recruitmen positif apabila gambaran A.B.L.B. pada telinga yang
sakit ke telinga yang sehat tidak membentuk garis sejajar.
Berarti kelainan ada di Kokhlea.
Rekritmen negatif apabila gambaran A.B.L.B membentuk garis
jajaran genjang.
1.000 Hz

AD
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
dB

1.000 Hz

1.000 Hz

AS
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
dB

AD
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
dB

1.000 Hz

Keterangan Gambar ;
A : A.B.L.B. rekruitmen positif, SNHL tipe Kokhlea kiri
B : A.B.L.B rekruitmen negatif, SNHL tipe Retro kokhlea
19

AS
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
dB

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Audiometer Amplaid 300 :


- Ch 1 Ocilator 1.000 Hz untuk telinga kanan
- Ch 2 Ocilator 1.000 Hz untuk telinga kiri
- Ch 1 HTL (kanan) : 10 dB
- Ch 2 HTL (kiri) : 30 dB
- Reverse pada posisi turun (baik pada telinga kanan maupun kiri)
- Manual Interuptor pada posisi bawah
- Perhatikan respon pasien apabila ada nada murni interuptor acungkan
jari. (Apabila kedua telinga kanan kiri intensitas yang sama)

20

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

II. SPEECH AUDIOMETRI

Speech Audiometri (Audiometri Tutur) adalah tes pendengaran dengan


menirukan kata-kata. Adapun kaset/CD yang digunakan PB. LIST GAJAH MADA
(Phonetically Balance). Kaset ada dua macam:
1. Mono Silabik (satu suku kata)
2. Bisilabik (dua suku kata)
Pada tes audiometri tutur terbagi menjadi 3 point:
1. N.A.T (Nilai Ambang Tutur) adalah tes dengan menyajikan kata-kata bisilabik
dengan intensitas paling rendah hingga pasien mendengar tapi tidak tahu
artinya
2. S.R.T (Speech Reseption Treshold) adalah kemampuan 50% menirukan katakata bisilabik atau untuk memudahkan, S.R.T bisa menggunakan rata-rata 500
Hz 1000 Hz 2000Hz
3. S.D.S (Speech Discrimination Score) adalah kemampuan maksimal dari
penyajian kata-kata mono silabik
Speech Audiometri
% 100
90
80
70
60
50
40
30
20
10

SDS
SRT

Cara membaca Audiogram tersebut ;


* Pasien dapat mendengar tetapi tidak tahu artinya
pada 20 dB (NAT).
* Dapat menirukan 50 % kata-kata bisilabik pada 35 dB
(SRT).
* Dapat menirukan maksimal kata-kata monosilabik pada 50 dB (SDS)

NAT

21

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]
0
dB

10 20

30

40

50 60 70

80 90 100 110

Interpretasi Audiometri Tutur


1. dbn, apabila SDS persis di garis hitam 40 dB atau di sebelah kirinya dan bisa
100%.
Apabila dikros cek dengan hasil Audiogram nada murni maka Audiogram tersebut
ada di bawah 20 dB pada semua frekuensi.
2. CHL, apabila SDS menggeser ke kanan melegibi garis hitam batas normal tetapi
masih bisa 100% (ringan, sedang, berat).
3. SNHL Kokhlea, apabila SDS tidak bisa mencapai 100% tetapi tidak ada Roll
Over.
Apabila dikros cekkan dengan Audiogram maka gambaran Audiogram di SNHL
Kokhlea.
4. SNHL Retro Kokhlea, apabila SDS tidak bisa mencapai 100 % dan ada fenomena
Roll Over.
Speech Audiometri
1
% 100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
dB

Keterangan gambar :

6
10 20

30

40

50 60 70

80 90 100 110

22

1 = DBN
2 = CHL ringan
3 = CHL sedang
4 = CHL berat
5 = SNHL tipe kokhlea
6 = SNHL tipe Retro Kokhlea

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

VESTIBULOLOGI
(Ilmu Terapan Tes Keseimbangan)
Tes keseimbangan di lakukan di Klinik THT untuk mencari kelainan keseimbangan
tubuh, terutama pada yang lesi Perifer.
Ketentuan Tes Keseimbangan Di Klinik THT:
1.

