Você está na página 1de 130

Agama dan Korupsi

Oleh Muhamad Ali


INDONESIA adalah bangsa religius sekaligus bangsa terkorup di Asia. Agama iya,
korupsi juga iya. Seperti disinggung Albert Hasibuan, Bung Hatta pernah mengatakan,
"Korupsi telah menjadi seni dan bagian dari budaya Indonesia." (Kompas, 10/6/02)
Padahal, seperti kata Samuel Huntington dalam Clash of Civilizations (1996) dan
Lawrence E Harrison dalam Culture Matters (2000), budaya korupsi adalah penyebab
terjadinya kemunduran dan keterbelakangan suatu masyarakat. "Sebuah bangsa akan
hancur ketika moralitasnya hancur", tegas penyair Arab, Syauqi Beik. Sadar akan
kenyataan ini, kita bertanya-tanya, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi?
Keberagamaan macam apa yang dapat efektif mencegah korupsi?
Secara etimologis, korupsi (korruptie, bahasa Belanda) mengandung arti kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan (riswah, bahasa Arab), penggelapan,
kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari kesucian. Dalam konteks politik,
korupsi berarti setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang seperti
penyalahgunaan anggaran pembangunan.
Dampak korupsi tidak hanya bersifat ekonomis dan politik seperti high cost economy
dan kerugian negara, tetapi juga bersifat moral dan budaya, yang menyebabkan bangsa
ini sulit keluar dari krisis multidimensi.
***
SEJAUH terkait dengan nilai dan moralitas, agama-agama memiliki hubungan dengan
korupsi, karena agama-agama selalu bicara dimensi moral-spiritual. Namun, tidak jelas
keterkaitan korupsi dan keberagamaan. Begitu banyak orang yang dianggap alim dan
saleh justru berbuat korupsi. Rajin sembahyang tidak berkorelasi positif dengan bersih
dari korupsi.
Mengapa demikian? Apakah ini berarti agama gagal dalam mengubah perilaku
penganutnya ataukah penganutnya tidak tepat dalam memaknai peran agama bagi
dirinya?
Mungkin kita terlalu over-estimate terhadap peran agama. Agama sering dipaksa untuk
menjawab segala persoalan (panacea). Padahal, agama juga sulit terpisahkan dari budaya
masyarakat tertentu. Klaim bahwa agama itu serba melingkup justru sering membawa
penafsiran agama yang sempit dan pemaksaan penafsiran yang jarang menyelesaikan
masalah itu sendiri. Keberagamaan sering justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri
yang harus diatasi.
Namun, kita juga tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu
mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal, tetapi tokoh dan penganut agama itu
yang belum memaknai agama secara tepat.

Agama itu sendiri berbeda dengan keberagamaan (religiosity). Kesalehan individual


belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Agama-agama tidak
membenarkan kebejatan, ketidakjujuran, dan segala bentuk amoralitas sosial. Agamaagama mengajarkan moral mulia, budaya malu, kukuh dalam kebaikan, gaya hidup
sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi pada kemajuan dan prestasi. Agama-agama
bertujuan memperbaiki moralitas manusia.
Sayang, keberagamaan substantif semacam itu masih asing dalam wacana dan perilaku
umat beragama.
***
SALAH satu sebab korupsi adalah pandangan dunia (mind-set) sebagian masyarakat
yang keliru, yang dipengaruhi nilai-nilai agama dan budaya yang tidak kondusif bagi
kehidupan yang bersih. Bagi banyak orang, agama atau iman lebih sering membelenggu
ketimbang membebaskan. Agama cenderung melangit, tidak membumi, mandul, tidak
berdaya, kehilangan vitalitas, kurang menggerakkan penganutnya untuk aktif
membebaskan diri dari perbuatan jelek, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang harfiah, teks-tual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan
menentukan segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa keberagamaan
yang pasif dan tidak liberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal pada saat yang
sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifikasi agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya
pemberantasan budaya korupsi? Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat
represif (meski juga bersifat preventif) dalam pemberantasan korupsi, maka agama
berlaku lebih pada level preventif. Timbul anggapan, undang-undang antikorupsi
dengan sendirinya akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal, hukum kurang
menyentuh tataran preventif. Siapa yang dapat menjamin, gerak- gerik seseorang setiap
detik diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol
transendental (Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang
Maha Tahu kapan pun dan di mana pun dia berada. Selain itu, agama umumnya
mengajarkan kehidupan sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di
sini sempat lepas dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian hari tidak akan
melepaskannya. Keberagamaan yang substantif semacam inilah yang dapat mencegah
penganut agama dari bertindak korupsi.
Sanksi agama umumnya lebih bersifat moral. Ada doktrin, seorang pembunuh bisa
dimaafkan Tuhan bila benar-benar bertobat (kembali kepada kebaikan). Namun, sanksi
manusia tetap harus dilaksanakan, baik yang bersifat moral maupun hukum. Meski
penekanan pada sanksi ternyata menjadi salah satu sebab kegagalan penanggulangan
korupsi, sanksi moral tetap efektif dalam usaha antikorupsi. Misalnya, di lingkungan
kerja perlu dibudayakan sanksi moral: bahwa siapa saja yang kedapatan menyuap atau
menerima suap harus dikucilkan.

Larangan-larangan moral bahwa korupsi itu pekerjaan setan dan dikutuk Tuhan harus
digencarkan. Pamflet-pamflet antikorupsi harus disebarluaskan di tempat- tempat kerja
dan umum. Slogan-slogan antikorupsi diperlukan untuk mengingatkan setiap orang
ketika berniat atau mendapat kesempatan bertindak korupsi. Materi-materi misi agama
harus memasukkan isu-isu korupsi dan kiat- kiat keagamaan untuk menghindarinya.
Mengecam korupsi dan melaporkan kasus-kasus korupsi baik di tingkat instansi
maupun di tingkat nasional, akan amat efektif sebagai sanksi moral bagi pelaku korupsi
dan sebagai upaya discouragement siapa pun yang berniat korupsi.
***
PERAN lain agama adalah membasmi kemiskinan (culture of poverty) sebagai salah satu
sebab korupsi. Gaji kecil, misalnya, lebih mudah memicu tindak korupsi. Karena itu,
tidak heran di dunia ketiga, tingkat korupsi lebih tinggi dari di negara maju. Meski kaya
ternyata bisa korupsi, bahkan kualitas korupsinya lebih tinggi.
Banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan orang kaya dan public figure.
Namun, orang kaya yang berbuat korupsi sebenarnya mengidap culture of poverty
karena tidak kunjung merasa cukup. Karena itu, agama mengajarkan budaya cukup
(culture of adequateness) material maupun mental spiritual. Kekayaan spiritual dalam
wujud moralitas yang mulia lebih berharga daripada kekayaan material yang diperoleh
dan dinikmati tanpa kemuliaan moralitas.
Kini, korupsi tidak terbatas di lembaga-lembaga "sekuler" saja, tetapi "merajalela" dan
mewabah pula di lembaga-lembaga "agama". Baik pada partai-partai non- agama
maupun partai-partai agama, institusi-institusi keagamaan, semua bisa menjadi bagian
dari budaya korupsi. Begitu pula, organisasi-organisasi yang mengurus urusan
keagamaan seperti ibadah ritual (perjalanan haji, wakaf, zakat), pendidikan, dan kegiatan
sosial lainnya, tidak steril dari korupsi.
Kemauan politik Presiden Megawati dalam pemberantasan korupsi seperti diusulkan
ahli hukum Albert Hasibuan, amatlah penting, tetapi tidak memadai. Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan LSM-LSM seperti Indonesian Corruption
Watch, Government Watch, dan Parliament Watch, harus didukung masyarakat luas,
termasuk ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyyah.
Salah satu sebab gagalnya penanggulangan korupsi adalah minimnya dukungan
masyarakat. Tokoh dan lembaga keagamaan tidak merasa menjadi bagian dari gerakangerakan antikorupsi. Para penceramah agama paling banter menyinggung soal korupsi
dalam konteks sekadar menyerang lawan politik yang dituduh melakukan korupsi
(bersifat politis), bukan mencari akar-akar penyebab korupsi dan bagaimana mengikis
korupsi.

***
SALAH satu sebab gagalnya pemberantasan korupsi adalah kurangnya fungsi
pengawasan sesama masyarakat akibat ketidakpedulian. Dengan adanya hierarki

institusi keagamaan gereja dan ulama, tokoh agama yang di atas melakukan pengawasan
tokoh agama yang di bawah, begitu seterusnya. Pada semua level itu, para tokoh agama
mengawasi penganut masing-masing. Begitu pula sesama penganut agama mengawasi
tokoh agamanya dan sesama penganut. Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya harus
ditunjukkan pemerintah, tetapi juga civil society.
Begitu pula, lembaga lintas agama harus menyentuh soal korupsi sebagai agenda
bersama. Farid Esack (1997) telah merintis solidaritas antaragama demi pembebasan dari
ketidakadilan di Afrika Selatan.
Bagi kita, pluralisme juga berarti solidaritas dan kerja sama memberantas korupsi.
Saatnya kita memperkuat komitmen memberantas korupsi melalui keberagamaan
substantif liberatif sebagai modal sosial kita yang sangat penting.
MUHAMAD ALI Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
Agama dan Legitimasi Politik
Oleh Mun'im A Sirry
HINGGA kini, agama diakui memiliki "fungsi ganda (double function)", yakni dalam
kaitan dengan legitimasi kekuasaan dan privilese dan dengan penolakan serta oposisi.
Dalam fungsi pertama, agama muncul sebagai apologi dan legitimasi status quo dan
budaya ketidakadilan; sedang dalam fungsi kedua, ia menjadi alat protes, perubahan,
dan pembebasan.
Bersamaan dengan munculnya teori-teori sekularisasi dan modernisasi yang
memprediksikan runtuhnya signifikansi agama dalam kehidupan publik kontemporer,
perlu dikedepankan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan publik memerlukan
agama? Agar dapat melihat secara tepat peran agama dalam kehidupan publik dan
pembuatan kebijakan, kita perlu merumuskan pertanyaan secara benar. Sebab, seperti
kata para ahli, separuh jawaban bergantung pada formulasi pertanyaan yang benar.
Pertanyaan itu bukan retorika belaka; ia dimaksudkan untuk memprovokasi diskusi
kritis menyangkut batas hubungan yang sesungguhnya antara kebijakan publik dan
agama. Kendati bukan hal baru, namun pertanyaan itu masih tetap anigmatik.
Oleh karena itu, bisa dimengerti mengapa pertanyaan itu memunculkan pertanyaanpertanyaan terkait lain. Bagaimana seharusnya kebijakan publik dicapai dalam alam
demokrasi? Bagaimana seharusnya hubungan agama dengan politik dalam masyarakat
modern yang mengalami sekularisasi? Apakah agama dan politik harus sama sekali
putus hubungan dan agama harus diprivatisasi? Atau, agama harus sedemikian penting
sehingga mendominasi kebijakan publik?
Tinjauan sosiologis
Para sosiolog memang tidak memandang dengan sebelah mata berbagai peran yang
dapat dimainkan agama dalam proses-proses politik di tengah masyarakat. Peter Berger,

misalnya yang mencoba menyintesiskan pandangan-pandangan Marx, Weber, dan


Durkhiem, menggambarkan agama sebagai kekuatan world maintaning dan world
shaking (1967). Dengan dua kekuatan itu, agama mampu melegitimasi atau menentang
kekuasaan dan privilese.
Meski demikian, para sosiolog menekankan berkurangnya signifikansi agama dalam
kehidupan publik seiring proses sekularisasi dan privatisasi. Menurut Berger,
sekularisasi mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan
meningkatkan peran orang-orang awam. Berbagai pandangan keagamaan berbaur dan
bersaing dengan pandangan dunia non-agama, sehingga organisasi-organisasi
keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan de- birokratisasi.
Hal yang sama dikemukakan Talcott Parsons, sosiolog terkemuka dari pendekatan
fungsional. Menurut Parsons, dalam masyarakat multi-religius proses-proses politik
yang berlangsung akan menjadi semacam diferensiasi yang menyediakan agama pada
tempat yang lebih sempit tetapi jelas dalam sistem sosial dan kultural. Karena
keanggotaan dalam suatu organisasi kemasyarakatan bersifat sukarela, maka konten dan
praktik keagamaan dengan sendirinya mengalami privatisasi dan menyebabkan
perkembangan civil religion (Parsons, 1967 and 1995).
Situasi seperti itu mendorong lahirnya model keberagamaan yang terbuka, menjamin
kebebasan agama dan meminimalisir intervensi negara. Inilah yang kini dinikmati
negara-negara maju dengan tingkat demokrasi yang stabil. Mereka tidak lagi diganggu
konflik yang dipicu sentimen apa pun, termasuk sentimen keagamaan. Agama-agama
telah menempati ruangnya yang pas, sehingga tidak menimbulkan gesekan dan benturan
dengan pandangan-pandangan profan.
Barangkali suatu truisme dalam perbandingan sosiologi sejarah, bahwa agama dalam
pasca-pencerahan Barat ditandai meluasnya privatisasi. Yakni, kecenderungan yang kian
meningkat untuk melihat agama sebagai masalah etika personal privat, dan bukan
tatanan politik publik (Wilson, 1966; Martin, 1978).
Tendensi seperti itu tentu tidak dapat dikatakan khas Eropa modern dan Kristen Barat.
Sebab, manakala muncul upaya-upaya menggiring agama ke ruang publik di banyak
negara Dunia Ketiga, utamanya negara-negara Islam, yang terjadi adalah politisasi
agama atau menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan non-agama.
Akibatnya, terjadi benturan agama dengan paham dan ideologi profan, sehingga agama
bukan hanya menjadi variabel pembeda, tetapi secara signifikan juga menyumbang
munculnya kekerasan dan ketegangan sosial. Dalam situasi seperti itu, tak terelakkan
terjadinya "publikisasi hal-hal privat" dan "privatisasi masalah- masalah publik".
Keduanya mengikis garis yang memisahkan agama dari politik.
Konsekuensinya, seperti dikemukakan Richard Falk, "politics is being reinfused with
religious symbols and claims, whereas religion is being summoned to the trenches of
popular struggles, including even recourse to violent tactics" (Falk, 1988: 392).
Peran profetik agama

Sejak detik-detik awal kemerdekaan dan mengalami intensitas pada masa transisi saat
ini, para pemimpin dan organisasi keagamaan di Indonesia terlibat aktif berbagai
perbincangan diskursif untuk mendefinisikan hubungan progresif antara agama dan
negara demokrasi. Sedikitnya, telah ditemukan beberapa tipologi model konstitusional
yang dapat dipertimbangkan sebagai suatu pilihan.
Pertama, teokrasi, yaitu suatu negara di mana kebijakan publik sepenuhnya ditentukan
oleh denominasi agama tertentu.
Kedua, negara sebagian agama, sebagian sekuler. Model ini menyediakan power sharing
antara negara dan denominasi agama tertentu, tetapi kebijakan publik tetap didominasi
tafsir-tafsir keagamaan dan pandangan moral agama tertentu.
Ketiga, negara sekuler dengan interaksi antara negara dan organisasi-organisasi
keagamaan di mana agama tetap didorong memainkan peran penting dalam
mempengaruhi kebijakan publik.
Keempat, negara sekuler, di mana organisasi-organisasi keagamaan ditolerir sepanjang
berada dalam ruang privat, tetapi tidak ada aktivitas bersama negara. Dengan kata lain,
pandangan keagamaan tidak mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan publik.
Kelima, negara sekuler dan ateistik di mana agama ditindas dan diberangus.
Tampaknya opsi ketiga lebih mendekati cetak-biru the founding fathers negeri kita untuk
apa yang disebut "bina bangsa" dan "bina negara". Di Indonesia, seluruh organisasi
keagamaan bukan saja memiliki pengakuan konstitusional ruang otonominya, tetapi juga
dapat berkolaborasi dengan negara dalam tugas-tugas yang menjadi perhatian bersama.
Tentu saja opsi ketiga itu bukan tanpa risiko. Bahaya paling krusial yang bisa muncul
dari opsi ketiga adalah legitimasi keagamaan. Biasanya legitimasi keagamaan muncul
manakala agama diberi ruang sedemikian luas hingga mengurusi hal-hal di luar dirinya.
Dan, yang paling dekat dari dirinya adalah kekuasaan. Di sini agama bisa tampil untuk
menjustifikasi atau mendelegitimasi kekuasaan dengan teks-teks keagamaan.
Hal itu sangat berbahaya karena bukan hanya memperkosa teks keagamaan untuk
kepentingan politik sesaat, tetapi juga mengingkari semangat profetik agama-agama.
Orang atau kelompok bisa melakukan apa saja atas nama agama, dan karena agama,
orang atau kelompok, atau bahkan negara, saling menghancurkan.
Oleh karena itu, opsi ketiga meniscayakan adanya gerakan lintas-agama (inter- religious
movement) yang mengemban misi keadilan dan persamaan antarsesama manusia,
makhluk Sang Maha Pencipta. Para pemimpin agama berkewajiban menjaga peran
historis mereka sebagai kesadaran moral masyarakat dan mengangkat suara protes
terhadap pelanggaran martabat manusia.

Hal itu hanya dapat dicapai bila organisasi-organisasi keagamaan menjaga integritas
moral dan spiritualnya bukan dengan mengalah kepada tekanan dan godaan partai
politik tertentu, tetapi bersikap positif netral vis-a-vis semua partai politik.
Agama memang perlu mengambil jarak dari politik agar dapat memberikan sinar
pencerahan profetiknya. Sungguh kita perlu menyepakati, tidak ada gerakan keagamaan
yang akan diterima sebagai suatu gerakan politik. Sebab, jika tidak, para politisi akan
berlindung di balik agama dan memangsa kehidupan masyarakat, sebagaimana telah
mereka lakukan. Sejak dahulu, para manipulator telah menggunakan agama untuk
memperbudak manusia.
MUN'IM A SIRRY, Peneliti pada Yayasan Paramadina Jakarta, alumnus International Islamic
University Pakistan

Antara Liberalitas dan Sosialisme


Oleh Agus Haryadi
DALAM karya klasik The Fable of the Bees (1714), Bernard de Mandeville melontarkan
salah satu pemikiran kontroversialnya yang kelak menjadi rujukan utama teoritisi politik
dan ekonomi. Tesis Bernard itu adalah, manusia punya sifat dasar yang serakah, egois,
tamak, dan sering mementingkan diri sendiri. Dalam diri manusia tak tersedia perangkat
akal budi selain semata-mata mengandalkan naluri alamiah yang mengancam
kepentingan satu pihak terhadap yang lain.
Keyakinan itu sejalan dengan pendapat Thomas Hobbes (1651). Hobbes menyebut
keadaan demikian sebagai keadaan alamiah (state of nature) yang biasa dicirikan oleh
peperangan antarsesama (bellum omnium contra omnes).
Kekhawatiran kedua filsuf itu mendapatkan peneguhannya dalam tradisi mazhab
sosialisme klasik yang menunjuk formasi sosial kapitalisme sebagai penjelmaan
masyarakat yang digambarkan alamiah (primitif?) tadi. Pascarevolusi industri dan
berbagai temuan baru yang mendukung perkembangan teknologi telah merekonstruksi
masyarakat dengan dua ciri utamanya, efisiensi dan pembagian kerja (division of labor).
Dari sini lalu masyarakat terfragmentasi dalam kelas-kelas yang pada tahap selanjutnya
disederhanakan oleh para penafsir Marx menjadi pemilik modal dan kaum pekerja
(proletariat). Efisiensi yang disebabkan oleh pemanfaatan teknologi telah sukses
membangun siklus industri yang menggunakan modal dan tenaga kerja dalam jumlah
minim. Tentu harus diakui adanya sejumlah dampak negatif akibat efisiensi tenaga kerja,
yakni munculnya angka pengangguran yang tinggi.
Bagi sebagian masyarakat yang "beruntung" masuk pasar kerja, industrialisasi juga tak
bisa dihandalkan untuk mewujudkan ragam ekspektasi (harapan) menyangkut
kesejahteraan diri mereka. Persaingan ketat telah berdampak pada rendahnya apresiasi
terhadap hasil kerja para buruh serta mengalienasi mereka secara radikal dari pekerjaan.
Penjelasan Marx (1848) mengenai teori nilai lebih ikut meneguhkan argumentasi seputar
pengisapan kaum kapitalis terhadap hak- hak kaum buruh.
Sistem perekonomian kapitalis yang dicirikan oleh pengakuan atas hak pribadi,
mekanisme pasar, motif laba setinggi-tingginya, dan penyempitan ruang gerak negara
(Deliarnov: 1995), telah memberi keleluasaan bagi para pemilik modal besar untuk
mendominasi pihak-pihak lain yang menjadi subordinasinya. Bekerja tidak lagi dibangun
oleh pilar kesetaraan dan kemitraan, tetapi direlasikan lewat logika eksploitatif pemilik
modal terhadap kelompok pekerja.
Kebebasan yang menjadi ciri dasar paham liberalisme klasik diyakini tak membawa
maslahat bagi manusia, kecuali sekadar menyediakan lingkungan yang kondusif bagi
sebagian kalangan untuk memangsa yang lain. Karena itu, jangan aneh bila sejumlah
begawan ilmu politik abad pencerahan meyakini, demi menghindari kekacauan
(restless), maka negara harus diberi otoritas penuh untuk mengatur warganya.

Dalam konteks ini, Thomas Hobbes adalah ilmuwan politik yang paling fenomenal. Ia
mengasosiasikan negara dengan Leviathan, monster purba yang kejam dan ganas, yang
dipercaya mampu mengendalikan warga negara dari sifat tamak, serakah, dan gemar
mementingkan diri sendiri (Franz Magnis-Suseno: 1994).
Meski banyak dicerca karena dianggap mengekang kebebasan rakyat, sejumlah negara
telah membuat eksperimentasi model negara Leviathan. Sekalipun tetap menolak
disebut sebagai totaliter atau antidemokrasi, beberapa negara yang sempat didaulat
sebagai kampiun komunisme internasional, di balik dalih diktator proletariat, sempat
ikut terlibat di dalam proyek pembentukan negara Leviathan.
Celakanya, intervensi negara yang semula dimaksudkan untuk memberi perlindungan
kepada kaum marjinal, justru berakibat buruk terhadap kebebasan sipil (civil liberties).
Keterlibatan negara tak lagi bergerak pada ranah publik (public sphere), tetapi menjurus
ke ruang privat. Pemasungan hebat terjadi hingga menumpulkan potensi kritis
masyarakat dalam locus kesadaran yang direkayasa negara.
Berseberangan dengan liberalisme yang menisbikan peran negara dalam masyarakat,
maka negara Leviathan adalah penjelmaan eksplisit dari etatisme. Dengan sistem itu,
negara menembus semua lini kehidupan, dari urusan publik hingga yang privatpartikelir.

***
MELODRAMA umat manusia yang kini tengah mengawali fase pertama milenium
ketiga dianggap mulai mampu mengatasi tembok ideologis sejak perang dingin berakhir.
Terlebih dalam perkembangannya ke muka, pertarungan ideologi antara kapitalisme
dengan komunisme justru mengalami kebangkrutan di pihak negara- negara komunis.
Tetapi, sekurangnya dalam cita-cita sosialisme klasik tetap terkandung semangat dan
moralitas yang bersih, betapa kesetaraan adalah sesuatu yang sangat penting dalam
peradaban manusia.
Kedua ideologi-selain negara-negara non-blok-yang sebelumnya mewakili arus besar
masyarakat dunia mulai bergeser pada dialog yang memoderasi kedua peradaban.
Hanya saja, usaha untuk melakukan revisi dari kedua pihak belum mencapai satu
kesepakatan akhir yang bisa menawarkan solusi kemanusiaan bagi masyarakat
internasional.
Sejumlah kendala masih menghambat karena reinkarnasi liberalisme klasik, yang
diwujudkan dalam tatanan dunia baru, kembali muncul pada skala lebih luas:
neoliberalisme. Hipotesis yang diyakini Francis Fukuyama (1992) boleh jadi menghadapi
tentangan keras dari banyak kalangan karena keraguan sebagian besar masyarakat
internasional untuk membiarkan puncak dialektika peradaban berakhir di kedua anak
kembar liberalisme: kapitalisme dan demokrasi (Noam Chomsky: 2001).
Asumsi-asumsi yang dibangun dalam standar yang seragam mengenai pasar bebas
memiliki kandungan masalah yang tidak kecil. Hal ini diawali saat kapitalisme primitif

mulai memenetrasi negara-negara berkembang sebagai pasar baru yang dipaksa


berkompetisi di tengah kesenjangan yang berlangsung akut dan tidak seimbang.
Fatalnya, kesenjangan itu sendiri terjadi akibat praktik kolonialisme masa lalu yang
dilakukan sejumlah negara (yang kini) maju karena pemindahan paksa aset dan sumber
daya alam.
Dengan kemajuan teknologi yang amat pesat di hampir semua negara metropolis, tentu
menjadikan mereka raksasa di sektor perdagangan luar negeri. Meraup laba dalam
jumlah besar sangat mungkin dilakukan pada saat Dunia Ketiga sendiri tengah
mengalami kegagapan mengatasi budaya konsumtif di dalam negeri. Karena itu,
membiarkan negara terjebak pada asumsi-asumsi standar negara maju yang
menghindarkan peran negara dalam berbagai aktivitas masyarakat, adalah hal yang
membahayakan.
Kecemasan masyarakat Dunia Ketiga tentu amat beralasan. Terlebih bila memperhatikan
efek globalisasi yang berhasil memunculkan rezim internasional yang memiliki tafsir
kebenaran monolit dan memiliki sudut pandang hukumnya sendiri. Apalagi saat ini
negara-negara maju di Amerika dan Eropa tengah giat memberikan bantuan pinjaman
dengan sederet persyaratan yang umumnya mengacu pada Washington Consensus, di
mana praktik-praktik perdagangan bebas mendapatkan justifikasi lembaga-lembaga
keuangan internasional.
Dalam situasi gamang semacam ini, Dunia Ketiga dapat dipastikan menghadapi
ancaman yang tidak kecil. Terutama bila menyangkut hubungan dagang antarnegara
yang berakibat pada hancurnya pasar domestik yang kalah bersaing meski asas efisiensi
sudah diterapkan dalam standar produksi. Persoalan itu terjadi tentu bukan sebuah
tindak apologetik yang mengharapkan "pengertian" negara-negara maju. Tetapi,
persaingan yang menerapkan standar perdagangan yang sama, usai praktik pengisapan
kolonialisme masa lalu, adalah sebuah ketidakadilan.
Meski demikian, hal ini tidak berarti mengkristalisasikan semangat penolakan terhadap
pihak asing dalam bentuk antiglobalisasi. Kecuali sekadar menekankan arti penting
keterlibatan negara dalam perdagangan ataupun sektor industri yang kerap merugikan
kaum buruh Dunia Ketiga. Harga buruh yang murah-dalam praktiknya-tak jarang
dimanfaatkan sebagai bagian promosi paling efektif untuk mengundang investor luar
negeri guna memperluas korporasi transnasional di negara-negara terbelakang.
Apabila ada hal yang mungkin perlu dicemaskan menyangkut keterlibatan negara, hal
itu mungkin adalah terbentuknya otoritarianisme-atau bahkan totalitarianisme- saat
negara (state) diundang masuk meyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah
masyarakat-sipil (civil society). Untuk menjawab permasalahan sejenis ini, negara harus
diletakkan dalam kapasitas negara sosial-bukan sosialis-yang bertanggung jawab penuh
atas kesejahteraan seluruh warganegara (Franz Magnis-Suseno: 1994).
Dalam pandangan liberalisme klasik, segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraan
sosial tidak diakui sebagai tanggung jawab negara. Kemiskinan struktural yang
diakibatkan ketimpangan sistem sosial lebih dilihat semata-mata kegagalan warga negara
sendiri yang tak mampu bertahan di tengah kompetisi yang ketat.

Kembali pada pentingnya negara sosial, pembentukannya dapat dipahami dalam


konteks yang lebih fundamental bila memperhatikan motif yang melekat padanya.
Dalam masyarakat demokrasi modern, negara dibentuk atas motif konsensus warga
negara (kontrak sosial) yang berasosiasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
tidak sanggup diselesaikan secara individual seperti keadilan, distribusi kemakmuran,
kesejahteraan, penegakan hukum, keamanan dan lain- lain (John Locke: 1632-1704).
Singkatnya, Aristoteles menyebutnya sebagai eudaimonia, atau dalam pengertian yang
luas berarti kebahagiaan atau kesejahteraan.
Bila negara tak dapat menjamin kesejahteraan warganya, maka di titik itulah negara
dikatakan mengalami disfungsional, dan serta merta warga negara memiliki hak untuk
melakukan pengingkaran atas negara yang diwujudkan melalui hak menentukan nasib
sendiri (self determination right).
Sebagai kelengkapan negara sosial, undangan warga negara atas negara untuk terlibat
dalam menyelesaikan persoalan yang tidak bisa diselesaikan masyarakat disebut dengan
prinsip subsidiaritas. Demarkasi definisi dari prinsip subsidiaritas menegaskan batasnya
saat masyarakat tak sanggup mengatasi masalah yang dihadapinya.
Dalam konteks pembahasan ini terkait dengan efek negatif perdagangan bebas yang
disokong neoliberalisme. Di luar kebutuhan masyarakat, negara haram mencampuri
urusan warganegara.
Manifestasi prinsip subsidiaritas salah satunya diperlihatkan dalam hal jaminan bagi
kaum buruh untuk mendapatkan hak hidup yang layak. Bila kehadiran korporasi
multinasional justru sekadar memanfaatkan harga buruh yang murah, maka negara
berkewajiban untuk terlibat dan menegaskan sikapnya untuk melindungi warga negara.
Begitu juga dalam hal perdagangan luar negeri, negara harus mengutamakan dan
memberi perlindungan kepada produk domestik agar memiliki daya saing dan daya
tahan dalam menghadapi berbagai produk luar negeri.
Jadi, negara sosial akan memosisikan diri dalam batas-batas wajar yang sewaktu-waktu
bisa terlibat dalam masyarakat, tanpa membinasakan kebebasan sipil dari warga negara.
Ekuilibrium inilah yang amat penting diterapkan sebagai kebijakan negara-negara
berkembang, seperti Indonesia, agar tak terjebak dalam etatisme ataupun liberalisme
klasik yang seringkali mendorong sebagian besar rakyat ke tepi jurang kemiskinan.
Sekaligus dalam konteks global, kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap globalisasi
secara membabi buta hingga membentuk sikap skeptis berlebihan, dapat dihindari jika
negara berperan secara optimal mengatasi berbagai ketimpangan yang terjadi di dalam
masyarakat. Jargon antiglobalisasi tidak perlu lagi diteriakkan kalau saja negara mau
berperan lebih proaktif.

Agus Haryadi Associate Director CPPS Universitas Paramadina.

Awalnya Politik Itu Mulia


Oleh Komaruddin Hidayat
SEBAGAIMANA tersurat dan tersirat, kata "politik" yang berasal dari bahasa Yunani
mempunyai makna yang berkaitan dengan serba keteraturan, keindahan, dan kesopanan
bagi sebuah warga kota. Maka tugas utama polisi, kata yang serumpun dengan politik,
adalah menjaga keteraturan dan keindahan kota (polis) sehingga perilaku polisi harus
selalu santun (polite). Pada level ketatanegaraan, keteraturan dan kesantunan hidup
bersama itu diperjuangkan dan dijaga para politisi.
Begitu mulianya ilmu dan misi politik, sehingga Aristoteles menyebutnya sebagai seni
tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama (common and highest good) bagi sebuah
negara. Mengapa politik merupakan ilmu paling mulia dan menempati kedudukan
tertinggi? Karena menurut Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, semua cabang ilmu
yang lain di bawah kendali dan akan melayani implementasi ilmu politik guna
menciptakan kehidupan sosial yang nyaman dan baik.
Berangkat dari konsep dasar kemuliaan politik ini, maka muncul berbagai teori
mengenai model-model pemerintahan, persyaratan untuk menjadi kepala negara, dan
bagaimana mekanismenya.
Dalam literatur Yunani kuno dan literatur keagamaan, ada kesamaan, penguasa negara
dan politisi haruslah orang-orang yang bersih moralnya, memiliki kompetensi dan
dicintai oleh rakyat. Analog dengan tubuh manusia, Plato berpandangan, kepala negara
mestinya sosok seorang filsuf; karena filsuf-ibarat kepala-mampu melihat ke depan,
berpikir rasional, dan mencintai kebijaksanaan (wisdom).
Sedangkan dalam tradisi agama, sosok kepala negara dicontohkan oleh figur nabi-nabi.
Para nabi merupakan sosok penggembala yang penuh tanggung jawab, mencintai
gembalaannya, dan tahu betul ke mana harus berjalan membawa umatnya.
Figur Musa, Yesus, dan Muhammad, merupakan ketauladanan yang masing- masing
memiliki konteks ruang dan perilaku umat yang berbeda-beda. Ketiganya pernah
menjadi penggembala dalam arti literer, lalu menjadi penggembala umat yang disegani.
Meski sekarang kita tahu, banyak orang mengaku sebagai umatnya, namun sebatas
ucapan saja; perbuatan dan tindakannya jauh dari ajaran-ajaran para nabi.
Daya tarik politik
Kita sulit membayangkan sebuah negara modern tanpa partai politik dan birokrasi kuat,
meski kenyataannya di negeri ini kekuasaan (krasi) masih menonjol dipegang para figur
bukan oleh jaringan bureau yang bekerja secara rasional dan efektif. Jika dalam
masyarakat tradisional otoritas memusat pada figur, pada masyarakat modern legalitas
formal dan jaringan birokrasi amat penting fungsinya. Karena itu, meski ada figur hebat,
walau tidak memiliki legalitas dari birokrasi negara, akan sulit mewujudkan gagasannya
untuk mempengaruhi perubahan.

Semasa Orde Baru, banyak kasus menarik bagaimana Presiden Soeharto kala itu
melumpuhkan figur kuat yang tidak disenangi dengan cara dipreteli legalitas jabatannya,
mengingat legalitas akan melahirkan otoritas, dan otoritas jika ada di tangan orang yang
cakap bisa melahirkan gerakan dahsyat. Agar tidak tersaingi, secara sistematis Soeharto
membunuh figur-figur yang dianggap membahayakan posisi dirinya dari jabatan formal
yang melekat pada dirinya.
Contoh nyata adalah Ali Sadikin yang saat itu di mata warga Jakarta lebih populer
dibanding Presiden Soeharto. Sehebat-hebat Ali Sadikin, saat tidak lagi memiliki jabatan
politik formal, sulit baginya menciptakan perubahan lewat kekuatan birokrasi. Waktu itu
orang membayangkan, selesai jadi Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin amat cocok
memangku jabatan Menteri Dalam Negeri, lalu bisa mengganti Presiden Soeharto.
Namun harapan dan dugaan rakyat meleset.
Juga nasib Sarwo Edhie yang didubeskan sehingga kehebatan dan pengaruhnya tidak
membayangi kekuasaan Soeharto. Ambisi Habibie untuk membangun imperium iptek di
Indonesia menjadi berantakan saat legalitas politik lepas dari tangannya. Sosok
Abdurrahman Wahid yang magnetik bagi pendukungnya tidak mampu menciptakan
gelombang gerakan setelah tidak lagi sebagai orang nomor wahid di republik ini.
Kini, sosok Megawati sedang mengawang di mega langit politik Indonesia, sehingga
rakyat kecil pendukungnya yang tinggal di bumi merasa ditinggalkan. Dan, Akbar
Tandjung meski berarti "dia yang sangat besar" kalau tidak lagi duduk di kursi
kebesarannya sebagai ketua DPR pasti akan berubah jangkauan pengaruhnya.
Kita tidak tahu bagaimana kiprah dan posisi Amien Rais, yang secara literer berarti
pemimpin yang terpercaya, jika tidak pandai-pandai memelihara dan memanfaatkan
legalitas jabatan politiknya serta tidak mampu menjaga integritas dirinya, bisa saja akan
memperpanjang daftar orang-orang yang terjungkal dari panggung pergulatan dan
perebutan kekuasaan.
Pertanyaannya, mengapa jabatan dan aktivitas politik itu menarik? Jika pertanyaan ini
diajukan kepada Thomas Hobbes, jawabnya ialah untuk memperoleh kekuasaan (power),
kemegahan diri (self-glory), dan kesenangan hidup (pleasure). Bagi para pejuang
ideologi keagamaan, jabatan dan kekuasaan politik dikejar-kejar untuk menegakkan
hukum Tuhan di muka bumi (menurut pemahaman mereka). Bagi sekelompok orang
mungkin saja untuk mencari uang atau untuk melindungi bisnisnya.
Pendeknya, kekuasaan politik dari zaman ke zaman selalu menjadi obyek yang
diperebutkan karena dengan politik, cita-cita sosial dan naluri untuk menikmati
kekuasaan akan lebih mudah terwujud.
Panggung gladiator
Nurani dan nalar sehat menjadi amat kecewa saat melihat panggung politik yang pada
dasarnya begitu mulia, berubah menjadi panggung gladiator, arena perebutan kekuasaan
dengan cara saling memfitnah, menjegal, dan membunuh lawan. Demi sebuah

kemenangan dan kemegahan, segala cara ditempuh untuk menjungkalkan lawan dari
panggung kekuasaan.
Bagi yang kalah, dengan berbagai cara melakukan pembalasan dari luar panggung.
Akibatnya, apa yang disebut politik tidak lagi sebagai seni dan ilmu untuk memperoleh
kemenangan dengan cara elegan, cerdas, santun, dan terhormat tetapi merupakan hasil
sebuah penaklukan dengan cara barbarik dan primitif.
Jika panggung politik telah berubah menjadi panggung gladiator dan pelampiasan balas
dendam, siapa pun yang turun merasa terluka, kalah, dan sakit hati. Maka, muncul
sederet putra-putra terbaik negeri ini, yang menghabiskan hari-hari tuanya dengan rasa
pilu dan duka karena lebih dipandang sebagai orang tergusur dan nista secara politik
ketimbang pejuang yang telah mengabdi bangsa dan negara.
Bayangkan, apa yang berkecamuk pada hati Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman
Wahid, dan sekian mantan pejabat tinggi lain setelah turun dari jabatan publik yang
begitu tinggi? Mungkin mereka merasa terhina dan tidak lagi memiliki rasa percaya diri
di depan publik yang dulu mengelu-elukan. Demikianlah wajah hitam perjalanan politik
Indonesia tercinta. Sungguh mengenaskan.
Bila demikian, apa dan di mana peran moralitas agama, Pancasila, dan sekian ribu
intelektual negeri ini dalam membangun peradaban bangsa? Keadaan kian memilukan
saat ada sekian koruptor kelas kakap yang menilap uang rakyat trilyunan rupiah namun
tidak tersentuh hukum karena mereka dianggap bukan saingan politik dalam panggung
kekuasaan dan dengan uang hasil korupsinya mampu membeli palu hakim dan
penguasa negara.
Badut politik
Istilah badut politik tentu terasa kasar. Tetapi, ungkapan ini sering terdengar di telinga
saat menyaksikan perilaku politik yang sulit diterima akal sehat. Berdasarkan
pengalaman saya sebagai wartawan, informasi yang bisa disajikan ke publik adakalanya
hanya 25 persen. Selebihnya disebut off the record yang sulit diberitakan karena
dianggap melanggar hak asasi manusia dan melanggar hukum.
Di antara yang tidak mudah diberitakan itu antara lain menyangkut jumlah kekayaan
pejabat dan politisi serta perilaku mereka sehari-hari yang tidak mencerminkan kualitas
dirinya sebagai figur panutan rakyat. Bayangkan, bagaimana nalar sehat memahami saat
ada sekian anggota DPR dan pejabat tinggi negara memiliki deposito milyaran rupiah,
padahal mereka tidak bekerja di tempat lain. Sulit dimengerti kecuali mereka
memperolehnya dengan cara korupsi, apa pun bentuk dan dalihnya.
Rasanya kian sulit mencari pemimpin yang benar-benar capable dan teguh memegang
amanat. Masyarakat amat merindukan panggung politik Indonesia sebagai panggung
pengabdian; permainan dan perebutan kekuasaan namun dengan seni, etika, dan tingkat
kecerdasan serta kapabilitas yang tinggi, sehingga suasana batin kita seperti
menyaksikan pertandingan sepak bola kelas dunia. Indah, mendebarkan, tegang, penuh
kejutan, namun tetap dalam format festival.

Dalam sebuah pertarungan yang elegan, harga diri seseorang dan kelompok partai
dipertaruhkan secara transparan, dan semuanya taat pada rule of the games yang bisa
diikuti rakyat dalam memperebutkan piala kursi kekuasaan. Ketika kursi itu harus
pindah ke tangan orang lain, prosesnya pun rasional, terbuka dan elegan.
Oleh karena itu, meski tidak persis sama, kita ingin menaruh respek terhadap mantan
politisi dan pejabat tinggi negara seperti kita menyikapi mantan juara All England Rudy
Hartono dan kawan-kawan.
Bagi mereka yang memang berbakat badut, janganlah tampil di panggung politik dan
jabatan publik. Bergabung saja pada grup lawak yang ada atau membuat sendiri. Derita,
kesabaran, dan kebaikan rakyat ada ambang batasnya. Rakyat yang telah menunjukkan
prestasi sebagai warga negara yang baik dalam menyukseskan pemilu lalu, amat sakit
hati bila produk wakil rakyat dan pemerintahan yang dihasilkan malah berbalik
menindas dan menipu mereka.
Dari etika mana pun yang namanya kebohongan dan pengkhianatan tidak bisa
dibenarkan, terlebih jika dilakukan oleh wakil rakyat dan pejabat publik yang tugasnya
adalah melayani dan menyejahterakan rakyat yang telah mengusung mereka ke kursi
kekuasaan.
KOMARUDDIN HIDAYAT, Guru besar UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Pendidikan
Madania

Bisnis Pascamodern
Oleh A Prasetyantoko
BAGAI permainan kartu domino, satu per satu kebobrokan perusahaan- perusahaan
besar di Amerika Serikat (AS) mulai terbongkar secara beruntun. Berawal dari kasus
skandal Enron Co., disusul kasus yang menimpa Xerox, WorldCom Inc., dan akhirnya
Merck. Sebagian melibatkan peran akuntan publik yang telah memberi penilaian serta
rekomendasi yang "besar pasak daripada tiang" (tidak mencerminkan informasi
sebenarnya).
Akibat kebohongan para akuntan publik-yang seharusnya independen-terjadilah distorsi
harga saham di bursa (Wall Street) yang mengakibatkan kerugian masyarakat. Konspirasi
antara CEO (chief executive officers), sebagai pihak pengelola perusahaan, dan akuntan
publik sebagai pemberi opini terhadap kondisi kesehatan keuangan perusahaan, telah
membuat nilai perusahaan menjadi lebih tinggi dari senyatanya. Akibatnya, ekspektasi
terhadap keuntungan perusahaan menjadi lebih tinggi sehingga keputusan untuk
membeli saham tidak mencerminkan informasi yang sebenarnya.
Kemuakan para pemegang saham (stockholders) terhadap keroposnya perusahaan,
ditandai penurunan minat untuk berinvestasi di bursa saham. Hal itu tercermin dari
penurunan indeks harga saham dari 500 perusahaan yang masuk daftar Standard & Poor,
yaitu sebesar 13,4 persen pada kuartal II tahun ini. Kecenderungan ini diikuti penurunan
minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada bursa saham di AS. (Business
Week, 15/7/02)

***
DALAM peradaban modern, aktivitas menimbun keuntungan tidak lagi dilakukan para
pemilik modal, tetapi oleh para pengurus perusahaan (kaum eksekutif). Mereka
menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan atas
investasi yang dilakukan para pemilik modal. Menurut para penggagas Agency Theory
(Jansen & Macling) serta Transaction Cost Theory (Williamson) hubungan antara pemilik
modal (stockholders) dan para eksekutif selalu ditandai konflik kepentingan yang
permanen.
Asumsi dasar kedua teori besar ini, para eksekutif pengelola modal memiliki sikap
oportunis. Untuk itu, harus ada kontrol kuat dari pemilik modal atas para eksekutif.
Maka terjadilah hubungan yang bersifat konfliktual (asymmetric) antara principal
(pemilik modal) dan agency (pengelola perusahaan). Para eksekutif (CEO) selalu
berorientasi untuk meluaskan cakupan bisnisnya (kebijakan ekspansif), sehingga perlu
ada sebagian keuntungan yang ditahan (retained earning). Sementara bagi pemilik
modal yang penting adalah mendapatkan keuntungan (dividen) secepat mungkin, dan
tidak perlu ada laba yang ditahan.
Dalam kaitan dengan para pemilik modal, para eksekutif selalu berusaha menyampaikan
informasi positif, agar mereka mau terus menanamkan modalnya, dengan cara membeli

saham perusahaan itu. Dengan begitu para eksekutif akan leluasa mengembangkan
perusahaannya dengan dana segar itu. Filosofi inilah yang melatarbelakangi perilaku
para CEO untuk berkonspirasi atau menyogok para akuntan publik.
Menurut beberapa pengamat, kebobrokan ini menunjukkan, kesalahan bukan lagi
terletak pada regulasi pasar finansial, landasan kebijakan korporasi atau kecerobohan
para akuntan publik, tetapi berasal dari jantung bisnis modern itu sendiri. Semangat
(l'etat d'esprit) bisnis modern telah mengalami distorsi sehingga tanpa memperbarui
paradigmanya, bangunan apa pun tidak akan mampu menanggulangi kebobrokan yang
dihasilkannya.
Jika ditilik dari sejarah perkembangannya, bisnis modern lahir dari suasana gemerlap
revolusi industri yang amat menekankan produktivitas dan keuntungan produksi. Pada
tahap awal perkembangan bisnis ini, muncul nama seperti Frederick Taylor (1859-1915)
dengan faham Taylorism, Henry Ford (1863-1947) dengan Fordism, dan Henri Fayol yang
tahun 1916 meluncurkan teorinya tentang prinsip-prinsip umum administrasi industrial.
Semuanya menekankan pada prinsip rasionalisasi dan sistematisasi sistem organisasi
dan hubungan antarmanusia. Inilah perkembangan teori bisnis klasik.
Aliran yang mencoba mengkritisi pemikiran klasik ini adalah paradigma bisnis yang
berhaluan hubungan kemanusiaan (humanistic) dan perilaku individu (behavioral).
Tokohnya adalah Elton Mayo, Likert, Maslow, McGregor, dan lain- lain. Mereka mulai
memberi perhatian pada aspek kemanusiaan dalam dunia kerja, tetapi mereka
terperangkap pada pemikiran yang terlalu menonjolkan perilaku para aktor individu,
sehingga mengabaikan faktor struktural baik yang ada di dalam maupun di luar
organisasi.
Faham yang muncul kemudian adalah aliran yang menekankan faktor eksternal, yang
dikenal dengan teori kontigensi (contigency theory). Intinya, perilaku individu dalam
organisasi perusahaan hanya fungsi dari situasi lingkungan eksternal. Setelah itu,
bermunculan berbagai mashab teori bisnis, mulai dari faham (neo)- institutionalism, teori
kompetensi, Resource-Based View of the firms, knowledge management, dynamic
capabilities, learning organization, dan sebagainya.
Secara epistemologis, teori bisnis bisa dipilah menjadi tiga bagian. Dalam tradisi teori
bisnis klasik, aliran yang amat berpengaruh adalah positivisme. Lalu mulai masuk
pengaruh teori kritis (critical theory), lalu pemikiran post-modernism. Dalam daftar 10
"jurus" yang paling berpengaruh versi The Economist (edisi 25/ 12/93), muncul nama
Jaques Derrida, seorang filosof post-modernis. Apa pun alasannya, pemikiran postmodernis telah mempengaruhi praktik bisnis dan perilaku manajerial.
Diakui atau tidak, kini ilmu bisnis sudah menjadi ajang pertarungan epistemologis.
Sayang, hal ini tidak pernah disadari oleh para praktisi bahkan para akademisi yang
hanya berorientasi pada hal teknis. Sebagai generasi bisnis, baik praktisi maupun
akademisi, mereka tetap bertekun dalam usaha yang materialistik, modernis, dan
positivistik.

Belakangan ini, konsep Balanced Scorecard-yang dipopulerkan oleh Robert Kaplan dan
David Norton-amat populer di kalangan praktisi maupun akademisi bisnis. Menurut
beberapa kalangan, konsep ini telah mengintroduksi paradigma baru dalam bisnis yang
sedikit banyak dipengaruhi cara pandang post-modernis. Konsep Balanced Scorecard
memahami kinerja organisasi tidak hanya menurut ukuran finansial saja (tangible asset),
tetapi juga dari kinerja kultur dan ideologinya (intangible asset). Sementara itu,
pemikiran H Mintzberg tentang "teori konfigurasi organisasi" dianggap mengandung
pemahaman organisasi sebagai proses strukturasi.
Praktik dunia bisnis memang sudah melesat jauh, rumit dan makin tidak jelas ujung
pangkalnya. Sementara usaha untuk merefleksikannya melalui kerja para akademisi
sudah amat tertatih-tatih. Lebih lagi, para praktisi bisnis telah "memperkosa" teori bisnis
untuk kepentingan praktis, teknis dan berdimensi pendek saja.

***
MENGIKUTI perkembangan bisnis belakangan ini sungguh melelahkan. Tetapi, akan
jauh lebih melelahkan jika tidak mulai dari sekarang untuk mencoba membuat botol
yang baru bagi anggur lama. Seruan Presiden Bush di hadapan para pelaku bisnis untuk
kembali pada etika bisnis yang baik adalah satu bagian dari imbauan moral yang dalam
kenyataannya lebih banyak diabaikan oleh para pelaku bisnis, jika tidak ada hukuman
yang nyata.
Dan pemerintah sebenarnya tidak pernah peduli jika tidak mendapatkan "hukuman"
dari masyarakat dengan tindakan tidak menginvestasikan modalnya di bursa saham. Jadi
lebih penting lagi adalah mendorong masyarakat untuk bersikap kritis dan punya
keberanian untuk "menghukum" setiap perilaku para pelaku bisnis yang menyimpang
dari aturan main yang baik.
Jadi inilah saatnya mensosialisasikan teori bisnis yang tidak hanya mengabdi pada
kepentingan pelaku usaha, tetapi memihak pada kepentingan publik. Dalam hal ini, ilmu
bisnis bukan ilmu yang hanya berdimensi praktis dan teknis saja, tetapi juga
emansipatoris. Artinya ilmu bisnis tidak hanya mengeksploitasi manusia saja, tetapi juga
membebaskannya.
A Prasetyantoko Dosen Unika Atma Jaya Jakarta. Sedang belajar Strategic Management
di USTL, Perancis

Budaya Korupsi dan Dekonstruksi Sosial


Oleh Musa Asyrie
KITA membaca dan mendengar bahwa Indonesia termasuk negara terkorup di dunia.
Dan ketika kita melihat sendiri kenyataan yang ada di depan kita, ternyata korupsi telah
melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di daerah, di lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan tokoh masyarakat.
Kita pun jadi makin prihatin dan cemas, adakah pengusutan dapat dilakukan dengan
tuntas dan adil? Cukup tersediakah aparat penegak hukum yang bersih untuk
mengusutnya dengan adil, tepat, dan benar? Dan sampai kapan akan selesai?
Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi
memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan tetapi, kita pun
harus memahami persoalannya secara lebih fundamental, agar menumbuhkan sikap arif
untuk bersama-sama tak mengulang dan membudayakan korupsi dalam berbagai aspek
kehidupan kita, sehingga tidak terjadi apa yang dikatakan "patah tumbuh hilang
berganti, mati satu tumbuh seribu" seperti sel kanker ganas karena akarnya yang telah
meluas, maka semakin dibabat semakin cepat penyebarannya.
Budaya korupsi
Indonesia adalah negara yang kaya, tetapi pemerintahnya banyak utang dan rakyatnya
pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Sejak zaman pemerintahan kerajaan, kemudian
zaman penjajahan, dan hingga zaman modern dalam pemerintahan NKRI dewasa ini,
kehidupan rakyatnya tetap saja miskin. Akibatnya, kemiskinan yang berkepanjangan
telah menderanya bertubi-tubi sehingga menumpulkan kecerdasannya dan masuk
terjerembap dalam kurungan keyakinan mistik, fatalisme, dan selalu ingin mencari jalan
pintas.
Kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kepandaian semakin
memudar karena kenyataan dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang
sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib
buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang tak beruntung, seperti para
petani, kaum buruh, dan guru. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya
mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite atau
berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena hanya
dipakai para elite untuk membodohi kehidupan mereka saja. Sebaliknya, mereka lebih
percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan
perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana- mana. Mereka memuja
dan selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan
cepat, baik kekuasaan maupun kekayaan. Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan
masyarakat pun menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.

Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita
sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam
kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar
terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Sejak
dahulu kala, para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup karena
bisnisnya ya kekuasaan itu sendiri. Penguasa bukanlah pekerja profesional, yang harus
pintar, cerdas, dan rajin, tidak digaji pun mereka mau asal mendapatkan kekuasaan
karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan sendirinya.
Dekonstruksi sosial
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada tekad presiden pilihan rakyat yang hendak
melakukan percepatan pemberantasan korupsi, kita perlu merenungkan kembali dengan
jernih apakah pemberantasan korupsi dapat dilakukan tanpa dekonstruksi sosial? Jangan
sampai upaya pemberantasan korupsi seperti terperosok dalam sumur tanpa dasar yang
tidak pernah dapat menyentuh landasannya dengan tepat dan benar.
Jangan sampai kita terperosok dalam kebencian dan konflik tanpa ujung pangkal. Semua
proses hukum memang perlu ditegakkan tanpa pandang bulu, tetapi tak akan pernah
cukup karena kompleksnya persoalan korupsi itu sendiri. Semua orang tahu korupsi ada
dan besar, tetapi betapa sulitnya mencari bukti dan definisi, seperti mencari jarum dalam
tumpukan jerami.
Korupsi bukanlah hanya persoalan hukum saja, tetapi juga merupakan persoalan sosial,
ekonomi, politik, budaya dan agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat
yang meluas serta tidak memadainya gaji dan upah yang diterima seorang pekerja,
merebaknya nafsu politik kekuasaan, budaya jalan pintas dalam mental suka menerabas
aturan, serta depolitisasi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah
membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas, di samping karena banyaknya
lapisan masyarakat dan komponen bangsa yang terlibat dalam tindak korupsi. Karena
itu, dekonstruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan kita perlu merancang dan
mewujudkannya dalam masyarakat baru yang antikorupsi.
Dekonstruksi sosial memerlukan tekad masyarakat sendiri untuk keluar dari jalur
kehidupan yang selama ini telah menyengsarakannya. Perlu ada tobat nasional untuk
memperbarui sikap hidup masyarakat yang antikorupsi karena ko- rupsi ternyata telah
menyengsarakan bangsa ini secara keseluruhan. Tobat dalam agama adalah kesadaran
total untuk tak mengulangi lagi perbuatannya karena memang perbuatan itu telah
mencelakakan dirinya dalam dosa. Dengan tobat, dia akan menjadi manusia baru yang
bebas dari pengulangan dosa-dosa lama yang telah diperbuatnya.
Tobat bukanlah basa-basi, tetapi komitmen transendental untuk menembus dan
memasuki kehidupan baru yang lebih baik. Dan tanpa tobat nasional, rasanya
pemberantasan korupsi seperti benang kusut yang sulit mengurainya. Tobat nasional
diperlukan untuk memotong budaya korupsi yang selama ini telah menjadi cara hidup,
berpikir, dan berperilaku masyarakat untuk mendapatkan kekayaan.

Tobat nasional harus dimulai dari imamnya, yaitu para pemimpin yang berada di puncak
kekuasaan. Pemimpin yang bersih dan berketeladanan dapat menjadi rujukan perilaku
rakyatnya. Pemimpin yang satunya kata dengan perbuatan, yang dengan rendah hati
bersedia melayani rakyatnya, karena sesungguhnya seorang pemimpin adalah pelayan
rakyatnya. Pemimpin yang cerdas, yang mampu membaca tanda-tanda zaman untuk
membawa rakyatnya ke arah masa depan yang lebih baik, jelas, dan terukur. Pemimpin
yang tidak bertopeng atas kekuasaannya sehingga denyut dan jeritan rakyatnya segera
tertangkap oleh hati nuraninya yang tidak bertopeng.
Topeng kekuasaan harus dibuka melalui mekanisme sistemik yang inheren dalam
kehidupan masyarakat baru yang sudah bertobat, yang dibangun dan dikawal oleh
kepemimpinan yang berkeladanan dan visioner. Mekanisme sistemik yang menyerap
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, kebebasan, dan kemandirian menjadi
kekuatan spiritual yang akan bekerja secara otomatis untuk melakukan kontrol atas
keseimbangan mekanisme internalnya sendiri. Sesungguhnya kehidupan masyarakat
adalah suatu mesin hidup yang mekanismenya otonom dan sistemik. Kehidupan
masyarakat akan sehat jika mekanisme internalnya terkendali oleh spiritualitas
kemanusiaan universal yang melandasi kehidupan manusia itu sendiri.
Dekonstruksi sosial bukanlah antitesis dari tesis yang ada, tetapi suatu sintesis dari
keunggulan-keunggulan kemanusiaan dan bersifat dinamis melalui proses dialektik
yang akan terus-menerus memperbarui dirinya. Sebagai sintesis, dekonstruksi sosial
merupakan rajutan-rajutan baru yang terbuka secara terus- menerus, dan keterbukaan
merupakan prasyarat utama dalam proses pembaruan itu sendiri.
Dekonstruksi sosial harus melahirkan sistem kehidupan masyarakat baru yang terbuka
dan semua urusan publik tidak lagi bertopeng. Rasanya korupsi hanya bisa dikendalikan
jika semua urusan publik dilepaskan dari pemujaan atas topeng-topeng kekuasaan yang
ada.
Musa Asyrie Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta

"Business Under Attack"


Oleh A Prasetyantoko
PADA suatu pagi di lobi sebuah hotel di Paris, seorang turis Amerika Serikat (AS) berujar
kepada saya, "Wah, hari ini cerah ya. Apa lagi, nilai bursa terangkat naik pagi ini. Inilah
saat yang baik untuk mengakhiri liburan dan kembali bekerja."
Sambil terus melayani percakapan, benak saya bekerja. Manusia modern sungguh hebat.
Dalam waktu yang sama bisa menikmati indahnya Kota Paris sambil terus memelototi
bursa.
Kemudian, gagasan saya berlari pada sebuah analisis tentang stereotype orang AS yang
sangat ambisius dan inovatif. Letak kehebatan orang AS adalah pada semangat (etat
d'esprit)-nya yang selalu berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Hegel pernah
menulis,"The American lives even more for his goals, for the future, than the Europe".
Sementara Einstein menambahkan, "Life for him is always becoming, never being"
(Newsweek, 16-23/9/2002).
Amerika adalah ladang paling subur untuk menanamkan benih-benih bisnis di era
modern ini. Di sana pulalah generasi pertama sekolah bisnis muncul dan berkembang.
Pada tahun 1908, Amerika sudah mulai menghasilkan gelar MBA (master of business
administration) yang kemudian berkembang sangat pesat hingga kini. Menurut survei
yang dilakukan oleh Institute for International Education, 14,4 persen siswa yang belajar
MBA di AS pada musim gugur tahun 2000, datang dari negara lain.
Akhirnya, harus diakui bahwa AS adalah pusat bisnis dunia. Bukan saja karena
didukung oleh perusahaan-perusahaan besar yang berkinerja baik, bursa saham yang
dinamis, lembaga keuangan yang kuat, tetapi juga karena didukung oleh para pelaku
bisnis yang hebat, lulusan sekolah bisnis terkemuka.
Dan karena pentingnya posisi AS dalam percaturan bisnis dunia, maka guncangan pada
bisnis di AS berdampak sangat luas. Dalam dua tahun terakhir ini, paling kurang ada
dua peristiwa penting yang bisa ditunjuk sebagai biang getaran dalam dinamika bisnis
modern.
Pertama, runtuhnya World Trade Center tidak jauh dari Wall Street. Kedua, terkuaknya
deretan skandal keuangan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di AS. Apa
implikasi dua peristiwa ini bagi masa depan peradaban bisnis modern?
Sekolah bisnis
Dalam The Economist (5/6/2002) terpampang sebuah artikel berjudul "Business School
Under Attack". Tentu saja, jika setahun sebelumnya tidak ada headline di hampir semua
media massa di dunia dengan tajuk "America Under Attack", maka judul ini tidak akan
menarik. Judul artikel-yang saya adopsi jadi judul tulisan ini-dengan segera memberi
inspirasi untuk mengaitkan antara serangan teroris dengan krisis sekolah bisnis. Secara
tidak langsung tentu saja.

Dua tokoh yang dirujuk dalam artikel tersebut adalah Jeffrey Pfeffer, profesor dari
Stanford University (pesaing terberat Harvard Business School) dan Henry Mintzberg,
profesor dari McGill University, Canada, yang juga mengajar di INSEAD, Perancis.
Mereka berdua adalah para profesor bisnis yang kritis terhadap eksistensi sekolah bisnis.
Setiap tahun lebih dari 100.000 lulusan MBA membanjir masuk bursa kerja AS. Pfeffer
mengajukan kalkulasi berikut ini. Jika mereka menghabiskan masa studi selama kurang
lebih dua tahun untuk menyelesaikan program MBA di salah satu sekolah terkemuka,
maka masing-masing akan mengeluarkan lebih dari 100.000 dollar AS untuk meraih
gelarnya. Malangnya, dari survei yang dilakukannya selama hampir 40 tahun, gelar sama
sekali tidak berhubungan secara positif dengan tingkat gaji maupun kariernya di
perusahaan.
Secara agak provokatif, Pfeffer mengajukan proposisi bahwa sekolah bisnis dianggap
telah gagal. Tidak semua lulusan MBA dari sekolah terkemuka berhasil memimpin
perusahaan dengan baik. Sebaliknya, banyak manajer sukses tanpa gelar. Jika
dilanjutkan, olok-olok akan sampai pada fakta bahwa George Bush Jr yang notabene
adalah seorang MBA telah gagal mengendalikan sistem bisnis AS.
Sementara itu, Mintzberg memberi rekomendasi bahwa program MBA hanya baik bagi
orang yang sudah memiliki pengalaman kerja. Karena pada dasarnya, bisnis bukanlah
perkara teori melainkan soal praktik dan pengalaman.
The Economist Intelligence Unit (EIU) pernah memprakarsai sebuah diskusi yang
menghadirkan para dekan dari beberapa sekolah bisnis terkemuka. Pertanyaan yang
diajukan sangat sederhana dan mendasar, "untuk apa sebenarnya MBA?"
Meyer Feldberg, dekan sekolah bisnis dari Columbia University menjawab dengan nada
enteng, "kebanyakan hanya untuk gagah-gagahan saja, menambah percaya diri".
Sementara itu, Peter Lorange-dekan Institute for Management Development (IMD) di
Switzerland - menjelaskan bahwa program MBA bertujuan membangun cara berpikir
yang kontekstual dalam jangka panjang. Mike Vitale, dekan Australian Graduate School
of Management mempercayai bahwa peranan program MBA yang utama adalah
menciptakan kondisi bagi para peserta didik agar mampu mempertajam kemampuannya
memimpin organisasi.
Tema yang cukup menonjol dalam diskusi adalah soal pentingnya pengalaman dalam
pendidikan MBA. Jadi sangat dibutuhkan metode komprehensif dari berbagai
pendekatan yang berbeda. Tema hangat lainnya adalah soal perlunya memberikan
wawasan yang bersifat interdisipliner. Misalnya saja, mata kuliah manajemen strategik
sebaiknya mengadopsi juga pendekatan-pendekatan sosiologi.
Demikian juga mata kuliah kewirausahaan yang membutuhkan bantuan psikologi dan
juga antropologi. Tanpa ada pendekatan yang komprehensif, para lulusan MBA hanya
akan menjadi "teknisi" dalam bisnis saja.
Konsekuensi

Provokasi Pfeffer dan Mintzberg secara tersirat menunjukkan bahwa pendekatan


konvensional dalam bisnis sudah tidak relevan lagi. Konteks bisnis telah berubah.
Serangan teroris menyadarkan para pelaku bisnis bahwa kalkulasi bisnis tidak bisa
meniadakan begitu saja konteks sosial-politik-budaya. Bisnis tidak bisa lepas dari
konteksnya, sebagaimana disangka selama ini.
Konsekuensinya, dalam pembuatan perencanaan strategi misalnya, para pelaku bisnis
tidak bisa hanya mengandalkan variabel-variabel konvensional saja. Sekarang ini, metode
scenario planning banyak dipakai karena memberi kemungkinan melakukan
perhitungan bisnis secara lebih luas, sekaligus komprehensif.
Sementara itu, terkuaknya berbagai malpraktik perusahaan AS telah menunjukkan
bahwa para aktor tidak bisa diberi kekuasaan terlalu besar. Bagaimanapun, kerangka
institutional penting agar keseimbangan bisa sedikit diwujudkan. Pertanyaannya, apakah
dari dua peristiwa penting ini bisnis bisa digerakkan menuju peradaban yang lain?
Usaha untuk itu memang ada. Tetapi apakah berarti sedang terjadi perubahan
paradigma, saya agak ragu.
Hari-hari ini, di AS sedang terjadi diskusi tentang sistem pengawasan terhadap kinerja
keuangan perusahaan. Intinya adalah memasukkan pihak ketiga yang dianggap netral
sebagai dewan pengawas.
Jack Bogle, pendiri sekaligus mantan direktur Vanguard-sebuah kelompok mutual fundmengusulkan agar pola evaluasi kinerja keuangan tidak diorientasikan dalam jangka
pendek saja, melainkan jangka panjang (Financial Times, 18/9/2002). Dia menggunakan
istilah "the silent of the funds", sebagai sesuatu yang seharusnya ditiadakan, untuk
meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan perusahaan.
Rupanya, dari segi pengawasan kinerja keuangan ini saja, sudah melibatkan perangkat
yang begitu rumit. Karena pergeseran prinsip ini harus melalui persetujuan terlebih
dahulu dari Financial Accounting Standards Board (FASB), sebagai pembuat aturan
sistem pembukuan di AS, dan juga International Accounting Standards Board (IASB)
guna mendapatkan legitimasi pada tingkat internasional.
Rasanya, usaha untuk mereformasi praktik bisnis di era-modern ini akan menyangkut
perkara yang sangat besar dan melibatkan perangkat yang luas. Bukan saja pada tingkat
aturan, yang sudah jelas akan selalu tertinggal dari praktik bisnis. Tetapi, juga pada
sumber daya yang lain, seperti teknologi dan informasi yang telah membuat praktik
bisnis bisa dikendalikan dari tempat yang sangat jauh, sambil liburan.
Dan dari semua itu, hal yang paling mendasar untuk direformasi adalah soal cara
pandang yang sudah melekat pada gerak pikir para aktor yang tentu saja tidak mudah
dipatahkan hanya oleh sekadar regulasi. Maka salah satu usaha untuk melakukan
reformasi adalah melakukan perubahan pada sekolah bisnis, tempat para pelaku bisnis
menjalani masa pendidikan.

Alasannya? Karena struktur bisnis modern disangga oleh para aktor, maka
mempengaruhi cara pikir para pelaku bisnis bukanlah sesuatu yang tak ada gunanya.
A PRASETYANTOKO Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta

Cak Nur Khazanah Bangsa


Oleh M. Alfan Alfian M. *

Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur) meninggal dunia pada 29 Agustus
2005 dengan meninggalkan khazanah pemikiran yang perlu ditelaah dan nilai-nilai yang
pantas dikembangkan. Ulama-intelektual kelahiran Jombang itu juga merupakan pelaku
sejarah pada detik-detik pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke era reformasi.
Cak Nur tidak memiliki "pengikut kuantitatif" sebagaimana Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) yang merupakan pucuk elite Nahdlatul Ulama (NU). Kemunculan Cak Nur tak
lepas dari organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang aspirasi politiknya lebih
cair dan tidak tunggal.
Tetapi, justru dari situlah "kelebihan" Cak Nur. Dia lebih dipandang sebagai pemikir, resi,
cendekiawan, intelektual yang menawarkan gagasan inklusifisme dan pluralisme dalam
kehidupan beragama dan berbangsa.
Duka tidak hanya menggelayuti kalangan muslim (modernis), tetapi juga elemen-elemen
bangsa lain, mengingat Cak Nur sudah dianggap sebagai "Bapak Bangsa" yang
kearifannya senantiasa ditunggu.
Pada saat ditengok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Rumah Sakit Pondok Indah
beberapa waktu lalu, Cak Nur sempat mendoakan rakyat Indonesia. Itu menunjukkan
betapa sampai "detik terakhir" Cak Nur memiliki komitmen yang tak diragukan atas
kemajuan bangsa.
Politik Nilai
Sejak awal, dalam kehidupan dan dinamika politik bangsa, Cak Nur berupaya berpihak
pada nilai-nilai demokrasi yang meneguhkan prinsip checks and balances.
Pada era Orde Baru, Cak Nur pernah berkampanye untuk kemenangan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) -walaupun sebelumnya dia berpendirian bahwa dalam berpolitik,
umat Islam tak mesti ikut Partai Islam, dengan jargon yang hingga kini masih dikenal,
"Islam Yes, Partai Islam No". Cak Nur memandang perlunya kekuatan pengimbang di
kala Golkar demikian dominan dan hegemonik pada era Orde Baru.
Di senjakala Orde Baru, Cak Nur melontarkan gagasan "oposisi loyal", menjadi
pemrakarsa berdirinya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan melontarkan
gagasan-gagasan kritis tentang perlunya dibuka keran demokrasi yang lebih luas.
Karena itu, Cak Nur cenderung pada "politik nilai". Harus ada perubahan ke arah yang
lebih baik, tetapi tidak harus ikut dalam arus kekuasaan. Tawaran memimpin sebuah
badan tatkala Soeharto hendak lengser pun ditolak dengan dalih yang normatif. Cak Nur
tidak sekadar menjaga citra, tetapi tidak mau terlibat dalam silang-sengkarut kekuasaan
pasca-Soeharto.

Meski demikian, sisi manusiawi Cak Nur mengedepan juga tatkala didorong temanteman dekatnya untuk ikut ambil bagian dalam kompetisi pemilihan presiden langsung.
Cak Nur pun mencari dukungan partai politik.
Dia, misalnya, sempat hendak ikut Konvensi Partai Golkar tapi dibatalkannya. Dari
kalkulasi politik, Cak Nur gagal. Tetapi, toh dia masih dianggap sebagai ikon "politik
nilai" dan cenderung diletakkan sebagai "Guru Bangsa".
Doa Cak Nur
Arus utama pemikiran politik Cak Nur dapat ditelusuri lewat kliping pemikiran dan
pandangannya yang merentang dari persoalan agama (Islam), kemodernan, dan
keindonesiaan. Itulah sumbangan pemikiran dan sikap khazanah khas Islam-santri yang
modernis dan berwawasan luas. Cak Nur mampu menunjukkan kepada bangsa
sumbangan khazanah Islam-santri yang tidak anti-kemajuan dan berpihak pada nilainilai demokrasi.
Pemikirannya tentang inklusifisme dan pluralisme mengilhami umat (Islam) dan bangsa
untuk senantiasa bersikap toleran dan menghargai "taman sari perbedaan". Perbedaan
adalah rahmat dan mampu memunculkan sebuah mozaik yang indah.
Satu catatan yang perlu digarisbawahi dari Cak Nur, dalam mengutarakan sikap dan
pandangannya, dia selalu santun dan tidak mau terjebak pada emosi serta
ketidaksantunan. Cak Nur tidak reaksioner.
Karena itulah, para pelanjut pemikiran Cak Nur seharusnya juga meneladani
kesantunannya dalam menawarkan dan membela gagasannya.
Doa Cak Nur kepada rakyat dan bangsa Indonesia, bagaimanapun, memberikan pesan
kepada kita yang ditinggalkan untuk menengok persoalan- persoalan bangsa yang amat
kompleks saat ini. Bangsa ini akan terus berproses dan akan mengalami pasang-naik
serta pasang-surut.
Mudah-mudahan doa tersebut segera ditangkap sebagai motivasi bagi semua kalangan,
baik elite maupun nonelite, untuk segera memperbaiki diri, melakukan "revolusi
mentalitas", berpihak pada "nilai", serta tidak terjebak dan menikmati hal-hal yang
langsung atau tidak memperparah "kerusakan" bangsa ini.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat jalan Cak Nur.
* M. Alfan Alfian M., direktur riset Akbar Tandjung Institute dan dosen FISIP Universitas
Nasional, Jakarta

''Civil Society'' dan ''Civil Disobedience''


KETIKA partai politik (parpol) tidak bisa menjadi solusi, tetapi justru problem,
masyarakat warga (civil society, CS) kembali menjadi tumpuan harapan. CS yang terusmenerus bergulir, dikembangkan dan diberi isi baru itu intinya adalah kemampuan
masyarakat mengorganisasi diri. Dialah bagian dari demokratisasi. Amatlah menarik
mengikuti kehadiran konsep dan gerakan CS di Indonesia. Di era Soeharto, ketika
demokratisasi mendapat represi, justru CS muncul dan berkembang. Ketika Soeharto
lengser, disusul pemerintahan BJ Habibie, lantas Abdurrahman Wahid, CS diharapkan
marak kembali. Kenyataannya lain. Pemerintahan tokoh penganjur CS itu pun serupa
pendahulu-pendahulu sebelumnya. Kemudian CS diharapkan marak pada pemerintahan
Megawati. Setahun setelah Indonesia di bawah Megawati, dalam progress report
kemarin, diakui salah satu keberhasilan pemerintahannya adalah suasana kebebasan.
Apakah pengakuan itu cermin dari maraknya CS di kemudian hari? Ternyata justru
dalam setahun pemerintahan dan parlemen hasil Pemilu 1999 yang dianggap
demokratis, dominasi yudikatif terlalu besar. Sekarang ini, ketika rakyat mulai
memperoleh kesempatan mengorganisasi diri dengan kuatnya ranah kekuasaan
(parlemen), masa depan CS menjadi pertanyaan. Parlemen seolah menggantikan posisi
negara (eksekutif). Bandul berayun dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lain.

***
PENGALAMAN Thailand diangkat oleh seorang panelis (Saldi Irsa). Dalam membuat
konstitusi baru, Thailand sengaja mengamputasi kekuatan ranah kekuasaan dalam
melakukan perubahan konstitusi. Desakan melakukan reformasi konstitusi oleh sebuah
lembaga konstitusi khusus yang independen tidak terlepas dari adanya keyakinan
parlemen ini sarat dengan kepentingan politik.
Desakan CS itu mendapat dukungan dari eksekutif, perdana menteri. Jalan menuju
reformasi semakin mudah. Sebagian anggota parlemen ikut juga melakukan perubahan.
Langkah konkretnya, pasal perubahan konstitusi dari kewenangan parlemen diubah
menjadi kewenangan Conctitution Draft Assembly atau semacam komisi konstitusi.
Yang terjadi di Thailand berbeda dengan Indonesia. Pro-kontra amandemen Keempat
UUD 1945 ramai dibicarakan, tarik ulur antara soal kewenangan, perlu tidaknya
perubahan dan mana saja yang mesti diprioritaskan, mewarnai persidangan dan wacana
di luar ST MPR 2002.
Semangat mengembangkan CS memang besar, tetapi tampaknya itu tidak mudah,
sehingga sudah ada yang memperkirakan bakal deadlock. Digambarkan oleh seorang
panelis tentang tingkat intelektualitas anggota parlemen. Katanya, dalam suatu
persidangan resmi, ketika anggota parlemen bermaksud mengatakan instruksi yang
keluar adalah interupsi, ketika menolak pilihan presiden langsung yang dia katakan
adalah setuju dengan pilihan one man one vote.

Persoalan menjadi lain, kalau usulan-usulan sekitar 60 LSM termasuk CETRO, Kagama,
dan kalangan intelektual diterima. Mereka mengusulkan satu komisi konstitusi yang
terdiri bukan hanya anggota parlemen. Artinya perlu dilakukan dulu pengesahan pasal
tentang wewenang MPR sebagai pembuat UU.
Akan tetapi, ketika MPR tetap berteguh kurang percaya pada kehadiran CS, bisa saja
berkembang wacana bahkan menjadi semacam gerakan "pembangkangan warga" (civil
disobedience). Spekulasi itu berangkat dari perasaan tidak terwakilinya aspirasi
masyarakat.

***
ISTILAH civil disobedience (CD), pembangkangan warga, awalnya berarti ketidaktaatan
warga kepada negara. Gerakan ini sudah lama berlangsung, tetapi sebagai konsep
gerakan dan perumusannya relatif baru. Apa yang dilakukan oleh suku-suku terasing,
semacam gerakan orang Samin di Jawa Timur, termasuk dalam konteks CD.
Selama ini pandangan masyarakat masih menilai CD terbatas pada ketidaktaatan
hukum, jadi negatif. Namun, dalam perkembangan masyarakat yang semakin terbuka,
konsep itu memperoleh nuansa baru. Ia bukan hanya bisa dilakukan tetapi menjadi wajib
dilakukan, sebab merupakan pengakuan akan hak-hak sipil (A Sudiardja, Negara
Hukum dan "Civil Disobedience" dalam "Etika Politik dalam Konteks Indonesia",
Kanisius: 2001). Karena itu, CD pun bisa ditempatkan sebagai rintisan tumbuh dan
berkembangnya masyarakat warga (CS).
Dalam peristiwa aktual hari-hari ini, terutama menyangkut silang pendapat amandemen
Keempat UUD 1945, bisakah CD diwacanakan sebagai jalan keluar? Bentuknya bukan
sebagai "pembangkangan fisik", meskipun bila perlu bisa dilakukan, tetapi semacam
penguatan kelompok-kelompok CS sebagai gerakan bersama.
Sebagai gerakan, CD bukanlah teori politik atau ajaran moral. Awalnya CD hanya sebuah
gerakan melawan hukum, yang disebabkan hukum tidak bisa lagi memberi
perlindungan seperti halnya pada pengungkapan kasus-kasus KKN di mana terjadi
praktik impunity. Robert T Hall, salah satu pakar yang merumuskan CD, mengatakan
hanya dua unsur yang membedakan CD dan tindakan protes lain, yakni ilegalitas
tindakannya dan motivasi moral.
Dalam konteks itu, seperti ditulis Sudiardja, CD sebenarnya sudah dirintis oleh kalangan
martin Kristen awal abad-abad pertama, ketika mereka melawan perintah kaisar Romawi
dan lebih suka mati dimangsa banteng di arena adu binatang (amphitheatrum). Dengan
mati sahid, mereka menyatakan ketaatan kepada Allah lebih tinggi daripada ketaatan
pada hukum buatan manusia.
Meskipun praktik CD sudah berlangsung berabad-abad, juga di kalangan penganut
agama-agama lain, istilah CD baru dikenal abad ke-19 ketika kekuasaan negara semakin
kuat sementara kekuatan rakyat semakin lemah. Tokoh pelaku CD di zaman modern dan
boleh dikatakan sebagai guru adalah Mahatma Gandhi.

Melawan supremasi hukum tidak adil yang dilakukan pemerintah penjajah, Inggris,
Gandhi melakukan CD dengan perjuangan tanpa kekerasan. Mula-mula dia sebut
perlawanan pasif (passive resistence), kemudian dia ubah jadi satyagraha. CD model
Gandhi memang jauh dari tindakan kekerasan. Tetapi dalam perkembangannya, CD bisa
saja menjadi jalan fatalistis karena tidak memperhitungkan faktor realitas, sebaliknya
bisa menjadi anarki kalau dilakukan dengan pemaksaan.

***
BISAKAH CD menjadi terobossan CS? Kasus-kasus unjuk rasa di Indonesia yang marak
akhir-akhir ini, bisakah digolongkan sebagai CD? Berangkat dari batasan Hall maupun
penjelasan Sudiardja, kasus-kasus itu bukanlah CD. Kasus- kasus itu lebih pada
pemaksaan kehendak. Yang diperjuangkan bukanlah kepentingan umum, tetapi
kepentingan kelompok. Apalagi kalau dilakukan dengan kekerasan atau dibayar oleh
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Bagaimana dengan gerakan mahasiswa di Indonesia, baik sejak tahun 1996 yang
menurunkan Soekarno dan 1998 yang menurunkan Soeharto? Kasus ini menarik bila
dihubungkan dengan batasan-batasan yang diberikan Hall atau penulis lain sebelumnya,
Abe Fortas.
Awalnya CD bersifat non-violence. Tetapi, ketika kekerasan dilakukan oleh negara
diktatorial, cara kekerasan pun rupanya dibolehkan. Hal itu dibenarkan Hall dengan
syarat pertimbangan moral yang ketat. Sebab, ilmplikasi menggunakan kekerasan
amatlah gampang beralih jadi makar. Pertimbangan yang harus dilakukan adalah,
apakah pelaku CD dapat membatasi diri dan tidak malakukan provokasi umum yang
melawan pemerintah.
Wacana semacam itu bisa menjadi persoalan moral, sementara Hall lebih berpijak pada
pendekatan sosio-politis. Sehingga, yang dianjurkan oleh kedua pemikir di atas adalah
melihat persoalan secara kasus per kasus.
Kalau masalahnya ditarik ke soal ST MPR 2002 dengan salah satu masalah krusial
menyangkut amandemen UUD 1945, apakah mungkin wacana CD bisa ditempatkan
sebagai gerakan CS?
Menjawab itu perlu diingatkan, CD tidak bisa menjadi norma umum, karena sifatnya
yang spontan dan kasuistik sebagai gerakan moral. CD bukan ideologi keagamaan atau
program partai. CD juga tidak bisa dipromosikan secara terencana seperti halnya CS.
Namun demikian, catatan Sudiardja, berkembang tidaknya gerakan CD bisa menjadi
tanda berkembang tidaknya kesadaran masyarakat. Karena itu, CD boleh dikatakan
sebagai rintisan yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya masyarakat warga (CS).

***

MEMPERKENALKAN gerakan CD jauh dari semangat makar. Memperkenalkan gerakan


CD sekadar menunjukkan jalan alternatif di tengah kebuntuan dan kelesuan semangat
mengembangkan CS di negeri ini. Dalam sejarah ketatanegaraan dan praksis bernegara,
konsep, semangat, dan gerakan CS sudah sarat makna dan selalu diperbarui, termasuk
upaya membawa dalam konteks agama. Semangat utama CS adalah semangat
bagaimana praksis kenegaraan memperhitungkan kehadiran rakyat.
Secara internasional pun, CS terus dikaji dan dipraktikkan bukan hanya sebagai gerakan
seperti CD tetapi nyaris sebagai ideologi politik yang harus diperjuangkan. Konsepnya
adalah sosio-politik dan merambah semua bidang. CIVICUS, misalnya, salah satu LSM
yang secara terencana menggerakkan CS banyak meluncurkan buku sekitar perjuangan
CS. Satu di antaranya, sebuah bunga rampai berjudul "Civil Society at the Millenium"
(1999), yang antara lain memuat bagaimana CS dipraktikkan dalam segala bidang
kehidupan.
Dimanakah posisi Indonesia sekarang? Mengikuti kinerja dan reaksi yang ditunjukkan
MPR, menjadi aneh dan absurd ketika wakil-wakil rakyat itu tidak compatible dengan
suara yang diwakili. Wakil rakyat berganti peran tidak lagi sebagai penyuara yang
diwakili, yakni rakyat Indonesia secara keseluruhan, tetapi suara elite partai yang berarti
suara sekelompok orang dengan tujuan- tujuan jangka pendek pragmatis-sempit.
Kalau demikian, sudah wajar kalau gerakan CD menjadi keharusan. CD tak perlu
bertentangan CS, bukan juga sebuah tindakan makar. CD bisa menjadi rintisan
pengembangan CS, ketika tak dilihat lagi jalan keluar.
Diskusi politik terbatas Kompas memang tidak menganjurkan direalisasikannya gerakan
CD. Tetapi, dalam sebuah proses politik yang mengembangkan hegemoni salah satu
ranah, katakan saja yudikatif (parlemen), sudah waktunya CD ("pembangkangan warga")
menjadi pilihan yang perlu diwacanakan. Bentuk dan caranya bisa dibicarakan, dan tidak
selalu berupa makar.
Ditempatkan secara tepat dan bijaksana, mengindahkan tata krama, bukan tidak
mungkin gerakan ini menjadi terobosan penguatan masyarakat warga (civil society),
yang sekarang menghadapi tembok batu. (ST SULARTO)