Membrana Timpani utuh tidak perporasi, tidak OMA

2.

Tidak

di

ketemukan

tanda-tanda

NISTAGMUS

SPONTAN yang tipe rotari atau semi rotari atau vertikal (Nistagmus Patologis).
3.

Tidak mempunyai penyakit Epilepsi.

4.

K.U penderita tidak lemah, bisa duduk dan berdiri,


tidak terpasang infus.

5.

Bebas obat-obat anti Vertigo dan anti Histamin


(Mereslon, Mertigo, Dramamine, Obat-obat Flu yang di jual bebas di pasaran,
Valium, dll). Selama satu minggu sebelum tes dilakukan.

6.

Persiapan tes keseimbangan, Pasien dari malam hari


puasa hingga pagi menjelang di lakukan tes. Hal ini dengan maksud mengurangi
gejala mual, muntah selama dilakukan tes keseimbangan.

7.

Tes diakukan pagi hari dengan maksud agar setelah tes


waktu bisa istirahat lama.

Macam-Macam Tes Keseimbangan:


A. Romberg Tes.
23

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

B. Babinski Tes.
C. Barani Tes.
D. Posisi Hallpike Tes.
E. Nistagmus Provokasi :
1> Kobrak Tes.
2> Kalori Metri.
3> Elektro Nistagmogarafi (E.N.G.).

A. Romberg Tes ( untuk Vertigo Sentral)


1.

Mata tertutup, kedua tangan di anggkat (Horisontal),


posisi berdiri,satu kaki diangkat.

2.

Mata

Tertutup

(Pejam)

kedua

tangan

diangkat

(Horisontal) Kedua kaki berdiri dalam satu garis dan berimpit antara tungkai dan
jempol kaki.
3.

Mata pejam, kedua tangan diangkat horisontal kedua


telapak kaki posisi biasa / berimpit.

4.

Mata pejam, kedua tangan lurus ke bawah, kedua


telapak kaki berimpit.

INTERPRETASI ROMBERG TES :

Normal : Apabila jumlah waktu (detik) kemampuan ke empat gerakan


tersebut

sesuai ketentuan.

Kelainan Vertigo Sentral : Apabila jumlah waktu (detik) kemampuan


gerakan ke empat tersebut dibawah normal.
Apabila gerakan no.1 bisa dilakukan selama satu menit (60 detik) maka
gerakan kedua, ke tiga, ke empat dianggap bisa. Jadi nilai
=240 detik.

24

tes = 60 x 4

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Apabila gerakan pertama hanya mampu 10 detik kemudian gerakan ke dua


mampu 60 detik maka gerakan ke tiga dan ke empat dianggap bisa, jadi
nilainya 10 + (60 x 3) = 190 detik.
Begitu juga seterusnya gerakan ke tiga dan ke empat.

Harga normal sesuai katagori umur ( Dr. Dullah Aritomoyo) :

20 th 30 th = 161 detik

31 th 40 th = 104 detik

41 th 45 th = 68 detik

46 th 50 th = 48 detik

50 th ke atas = 28 detik
Untuk kelainan Vertigo Sentral, Romberg Tes akan jatuh kearah Lesi, nilai
di bawah standar katagori di atas.