Dampak Repatriasi Modal di AS


Oleh A Tony Prasetiantono
SEBUAH berita Investor Arab Saudi Tarik Milyaran Dollar Keluar AS diturunkan
Kompas (22/8/ 2002) di halaman depan. Ini berita menarik. Semula saya tak terlalu kaget
dengan judul berita ini. Saya pikir, biasa saja modal mengalir keluar- masuk Amerika
Serikat (AS), termasuk penarikan oleh investor Arab Saudi. Namun, setelah dicermati,
ternyata jumlah yang ditarik pemodal dari Arab Saudi itu-menurut Financial Times yang
terbit di London-konon mencapai 200 milyar dollar AS dalam beberapa bulan terakhir!
Kalau ini angkanya, jelas amat besar sehingga tidak bisa dipandang enteng.
Ibarat sebuah pelabuhan raksasa, AS adalah tempat persinggahan bagi kapal- kapal
besar dari seluruh dunia, yang datang dan pergi dalam hitungan detik, sekejap dua
kejap. Terlebih di era globalisasi ini, perpindahan modal dari satu tempat ke tempat lain
begitu mudah, semudah orang memencet tombol komputer. Lalu lintas modal sudah
sedemikian sempurna, tak bisa dihambat secara fisik, karena transaksinya bisa dilakukan
secara amat mudah melalui "alam maya".
Pertanyaannya kini, mungkinkah terjadi repatriasi dana "mudik" dari AS sampai
sedemikian besar? Bila mungkin, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian AS?
Lalu bagaimana imbasnya bagi perekonomian Indonesia?
Krisis kepercayaan
Hal pertama yang harus diulas lebih dulu adalah, kejadian apa yang menyebabkan
penarikan dana dari AS dalam skala besar? Menurut berita yang dikutip Kompas,
penyebabnya adalah kepanikan investor Arab Saudi karena timbulnya reaksi keras di AS
untuk membekukan aset-aset Arab Saudi, sebagai buntut tragedi 11 September 2001,
yang sebentar lagi akan genap berusia setahun.
Secara emosional memang ada desakan di dalam negeri AS untuk melakukan
pembekuan aset-aset itu. Tetapi, masalahnya, apakah Pemerintah AS "berani"
melakukannya? Tidakkah pemerintah Presiden George W Bush akan berhitung untungruginya secara lebih berhati-hati, karena tindakan ini selain membabi buta,
menggeneralisasi secara gampangan, juga bisa menjadi bumerang yang akan
membinasakan perekonomian AS sendiri? Tidakkah ini nantinya akan menjadi tindakan
"bunuh diri" yang jelas amat kontraproduktif?
Di sisi lain, para investor Arab Saudi juga harus cermat berhitung, apakah tindakan
repatriasi itu cukup rasional? Apakah benar pembekuan investasi Arab di AS akan
dilakukan begitu saja, secara sembrono? Atau, kalaupun terpaksa dilakukan, tidakkah
dengan cara amat selektif? Bila benar melakukan repatriasi, berapa jumlahnya? Apakah
mungkin sampai 200 milyar dollar AS? Apakah ini dilakukan secara temporer, atau akan
bersifat permanen? Teka-teki ini amat menarik dicermati.
Supaya tidak bingung membayangkan angka 200 milyar dollar AS, mari disimak data
perekonomian AS. Memahami besaran (magnitude) ekonomi ini penting, supaya kita

tidak tersesat dan lantas mengambil kesimpulan "konyol". Lemahnya pemahaman


tentang besaran ekonomi jugalah yang membuat orang terjebak pada mimpi, lalu
menggali "harta karun" di Batutulis Bogor, untuk membayar utang Pemerintah
Indonesia. Padahal, jumlah utang Pemerintah Indonesia itu amat dahsyat: 70 milyar
dollar AS (luar negeri) ditambah Rp 700 trilyun (dalam negeri). Bila mau, masih ada lagi
utang luar negeri oleh swasta, jumlahnya juga 70 milyar dollar AS.
Bagaimana utang sebesar "dinosaurus" ini mau dibayar dengan hasil galian sepetak
tanah di Bogor? Yang benar saja! Galian emas segede gunung oleh Freeport di Timika
pun belum akan mampu melunasinya. Hanya penjualan harta karun di BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) yang menghasilkan recovery rate (tingkat
pengembalian) yang tinggi saja yang bisa dipakai untuk membayar utang. Itu pun
ternyata tidak bisa, karena recovery rate BPPN cuma 28 persen. Harta itu benar-benar
ada di BPPN, di Wisma Danamon Jalan Sudirman, Jakarta, bukan di situs Kerajaan
Pajajaran di Bogor.
Sebagai gambaran, inilah angka-angka neraca finansial (financial account) AS pada tahun
2000, yang bisa diakses dari Biro Analisis Ekonomi, Departemen Perdagangan
(www.bea.doc.gov). Kekayaan pihak asing yang mengalir ke AS sepanjang tahun 2000
tercatat mencapai 952 milyar dollar AS, yang terdiri dari aset pemerintah asing 36 milyar
dollar AS, dan swasta asing 916 milyar dollar AS.
Dari dana yang mengalir masuk ke AS itu, dapat dipilah menjadi subkomponen:
investasi langsung (direct investment) 316 milyar dollar AS, pembelian surat berharga
dan dollar AS 414 milyar dollar AS, dan pinjaman kepada perusahaan AS termasuk
bank-bank AS 185 milyar dollar AS. Sayang saya tidak sempat mengakses data terbaru
(2001 dan semester pertama 2002), namun diperkirakan angka-angkanya menurun cukup
tajam, seiring melesunya perekonomian, termasuk di antaranya terkena dampak
peristiwa 11 September 2001.
Bila terjadi repatriasi oleh investor Arab Saudi sampai 200 milyar dollar, itu berarti
berasal dari subkomponen "surat berharga" dan "pasar uang" yang jumlahnya 400-an
milyar dollar AS. Karena subkomponen "investasi langsung" tak bisa ditarik segera
(sudah berbentuk pabrik ataupun perusahaan), begitu pula pinjaman kepada perusahaan
AS (menunggu jatuh tempo). Jika besaran repatriasi investor Arab Saudi (200 milyar
dollar) dibandingkan investasi portofolio yang masuk ke AS (414 milyar dollar), berarti
penarikan dana itu skalanya sampai 50 persen. Mungkinkah?
Jawaban yang tegas atas pertanyaan ini, terus terang, cukup sulit dipastikan. Bisa ya, bila
telah terjadi kepanikan dan krisis kepercayaan yang luar biasa, sehingga menyebabkan
investor terbirit-birit menarik dananya. Namun masalahnya, apakah cukup alasan bagi
investor untuk menjadi teramat ketakutan seperti itu? Ini yang susah ditebak saat ini.
Sementara itu, ada pula data yang menyebutkan, investasi Arab Saudi dalam berbagai
bentuk portofolio seperti surat berharga dan real estat konon mencapai 400 hingga 600
milyar dollar (The Australian Financial Review, 22/8/2002). Konon (lagi-lagi konon)
antara 100 milyar hingga 200 milyar dollar aset ini langsung dijual, segera sesudah

muncul komentar, AS akan membekukan aset Arab Saudi. Namun, melakukan


konfirmasi terhadap angka-angka ini, jelas bukan hal yang mudah.
Hal lain yang perlu diingat adalah, selain Arab Saudi, masih ada investor asing besar
(bahkan yang terbesar) di AS, yakni Jepang. Sudah menjadi pengetahuan umum, Jepang
adalah investor yang "amat rakus" di AS. Ini merupakan konsekuensi logis karakteristik
perekonomian Jepang. Sebagai negara yang perekonomiannya amat maju, otoritas
moneter Jepang berhasil membuat suku bunga amat rendah, bahkan praktis nol persen
(virtually zero).
Dampak positifnya adalah cost of capital (biaya modal) menjadi murah, investasi di
sektor riil didorong lebih bergairah. Tetapi, tunggu dulu. Ternyata, juga ada dampak
negatifnya. Para pemilik modal (kebanyakan terhimpun dalam fund management, dana
pensiun, dan lainnya) melirik luar negeri untuk menyalurkan dananya. Ada yang
mengalirkannya kepada pengusaha Indonesia, yang akhirnya berbuah krisis utang luar
negeri yang membangkrutkan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997/1998. Ada pula
yang lebih senang bermain aman (safety first) dengan membeli obligasi Pemerintah AS,
baik yang berjangka pendek (US Treasury Bills) maupun jangka panjang (US Treasury
Bonds). Investasi model begini disukai Jepang, karena obligasi Pemerintah AS termasuk
paling favorit dan bereputasi tinggi. Sejauh ini, investor asing terbesar "pemangsa"
obligasi Pemerintah AS (yang dipakai untuk menomboki defisit anggaran) adalah
investor Jepang.
Dengan logika ini, kemungkinan repatriasi oleh Arab Saudi belum sampai 200 milyar
dollar AS. Bahwa repatriasi itu terjadi, itu memang tak terhindarkan. Selain karena
persoalan politik, masih ada alasan lain atas penarikan dana dari AS, yakni
terungkapnya skandal-skandal keuangan yang memalukan, yang jumlahnya kian
banyak. Skandal Worldcom (pemilik saluran telepon terbesar kedua MCI) misalnya, yang
semula hanya 3,8 milyar dollar AS, ternyata angkanya direvisi menjadi 6,2 milyar dollar
AS. Bukan mustahil angka ini pun bukan final number. Siapa tahu direvisi lagi lebih
besar?
Dampak bagi Indonesia
Tampaknya masih perlu waktu untuk merekonfirmasi, seberapa parah terjadinya
repatriasi modal dari AS. Sementara, para investor pun tampaknya juga masih mikirmikir, apakah repatriasi perlu segera dilakukan. Kalaupun dilakukan, seberapa lama
mereka pergi? Jangka pendek, menengah, atau jangka panjang?
Terlepas dari soal besarannya, yang jelas beberapa indikator ekonomi juga menyiratkan
memburuknya perekonomian AS. Dollar AS terus melemah. Bagi Indonesia, ini berita
bagus. Itu sebabnya, dalam beberapa pekan terakhir, rupiah cenderung kuat dan stabil
meski tidak ditemukan sinyal positif dari indikator ekonomi fundamental kita. Rupiah
cenderung perkasa di bawah Rp 9.000-an per dollar AS.
Sementara di lantai bursa di New York, indeks Dow Jones terus berkutat di level rendah,
di bawah 9.000 (sekitar 8.800-an). Angka jelek ini jelas terpengaruh skandal keuangan.
Namun, belum jelas apakah masalah repatriasi modal juga sudah mulai

menggerogotinya. Banyak yang meyakini, kalau repatriasi besar- besaran benar-benar


terjadi, indeks Dow Jones sudah tenggelam di bawah 8.000.
Bagi Indonesia, satu hal sudah amat jelas. Perekonomian Indonesia pernah
berpengalaman menderita bleeding pelarian modal (capital flight). Jumlahnya amat besar
untuk ukuran kita, yakni 35 milyar dollar selama periode tahun 1997- 2001. Bleeding itu
baru berakhir tahun 2001, dan kini sudah mulai ada yang kembali (repatriasi). Sebagai
perbandingan, capital flight ini (ada yang lebih suka menyebutnya capital outflow
sehingga memberi kesan "kurang seram") jumlahnya lebih besar dari cadangan devisa
yang dikuasai pemerintah. Devisa murni pemerintah kini 18 milyar dollar (neto),
ditambah "titipan" dari IMF 10 milyar dollar, sehingga total 28 milyar dollar (bruto).
Perekonomian Indonesia kolaps karena capital flight yang nyaris dua kali lipat cadangan
devisa netonya. Sedangkan bagi AS, bila benar terjadi penarikan 200 milyar AS, tentu
akan mengancam perekonomiannya. Karena yang paling ditakutkan adalah dampak
ikutannya (contagion effect).
Kalau AS kolaps, dampaknya akan ke mana-mana. Selama ini defisit besar AS kepada
Jepang dan Cina. Jadi, begitu AS kolaps, Jepang, dan Cina akan ikut sakit. Bila Jepang
sakit, otomatis berdampak dahsyat terhadap perekonomian Indonesia, karena
ketergantungan kita dalam hal ekspor, investasi, APBN, dan penundaan utang luar
negeri (Paris Club).
Inilah jeleknya globalisasi. Tak ada lagi negara yang dapat diisolasi, sehingga sebuah
kejadian jelek ekonomi, apalagi itu menyangkut superpower ekonomi seperti AS,
dampaknya akan langsung menyapu seluruh dunia. Karena itu, tak ada satu pihak pun
yang diuntungkan dengan repatriasi ini. Tidak bagi AS, tidak bagi Arab Saudi (mereka
juga akan bingung menentukan portofolionya yang paling aman), dan tidak pula bagi
Indonesia yang detak kehidupan ekonominya tergantung para pemain besar itu.
Semoga semua pihak menahan diri untuk tidak melakukan tindakan "bunuh diri
bersama-sama". AS harus menahan diri, Arab Saudi juga, dan kita menontonnya dengan
berdebar-debar.
A Tony Prasetiantono Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada

Dunia Terancam Deflasi?


Oleh A Tony Prasetiantono
DEFLASI. Istilah ini tiba-tiba banyak dibicarakan kalangan ekonomi dunia. Katanya,
negara-negara maju dirundung deflasi? Apa implikasinya? Bagaimana konsekuensinya?
Bagaimana pula hal ini akan berdampak terhadap perekonomian dunia dan
perekonomian Indonesia?
Harian Kompas (15/11/02) memberitakan, Ketua Bank Sentral Amerika Serikat (AS)
(The Fed) Alan Greenspan membatah perekonomian negaranya ada di ambang deflasi,
meski ia mengakui perekonomian AS sedang bergerak lamban.
Deflasi, atau sering disebut disinflasi (disinflation) adalah kecenderungan terjadinya
penurunan harga secara menyeluruh (a decrease in the overall level of prices). AS pernah
mengalami deflasi panjang, tahun 1920-an dan 1930-an, saat perekonomiannya
terjerumus dalam depresi besar (great depression). Dari tahun 1929 hingga 1933, tingkat
harga di AS jatuh 25 persen. Inilah deflasi terbesar dalam sejarah perekonomian AS.
Mengapa ditakuti?
Mengapa deflasi ditakuti? Ada dua teori yang diajukan para ekonom guna menjelaskan
mengapa penurunan harga dapat menekan tingkat pendapatan yang selanjutnya dapat
menyeret ke resesi global, sebagaimana dikemukakan ekonom Harvard, Gregory
Mankiw (Macroeconomics, Worth Publishers, New York, edisi 2003).
Teori pertama, debt-deflation theory. Dalam teori ini, penurunan harga akan
menyebabkan para pengusaha kesulitan membayar utangnya. Para debitor mengalami
penurunan penerimaan (revenue) dari hasil usahanya yang tak cukup untuk membayar
utang kepada kreditor.
Teori kedua menjelaskan efek deflasi. Konsekuensi logis dari peristiwa ini, perusahaanperusahaan akan cenderung melakukan penghematan, antara lain dengan pemutusan
hubungan kerja karyawannya (lay-off). Selanjutnya, hal ini akan berakibat buruk pada
perekonomian makro yang cenderung mengalami kontraksi.
Secara kronologis, fenomena deflasi berpotensi menggulirkan (1) peningkatan kredit
macet (bad debt), (2) peningkatan pengangguran, dan akhirnya (3) resesi dunia, bahkan
level yang lebih ditakuti, yakni depresi. Masalahnya kini, apakah hal itu sebenarnya
sudah terjadi (fakta), atau masih sekadar sebagai potensi?
Deflasi, sebenarnya sudah terjadi, bukan di AS tetapi di Jepang. Selama dasawarsa 1990an, perekonomian Jepang menunjukkan tanda-tanda menurun, setelah sebelumnya
menikmati pertumbuhan tinggi. Saat itu, rata-rata pertumbuhan hannya 1,3 persen,
dibanding 4,3 persen 20 tahun sebelumnya, sedangkan tingkat pengangguran, yang
sepanjang sejarah Jepang selalu rendah, meningkat dari 2,1 persen (1990) menjadi 4,7
persen (1999). Sejak Agustus 2001, tingkat pengangguran mencapai lima persen atau
tertinggi sejak Pemerintah Jepang mengenal statistik data ini pada tahun 1953.

Mengapa Jepang yang perekonomiannya tangguh bisa mengalami downturn? Banyak


penyebabnya. Namun, beberapa kuncinya adalah sebagai berikut.
Pertama, mata uang yen mengalami apresiasi (yendaka) tajam. Apresiasi yang keterusan
menyebabkan biaya hidup dan biaya produksi di Jepang meningkat pesat. Akibatnya,
harga barang dan jasa Jepang berkurang daya saingnya.
Kedua, akibat yendaka, terjadi relokasi industri besar-besaran. Banyak perusahaan
Jepang memindah lokasi pabriknya ke Cina dan Asia Tenggara. Pengangguran di Jepang
pun meningkat.
Ketiga, tingkat kepercayaan (confidence level) atas perekonomian merosot yang
ditunjukkan dengan harga saham rendah. Indeks akhir tahun 1990-an hanya separuh
dari indeks satu dasawarsa sebelumnya.
Keempat, harga tanah ikut merosot. Pada dasawarsa 1980-an, harga tanah meroket tinggi
lalu menurun tajam sejak 1990-an. Seperti kasus harga saham dan tanah, terjadi koreksi.
Harga yang sudah kelewat tinggi, suatu saat akan mengalami koreksi menurun.
Kelima, saham dan tanah merupakan barang paling sering dipakai sebagai jaminan
kredit bank. Karena harga keduanya jatuh, maka kredit-kredit perbankan banyak
mengalami kemacetan. Terjadilah bad debt atau credit crunch.
Keenam, secara demografis, penduduk Jepang mengalami stagnasi. Jumlah penduduk
mereka stabil di level 124 juta, dan praktis tidak bertambah. Sementara itu, tingkat
harapan hidup (life expectancy at birth) terus meningkat. Dengan struktur demografi
yang cenderung menggelembung di kelompok usia lanjut (jumlah orang tua makin
banyak), maka terjadi beban ketergantungan (dependency) yang kian tinggi. Usia
produktif berkurang, usia lanjut bertambah. Implikasinya, pembayaran pensiun
membesar yang menambah beban fiskal pemerintah.
Menurut The Economist (15/11/02), perekonomian Jepang kini dalam bahaya deflasi,
yang akan meningkatkan beban utang riil (real debt burdens), di mana utang
perusahaan-perusahaan secara nominal sebenarnya tetap, namun secara riil meningkat
akibat penurunan harga. Selain itu, masih ada lagi persoalan berat kredit macet di sektor
perbankan. Majalah itu juga mencatat, Jerman kini mempunyai potensi untuk mengalami
hal yang sama, dibanding risiko serupa di AS.
Data menunjukkan, selama periode Januari-September 2002, Jepang mencatat inflasi
negatif atau deflasi -0,7 persen, sedangkan Jerman mencatat inflasi positif 1,3 persen, AS
1,5 persen. Negara-negara pemakai mata uang Euro di Eropa Barat mencatat inflasi 2,2
persen.
Pengalaman lain
Dunia boleh cemas terhadap fenomena deflasi. Namun, ternyata ada negara yang
mempunyai pengalaman manis dengan deflasi. Tampaknya, dalam perekonomian selalu

ada perkecualian (exception). Teori boleh mengatakan, deflasi bersifat kontraktif, namun
Cina membuktikan fakta dan pengalaman yang berbeda.
Far Eastern Economic Review (17/10/02) mengungkapkan, deflasi dan harga- harga
murah telah menyebabkan Cina mulai menguasai ekspor dunia (Price Chopper: How
Cheap Chinese Goods are Hammering the World). Bayangkan, sebuah negara
berpenduduk 1,3 milyar, di mana 700 juta di antaranya hidup di pedesaan dengan
pendapatan rata-rata 285 dollar per tahun. Bandingkan dengan pendapatan per kapita
rakyat AS yang hampir 40.000 dollar per tahun.
Apa implikasinya? Jelas. Kombinasi antara jumlah penduduk yang amat banyak,
pendapatan per kapita yang amat rendah, dan tingkat pengangguran yang masih tinggi
(sekitar tujuh persen), berimplikasi pada upah buruh dan biaya produksi yang rendah.
Akibat selanjutnya, terjadi deflasi secara substansial.
Cina kini tercatat sebagai negara paling powerful dalam hal deflasi. Dalam tujuh tahun
terakhir, harga-harga mengalami penurunan sampai 20 persen! Pada tahun 2002 juga
terjadi deflasi sekitar satu persen. Sebagai ilustrasi, sepuluh tahun lalu harga TV
berwarna 21 inci 400 dollar AS, kini tak lebih dari 80 dollar! Amat murah. Bagaimana
mungkin negara lain bisa menyainginya? Nyaris mustahil.
Kian murahnya biaya produksi membuat banyak perusahaan multinasional berbondongbondang berinvestasi di Cina. Cina berubah menjadi lahan investasi (investment venue)
yang paling atraktif di dunia. Dulu, misalnya, di tahun 1980-an, Philips Electronics dari
Belanda hanya berniat datang ke Cina, karena tertarik jumlah penduduknya yang besar.
Penduduk yang banyak identik dengan pasar yang besar, begitu pikirnya.
Belakangan, Cina berubah dari pasar menjadi lahan investasi besar, yang menawarkan
biaya produksi amat murah. Philips memindah sebagian besar pabriknya ke Cina,
berproduksi di sana, menjual produknya ke seluruh dunia. Bukan cuma Philips yang
menjalankan strategi ini, juga yang lain, mulai dari General Electric, Samsung, hingga
Toshiba.
Iklim dan momentum globalisasi juga memberi dukungan kondusif bagi terjadinya
relokasi industri semacam itu, mengikuti teori "angsa terbang" (flying geese). Investasi
bisa hinggap ke mana saja dia suka, seperti layaknya angsa yang bebas terbang ke sana
ke mari.
Semula, investasi di Cina hanya dikenal untuk produk-produk yang secara teknis
"sepele", seperti pakaian jadi dan mainan anak-anak. Namun, mereka merambah produkproduk yang canggih, seperti barang-barang elektronik.
Apa yang sudah dihasilkan dari semua ini? Amat banyak. Investasi asing di Cina
tumbuh amat kencang. Pada tahun 2001, tercatat rekor 47 milyar dollar AS. Hingga
Agustus 2002, sudah masuk persetujuan 35 milyar dollar AS. Tingginya angka investasi
asing ini konsisten dengan pesatnya pertumbuhan ekspor. Pada tahun 2000, ekspor Cina
mencapai 250 milyar dollar, tahun 2001 naik menjadi 265 milyar dollar, dan sampai

Agustus 2002 ekspor mereka sudah 200 milyar dollar AS. Bandingkan dengan ekspor
Indonesia yang bergerak antara 50 hingga 60 milyar dollar AS saja.
Kini Cina juga telah menjelma menjadi negara produsen barang-barang industri terbesar
keempat di dunia, yang hanya kalah dari AS, Jepang, dan Jerman. Lihat statistik berikut:
lebih dari 50 persen kamera di dunia, diproduksi di Cina; sementara 30 persen mesin
pendingin (AC) dan televisi dunia, diproduksi di Cina. Hal yang sama juga terjadi pada
pasokan 25 persen mesin cuci dan 20 persen lemari es di seluruh dunia, yang merupakan
Made in China. Luar biasa. Ini semua merupakan hasil deflasi yang amat efektif
meningkatkan daya saing produk- produknya.

Tidak absolut
Fenomena deflasi di negara-negara maju membawa kekhawatiran tertentu terhadap
kinerja perekonomian dunia. Jepang membuktikan, deflasi menyebabkan kredit macet
raksasa di sektor perbankan. Sedangkan di Jerman dan AS, meski sejauh ini belum
terbukti mengalami deflasi, namun potensi itu senantiasa mengintai untuk tahun 2003
mendatang.
Jika tiga kekuatan ekonomi terbesar (AS, Jepang, dan Jerman) sampai mengalami deflasi,
dampaknya pasti akan merembet ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Perekonomian Jepang yang tengah sakit seperti sekarang pasti mengimbas pada
lemahnya impor, aliran investasi, dan utang luar negeri kepada Indonesia.
Untuk mengeliminasi deflasi ini sejumlah saran sudah diberikan. Selain meneruskan
kebijakan suku bunga yang teramat rendah (suku bunga pasar uang tiga bulanan kini
hanya 0,02 persen), Jepang juga disarankan melakukan pemotongan pajak (tax cuts)
untuk merangsang konsumen belanja lebih banyak. Intinya, baik sisi moneter maupun
fiskal harus sama-sama ekspansif, supaya deflasi dapat segera distop. Namun,
pemerintah cenderung menolak karena tax cuts bisa membuat defisit APBN meningkat.
Padahal, mereka masih harus menanggung banyak subsidi bagi pensiunan. Repot juga.
Meski demikian, deflasi tidak selalu identik dengan cerita seram. Kisah sukses ekonomi
Cina saat ini, ternyata berasal dari deflasi. Tekanan jumlah penduduk dan rendahnya
pendapatan per kapita, merupakan jalan tol menuju deflasi yang selanjutnya menjadikan
ekspor negara itu berkembang pesat.
Dengan demikian, tak ada yang absolut dalam dunia ekonomi. Suatu fenomena bisa
menjadi baik atau buruk, tergantung asumsinya. Juga tergantung pada faktor, apakah
fenomena itu bersenyawa dengan faktor lain yang mendukung, atau justru sebaliknya,
merongrongnya. Ketika deflasi terjadi di Jepang, hasilnya buruk. Namun, ketika deflasi
disemai di lahan Cina, ternyata panenannya luar biasa.
Bagaimana Indonesia? Kita belum perlu bermimpi deflasi. Perjuangan "klasik" yang
masih kita lakukan adalah, bagaimana caranya agar inflasi tidak sampai menembus 10
persen tahun ini dan syukur bisa berada di kisaran lima persen tahun depan. Kita belum
berada pada kompetensi untuk memperdebatkan soal deflasi. Deflasi bulanan memang
pernah ada beberapa kali. Misalnya, tahun 2002 pernah terjadi dua kali deflasi, yakni
Maret (-0.02 persen) dan April (-0,24 persen).
Bagi kita, deflasi baru sebatas angan-angan. Paling banter, sekadar wacana. Namun, kita
perlu memahaminya bila kelak mengalaminya. Entah kapan.
A.Tony Prasetiantono,Pengajar Fakultas Ekonomi UGM

Globalisasi dan Korupsi Global


Oleh I Wibowo
PADA tahun 1971, Perdana Menteri Jepang Tanaka jatuh dari kekuasaannya. Peristiwa ini
sungguh menggemparkan, bukan skandal politik tetapi karena perusahaan Lockheed
Corporations (Amerika Serikat) terbukti menyuap 25 juta dollar AS untuk memenangkan
kontrak pembelian pesawat Tri Star L-1011 oleh Jepang. Dunia terkejut sekaligus heran.
Bagaimana mungkin sebuah pemerintah jatuh gara-gara menerima suap oleh sebuah
perusahaan dari mancanegara?
Ternyata rasa terkejut itu cepat hilang karena berturut-turut muncul banyak kasus lain
yang menunjukkan betapa pelaku bisnis internasional telah melakukan korupsi (suap)
kepada sebuah pemerintahan negara lain. Perusahaan dari Jerman malah diberi insentif
oleh pemerintahnya untuk memberi suap.
Menurut peraturan Jerman, sebuah perusahaan yang mengeluarkan dana untuk
menyuap akan mendapat keringanan dalam membayar pajak (tax deductible), dengan
syarat mencantumkan nama orang yang diberi suap. Latar belakang kebijakan ini
didasarkan filsafat yang mengatakan, urusan moral dan urusan pajak adalah dua hal
yang harus dibedakan dan dipisahkan (bandingkan dengan tempat prostitusi yang
membayar pajak).
Majalah Newsweek (1/7/2002) dan Gatra (9/6/2002) menurunkan laporan panjang
tentang praktik suap oleh pelaku bisnis internasional. Kedua majalah itu mengutip
laporan Transparency Institute, yang menyusun daftar peringkat pelaku bisnis
internasional yang memberi suap, dan ini disusun menurut negara. Ternyata dari Bribe
Payers Index (2002), pengusaha dari Rusia, Cina, Taiwan, dan Korea Selatan, menduduki
peringkat tertinggi.
Amerika Serikat (AS) yang terkenal mempunyai undang-undang yang melarang
perusahaan Amerika memberi suap (Foreign Corrupt Practice Act, FCPA), terbukti tidak
bebas dari suap-menyuap. AS mendapat nilai 5,3 dari skala 10. Menurut Gatra, nilai ini
sama buruknya dengan yang diperoleh pengusaha- pengusaha Jepang, tetapi lebih buruk
dari nilai yang diperoleh perusahaan- perusahaan dari Perancis, Spanyol, Jerman,
Singapura, dan Inggris. Yang paling sedikit melakukan suap adalah perusahaanperusahaan dari Australia, Swedia, Swiss, Austria, Kanada, Belanda, dan Belgia.
Majalah Newsweek menambahkan daftar bidang-bidang industri yang paling sering
"diserang" suap pelaku bisnis global. Peringkat teratas adalah public construction (antara
lain pembangunan jembatan, jalan raya, dan sebagainya), disusul bidang defense (jualbeli senjata), il and gas (pengeboran dan pengilangan minyak dan gas), real estate
(pembangunan perumahan). Sesudahnya ada telepon, listrik, tambang, transpor, obatobatan, dan manufaktur berat. Bidang- bidang ini memang menjadi lahan incaran para
investor global.
Negara-negara di Dunia Ketiga yang sedang giat membangun merupakan makanan
empuk bagi koruptor global. Meski di negara maju juga terjadi suap- menyuap, tetapi

karena lemahnya penegakan hukum di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin,
mengakibatkan suap-menyuap merajalela. Seperti dilaporkan Gatra, Indonesia termasuk
negara yang mudah disuap. Dikutipnya kasus perusahaan Triton Energy yang bermarkas
di Dallas. Konon, perusahaan ini telah menyuap beberapa pejabat Pertamina dan
Pemerintah Indonesia. Laporan ini sampai ke Amerika, dan Triton Energy terkena jerat
FCPA, dihukum denda 300.000 dollar AS, dan dua pejabat yang bertanggung jawab
didenda masing-masing 50.000 dollar AS dan 35.000 dollar AS.
Akan tetapi, kasus suap-menyuap oleh perusahaan asing di Indonesia pasti lebih dari
satu kasus ini. Ribuan bahkan puluhan ribuan kasus suap (skala besar) yang tidak
terungkap baik sejak zaman Soeharto sampai hari ini. Gatra menguatkan hal itu dengan
survei nasional oleh "Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia" yang
melaporkan empat lembaga penting di Indonesia yang menjadi sasaran suap pengusaha
asing: (1) Badan Pertanahan Nasional, (2) Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
(3) Departemen Kehutanan, dan (4) Departemen Dalam Negeri.
***
MEMENANGKAN sebuah tender, mengurangi pajak, dan melicinkan perizinan,
merupakan perjuangan yang harus dilakukan pengusaha dengan mati-matian. Bahkan,
para pelaku bisnis tidak akan menunggu kesempatan. Kesempatan harus diciptakan,
termasuk memberi suap kepada pejabat pemerintah. Para pelaku bisnis selalu
mengandaikan para pejabat sebagai orang-orang rakus dan tamak yang mudah memakai
kekuasaannya, sekecil apa pun. Birokrat negara Dunia Ketiga terkenal paling mudah
disuap. Dengan demikian, terjadilah "simbiosis mutualistis" atau tumbu oleh tutup
antara pelaku bisnis yang rakus dan pejabat yang tamak, antara koruptor global dan
koruptor lokal.
Sementara ini, suap-menyuap cenderung dipahami sebagai fenomena yang pelakupelakunya terbatas ada di dalam negeri saja. Maka Joel Migdal, misalnya, pernah
menerbitkan buku laris berjudul Strong Societies, Weak States (1995). Migdal mencoba
menunjukkan bagaimana negara menjadi tidak berdaya, bahkan lumpuh, karena
masyarakatnya terlalu kuat. "Kuat" di sini dipahami sebagai mampu mematahkan semua
peraturan negara lewat berbagai macam strategi, seperti hubungan darah, hubungan
pertemanan, patron-client, dan sebagainya. Pelaku bisnis memang tidak jelas-jelas
dimasukkan ke dalam "masyarakat".
Namun, selama 10 tahun terakhir, korupsi tidak lagi dipahami sebagai gejala internal
sebuah negara. Dengan meningkatnya globalisasi, ternyata korupsi juga menjadi global.
Kimberley Elliot secara khusus meyunting sebuah buku, Corruption and Global
Economy (1997) yang menyodorkan kepada pembaca kasus-kasus korupsi yang
dilakukan para pelaku ekonomi global. Bila perputaran kapital dan perputaran produksi
sudah mengalami globalisasi, amat logis korupsi (dalam hal ini, suap-menyuap) juga
memasuki tingkat global. Para pelaku bisnis yang amat kreatif itu tidak akan
menggalang semua sumber daya yang dimiliki untuk mengembangkan perusahaannya
di mana pun dengan cara apa pun.

Pertanyaannya, mungkinkah ini dicegah? Adakah institusi internasional yang dapat


menghukum para pelaku bisnis yang nakal? Tidak. Ketika Kongres AS mengesahkan
FCPA tahun 1977 (diamandemen tahun 1988), mereka berharap, tindakan ini akan diikuti
negara-negara lain, terutama Eropa dan Jepang. Negara- negara Eropa ternyata tidak
bersemangat. Seperti telah disinggung, Jerman merupakan salah satu negara yang
enggan ikut dalam gerakan itu.
Negara-negara Eropa keberatan dengan pendekatan yang diambil AS, karena
pengawasan terhadap praktik suap harus dilakukan oleh negara yang pejabatnya
menerima suap, bukan oleh perusahaan. Mereka juga menyatakan, FCPA merupakan
pelanggaran terhadap ekstrateritorialitas karena bertujuan memperluas undang-undang
Amerika ke luar dari batas wilayah AS. Yang terakhir, negara-negara Eropa menuduh AS
berusaha menerapkan penyeragaman undang-undang pidana internasional di seluruh
OECD, dengan demikian melanggar kedaulatan negara.
Tentangan ini amat memberatkan AS. Pernah ada perhitungan, bila hanya AS yang
menerapkan undang-undang FCPA, maka perusahaan-perusahaan AS akan kalah
bersaing dengan perusahaan-perusahaan negara lain yang dibiarkan memberi suap
(konon kerugian itu pada tahun 1996 mencapai 45 milyar dollar AS). Tidak heran bila AS
amat gemas dan giat menekan negara-negara lain untuk mau ikut membasmi praktik
suap oleh perusahaan global. Memang AS tidak mungkin bergerak sendiri,
membutuhkan sebuah kerja sama multilateral.
Akhir Maret 1996, Organization of American States (OAS) yang beranggotakan negaranegara Benua Amerika mensahkan Inter-American Convention against Corruption. Pada
Desember tahun yang sama, PBB mensahkan deklarasi yang meminta agar negara-negara
anggota "mengambil tindakan efektif dan nyata guna melawan semua bentuk korupsi,
suap, dan praktik illicit dalam transaksi perdagangan internasional." OECD akhirnya
mau bekerja sama saat menyetujui Anti Bribery Convention tahun 1997. Bank Dunia
yang diterpa kasus korupsi juga ikut terjun menyusun blacklist koruptor global.
***
PELAKU bisnis tentu tidak kekurangan akal untuk menerobos pagar hukum. Nyatanya,
setelah ada berbagai macam undang-undang, tahun ini Transparency International
masih menemukan praktik suap oleh pelaku bisnis global. Di AS, penyuapan terus
berlangsung sesudah FCPA diterapkan. Perusahaan IBM yang mempunyai cabang di
Argentina dilaporkan pada tahun 1995 mengeluarkan uang suap enam juta dollar AS.
Anak perusahaan Boeing di Kanada membayar satu juta dollar AS kepada pejabat
Bahama untuk memenangkan penjualan pesawat terbang.
Korupsi tetap berjalan, meski negara-negara bersekutu untuk memberantasnya. Para
kapitalis ternyata lebih licin daripada para birokrat maupun politisi. Contoh amat
menarik yang juga dikemukakan Newsweek adalah kasus di Lesotho (Afrika). Semua
perusahaan yang dituduh melakukan suap, menolak tuduhan. Di Lesotho sedang
direncanakan proyek pembangunan sebuah bendungan raksasa di Lesotho Highlands
senilai satu milyar dollar AS. Para pengusaha satu per satu mengatakan, mereka tidak
tahu-menahu bahwa orang perantara (middleman) yang mereka pakai, memberi suap.

Misalnya, Acres International dari Kanada memberi uang sebesar 674.000 dollar AS
kepada seorang agen, dan agen ini ternyata memberikan 60 persen dari uang itu kepada
pejabat Lesotho sebagai suap. Pihak perusahaan berkilah tidak melakukan suap, ia hanya
membayar consultant fee. Bila terjadi suap, itu urusan si agen (yang biasanya berkedok
consultant). Tetapi, kasus Lesotho tetap dibawa ke pengadilan di ibu kota Lesotho,
Maseru, menyeret 12 perusahaan yang datang dari Jerman, Perancis, Inggris, Itali, dan
Swis.
Yang menarik dari semua temuan ini adalah, kini sulit dipertahankan lagi anggapan
bahwa orang Afrika dan Asia "bermental" korup. Korupsi ternyata dinyalakan, dikipasi,
dan dipelihara pengusaha global yang berasal dari negara- negara "bersih". Memang, di
negeri sendiri mungkin mereka tidak berani melakukan korupsi, tetapi di negara orang,
mereka dengan bebas menjalankan apa yang dilarang di negara sendiri. Malah ada
negara Eropa yang memberi insentif untuk mengadakan korupsi di seberang lautan.
Yang tak kalah menarik adalah munculnya semacam "kesadaran" di antara negaranegara, tentang pentingnya mencegah praktik suap. Bahkan, kesadaran untuk melawan
praktik suap internasional ini lewat kerja sama multilateral. Ada aliansi antikomunisme,
ada aliansi internasional antiterorisme, kini ada aliansi internasional antisuap (Indonesia
sudah ikut aliansi pertama dan kedua, kapan masuk yang ketiga?). Tetapi, celakanya,
prinsip kompetisi yang sedemikian dijunjung tinggi kapitalisme, mempersulit pola kerja
sama seperti itu, bahkan sampai pada tingkat negara.
I Wibowo Anggota Cindelaras Institute of Rural Policy and Global Studies

Indonesia Negara Sekuler?


Oleh Muhamad Ali
WACANA hubungan negara dan agama belum selesai. Masih dipersoalkan apakah
Indonesia negara sekuler, negara agama, atau negara apa? Banyak orang menganggap
Indonesia sebagai negara sekuler. Misalnya, Manning Nash mengatakan Malaysia dan
Indonesia adalah Islamic nations but secular states (Fundamentalism Observed, 1991).
Charles D Smith menulis Indonesian state is officially secular yet sponsors seculer and
religious educational systems and maintains secular and religious (shariah) courts
(Secularism, 1995). Mun'im A Sirry, juga menyebut Indonesia sebagai negara sekuler
(Islam, Sekulerisme, dan Negara, Kompas, 13/2/2002).
Mereka terjebak dalam dikotomi negara agama-negara sekuler. Padahal, dikotomi ini
menafikan kompleksitas dan dinamika hubungan agama dan negara yang khas
Indonesia. Dikotomi sekuler-religius adalah unsur ideologis dalam wacana modernitas
Barat. Itu berfungsi tidak hanya dalam persepsi Barat terhadap non- Barat, tetapi juga
dalam cara Barat memahami dirinya sendiri.
Negara sekuler?
Di Indonesia yang memiliki tradisi historis tersendiri, konsep negara sekuler sulit
diterapkan. Kalau kita mengikuti definisi Donald Eugene Smith (1963), the seculer state
is a state that guarantees individual and corporate freedom of religion, deals with the
individual as a citizen irrespective of his religion, is not constitutionally connected to a
particular religion, nor seeks either to promote or interfere with religion, maka Indonesia
sulit disebut negara sekuler karena terlalu banyak anomali dan deviasi dari definisi itu.
Dari segi freedom of religion, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menjamin seseorang bebas
mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan
negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya,
berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat
dalam organisasi agamanya. Namun, Ayat 1 yang berbunyi 'negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa' tidak sesuai prinsip negara sekuler.
Dari segi citizenship dalam pengertian, agama sepenuhnya tidak relevan dalam
mendefinisikan kewarganegaraan dan bahwa hak dan kewajiban warga negara tidak
dipengaruhi agama yang dianut, Indonesia masih melakukan banyak diskriminasi atas
dasar agama.
Begitu pula dari segi separation of state and religion dalam pengertian, agama dan
negara berfungsi di wilayah yang berbeda dan bahwa negara tidak berfungsi
mengembangkan, meregulasi, mengarahkan atau mencampuri agama, Indonesia juga
tidak memenuhi prinsip ini, karena sejak dulu hingga kini ada relasi interdependence
antara negara dan agama. Negara mengembangkan agama - membangun tempat-tempat
ibadah, menyumbangkan dana kepada clergy, sementara agama memberi, mendukung,
dan membantu negara. Agama memberikan legitimasi pada negara dan sebaliknya
(mutual legitimatization).

Dalam negara sekuler, tidak ada departemen agama dan semua agama tersubordinasi di
bawah negara. Agama dan lembaga-lembaga agama bersifat otonom. "A free church in a
free state", kata Cavour. Di Indonesia, ada departemen agama yang mengatur
administrasi agama.
Lebih dari itu, hingga kini the completely secular state does not exist, kata Donald Smith.
Konsep negara sekuler yang ideal tidak tercapai di negara mana pun, termasuk AS,
Inggris, dan sebagainya. Di AS, sejak lama dana negara juga digunakan untuk
mendukung badan-badan keagamaan yang menyelenggarakan lembaga-lembaga
pendidikan meski amat terbatas seperti transportasi bus, makan siang gratis, buku-buku
untuk siswa. Belakangan, Presiden AS George W Bush bahkan mengajak lembagalembaga agama mendapatkan dana dari pemerintah.
AS juga malas memisahkan negara dan agama secara komplet dan menyeluruh.
Presiden-presiden dan gubernur-gubernur negara bagian sering mengimbau warga
negara menghadiri tempat ibadah agama masing-masing, sesi-sesi dalam parlemen
dibuka dengan doa, pembacaan Bibel, dan tiap mata uang bertuliskan motto In God we
trust.
Inggris, meski dikenal sebagai masyarakat sekuler (secular society) di mana agama
menjadi urusan pribadi dan tidak memiliki relevansi politik dalam ranah publik, tidak
mengenal pemisahan total gereja dan negara, dan para pendeta (bishops), yang dipilih
raja (the Crown) atas rekomendasi perdana menteri, juga hadir dalam House of Lords.
Ada gereja negara, National Church of England, dan ratu adalah kepalanya.
Apabila Indonesia adalah negara sekuler, negara tidak memberi bantuan apa pun kepada
lembaga agama. Departemen Agama harus bubar, dualisme peradilan (negeri dan
agama) harus dihilangkan karena negara sekuler meniscayakan tata hukum sipil yang
seragam (uniform civil code). Belum lagi berbagai kebijakan seperti perayaan hari-hari
besar agama, regulasi tanah-tanah wakaf, pengurusan haji, lembaga-lembaga pendidikan
agama seperti IAIN dan madrasah, pembangunan sarana agama seperti Islamic centre
oleh pemerintah, undang- undang zakat, labelisasi halal bagi makanan dan minuman,
dan sebagainya.
Negara Pancasila
Negara Pancasila sebagai hybrid budaya adalah jalan tengah (middle path) antara negara
agama dan negara sekuler. Negara Pancasila lebih cocok dengan tradisi agama dan
politik di Indonesia.
Rumusan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang
khas pada Negara Indonesia, bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara,
dan bukan negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila
menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara
budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Dengan Pancasila, Indonesia tidak kurang agamis-nya dibanding "negara-negara agama"


seperti Pakistan, Arab Saudi, atau Iran. Republik Indonesia tidak kurang agamis
dibanding negara mana pun, sebab "it has put the monotheistic belief in the one and only
God at the head of Pancasila and adopted this principle as the spiritual, moral, and
ethical foundations of its state" (M Natsir, Some Observations Concerning the Role of
Islam in National and International Affairs, Cornell University, 1954).
Dalam Negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup berkembang dan didukung
negara. Negara Pancasila menyatukan beragam kelompok yang bertentangan. Sebagai
kompromi politik, negara mendukung perkembangan agama meski tidak menyatakan
satu agama sebagai agama negara.
Dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara
dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkait
dengan tradisi keagamaan tertentu. Posisi Pancasila semacam ini mirip dengan civil
religion dalam negara-negara multi-agama, meski konsep civil religion belum diakui
resmi (Carl & David, Questioning the Secular State, 1996). Pancasila juga mirip, meski
tidak sama, dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) di masa Nabi Muhammad
SAW, dalam pengertian memiliki butir-butir kesepakatan dari beragam unsur agama dan
suku untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran bersama.
Dalam Negara Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam
kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik.
Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional
seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah
laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena Negara
Pancasila adalah negara nonsektarian, bukan nonreligius.
Prinsip yang perlu dikembangkan adalah no preference - peduli tetapi tidak
diskriminatif, bukan wall of separation - bukan tidak peduli sama sekali.
Dengan demikian, Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam pengertian
pemisahan total negara dan agama. Dengan Negara Pancasila, ciri-ciri positif negara
sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan demokratis, pluralisme,
multikulturalisme, anti-komunalisme, anti-sektarianisme, dan anti- diskriminasi, dapat
diterapkan. Ciri-ciri positif negara religius seperti pembangunan moral agama juga
didukung negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam kerangka menjaga
kemaslahatan seluruh warga negara.
MUHAMAD ALI, Dosen IAIN Jakarta, alumnus MSc Studi Islam dan Politik, Edinburgh
University, Inggris

Inklusivisme Politik
Oleh Mun'im A Sirry
SEJAK detik-detik awal setelah runtuhnya rezim Soeharto, muncul antusiasme cukup
luas terhadap demokrasi. Banyak kalangan, jika tidak boleh dikatakan seluruhnya,
meyakini pandangan, demokrasi dan pemilu akan menyediakan solusi bagi problem
ekonomi dan politik yang tengah menghantam negeri ini.
Namun, kini kita disadarkan, transisi demokrasi memang fase yang sulit. Kesulitan itu
sebagian karena transisi demokrasi bukan hanya menuntut perubahan dalam institusiinstitusi politik, tetapi juga perubahan dalam kultur politik.
Pada masyarakat di mana konsep kekuasaan dan kepemimpinan mengakar kuat dalam
keyakinan-keyakinan keagamaan, seperti Indonesia, transformasi kultur politik
menuntut suatu refleksi teologis yang serius. Pertarungan berbagai paham dan tafsir
keagamaan berlangsung secara terbuka, yang berimplikasi terhadap perkembangan
politik.
Selama hampir empat dekade, rezim otoritarian Orde Baru melakukan depolitisasi dan
domestikasi Islam. Kesarjanaan dan kesalehan personal didorong sedemikian rupa,
tetapi pada saat yang sama wacana politik Islam dibatasi ketat. Ironisnya, ekspansi
pendidikan dan refleksi sebagian sarjana Muslim tentang peran Islam dalam sistem
dunia modern ternyata punya kontribusi signifikan terhadap perkembangan gerakan
demokrasi yang muncul sebagai kekuatan politik penting menyusul krisis ekonomi
tahun 1997.
Generasi baru sarjana Muslim, awalnya dilokomotifi Nurcholish Madjid,
mengembangkan basis dan komitmen teologis guna menyokong demokrasi, pluralisme
agama, dan kultural. Gelombang intelektualisme ini masuk ke doktrin dan peradaban
Islam untuk menguak wawasan keindonesiaan dan kemodernan, termasuk soal relasi
Islam dan negara.
Relasi Islam dan demokrasi
Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, secara tak terelakkan terjadi ledakan
partisipasi warga melalui mobilisasi retorika Islamisme yang memunculkan Islam politik
di Indonesia. Geliat arus Islam politik begitu mengharu-biru, sehingga seolah menafikan
model perjuangan kultural yang telah tumbuh sebelumnya. Lebih dari itu, retorika
Islamisme cenderung agresif dan mengesankan sebagai suatu tafsir tunggal, termasuk
menyangkut relasi Islam dan negara.
Padahal, setidaknya, ada tiga arus pemikiran yang menganalisis hubungan antara agama
dan negara.
Pertama, analisis yang menyebutkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari negara.
Kendati keduanya menempati ruang berbeda, Islam dan negara secara organik saling
terkait. Islam merepresentasi bukan hanya agama, tetapi juga negara. Para pendukung

pola ini mengidentikkan Islam dengan D3, yakni din, dunya, daulah (agama, dunia,
negara). Dengan demikian, pemimpin agama dan negara menikmati status yang sama,
meski peran mereka berbeda. Mereka sama-sama bertanggung jawab mewujudkan
pemerintahan yang baik.
Kedua, analisis yang meneguhkan, agama dan negara itu terpisah, serta tak dapat
dicampuradukkan. Ini merupakan konsep dasar sekularisme, cara memahami dan
mengelola negara yang tipikal Barat. Namun, sebenarnya filosofi ini punya basis dalam
Islam; hanya tidak sekuat di Barat. Model ini menekankan, seluruh urusan publik harus
diatur secara rasional dan sekuler, sementara agama dianggap ada dalam domain privat.
Karena itu, agama tidak dapat ikut campur secara legal atau formal dalam proses politik.
Ketiga, arus pemikiran yang cukup unik karena menegaskan, agama dan negara saling
tumpang tindih. Biasanya, pemikiran semacam ini menjadi dasar masyarakat Syi'ah. Bagi
mereka, dalam kenyataannya antara agama dan negara memang sulit dibedakan, apalagi
dipisahkan.
Watak relasi Islam dan demokrasi juga sama kontroversialnya. Ada kalangan yang
memandang Islam sebagai anti-demokrasi, bahkan superior terhadap demokrasi. Sebab,
ajaran-ajaran agama diyakini bersifat Ilahiah dan kebenaran final ada di tangan Tuhan
seperti terdapat dalam kitab-kitab suci, para Nabi, dan pemimpin agama. Mereka tidak
mengakui suara rakyat (vox populi). Karena itu, bentuk pemerintahannya bersifat
teokratik dan dikelola oleh orang- orang agama yang bertindak atas nama Tuhan.
Pandangan lain menyebutkan, meski Islam bersumber dari Tuhan, namun ajarannya
kompatibel dengan demokrasi. Sejarah Nabi Muhammad SAW dan kandungan Al Quran
penuh praktik dan pesan doktrin yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Misalnya, akuntabilitas publik, check and balances, dan prinsip-prinsip lain yang
menjadi fondasi demokrasi modern.
Pengalaman Indonesia merupakan contoh menarik tentang kompatibilitas Islam dan
demokrasi. Islam masuk Indonesia melalui para saudagar asing, sehingga tradisi dan
budayanya banyak dipengaruhi suasana dagang, seperti egalitarianisme, dinamisme,
entrepreneurship, dan bebas. Semua itu berpengaruh terhadap ideologi dan praktik
Islam secara signifikan. Akibatnya, masyarakat Indonesia memiliki pandangan yang
cukup egalitarian, suatu unsur penting bagi berfungsinya demokrasi.
Meski Islam adalah agama mayoritas, para pendiri negeri ini sepakat-dan didukung
masyarakat luas-Republik Indonesia tidak akan menjadi negara teokrasi. Sebaliknya,
mereka bersepakat negara Indonesia hendaknya berasaskan nilai-nilai kepahlawanan,
kemanusiaan, dan keagamaan sekaligus. Tentu saja ini pilihan tepat mengingat Indonesia
bukan saja multi-etnik, tetapi juga multi-agama.
Kondisi prasyarat
Pilihan itu berimplikasi pada pengakuan bahwa perbedaan merupakan kondisi prasyarat
agar demokrasi berfungsi secara sukses. Kita mengakui agama dan politik berbeda,
namun kita juga meyakini keduanya memiliki relasi fungsional yang akan membantu

menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Agama memainkan peran


penting dalam domain privat, sementara, urusan pemerintahan diatur menurut cara dan
institusi modern serta negara-negara demokratis di seluruh dunia.
Dengan kata lain, Islam lebih mengedepankan dukungan moral daripada sebagai
ideologi negara. Hal itu bisa dibuktikan sepanjang sejarah, Islam Indonesia berjuang
melawan kekuatan luar atau tiran-tiran yang memimpin negeri ini, dan menjadi
kekuatan pendobrak masyarakat vis-a-vis pemerintahan yang zalim. Menjamurnya
organisasi-organisasi keagamaan yang punya akar rumput pada tahun-tahun terakhir,
membuktikan betapa Islam sepenuhnya committed terhadap pengembangan civil
society.
Memang, jauh panggang dari api untuk mengatakan demokrasi telah berfungsi. Namun,
era reformasi jelas merupakan jendela kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam politik.
Menjamurnya partai-partai politik mengindikasikan, jalan menuju demokrasi telah
terbuka, kendati kita menyadari banyak rintangan tak terelakkan yang harus dihadapi.
Rintangan semacam itu ternyata juga dihadapi tiap negara yang berusaha membangun
masyarakat demokratis.
Persoalannya adalah bagaimana agar munculnya retorika Islamisme atau kehadiran
partai-partai agama ini tidak menjadi penghambat proses transisi menuju konsolidasi
demokrasi. Ada kekhawatiran yang cukup beralasan, seperti dikemukakan Mark R
Woodward, guru besar politik Asia Tenggara asal Arizona State University, munculnya
retorika Islamisme di Indonesia justru akan mendorong eksklusivitas keberagamaan
yang meruntuhkan sendi-sendi demokrasi. Dalam bahasa Woodward," The emergence of
Islamist rhetoric and self-proclamed jihads are the most troubling developments in the
new Indonesia" (SAIS Review, 2001).
Oleh karena itu, mutlak diperlukan inklusivisme politik dan politics of tolerance yang
memungkinkan partai-partai politik bisa diakses semua orang tanpa membedakan
agama. Dalam konteks itu, agama hendaknya tidak dijadikan variabel pembeda yang
justru dapat meruncingkan politik aliran.
Agar dapat memberi sinar pencerahan, agama perlu mengambil jarak dari politik.
Sungguh kita perlu menyepakati, tidak ada gerakan keagamaan yang akan diterima
sebagai suatu gerakan politik. Sebab, jika tidak, para politisi akan berlindung di balik
agama dan memangsa kehidupan masyarakat, sebagaimana telah mereka lakukan. Sejak
dulu, para manipulator telah mempergunakan agama untuk memperbudak manusia.
Sementara agama mempunyai peran penting sebagai kekuatan sosial dan moral. Arena
politik hendaknya menjadi ruang partai-partai politik. Hal ini akan memungkinkan
Islam berfungsi sebagai kekuatan moral dan kontrol kekuasaan, serta menghindar jangan
sampai dijadikan alat perebutan kekuasaan.

Relasi antara negara dan agama di dunia Islam masih akan terus dihadapkan pada
sejumlah tantangan. Kita harus menavigasi antara keduanya agar tidak terperosok ke
dalam sekularisme absolut atau fundamentalisme ekstrem.
MUN'IM A SIRRY Peneliti Yayasan Paramadina

Islam Pluralis Melampaui Simbol-simbol Agama


Oleh Zuly Qodir
ISLAM humanis sebagai bentuk nyata dari Islam rahmatan lil alamin harus diwujudkan
di Tanah Air. Apalagi, belakangan ada kecenderungan di antara umat Islam sendiri
terjadi perbedaan yang sangat tajam, sehingga tak jarang menimbulkan bentrokanbentrokan. Islam yang bersifat humanis akhirnya berubah menjadi Islam yang sangar,
galak, dan penuh kekerasan. Islam menjadi sangat menakutkan, bukan terhadap agama
lain, tetapi malah terhadap sesama penganut Islam sendiri.
Hal semacam itu tentu tidak kondusif bagi pertumbuhan civil society serta civil religion
di Tanah Air yang tengah menyongsong otonomi daerah. Oleh sebab itu, dibutuhkan
sebuah teologi baru yang mampu menciptakan kondisi kondusif bagi tumbuhnya Islam
yang humanis.
Apabila sesama umat Islam telah mampu merumuskan sebuah teologi baru, yang
disebut "teologi toleransi", maka akan tereliminasilah Islam yang berwajah galak
tersebut. Setelah berkembang "teologi toleransi", maka perkembangan Islam akan
mengarah pada Islam pluralis.
Dari sana akan memungkinkan terjadinya sebuah sinergi antarkekuatan umat beragama
dalam merespons masalah-masalah sosial yang muncul di Tanah Air. Masalah buruh,
petani, pekerja seks, pedagang kaki lima, korupsi, dan lainnya, lama-lama harus disetting menjadi masalah bersama, yang membutuhkan penanganan secara kolektif. Di
sinilah sebenarnya wajah Islam rahmatan lil alamin bisa sangat jelas tercermin.
Dengan membuka wacana baru tentang "teologi toleransi", sebenarnya kita berharap
akan tumbuh dan berkembang sebuah sikap beragama yang toleran, inklusif, dialogis,
juga pluralis. Hal ini akan menyambung gagasan besar tentang perlunya sebuah
pemahaman Islam yang transformatif, dan dekonstruksi atas pola-pola lama yang tidak
transformatif yang menjadikan sikap intoleransi dan parokialisme berkembang di
kalangan umat beragama, termasuk kalangan Islam sendiri.
Bangunan Islam pluralis merupakan gambar Islam yang sungguh mencerminkan
keberagamaan yang "lintas batas" (passing over), karena tidak lagi tersekat pada batasbatas ritual simbolik agama-agama. Dengan demikian, simbol dalam agama-agama tidak
menjadikan seseorang merasa takut bertegur sapa, berdialog, dan bekerja sama untuk
merespons masalah-masalah sosial kemanusiaan yang menghadang di depan agamaagama.
Perbedaan simbolik dalam agama-agama tidaklah dipandang sebagai substansi agama,
namun dipandang sebagai jalan arteri menuju Tuhan. Jalan yang berbeda- beda, tetapi
untuk menuju tujuan yang sama, yakni Tuhan dengan banyak nama.
Secara teologis dan sosial, kita sebagai umat Islam tertantang dengan realitas pluralitas
agama dan realitas sosial. Pada satu pihak kita diharapkan mampu menempatkan diri
untuk secara bersama hadir di tengah realitas pluralitas agama. Sementara di pihak lain

doktrin teologis juga "menghalang-halangi" keterlibatan kita dengan agama-agama yang


berbeda-beda.
Di sinilah kemudian kita mengalami kebingungan teologis yang harus segera dicarikan
jalan keluarnya agar keberagamaan kita tidak tenggelam dalam sekat parokialisme, dan
egosentrisme religius yang dibungkus dalam egoisme teologis lalu menganggap agama
lain adalah "agama setan".
Pada posisi seperti itulah, Islam pluralis sebenarnya mencoba hadir untuk menjadi
tawaran bagi keberagamaan kita. Sebuah keberagamaan yang menempatkan agamaagama secara setara, tidak mendominasi kebenaran (truth claim) karena merasa paling
sempurna dan paling lengkap, tidak menganggap agama lain tidak lengkap atau bahkan
menyesatkan.
Standar ganda umat beragama biasanya mewarnai kehidupan seseorang, sehingga
memosisikan agamanya lebih ketimbang agama orang lain. Dari sana konflik antaragama memang pada akhirnya tidak bisa dihindarkan, karena merasa harus
mempertahankan keunggulan agamanya di hadapan agama orang lain.
Hemat saya, apabila Islam pluralis mampu hadir di tengah masyarakat yang selama tiga
tahun belakangan sarat konflik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), agaknya
akan menjadi harapan bersama umat beragama yang tengah menanti kehadiran kembali
Tuhan di muka Bumi. Sejarah Tuhan yang nyata akan kembali dapat kita lihat karyanya
karena para umat beragama tidak saja mampu mengemban ajaran agamanya, tetapi
mampu merumuskan ajaran agama tersebut secara kontekstual berhadapan dengan
masalah-masalah sosial.
Apabila ada kekhawatiran Tuhan tidak lagi hadir dalam karya umat agama, itu
sebenarnya lebih banyak disebabkan karena umat beragama terlalu disibukkan dengan
urusan-urusan sektarianisme, parokialisme, dan pragmatisme teologis; bukan sibuk
memahami dan melakoni oleh nilai-nilai universal agama-agama.

***
BARANGKALI salah satu metode mengurangi terjadinya konflik antar-agama di Tanah
Air kita yang notabene pluralistik ini adalah dengan melepaskan klaim- klaim kebenaran
(truth claim) dan doktrin penyelamatan yang berlebihan, berani mengoreksi diri atas
keberagamaan kita, menghilangkan cara pandang standar ganda yang seringkali kita
terapkan terhadap agama orang lain, kemudian semakin memperluas pandangan
inklusif yang mengarah pada pandangan teologi pluralis. Dari sanalah agama-agama
memiliki peran nyata dalam menghadapi pelbagai macam ancaman konflik sosial dan
krisis multidimensi yang telah berlangsung tiga tahun belakangan.
Kita sekarang memang sangat jelas berharap pada berkembangnya sebuah pandangan
keagamaan yang progresif dan tidak sektarian. Pandangan keagamaan yang semacam ini
akan membawa kita pada cara beragama yang liberal, inklusif, dan pluralis, sehingga kita

pun optimistis atas masa depan agama di depan hadangan perkembangan science
modern yang menawarkan cara baru dalam hidup bermasyarakat.
Pandangan progresif, liberal, dan pluralistis ini pula yang akan menjadikan keagamaan
seseorang tidak terpaku pada "sangkar besi" teologis yang tidak humanis, tetapi teologi
yang mengutamakan kesalehan individual. Kesalehan individual inilah yang secara
bertahap namun pasti akan menjadi musuh besar kesalehan sosial.
Fenomena ramainya rumah-rumah ibadah oleh umat beragama, tetapi korupsi di negara
ini menduduki peringkat pertama, adalah bukti tidak signifikannya antara kesalehan
individual dengan keagamaan seseorang.
Seorang yang beragama dan saleh secara individu ternyata tidak berperilaku saleh secara
sosial. Oleh sebab itulah, teologi progresif, liberal, dan pluralis harus mengarah pada
berkembangnya kesalehan sosial umat beragama, karena di sinilah sebenarnya kesadaran
teologi menemukan rumusannya yang paling jelas.
Apa yang dilakukan PBNU dan Muhammadiyah untuk "bergandeng tangan" dalam
merumuskan dan mengembangkan Islam yang berwajah santun, modern, responsif, dan
ramah beberapa waktu lalu perlu disambut oleh banyak pihak. Tanpa sambutan banyak
pihak, wacana dan praksis Islam toleran agaknya akan tertunda-tunda. Untuk
menyambung "rekonsiliasi NU-Muhammadiyah" tersebut kita perlu membangun wacana
Islam yang lebih toleran, inklusif, dan pluralis antara Islam dengan agama lain.
Munculnya corak keagamaan yang fundamentalis-radikal, harus dibarengi dengan
semangat menumbuhkembangkan sikap toleran dan inklusif sebagai bentuk nyata dari
Islam pluralis yang sangat sesuai dengan tujuan Islam sebagai rahmat untuk seluruh
umat manusia. Tanpa semangat yang tinggi untuk mengembangkan wacana Islam
toleran dan inklusif, saya pesimistis akan tumbuhnya Islam pluralis.
Dengan mencoba secara sungguh-sungguh mengembangkan teologi toleran, maka
keagamaan yang inklusif dan pluralis akan benar-benar menjadi wacana baru dan basis
dalam perjuangan melawan segala bentuk kezaliman. Wacana baru itu berdasar teologi
progresif, liberatif, yang tidak lagi tersekat oleh adanya simbol-simbol ritual agamaagama, namun tersatukan oleh kesadaran bersama universalitas nilai-nilai spiritual
esoteris agama-agama.
Berdasarkan penjelasan seperti di atas, sebagai kesimpulan perlu ditekankan kembali
bahwa Islam pluralis sungguh merupakan agama yang telah melampaui simbol-simbol
agama.
Namun demikian, tidak berarti bahwa Islam pluralis tidak mengakui adanya pelbagai
perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing agama. Malahan, Islam pluralis
menempatkan seseorang untuk tetap pada identitasnya, tanpa merendahkan agama
orang lain.
ZULY QODIR, Editor pada Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta

Judicial Corruption, Jalan Tak Ada Ujung


Oleh T Mulya Lubis
JUDUL di atas mengingatkan kita kepada sebuah judul novel terkenal karya Mochtar
Lubis. Tentu saya tak bermaksud mengulas isi novel itu, tetapi jika kita bertanya tentang
judicial corruption yang terjadi dalam sistem hukum khususnya peradilan Indonesia,
maka kesan bahwa korupsi itu seperti tak pernah ada ujungnya, bukanlah kesan yang
mengada-ada. Mayoritas rakyat negeri ini tak terkejut dengan pesimisme Dato Param
Cumaraswamy, Pelapor Khusus PBB, yang menyimpulkan, korupsi di peradilan
Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, yang mungkin hanya bisa disamai
Meksiko. Betapa mengerikan mewariskan dunia peradilan yang superkorup kepada anak
cucu kita di masa depan.
Kadang saya bertanya apakah tak ada putra negeri ini yang mampu membawa kita
keluar dari lingkaran setan korupsi ini? Sepertinya semuanya tak berdaya di hadapan
praktik buruk yang menjadi keseharian hidup. Lagi-lagi pesimisme, tak ada jawaban.
Syukur, pesimisme ini tak hanya monopoli kita di sini, banyak orang di negara lain yang
mengidap pesimisme terutama setelah krisis ekonomi yang parah melanda Asia.
Tak heran jika Kishore Mahbubani, kolumnis yang menulis di berbagai media seperti The
New York Times, The Wall Street Journal, The Nation, dan Foreign Affairs, akhirnya
menulis buku dengan judul provokatif, Can Asian Think? Dia mempertanyakan
hancurnya kreativitas dan energi Asia yang menurutnya harus menjadi modalitas
kolektif. Tetapi, itu tak terjadi. Meski demikian, bukan berarti tidak ada individu yang
cerdas. Setengah putus asa dia menulis, However, throughout history there have been
examples of societies that have produced brilliant individuals yet experienced a lot of
grief collectively. Saya kira kita di Indonesia pun setuju dengan Mahbubani bahwa
negeri ini melahirkan orang-orang cerdas. Tetapi, mengapa bangsa ini terpuruk dalam
lilitan utang dan kemiskinan? Mengapa korupsi khususnya korupsi di peradilan begitu
mendarah daging?
***
SUDAH amat banyak studi mengenai korupsi di peradilan dilakukan, dan banyak alasan
dikemukakan mengapa korupsi terjadi. Ada yang mengemukakan gaji rendah sebagai
alasan. Ada pula yang menekankan lemahnya pengawasanbaik terhadap proses
penerimaan, jalannya peradilan, sampai perilaku hakim dan keluarganya. Ada pula yang
mengatakan, semua korupsi itu berawal dari godaan pihak luar termasuk advokat dan
calo perkara. Kerancuan penolakan kultur terhadap korupsi mengakibatkan budaya
korupsi itu berakar karena hadiah dan ucapan terima kasih dianggap sebagai bukan
sogok dan korupsi. Para pengusaha dengan sistem nilai harus menang dengan segala
cara memperlemah daya tahan hakim, sementara pengawasan publik serta pers tak
kuasa berbuat banyak. Pendidikan hukum yang lemah dalam mengajarkan etika, tak
luput dari kritikan.
Menghilangkan korupsi di peradilan, jelas tidak mudah. Tetapi, saya tak yakin itu tidak
bisa dilakukan. Saya melihat korupsi sebagai soal sistem dan budaya sekaligus, karena

itu suatu pembenahan sistem harus menjadi prioritas utama. Pembenahan sistem ini
mencakup proses penerimaan hakim dan panitera, pendidikan, dan pengawasan hakim,
mutasi dan promosi, sistem penggajian dan tunjangan (termasuk pensiun). Dalam kaitan
ini, pengawasan tidak semata-mata pengawasan internal, tetapi justru pengawasan dari
luar, dan ini termasuk, misalnya, kewajiban disclosure atas semua kekayaan secara
berkala. Audit forensik mungkin diperlukan jika ada indikasi mencurigakan. Dalam
kasus Manulife, misalnya, suatu audit forensik bisa dilakukan untuk menelusuri lalu
lintas finansial dari para hakim. Dan, bila ada bukti-bukti nyata, Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman dan HAM dapat segera menjatuhkan pemecatan sebagai shock
therapy. Hal ini tentu melanggar asas praduga tak bersalah, tetapi dalam situasi yang
amat akut seperti Indonesia pelaksanaan hukum yang progresif akan dilihat sebagai
tindakan yang dapat dibenarkan. Kita tak harus membiarkan asas praduga tidak
bersalah disalahgunakan untuk menutup-nutupi kesalahan.
Kualitas sumber daya manusia para hakim adalah salah satu penyebab suburnya korupsi.
Para hakim yang kurang cerdas biasanya rentan terhadap godaan para advokat dan calo,
apalagi sistem pengawasan yang lemah tak membuat nyali para hakim ciut. Selain itu,
fakta bahwa jabatan hakim dianggap investasi yang modalnya harus kembali, karena
biaya sekolah dan penerimaan yang mahal telah membuat hakim merasa sah menarik
upeti. Saya amat khawatir, banyak hakim merasa tak bersalah menerima kuasa hukum
penggugat tanpa dihadiri kuasa hukum tergugat. Larangan terhadap pertemuan yang
sifatnya ex-parte tampaknya tak ada gaungnya. Tentu hal ini disadari. Ketua Mahkamah
Agung sendiri sudah membuat pengumuman agar tak ada hakim agung yang menerima
tamu yang berhubungan dengan perkara, tetapi siapa yang bisa mengawasi?
Kesempatan memang terbuka lebar dalam budaya masyarakat yang permisif. Orang tak
merasa bersalah melakukan korupsi karena banyak orang melakukan korupsi. Bedanya,
apakah korupsi itu petty corruption atau grand corruption. Dan korupsi itu terjadi
bottom-up sekaligus top-down. Ideologi pembangunan ekonomi yang membuka lebar
pintu Indonesia terhadap modal asing dengan segala turunannya, telah membuka mata
warga negeri ini akan kemewahan-kemewahan yang bisa dibeli. Lihat semua merek
mobil yang berseliweran di jalan-jalan raya. Banyak orang tergoda untuk mengendarai
mobil mewah meski penghasilannya tak cukup. Tetapi karena barangnya tersedia, maka
segala cara akan ditempuh untuk melampiaskan kenginannya. Saya teringat saat
berkunjung ke India. Jenis mobil yang berseliweran adalah mobil-mobil made in India
yang sederhana dan murah meriah. Korupsi di India tak semarak di negeri ini, karena
masih ada rasa bersalah dan karena masih ada sanksi berat.
***
ORANG bilang, kita mesti mulai dari Mahkamah Agung, karena kalau Mahkamah
Agung bersih maka Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri juga akan bersih. Proses
ini akan berjalan. Dalam masyarakat yang paternalistik seperti Indonesia, analisis seperti
ini tak sepenuhnya salah. Tetapi tanpa pendekatan carrot and stick upaya itu tak akan
berjalan mulus, untuk tidak dikatakan amat lamban.
Saya kira sudah waktunya dalam membersihkan Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan lainnya, hukuman seberat-beratnya harus dijatuhkan secara konsisten dan

konsekuen. Pemecatan dan proses pidana harus dilakukan segera. Di sini publik harus
dipaksa menyadari, siapa pun yang mencoba menyuap hakim akan menerima hukuman
berat. Saya percaya dalam waktu satu tahun akan ada dampak amat luar biasa terhadap
semua badan peradilan.
Jadi, kita tak perlu menghukum mati hakim yang korup seperti di Cina, atau menuruti
nasihat pengamat hukum Amerika, Daniel Lev, untuk membeli pistol menembaki para
hakim.
Terakhir mohon dicatat, pembersihan korupsi di pengadilan harus dilihat dalam konteks
sosial politik, jangan sebagai suatu operasi yang berjalan sendiri dan terpisah.
Pembersihan korupsi di pengadilan harus menjadi program politik nomor satu dari
suatu pemerintahan yang bersih.
Karena itu, para petinggi hukum, Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman dan
HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian haruslah orang-orang yang bersih dari
korupsi. Bila kondisi ini ada, mungkin Dato Param Cumaraswamy tak perlu bersusah
payah datang ke negeri ini.
DR TODUNG MULYA LUBIS SH LLM, Praktisi dan ahli hukum

Kebijakan (Bukan) Publik


Oleh B Herry-Priyono
RES publica (republik) adalah urusan/kepentingan publik atau bersama, yang hanya ada
bila disangga kebijakan publik (public policy). Suatu kebijakan disebut publik bukan
pertama-tama karena diundangkan, tetapi karena perkaranya menyangkut urusan
kesejahteraan bersama (common welfare).
Itulah, mengapa selama kita menghendaki ada hidup bersama (yang terungkap dalam
istilah "umum", "publik", "Indonesia", dan sebagainya), selama itu pula kita
membutuhkan kebijakan publik. Kebijakan publik bisa berupa policy pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup, perbankan, perburuhan, pertanian, tata kota, dan
sebagainya. Selama kita membutuhkan hidup bersama serta kebijakan publik, selama itu
pula kita membutuhkan gugus kelembagaan yang disebut badan publik (public agency),
seperti pemerintah, lembaga pemantauan, dan badan usaha publik (BUMN). Dalam
banyak hal, persoalan hidup-mati sebuah republik tergantung sejauh mana kebijakan
publik sedang hidup, mati, atau pingsan.
Pingsan
Dalam tahun 2002, dari 3.870.758 kendaraan bermotor di Jakarta, 91,3 persen (3,53 juta
unit) kendaraan pribadi, 6,2 persen (239.940 unit) pengangkut barang, dan hanya 2,5
persen (96.750) unit transportasi umum. Dari total transportasi umum itu, 5.400 berupa
bus kota, 2.670 (49,4 persen) unit di antaranya beroperasi dalam kondisi rusak berat. Tiap
hari, Jakarta dimasuki arus 1,2 juta kendaraan dari berbagai daerah sekitar. Tiap hari
pula, berlangsung 16 juta perjalanan bermotor di jalan raya-jalan raya Jakarta, 42,8 persen
di antaranya memakai kendaraan pribadi, sedang 57,2 persen sisanya memakai
transportasi umum (Kompas, 4/11/02). Apa yang dikisahkan statistik itu adalah
konsumerisme ruang secara besar-besaran, dan kemacetan adalah akibatnya.
Banyak faktor yang membawa ke kondisi itu, dari konsumerisme pemilikan mobil, tata
kota yang serampangan, sampai hancurnya transportasi publik. Menambah unit
transportasi dan infrastruktur publik (misal: bus kota dan ruas jalan) tentu bisa menjadi
salah satu pemecahan. Tetapi, konsumerisme gaya-hidup (misal: jumlah pemilikan
mobil) niscaya membuat solusi seperti itu segera usang.
Namun, andai kita terima penambahan unit transportasi publik sebagai solusi, tentu kita
butuh anggaran untuk membeli. Pada titik ini, soal korupsi menjadi relevan, tetapi dalam
arti lebih luas daripada sekadar korupsi pejabat bersangkutan. Seperti dalam banyak hal
lain, anggaran itu bisa diambil paling tidak dari tiga sumber: pinjaman (deficit financing),
diversi anggaran lain (misal dari budget pembelian senjata), dan pajak.
Anggaran dari pajak juga beragam. Yang pasti, tak seorang pun suka dipungut pajak.
Setiap dari kita ingin menjadi "penunggang gratis" (free riders). Tetapi, seperti
ditegaskan Margaret Levi (1990), tak ada "hidup bersama" yang tidak disangga pajak.
Luasnya korupsi para petugas pajak tidak menggugurkan validitas pokok ini. Juga

setelah korupsi para petugas pajak kita akomodasi, luasnya korupsi nonbirokratis bukan
tidak terkait dengan masalah anggaran.
Salah satunya menyangkut pajak perusahaan. Sjarifuddin Alsah, Direktur Large
Taxpayers Office (LTO) mengungkapkan, dalam perhitungan konservatif tahun 2000
paling tidak 30 dari 200 perusahaan besar punya masalah serius dengan pengemplangan
pajak. Dan itu menyangkut kehilangan Rp 8,4 trilyun, atau 60 persen dari total tunggakan
pajak, yaitu Rp 14,5 trilyun untuk tahun 2000 (JP, 24/ 7/02). Gabunglah pengemplangan
itu dengan penjarahan besar-besaran dana BLBI, maka kita akan temukan penguapan
sumber daya finansial dalam skala mencengangkan.
Apa kaitan antara korupsi korporat dan hancurnya fasilitas publik seperti bus kota?
Tidak ada hubungan langsung. "Kebijakan publik" diadakan untuk mengaitkan
keduanya. Tidak/belum adanya kaitan antara keduanya menunjukkan kebijakan publik
kita mungkin bukan hanya dalam kondisi pingsan, tetapi dalam proses kematian.
Mati
Contoh yang tersaji secara kikir di atas hanya satu dari makin banyak gejala yang
menandai kondisi res publica kita: dalam bidang kesehatan, ketenagakerjaan, tata kota,
pendidikan, dan sebagainya. Apa yang berlangsung adalah pertarungan kekuasaan
dalam wajah yang kian brutal. Dalam pertarungan itu, pemilik serta pengontrol modal
finansial makin memegang kendali. Lewat proses ini, terciptalah gagasan public policy
menurut konsepsi neoliberalisme ekonomi.
Oleh karena kebijakan publik merupakan arena, dan karena arena berisi pertarungan
sumber daya, maka kebijakan publik cenderung menjadi sekadar pelaksanaan kebutuhan
para pemilik/ pengontrol aset finansial. Dengan itu kebijakan publik makin kehilangan
ciri publiknya. Muncul gejala yang oleh Joel Hellman dan kawan kawan (2000) disebut
state capture, di mana kapasitas legitim badan publik menjadi tawanan pemilik modal
finansial. Gejala ini punya implikasi jauh.
Kebijakan kian tidak lagi digerakkan agenda intensional (intended motives) untuk
melaksanakan kepentingan publik. Sebaliknya, kepentingan publik/bersama menjadi
sekadar akibat sampingan (unintended consequences) dari berbagai keputusan atau
tindakan yang terutama mengungkapkan kebutuhan kelompok- kelompok finansial.
Dengan jelas, pola ini tampak dalam tegangan antara hak hidup kaum miskin kota dan
penggusuran atas nama imperatif investasi, antara perlindungan buruh dan tuntutan
investor. Lalu, apa nasib "kesejahteraan bersama" (common welfare)?
Bila melalui keputusan "publik", kesejahteraan bersama itu terlaksana, syukurlah. Jika
tidak, common welfare itu tidak pernah menjadi tujuan awalnya. Lugasnya,
kesejahteraan bersama (ekonomis, politis, kultural) menjadi sekadar remah- remah yang
jatuh dari meja pesta para tuan besar. Akhirnya, "kebijakan publik" kehilangan raison
d'etre (alasan adanya), karena ia bukan lagi "kebijakan", dan bukan juga dilakukan bagi
"publik".

Tidak perlu menjadi seorang "kiri" untuk mengenali musababnya. Mulai saja dari
liberalisme klasik. Ekonomi-politik klasik menggagas, produksi barang/jasa bergantung
pada kaitan intrinsik antara tiga faktor: tanah (land), modal (money/ capital), dan tenaga
kerja (labour)-teknologi adalah evolusi dari "tenaga kerja". Demi hemat kata, saya akan
menyebut kaitan ketiganya dengan istilah trias economica. Konsepsi ekonomi klasik itu
bukannya tanpa dasar etika yang mendalam. Perimbangan kinerja ketiga sumber daya
itu dibangun bagi pertumbuhan dan tujuan (telos) kesejahteraan bersama.
Neoliberalisme ekonomi membunuh landasan etis ekonomi-politik klasik dengan
melepas "uang" dari kaitan intrinsiknya dengan "tanah" dan "tenaga kerja". Apa yang
terjadi pada lingkup mikro (ekonomi produksi) juga berlangsung pada tataran makro
(struktur ekonomi global). Yang dimaksud "tanah" dalam ekonomi-politik klasik tentu
aksis fisik-spasial di mana pabrik/badan-usaha berdiri. Namun, "tanah" juga
menyangkut partikularitas spasial, wilayah geografis di mana komunitas politik-kultural
hidup. Itulah patria, bahasa Latin untuk tanah air. Pada tataran makro, "tenaga kerja"
paralel dengan warga negara.
Melalui deregulasi-privatisasi yang serampangan, dilepasnya kinerja modal finansial dari
tata trias economica itu sama dengan penghapusan kaitan instrinsik antara uang dan
proses survival bangsa serta warga-negara. Ada dua implikasi. Pertama, hak istimewa
dan kekuasaan yang begitu besar diberikan secara gratis kepada para pemilik aset
finansial. Kedua, tenaga kerja (warga negara) dan tanah (tanah air) akhirnya menjadi
bulan-bulanan kekuasaan modal finansial. Apakah para petani/ buruh mati, atau apakah
patria remuk dihajar krisis ekonomi, menjadi soal yang semakin dianggap tidak terkait
dengan logika kinerja (para pemilik) modal finansial. Public policy menjadi sekadar
nama bagi legitimasi proses seperti itu.
Hidup
Gerakan menghidupkan "kebijakan publik" bisa dimulai dengan peninjauan kembali
sejauh mana gejala itu terjadi. Pada titik ini, saya mengajukan pokok kecil yang mungkin
relevan bagi public policy. Sebuah Indonesia modern yang sehat dan beradab dibangun
di atas perimbangan tiga poros kekuatan masyarakat: komunitas (community), pasar
(market), dan badan publik (public agency).
"Komunitas" menunjuk pada spontanitas nontransaksi dan non-administratif. "Pasar"
adalah spontanitas transaksi ekonomi, sedangkan "badan publik" menunjuk otoritas
regulatif bagi kemungkinan hidup bersama. Biasanya dominasi satu/dua atas satu/dua
poros lain menjadi jalan menuju malapetaka. Sejarah memberi pelajaran berharga.
Dominasi badan-publik atas spontanitas hidup komunitas dan kinerja pasar melahirkan
Stalinisme dan otoritarianisme Soeharto. Dominasi komunalisme atas kinerja pasar dan
otoritas legitim badan-publik memunculkan tribalisme agamis-etnis-rasial. Kolonisasi
logika pasar atas hidup komunitas dan otoritas legitim badan publik memperanakkan
tragedi neoliberalisme seperti yang kini berlangsung di banyak negara Eropa Timur.
Proposal kecil itu bisa menjadi kaidah praktis, bisa pula menjadi pedoman analistis
untuk pembuatan/penilaian kebijakan publik. Kesalahan fatal yang menggejala dewasa
ini adalah, dalil sistem pasar dipakai sebagai hakim tunggal untuk menilai salah-

benarnya semua kebijakan, termasuk yang menyangkut hidup komuniter dan legitimtidaknya otoritas badan publik. Amat mengherankan, sementara di berbagai pusat kajian
paling maju di Amerika Utara dan Eropa sendiri dalil neoliberalisme ekonomi itu sedang
gencar ditinjau ulang, di negeri ini dalil itu justru semakin dirayakan.
Survival sebuah republik tentu tergantung pada banyak faktor. Pada aras ekonomipolitik, survival itu tidak bisa lagi dilakukan dengan begitu saja menggadaikan semua
prasyarat dan prasarana yang menyangga res publica kita. Sebuah manifesto moderat
kira-kira akan berbunyi: kembalikan kinerja uang/ modal ke tata trias economica.
Kebijakan ekonomi-politik disebut "publik" persis untuk membuat agenda itu terlaksana.
Jadi, bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan/tuntutan para pemilik/pengontrol
modal finansial. Untuk agenda itu, deregulasi atau regulasi pada akhirnya hanyalah
sarana.
Dalam kaitan dengan reformasi dan civil society, kita suka bicara tentang pentingnya
mempertahankan "kawasan publik" (public sphere). Cuma, public sphere itu tentu tidak
pernah ada tanpa basis material dalam rupa kontrol atau kadar tertentu pemilikan serta
peruntukan publik. Bila prasyarat dan basis material public sphere kian dikosongkan
dari watak publik-komuniternya, tentu saja public sphere menjadi sekadar buih verbal.
Selain dikawal dengan undang-undang, wacana ekonomi yang khas, dan mungkin
preman bayaran, proses pengosongan republik dan kebijakan publik ini rupanya
disangga oleh sejenis psikologi tertentu. Iklan handphone merk Philips, "individualism is
perfectly human", bukan sekadar permainan kata, tetapi proklamasi psikologi
neoliberalisme par excellence.
B HERRY-PRIYONO Peneliti, pengajar pada Program Pascasarjana STF Driyarkara,
Jakarta

Keluar dari Krisis


Oleh A Tony Prasetiantono
ADA beberapa cara yang umumnya ditempuh suatu negara agar bisa keluar dari krisis
ekonomi. Namun, apa pun pilihan caranya, biasanya tak ada yang mudah, tak ada yang
seketika (instant), dan tak ada pula yang tidak mengandung komplikasi persoalan lain.
Selalu saja ada risiko, implikasi, konsekuensi, dan trade-offs. Satu solusi terhadap sebuah
persoalan, sering diikuti dengan menciptakan masalah lain. Ini hal biasa dan amat tipikal
dalam kasus-kasus ekonomi.
Solusi yang ditawarkan biasanya ada dalam dua jalur, jalur moneter dan jalur fiskal. Jalur
moneter dilakukan dengan mengutak-atik suku bunga. Situasi krisis biasanya
memerlukan suku bunga lebih rendah, agar memberi stimulasi kepada sektor riil melalui
dorongan investasi. Suku bunga rendah juga menyebabkan pemilik dana enggan
menabung, dan mengalihkan peruntungannya di jalur pasar modal.
Adapun di jalur fiskal atau anggaran pemerintah (APBN), situasi krisis memerlukan
kompensasi kebijakan yang ekspansif. Pengeluaran anggaran perlu dinaikkan, supaya
tercipta stimulus ekonomi melalui investasi dan lapangan pekerjaan baru.
Stimulus fiskal-moneter
Pada kasus krisis terbaru perekonomian Indonesia, yakni tatkala tingkat kepercayaan
pelaku ekonomi runtuh karena dihantui terorisme 12 Oktober 2002, maka tim ekonomi
memutuskan untuk menyuntikkan paket stimulus. Pengeluaran pemerintah dinaikkan,
dan defisit anggaran dalam RAPBN 2003 "diizinkan" meningkat sampai 1,9 persen
terhadap Produk Domestik Bruto. (Kompas, 7/11) Ada semacam konsensus, defisit
anggaran masih dianggap aman jika tidak melampaui dua persen terhadap PDB.
Kebijakan ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membantu penciptaan lapangan kerja.
Teror di Bali pasti akan menyebabkan turunnya permintaan terhadap jasa pariwisata dan
sektor-sektor terkait lainnya. Penurunan ini, cepat atau lambat akan bermuara pada
meningkatnya pengangguran. Stimulus fiskal RAPBN 2003 merupakan salah satu
alternatifnya. Dari mana sumber dananya? Ternyata dari utang luar negeri, dari CGI.
Rupanya, bukan cuma Indonesia yang kini panik. Amerika Serikat (AS) juga melakukan
penyesuaian. Di luar perkiraan semua orang, Ketua Bank Sentral (The Fed) Alan
Greenspan, baru saja menurunkan federal funds rate dari 1,75 persen menjadi 1,25
persen pada 6 November 2002. Federal funds rate merupakan tingkat bunga pinjaman
jangka pendek (overnight) yang diberikan bank sentral kepada bank-bank yang akhirnya
menjadi acuan bagi pinjam meminjam antarbank.
Instrumen ini dipakai sebagai pertanda arah kebijakan moneter bank sentral AS. Makin
rendah suku bunga, berarti otoritas moneter menghendaki ekspansi moneter, agar dapat
mendorong investasi di sektor riil, maupun untuk menggairahkan pembelian saham di
bursa efek. Tingkat bunga serendah ini amat ekstrem, dan praktis belum pernah terjadi
sebelumnya.

Semula orang menduga, The Fed hanya akan menurunkan 0,25 persen saja (menjadi 1,5
persen). Namun, agaknya Greenspan berpikir lain. Situasi sekarang dianggapnya tak lagi
cukup diantisipasi dengan penurunan 0,25 persen. Apakah ini pertanda AS mulai panik?
Panik atau tidak, suku bunga yang sedemikian rendah itu telah mengirimkan pesan
bahwa situasi ekonomi dunia memerlukan penanganan serius agar tak tergelincir
menjadi krisis yang ekstensif.
Selain instrumen moneter, AS juga menempuh jalur fiskal. Pada awal dasawarsa 1980-an,
ketika dunia dilanda resesi, Pemerintah AS juga memperkenalkan kebijakan tax cuts,
alias pemotongan pajak. Harapannya, jika pajak dipotong, produsen akan semakin
bergairah. Sisi penawaran (supply) didorong. Sementara itu, aliran Klasik meyakini,
penawaran akan menciptakan permintaan (supply creates its own demand). Inilah
prinsip supply-side economics yang terkenal sukses di zaman Presiden Ronald Reagan
itu.
Rupanya, siklus itu kini berulang. Ancaman krisis ekonomi telah memaksa AS
mengulang kebijakan ini. Menurut ekonom Harvard, Robert J Barro, kebijakan ekonomi
yang paling sukses selama Presiden Bush adalah digulirkannya kembali tax cuts pada
tahun 2001, yang berdampak positif pada perekonomiannya. (Bush's Economic Policies:
The Bull's-Eyes and Busts, dalam Business Week, 4/11)
Di Indonesia, tampaknya juga muncul spirit yang lebih kurang sama. Pemerintah
menurunkan target tax ratio-nya, dari 13,3 persen menjadi 13,1 persen. Tampaknya ada
semacam kesadaran, penarikan pajak yang terlalu agresif di saat perekonomian sedang
goyah seperti sekarang, akan memancing hal-hal yang kontra-produktif.
Kebijakan suku bunga rendah menjadi tren yang tak terelakkan di mana-mana. Jepang
sudah lebih dulu memberlakukannya, bahkan mencatat rekor suku bunga terendah di
dunia, yakni nol persen (zero interest rate). Kebijakan ini membantu meningkatkan
investasi di negara itu, namun bukannya tanpa efek samping. Para pemilik modal lebih
suka menanam duitnya di AS, dengan dibelikan obligasi jangka pendek Pemerintah AS
(T-bills). Akumulasi dana Jepang di AS itu kini amat luar biasa jumlahnya, mencapai
ratusan milyar dollar!
Sepuluh konsensus
Sebagaimana krisis dan shock yang pernah dialami negara-negara berkembang lain,
tampaknya Indonesia juga tak bisa menghindar dari resep-resep lembaga multilateral.
Sebagaimana diketahui, dalam menghadapi krisis, IMF senantiasa menawarkan resepnya
yang disebut structural adjustment programs (SAP). Intinya, negara yang terkena krisis
harus melakukan tiga hal pokok: liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi, yang populer
disebut sebagai Washington Consensus.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan John Williamson dari Institute for International
Economics, Washington DC (lihat, The Political Economy of Policy Reform, Institute for
International Economics, 1994). Konsep ini merupakan konsensus yang dihasilkan oleh

ekonom-ekonom dari kubu konservatif dan liberal, yakni perpaduan antara IMF, Bank
Dunia, Pemerintah AS, serta beberapa "tangki pemikir" (think tanks) di kota itu.
Konsep ini semula didesain sebagai upaya untuk menanggulangi krisis ekonomi yang
terjadi di Amerika Latin pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Namun konsep ini lalu
dirasa cocok diterapkan di negara-negara berkembang lain yang menghadapi krisis
serupa. Pada dasarnya, konsensus ini terdiri dari sepuluh elemen.
Pertama, disiplin fiskal (fiscal discipline, fiscal austerity). Pemerintah disarankan untuk
melakukan kebijakan fiskal yang konservatif, di mana defisit anggaran (budget deficit)
tak boleh lebih daripada dua persen terhadap PDB.
Kedua, perlu adanya prioritas bagi pengeluaran publik (public expenditure) dalam
anggaran pemerintah. Pemerintah harus berupaya untuk memperbaiki distribusi
pendapatan melalui belanja pemerintah.
Ketiga, reformasi pajak (tax reform). Pemerintah perlu memperluas basis pemungutan
pajak. Pajak merupakan komponen penting anggaran pemerintah, dan pemerintah perlu
lebih kreatif dalam pemungutannya dengan cara perluasan basisnya.
Keempat, liberalisasi finansial (financial liberalization). Sektor finansial perlu didorong
lebih liberal dan kian ketat bersaing agar terjadi peningkatan efisiensi.
Kelima, kebijakan nilai tukar (exchange rates policy) yang memiliki kredibilitas yang
menjamin terdorongnya iklim persaingan.
Keenam, terus mendorong liberalisasi perdagangan dengan cara menghilangkan
restriksi-restriksi kualitatif (larangan-larangan) secara progresif.
Ketujuh, mendorong kompetisi antara perusahaan domestik dengan perusahaan asing
sehingga meningkatkan efisiensi.
Kedelapan, melakukan program privatisasi. Perusahaan-perusahaan milik negara atau
BUMN direkomendasikan untuk dialihkan kepada swasta.
Kesembilan, iklim deregulasi harus didorong. Hambatan atau restriksi untuk masuk
pasar (barriers to entry) harus dihilangkan supaya pasar menjadi kian kompetitif.
Kesepuluh, pemerintah juga harus melindungi hak kekayaan intelektual, baik di sektor
formal maupun informal.
Konsep ini bagus. Namun, seperti selalu diingatkan Joseph E Stiglitz (2002), semua resep
itu akan sukses diterapkan jika disertai sejumlah persyaratan. Karena jika tidak, hasilnya
justru kontraproduktif.
Indonesia sudah membuktikan itu melalui pengalaman pahitnya. Akibat kemauan IMF
untuk menjalankan "diet" fiskal ketat secara konservatif, mendadak harga BBM dalam

negeri dinaikkan pada tahun 1997. Namun, apa dampaknya? Masyarakat langsung
mengamuk, dan timbul kerusuhan di mana-mana.
Apakah kebijakan disiplin fiskal ini jelek? Tidak. Kebijakan itu sebenarnya bagus dan
sudah benar. Tetapi, sebagus apa pun sebuah kebijakan ekonomi, selalu memerlukan
prasyarat pendukung, misalnya timing yang tepat yang tak mengabaikan risiko-risiko
sosial-politik.
Demikian pula dalam kasus perbankan. Penutupan bank tanpa didahului pembentukan
lembaga asuransi deposito, hanya akan menyulut kepanikan. Pencabutan blanket
guarantee (penjaminan simpanan di bank) juga akan rawan, jika tak disiapkan lembaga
penjaminan.
Prospek
Pilihan bagi otoritas ekonomi Indonesia kini memang tidak banyak. Di jalur moneter,
idealnya kita menurunkan suku bunga serendah mungkin, karena selain dapat
memobilisasi investasi, juga dapat menghemat pembayaran suku bunga obligasi
pemerintah yang kini "bersarang" di hampir semua bank nasional. Namun, menurunkan
suku bunga di Indonesia terbukti bukan hal gampang, karena mekanisme pasar dalam
proses pelelangan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) oleh Bank Indonesia.
Pada tahap sekarang, suku bunga SBI sebesar 13,1 persen, sebenarnya sudah termasuk
rendah. Laju inflasi kita yang selama periode Januari-Oktober 2002 tercatat 6,74 persen,
sebenarnya juga sudah lumayan. Bandingkan dengan inflasi tahun 2001 yang mencapai
12,55 persen. Rendahnya suku bunga dan inflasi selama sepuluh bulan tahun 2002, bisa
dipastikan disumbang oleh stabilitas rupiah yang terjaga di level yang reasonable Rp
9.000-an per dollar AS. Bahkan, setelah peristiwa 12 Oktober, rupiah masih terus
bertahan di level Rp 9.200-an. Hebat!
Dugaan saya, penurunan suku bunga di AS akan memperlemah dollar AS. Dampaknya
akan positif bagi rupiah, untuk tetap bertahan di level Rp 9.200, atau bahkan menguat
menjadi Rp 9.000 per dollar AS. Karena itu, asumsi kurs rupiah dalam RAPBN 2003, saya
sarankan agar pemerintah berani mematok interval lebih sempit, agar lebih tajam dan
meyakinkan, misalnya antara Rp 9.000 hingga Rp 9.200 per dollar AS.
Saya juga masih percaya, berbagai kebijakan negara maju seperti AS dan Jepang (suku
bunga rendah), dikombinasi dengan stimulus fiskal RAPBN 2003, bisa meminimalkan
dampak negatif yang ditimbulkan peristiwa 12 Oktober.
Namun, tentu saja kita tidak lantas bisa keluar dari krisis. Untuk ke sana, kita masih
memerlukan upaya menarik modal yang selama ini lari keluar negeri (repatriasi), dan
kembali berusaha menarik investasi asing. Persetujuan PMA oleh BKPM sepanjang
Januari-September 2002 hanya 5,4 milyar dollar AS. Angka ini tidak berbeda dengan
kinerja tahun 2001 yang enam milyar dollar AS.
Meski ini sudah lebih baik daripada Filipina yang juga sedang terbenam krisis dan
terorisme (cuma satu milyar dollar AS pada tahun 2001 dan 2002), tetapi jauh lebih

rendah daripada Cina, yang tahun ini diduga akan memecahkan rekor investasi asing 50
milyar dollar AS! Dalam tujuh bulan 2002, mereka sudah merebut 35 milyar dollar AS!
Jadi, jalan untuk keluar dari krisis masih tampak panjang dan berliku, sesulit menarik
kembali dana-dana di luar negeri untuk diinvestasikan ke Indonesia.
A TONY PRASETIANTONO Penulis buku Keluar dari Krisis, Gramedia Pustaka Utama,
2000

Kemiskinan dan Teologi Pembebasan


Oleh Muhamad Ali
MAKIN hari paradoks kehidupan makin tidak asing bagi kita. Di satu sisi kita melihat
kemewahan dan kemakmuran. Tetapi, di banyak tempat lain, di jalan- jalan dan di
kawasan-kawasan kumuh di kota-kota maupun di pelosok-pelosok daerah, kita
menyaksikan saudara-saudara kita menderita kelaparan, tidak mengenyam pendidikan
yang wajar, kekurangan makanan yang bergizi, dan seterusnya. Baru-baru ini Sidang
Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, misalnya, mencatat sekitar 150
juta anak di dunia menderita kekurangan gizi, mengalami kemiskinan, eksploitasi, dan
kekurangan pendidikan.
Jumlah penduduk miskin (yang berpenghasilan kurang dari dua dollar AS per hari
menurut standar Bank Dunia) di Indonesia mencapai 60 persen (kemiskinan relatif).
Bahkan disebutkan, sekitar 10-20 persen dari kelompok ini hidup dalam kemiskinan
absolut (kekurangan makan, pakaian, perumahan, kebutuhan air bersih, pendidikan,
kesehatan, listrik, dan transportasi). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), memang
ada penurunan jumlah kemiskinan absolut dari sekitar 24,23 persen (1998) menjadi
sekitar 18,95 persen dari jumlah penduduk Indonesia akhir tahun 2000. Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menyebutkan penduduk miskin mencapai 38
juta (Kompas, 17/3/02).
Di pihak lain, amat banyak mereka yang kaya dan berkuasa tidak peduli dengan nasib
kaum miskin dan lemah. Tidak hanya mereka yang dianggap "abangan" dalam
beragama, yang "santri" pun, setelah mereka populer dan kaya, cenderung menikmati
kesenangan sendiri atau paling jauh, keluarganya. Individualisme, hedonisme, dan
materialisme telah diidap begitu banyak orang kaya dan berkuasa saat ini.
Padahal dampak kemiskinan amat dahsyat, meski sering tidak kasat mata. Kemiskinan
(baik absolut maupun relatif) dapat menyebabkan manusia melakukan korupsi. Budaya
korupsi yang sudah mendarah daging di Indonesia- yang membawa Indonesia ke posisi
negara terkorup di Asia (menurut Political and Economic Risk Consultancy, PERC)
sebenarnya dipengaruhi budaya kemiskinan (culture of poverty). (Kemiskinan, Utang,
Korupsi, Kompas, 17/3/02). Selain itu, pertikaian antarkelompok masyarakat yang
bernuansa etnis dan agama juga sering tidak lebih dari urusan perut semata atau
perebutan daerah kekuasaan menyangkut rezeki (Kompas, 7/3/02). Anak-anak muda
yang telantar cenderung mencari jalan pintas. Sebagian melarikan diri ke dunia hitam,
prostitusi, dan narkoba. Akibat lainnya, korban HIV/AIDS makin bertambah.