B. Babinski Tes :
Berjalan lurus ke depan dengan mata tertutup sebanyak 5 langkah per 30
detik, kemudian cepat berbalik.
Kalau ini di kerjakan beberapa kali maka jalannya kalau di lihat dari atas
seperti bintang, hal ini bagi yang kelainan Vertigo sentral (MARCHE EN ETOILE)
C. Barany Tes
Penderita duduk di dingklik (kursi tanpa sandaran) denga mata tertutup, di
suruh menunjuk sesuatu sebanyak 20 kali.
Modifikasinya :
o Penderita duduk di dingklik dengan mata tertutup di suruh mempertemukan
telunjuk tangan kanan dan kiri dengan terlentang.
o Penderita duduk di dingklik dengan mata tertutup disuruh anggat lengan
kanan dan kiri secara bergantian
Pada penderita yang normal akan mampu melakukan tes ini dengan benar.
25

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

D. Tes Posisi Hallpike


1.a. Penderita duduk di tempat tidur dengan posisi sedakep, kemudian kepala kita
gerakkan ekstensi cepat. Di lihat Nistagmusnya.
b. Dari gerakan pertama dengan gerakan cepat kembali duduk, perhatikan gerakan
Nistagmusnya.
2.a. Penderita duduk di tempat tidur, dengan posisi sedakep, kepala kita garakkan
ke kiri cepat dilakukan dengan gerakan ekstensi, perhatikan gerakan
Nistagmusnya.
b. Kembali duduk, posisi kepala tetap tengok ke kiri, perhatikan gerakan
Nistakmusnya.
3.

Sama dengan gerakan ke dua hanya bedanya tengok ke kanan.

Interpretasi Tes Hallpike


1.

Normal : Apabila tidak ada Nistagmus.

2.

Perifer : Ada Nistagmus horisontal kurang dari 15


detik (apabila Nistagmus
ada di kiri maka Lesi Perifer kiri).

3.

Sentral

: Apabila ada Nistagmus rotari / semi

rotari / vertikal, dan berubahubah arah dan tidak ada gejala Kardio Vaskuler.
E. Nistakmus Profokasi
1.

Kobrak Tes :
Perangsangan dilakukan dengan mengalirkan air es sebanyak 5 cc selama
20 detik. Nilai di hitung dengan menghitung lamanya Nistagmus sejak irigasi di
mulai sampai Nistagmus berhenti. Nilai normal apabila 120 - 150 detik. Kurang
dari 120 detik disebut Parisis Kanal.
26

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

2.

Kalorimetri :
Tes irigasi telinga menggunakan air dingin / hangat, sebanyak 250 hingga
400 cc per telinga, dengan suhu 70C di atas / di bawah suhu tubuh normal ( 300
C/440C ). Posisi penderita duduk dengan posisi kepala 45 0 , posisi irigator 1
meter diatas kepala. Pemberian irigasi diberi waktu senggang 5 menit untuk
istirahat. Mulai timbul Nistagmus hingga selesai di ukur dan di catat pada rumus
dibawah ini:
1. ki

300 C

2. ka

300 C

3. ki

440 C

4. ka

440 C

E.L. (Excitability Labirin) = (1+3) (1+4)

Interpretasi Kalorimetri
Contoh:
1. ki

300 C

70

2. ka

300 C

150

3. ki

440 C

75

4. ka

440 C

145

E.L. = (1+3) (1+4) = (70+75) (150+145)


= 145-295 = 150

27

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

EL = 150 detik, jumlah ini ini lebih dari 40 detik, apabila melebihi 40
detik maka ada kelainan. Di keseimbangan tubuh. Dari kedua jumlah kanan dan
kiri, yang sedikit, adalah yang Lesi. Jadi contoh tsb diatas : Lesi Perifer
vestibularis kiri ( 145 - 295 )
ki

ka

Setiap di ketemukan hasil min(-) dan melebihi 40 detik maka kelainan ada
di vestibularis kiri.