***
KEMISKINAN adalah musuh terbesar bangsa ini, musuh besar kemanusiaan, dan karena
itu musuh besar agama-agama. Karena kemiskinan merupakan masalah
multidimensional, terkait masalah ekonomi, politik, keamanan, dan kebudayaan, maka
penanggulangan kemiskinan sebagai wujud ketidakadilan sosial seharusnya tidak hanya

merupakan masalah pokok dan prioritas pemerintah, tetapi juga masyarakat luas,
termasuk agamawan berikut lembaga-lembaganya.
Orang bisa saja mengalamatkan masalah kemiskinan kepada krisis kapitalisme global,
sehingga gerakan antiglobalisasi dianggap lebih tepat memperjuangkan kepentingan
kaum tertindas dan lebih cocok dengan demokrasi (Eric Hiariej, Krisis Kapitalisme
Global, Kompas 8/4/02). Namun, perlu disadari, salah satu penyebab kemiskinan dan
ketidakadilan sosial adalah pandangan dunia (mind- set) sebagian masyarakat yang
keliru, yang dipengaruhi nilai-nilai agama dan budaya yang dianut. Pasifisme atau
menerima apa adanya sering mendapat legitimasi agama. Doktrin taqdir bahwa Tuhan
telah menentukan segalanya sejak setiap manusia diciptakan, termasuk kaya-miskin,
status sosial, keluarga, pendidikan, dan sebagainya, membelenggu mereka yang tidak
sempat mengenyam pendidikan agama yang baik dan mencerahkan. Pemahaman agama
yang dangkal semacam ini memperparah kondisi buruk yang telah dialaminya akibat
faktor-faktor struktural.
Untuk membuka belenggu-belenggu agama dan penjara-penjara manusia, teologi
pembebasan, yang dapat ditemukan dasar-dasar dan preseden-presedennya dalam
semua agama, amat penting direaktualisasikan. Watak agama sebagai kekuatan
pembebas harus digali, karena sebab keberagamaan yang gagal adalah teologi yang
mandul dan tidak cocok dalam menjawab masalah-masalah kemanusiaan kini dan di
sini. Teologi yang harus dikembangkan adalah pemahaman dan penghayatan agama
yang mampu melahirkan kekuatan batin (inner force) yang memotivasi penganutnya
untuk terlibat aktif dalam kerja memperkecil ketidakadilan sosial, sesuai otoritas, dan
kapasitas.

***
SECARA historis, teologi pembebasan muncul dari tradisi Kristen sebagai gugatan moral
dan sosial terhadap ketergantungan pada kapitalisme, sebagai alternatif terhadap cara
hidup individualistik, penentangan terhadap pemberhalaan harta dan kekuasaan,
kecaman terhadap teologi tradisional, serta pembacaan baru pada sumber-sumber
otoritas keagamaan. (Michael Lowy, Teologi Pembebasan, 2000) Namun, bila kita
membaca teks-teks agama dan sejarah agama-agama, maka kita akan mendapatkan
benang merah bahwa semua agama turun untuk melawan kemiskinan, keterbelakangan,
ketertindasan, dan kebodohan. Figur-figur nabi dan pemimpin agama umumnya muncul
dari keprihatinan membela kaum yang lemah (mustad'afun). Mereka adalah para
pembebas dari eksploitasi dan dominasi kepada keadilan dan kerja sama, dari
individualisme kepada persaudaraan universal.
Kini teologi pembebasan tidak perlu melulu gerakan radikal dan pemberontakan
terhadap penguasa seperti di Amerika Latin dan tempat-tempat lain. Teologi
pembebasan juga tidak berarti menghancurkan sendi-sendi keberagamaan tradisional
dan konservatif, karena teologi pembebasan dapat dianut baik kalangan konservatif
maupun liberal, sejauh nilai-nilai transformatif dan liberatif diperjuangkan.

Al Quran, misalnya, turun untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu sosial


kepada kemerdekaan dan tanggung jawab. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kitab
Weda, dan semua kitab suci lain, turun untuk mendukung perjuangan kaum lemah dan
tertindas, ketimbang berpihak pada elite penguasa dan orang kaya. Tuhan berpesan:
"Janganlah kalian meninggalkan anak-anak keturunan kalian dalam keadaan miskin dan
terbelakang. "(Al Quran: 4:9). Memelihara anak yatim dan menyantuni fakir miskin
berkali-kali diingatkan Al Quran, bahkan mereka yang tidak berbuat demikian dicap
sebagai pendusta agama. Terhadap orang kaya, Nabi Muhammad SAW menegaskan,
"Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan." Terhadap
orang miskin, Nabi mengingatkan: "Kemiskinan cenderung membawa kepada kejahatan
sosial."
Bentuk reaktualisasi teologi pembebasan bisa beragam dan kontekstual. Wujudnya dapat
berupa pemberian beasiswa kepada mereka yang tidak mampu, memberi latihan-latihan
keterampilan, pesantren pemulung, advokasi kaum lemah, bantuan kesehatan, bantuan
terhadap para pengungsi dan rehabilitasi sarana di wilayah konflik, dan sebagainya.
Intinya, semua program pemberdayaan masyarakat yang melibatkan bimbingan moralspiritual merupakan bagian dari reaktualisasi teologi pembebasan.
Teologi pembebasan tidak identik dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak.
Pendekatan teologi pembebasan harus demokratis, karena tidak berhenti pada freedom
from exploitation, tapi juga freedom for justice. Revolusi sosial hanya dapat diterapkan
dalam konteks perang dan kekacauan yang dahsyat. Dalam konteks Indonesia kini,
pembebasan akan lebih efektif jika menggunakan pendekatan budaya seperti pendidikan
dan pelatihan, ketimbang pendekatan politik jika para tokohnya cenderung korup dan
memiliki self-interest. Ini karena selain dana besar, jaringan yang luas dan solid, serta
profesionalisme kerja, amat dibutuhkan ketulusan (ikhlas), mengingat berat dan berlikulikunya upaya semacam ini. Komitmen dan kesungguhan merupakan faktor paling
menentukan kesuksesan teologi pembebasan.
Akhirnya, kemiskinan dan ketidakadilan sosial di negeri kita hanya dapat berkurang bila
kita berbuat sesuatu untuk mengubahnya, karena Tuhan tidak akan mengubah nasib kita
dan saudara-saudara kita, jika kita sendiri tidak memiliki komitmen dan kemampuan
untuk mengubahnya. Kitalah, manusia, yang membuat agama menyejarah.

Muhamad Ali Dosen Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Lahan dan Air, untuk Apa dan Siapa?


Oleh Gatot Irianto
PERTANYAAN pada judul itu pasti dan terus mengemuka ke pemerintah karena kian
banyaknya petani bertanah air Indonesia tidak memiliki tanah (landless), termasuk air,
sebagai komponen utama kehidupan.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas kemiskinan masyarakat yang
amat sulit ditolong dengan cara dan dana berapa pun besarnya. Sayang, dalam
menyikapi persoalan mendasar itu, pemerintah lebih banyak aman (safety playing)
dengan mengedepankan pendekatan teknologi dibandingkan dengan memecahkan
masalah esensialnya, yaitu keadilan lahan dan air.
Indikatornya, pemerintah lebih banyak berinvestasi untuk teknologi baru dalam rangka
meningkatkan produktivitas lahan ketimbang memikirkan alokasi dan distribusi
pemilikan lahan dan air sebagai faktor pembatas (limiting factor).
Dampaknya, peningkatan produksi yang diperoleh tidak proporsional daripada investasi
teknologi, waktu, tenaga, dan biaya. Buktinya, pendapatan dan keuntungan usaha tani
kian memprihatinkan, petani kian susah kehidupannya.
Implikasi langsungnya, generasi muda yang berpendidikan (educated young generation)
cenderung menghindari berprofesi sebagai petani. Meski berpendidikan sarjana
pertanian, pilihan menjadi petani biasanya karena terpaksa dan merupakan alternatif
terakhir.
Berdasarkan ilustrasi itu, maka pola, strategi, dan pendekatan peningkatan kesejahteraan
petani harus dirombak secara mendasar dari pendekatan berbasis teknologi
(technological base) semata ke kombinasi berbasis akses sumber daya (resources access
base) didukung basis politik pemasaran (marketing political base) yang proporsional.
Argumennya, dengan akses sumber daya memadai, skala usaha minimal, unit
pengolahan hasil dan wilayah pengembangan, pendapatan usaha tani, serta daya saing
produk dapat dioptimalkan.
Bagaimana petani dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya jika lahan
yang dimiliki sebagai satu-satunya gantungan dan pegangan hidup kurang dari 0,3
hektar, dengan ketidakpastian distribusi dan alokasi air antarwilayah dan antarwaktu
yang amat tinggi dan selalu dikorbankan saat terjadi kelangkaan air?
Ironisnya, meski derita, impitan petani sudah kian mengenaskan. Namun, pemerintah
baru bekerja pada tataran political will, belum pada political action dalam hal alokasi
sumber daya, terutama lahan dan air. Diperlukan keadilan distribusi dan alokasi air
apabila pemerintah serius memperbaiki nasib dan masa depan petani.
Keadilan distribusi serta alokasi lahan dan air

Indonesia perlu belajar dari negara serumpun, seperti Malaysia dan Filipina, dalam
mewujudkan keadilan lahan dan air bagi rakyatnya. Tahapan mendasar yang harus
segera dikerjakan pemerintah adalah mengurangi terjadinya konsentrasi/pemusatan
kepemilikan dan penguasaan lahan dan air oleh segelintir elite dan mendistribusikan
kepada generasi baru terdidik untuk diusahakan dengan dukungan pembiayaan dan
pemasaran pemerintah. Generasi muda berpendidikan inilah yang diharapkan dapat
mereformasi dan memodernisasi pertanian masa depan.
Keadilan lahan dan air harus diwujudkan karena berdasar nisbah (ratio) antara luas
lahan sawah nasional yang 11,97 juta hektar dimiliki 25.6 juta keluarga petani, sementara
pemilik konsesi hak penguasaan hutan yang 266 menguasai lahan lebih dari 27 juta
hektar.
Dengan kecenderungan luas rata-rata pemilikan lahan sawah yang terus menurun akibat:
(1) laju alih fungsi lahan yang sangat tinggi (33.000 hektar per tahun) di Jawa; (2) pasokan
air untuk pertanian yang terus menurun akibat lemahnya posisi tawar (bargaining
position) terhadap sektor domestik, municipal, dan industri; (3) hukum waris yang
memungkinkan sawah/kebun dibagi secara fisik sehingga sikap dan posisi tegas
pemerintah amat diperlukan.
Langkah awal yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengalihkan lahan hak guna
usaha dan kawasan hutan produksi yang underutilized untuk kepentingan masyarakat
yang secara fisik tidak memiliki akses, kontrol, partisipasi, serta manfaat lahan di
sekitarnya.
Pendekatan itu harus didukung tindakan dan kontrol nyata presiden atas gubernur,
bupati/wali kota yang melakukan alih fungsi lahan produktif karena sebenarnya
Indonesia telah memiliki instrumen yang amat memadai guna mencegah alih fungsi
lahan. Tanpa wibawa dan teladan presiden dan jajarannya yang kuat, masalah keadilan
lahan dan pencegahan alih fungsi lahan tidak akan pernah dapat diwujudkan.
Dalam hal keadilan air, pemerintah harus segera meninjau kembali tanpa harus merasa
kalah, Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang memberi
peluang hak guna air kepada swasta yang secara nyata bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945.
Selain menyengsarakan masyarakat dan petani, dampak negatif langsung dari
implementasi UU itu sudah amat mengganggu sistem produksi pertanian nasional.
Teladannya, terjadinya penurunan indeks pertanaman di wilayah sekitar mata air dari 2,5
menjadi 1,8 dengan pendapatan yang amat rendah, bahkan tidak layak dibandingkan
dengan upah minimum sekalipun.
Pemerintah harus segera memberi alokasi dan distribusi sumber daya air kepada
masyarakat secara memadai karena merekalah pemilik sejati (the real owner/
stakeholder). Pertanyaannya, bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani secara
nyata?
Meningkatkan kesejahteraan petani

Spirit peningkatan kesejahteraan petani dalam arti sebenarnya tampaknya mendapat


perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kebetulan dilahirkan di daerah
lahan kering. Hal ini, antara lain, tercermin dari persetujuan Presiden atas usul Menteri
Pertanian untuk membentuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan
Air sebagai mesin kerja dalam peningkatan kesejahteraan rakyat.
Lahan dan air diangkat peran dan posisinya sebagai basis utama dalam peningkatan
produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani. Berkaitan dengan rencana
pembentukan direktorat jenderal baru itu, ada empat usulan strategis.
Pertama, pengelolaan sumber daya air dan pengembangan irigasi suplementer
(supplementary irrigation) lahan kering. Kedua, pengelolaan sumber daya lahan. Ketiga,
pembukaan dan pengembangan wilayah pertanian baru. Keempat, rehabilitasi lahan
terdegradasi.
Argumennya, luas lahan kering dan potensi air nasional amat besar, tetapi alokasi,
distribusi, dan pemanfaatannya masih underutilized, sementara potensi produksi dan
diversifikasi komoditasnya amat menjanjikan.
Pengalaman negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia dapat
dijadikan teladan karena terbukti dapat memenuhi kebutuhan produksi pertanian
sekaligus mendorong ekspor.
Perkebunan tebu swasta di Lampung, pengembangan sayuran, buah-buahan, dan
florikultura terbukti amat menjanjikan (permisible) dan membuktikan lahan kering yang
didukung irigasi suplementer dapat memberi pendapatan jauh lebih tinggi ketimbang
lahan sawah irigasi teknis sekalipun.
Pengembangan irigasi lahan kering ini dilakukan untuk mengimbangi penyusutan lahan
sawah sekaligus mengantisipasi terjadinya kelangkaan air (water scarcity). Pengelolaan
sumber daya lahan diperlukan guna memberi dukungan teknologi pada lahan marjinal
dan terdegradasi serta alokasi lahan untuk meningkatkan pendapatan petani secara
berkelanjutan.
Sementara pembukaan lahan baru harus dilakukan pemerintah untuk menyediakan
sandang, pangan, dan papan serta lapangan kerja baru sekaligus mewujudkan keadilan
lahan dan air. Rehabilitasi lahan amat diperlukan karena luas lahan terdegradasi nasional
masih amat mencengangkan (lebih dari dua juta hektar), sementara kemampuan
rehabilitasinya selama empat tahun kurang dari 500.000 hektar.
Pengalaman Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam peningkatan produktivitas
lahan pasir dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor, dalam meningkatkan
produktivitas lahan marjinal di Gunung Kidul dapat dijadikan pelajaran bahwa lahan
marjinal dan lahan terdegradasi sekalipun dapat ditingkatkan produktivitasnya apabila
dikelola dengan baik.

Gatot Irianto Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Puslitbangtanak, Badan
Litbang Pertanian/PP PERHIMPI

Manajemen Harapan
Oleh B Herry-Priyono
DALAM satu dari puluhan wawancara saya dengan para pelaku bisnis setahun setelah
meledaknya krisis finansial, seorang manajer perusahaan berbicara berapi-api, "Republik
ini harus dikelola sebagai perusahaan."
Barangkali ia mengungkapkan keyakinan. Atau mungkin hanya mem-bunyi-kan apa
yang tertulis di buku pelajaran. Entah yang mana, tuturan itu tiba-tiba berubah menjadi
"pewahyuan". Mungkin persis itulah soalnya. Manajemen bisnis dijadikan model bagi
pengelolaan republik. Tentu, tiap "warga negara" (citizen) juga "konsumen" (consumer).
Tetapi, mengelola republik sebagai pasar konsumen tentu soal lain. Mungkin
kecenderungan melihat republik sebagai pasar konsumen atau perusahaan, yang
membuat kita sulit melihat harapan.
Lorong perangkap
Ada kecenderungan aneh dalam cara kita melihat dan menilai situasi, terutama sejak
krisis finansial 1997. Jika harus dikatakan dengan lugas, kira-kira berbunyi begini. Orang
memang tidak hanya hidup dari uang, tetapi uang pastilah prasyarat hidup. Maka,
soalnya tidak terletak pada hidup, melainkan bagaimana memperoleh uang.
Dulu, kantung penghasil uang itu beragam. Kini, kantung yang memproduksi uang
semakin terpusat pada perusahaan. Dari situlah berasal ketergantungan pemerintah dan
seluruh masyarakat pada para pemilik modal finansial. Di situ pula letak kekuasaan para
pemilik modal atas kinerja tata negara dan pengadaan kebutuhan sehari-hari kita.
Soal krisis ekonomi tentu saja tidak sebatas hidup-matinya perusahaan. Tetapi, karena
perkara ekonomi pertama-tama dan terutama dimengerti sebagai soal ada- tidaknya
uang, dan karena produksi uang itu kini ada di tangan perusahaan, maka krisis ekonomi
akhirnya dianggap identik dengan soal perusahaan-perusahaan yang pingsan. Kemudian
ekonomi petani atau nelayan dianggap tidak ada. Soal mengapa berbagai perusahaan
yang punya asal-usul siluman itu pingsan, dan di mana saja uang mereka
disembunyikan, kemudian juga dianggap tidak relevan. Kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang bermuara pada release & discharge (R&D) adalah hasilnya. Betapa
sejarah telah menjadi deretan kisah keterperangkapan, meskipun sebagian besar kita
juga tidak pernah menghendakinya.
Namun, kisahnya tidak berhenti di situ. Laksana hawa yang mengepung kita, manajemen
bisnis telah menjadi model dan tolok ukur bagi sukses-gagalnya pengelolaan Republik.
Peminjaman metode lintas bidang tentu hal biasa, tetapi kolonisasi adalah soal lain. Ada
baiknya kita kenali beberapa kerancuan yang terlibat dalam peminjaman seperti itu.
Meski tidak mudah dipisahkan, menjadi "konsumen" dan "warga negara" tetaplah bisa
dibedakan. Itu juga berlaku bagi pembedaan antara "perusahaan" dan "republik".
Pertama, pada dataran paling dasar, perbedaan keduanya terletak dalam hal tujuan.
Alasan adanya bisnis adalah pencarian laba, sedang republik ada lantaran cita-cita hidup

bersama. Dalam rangka itu, manajemen (management) bukan tujuan pada dirinya
sendiri, melainkan strategi tata-kelola untuk mencapai tujuan. Implikasinya adalah
perbedaan corak manajemen. Manajemen bisnis tidak mensyaratkan "demokrasi" bagi
kinerjanya, sedang manajemen republik mensyaratkan "demokrasi" sebagai intinya.
Pembedaan ini melibatkan kontroversi. Salah satunya, kaum neoliberal suka bilang,
"bukankah aneh mengandaikan para birokrat peduli pada republik, sementara orang lain
peduli pada uang?" Tentu saja pertanyaan itu merupakan bagian sentral agenda mereka
untuk menerapkan konsep dan solusi sistem pasar pada berbagai masalah non-ekonomi.
Kedua, para manajer republik menyandang mandat untuk mengelola dinamika yang
membawa pelaksanaan hidup bersama. Dan, dalam demokrasi, kinerja mereka
didasarkan pada prosedur "satu-orang-satu-suara", entah orang itu kaya atau miskin.
Berbeda dengan mereka, manajemen bisnis ada untuk mengelola proses akumulasi laba,
dengan memakai kalkulus "siapa yang membayar tertinggi, dialah orangnya". Karena itu,
orang yang tak punya uang juga tidak punya daya tarik bagi para pelaku bisnis.
Pembedaan itu bisa menerangi banyak perkara. Fakta bahwa kinerja para manajer
republik semakin digerakkan resep manajemen perusahaan menunjukkan seberapa jauh
manajemen bisnis telah mendikte pengelolaan republik. Pada akhirnya, keadilan juga
menjadi urusan "siapa yang paling tinggi membayar pengadilan, dialah pemenangnya".
Hasilnya adalah kondisi hukum seperti di Indonesia. Itulah implikasi langsung
neoliberalisme ekonomi terhadap tata negara.
Ketiga, tetapi, mari kita terima fakta sederhana bahwa pengelolaan republik
membutuhkan uang. Dan, seperti telah disebut, produsen uang adalah perusahaan.
Maka, jadilah wacana ekonomi-politik yang berpusat pada soal bagaimana pemerintah
berbuat apa saja supaya investor datang atau tidak hengkang. Dengan itu, soal ekonomipolitik republik juga menjadi soal eksklusif antara "investor" dan "pemerintah". Selama
kita melihat soalnya demikian, mungkin kita makin sulit melihat harapan. Lalu, di mana
sektor seperti buruh, petani, nelayan, dan komunitas-komunitas ekonomi-politik lain
yang tidak masuk dalam kategori "perusahaan" dan "pemerintah"? Di pinggiran
Republik. Padahal, di situlah rupanya tersimpan harapan.
Sumber daya Republik
Harapan itu akan sulit kita kenali bila konsep dan tolok ukur yang kita pakai adalah
manajemen perusahaan. Ambillah gagasan stakeholding sebagai contoh. Sebagai kritik
terhadap ekses neoliberalisme (di mana kinerja korporasi dilepas dari kaitannya dengan
proses survival tenaga kerja dan komunitas lokal), konsep shareholding diganti dengan
gagasan stakeholding sebagai mantra baru manajemen perusahaan.
Cuma, para makelar public relations segera membajaknya sebagai siasat propaganda.
Tambahan lagi, ketika dibunyikan di sekolah-sekolah bisnis dan manajemen yang tetap
memakai silabus lama, istilah stakeholding menjadi latah. Artinya, kehilangan substansi.
Bagi para penggagasnya, konsep stakeholding sekurangnya berisi dua pokok agenda.
Pertama, gagasan bahwa hidup-mati sektor bisnis bukan hanya urusan pemegang saham

(dan para eksekutifnya), tetapi seluruh masyarakat. Kedua, pengakuan bahwa


praktik/malpraktik kinerja perusahaan punya dampak mendalam pada hidup-mati
seluruh masyarakat. Dengan kata lain, stakeholding merupakan etika ekonomi-politik
"menanam kembali" kinerja modal/laba ke dalam urusan hidup-mati seluruh warga
masyarakat.
Dari wacana dan peristiwa ekonomi-politik di tahun 2002, rupanya kita belum juga
beranjak dari gaya, konsep, wacana, maupun manajemen lama. Lalu, "desakan revenue"
yang dialami pemerintah juga semakin mendamparkan Republik ini ke absurditas jalan
pintas: jual, jual, jual. Padahal, di bawah langit ini tak pernah ada harapan yang lahir dari
jalan pintas. Tanpa beranjak dari modus lama, untuk kesekian kalinya mungkin kita
tidak akan mengenali harapan tahun 2003 yang sudah berangkat. Lalu bagaimana?
Pertama, kita suka bicara bahwa sesudah Republik ini luluh lantak, yang masih kita
punyai tinggal sumber daya manusia (SDM). Dari situ makin berkembang retorika
tentang urgensi peningkatan SDM. Dalam kamus manajemen perusahaan, agenda itu
pertama-tama menyangkut peningkatan daya keterampilan, pengetahuan, serta etos
pencarian laba unit bisnis yang bersangkutan. Cuma, adopsi agenda SDM dari arena
"manajemen bisnis" ke dalam "manajemen Republik" akan menjadi kerancuan, kecuali
bila seluruh Republik telah menjadi perusahaan, dan "komunitas warga negara" diubah
menjadi "kerumunan konsumen".
Kedua, kerancuannya terletak dalam kecenderungan mengganti tujuan republik dengan
tujuan perusahaan. Karena dalam seleksi sistem pasar pembayar tertinggi adalah
pemenang, dan karena para pemenang per definisi hanya beberapa, maka mayoritas
warga negara tidak akan pernah menjadi anggota Republik dalam arti sebenarnya. Itulah
yang sesungguhnya tersembunyi dalam seluruh obsesi kita agar pemerintah berbuat apa
saja demi masuknya dan tidak hengkangnya investor asing. Dengan itu, potensi
ekonomi-politik mayoritas warga Republik juga lebih dilihat sebagai beban ketimbang
sebagai pemecahan. Padahal, di situlah letak sumber daya dan harapan kita.
Ketiga, republik ini tentu butuh modal untuk kelangsungan hidupnya. Keberadaan
modal "asing" dan policy untuk menariknya bukan suatu keanehan. Soal ini akan
menjadi kebutuhan sekaligus masalah abadi, dengan atau tanpa krisis ekonomi. Dan,
tidak ada ekonomi yang sehat tanpa cukup keterbukaan pada modal "asing". Tetapi,
mereduksi solusi krisis pada siasat apa saja supaya investor "asing" sudi datang adalah
sebentuk miopia. Bagi para pengambil kebijakan, barangkali dalil berikut berguna: para
investor datang bukan untuk memecahkan krisis ekonomi, tetapi untuk mencari laba
tinggi. Fakta bahwa dalam pemburuan laba itu mereka harus membuka lapangan kerja,
bukanlah minat pokok mereka. Karena itu, paling banter kita hanya bisa berharap: mogamoga saja kinerja mereka bagi laba terkait dengan pemecahan krisis ekonomi.
Keempat, kalau krisis ekonomi adalah masalah seluruh warga republik, dan bukan hanya
masalah para konglomerat penunggak utang atau pengemplang dana BLBI, akhirnya
harapan paling realistis justru terletak dalam langkah membiarkan potensi
entrepreneurship mayoritas warga Republik bergerak kembali. Tetapi, dari mana mereka
mendapat modal awal (startup capital)?

Dengan segala hormat rupanya mesti dikatakan, pertanyaan seperti itu merupakan
pertanyaan yang berangkat dari kebiasaan melihat ekonomi dari kacamata perusahaan
raksasa dan konglomerasi, dengan modal ratusan trilyun. Itu pertanyaan kebanyakan
kaum berdasi di Jakarta atau Wall Street. Dalam berbagai karyanya, Hernando de Soto
telah mengajari kita tentang modal finansial yang tersembunyi di luar perusahaanperusahaan raksasa. Karena bukan raksasa, tentu saja tidak kedengaran gagah. Cuma,
apa yang gagah juga susah dibedakan dengan megalomania.
Kelima, harapan itu ada, asal tidak dilihat dengan tolok ukur bisnis raksasa dan ilmu
ekonomi megalomania. Akan tetapi, harapan itu mensyaratkan sekurangnya dua agenda.
Pertama, sementara policy menarik investasi terus dilakukan, hentikan penggusuran
terhadap berbagai kelompok ekonomi kecil seperti pedagang kaki lima, asongan, petani,
nelayan, dan sebagainya! Biarkan mereka melakukan usaha dengan aman berdasarkan
modal yang mereka miliki. Dalam hal ini, berbagai penggusuran di Jakarta, yang
melibatkan koalisi pemerintah-pengusaha, justru menghancurkan harapan.
Kedua, reorientasi alokasi dana. Sejak Soeharto jatuh, berbagai badan internasional
berbondong datang dengan dana besar-besaran. Beberapa memusatkan perhatiannya
pada demokrasi, beberapa lain pada urusan civil society. Dalam rangka harapan di atas,
sudah waktunya dana-dana itu juga dikerahkan untuk pembelaan dan pengembangan
potensi entrepreneurship kelompok-kelompok ekonomi-politik non-perusahaan.
Manajemen Republik memang jauh lebih luas daripada manajemen perusahaan. Hanya
karena perusahaan-perusahaan pingsan, para manajernya lalu cenderung melihat
kegelapan. Di luar sana, seperti biasanya harapan itu tetap ada. Pertama, asal tidak
diukur dengan ilmu ekonomi magalomania.
Kedua, asal para kapten korporasi mulai belajar mengenali urgensi ini: bukan Republik
yang harus selalu mengikuti tuntutan perusahaan, melainkan manajemen perusahaan
yang perlu menyesuaikan dengan persoalan Republik. Mengapa?
Karena bukan masyarakat yang ada di dalam perusahaan, melainkan perusahaan yang
ada di dalam masyarakat. Seandainya diterjemahkan menjadi manifesto untuk tahun
2003, kira-kira manifesto itu berbunyi begini: "laba diciptakan bukan hanya untuk para
pangeran dan ratu perusahaan, melainkan untuk seluruh masyarakat".
B Herry-Priyono peneliti, alumnus London School of Economics (LSE), Inggris

Manusia, Kekerasan, dan Fungsi Agama


Oleh Abd Rohim Ghazali
Menurut Locke, suasana berubah setelah uang diciptakan. Dengan uang, manusia
memiliki sesuatu di luar batas yang semestinya.
Sebelum Locke, ada Jean Jacques Rousseau (1588-1679) yang berpendapat, manusia pada
dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis, ia
hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak
akibat pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Karena rebutan sebidang
tanah, misalnya, manusia dengan mudah menumpahkan darah, saling berperang, dan
membunuh satu sama lain.
Agar kepemilikan manusia dibatasi, bisa menghargai hak-hak satu sama lain, dan bisa
hidup berdampingan secara damai, Rousseau dan Locke menggagas kontrak sosial yang
menjadi aturan main.
Kurang lebih delapan abad sebelum Rousseau dan Locke lahir, agama Islam sudah
datang di Makkah (Saudi Arabia) dengan membawa ajaran bahwa manusia pada
dasarnya suci, tanpa dosa, dan cinta damai. Tetapi, Islam juga mengabarkan bahwa
manusia, meski suci, bisa tercemar akibat pergumulannya dalam sejarah.
Untuk menjaga kesucian manusia, Islam memberikan manusia way of life (pegangan
hidup) berupa kitab suci Al Quran, yang di dalamnya antara lain ada aturan main atau
tata cara hidup berdampingan secara damai. "Dan berpegang teguhlah kamu sekalian
pada tali yang Allah (berikan) padamu, dan janganlah saling bertikai di antara kamu;
dan ingatlah akan nikmat Allah pada kamu; ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan
dan Dia mempersatukan hati kamu dalam cinta, sehingga dengan anugerah-Nya kamu
menjadi bersaudara." (QS, 3:103)
Manusia dan kekerasan
Jika mencermati paparan Eric Fromm dalam buku The Anatomy of Human
Destructiveness yang diterjemahkan menjadi Akar Kekerasan (2000), tampaknya sulit
memisahkan antara sejarah manusia dengan asal-usul kekerasan. Keberadaan manusia
senantiasa disertai insting-insting seperti rasa lapar, rasa haus, dan rasa aman (Freudinsting seksual dan pertahanan diri). Dalam tiap aktivitas untuk memenuhi kebutuhan
instingnya itulah yang meniscayakan manusia berinteraksi dengan manusia atau
makhluk lainnya.
Dalam interaksi ini, hanya ada dua pilihan yang muncul: kerja sama atau permusuhan.
Jika interaksi berjalan disebabkan saling membutuhkan, tentu kerja sama akan menjadi
pilihan. Sebaliknya, jika interaksi berjalan karena yang satu membutuhkan yang lain
(hubungan subyek-obyek), bisa dipastikan, permusuhan yang akan menjadi pilihan.
Meski demikian, bukan berarti dalam proses kerja sama tidak ada permusuhan sama
sekali.

Kerja sama yang berjalan tidak seimbang (tidak adil) amat potensial memunculkan
permusuhan. Artinya, setiap terjadi interaksi, manusia sulit menghindari permusuhan.
Karena itu, amat masuk akal jika-berbeda dengan Locke dan Rousseau-Thomas Hobbes
(1588-1679) menyebut manusia pada dasarnya sebagai homo homini lupus (saling
memangsa,) yang dalam komunitasnya bisa menjadi belum omnium contra omnes (satu
sama lain bermusuhan, atau perang semua melawan semua).
Dalam skala pemenuhan kebutuhan yang bersifat instingtif saja manusia bisa
bermusuhan, atau membunuh satu sama lain, tentu kemungkinan skala konfliknya akan
lebih besar dan massif bila kebutuhan-kebutuhan yang akan dipenuhinya lebih dari
sekadar instingtif, seperti keinginan-keinginan untuk berkuasa dalam berbagai
manifestasinya (secara ekonomi, politik, agama, dan lain-lain). Beberapa konflik yang
terjadi kini, baik secara internasional, nasional, atau pun lokal, motivasinya tentu bukan
lagi sekadar memenuhi kebutuhan instingtif, melainkan lebih merupakan hegemonik.
Peran negara
Jika manusia tidak berpotensi untuk bermusuhan satu sama lain, kiranya Locke, Hobbes,
dan Rousseau tidak akan menggagas kontrak sosial yang kemudian melahirkan negara.
Tetapi, apakah dengan adanya negara lantas permusuhan tidak terjadi. Sama sekali tidak
demikian.
Idealnya, negara dibentuk antara lain untuk menjaga ketertiban dan perdamaian.
Faktanya, banyak permusuhan dan tindak kekerasan justru dilakukan dan difasilitasi
negara. Mengapa? Karena negara senantiasa membutuhkan kekuasaan. Tidak ada negara
tanpa kekuasaan.
Menurut Gramsci (Heryanto, 1997), kekuasaan senantiasa membutuhkan dua perangkat
kerja. Pertama berupa kekerasan yang bersifat memaksa (represif), kedua bersifat lunak
dan membujuk (persuasif). Perangkat keras yang memaksa berupa lembaga-lembaga
seperti undang-undang yang dalam pelaksanaannya membutuhkan aparat-aparat seperti
polisi, tentara, dan penjara (bahkan algojo- penulis).
Sementara yang lunak dan membujuk mewujud dalam lembaga-lembaga swasta seperti
agama, pendidikan, kesenian, dan keluarga.
Baik perangkat keras yang memaksa maupun lunak dan membujuk, faktanya sama saja,
potensial melahirkan kekerasan. Bedanya, pada perangkat kedua, potensi itu jauh lebih
kecil. Tetapi, kita tak dapat menyangkal bahwa dalam keluarga pun kekerasan bisa
berdarah-darah.
Agama sebagai fitrah
Dari uraian itu bisa dikatakan, dengan atau tanpa negara, sejatinya manusia sulit
menghindar dari lingkaran kekerasan. Meski demikian, bukan berarti manusia tidak
mungkin bisa menghindari kekerasan. Amat mungkin, misalnya dengan jalan
mengingatkan kembali asal kelahirannya. Dari mana dan akan ke mana manusia
dilahirkan? itu adalah pertanyaan filosofis yang bisa menggugah kesadaran manusia.

Secara sosioantropologis, menurut ajaran Islam, manusia berasal dari tanah dan akan
kembali ke tanah. Tanah adalah makhluk Tuhan yang damai. Dalam kedamaiannya
tanah menumbuhkan berbagai macam kebutuhan manusia. Meski kebanyakan manusia
lupa diri, dalam kematiannya, tetap akan disambut tanah dengan penuh kedamaian,
muthmainnah, rest in peace.
Secara teologis, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Dengan
sifat-Nya yang ar-Rahman (Maha Pengasih) dan ar-Rahim (Maha Penyayang), Tuhan
menciptakan manusia. Di sinilah lalu muncul pertanyaan, apakah Tuhan menginginkan
agar manusia kembali kepada-Nya dengan penuh kasih sayang? Jawabnya ya; bila tidak,
Tuhan tentu tidak akan menurunkan ajaran-ajaran yang terangkum dalam kitab suci dan
tidak akan mengutus Nabi dan Rasul.
Sebagai Zat yang Maha Suci, Tuhan juga menghendaki manusia menghadapNya dalam
keadaan suci pula. Untuk itu, Tuhan mensyariatkan beberapa bentuk ibadah
(pengabdian) yang berfungsi sebagai sarana penyucian diri.
Dalam ajaran Islam, penyucian diri yang paling efektif adalah melalui puasa. Selain
mencegah kebutuhan yang bersifat inderawi, dengan puasa, seorang Muslim diwajibkan
mencegah diri dari segala bentuk kejahatan kemanusiaan dari yang paling tinggi seperti
membunuh hingga yang paling rendah seperti bergunjing, atau sekadar hasrat (niat)
untuk bergunjing.
Setelah puasa usai, umat Muslim merayakan Idul Ftri yang secara harfiah berarti kembali
pada "fitrah" atau "asal kejadian"-tanpa dosa, dan cinta damai. Setelah dikotori beragam
kejahatan, dengan puasa, manusia kembali (mudik) pada asal kejadian itu.
Proses kembali, dalam simbol paling vulgar ada pada kebiasaan mudik ke kampung
halaman. Setelah dalam hiruk pikuk kosmopolitan yang sarat kompetisi, konflik, bahkan
permusuhan dan kekerasan, kembali ke kampung halaman menjadi terapi meski hanya
sesaat.
Di kampung halaman yang telah lama ditinggalkan, orang-orang saling tegur sapa,
saling memaafkan sesama anggota keluarga, kerabat, dan handai tolan. Di kampung
halaman lahir suasana a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation
seperti digambarkan Locke itu.

Abd Rohim Ghazali, Mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Mencari Kriteria Kebenaran Religius Lintas Agama


Oleh Cyprianus Jehan Paju Dale
Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi sebenarnya agama lebih
berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya,
untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan
pendapat orang lain, untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran tunggal.
(AN Wilson dalam Against Religion, Why We Should Try to Live Without It)
KONFLIK antar-umat beragama yang masih terjadi di berbagai belahan dunia hingga
kini seakan membenarkan pandangan sinis itu. Meski persoalannya sering bercampur
aduk dengan masalah sosial, ekonomi, dan politik, faktor agama juga memainkan peran
penting. Salah satu titik krusial di wilayah agama adalah cara berpikir agama (religion's
way of knowing) yang ditandai klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan
(salvation claim).
Agamaku adalah agama paling sejati, yang berasal dari Tuhan, yang di dalamnya Tuhan
hadir secara penuh; sedangkan agama lain hanya konstruksi manusia, dan tidak
memiliki tempat dalam rencana kebijakan Allah. Agamakulah satu-satunya jalan
keselamatan/pencerahan/pembebasan; dan agama lain sama sekali sesat atau hanya
mengambil bagian dalam keselamatan lewat satu hubungan tertentu dengan agamaku.
Maka jadilah agamaku sebagai satu-satunya agama sejati di muka Bumi ini. Begitulah
klaim-klaim itu.
Sejalan dengan kesadaran pluralisme yang menguat akhir-akhir ini, cara berpikir agama
seperti itu dipandang tidak lagi memadai untuk mempertanggungjawabkan kenyataan
keragaman agama. Orang makin mudah menerima bahwa semua agama setara: samasama mengandung kebenaran dan merupakan jalan keselamatan. Juga, dari pengalaman
kita belajar arif bahwa sebagai realitas kultural-historis, tiada agama yang sepenuhnya
benar, tiada juga yang sepenuhnya sesat.
Di wilayah kajian akademis, makin dirasakan perlunya sebuah sikap kritis sekaligus
apresiatif terhadap fenomena religius dan reinterpretasi atas klaim agama-agama. Dalam
konteks itu, muncul wacana baru tentang kriteria kebenaran lintas agama yang pada
pokoknya mencari kriteria umum untuk menilai gejala keagamaan yang otentik dan
untuk mendeteksi penyelewengan fungsi agama.
Paradigma pluralistik
Kelemahan mendasar religion's way of knowing dengan standar ganda seperti itu adalah
bahwa orang memandang agama lain dari sudut pandang agamanya sendiri, dan
membuat penilaian berdasarkan kriteria kebenaran iman dan teologinya sendiri.
Akibatnya, kebenaran agama lain tidak ditangkap dengan utuh dan selalu tidak lebih
baik dari agamanya sendiri.
Itulah yang terjadi dengan paradigma ekslusivistik maupun inkluvistik atas keragamaan
agama. Para pemikir pluralistik ingin melampaui cara berpikir seperti itu, yang menurut

mereka hanya berbeda dalam tingkat imperialismenya. John Hick (An Interpretation of
Religion, 1989 dan Rainbow of Faiths, 1995) yang memakai dasar filosofis untuk posisi
pluralistik, misalnya, melakukan sebuah terobosan baru yang disebutnya "sebuah
tafsiran religius tetapi tidak konfesional atas agama-agama dalam keragaman
bentuknya".
Menurut Hick, "filosof agama dewasa ini harus memperhitungkan tidak hanya pemikiran
dan pengalaman dalam agamanya sendiri, tetapi pada dasarnya pikiran dan pengalaman
seluruh umat manusia".
Hick mendefinisikan agama sebagai "ragam tanggapan manusia terhadap Yang
Transenden". Patut dicatat, ada banyak tanggapan terhadap realitas transenden yang
tunggal.
Akan tetapi persoalannya, bagaimana menjelaskan "keragaman jawaban" itu? Bagaimana
menjelaskan perbedaan kepercayaan, bentuk pengalaman, teologi- ajaran, kitab suci,
ritus, tata tertib, etika dan cara hidup, aturan dan organisasi sosial, dan sebagaimana?
Bagaimana mempertanggungjawabkan klaim kebenaran yang merupakan dasar berpikir
khas agama-agama?
Persoalan-persoalan itu dijawab Hick dengan "hipotesis pluralistik". "Agama- agama
besar membentuk persepsi dan konsepsi yang berbeda, dan berkaitan dengan itu
respons-respons yang berbeda, terhadap Yang Nyata dari dalam tradisi kehidupan atau
peradaban besar yang berbeda-beda; dan dalam setiap tradisi itu terjadi transformasi
kehidupan manusia dari keberpusatan pada diri sendiri (self-centredness) menuju
keberpusatan pada Yang Nyata (reality- centredness).
Maka tradisi-tradisi itu harus diakui sebagai alternatif bagi ruang keselamatan yang di
dalamnya, atau jalan keselamatan yang melaluinya, pria dan wanita dapat menemukan
keselamatan/pembebasan/pemenuhan terakhir." (1989, hlm 240).
Jadi, semua agama sebagai totalitas sosio-kultural merupakan jalan yang berbeda dalam
mengalami, mencerap dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Melalui relasi itu setiap
orang beragama mengalami transformasi kehidupan yang disebut keselamatan atau
pembebasan.
Dan, yang menyebabkan perbedaan agama-agama, bukan sesuatu yang absolut sifatnya,
tetapi hanya faktor-faktor partikular berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan tertentu.
Dengan itu kita dapat melampaui absolutisme tradisional (dalam bentuk klaim ekslusif
maupun inklusif atas keselamatan dan kebenaran).
Dalam absolutisme tradisional itu, setiap agama menegaskan kepenuhan keselamatan
dan kebenaran dalam dirinya, dan penegasan itu dikembangkan dalam struktur
kepercayaan yang hanya mengakomodasi agama lain dengan mensubordinasikannya.
Dengan interpretasi pluralistik ini kita dimampukan untuk memahami realitas
keragaman agama secara koprehensif dan sesuai dengan fakta-fakta dalam sejarah
agama-agama.

Kriteria kebenaran religius lintas agama


Bila semua agama mengandung kebenaran dan bila semuanya merupakan jalan
keselamatan yang penuh, jelas klaim keselamatan dan klaim kebenaran tidak berlaku
lagi. Lantas, apa kriteria untuk menilai keotentikan suatu agama atau elemen di
dalamnya? Apa pula kriteria untuk mengukur penyimpangan fungsi agama?
Kriteria utama kebenaran lintas agama, menurut Hick, adalah kriteria soteriologis: sejauh
mana sebuah bentuk penghayatan dan kepercayaan religius mendukung transformasi
kehidupan manusia dari self-centredness kepada reality- centredness.
Tradisi-tradisi religius dan berbagai komponen yang membentuknya-sistem kepercayaan,
bentuk pengalaman, kitab suci, doktrin, ritus, tata tertib, etika dan cara hidup, aturan
dan organisasi sosial-hanya bermakna jika ikut memajukan (dan bukannya merintangi)
transformasi kehidupan yang disebut keselamatan/ pembebasan itu.
Transformasi eksistensi manusia itu tampak dalam buah-buah moral dan spiritual,
sebagaimana kita temukan secara jelas dalam diri orang kudus dalam masing- masing
tradisi. Sebab tanggapan atau jawaban terhadap Yang Transenden itu
menumbuhkembangkan belarasa atau kasih kepada sesama manusia dan kepada
seluruh ciptaan. Karena itu, berdampingan dengan kriteria soteriologis, ada kriteria etis
untuk mengukur keotentikan sebuah agama ataupun elemen di dalamnya.
Jadi, kesejatian sebuah agama tidak diukur dengan klaim-klaim sepihak, kecanggihan
teologis yang melampaui agama lain, atau fakta historis dominasi satu agama atas agama
lain; tetapi pada keseriusan para pemeluknya untuk mewujudkan keselamatan sebagai
transformasi kehidupan.
Dan, komitmen itu terukur pada buah-buah kehidupan yang nyata, pada tindakan
belarasa dan solidaritas, pada kepedulian akan keadilan sosial, juga pada keterbukaan
untuk menerima perbedaan sebagai kekayaan yang bisa saling melengkapi.
Perlunya "keluguan religius"
Dengan memakai kriteria soteriologis dan etis ini, tentu saja masalah klaim kebenaran
yang saling bertentangan di wilayah agama tidak lantas terselesaikan. Debat kristologis
dalam Al Quran kekristenan, misalnya, tidak dapat diselesaikan. Begitu juga
pertentangan antara agama-agama Samawi dan agama- agama India, apakah Yang
Transenden itu personal atau impersonal.
Lantas, bagaimana membaca bahasa agama-agama, baik dalam narasi religius maupun
dalam konstruksi teologis dan filosofis? Pertama-tama harus diakui, secara ilmiah dan
obyektif kita tidak dapat mencapai jawaban mutlak dan pasti atas persoalan kebenaran
agama. Sebab, banyak di antaranya yang menyangkut persoalan transhistoris, di luar
ruang dan waktu.
Itu sebabnya, menurut paradigma pluralistik, bahasa agama-agama mesti dipahami
sebagai kebenaran mitologis. Artinya bahasa agama-agama itu tidak benar secara

harafiah; tetapi secara instrumental/fungsional, yakni mengekspresikan dan


menimbulkan sikap yang benar terhadap Yang Mahatinggi, sebagai subyek dari mitos
itu.
Sudah saatnya diakui, sebenarnya agama-agama tidak sepenuhnya memiliki
pengetahuan menyeluruh tentang berbagai persoalan. Pada akhirnya ada persoalan yang
tidak perlu dijawab dan tak dapat dijawab. Karena itu, di zaman pluralistik ini, agamaagama perlu mengembangkan keutamaan baru yang kita sebut saja "keluguan religius",
yaitu kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita tidak pernah mampu memiliki
pengetahuan rasional yang obyektif dan mutlak tentang Yang Transenden.
Implikasinya, mengagungkan persepsi dan konstruksi teologis doktrin kita sendiri di
atas agama lain, bukan merupakan sesuatu yang relevan dalam kehidupan beragama di
zaman pluralistik ini. Yang lebih urgen bagi orang beragama adalah mewujudkan
transformasi keselamatan/pembebasan sebagai misi utama agama itu, sesuai dengan
pesan agama masing-masing.
Sudah saatnya agama-agama beralih dari pertengkaran yang terus-menerus makan
korban, dan memberi tekanan pada praksis keimanan. Mereka harus mengejar tujuan,
dan berhenti mengabsolutkan jalan; mewujudkan iman dan bukannya meradikalkan
doktrin; melakukan tindakan pembebasan/keselamatan dan bukan mempertahankan
rumusan hukum.
Tekanan pada praksis keselamatan, pencerahan ataupun pembebasan seperti itu tentu
saja dapat membuat agama-agama lebih terbuka pada dialog dan kerja sama atas nama
kemanusiaan. Karena, kemanusiaan- seperti juga bahaya- bahaya yang mengancamnyatidak memiliki agama. Di hadapan kehidupan, dan kematian, kita semua adalah
manusia; tidak lebih.
Menjadi manusia dan hidup sepantasnya, itulah yang harus dikejar oleh agama- agama
secara bersama-sama. Di hadapan kemanusiaan itu pulalah akan terbukti mana
keagamaan yang otentik dan mana keagamaan yang palsu.
Cyprianus Jehan Palu Dale, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta

Menepis Hegemoni Teks Agama


Oleh Rumadi
NASR Hamid Abu Zaid, seorang pemikir Islam asal Mesir, menyebut peradaban Islam
sebagai "peradaban teks" (hadharat al-nash), yaitu sebuah peradaban di mana teks agama
menjadi poros utama penggerak dan pembentuk pengetahuan. Dalam peradaban
demikian, penafsiran menjadi problem serius yang senantiasa mewarnai tiap penggal
sejarah. Atas dasar itu, bisa dipahami bila dalam Islam muncul beribu jilid kitab tafsir
dengan berbagai corak dan metodenya.
Ciri utama yang amat menonjol dari kitab-kitab tafsir itu adalah-pinjam istilah 'Abid alJabiri-lebih bercorak bayani dengan menundukkan nalar dan realitas kepada teks.
Artinya, secanggih apa pun nalar manusia dan serumit apa pun realitas sosial harus
senantiasa ditundukkan oleh teks. Proses penundukkan nalar dan realitas itu sering
dipandang sebagai keharusan keberimanan, menjaga kesucian teks serta bukti kebenaran
wahyu. Cara pandang demikian berimplikasi terhadap apa yang disebut sebagai
"kebenaran". Kebenaran selalu diukur dengan (makna leksikal) teks, tidak ada kebenaran
di luar teks. Kalaupun dengan nalar manusia bisa mencari kebenarannya sendiri, tetap
saja harus dikonfirmasi kepada teks. Kalau dalam proses konfirmasi itu dianggap gagal,
maka apa yang dikatakan nalar sebagai "kebenaran" dengan sendirinya gagal pula.
Dalam tradisi keilmuan Islam, model pemahaman teks seperti ini dianggap sebagai
standar ilmu keislaman yang telah melahirkan sejumlah disiplin ilmu seperti ulm alQur'an, 'ulm al-hadis, tafsir, fiqih, teologi, dan sebagainya. Model "standar" ini pula yang
lalu membentuk struktur tradisi masyarakat Islam. Sejumlah ilmu itu belakangan
menjadi penyangga utama ortodoksi di mana ilmu sudah dibatasi sedemikian rupa,
sehingga pengkaji Islam tidak boleh keluar dari "rambu-rambu" yang sudah disusun
ulama zaman lampau. Melanggar rambu- rambu itu dapat dianggap melanggar Islam.
Proses ini berlangsung dalam waktu lama sehingga Islam menjadi "wacana resmi dan
tertutup", kaidah berpikir dibatasi sedemikian rupa agar tidak merusak dan
mengganggu kesucian Islam.
Dalam waktu cukup lama, studi Islam sebenarnya tidak mengalami perkembangan
berarti. Meski dalam rentang itu ada banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu, namun
sebagian besar isinya berbentuk elaborasi (syarah, hasyiyah) atas karya-karya
sebelumnya dan sedikit sekali-untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali-yang
berani mengkritik dan melampaui paham yang dimapankan itu.
Meski demikian, apa yang sudah dihasilkan para ulama masa lampau harus dihormati,
karena itu merupakan sikap mereka untuk mengambil tanggung jawab zaman. Tentu
tidak fair bila kita yang hidup di dunia yang sama sekali berbeda menyerahkan tanggung
jawab zaman ini kepada ulama masa lampau. Karena itu, tidak salah bila kini kita
mengambil tanggung jawab zaman sendiri dengan meninjau ulang sejumlah pemikiran
yang sudah ada atau merumuskan pemikiran- pemikiran baru yang lebih relevan dengan
zaman. Dalam konteks seperti inilah pemikiran tentang tafsir emasipatoris dapat
dimaknai sebagai bentuk mengambil tanggung jawab zaman itu.

***
AGAMA pada dasarnya adalah tafsir, yang dalam tradisi Islam identik dengan
pergulatan teks agama (Al Quran). Tafsir adalah pemahaman terhadap teks. Dalam
khazanah Islam, proses penafsiran ini telah melahirkan berjilid-jilid kitab dengan model
berbeda-beda, mulai dari tahlili sampai maudhu'i meski corak nalarnya tetap bayani.
Akibat corak nalar ini, teks yang sebenarnya merupakan simbol bahasa dan medium
guna menyampaikan sejumlah gagasan dianggap sebagai segala-galanya. Gagasan Tuhan
menjadi identik dengan teks itu sendiri. Penggalian makna melampaui teks
menjadi barang tabu, bahkan dianggap "memperkosa" Tuhan untuk mengikuti pendapat
manusia.
Upaya menggagas tafsir emansipatoris bisa dituduh seperti itu. Namun, gagasan
utamanya adalah bagaimana kita berupaya menangkap ide terdalam Tuhan yang
sebagian direpresentasi dan disimbolisasi dalam teks dan bahasa sebagai bentuk
partikularitasnya. Dalam kerangka itu, pertama-tama yang harus "dipegang" adalah
kesadaran bahwa teks bukan segala-galanya; tidak mungkin semua ide dan gagasan
Tuhan dapat terekam dalam medium bahasa karena keterbatasannya; bahasa adalah
produk budaya, sehingga dalam batas tertentu teks agama juga merupakan produk
budaya, artinya proses kebudayaan punya andil tidak kecil dalam memproduksi sebuah
teks. Dengan kesadaran demikian, meski tetap meyakini, ada unsur "kewahyuan" dalam
teks agama, hal itu tidak menjadi penghalang untuk "berpikir lain" tentang teks.
Atas dasar itu, ada beberapa unsur metodis yang perlu diperhatikan dalam merumuskan
tafsir emansipatoris. Pertama, historisitas teks. Dalam khazanah tradisional, aspek ini
sebenarnya sudah disadari dengan adanya asbab al-nuzul (sebab munculnya sebuah
teks) dalam proses penafsiran. Adanya asbab al-nuzul sebenarnya merupakan kesadaran
bahwa teks agama tidak muncul di ruang kosong. Ada proses-proses sosial tertentu yang
berperan dalam melahirkan sebuah teks. Sayang, dalam tafsir konservatif asbab al-nuzul
ini cenderung dipahami secara ad hoc yang diletakkan dalam kerangka nalar bayani itu
untuk mendukung paham ortodoksi.
Berkaitan dengan historisitas teks, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses
penafsiran: 1) Melakukan kritik sejarah terhadap situasi historis yang melingkupi
lahirnya sebuah teks. Kritik sejarah ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsipprinsip ilmu sejarah. 2) Sebagai kelanjutan kritik sejarah, perlu dilakukan analisis sosial,
baik yang berkait dengan situasi saat teks lahir maupun situasi sosial yang dihadapi. 3)
Kritik isi, melakukan kritik atas muatan makna yang ada dalam teks. Kritik isi ini bisa
dilakukan dengan menggunakan instrumen kritik wacana guna melihat wacana apa
yang sebenarnya sedang bekerja dalam teks itu.
Kedua, hermeneutika. Pemahaman aspek kebahasaan yang ada dalam teks dapat
didekati secara hermeneutik yang merupakan disiplin yang memusatkan kajian pada
upaya memahami teks, terutama teks kitab suci yang datang dari kurun waktu, tempat,
dan situasi sosial berbeda, bahkan asing bagi pembacanya. Dalam kaitan ini paling tidak
ada tiga elemen pokok hermeneutik, yaitu pengarang (Tuhan), teks, serta pembaca yang
masing-masing memiliki dunianya sendiri, sehingga masing-masing seharusnya

berhubungan secara dinamis, dialogis, dan terbuka. Karena itu, makna teks tidak pernah
tertutup dan selesai, tetapi senantiasa terbuka.
Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang patut diperhatikan: 1) Pengarang atau pemberi
pesan (Tuhan). Tuhan sebagai "pengarang" teks ada pada posisi sama sekali berbeda, baik
dengan Muhammad sebagai penerima pesan. Tuhan adalah Dzat Maha Tinggi dan Tak
Terbatas; sedang Muhammad dan elemen lain yang digunakan untuk menyampaikan
pesan (bahasa dan teks) dalam posisi yang serba terbatas. 2) Bahasa dan teks sebagai
medium guna menyampaikan pesan wahyu, meski mempunyai keistimewaan, namun ia
tetap merupakan produk budaya yang mempunyai sifat terbatas. Di sini, kita tentu boleh
bertanya, apakah gagasan Tuhan yang sifatnya Tak Terbatas itu dapat terangkum secara
keseluruhan dengan menggunakan medium (bahasa) yang terbatas? Tentu tidak.
Menyamakan ide Tuhan hanya sebatas yang terungkap dalam simbol bahasa dan teks
sama artinya mengecilkan Tuhan, karena dengan itu berarti kita telah "membatasi"
Tuhan, padahal Dia tak terbatas. Dengan demikian, bahasa dan teks ibarat gunung es,
makna yang tidak tampak lebih banyak daripada makna yang muncul ke permukaan.
Keterbatasan teks sebenarnya dapat dilihat dari beberapa sifat yang ada dalam teks itu
sendiri, antara lain: pertama, teks dalam banyak kasus mempunyai sifat ambigu, karena
itu ia selalu membuka kemungkinan adanya pluralitas makna. Kedua, pada saat lain teks
bisa menyembunyikan makna. Apa yang terungkap secara eksplisit belum tentu
merupakan makna sebenarnya yang ingin disampaikan. Ketiga, teks bisa menunda
makna, artinya makna yang ada dalam teks bisa saja baru diketahui pada saat yang tidak
dapat ditentukan, karena tidak mungkin ada pesan Tuhan yang disampaikan kepada
manusia tetapi hanya Tuhan yang tahu makna dari pesan itu.
3) Audiens, yaitu pihak-pihak yang menerima pesan, baik Muhammad sebagai rasul
maupun umat dan generasi sesudahnya. Manusia sebagai audiens yang menerima
wahyu Tuhan senantiasa ada dalam situasi yang terus berubah. Dalam membaca teks
suci dalam diri manusia ada sejumlah situasi, kemampuan, kecerdasan, referensi, dan
sebagainya yang bisa jadi berbeda satu dengan yang lain. Persepsi sebelum membaca
teks, vested interest serta pengalaman hidup dan religius akan mempengaruhi seseorang
dalam mengungkap makna teks.
Kerangka itu sebenarnya ingin menunjukkan adanya relativitas kebenaran makna teks.
Secanggih apa pun proses pencarian makna teks, ia harus diletakkan dalam altar
relativisme, sehingga ia senantiasa terbuka untuk dikoreksi (qabil al- taghyir wa alniqash). Dalam kaitan ini, pencarian makna dapat dilakukan dengan melampaui teks itu
guna mengungkap kebenaran lain dari "pucuk gunung es" teks.
RUMADI, Mahasiswa S-3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengarungi Globalisasi
Oleh Sulastomo
THOMAS L Friedman adalah seorang wartawan senior, redaktur luar negeri koran The
New York Times. Pada tahun 1997 yang lalu (November), saya sempat mendengarkan
ceramahnya dalam sebuah jamuan makan siang di Chicago, Amerika Serikat (AS),
tentang globalisasi.
Beberapa hari yang lalu, saya menerima sebuah copy bukunya dari seorang teman yang
berjudul Lexus and the Olive Tree yang terbit tahun 2000. Baik ceramahnya maupun
bukunya sangat mengesankan saya.
Ia dikenal sebagai "penerjemah" peristiwa-peristiwa dunia yang terkemuka.
Pendapatnya, pada hemat saya, tipe seorang wartawan yang sangat peduli dengan dunia
dan lingkungannya. Hal ini, terlepas, bahwa ia adalah seorang Amerika, lama tinggal di
Timur Tengah dan ternyata dapat memberi nasihat bagi kita semua, bagaimana
menghadapi globalisasi dan bersikap kritis terhadap globalisasi itu sendiri.
Apa itu globalisasi?
Globalisasi, menurut Thomas L Friedman, merupakan fenomena pasca-Perang Dingin
yang tidak dapat dihindari. Runtuhnya tembok Berlin, tidak hanya simbol runtuhnya
bangunan fisik perang dingin yang memisahkan manusia dengan manusia lainnya, tetapi
juga nilai-nilai yang menyertainya. Perang dingin yang ditandai oleh tembok-tembok
yang tebal itu, runtuh bersamaan terbukanya sekat- sekat yang memisahkan bangsabangsa sehingga kita (sekarang) hidup di alam tanpa batas.
Semua itu, menurut Thomas L Friedman, merupakan suatu hal yang tidak dapat
dihindari oleh siapa pun. Dahulu, ketika zaman perang dingin, musuh yang kita hadapi
adalah yang berada di luar tembok kita. Sekarang, karena tembok-tembok itu telah
runtuh, musuh-musuh kita itu telah berada di lingkungan kita, bahkan di antara kita.
Contoh paling sahih, pada hemat saya, adalah perang terhadap terorisme yang sekarang
sedang kita lancarkan! Bahkan, munculnya Osama bin Laden sebagai tokoh yang ditakuti
dunia, adalah fenomena globalisasi. Sebab, globalisasi, menurut Thomas L Friedman,
telah melahirkan superpower, supermarket dan super-empowered individual.
Kalau ada super-empowered individual yang "marah", ia dapat bertindak
menyampaikan kemarahannya di panggung dunia kita yang satu ini. Dasarnya, adalah
nilai-nilai yang dianut oleh super-empowered individual itu. Karena itu, pada hemat
saya, terorisme justru akan mengglobal, tidak mengenal batas-batas negara, oleh karena
teroris itu bisa menumpahkan kemarahannya di mana saja di dunia ini.
Dalam suasana seperti itu dapat dipahami kalau nilai yang akan dominan adalah nilai
yang sesuai dengan zamannya. Globalisasi, menurut Thomas L Friedman, mempunyai
dimensi ideologi, yaitu kapitalisme dan dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas. Selain itu,
juga dimensi teknologi, yaitu teknologi informasi yang telah menyatukan dunia.

Oleh karena itu, menurut Thomas L Fredman, kita harus mengenakan "baju" baru atau
software yang cocok untuk dapat mengikuti arus globalisasi itu, yang ia katakan sebagai
the golden straitjacket. Baju itu menggantikan baju lama selama perang dingin,
misalnya ,baju ala Mao, Nehru, ataupun baju yang dipakai orang- orang Rusia.
Untuk dapat "cocok" dengan baju ba-ru itu, setiap negara harus telah menerapkan atau
sedang menuju untuk menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: Menempatkan sektor
swasta sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi, mempertahankan angka inflasi
pada tingkat yang rendah dan mempertahankan stabilisasi harga barang dan jasa,
mengurangi perang birokrasi, mempertahankan anggaran yang berimbang atau surplus,
menghapus atau menurunkan segala tarif impor, menghapus segala hambatan investasi
luar negeri, membebaskan segala bentuk kuota dan monopoli, meningkatkan ekspor,
memprivatisasikan segala bentuk usaha industri barang dan jasa, diperjual-belikan,
membuka industri dan pasar modal pada kepemilikan pada investor asing secara
langsung, deregulasi ekonomi untuk memberi peluang pada tumbuhnya kompetisi,
memberantas korupsi di lingkungan birokrasi, membuka sistem perbankan dan
telekomunikasinya bagi kepemilikan sektor swasta, memberi peluang kepada setiap
warga negara untuk memilih sistem pensiunnya berdasar kompetisi, termasuk yang
diselenggarakan oleh pihak asing.
Apabila kita sudah melaksanakan prinsip-prinsip seperti itu dengan ketat, maka kita
akan cocok dengan the golden straitjacket itu. Dengan demikian, akan terjadi
demokratisasi teknologi, demokratisasi keuangan dan demokratisasi untuk memperoleh
informasi. Apa yang kemudian akan terjadi?
Apabila sebuah negara telah melakukan semua itu, maka negara itu akan memiliki
peluang atau pilihan yang agak luas di bidang ekonomi, dan sebaliknya, dalam bidang
politik, pilihannya tidak banyak. Pilihan politiknya, hanya "pepsi" atau "cola" kata
Thomas L Friedman.
Pemilihan presiden di beberapa negara, misalnya Korea, tidak ada perbedaan antara
kedua calon yang memperebutkan jabatan kepresidenan dari aspek visi politik. Tetapi,
apabila benar negara itu belum siap dan kemudian melaksanakan prinsip-prinsip
globalisasi secara ketat, sebagaimana dikemukakan di atas, jurang perbedaan kayamiskin akan semakin lebar. Inilah kepedulian Thomas L Friedman sebagai seorang
wartawan, bahwa dengan globalisasi akan terjadi jurang perbedaan kaya-miskin yang
semakin lebar antarnegara ataupun di internal negara itu.
Thomas L Friedman memberi contoh, bahwa berkat globalisasi, pemain bola basket
Chicago Bull, Michael Jordan, mempunyai pendapatan 40 juta dollar Amerika per tahun.
Sebabnya, karena T-shirtnya dibeli anak-anak di seluruh dunia, dari Jakarta sampai
Moskow.
Apa artinya? Kalau anak-anak Indonesia membeli T-shirt-nya dan karena sebagian
pendapatan Michael Jordan itu untuk membayar pajak pendapatannya, maka anak-anak
Indonesia, secara tidak langsung, ikut membayar pajak bagi Pemerintah AS. Ditambah

dengan usaha yang lain, misalnya McDonald, semua itu akan memperlebar jurang
perbedaan kaya-miskin antarnegara.
Demikian juga di intern sebuah negara, masyarakat yang tidak mampu bersaing akan
tertinggal jauh. Meskipun seorang Michael Jordan berpenghasilan 40 juta dollar
AS/tahun, di AS terdapat banyak orang-orang homeless, tidak memiliki tempat tinggal
yang tetap, tidur malam di emperan toko-toko, dibantu oleh program food-stamp
pemerintah untuk makannya.
Strategi mengarungi globalisasi
Menghadapi perubahan dunia seperti itu, di mana perubahan itu semakin lama semakin
cepat, kita (ibaratnya) dipaksa untuk berenang mengarungi lautan yang bebas. Kalau kita
tidak mengenakan baju renang yang cocok (the golden straitjacket) tidak mustahil akan
ditelan ombak yang besar. Karena itu perlu persiapan atau katakanlah strategi
menghadapi era globalisasi.
Kita harus memahami, bahwa globalisasi itu sendiri merupakan fenomena yang tidak
dapat dielakkan. Sebagaimana juga ditulis oleh Joseph E Stiglitz, pemenang hadiah
Nobel di bidang ekonomi tahun 2001 yang juga penasihat ekonomi Presiden Clinton dan
mantan Chief Economist The World Bank, yang terpenting adalah bagaimana globalisasi
itu dikelola.
Sebagian dari problem itu, menurut Stiglit terletak pada IMF, World Bank, dan WTO,
yang membuat rule of the games-nya globalisasi. Sayangnya, rule of the games itu sering
lebih menguntungkan negara-negara maju, dan secara khusus interest kalangan dalam
negeri negara-negara maju itu sendiri, dibanding kepentingan negara-negara yang
sedang berkembang, tulis Joseph E Stiglitz dalam bukunya Globalization and its
Discontent.
Adapun dalam pandangan Thomas L Friedman, nasihatnya dicerminkan dalam judul
bukunya Lexus and The Olive Tree (Lexus adalah sebuah merek mobil Jepang yang
mewah, dan olive tree adalah nama sebuah pohon yang tumbuh di Jerusalem).
Seandainya Lexus adalah simbol negara maju dan olive tree adalah simbol negara-negara
yang sedang berkembang, maka ia menyarankan olive tree itu harus memiliki akar yang
kokoh untuk dapat bersaing dengan "lexus". Kalau olive tree itu tidak memiliki akar
yang kuat, maka ia akan tidak mampu menghadapi globalisasi.
Dari dua pandangan seperti itu, bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, perlu
memperhatikan dua nasihat itu: bagaimana mengelola globalisasi dan bagaimana
memperkuat "akar" kebangsaan, kemampuan bangsa untuk menghadapi globalisasi.
Untuk itu, ada baiknya kita melihat apa yang dilakukan oleh negara-negara lain dan
bahkan perusahaan-perusahaan multinasional di dalam memperkuat kemampuan
kompetisinya.
Negara-negara Eropa Barat, sebagaimana kita ketahui, telah membentuk "The European
Union", Negara Eropa Bersatu. Tahapannya sekarang, sudah memiliki mata uang tunggal

Eropa (euro) dan bahkan hampir seluruh negara Eropa sudah akan menjadi anggotanya.
Apa dampaknya?
Dengan adanya kerja sama seperti itu, kemampuan Eropa menghadapi negara lain,
termasuk Amerika, akan meningkat. Contohnya, dalam membangun industri pesawat
terbang Airbus, yang merupakan usaha patungan beberapa negara Eropa (Jerman,
Perancis, Spanyol, Belanda, dan lain-lainnya), sekarang sudah mampu bersaing dengan
Boeing (Amerika).
Demikian juga beberapa perusahaan besar, mereka melakukan merger atau kerja sama
operasi, untuk meningkatkan efisiensi dan memperluas pasar, sehingga daya
kompetisinya semakin besar, misalnya Chrysler dan Mercedes Benz, atau antara KLM
dan Northwest.
Dengan contoh-contoh seperti itu, di dalam mengelola globalisasi, selain kita harus
memperkuat akar kebangsaan, kemampuan bangsa sendiri, juga memerlukan kerja sama
dengan negara lainnya. Di sinilah sebenarnya arti strategisnya ASEAN, sebagai forum
kerja sama regional, yang tentunya akan memperkuat posisi tawar negara-negara
anggotanya, seandainya kerja sama itu dapat benar-benar diwujudkan.
Adapun strategi bagaimana memperkuat akar kebangsaan, kemampuan bangsa
menghadapi era globalisasi, strategi memperkuat Indonesia sebagai negara kesatuan
adalah sangat penting. Sebaliknya, desentralisasi atau otonomi yang membuat peluang
Indonesia menjadi semakin fragmented, akan mengurangi kemampuan posisi tawar
Indonesia.
Selanjutnya untuk memperkuat akar kebangsaan Indonesia, kita harus mampu menggali
potensi dalam negeri di segala bidang. Peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM), mobilisasi daya dan dana dalam negeri, misalnya melalui program jaminan sosial
nasional, lebih menggunakan produk dalam negeri, serta membangun rasa solidaritas
bangsa secara keseluruhan, merupakan langkah yang sangat penting di era globalisasi.
Tanpa memperkuat akar kita sebagai bangsa dan kerja sama regional yang kokoh,
agaknya semakin sulit bagi Indonesia untuk mampu bersaing di era globalisasi.
SULASTOMO Koordinator Gerakan Jalan-Lurus

Menuju Kekuasaan Bisnis


Oleh A Prasetyantoko
PERISTIWA ini terjadi di Riyadh, Arab Saudi. Seorang aktivis memaki-maki Amerika
Serikat (AS) dan memuji-muji Al Qaeda sambil menggenggam secangkir Coffee Latte di
salah satu sudut Starbucks Cafe. Perusahaan AS ini baru saja membuka outlet-nya yang
terakhir di pusat Kota Arab Saudi. Ironi ini menggambarkan bagaimana bisnis mampu
melakukan penetrasi sampai ke jantung wilayah yang tak tembus pengaruh apa pun,
seperti ideologi, politik, maupun religius.
Bisnis adalah salah satu bahasa universal yang paling kuat menyebar ke seluruh penjuru
dunia. Saat mendarat pertama kali di Bandara Internasional Johanesburg, saya langsung
menangkap tempat yang nyaman untuk duduk sambil menunggu pesawat berikutnya.
Di sana ada Newscafe, tempat yang sudah biasa ditemui di Jakarta dan kota-kota besar
lain. Dalam hal ini, bisnis telah menyeragamkan selera.
Dalam kacamata filosofis, Polanyi (1957) menyebut bisnis sebagai kekuatan utama yang
mampu menggerakkan transformasi besar (great transformation) di masyarakat. Di
tengah membusuknya institusi seperti negara, politik, agama, dan lembaga sosial lain,
bisnis muncul sebagai kekuatan yang diterima amat baik tanpa dipersoalkan lagi. Maka
bisnis lalu menjadi raja dalam singgasana kekuasaan yang tiada taranya di peradaban
modern ini.
Bangun dari mimpi
Tidak ada peristiwa yang begitu mengguncangkan kemegahan bisnis modern, selain
terbongkarnya skandal keuangan yang terjadi di pusat bisnis dunia. Berderetnya
perusahaan besar yang ternyata menyimpan kebusukan itu telah meredupkan gegap
gempitanya bisnis modern. Tetapi, benarkah dinamika bisnis modern akan meredup?
Para praktisi dan teoritesi bisnis "menggarap" lubang perahu bisnis dari berbagai
malpraktik dengan mengumandangkan sistem baru yang dinamainya bisnis post- Enron
atau post-bubble world. Ada semacam gerakan untuk membuat jarak dengan berbagai
malpraktik bisnis di masa silam dengan mengatakan, deretan skandal itu hanya sebagian
"apel busuk" dari banyak "apel yang baik". Berhasilkah?
Respons spontan para investor menanggapi berbagai malpraktik bisnis di AS adalah
mengalihkan investasinya ke bursa saham di kawasan Asia Timur. Bursa saham di Korea
Selatan, Thailand, dan Indonesia sedang mengalami masa pemulihan dengan
kembalinya permintaan domestik, meningkatnya kembali ekspor dan membaiknya
sektor keuangan (Business Week, 26/8/2002). Sementara harapan para analis bertumpu
pada kegagahan perekonomian Cina yang diharapkan menjadi mesin penggerak
ekonomi yang baru. Lalu, para investor mulai berpaling dari bursa AS dan mengarahkan
investasinya di bursa- bursa Asia yang sedang pulih dari kemelut krisis.
Namun, jangan terlalu optimistis dulu. Gejala spontan ini hanya bersifat sementara.
Alasannya?

Pertama, pemulihan secara internal belum sungguh-sungguh terjadi dengan masih


bergantungnya perekonomian domestik negara-negara di kawasan Asia Timur terhadap
perekonomian AS.
Kedua, sejelek apa pun berita mengenai sistem korporasi di AS, dalam kenyataannya
para investor masih menaruh harapan pada perusahaan- perusahaan yang sudah telanjur
mapan di AS.
Kalaupun para investor berminat mengalihkan investasinya ke saham-saham perusahaan
di luar AS, mereka pasti tetap mempertahankan sebagian portfolio investasinya pada
saham-saham perusahaan AS. Jadi, perusahaan-perusahaan AS masih tetap tidak
terkalahkan. Mereka masih menjadi patron dalam percaturan bisnis di masa depan.
Kawasan Asia masih amat tergantung pada ekspor ke luar kawasan, dan AS telah
menyerap 10 persen dari GDP (gross domestic product) seluruh Asia. Demikian
penjelasan ekonom Morgan Stanley, Andy Xie. Sementara itu, bursa saham di kawasan
Asia masih amat tergantung pada investor asing. Sepertiga dari uang yang ada di Thai
Stock Market, misalnya, datang dari AS (Business Week, 26/8/2002).
Kesimpulannya, tingkat ketergantungan Asia pada AS-baik dalam pasar ekspor maupun
finansial-justru kian dalam dan luas. Sehingga, tidak masuk akal mengandaikan
terjadinya pertumbuhan spektakuler di Asia, sementara perekonomian AS justru
menyurut. Dengan begitu, para investor akan kembali lagi menanamkan modalnya di
bursa AS.
Itulah hebatnya bisnis. Sumber utama yang menggerakkannya adalah alasan yang amat
rasional, yaitu ekspektasi terhadap keuntungan, bukan pada alasan fundamental moral.
Kalaupun pasar sempat bereaksi negatif terhadap sederetan skandal keuangan di AS, itu
bukan berarti mereka memihak kekuatan moral, tetapi hanya didasarkan pada
perhitungan yang amat rasional tentang harapan akan pendapatan mereka di masa
depan (expected return).
Sumber legitimasi
Apa sebenarnya yang menjadi sumber legitimasi bisnis, sehingga kehadirannya bisa
diterima meski penuh dengan malpraktik? Jawabannya adalah karena secara manusiawi
bisnis tetap dibutuhkan. Bisnis diterima legitimasinya, karena dia telah memberi
kepuasan pada kebutuhan individu. Ingat kasus seorang aktivis di Arab Saudi. Di satu
sisi memaki-maki AS, tetapi di sisi lain menerima kehadiran perusahaan AS (Starbucks
Cafe) sebagai sesuatu yang wajar.
Bagi para pemikir institusionalisme (institutionalism), salah satu prasyarat hidup dan
berkembangnya sebuah institusi/lembaga dalam masyarakat adalah jika lembaga itu
diterima dengan baik dan dianggap sebagai sesuatu yang ada begitu saja tanpa
dipersoalkan lagi (taken-for-granted) oleh lingkungan sosialnya. Dan satu-satunya
institusi yang telah diterima dengan amat baik adalah institusi bisnis. Lain halnya
dengan institusi politik, negara, religius, bahkan keluarga. Itulah mengapa Polanyi

menyebut bisnis sebagai satu-satunya institusi yang bertahan di tengah pembusukan


institusi yang lain.
Untuk melihat begitu kuasanya kekuatan bisnis, berikut disajikan ilustrasi. Salah satu
acara televisi yang amat
diminati penonton di Afrika Selatan adalah Big Brother. Acara itu berisi kisah hidup
sehari-hari sekelompok anak muda yang dikurung di sebuah rumah selama tiga bulan.
Di dalam rumah itu sudah dipasang kamera di semua sudut ruangan. Jadi, para pemirsa
bisa melihat apa saja yang mereka lakukan, termasuk aktivitas di kamar mandi dan
aktivitas amat pribadi lainnya. Lalu para pemirsa dipersilahkan memilih satu pemenang
yang paling disukai dari mereka. Para pemirsa juga diperbolehkan mengeluarkan salah
satu peserta dari ruangan tertutup dan menggantinya dengan yang lain.
Di Perancis, acara ini amat populer dan disebut Loft Story. Pada penayangan tahun ini,
siarannya persis bersamaan dengan siaran sepak bola Piala Dunia. Ternyata,
popularitasnya sama sekali tidak kalah. Sepengetahuan saya, model acara ini
diperkenalkan pertama kali oleh salah satu stasiun televisi di Belanda, lalu dijadikan
model yang sukses dan ditiru hampir kebanyakan stasiun televisi di Eropa dan Kanada,
dan kini mulai menjalar ke Afrika.
Bisnis hiburan seperti ini menjadi ada justru karena para pemirsa menyukainya. Meski
bertentangan dengan alasan moral bagi sementara kalangan, tetapi jika "selera pasar"
menerimanya, apa pun itu akan terus berkembang. Itulah faktanya, bisnis telah menjadi
sebuah kekuatan luar biasa kuasa. Alasannya, justru karena mendapatkan legitimasi dari
para individu yang menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan berbagai
malpraktik bisnis akan terus dianggap sebagai sesuatu yang wajar-hanya sebagian apel
busuk dari banyak apel baik lainnya-jika konsumen terus menerimanya.
Dan hanya jika ada kekuatan nyata berupa penolakan dari sementara konsumen, investor
atau individu yang mempersoalkan berbagai malpraktik bisnis yang bertentangan
dengan pertimbangan moralitas, bisnis akan bisa sedikit digerakkan ke arah moralitas.
A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta

Merdeka?
Oleh Limas Sutanto
KEMERDEKAAN bukanlah barang yang "jadi begitu saja". Ia senantiasa merupakan
proses, perjuangan, tumbuh-kembang, dan pemekaran. Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 pun tidak menjamin kemunculan
kemerdekaan sebagai sebuah barang jadi yang bisa segera dinikmati bangsa Indonesia.
Justru proses tersulit yang niscaya dialami, dititi, dan diperjuangkan manusia atau
bangsa dalam perekahan, tumbuh-kembang, dan pemekaran kemerdekaan, adalah
dialektika internal dalam jiwa si manusia sendiri, serta dialektika eksternal antara si
manusia dan masyarakat atau bangsanya.
Dialektika internal dalam jiwa manusia warga negara terjadi dalam rangkuman interaksi
tak kunjung henti antara rasio sadar, afeksi bawah sadar, dan rahmat Tuhan. Dialektika
pemerdekaan akan menuju kondisi insani yang ditandai peraihan kembali kemampuan
untuk menyadari kebenaran atau realitas, dan kemampuan membuat serta
mengejawantahkan pilihan-pilihan secara rasional sadar.
Dialektika pemerdekaan pada perspektif pergulatan internal jiwani individu
memungkinkan kian luas dan makin dalamnya peran rasio sadar dalam
mentransendensi desakan-desakan afeksi bawah sadar. Dialektika pemerdekaan itu
memungkinkan rasio sadar makin intim menimba inspirasi, hikmah, dan berkat dari
rahmat Tuhan. Maka kemudian boleh terlihat proses pemerdekaan individu secara
gradual memunculkan warga yang rasional sadar dalam berpikir, bersikap, bertindak,
dan berperilaku.
Lihatlah kini nasib individu warga Indonesia yang dikatakan "telah merdeka 57 tahun".
Secara kognitif mereka semua bisa mengetahui betapa mereka tidak boleh melakukan
korupsi dan tidak boleh melakukan tindak kekerasan. Namun, apa yang mereka ketahui
itu tidak secara signifikan mereka ejawantahkan dalam tindakan dan perilaku yang
konsonan (sejalan). Justru yang mereka ejawantahkan adalah tindakan dan perilaku yang
disonan (bertentangan) dengan khazanah kognisi mereka sendiri. Pada titik ini boleh
disadari, betapa peran rasio sadar sedemikian minimal, sebegitu lemah, dan miskin.
Hamparan individu warga Indonesia yang dikatakan "telah merdeka 57 tahun", lebih
banyak dikuasai desakan-desakan afeksi-bawah sadar yang irasional, impulsif,
kompulsif, otomatis, dan habitual, dalam rangkuman dua tema besar kekacauan jiwa
warga Indonesia paling mengerikan: korupsi dan tindak kekerasan. Sungguhkah
hamparan individu warga Indonesia telah merdeka?

***
DIALEKTIKA eksternal antara manusia dan masyarakat atau bangsanya pada perspektif
perekahan, tumbuh-kembang, dan pemekaran kemerdekaan terjadi dalam rangkuman
proses tak henti-henti pemenangan kesadaran akan kebersamaan nan rasional,
melampaui impuls-impuls pengagungan dan pengutamaan diri sendiri, pengagungan
dan pengutamaan suku, ras, golongan, keluarga, kelompok, dan identitas keagamaan.