Protokol Kalorimetri (Dr. Bulan Trisna Djelantik Sp. THT)


Irigasi dengan air dingin dapat mengawali arus konveksi endolim yang
menimbulkan suatu aliran indolim dan suatu perubahan yang berhubungan dari
kapula ke ultrikula. Ketidak keseimbangan neural yang terjadi antara sisi yang
dirangsang dengan sisi yang tidak di rangsang akan menghasilkan: suatu
niktakmus dengan fase lambat ke arah sisi yang dirangsang dan fase cepat ke
arah sisi yang tidak di rangsang. Irigasi hangat menghasilkan efek sebaliknya.
Kunci untuk mengingatnya adalah C.O.W.S. (COLD OPPOSITE WARM
SAME)
Nystagmus kalorik mengikuti pola umum. Pada mulanya akan
menimbulkan fase lambat, akibat perubahan suhu yang diikuti oleh suatu
periode puncak, kemudian fase lambat berkurang dan akhirnya hilang. Output
puncak Nystagmus timbul dalam 20 sampai 70 detik setelah awal aliran
endolim. Kecepatan rata-rata fase lambat sebanding antara telinga kanan dan
telinga kiri. Perbedaan nilai kanan dan kiri yang lebih besar 20% dianggap
patologis. Pada orang normal, perbedaan kalorik kanan kiri jarang melebihi 5
sampai 7 %.
INTERPRETASI HASIL ;
1. Parisis saluran yang lengkap biasanya periferal (mungkin Neuroma
akustik). Parisis Bilateral biasanya jarang periferal.
2. Lesi perifer tidak menimbulkan ATAXIA.
28

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

3. Pengurangan Nystagmus dengan FIXASI VISUAL.


4. Kelemahan unilateral >20%.
5. Gejala subjektif sesuai dengan keluhan.
6. Arah Nystagmus dapat berubah dengan posisi kepala tetapi tidak
bersifat bebas.
LESI SENTRAL ;
1. Nystagmus posisional tidak melelahkan, walaupun dilakukan berulangulang.
2. Nystagmus timbul atau meningkat dengan Fiksasi Visual.
3. Nystagmus Posisional tidak disertai dengan kelemahan vestibuler.
4. Arah Nystagmus dapat berubah-ubah bebas sesuai posisi kepala.

3.

E.N.G. (Elektro NystagmuGrafi)


Dalam E.N.G. gerakan mata dipantau. Prinsipnya ialah, kornea mata
bermuatan positif. Muatan ini mengimbas kulit di sekitar mata. Diletakkan
elektroda pada kulit di sekitar mata kanan dan kiri, kemudian tegangan listrik
dialirkan dan diperbesar, sehingga dapat menggerakkan tuas yang memberi
bekas pada kertas, sehingga didapatkan gambaran gerakan bola mata.
Dari grafik gerakan bola mata dapat dihitung kecepatan gerak bola mata.
Kecepatan komponen lambat dari Nystagmus merupakan parameter penting
dalam menentukan aktivitas vestibuler.
Parameter lain yang diperoleh dari rekaman grafik E.N.G. ini ialah
frekwensi, bentuk grafik dan lama Nystagmus. Keistimewaan dari E.N.G ini
adalah pemeriksaan lebih teliti, gerakan mata dapat dipantau baik dalam
keadaan tertutup maupun dalam keadaan terbuka.
Posisi pasien lain dengan posisi kalorimetri manual. Pada E.N.G., pasien
tidur, posisi kepala miring 300. Jumlah air profokasi hanya 30 cc, dialirkan ke
telinga dengan Blass Spuet. Pada kedua dahi ditempeli elektroda untuk
29

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

menerima stimulus dan satu elektroda lagi di belakang telinga sebagai ground.
Adapun ketentuan untuk tes ini sama dengan tes kalorimetri manual.
Setelah telinga dialiri air dingin/hangat, lewat elektroda tersebut akan
tergambar grafik seperti E.K.G. Di grafik tersebut terbagi 3 segmen, yang
masing-masing 30detik (30 detik, 60 detik, 90 detik). Per30detik dicari dari
banyak grafik yang tergambar yang sama dan sejajar, kemudian ditarik garis
lurus. Pada kedua garis lurus tersebut dibuat segitiga siku-siku, di garis tegak
lurus tersebut diukur berapa milimeter panjangnya, kemudian dicatat.
Contoh Hasil tes kalorimetri E.N.G.
Stimulus