Proses tak henti-henti itu menuju pemerkuatan kesadaran akan kebersamaan nan
rasional, yang sungguh menandai kekuatan pengejawantahan semangat: "Berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing," dan semangat: "Ayolah lakukan yang sungguh terbaik
buat kita semua", oleh hamparan mayoritas warga negara Indonesia dalam himpunan
kebangsaan Indonesia.
Lihat kini, bagaimana nasib himpunan mayoritas warga negara Indonesia yang dikatakan
"sudah merdeka 57 tahun"? Sungguhkah mereka bisa mengejawantahkan transendensi
kepentingan bersama nan sejati atas kepentingan diri sendiri? Sungguhkah mereka telah
bisa mewujudnyatakan pemenangan kesadaran akan kebersamaan nan rasional,
melampaui impuls- impuls irasional nonrealistis habitual kompulsif berbasis kepicikan
sentimen suku, ras, kelompok, keluarga, golongan, dan identitas keagamaan?
Sungguhkah warga negara Indonesia mampu menundukkan dirinya sendiri yang haus
kekuasaan, dengan berkorban lewat pelepasan kekuasaan dari genggaman tangannya
demi kepentingan masyarakat luas yang benar-benar membutuhkan penguasa baru atau
pemimpin baru di era Indonesia yang sungguh baru? Sungguhkah para "wakil rakyat"
yang duduk mentereng di ruang-ruang sidang gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat mampu mentransendensi impuls-impuls irasional bawah
sadar yang mendesak mereka untuk kembali memecah belah Indonesia dengan
mendikotomikan "pribumi" lawan "nonpribumi" dalam horizon Indonesia? Deret
panjang pertanyaan bisa dibentangkan, oleh siapa pun yang sudi melihat realitas
Indonesia kini yang masih miskin kesadaran akan kebersamaan nan rasional.
Kesedihan mau tak mau mencuat kuat dan tebal di tengah deret pertanyaan gugatan atas
kemerdekaan Indonesia yang dikatakan "telah diraih sejak 57 tahun lampau". Namun,
mestikah warga negara Indonesia dan bangsa Indonesia berkecil hati? Bukankah
kemerdekaan tidak pernah tampil sebagai barang jadi yang bisa segera dinikmati?
Bukankah pemerdekaan adalah proses gradual tak henti, perjuangan terus-menerus,
yang memang selalu memakan waktu sangat panjang?
Maka mau tak mau satu ungkapan kunci niscaya mencuat: "Tabah, sabar, dan terus
berjuanglah dalam pemerdekaan nan sejati". Tabahlah rakyat Indonesia. Sabarlah bangsa
Indonesia. Terus berjuanglah rakyat dan bangsa Indonesia, dalam alur pemerdekaan nan
sejati. Titik awal pemerdekaan sudah dikristalisasikan pada 17 Agustus 1945, lima puluh
tujuh tahun silam, namun perjuangan pemerdekaan masih terus berlangsung hingga kini
dan masih akan terus merebak nanti. Pemerdekaan sama sekali belum selesai.
Namun, selalu saja ada rasa khawatir bakal munculnya kemalasan, ketakacuhan, dan
ketakutan di tengah perjalanan amat panjang yang pasti melelahkan, bahkan mungkin
sekali membosankan, memuakkan, dan menjijikkan. Wajar pula bila kini muncul
kekhawatiran akan meresapnya kemalasan, ketakacuhan, dan ketakutan di tengah
perjalanan pemerdekaan Indonesia yang kian terasa berbatu-batu, berkelok-kelok tajam,
naik-turun tak karuan, amat berdebu sampai memburamkan mata yang mau melihat ke
depan. Bahkan, perjalanan amat panjang itu mesti melewati jalan-jalan yang penuh
perampok dan penjahat. Di tengah kondisi demikian, muncullah kembali pertanyaan
dari manusia yang khawatir dan cemas: Sungguhkah perjalanan pemerdekaan itu bisa
terus berlangsung?

Jelas sekali, Indonesia butuh pengarah yang jujur, pengarah yang tidak menjadikan jalanjalan nan sulit itu kian berdebu tebal, pengarah yang justru menjadikan mata bisa
melihat jelas ke depan. Jelas sekali, Indonesia butuh penjaga keamanan dan penegak
aturan yang jujur, penjaga keamanan dan penegak aturan yang benar-benar mematahkan
ulah para perampok dan para penjahat, bukan penjaga keamanan dan penegak aturan
pura-pura, yang justru bekerja sama dengan para perampok dan para penjahat, bahkan
pula menjadi perampok dan penjahat.
Jelas, Indonesia juga amat membutuhkan media massa penyebar semangat pemerdekaan
yang merawat daya juang rakyat dan bangsa, sehingga mereka benar-benar selalu tabah,
sabar, dan terus berjuang dalam alur pemerdekaan nan sejati. Hamparan media massa
yang bebas itu, sudilah berpihak pada pemerdekaan Indonesia nan sejati, sediakan
ruang-ruang kalian untuk pemerdekaan sejati, kendati kalian mesti terus menyambung
hidup dengan memanfaatkan pula laba kapitalistis secara wajar.
Tanggal Tujuh Belas bulan Agustus tahun Dua Ribu Dua, rakyat dan bangsa Indonesia
tidak lagi cuma berteriak, "Merdeka!!" Kini mereka juga bertanya, "Merdeka??" Mereka
masih mempertanyakan kemerdekaan, karena mereka masih mau meneruskan
pemerdekaan.
Limas Sutanto, Psikiater, tinggal di Malang

Paradoks Manusia Indonesia


Oleh Jakob Sumardjo
SIKAP dan tingkah orang Indonesia kadang sulit dipahami. Orang Indonesia sering
mempromosikan diri sebagai bangsa yang ramah, namun tiba-tiba bisa begitu brutal dan
sadis. Mengaku amat religius, namun sering berbuat seperti bukan orang religius.
Menerima bantuan, namun juga menolaknya. Menyetujui, namun diam-diam
mengingkari. Berjanji akan datang, tetapi tak pernah nongol. Mau menjadi modern,
namun meninggalkan kebiasaan tradisional.
Orang Indonesia sulit dipegang "ekor"-nya karena ekor kadang jadi kepala. Serba
paradoks, kontradiksi dalam dirinya sendiri. Kalau ya, tidak mengatakan ya. Kalau tidak,
enggan mengatakan tidak. Jadi, setuju atau tidak? Ya bagaimana nanti sajalah. Tidak jelas
ya dan tidaknya. Bukan hitam bukan putih, tetapi abu- abu. Dengan abu-abu, ia bisa
berkelit ke hitam dan bisa berpindah ke putih. Nilai kebenarannya ganda.
CARA berpikir modern adalah berpikir tunggal. Kebenaran itu tunggal. Tinggal
menentukan hitam atau putih. Jika putih, tentu tidak hitam, dan jika hitam pada saat
sama tidak bisa putih. Kita tinggal menyatakan setuju atau tidak. Kalau setuju menjadi
kawan, kalau tidak setuju menjadi lawan. Tidak ada pilihan lain. Yang lain berarti banci.
Dan, orang Indonesia menyukai banci seperti itu.
Banci ada di mana-mana, terutama dalam seni pertunjukan. Berapa banyak penghibur
lelaki tampil sebagai perempuan, dalam Srimulat, grup lawak, atau reog. Dalam
pertunjukan rakyat di desa- desa, lelaki berdandan dan bertingkah laku perempuan.
Semua itu diterima sebagai kewajaran. Normal saja. Itu kan pertunjukan hiburan.
Hanya demi pertunjukan hiburan? Mengapa dalam sejarah peradaban Barat gejala
serupa tidak terjadi? Karena, mereka tidak menyukai kebanci-bancian. Banci itu
paradoks. Semua hal yang paradoksal tidak termasuk budaya mereka. Jika Anda lelaki,
tunjukkan Anda lelaki. Kalau Anda lelaki, sama sekali bukan perempuan. Tetapi, jika
Anda perempuan, Anda sama sekali bukan lelaki. Anda harus menetapkan di mana
Anda berada. Banci? Abu-abu? Sikap ganda? Sintesa? Tidak! Sintesa adalah tesa baru.
Dalam peradaban Barat, kondisi paradoks dinilai tidak normal. Lelaki kok mencintai
lelaki. Perempuan kok bercintaan dengan perempuan. Itu tidak normal. Dalam
budayanya, mereka tidak diinginkan. Mereka menjadi kelompok nonbudaya. Di
Indonesia? Gejala semacam itu tidak dipersoalkan dalam sejarahnya karena masih
sinkron dengan budaya.
Sejak dulu, harmoni merupakan cara berpikir sebagian besar masyarakat Indonesia. Di
sini, pengertian harmoni berbeda dengan harmoni keseimbangan yang masing-masing
melebur dalam satu kesatuan. Seperti Yang dan Yin Taoisme. Yang dua menjadi satu.
Yang banyak menjadi satu. Harmoni Indonesia adalah harmoni dalam paradoks, bukan
yang dua lebur menjadi satu, tetapi yang dua lebur menjadi tiga. Alamat ketiga adalah
kondisi paradoks itu. Kenyataan ini sulit dimengerti sehingga sikap paradoks orang
Indonesia juga sulit dimengerti.

Banyak ungkapan paradoksal dalam budaya Indonesia. Misalnya, puisi pantun Sunda
berbunyi, teras kangkung galeuh bitung. Terjemahannya, inti kayu bambu itu adalah inti
batang kangkung. Yang namanya "inti" adalah "kosong dalam kosong", atau kosong itu
isi dan isi itu kosong. Di Cirebon, sisa paradoks ini masih tersisa dari mulut pendidik
desa, galih kangkung. Isi batang kangkung itu apa? Yang kosong. Tetapi, itulah isi batang
kangkung sejatinya.
Ungkapan lain, "kakak adiknya si bungsu", "si Cebol meraih bintang", "si Buta
menghitung bintang". Paradoks. Apa artinya? Artinya adalah harmoni. Harmoni
Indonesia itu seperti ungkapan- ungkapan itu, bukan dalam pemahaman modern. Jika
ada dua hal berbalikan sifatnya, pemecahannya bukan dengan mengalahkan salah satu,
tetapi membiarkan hidup keduanya dalam harmoni. Si kakak berbalikan si adik. Sulung
lawan bungsu. Siapa harus menang? Sulung atau bungsu? Tidak dua-duanya. Sulung
harus tetap sulung, bungsu tetap bungsu. Harmoninya adalah si sulung harus
menempatkan diri sebagai si bungsu dan si bungsu harus menempatkan diri sebagai si
sulung. Harus beralih peran, namun tetap menjadi dirinya, sebuah sikap paradoks yang
sulit.
Dalam sejarah modern Indonesia, Bung Karno dapat ditunjuk mewakili karakter
paradoks ini. Gagasannya tentang Nasakom (Nasionalisme-Komunisme-Agama) cukup
kontroversial tahun 1960-an. Di luar Indonesia saat itu, komunis selalu memusuhi
agama. Tinggal pilih: komunis yang menang atau agama yang menang. Itulah paradigma
modern. Namun Bung Karno percaya, untuk Indonesia, agama dan komunis dapat
hidup bersama. Istilahnya ko-eksistensi. Eksis bersama. Bagaimana mungkin? Mungkin
menurut pikiran primordial Indonesia, orang agama bersedia memahami komunis dan
komunis bersedia memahami orang agama. Namun, yang komunis tetap menjadi dirinya
dan yang agama tetap beragama.
SIKAP ganda orang Indonesia sudah tua. Dan sikap paradoks itu tidak mudah. Ada
ketegangan dalam harmoni Indonesia. Salah dalam mengontrol diri bisa berakibat fatal.
Orang yang ramah dan lemah lembut berubah menjadi brutal dan kasar. Mereka yang
selama ini dikenal alim, jahatnya luar biasa. Lepas kontrol dalam harmoni, pengendalian
dirinya lemah. Sikap harmoninya kurang teruji.
Ajaran harmoni-paradoks semacam ini juga dikemukakan para pemimpin agama besar.
Intinya, jadikan dirimu seperti orang lain, baru kamu boleh menilai. Pertikaian selalu
muncul karena tiap orang memegang kebenarannya sendiri, kebenaran tunggal. Di luar
kebenaranku tidak ada kebenaran.
Orang paradoks selalu mempertimbangkan kebenaran yang lain. Jika kebenaranku
tunggal dan kebenaran dia juga tunggal, akan terjadi adu kekuatan. Saya atau dia yang
menang. Saya yang bahagia, dia harus celaka. Saya harus hidup, dia harus mati. Inilah
cara mudah untuk hidup dan adu kekuatan. Singa harus membunuh rusa agar dapat
hidup. Namun, manusia bukan singa, juga bukan rusa. Kodrat singa memakan daging
rusa, kodrat rusa makan rumput dan tumbuhan. Manusia dapat hidup dengan makan
daging, tetapi juga dapat hidup makan tumbuhan.

Watak orang Indonesia yang ambivalen semacam itu sudah berakar pada budayanya.
Kondisi paradoks menjadi tujuan hidup tertinggi realitas absolut, dicapai dengan jalan
paradoks. Seorang raja yang baik harus mengharmonikan dalam dirinya delapan
karakter yang bertentangan satu sama lain. Astabrata. Seorang raja harus berwatak kaya
sekaligus penderma. Semakin kaya semakin banyak amalnya. Seorang raja harus berani
sekaligus tegas penuh kasih sayang. Menghukum dan mengampuni. Cerdas tetapi
bijaksana. Seorang raja adalah sosok paradoks kompleks.
Pawang-pawang zaman dulu hidup dalam kondisi paradoks dan melakukan hal- hal
paradoksal. Pawang lelaki hidup dan berpakaian perempuan. Dengan demikian, pawang
berbuat paradoks. Ditusuk keris tidak luka. Dibakar tidak hangus. Yang sakit
disembuhkan, yang sehat dibikin sakit (santet).
Semua itu merupakan arkeologi pikiran Indonesia. Dan, artefak batin tua ini belum
sepenuhnya lenyap dari pikiran orang Indonesia. Bagi mereka yang telah berhasil
melenyapkan semua beban arkeologi pikiran tua ini, gejala paradoks manusia Indonesia
tampil mengganggu.
Mungkin gejala paradoks seperti itu yang membuat bangsa Indonesia selalu ketinggalan
dengan negara tetangga. Kita tidak dapat menyatakan tidak jika maksudnya memang
tidak. Dan menyatakan ya jika maksudnya memang ya. Kita selalu berada antara ya dan
tidak. Sikap ganda. Ambivalen. Paradoks.
Jakob Sumardjo Budayawan

Pemerintah, IMF, dan Investor Asing


Oleh A Prasetyantoko
Dalam lawatannya ke Roma, Italia, Presiden Megawati sengaja mampir ke beberapa
negara dengan target utama meningkatkan kerja sama ekonomi. Konkretnya,
mengundang masuk modal asing dalam bentuk investasi asing langsung (Foreign Direct
Investment/FDI). Ironisnya, di dalam negeri sedang terjadi perdebatan soal
ketergantungan terhadap Dana Moneter International (IMF). Tidak mustahil kelak
Presiden akan diserang dengan isu "menjual aset bangsa" kepada investor asing. Inilah
risikonya jika isu ekonomi telah berubah jadi agenda politik.
Isu penjualan aset bangsa sudah mulai terdengar dalam kasus privatisasi BUMN dan
divestasi aset perbankan beberapa waktu lalu. Kini isu itu kembali men- dompleng isu
ketergantungan terhadap IMF. Berhasilkan? Agar isu itu jangan sampai dimainkan
tangan-tangan politik yang berkepentingan, ada baiknya kita mengantisipasinya sejak
dini.
Kita harus jujur mengakui, investasi asing adalah "berkah" yang dinanti-nanti dalam
jangka dekat agar bisa mempercepat pemulihan siklus bisnis yang telah lama sekarat.
Namun, jika salah urus, modal asing bisa menjadi "bencana" di kemudian hari. Sama
seperti modal asing yang dibawa masuk IMF, Bank Dunia, dan lembaga multilateral lain;
pada mulanya adalah madu tetapi kemudian menjadi racun.
Sebagaimana diketahui, modal asing masuk melalui dua pintu utama. Pertama melalui
utang pemerintah dan kedua utang swasta. Itulah mengapa kita punya dua skema
negosiasi, yaitu Paris Club untuk utang pemerintah dan London Club untuk utang
swasta. Manakala dua sumber itu tersendat, maka mendorong investor asing untuk
membeli aset secara langsung adalah pilihan strategis.

***
SALAH satu studi generasi pertama tentang investasi asing dilakukan Hymer (1960)
yang menekankan keunggulan komparatif masing-masing negara. Kemudian, hampir
semua studi ekonomi industrial dikuasai cara pandang yang menganggap, keberadaan
investasi asing adalah faktor homogen (homogenity) yang hanya dipengaruhi variabelvariabel makro yang mendukung keunggulan komparatif. Misalnya gaji buruh, nilai
tukar, kebijakan pajak, dan lain-lain. Ide ini antara lain dikembangkan Michael Porter di
era-1980-an.
Sementara itu, ada generasi peneliti tertentu yang mencoba keluar dari pakem
paradigma neo-klasik ini. Misalnya studi yang dilakukan J Song (2002) dari Yonsei
University, Seoul, Korea. Dia mencoba mengaplikasi paradigma Resource-Based View
(RBV) yang menganggap, investasi asing adalah faktor heterogen (heterogenity). Artinya
tiap-tiap unit perusahaan memiliki faktor spesifik yang menentukan keberhasilan
investasi.

Contoh bagus untuk menjelaskan kasus ini adalah perkembangan investasi elektronik
Jepang di Asia Timur. Setelah apresiasi yen terhadap dollar tahun 1985, terjadi
gelombang besar investasi perusahaan-perusahaan elektronik Jepang ke kawasan Asia
Timur. Saat terjadi perubahan drastis iklim investasi di Taiwan, Korea, dan Singapura
yang berkaitan dengan tingginya upah, menurunnya penawaran (supply) tenaga kerja,
serta apresiasi mata uang lokal, banyak perusahaan memindahkan investasinya ke
Malaysia dan Cina. Namun, ada juga yang tetap tinggal dengan menyesuaikan diri
terhadap perubahan iklim investasi (Strategic Management Journal, vol.23:2002)
Jika faktor makro adalah satu-satunya variabel yang menentukan investasi asing,
mengapa ada perusahaan yang memindahkan investasinya tetapi ada yang memilih
tinggal? Dalam konteks mikro faktor yang menentukan investasi perusahaan di suatu
negara adalah kompleks, sehingga kebijakan memindahkan investasi (downgrade) belum
tentu lebih menguntungkan ketimbang menyesuaikan diri dengan perubahan iklim
investasi yang baru (upgrade). Begitu kesimpulan studi tersebut.
Tentu saja cara pandang RBV ini terlalu teoritis untuk diterapkan. Tetapi dari studi yang
mencoba melihat persoalan investasi dari kacamata lain, ada inspirasi yang bisa
mendorong kita untuk tidak menganggap persoalan investasi asing secara hitam dan
putih. Masih ada wilayah abu-abu (grey area) yang memungkinkan kita melakukan
tawar-menawar (bargaining) dengan tujuan memaksimalkan sumber daya domestik.
Agar memiliki posisi tawar yang kuat, paling tidak kita harus memberi fasilitas memadai
dalam hal iklim investasi yang nyaman. Dari kacamata ketergantungan sumber daya
(resource dependence), para investor asing amat tergantung pada sumber daya
keamanan dan kepastian hukum, selain faktor-faktor ekonomis seperti upah buruh, pajak
pemerintah dan lain-lain. Jika kita bisa menciptakan iklim yang nyaman bagi investasi,
artinya kita mampu memberi sumber daya penting (resource important) yang membuat
investor asing tergantung kepada kita. Baru dari sini, kita bisa melakukan tawarmenawar.
Tanpa mengecilkan arti promosi pemerintah yang diwakili Presiden and the team, harus
tetap jujur diakui, kini kita belum punya posisi tawar yang kuat. Alasannya, prasyarat
minimal bagi iklim investasi belum kita punyai. Sebagaimana diungkapkan Business
Week (20/5/2002), kepergian Soeharto membuat semua orang ingin memerintah dan
hasilnya adalah kekacauan yang sekaligus manjadi mimpi buruk bagi para investor. Jika
di zaman Orde Baru hanya ada satu Soeharto, maka di era otonomi daerah ada 300
Soeharto. Inilah proyeksi tentang prospek investasi
asing pasca-Soeharto.
Selain isu daerah seperti gerakan separatis Aceh yang mengancam sumur minyak
ExxonMobil Oil, misalnya, semua pihak masih menunggu (wait and see) momentum
Pemilu 2004 untuk menanamkan modalnya. Dalam hal ini, kontribusi para pemain
politik amat menentukan apakah kita akan bisa memiliki posisi tawar-menawar yang
tinggi terhadap para investor asing.
Akibat lemahnya posisi tawar-menawar kita, bahkan untuk memailitkan usaha yang
saham mayoritasnya dimiliki investor asing saja kita kalang kabut. Apakah dalam situasi

seperti ini kita mau menjual aset semurah dan secepat mungkin? Rasanya ada benarnya
juga untuk sedikit mengatur strategi dalam hal penjualan aset-aset perusahaan, baik aset
BUMN maupun yang ada di bawah BPPN. Dalam hal ini, mengatur strategi bukan
berarti antiprivatisasi dan divestasi.

***
DALAM kaitan dengan isu penjualan aset bangsa, rupanya justru titik kritisnya terletak
pada tangan-tangan yang sengaja memainkannya demi kepentingan politik. Padahal,
esensi ketergantungan yang disebut-sebut sebagai "ketergantungan cara baru" itu bukan
realitas yang hitam dan putih. Dalam privatisasi dan divestasi, perkaranya bukanlah
menolak yang diartikan sebagai sikap antipasar dan mendorong yang berarti menjual
aset bangsa. Perlu ada karakter kebijakan yang bisa menunjukkan ke mana arah pijakan
ekonomi kita.
Kini, terlalu banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Di antaranya yang penting
adalah mengembalikan siklus bisnis agar bekerja kembali. Untuk itu, peran modal asing
amat dibutuhkan. Tinggal bagaimana caranya agar kita bisa mengelola masuknya
investasi asing dengan baik agar tidak menciptakan ketergantungan tak kelihatan
(invisible dependence) yang akhirnya menyusahkan kita juga di kemudian hari.
Kita harus kritis terhadap segala propaganda yang berbau politis, meski kita tidak lalu
serta-merta menuruti apa saja yang dimaui pihak asing, entah itu IMF ataupun investor
swasta. Dan, sebaiknya pula kita memikirkan soal ketergantungan, bukan saja dalam
kaitannya dengan IMF, tetapi juga terhadap investor asing.
A PRASETYANTOKO, Dosen Unika Atma Jaya Jakarta, sedang kuliah di jurusan
Strategic Management-USTL, Perancis

Pendidikan Pluralis-Multikultural dan Liberatif


Oleh Ahmad Fuad Fanani
ARTIKEL Muhamad Ali, Pendidikan Pluralis-Multikultural (Kompas, 26/4/2002) cukup
menarik. Dalam tulisan itu, ia coba menggagas pendidikan pluralis- multikultural yang
dirasa amat signifikan bagi masyarakat Indonesia kini. Pendidikan agama pluralismultikultural adalah model pendidikan yang diharapkan memberi sumbangsih terhadap
penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak.
Sebab, nilai dasar dari pendidikan ini adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi,
empati, simpati, dan solidaritas sosial.
Rasanya, artikel itu cukup memadai, namun perlu diberi catatan tambahan. Catatannya,
pendidikan pluralis-multikultur sudah sewajarnya diapresiasi, namun perlu dipikirkan
juga problem transformasi dari sebuah pendidikan. Maksudnya, sudah saatnya kita tidak
sekadar mengampanyekan ihwal pluralisme dan multikulturalisme yang cuma berhenti
di tingkat wacana dan sering menjadi komoditas politik. Harus lebih dari itu.
Nilai-nilai pluralisme-multikulturalisme harus kita lanjutkan pada pembebasan (liberasi)
terhadap segala bentuk kezaliman, ketidakadilan, status quo, dan politisasi rakyat kecil.
Mari sedikit mengkaji ulang pendidikan agama, untuk kemudian memaparkan model
pendidikan yang membebaskan sebagai agenda transformasi sosial.

***
MODEL pendidikan agama yang selama ini dijalankan, faktanya sering menimbulkan
fanatisme keberagamaan dan penciptaaan idelogi klaim kebenaran. Mengapa?
Karena praktik pendidikan agama kurang menyentuh aspek realitas sosial, yang
sebenarnya juga merupakan garapan agama. Dua peran dan fungsi agama itu adalah
ritual dan sosial. Maka, model pendidikan agama gaya lama yang cenderung eksklusif,
dogmatis, kembali ke masa lalu yang kelabu, dan tidak menyentuh aspek moralitas,
perlu didekonstruksi atau dibongkar. Kemudian, dimunculkan model pendidikan yang
menghargai kemanusiaan, membebaskan dari penindasan, memupuk persaudaraan, dan
menekankan kebaikan serta kesejahteraan bersama.
Model pendidikan yang cocok untuk Indonesia masa depan tentu saja harus digali dari
aspek sosiologis, antropologis, dan teologis masyarakatnya.
Jika kita perhatikan dengan saksama, bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang unik;
merupakan kumpulan dari berbagai macam suku dan pemeluk agama yang berlainan
satu dengan yang lainnya. Maka, keanekaragaman (pluralitas) kultural dan religius ini
harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya guna saling membantu, berlomba berbuat
kebajikan, dan menciptakan kebaikan serta harmoni kehidupan.
Oleh karenanya, model pendidikan agama di Indonesia yang perlu dikembangkan ke
depan adalah model pluralis-multikultur. Pendidikan agama pluralis-multikultur adalah

model pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta
sesama, tolong menolong, toleransi, menghargai keragaman dan perbedaan pendapat,
dan sikap-sikap lain yang menjunjung kemanusiaan.

***
PAHAM pendidikan yang menjunjung tinggi pluralisme, multikultur, dan menghargai
kemanusiaan di atas, tidaklah harus kita biarkan berhenti pada tingkat teori atau wacana.
Semua itu perlu segera disusun menjadi agenda aksi yang nyata dan membebaskan.
Karena, sudah menjadi tugas seorang intelektual untuk terjun ke lapangan guna
membebaskan mereka yang terimpit kemiskinan dan penindasan dari para penguasa.
Maka, seorang pendidik dan anak didik haruslah juga seorang rausyan fikr-dalam
bahasa Ali Syari'ati, atau seorang intelektual organik-dalam bahasa Antonio Gramsci,
yang tidak hanya bersibuk diri dengan kajian intelektual semata.
Pluralisme keberagamaan yang dipupuk lewat aspek pendidikan perlu segera
dikawinkan dengan teologi pembebasan guna melakukan transformasi sosial. Hal itu
bisa dilakukan, misalnya lewat tahapan pengembangan paham toleransi, selanjutnya
melakukan dialog antaragama, dan kemudian melakukan kerja sama lewat aksi nyata.
Wujud kerja sama itu misalnya bisa dilakukan dengan membantu korban banjir, advokasi
korban kekerasan, melakukan santunan pendidikan, memberikan modal usaha, atau
bersama-sama memprotes ketidakadilan pemerintahan yang zalim.
Dalam hal ini, ide pendidikan untuk pembebasan yang digulirkan oleh Paulo Freire
menemukan relevansinya. Pendidikan model ini menekankan pada transformasi
pengetahuan yang memihak pada kemanusiaan universal. (Politik Pendidikan, 2001) Jika
pada pendidikan gaya bank (yang selama ini banyak dijalankan) murid hanya
difungsikan sebagai obyek yang kosong dan tidak tahu apa-apa, sedangkan seorang guru
melakukan tugasnya hanya sekadar menggugurkan kewajiban dan menyampaikan apa
yang diketahuinya. Jadi, kebebasan berpikir dan pengembangan sikap kritis tidak
mendapatkan porsi sama sekali. Selain itu, guru kurang punya tanggung jawab moral
dan sosial terhadap masa depan anak didiknya.
Dalam pendidikan untuk pembebasan, murid dan guru terlebih dahulu memahami
realitas atau sadar pada keadaan sekitarnya. Misalnya, perlu adanya kesadaran tentang
multikultural dan multireligius di Indonesia, namun karena pemerintah yang tidak
beradab, keadaan menjadi kacau balau.
Langkah berikutnya adalah penanaman kesadaran bahwa sudah menjadi tugas manusia
untuk menjunjung kemanusiaan dan mengembangkan nilai-nilai perenial agama.
Kemudian mereka bersama-sama melakukan tindakan untuk mewujudkan aksi
kemanusiaan.
Namun tahapan ini tidak hanya berhenti begitu saja, karena setelah terjun ke lapangan,
mereka harus mengevaluasi dan mengkaji teori lagi, untuk kemudian melakukan aksi

yang lebih baik. Maka, lingkaran kejadian-refleksi-aksi dan guru- murid-realitas, adalah
sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan agama pluralis-multikultural dan liberatif sangat urgen untuk diwujudkan,
mengingat selama ini di Indonesia masih kurang terwujud hubungan antarumat
beragama yang harmonis dan membebaskan. Oleh karena itu perlu ditanamkan sikap
dan pemikiran yang dewasa dalam menghadapi perbedaan agama dan perilaku
keagamaan.
Maka, pluralitas agama justru harus terus dipupuk sebagai ajang koreksi dan cermin diri
dalam bergaul dengan manusia, untuk selanjutnya melakukan transformasi atau
pembebasan sosial bersama. Tentunya untuk menentang ketidakadilan, status quo,
monopoli, dan segala bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya.
* AHMAD FUAD FANANI, Pemimpin Redaksi Jurnal GONG Mahasiswa IAIN Jakarta,
kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat

Pendidikan Sekolah Kita Antirealitas


Oleh Musa Asy'arie
JIKA realitas kehidupan masyarakat dicerdasi, akan tampak dunia pendidikan sekolah
kita sebenarnya kurang diorientasikan untuk mencerap realitas kehidupan secara kreatif
dan visioner. Realitas kehidupan ekonomi kita yang sebagian besar ada di pedesaan dan
bekerja di ladang pertanian dan perkebunan, ternyata kurang tergarap baik oleh ilmu
pertanian dan perkebunan yang diajarkan di sekolah-sekolah umum kita, sejak dari SD
hingga perguruan tinggi, baik dalam proses pembelajaran maupun kegiatan riset.
Terbukti kita tidak mampu mengembangkan budidaya pertanian dan perkebunan,
akibatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Ironinya, terhadap
produk-produk pertanian itu, kita masih mengimpor dan tergantung luar negeri, seperti
beras, gula, buah-buahan, dan kedelai.
Demikian pula usaha kecil menengah (UKM) yang besar jumlahnya dan banyak
menyerap tenaga kerja, serta mempunyai andil besar mempertahankan ekonomi nasional
dalam menghadapi krisis, ternyata kurang tergarap secara signifikan oleh ilmu ekonomi
yang dikembangkan sekolah-sekolah umum kita, dari SD hingga perguruan tinggi.
Ironinya, pendidikan ekonomi di sekolah umum, sejak SD hingga perguruan tinggi, tidak
banyak dikembangkan untuk pembinaan kualitas sumber daya manusia entrepreneur,
dengan mengaitkan ilmu ekonomi di sekolah-sekolah umum sesuai kebutuhan nyata
UKM, sehingga dapat mendukung lahirnya kelas menengah yang kuat, yang muncul
dari pelaku UKM yang berpendidikan.
Dalam kaitan dengan pendidikan sekolah agama, kita dapat melihat hal yang sama di
mana pendidikan agama diajarkan antirealitas. Realitas plural dalam kehidupan agama,
baik secara internal dalam kehidupan agama itu sendiri maupun secara eksternal dalam
kaitannya dengan agama-agama lain, kurang mendapat perhatian memadai dalam
pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu agama, yang diselenggarakan dunia pendidikan
sekolah agama kita, baik di SD hingga perguruan tinggi. Pendidikan agama masih
diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan Kebenaran,
dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Padahal,
kita menyadari, Tuhan dan Kebenaran sesungguhnya tidak pernah dapat dimonopoli
seseorang atau sekelompok orang, meski mereka ustaz, kiai, atau pendekar sekalipun.
Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat
persatuan bangsa. Pluralitas seharusnya bisa untuk menumbuhkan kearifan dan sikap
rendah hati untuk saling menghormati, mau belajar memahami sesama pemeluk agama,
serta membangun kerja sama konstruktif untuk memajukan peradaban bangsa. Pluralitas
agama menjadi sumber konflik yang tak habis- habisnya, sehingga meresahkan dan
memperlemah persaudaraan agama, baik dalam agamanya sendiri maupun dalam
hubungannya dengan agama-agama lain. Persaudaraan ternyata amat mudah retak oleh
adanya konflik politik dan kepentingan kekuasaan, dan sering mengambil bentuk
kekerasan, seperti terjadi di beberapa kota, Poso, Ambon, dan banyak lagi.
Mengubah konsep ilmu

Pada hakikatnya, ilmu merupakan obyektivikasi intelek terhadap realitas yang ditangkap
dalam suatu momen kehidupan tertentu, baik ruang maupun waktu, yang
diabstraksikan melalui logika dan diformulasikan menjadi rumusan dalil atau teori. Pada
tahap ini harus dipahami, realitas yang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis dan
bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya. Suatu teori bersifat
sementara, sebab realitas yang dicerapnya selalu dalam keadaan berubah, sehingga
validitasnya bersifat sementara pula. Karena itu, yang lebih diperlukan bukan
menghapal teori-teori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas itu sendiri, agar
tidak terjadi kecenderungan menghapal teori-teori tentang realitas, sementara realitasnya
sendiri sudah berubah, sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada.
Pada umumnya kita masih melihat kenyataan bahwa dunia pendidikan sekolah kita
masih mengajarkan teori-teori belaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk
bergumul dan memahami realitas secara intensif. Celakanya, ketika teori itu diajarkan
ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah berubah. Akibatnya, ketika mereka
menyelesaikan pendidikannya, mereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di
sekitarnya. Dalam keadaan demikian, respons mereka terhadap realitas pasti menjadi
kosong, karena hakikat realitas itu tak pernah masuk dalam alam sadar pikirannya.
Tidak heran bila kita melihat seseorang yang telah menyelesaikan studinya, maka
habislah ilmu yang dihapalkan, sebab ilmunya tidak terkait sama sekali dengan realitas
yang dihadapinya. Mereka hanya mendapatkan secarik kertas berupa ijazah atau
sertifikat tanda tamat tanpa penguasaan terhadap ilmunya itu sendiri.
Pendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya
ilmu sebagai produk, dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak
didik untuk dihafalkan. Masalah, bagaimana ilmuwan itu melahirkan teori-teorinya,
tidak pernah dapat dimengerti secara benar. Kegalauan intelektual yang mendorong
seorang ilmuwan melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan,
metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan fakta dan kebenaran di balik
suatu realitas, tidak pernah menggugah kesadaran pikiran anak didik.
Hal yang sama terjadi dalam pendidikan sekolah keagamaan, dengan lebih menguatnya
penekanan pada formalisme agama, normatif, dan tekstual yang terlepas dari
konteksnya. Agama seakan menjadi ajaran langit, datang dari langit dan lantas melangit,
tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas bumi di mana seseorang hidup
membumi. Akibatnya, agama tidak membumi dan antirealitas yang ada di Bumi. Realitas
kemiskinan dipandangnya sebagai suratan nasib yang harus diterima dengan sabar,
karena tidak terkait sama sekali dengan realitas ketimpangan struktural dalam
kehidupan ekonomi dan politik suatu masyarakat. Agama telah memabukkan kesadaran
manusia terhadap realitas sosial yang ada, dan pesan agama tidak dapat membumi dan
dibumikan, apalagi untuk menjadi rahmat bagi semua kehidupan yang ada di muka
Bumi ini.
Mengubah paradigma pendidikan
Pendidikan sekolah kita seharusnya dikembalikan kepada realitas dinamika
masyarakatnya, bukan menjadi menara gading yang tercabut dari akar kehidupan
masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah bukan untuk mengajarkan mimpi dan

antirealitas, tetapi menjadi bagian yang sah dari realitas hidup masyarakatnya sendiri
untuk mencari jawab atas proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan
masyarakatnya. Kecenderungan pendidikan yang antirealitas, mendorong menguatnya
feodalisme baru yang memuja gelar akademik hanya untuk menaikkan status dan gengsi
sosial, sehingga jual beli gelar akademik menjadi laris di mana-mana. Orang pun merasa
tidak malu membeli atau menyandangnya, karena kenyataan menunjukkan, tamatan
perguruan tinggi, yang mendapatkan gelar akademik secara benar melalui studi panjang
yang berjenjang, ternyata tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan banyak yang menganggur,
dan secara signifikan tidak ada bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan tinggi.
Untuk mengubah paradigma pendidikan sekolah harus ada kebijakan pendidikan yang
radikal, dengan mengubah secara fundamental pendidikan, sebagai subyek dinamik
realitas kehidupan masyarakat, sehingga anak didik dapat memahami realitas secara
utuh, benar, dan tepat. Penguasaan alat untuk memahami realitas menjadi tugas
fundamental dunia pendidikan kita, melalui proses pembelajaran yang kreatif dan
visioner, untuk memperkaya intelektual dan spiritual anak didiknya. Dunia pendidikan
kita tidak boleh terjebak urusan birokrasi yang melelahkan dan tidak mencerdaskan,
karena dalam banyak hal, birokrasi pendidikan justru telah membunuh substansi
pendidikan itu sendiri.
Birokrasi pendidikan sekolah kita telah berkembang secara berlawanan dengan tujuan
pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bahkan menjadi pusat pembodohan, karena
birokrasi pendidikan diselenggarakan sebagai perpanjangan birokrasi kekuasaan dan
politik, dengan memberi peluang adanya muatan-muatan politik yang terlalu jauh
memasuki birokrasi pendidikan kita. Kita masih ingat bagaimana perguruan tinggi tidak
boleh mempelajari suatu ideologi tertentu, seperti larangan mempelajari Marxisme hanya
karena ketakutan politik terhadap bahaya komunisme. Demikian pula muatan
kurikulum Pancasila dan Kewiraan dalam berbagai versinya, telah diajarkan dari SD
hingga perguruan tinggi secara berlebihan, melalui proses pengulangan yang sebenarnya
hanya memboroskan.
Musa Asy'arie Guru Besar Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Potret Buram Buruh Anak Perkebunan


* Catatan dalam Memperingati Hari Anak Nasional
Oleh Pardamean Daulay
MARJINAL, eksploitatif, dan tidak bermasa depan merupakan karakter yang melekat
untuk menunjukkan kondisi buruh anak di perkebunan. Marjinal karena mereka tinggal
jauh dari keramaian kota dengan kondisi sosial masyarakat yang tertutup (budaya
feodal). Eksploitatif karena buruh anak bekerja dengan upah rendah dan jam kerja yang
terbatas. Sementara "tidak bermasa depan" karena pekerjaan yang mereka lakukan tidak
membawa prospek apa pun terhadap pengembangan dirinya sebagai anak.
Diperkirakan lebih dari 40.000 orang anak yang seharusnya menikmati suasana bermain
dan menyiapkan diri untuk masa depan dengan bersekolah di Sumatera Utara, ternyata
"mengabdikan diri" untuk produktivitas perkebunan. Hasil penelitian LAAI (1999),
memperkirakan ada 4.507 anak yang bekerja di perkebunan tebu di Sumatera Utara.
Buruh anak yang bekerja atau dipekerjakan di perkebunan ini umumnya ada di
perkebunan tembakau dan tebu di Hamparan Perak, Sei Seimayang, dan Tandem (PTPN
II), perkebunan cokelat di Tinjawan, Kecamatan Ujung Padang (PTPN IV), perkebunan
sawit Dolok Hilir (PTPN IV), serta perkebunan sawit dan karet di Aek Nabara (PTPN III).
Anak-anak itu bekerja layaknya seperti buruh dewasa dengan berbagai risiko yang
menghadang mereka. Lain komoditas, lain risiko yang dihadapi. Yang sama hanyalah
tidak menguntungkan bagi kesehatan, psikologis, pendidikan, dan masa depan anak.
Seperti budak
Sejak keluar dari sekolah dua tahun lalu, misalnya, Andi (13 tahun) menghabiskan hariharinya untuk memotong tebu di PTPN II Sei Semayang. Tangan atau kaki kena parang,
disengat lebah, tersengat Matahari, dimaki-maki, dan dimarahi mandor, bagi Andi tidak
menjadi persoalan lagi. Ketidakjelasan status, menempatkan Andi seperti budak, "butuh
dipakai, selesai dicampakkan". Bulan September hingga Januari, saat panen tebu tak ada,
Andi akan dikeluarkan begitu saja.
Meski sekian persoalan mengitarinya, Andi siap bekerja kapan saja. Seakan- akan dia
berkata "tidak apalah, asal kebutuhan gula dalam negeri tetap terpenuhi".
Lain halnya dengan Rini (14 tahun), kemiskinan yang dihadapi keluarga menyebabkan
cita-cita mulianya untuk menjadi guru terpaksa buyar. Sekolah sampai universitas kini
tinggal angan-angan, karena sejak putus sekolah (Kelas V SD) Rini dipaksa bekerja
membantu orangtuanya di perkebunan Tinjawan (PTPN III).
Kini, memetik cokelat, mengupas, dan mengumpul buah menjadi bagian hidupnya
sehari-hari. Terkadang, Rini terpaksa memanjat sampai pucuk batang pohon cokelat
untuk mendapatkan buah cokelat yang lebih banyak lagi.

Rini mengaku pekerjaan yang dibebankan kepadanya tidak sebanding dengan upah
yang diterimanya, apalagi jam kerjanya sekitar delapan jam/ hari. Nasib dan masa depan
Rini kini tergantung budi baik perkebunan, karena kedua orangtuanya belum bisa
melepaskannya dari kemiskinan.
Sejak kecil, anak sudah diperkenalkan kerja kebun. Istilah mulianya, membantu orangtua
sehingga anak yang dipekerjakan keluarga tidak merasa mengambil alih pekerjaan
orangtuanya sebagai pencari nafkah (baca: dieksploitasi oleh keluarga).
Dodi yang masih berumur lima tahun, misalnya, sudah dibiasakan dengan pekerjaan di
kebun tembakau PTPN II Bulu Cina, yang terkenal dengan penghasil Tembakau Deli.
Digigit serangga dan pacet sampai kakinya berdarah tidak lagi menggelikan dan
menakutkan baginya. Ia terus menjalankan pekerjaannya, membagi bibit tembakau ke
tempat tertentu sebagaimana diperintahkan orangtuanya.
Dodi merasa bangga dapat membantu orangtuanya, dan ia kelak mungkin akan memilih
bekerja daripada sekolah. Abangnya sudah lulus SLTA, tetapi hanya menjadi
pengangguran.
Berbeda dengan Toni. Akibat terpengaruh godaan mandor anemer, keluarganya terjebak
di tengah hutan karet (rambung) dengan rumah hunian yang memprihatinkan dan
pekerjaan berat. Beratnya pekerjaan menderes karet memaksa ayah Toni melibatkan
anaknya dalam sistem produksi perkebunan karet PTPN III Aek Nabara. Menjinjing
getah menjadi keseharian Toni sehingga pada usianya yang 16 tahun itu, ia masih
memiliki ukuran tubuh layaknya anak usia sembilan tahun.
Sekolah, tinggal impian bagi Toni, karena hasil kerja kerasnya beserta seluruh keluarga
hanya memadai untuk makan. Maka, keluarga Toni tidak kembali ke Gunungsitoli, tanah
leluhur mereka.
Nasib yang hampir sama diterima Lily (15 Tahun). Perceraian orangtua menyebabkannya
bekerja di Perkebunan Karet PT Sinar Mas Tanjung Pinang. Menderes (mengambil getah)
merupakan pekerjaan wajib yang harus dijalani Lily setiap hari. Lily biasa bekerja mulai
pukul 04.00 pagi hingga pukul 14.00 siang. Dimarahi, dimaki-maki, direpetin sudah
dianggap Lily sebagai hiburan, sebab melawan pun tidak ada hasilnya, yang mempunyai
kekuasaan tetap mandor, persis seperti zaman kolonial. Upah hasil kerja yang
sebenarnya telah menjadi milik Lily sering dipotong dengan alasan dan penjelasan yang
tidak pernah diketahui.
Di tengah kegelapan malam yang sunyi dari keramaian kota, Lily sering melamun
"seakan-akan bertanya-tanya mengapa di alam kemerdekaan dan penuh kebebasan
masih ada anak-anak yang diperbudak di perkebunan". Tetapi, Lily tidak pernah
berputus asa dan cengeng; dia masih punya harapan, nasib buruh anak perkebunan bisa
berubah, bersekolah, bebas bermain, bebas bicara, dan tidak perlu kerja membanting
tulang.
Bekerja versus bersekolah

Sekolah dan bekerja merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
buruh anak. Umumnya buruh anak menganggap kedua kegiatan itu tidak saling
mengganggu. Tetapi, karena ketentuan masa kerja umumnya bertepatan dengan jam
sekolah, memaksa anak untuk mengambil sikap. Dan, umumnya anak lebih berpikir
praktis, lalu memilih bekerja ketimbang sekolah. Di sisi lain, faktor kemiskinan menjadi
pendorong buruh anak meninggalkan bangku sekolah.
Bagi buruh anak perkebunan dengan tingkat ekonomi keluarga yang rendah, pendidikan
merupakan persoalan yang dilematis. Di satu sisi kemiskinan membuat mereka tidak
bersekolah. Sebaliknya, karena tidak bersekolah, mereka sulit keluar dari lingkaran
kemiskinan. Bagi mereka, sekolah adalah beban karena terlalu banyak biaya yang harus
dikeluarkan, dengan bersekolah belum menjamin memperoleh pekerjaan yang lebih
baik.
Meski demikian, sebenarnya buruh anak perkebunan masih memiliki harapan untuk
bersekolah. Buktinya, meski sudah drop out sekolah dan satu harian bekerja berat di
kebon tebu, buruh anak perkebunan di Dusun Peringga, Desa Payabakung, Kecamatan
Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, masih rutin mengikuti pendidikan alternatif
yang dilaksanakan di Sanggar Belajar Yayasan Handal Mahardika.
Persoalannya, kemampuan ekonomi keluarga dan kekerasan yang mereka alami di
sekolah mendorong mereka keluar dari sekolah. Sulit dibayangkan bagaimana anak
menghadapi keharusan serius di sekolah selama lima jam, pulangnya harus kerja berat
sampai sore hari dan malamnya harus menyelesaikan segudang pekerjaan rumah (PR).
Sudah tentu bila anak-anak tidak menyelesaikan PR-nya akan mendapat hukuman di
sekolah dan serta-merta dapat cap anak bodoh dan malas.
Persoalan lain yang muncul berkaitan dengan pendidikan adalah muatan kurikulum
yang kurang memberi wawasan dan pengetahuan praktis mengenai lingkungan
perkebunan secara lebih komprehensif maupun mengenai kehidupan di luar
perkebunan. Kondisi ini menyebabkan anak-anak hampir tidak memiliki prospek untuk
berkembang. Mereka tetap terkungkung dalam kehidupan sebagai buruh.
Solusi ke depan
Potret buram buruh anak perkebunan ini hanya sebagian kecil dari potret anak- anak
Indonesia sehingga masih perlu dilakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk yang
melibatkan anak bekerja.
Penegakan hak-hak buruh anak perkebunan tidak dapat ditunda lagi. Penghapusan
bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, sebagaimana dijelaskan dalam Konvensi ILO 182,
harus segera dilaksanakan.
Keberhasilan menarik anak-anak ke bangku sekolah tidak hanya diukur dari segi
kuantitas, misalnya penambahan gedung sekolah, fasilitas pendidikan gratis,
penambahan anggaran pendidikan, tetapi yang terpenting adanya perubahan filosofi
pendidikan nasional, metode pengajaran, serta peningkatan kualitas tenaga pengajar.