Setelah Irigasi
60 detik
90 detik
8
7
9
5
11
7
23
17

30 detik
5
7
6
8

Ka. 30 C
Ka. 440 C
Ki. 300 C
Ki. 440 C

LATERAL WEAKNESS
Ka. 300 C
0

Ki. 44 C
Ka. 300 C
0

Ki. 44 C

36%

64%
100%

E.L. (Exctability Labirin) = 28%


Keterangan 36% dan 64% ;
Kanan dingin + kanan hangat per jumlah keseluruhan ;
30
13,66
24,00
X 100% = 36%
X 100% = 64%
37,66
37,66

Rata-rata
6,66
7,00
8,00
16,00
37,66

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Jadi hasil E.N.G. tersebut, E.L. = 28% (lebih besar 20%)


Pada Lateral weakness, jumlah yang sedikit adalah kanan, maka Lesi di
Vestibularis Perifer kanan.

GAMBARAN KELAINAN PATOLOGIS PADA NYSTAGMUS SPONTAN


(PROF. DR. HERRY SOEPARDJO SP. THT - KL)
Melihat lurus ke depan
Tak ada Ni.

Ada Ni.

Tutup mata
Tak ada Ni.
Normal

Tutup mata
Ada Ni.

Kelainan perofer
31

Tak ada Ni.

Ada Ni.

Kelainan sentral

Sentral/perifer

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

KELUMPUHAN NERVUS FASIAL


(H. Sjarifuddin)

Kelumpuhan Nervus Fasial (nervus VII) merupakan kelumpuhan otot-otot wajah. Pasien tidak
dapat atau kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga tampak wajah pasien tidak simetris.
Dalam menggerakkan otot ketika menggembungkan pipi dan mengerenyutkan dahi tampak sekali
wajah pasien tidak simetris. Kelumpuhan Nervus Fasial ini merupakan gejala, sehingga harus
ditentukan penyebab dan derajat kelumpuhannya dengan pemeriksaan tertentu untuk menentukan
prognosisnya. Penanganan pasien dengan kelumpuhan nervus parsial secara dini, baik operatif maupun
secara konservatif akan menentukan keberhasilan dalam pengobatan.
ANATOMI
Nervus Fasial merupakan saraf yang terpanjang, berjalan di dalam tulang, sehingga sebagian
besar kelainan nervus fasial terletak di dalam tulang temporal.
Nerves Fasial terdiri dari 3 komponen ; komponen motoris, sensoris, dan parasimpatis.
1. Komponen Motoris mensarafi otot wajah, kecuali M.Levator Palpebra Superior, selain otot
wajah Nerves Fasial juga mensarafi M. Stapedius dan Venter Posterior M. Digastrikus.
2. Komponen Sensoris mensarafi 2/3 anterior lidah untuk mengecap, melalui N. Kordatimpani.
3. Komponen Parasimpatis memberikan persarafan pada Glandula Lakrimalis, Glandula
Submandibula dan Glandula Lingualis.
Nerves fasial mempunyai 2 inti, yaitu ; inti superior dan inti inferior. Inti Superior mendapat
persarafan dari korteks motor secara bilateral, sedangkan inti inferior hanya mendapat persarafan dari
satu sisi. Serabut dari kedua inti berjalan mengelilingi inti(Nukleus)Nervus Abdusen (N. VI). Kemudian
meninggalkan pons bersama-sama dengan nervus VIII (Nervus Kokhlea) dan Nervus Intermedius
(Whrisberg), masuk ke dalam tulang temporal melalui porus akustikus interus. Setelah masuk ke
dalam tulang temporal, N.VII (Nervus Fasial) akan berjalan dalam suatu saluran tulang yang disebut
Kanal Fallopi.
Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, N.VII dibagi dalam 3 segmen, yaitu ;
1. Segmen Labirin, terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion genikulatum.
Panjang segmen ini 2 sampai 4 milimeter.
2. Segmen Timpani (Segmen Vertikal), terletak antara bagian distal ganglion genikulatum dan
berjalan ke arah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap oval (Fenistra
32