Arah dan tujuan pendidikan di masa depan yang disesuaikan dengan kebutuhan buruh
anak itu sendiri juga perlu diperhatikan kebutuhan pasar. Apabila hak anak memperoleh
pendidikan terpenuhi dan semua anak usia sekolah mendapat pendidikan dengan baik,
buruh anak perkebunan tentu dapat dihapuskan.
PARDAMEAN DAULAY Alumnus FISIP USU, aktivis NGO Handal Mahardika Medan

''Quo Vadis'' Indonesia?


* Bahaya Neokolonialisme
William Chang
SEORANG teman asal Eropa Barat berseloroh, "Bagaimanakah kalau penduduk
negaraku dipindahkan ke Pulau Kalimantan (bagian Indonesia) dan seluruh penduduk
Kalimantan ke negara kami? Kita lihat perkembangan Kalimantan setelah seperempat
abad kemudian! Kalimantan takkan kalah dari Eropa Barat." Saya tak serius menanggapi
pernyataan itu, meski hati kecil tertawa sedih. Kebenaran seloroh teman itu masih harus
dibuktikan. Ini tidak seluruhnya mustahil, sebab wajah Hongkong berubah setelah
dikelola Inggris selama satu abad. Mungkinkah sebuah kontrak sosial baru bisa
dilaksanakan? Pro dan kontra akan muncul menanggapi hal ini.Sebagian negara kita
memang tak terurus. Banyak daerah di Republik yang telah merdeka 57 tahun ini seakan
menjadi daerah tak bertuan. Banyak sungai berantakan, jalan raya hancur ditelan ombak
laut, kekayaan alam digarap sesuka hati, penyelundupan kekayaan hutan ke negara lain,
distribusi solar kembang kempis, dan jumlah pengemis usia anak-anak hingga kakeknenek terus bertambah. Pembangunan liar tumbuh subur (vila-vila mewah di kawasan
Puncak). Izin mendirikan bangunan (IMB) hanya berlaku untuk mereka dan bangunan
tertentu. Pemerintah akan mengincar bangunan mahal yang akan mempertebal kocek
mereka.
Pembangunan fisik yang selama ini dibanggakan "penguasa" ("pengusaha") Republik ini
ternyata belum menganut prinsip keadilan. Konon, sejumlah "jenderal" pernah berubah
menjadi "konglomerat" dan pemilik kawasan hutan. Perbedaan kondisi hidup antara kota
dan desa amat mencolok. Apa pun yang diperlukan, umumnya dapat ditemukan di kota,
sementara itu orang-orang dari desa harus ke kota. Akibatnya, arus urbanisasi kian
meningkat. Keadaan ini berbeda dari banyak daerah maju di dunia, seperti kawasan
Eropa Barat. Orang desa tidak perlu/harus pindah ke kota, sebab di desa dapat
terpenuhi segala kebutuhan dan tersedia lapangan kerja bagi masyarakat desa.
Terbengkalainya pembangunan dalam negara ini terbentur pada sejumlah alasan klasik
seperti sumber daya manusia yang belum memadai (padahal banyak orang mampu tidak
diberi peran semestinya karena birokrasi korup warisan rezim Orde Baru-Orba), sumber
dana masih kurang (padahal korupsi kian merajalela), negara terlampau luas (padahal
otonomi daerah yang diterapkan tidak dipantau serius), peran aktif rakyat dianggap
kurang (padahal mereka menjadi korban pembangunan fisik yang superfisial). Kalau
begitu, sebenarnya di mana letak terbengkalainya negara kita? Pertama-tama pada
pemerintah, birokrasi, dan sistem kontrol yang memang lemah. Hukum tidak ditegakkan
seadil-adilnya. Aparat pemerintah sebagian sudah waktunya dipensiunkan dan diganti
generasi lain yang belum terpolusi.

***
LALU, Indonesia quo vadis? Pertanyaan ini muncul sebagai tanggapan atas seruan Ketua
MPR Amien Rais dalam Muktamar XII Pemuda Muhammadiyah, 7 Juli 2002 di Surabaya

(Kompas, 8/7/2002). Kapan akan teratasi rentetan krisis multidimensi kita, seperti
ketidakpuasan sejumlah daerah yang terarah pada disintegrasi nasional (Papua dan
Nanggroe Aceh Darussalam), konflik-konflik yang bertopeng etnis, agama, dan ras serta
citra buruk dalam bidang korupsi di mata dunia?
Jawaban atas pertanyaan itu terkait motivasi dasar perjuangan para "arsitek" Republik
ini. Cita-cita dasar apakah yang tersembunyi di balik perjuangan untuk meraih
kemerdekaan? Perjuangan kemerdekaan pada hakikatnya ingin meniadakan segala
bentuk penjajahan (diskriminasi) yang menginjak dan mengisap kemanusiaan. Hidup
dalam kemerdekaan termasuk unsur konstitutif manusia, meski makna kemerdekaan
sering diselewengkan dan disalahgunakan. Bahwa para perancang Republik ini ingin
meniadakan benih penjajahan adalah motivasi awal dan dasar seluruh perjuangan
bangsa.
Cita-cita dasar itu tidak cukup hanya diingat, dibicarakan, dan diperdengarkan, tetapi
perlu diwujudnyatakan, sebab cita-cita ini merupakan tolok ukur untuk memantau
keadaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya bangsa. Sejak pertengahan rezim Orde Baru
hingga kini, barometer kehidupan bangsa kita yang tersembunyi ini dilupakan oleh
penguasa yang berubah status menjadi "pengusaha" yang terjun dalam dunia permainan
kuasa. Akibatnya telah dan akan terasa kini dan di masa depan. Nilai dasar kemanusiaan
diabaikan, bahkan luput dari perhatian. Yang dipentingkan beberapa mantan penguasa
Republik ini adalah perpanjangan kuasa dan penumpukan harta kekayaan.
Ketidakadilan sosial merajalela. Yang kaya menjadi lebih kaya, yang miskin akan
mengalami kemiskinan hingga beberapa keturunan.
Masa depan negara bangsa kita terkait keadaan kemarin dan hari ini. Keterpurukan
bangsa dalam pelbagai dimensi hidup memang memprihatinkan. SDM masih lemah.
Belum semua pihak mengecap pendidikan formal. Keadaan pendidikan masih
memprihatinkan. Pentingnya mutu pendidikan jarang diagendakan. Unsur ideologi
penguasa masuk ke dunia pendidikan formal, tanpa menyadari proses pembohongan
generasi muda yang lahir sejak dan setelah Orba.
Arah bangsa perlu bertitik tolak dari realitas sosial. Dan, bangsa kita tidak perlu
terlampau banyak bercita-cita atau berkeinginan tinggi, sebab realitas sosial yang pahit
dan sakit belum sungguh dihadapi dan diselesaikan. Mencita-citakan sesuatu yang indah
dan tinggi akan membuat generasi sekarang melupakan tugas utama penguasa sekarang,
seperti pemberantasan korupsi, penegakan hukum positif secara adil, mewujudkan
kesejahteraan bangsa dari Istana Presiden hingga daerah pedalaman di luar ibu kota
Jakarta.

***
YANG paling membahayakan negara dan bangsa kita adalah kebangkitan
neokolonialisme. Pembersihan dunia hukum yang bersifat diskriminatif belum sungguhsungguh dilaksanakan. Orang-orang tertentu (kadang dengan rasionalisasi artifisial)
dianggap "kebal hukum", sementara itu si pencuri ayam dan sandal harus meringkuk
beberapa bulan di penjara. Pemegang duit sanggup mempengaruhi pemegang hukum

untuk mengubah pasal-pasal dalam KUHP. Dunia hukum menyakitkan dan bukan lagi
tempat untuk mencari keadilan.
Politik adu domba (divide et impera) masih diterapkan di beberapa kawasan di Republik
ini. Memang, tidak sedikit warga kita mudah dihasut atau diadu domba. Masyarakat
sederhana dan kecil tampaknya agak mudah "dibeli" oleh mereka yang berkepentingan,
yang berkuasa dan berduit. Banyak orang kecil dan sederhana bertindak di luar
kesadaran. Mereka hanya ikut-ikutan. Akibatnya, menyedihkan! Mereka yang akan
menanggung ekor perbuatannya, sedangkan yang "menggunakan" mereka dapat cuci
tangan, bahkan luput dari tuduhan apa pun. Kerja sama dalam bentuk pinjam uang luar
negeri (seperti IMF, World Bank) bukankah termasuk bagian "neokolonialisme" yang
tampaknya hanya sanggup mengenyangkan sejumlah orang dalam negeri ini? Utang
membengkak, rakyat kecil tetap miskin!
Beberapa langkah bisa ditempuh menghadapi gejala neokolonialisme yang masih hidup
dan berkembang di negara kita.
Pertama, penguasa, pejabat, pegawai negara yang masih bermental "kontra- reformasi"
perlu segera dilengserkan dari kursinya, diganti mereka yang dianggap bersih,
berdedikasi, berjiwa reformatif, dan rela berkorban demi perbaikan keadaan negara.
Lembaga yudikatif perlu bekerja ekstrakeras dalam penanganan kasus-kasus yang
dihadapi oleh mereka yang sedang dalam tampuk kekuasaan. Tanpa kerja keras dan
keinginan untuk menegakkan keadilan (diimbangi dengan penghargaan yang layak),
mustahil kasus-kasus pelanggaran hukum di negara dapat diselesaikan tanpa berteletele. Segala bentuk kepentingan politis disingkirkan dari arena peradilan. Sejak reformasi
hingga kini, sudah berapa kasus besar di Republik ini sungguh dituntaskan? Kurang
tenaga ahli?
Kedua, diperlukan pejabat bersih (malu dan merasa bersalah jika berkorupsi!) dan
berwibawa, sebab banyak pegawai dan aparat pemerintah kini "salah tingkah" dan
"hilang wibawa". Anggota Polantas, misalnya, hanya duduk dan berteduh di bawah
pondok yang didirikan di persimpangan jalan. Mereka omong-omong, baca koran, dan
membiarkan pengendara melanggar peraturan lalu lintas. Polisi hutan membiarkan
penduduk membakar gambut di musim kemarau hingga menimbulkan polusi yang
mendatangkan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Pemda kewalahan dan
tak berwibawa menangani kasus-kasus yang sebenarnya merugikan masyarakat banyak.
Penanganan sampah masih menjadi sebuah national issue. Ke manakah dana retribusi
sampah dan mekanisme kerja apa yang dianut selama ini? Badan-badan usaha milik
negara seperti PLN dan PAM jarang yang tidak rugi. Para pejabat masih bisa
mempertahankan kursi, meski laporan pertanggungjawabannya ditolak. Aneh bin ajaib,
tetapi nyata!
Ketiga, perbaikan keadaan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan bangsa takkan
terwujud dalam satu tahun atau satu generasi, tetapi membutuhkan waktu dan tenaga
tidak sedikit. Ini harus dimulai dari pihak pemerintah dan penguasa di Republik ini,
sebab mereka menerima tanggung jawab utama dan pertama untuk mengurus negara
ini. Tiap bulan mereka menerima pembayaran dari kas negara dan rakyat. Rakyat
umumnya akan berpartisipasi bila melihat pemerintah sungguh-sungguh

ingin memperbaiki bangsa dan negara. Yang menyedihkan, justru sejumlah aparat
pemerintah mulai memelopori pelanggaran aturan permainan. Dengan berpakaian
dinas, misalnya, aparat pemerintah mendidik rakyat melanggar aturan lalu lintas.
Terlepas dari aneka bentuk "keberhasilan" yang seharusnya dicapai selama masa
kemerdekaan, generasi sekarang masih perlu menyadari bahaya laten neokolonialisme
yang tetap akan mencekam hidup dan perkembangan bangsa kita. Memasuki HUT ke-57
RI, kita perlu memiliki mentalitas dan sikap yang sungguh reformatif, antikolonial,
antikorupsi, dan antidiskriminasi!
William Chang, Pengamat sosial, tinggal di Pontianak

Radikalisme Agama dan Problem Kebangsaan


Oleh Mh Nurul Huda
BANGKITNYA gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan
dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim
pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural,
tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen
modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang
melahirkan konstruksi negara-bangsa modern.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai
dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini.
Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh,
dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut,
gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung
Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.
Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi
nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan
perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang
sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan
universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan
politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan.
Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya
mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh
krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang
mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society
modern dalam masyarakat.
Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh fakta bahwa ia lebih berperan sebagai
"Republic of Fear", meminjam istilah Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan
penyeragaman seluruh entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama
"identitas nasional", hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu
lemah.
Demikian juga kenyataan sosial yang sangat plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi
telah menciptakan persaingan antar-etnis, dan sektarianisme yang tak terelakkan untuk
memperebutkan akses politik dan ekonomi. Celakanya, civil society sebagai komunitas
politik di mana masyarakat membagi norma-norma dan nilai-nilai guna membangun
konsensus bersama atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata
demikian rapuh.
Konsekuensinya, ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik
yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah
membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan

gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk
mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai
demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan
tatanan Islam. (Bassam Tibi, 1998)

***
RADIKALISME agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir- akhir ini,
terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atau organisasi berlabel agama yang
diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktorfaktor tersebut di atas: krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai
"Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya.
Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias
nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai
kebangsaannya.
Pola penyeragaman demikian itu, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, telah
mengebiri dan memandulkan proses kreativitas dan emansipasi kesadaran masyarakat.
Lalu, ketika keran kebebasan dan demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan
pemberdayaan dan partisipasi politik rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu
muncul pula gerakan penegasan identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya
lokal, dan terutama gerakan fundamentalisme agama.
Meski demikian, ketidakadilan sosial dan krisis negara-bangsa ini bukanlah faktor
tunggal suburnya gerakan-gerakan radikalisme agama. Ada faktor terpenting yang tidak
bisa diabaikan, sebagaimana diutarakan Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, beberapa hari
lalu (Kompas, 3/11/2002), yaitu penerapan ajaran-ajaran agama yang mengabaikan
aspek sosio-kultural masyarakat setempat.
Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan
tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial,
pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.

***
DALAM perspektif historis, radikalisme agama di Tanah Air adalah warisan dari
ketidakmampuan sebagian kelompok Islam menegosiasikan dogma dan doktrin
keagamaannya dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat tentang pentingnya
wawasan kebangsaan sebagai entitas yang menjamin pluralisme. Antagonisme politik
dan ideologis antara Islam dan negara ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan
kebangsaan, ketika elite politik terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di
alam Indonesia merdeka.

Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an,
kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian
aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy,
2001)
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam
dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini
terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang
"lebih vulgar", yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan
negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan
perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang
beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air.(Lihat penelitian Khamami Zada, Islam
Radikal: Pergulatan Ormas- ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002)
Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara
dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang
memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik.
Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan yang simbolistik ini, nilai-nilai universal
demokrasi, seperti: kebebasan, kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum
dipahami sebagai bagian inheren dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini
ditunjukkan secara tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum
dan perundang-undangan negara.

***
DEMIKIANLAH, sesungguhnya banyak faktor dan penyebab yang memungkinkan
suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air. Pemahaman keagamaan yang
ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran sejarah dalam penafsiran teks- teks kitab
suci, telah mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam
menyikapi perkembangan global.
Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap kebijakan politik negara-bangsa modern yang
dominatif dan manipulatif, berikut krisis yang diakibatkannya, telah menjadi tempat
persemaian paling strategis bagi gerakan ini.
Akhirnya, dengan memahami kompleksitas masalah yang melatarbelakanginya, kita
sangat berharap gerakan radikalisme agama dapat diatasi secara tegas dan komprehensif
tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang kini tengah berlangsung di depan mata.
MH NURUL HUDA, Koordinator Bidang Kajian pada, Forum Studi 164, Jakarta

Relevankah "Sustainable Development" ?


Oleh Sri Adiningsih
PEMBANGUNAN ekonomi yang dijalankan negara-negara berkembang sejak Perang
Dunia II, telah memajukan banyak negara. Di Asia muncul beberapa Macan Asia seperti
Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Beberapa negara sedang berkembang
lainnya maju pesat di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia.
Prestasi negara-negara itu banyak menimbulkan kekaguman dunia, bahkan sering
dianggap sebagai miracle (paling tidak sampai krisis tahun 1997 melanda kawasan ini).
Selain itu perekonomian banyak negara sedang berkembang di kawasan lain juga maju
perekonomiannya, dan menjadi bahan diskusi atau literatur ekonomi pembangunan,
selalu menjadi contoh keberhasilan pembangunan ekonomi dunia.
Pembangunan ekonomi telah berhasil mentransformasikan perekonomian beberapa
negara sedang berkembang sehingga menjadi maju perekonomiannya, di antaranya
dapat dilihat dari makin pentingnya peran sektor sekunder dan tersier negara-negara itu.
Selain itu juga dapat dilihat dari makin pentingnya peran negara-negara itu di pasar
internasional, tidak saja unggul dalam komoditas pertanian, tetapi juga dalam produk
berteknologi rendah, menengah, dan tinggi.
Hal itu membuktikan, pembangunan ekonomi (terutama di kawasan Asia Tenggara)
umumnya berhasil membawa kemajuan perekonomiannya. Pembangunan ekonomi juga
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang pesat, membawa tingkat kemakmuran
lebih tinggi dan menurunkan kemiskinan. Itu membuktikan, pembangunan yang mereka
kerjakan telah berhasil baik meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Meski demikian, pembangunan yang dilakukan banyak negara sedang berkembang
sering harus dibayar dengan ongkos mahal dalam bentuk berbagai kerusakan, alam
maupun lingkungan sosial. Karena itu, dalam beberapa dekade terakhir ini muncul
reaksi atas model pembangunan yang hanya melihat keberhasilan dari ukuran material
pada suatu masa. Maka muncul konsep pembangunan ekonomi baru yang memasukkan
lebih banyak dimensi yang perlu digunakan guna mengukur keberhasilan pembangunan
dan dalam perspektif waktu panjang (mempertimbangkan kepentingan antargenerasi)
yang dikenal dengan model pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainble
development).
"Sustainable development"
Konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan mulai menggema sejak tahun 1992 (dalam
Konferensi Rio yang membahas pembangunan dan lingkungan hidup), sebagai respons
atas makin memburuknya lingkungan ekonomi dan sosial dunia yang disebabkan
kurangnya perhatian banyak negara atas itu dalam membangun negaranya. Akibatnya,
kerusakan lingkungan alam dan sosial membawa konsekuensi serius bagi kelangsungan
pembangunan itu sendiri.

Pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,


akhirnya dapat menjadi bumerang jika ongkosnya harus dibayar mahal oleh generasi
mendatang, karena rusaknya lingkungan hidup dan sosial. Jangan lupa, generasi
mendatang, juga memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti generasi sekarang.
Mereka juga memiliki hak untuk meningkatkan kesejahteraannya di semua aspek,
mendapatkan lingkungan alam dan sosial yang sehat, yang dapat mendukung usaha
mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Oleh karena itu, dalam membangun ekonominya, suatu bangsa tidak boleh hanya
memperhatikan kepentingan jangka pendek saja, namun harus melihatnya dalam
perspektif jangka panjang. Dengan demikian dalam pembangunan ekonomi, konsep
pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah mutlak dilakukan.
Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan sendiri dapat
diintepretasikan dalam terminologi ekonomi sebagai suatu pembangunan yang tidak
pernah punah (development that lasts, pearce and barbier). Secara lebih spesifik dapat
diartikan sebagai suatu pembangunan ekonomi yang memaksimumkan kualitas
kehidupan generasi sekarang yang tidak menyebabkan penurunan kualitas kehidupan
generasi mendatang. Kualitas hidup lalu tidak hanya mencakup aspek kebutuhan
ekonomi namun juga kebutuhan akan lingkungan alam yang bersih dan sehat, dan
tingkat kehidupan sosial yang diinginkan.
Oleh karena itu, dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan, kita tidak dapat
hanya melihat dari ukuran-ukuran tradisional yang selama ini digunakan, seperti
tingginya pendapatan per kapita untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa atau
masyarakat. Namun, kita perlu memasukkan dimensi lain seperti lingkungan hidup dan
sosial dalam mengukur kualitas hidup suatu bangsa atau kelompok masyarakat.
Dengan demikian pembangunan ekonomi yang bertujuan mulia, makin lama menjadi
makin kompleks. Pembangunan ekonomi tidak dapat menggunakan konsep yang statis
lagi, namun harus sudah menjadi suatu pemikiran yang dinamis, perlu memperhatikan
aspek lintas generasi.
Juga tak boleh dilupakan, pembangunan menjadi kian kompleks karena liberalisasi pasar
sudah makin nyata, baik pada tingkat regional maupun global. Indonesia sendiri sudah
mulai membuka pasarnya untuk kawasan ASEAN dalam ASEAN Free Trade Area
(AFTA) mulai 1 Januari 2002.
Pembukaan pasar itu kurang disadari sebagian besar masyarakat kita. Padahal saat ini
enam negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Brunei
Darussalam), sudah mulai menyatu pasarnya. Paling tidak untuk komoditas yang masuk
dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Dengan demikian iklim bisnis dan
investasi di kawasan akan kian kompetitif, meski tentu saja juga memberi kesempatan
lebih luas bagi Indonesia untuk memanfaatkan pasar yang besarnya sekitar 500 juta
penduduk.

Meski liberalisasi pasar dapat memberi kesempatan lebih luas namun jangan lupa,
keterbukaan juga membuat perekonomian kita lebih terekspose atas berbagai shock
ekonomi yang berasal dari luar, baik dalam bentuk spillover ataupun contagion effect.
Krisis yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 juga ada muatan contagion effect- nya.
Krisis yang menghantam Thailand telah menyeret lima negara Asia masuk krisis
ekonomi, yang ongkosnya amat mahal. Bagi Indonesia, krisis yang berasal dari pasar
keuangan, merambah ke semua aspek, pada akhirnya telah menyeret ekonomi Indonesia
ke keterpurukkan hingga hampir lima tahun lamanya.
Pada akhirnya, masyarakat yang banyak dirugikan, karena pengangguran dan
kemiskinan, meningkat pesat.
Potret Indonesia
Ekonomi Indonesia berkembang pesat dilaksanakan program Pembangunan Lima Tahun
(Pelita), yang dijalankan sekitar 30 tahun hingga tahun 1996. Pertumbuhan ekonomi pada
tahun-tahun itu umumnya tinggi (lebih lima persen per tahun), bahkan dalam beberapa
tahun pernah mencapai lebih dari delapan persen. Sehingga secara umum dapat
dikatakan, ada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pada periode itu, Indonesia dapat keluar dari predikat negara miskin karena pendapatan
per kapitanya lebih dari 1.000 dolar AS. Meski demikian, pembangunan ekonomi
Indonesia dalam beberapa dekade itu banyak mengabaikan lingkungan hidup. Sehingga
hutan dan laut Indonesia yang amat luas, banyak yang rusak. Meski pemerintah sudah
membentuk Kementerian Lingkungan Hidup, tetapi kerusakan lingkungan tidak dapat
dibendung. Bahkan krisis ekonomi telah melanda Indonesia dalam lima tahun terakhir
ini, telah membuat usaha untuk melindungi lingkungan menjadi kian berat.
Seperti diketahui, krisis menyebabkan pengangguran meningkat dan kini mencapai
sekitar 36 juta orang. Kemiskinan juga meningkat pesat. Padahal seperti diketahui,
besarnya kemiskinan cenderung mempersulit perlindungan terhadap lingkungan.
Kemiskinan mempertinggi kecenderungan masyarakat untuk merusak lingkungan. Baik
dari aspek eksploitasi alam yang akan meningkat, juga usaha mengurangi polusi menjadi
kian mahal, sehingga makin sulit dibiayai pemerintah maupun usaha. Akibatnya,
dampak krisis dikhawatirkan membuat usaha membangun ekonomi secara berkelanjutan
kian sulit dilakukan. Apalagi bila ekonomi tidak segera pulih dan pengangguran dapat
berkurang dengan signifikan, dikhawatirkan kerusakan alam akan meningkat pesat, dan
usaha untuk membangun secara berkelanjutan menjadi kian sulit dilaksanakan.
Kesimpulan
Meski kondisi perekonomian masih berat (beban APBN besar, pengangguran tinggi,
industri perbankan belum normal, banyak perusahaan menjadi pasien BPPN), tidak
berarti pengambil keputusan di Indonesia kini dibenarkan mengabaikan masalah
lingkungan, yang berarti mengorbankan kepentingan generasi mendatang.

Oleh karena itu, meski kondisi masih sulit, Indonesia dengan semua komponennya, baik
pada tingkat otoritas (pusat maupun daerah) dan masyarakat, baik sebagai produsen
maupun konsumen, diharapkan tetap punya komitmen tinggi untuk terus melaksanakan
pembangungan ekonomi berkelanjutan. Tidak dari aspek lingkungan alam saja, namun
juga lingkungan sosial. Selain itu, amat penting mengurangi shock ekonomi negatip,
yang dapat menyebabkan krisis menghancurkan semua sendi-sendi perekonomian,
lingkungan alam, dan sosial, sehingga mengurangi ancaman kerusakan lingkungan alam
lebih serius lagi.
Melihat peran lingkungan hidup amat krusial dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan, maka Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagai penjaga gawang
lingkungan hidup dan memiliki otoritas, diharapkan dapat menjalankan tugas ini
dengan baik. Meski dalam lingkungan ekonomi yang kian mengglobal seperti sekarang,
dan desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah akan membuat usaha untuk
menjaga lingkungan hidup menjadi makin tidak mudah- apalagi dengan tingginya
kemiskinan dan situasi perekonomian masih sulit-tentu membuat usaha menjaga
lingkungan hidup menjadi kian sulit.
Oleh karena itu, dalam tiap pengambilan keputusan ekonomi yang berkait dengan
lingkungan hidup, pemerintah perlu melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup. Selain
itu, agar pelestarian lingkungan mendapatkan dukungan semua pihak, otoritas perlu
memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder, dengan pertimbangan yang holistik.
Solusi yang sifatnya parsial tidak akan menyelesaikan persoalan dengan baik, terutama
berkaitan dengan masalah lingkungan.
Dalam rangka menciptakan pembangunan berkelanjutan di negara sedang berkembang,
apalagi negara yang sedang terpuruk seperti Indonesia, adalah tidak mungkin dapat
menyelesaikan sendiri beban berat itu, apalagi dalam lingkungan ekonomi dunia yang
kian saling tergantung seperti sekarang ini.
Bantuan pihak luar dalam berbagai bentuk, baik finansial untuk membenahi lingkungan
alam laut dan hutan yang sudah rusak, maupun kemudahan- kemudahan yang memberi
akses pasar untuk ekspor lebih besar, dan dukungan investasi luar negeri (dalam bentuk
FDI) akan banyak sekali membantu. Dalam tekanan ekonomi berat seperti sekarang,
Indonesia tidak akan mampu melindungi lingkungan alamnya dengan baik. Dukungan
internasional amat diperlukan.
Dr Sri Adiningsih Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada

Subsidi
Oleh Mubyarto
ADA seorang pakar ekonomi, yang kebetulan pejabat eselon I di sebuah departemen,
mengeluh betapa sulit meyakinkan rekan- rekannya yang non- ekonom bahwa subsidi
adalah tidak sehat. APBN yang mengandung pos subsidi, betapapun kecil, adalah tidak
sehat. Maka jika masyarakat dan bangsa Indonesia bisa diyakinkan untuk suatu ketika
menghapuskan sama sekali pos subsidi dari APBN, ia sungguh akan merasa sangat puas
(lego).
Tentu kita dapat menjamin bahwa pakar ekonomi ini adalah pakar ekonomi
konvensional yang menyelesaikan studi lanjutnya di Amerika, serta sangat setia dan
percaya penuh pada teori-teori ekonomi neoklasik yang tertulis dalam buku- buku teks.
Maka, akan menarik untuk mengetahui reaksinya jika diajukan pernyataan Prof Joseph
Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, yang baru-baru ini berceramah di Jakarta
sebagai berikut: Textbook economics may be fine for teaching students, but not for
advising government.... Since typical American style textbook relies so heavily on a
particular intellectual tradition the neoclassical model.
Kalau terhadap peringatan Stiglitz ini ia bergeming (bersikukuh) dan mengatakan bahwa
bagaimanapun perekonomian yang tanpa subsidi lebih sehat daripada perekonomian
yang menanggung beban subsidi, kita dapat mencoba mengingatkan pernyataan John
Rawls dalam bukunya, A Theory of Justice, sebagai berikut: A theory however elegent
and economical must be rejected or revised if it is untrue; likewise laws and institutions
no matter how efficient and well arranged must be reformed or abolished if they are
unjust. (Rawls, 2001:3)
Menghapus subsidi pupuk
Tidak biasa Kompas marah luar biasa. Dengan judul editorial "Semoga Pemerintah Tidak
Bermain Api", Kompas hari Kamis 6 Januari 2005 menggugat pemerintah Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan
pada petani kita yang hidup dalam kemiskinan. "Bagi petani, subsidi pemerintah
merupakan satu-satunya andalan bagi mereka untuk bisa bertahan." Lebih lanjut ditulis:
"Kalau kita ingatkan pemerintah untuk tidak bermain api, sama sekali tidak ada
keinginan untuk memanas-manasi keadaan." ".... Terus terang kita bertanya-tanya ke
mana sebetulnya arah keberpihakan pemerintah ini." ".... Pemerintah sangat tidak suka
kalau dikatakan liberal. Tetapi, sepertinya negara yang paling liberal dan membuka
seluruh pasarnya adalah Indonesia."
Kita yang sedikit tahu seluk ekonomi pertanian Indonesia, yang pernah protes keras
keluarnya Inpres No 9/1975 tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) bulan April 1975,
dapat memahami "kemarahan" Kompas. Mengapa Dr Susilo Bambang Yudhoyono yang
menulis disertasi Doktor tentang "Pembangunan Pertanian dan Perdesaan" rupanya tidak
mengetahui ada anggota kabinet yang mengkhianati misi pemerintahannya untuk
berusaha meningkatkan kesejahteraan petani?

Rupanya sangat banyak pejabat pemerintahan SBY-Kalla yang berpikiran persis seperti
pakar ekonomi konvensional yang disebut pada awal tulisan ini. "Bagaimanapun, segala
jenis subsidi harus dihapus karena subsidi dalam bentuk apa pun dan berapa pun adalah
penyakit yang kalau dibiarkan akan menggerogoti kesehatan perekonomian Indonesia."
Terlihat jelas dalam iklan pemerintah untuk membela rencana kenaikan harga BBM yang
diberi judul "Subsidi BBM selama ini dinikmati golongan mampu dan orang kaya",
bahwa pemerintah bertekad jalan terus dalam rencananya menaikkan harga BBM
meskipun mahasiswa dan masyarakat yang "berakal sehat" menolaknya melalui berbagai
argumentasi ekonomi yang rasional.
Jika pemerintah bertekad menghapus segala bentuk dan segala jenis subsidi, tanpa
pandang bulu, mungkin rakyat masih berusaha memahaminya. Tetapi, yang aneh
memang pemerintah justru tidak konsekuen karena sama sekali tidak ada tanda-tanda
akan menghapus subsidi bunga/dana rekapitalisasi perbankan yang dimasukkan dalam
pos pengeluaran APBN. Jika subsidi pupuk ZA dan SP- 36 yang dihapus hanya bernilai
Rp 400 miliar, mengapa subsidi Rp 45 triliun yang sudah berjalan lima tahun, yang
notabene dinikmati oleh "penjahat-penjahat perbankan", tidak ada tanda-tanda akan
dihapus?
Rakyat yang hanya sedikit tahu logika ekonomi, tetapi sangat paham ukuran- ukuran
keadilan, pasti memprotes kebijakan pemerintah yang sangat tidak adil ini. Pemerintah
dengan menaikkan harga BBM bermaksud mencabut subsidi yang pasti berakibat pada
kenaikan harga-harga umum, dan pasti memberatkan kehidupan rakyat. Tetapi
meneruskan pemberian subsidi pada orang- orang kaya eks-konglomerat, yang kini
menikmati subsidi bunga obligasi pemerintah yang luar biasa dengan uang rakyat ini,
akan merupakan tragedi nasional yang sangat menusuk hati rakyat.
Subsidi tidak jahat
Saya sangat bersimpati pada kemarahan Kompas yang menggugat subsidi pupuk senilai
Rp 400 miliar yang benar-benar memukul petani tebu dan petani hortikultura. Saya
khawatir mereka benar-benar akan berdemo ke Jakarta untuk menuntut pencabutan
subsidi yang sangat tidak adil ini.
Jika pada bulan April 1975 petani TRI tidak berani memprotes Inpres No 9/1975 yang
memasukkan kembali sistem kapitalisme liberal dalam perkebunan tebu di Jawa,
liberalisasi ekonomi pertanian/perkebunan kita sekarang pasti akan diprotes secara
keras oleh petani kita.
Petani kita memilih "SBY- Kalla" karena percaya sebagai Presiden dan Wakil Presiden,
Pak SBY dan Pak Kalla akan mengadakan perubahan kebijakan ekonomi yang akan lebih
berpihak kepada petani. Rakyat petani sungguh akan kecewa berat jika harapan ini tak
terpenuhi.
Mubyarto Guru Besar Ekonomi UGM

Tiga Tahap Sejarah Korupsi di Indonesia


Oleh Emmanuel Subangun
SALAH satu salah paham paling luas dalam masyarakat dewasa ini adalah keyakinan
semu bahwa semua masalah bangsa akan terselesaikan jika hukum ditegakkan, ekonomi
dikelola secara baik, dan politik dijalankan dalam adat yang sopan. Salah paham itu
terjadi karena masyarakat kita terlalu saleh dan takwa. Artinya, amat kuat keyakinan
mereka bahwa kekuatan dari luar akan selalu siap menolong nasib kita. Kekuatan dari
luar itu paling jauh disimpan baik dalam agama resmi, tetapi yang jauh lebih nyata
adalah yang diserukan lembaga luar negeri (IMF untuk pemerintah, dan lembaga
pendanaan luar untuk LSM) atau sistem perwakilan dalam politik dan segala rupa
sistem peradilan yang mengandalkan segala sesuatunya pada rasa keadilan hakim
dengan rambu prosedur tertentu.
Saat masalah nyata kian meruyak seperti Tommy yang "bernyanyi" tentang polisi, atau
Mega yang merangkul tersangka Kasus 27 Juli berikut kegagalan Pansus Bulog, atau
hakim niaga yang tidak jelas juntrung keputusannya dalam kasus kepailitan, dan
seterusnya. Maka semua orang lalu berseru-seru gusar: "Reformasi sudah mati!" Seakan
ada yang masih harus dicemaskan!
Kita akan mati berdiri jika dalam tahap sejarah reformasi seperti dicapai sekarang ini,
kita masih menyimpan harapan dunia akan kembali seperti kita kenali selama ini.
Sejarah tidak pernah berhenti, tetapi juga tak pernah bisa diputar ulang! Karena itu lebih
baik semuanya dimengerti sebagai waktu yang berjalan dan bukan sebagai sebuah gerak
yang akan menuju surga karena dipandu oleh tangan tak tampak baik oleh tangan
Tuhan, tangan pasar atau dialektik materialisme. Gerak itu tak pernah berhenti, dan
gerak itu memiliki struktur tertentu.
Memahami struktur gerak, lalu menggantikan kegusaran dan salah sangka
berkepanjangan. Untuk mudahnya kita bisa amati struktur gerak masalah bersama yang
disebut korupsi.
Tahap awal: legal dan politik
Seperti dibukukan dalam novel Korupsi karya Pramudya, soal pelanggaran hukum
dalam kaitan dengan jabatan negeri, sudah mulai disemai dengan baik sejak awal
republik. Bahkan, jika mau lebih jauh, VOC yang runtuh di akhir tahun 1799 itu tidak
disebabkan oleh gempa bumi atau badai
angin, tetapi oleh salah urus atau korupsi. Akibatnya, negara kolonial yang diwarisi
republik tak lain selalu mengidap penyakit yang sama. Pada akhirnya rakyat itu jatuh
dalam kehinaan, miskin, dan bodoh serta perlu ditolong di awal abad XX dengan Etische
Politiek.
Artinya soal penyalahgunaan kekuasan yang melanggar aturan yang dibuat oleh
penyelenggara kekuasaan, adalah hal yang harus diterima dalam sistem negara modern.
Soal pagar makan tanaman bukan tabiat sekarang ini saja, tetapi sudah melekat pada
watak negara modern yang selalu menggantikan kekuasaan absolut di satu tangan

dialihkan pada sebuah badan, kelompok, atau gerombolan yang disebut birokrasi. Sebab
jika kekuasaan ada di satu tangan, korupsi disebut upeti yang dibelandakan dengan
hernsdienst. Ketika yang menjadi birokrat itu juga aristokrat, soal korusi tidak terlalu
merisaukan, karena hal semacam itu dalam rasa keadilan masyarakat tidak terlalu
mengganggu. Korupsi seperti terjadi di awal republik hanya menjadi masalah elite
politik sendiri, dalam arti bagaimana mungkin terjadi sama-sama berkecimpung dalam
kekuasaan, kok pendapatan bisa berlainan? Artinya korupsi adalah soal hukum,
melanggar hukum, dan fatsoen politik.
Tahap dua: orde baru
Mengingat dalam modernisasi, masalah korupsi dibingkai dalam kaitan dengan salah
urus, dengan sendirinya Orde Baru awalnya juga mulai dengan KAK (Komite antiKorupsi) dan semua pernik-perniknya, termasuk undang-undang dan imbauanimbauan. Pendek kata soal upeti dan herndienst itu diributkan lagi, dan karena di masa
itu kelompok penguasa gemar berkongkalikong dengan sekitar 200 konglomerat Cina,
maka korupsi diganti nama dengan pungli. Sebuah ucapan yang mirip bahasa Cina,
tetapi tak lain juga akronim biasa dari pungutan liar. Dalam bahasa hukum, dengan
sendirinya disebut sebagai menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan manfaat
finansial secara tak wajar, seperti disebut dalam sumpah jabatan para pemimpin politik,
termasuk kepala negara kita.
Dalam imbauan, karena hukum tidak cukup efisien memberantas korupsi, tetapi malah
memungkinkan korupsi berjalan secara aman dan damai di tempat basah seperti kantor
bendahara negara atau tempat lain, maka diimbau agar para pejabat tidak melakukan
komersialisasi jabatan. Jadi pungli adalah ihwalnya, dan komersialisasi jabatan adalah
prosesnya.
Seperti dalam setiap imbauan yang bersifat politik, sekarang maupun sepanjang Orde
Baru, korupsi tumbuh dalam irama alamiahnya. Tidak susut tetapi tumbuh subur setara
dengan rate of growth kita yang hebat itu. Karena imbauan tak lain adalah afirmasi dari
sebuah keberadaan, korupsi tidak lagi semata dan utamanya adalah masalah legal dan
politik, tetapi masalah jual beli jabatan dalam birokrasi. Jabatan itu artinya dekat dengan
sumber daya yang langka dan utamanya finansial. Maka komersialisasi jabatan tak lain
adalah meletakkan jabatan itu rangkaian prosedur komersial yang sedang berlaku.
Bentuk paling khas di zaman itu adalah hadirnya semua ragam pejabat sebagai komisaris
pada perusahaan konglomerat!
Pergeseran dari Orde Baru (Orba) ke Orde Lama (Orla) terletak di situ: dulu korupsi
adalah masalah perbedaan penghasilan dalam jenjang kepangkatan, artinya masalah
keadilan di antara para maling. Kini, di zaman Orba, tidak ada lagi masalah keadilan,
hukum, dan politik, tetapi adalah suatu hal yang wajar karena dalam perluasan pasar
yang terjadi, jabatan negeri adalah salah satu mata rantai yang penting untuk kelancaran
usaha. Namanya: jaminan keamanan dalam berbisnis!
Tahap ketiga: komodifikasi politik

Ketika zaman reformasi tiba dan rezim datang silih berganti, wajah korupsi kian
kaleidoskopik. BJ Habibie yang genius sibuk dengan urusan teknologi canggih, dan
urusan uang diserahkan pada anak buahnya seperti sekarang muncul di pengadilan,
Rahardi Ramelan atau Akbar Tandjung. Hal yang sama dilakukan Abdurrahman Wahid
yang justru harus jatuh dengan dalih korupsi juga, semata karena Abdurrahman Wahid
juga tak terlalu peduli dengan arus kas dirinya sendiri.
Zaman BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid adalah masa peralihan dalam sejarah
penyalahgunaan wewenang resmi untuk ditukar dengan uang. Zaman baru mulai
merebak saat Megawati dilantik menjadi presiden dan serentak mengumpulkan semua
anggota keluarganya untuk tidak mempraktikkan KKN. Tindak simbolik itu seakan
tindakan nyata, sehingga praktis banyak pihak terkesima.
Akan tetapi, tidak berapa lama menjadi presiden, segera budaya korupsi itu menemukan
bentuknya yang bisa dicapai secara peradaban. Tidak lagi sekarang ini soal pemasukan
tidak sah dalam kantung (Orla), bukan juga sekadar komersialisasi jabatan (Orba), tetapi
lebih cantik dan indah lagi yang terjadi. Seluk-beluk masalah yang disebut korupsi itu
dibingkai dalam istilah KKN (mirip kuliah kerja nyata), tetapi dalam kenyataan riil
adalah para pegawai politik di semua lapis, jajaran, dan jabatan kian mengerti dan
paham nilai finansial dari kedudukan itu. Kini, jabatan bukan lagi sebuah mata rantai
dari sistem komersial yang sedang tumbuh, tetapi sedang menjadi salah satu mata
dagangan yang strategis karena komoditas yang lain tidak layak jual, sistem produksi
tidak jalan, dan bangunan moneter/ finansial terus goyah. Dalam keadaan semua tidak
menentu itu, satu-satunya komoditas yang layak jual adalah jabatan dalam politik! Entah
itu di perwakilan rakyat, di pemerintahan, di dinas militer, jaksa, hakim, dan sebagainya.
Uang yang dikumpulkan selama masa pembangunan Orde Baru cukup melimpah, dan
dalam kemacetan seluruh sistem yang ada, tinggal politik yang bisa mendatangkan uang
karena politik adalah satu-satunya sumber daya yang memungkinkan orang untuk
memaksimalkan pendapatan dari proses kejatuhan sebuah negeri.
Hukum besi yang harus diterima: semakin politik kokoh sebagai komoditas, semakin
kehancuran negeri merupakan sebuah keniscayaan. Untuk memaniskan hukum besi itu,
kini orang suka mengatakan, free market dalam negeri Indonesia artinya adalah money
politics.

Dengan kata lain, ketika diseru-serukan neoliberalisme lewat podium dalam pertemuan
internasional, rakyat kebanyakan harus menerima kutukan ganda dari pasar bebas dan
jual beli jabatan politik itu.
Bangsa dan negara kita memang sedang memasuki tahap kutukan seperti itu, sehingga
sinar secercah saja untuk mengharap jalan keluar memang sepantasnya sudah padam.
Dan, menerima kegelapan itu tak lain menerima kenyataan yang justru akan
membebaskan kita dari ilusi dan salah sangka. Kita ikhlaskan dengan setulus hati agar
negara dan bangsa itu terdampar ke dalam daftar failed state!

Dari tiga tahap pertumbuhan peradaban korupsi (upeti, pungli, dan money politics) kita
sudah sampai pada tahap paling tinggi: politik adalah satu-satunya komoditas yang
layak jual.
EMMANUEL SUBANGUN Pengamat sosial budaya

Você também pode gostar