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

Ovalis) dan Stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis
horisontal. Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter.
3. Segmen Mastoid (Segmen Vertikal), mulai dari dinding medial dan superior Kavum
Timpani. Perubahan posisi dari segmen timpani menjadi segmen mastoid, disebut Segmen
Piramidal atau Genu Eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari N.VII,
sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah
Kaudal menuju Foramen Stilomastoid. Panjang Segmen ini 15-20 milimeter.
Setelah keluar dari tulang mastoid, N.VII menuju ke Glandula Parotis dan membagi diri untuk
mensarafi otot-otot wajah.
Di dalam tulang temporal N. VII memberikan 3 cabang penting, yaitu ;
1.

Nervus Petrosus Superior Mayor yang keluar dari ganglion Genikulatum dan
memberikan rangsang untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis.

2.

Nervus Stapidius yang mensarafi Muskulus Stapidius dan berfungsi sebagai peredam
suara.

3.

Korda Timpani yang memberikan serabut perasa pada 2/3 lidah bagian depan.

33

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

PEMERIKSAAN NERVUS FASIAL


Tujuan pemeriksaan fungsi Nervus Fasial ialah untuk menentukan letak lesi dan menentukan
derajat kelumpuhannya.
Pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan N.VII adalah ;
1. Fungsi motor, tonus otot, sinkinesis dan hemispasme.
2. Gustumeter, dengan alat gustumeter dapat ditentukan ambang kecap dari penderita.
3. Tes Schimer. Dengan meletakkan kertas lakmus pada bagian inferior konjungtiva dapat
dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis.
4. NET (Nerve Extitability Test) dengan pemeriksaan ini dapat diketahui ambang rangsang
permukaan N.VII yang keluar dari koramen Mastoid, dengan membedakan kiri dan kanan.
Perbedaan yang lebih dari 3,5 mA menandakan fungsi N.VII gawat.
5. Refleks Stapedius.
6. Audiovestibuler. Pada Lesi yang terletak di atas Ganglion Genikulatum hampir selalu diikuti
oleh kelainan audio-vestibuler.
7. Pemeriksaan Radiologi.
8. Elektromiografi (E.M.G.).

ETIOLOGI KELUMPUHAN NERVUS FASIAL


1. Kongenital. Biasanya kelumpuhan ini ireversibel dan sejalan dengan anomali pada telinga dan
tulang pendengaran.
2. Infeksi. Bisa sebagai akibat proses infeksi intrakranial atau infeksi telinga tengah.
Infeksi Intrakranial : Sindrom Ramsey-Hunt, Herper Optikus.
Infeksi telinga tengah : Otitis Media Supuratif Kronis yang telah merusak Kanal Fallopi.
3. Tumor, seperti Tumor Seribelopontin, Akustik Neuroma dan Neuriloma yang terletak
intrakranial. Tumor Ekstrakranial yang menyebabkan kelumpuhan N.VII ialah Tumor Telinga
dan Tumor Parotis.
34

AUDIOVESTIBULOLOGI
By : MEX SUHARTO [2008]

4. Trauma. Biasanya didahului oleh fraktur Parspetrosa Os Temporal.


5. Gangguan pembuluh darah, misalnya Trombosis arteri karotis, Arteri Nasilaris dan Arteri
Cerebri Media.
6. Idiopatik. Etiologi N.VII tidak jelas. Disebut juga Bells Palsy.
Di Indonesia, urutan penyebab yang terbanyak ialah Idiopatik, Radang dan Trauma.

35

Você também pode gostar