Você está na página 1de 6

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan memang tidak lepas dari politik, dan juga tidak lepas dari transformasi
kebudayaan bangsa dan masyarakat Indonesia. Di dalam perjalanan perjuangan kebangsaan
Indonesia kita lihat hubungan yang sangat erat antara pendidikan dan perjuangan nasional.
Kekuatan penjajah, khususnya Belanda, yang telah terlaksana hampir 350 tahun
benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa Indonesia. Kekuatan kolonial Belanda
telah mengakibatkan kemelaratan dan kebodohan. Segala kebijakan kaum penjajah diarahkan
kepada sebesar-besarnya mengangkut kekayaan bumi Indonesia untuk kepentingannya. Yang
tersisa adalah bangsa Indonesia yang tetap hidup melarat dan hidup di dalamalam kebodohan.
Namun, kehidupan dunia semakin terbuka, komunikasi antar bangsa semakin berjalan pesat,
dan berbagai tokoh politik Belanda mulai menyadari akan kekeliruan mereka. Maka
munculah apa yang disebut gerakan politik etis di Belanda, yaitu kaum penjajah harus
mengakui akan kekeliruannya terhadap daerah jajahannya. Akibat tekanan dan kecaman
tokoh-tokoh kaum humanis dan sosial demokrat di Belanda memaksa pemerintah Belanda
untuk meninjau kembali politik kolonialnya.
Betapa eratnya gerakan nasional dengan pendidikan nasional, yang antara lain bisa
dilihat buah pikiran daripara tokoh gerakan nasional. Seperti, Wahidin Sudirohusodo
mengatakan hanya dengan banyak belajarlah orang-orang akan maju dan terbebaskan dari
situasi serba tertindas (Nasution, 1987; Tilaar, 1995). Kongres Pasundan tahun 1930, ketika
ketuanya Otto Subrata, menegaskan bahwa gerakan itu berorientasi pada lima bidang, yaitu :
(1)pengajaran dan pendidikan, (2) urusan sosial, (3) ekonomi, (4) politik, dan (5) keuangan.
Di sini jelas sekali, betapagerakan nasional berjalan seiring dengan rasa persatuan dan
kesatuan bangsa serta menempatkan pengajaran dan pendidikan sebagai salah satu sarana
yang utama. Dalam kaitan ini, Ki Hajar Dewantara tahun 1922 telah merumuskan siasat atau
strategi perjuangan nasionalnya dalam bentuk mendirikan pendidikan nasional yang
dinamakan Taman Siswa.

Indonesia sudah 66 tahun merdeka, sudah tidak ada lagi penjajahan dan
kolonialisme Belanda di bumi Nusantara, para generasi mudapun diberikan ruang gerak
seluas-luasnya dalam dunia pendidikan, bahkan pemerintah membuat program-program
untuk mempermudah seluruh masyarakat mengenyam pendidikan seperti, Gerakan Nasional
Orang Tua Asuh (GNOTA), program Wajib Belajar 9 Tahun, Dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), dan penyediaan Beasiswa disetiap jenjang pendidikan baik dari pemerintah
sendiri maupun dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan swasta.
Tetapi walaupun Indonesia telah lama terbebas dari penjajahan kolonial, dan begitu
banyak program yang dibuat pemerintah dalam upaya pemerataan pendidikan, pada
kenyataannya masih saja ada ditemukan warga masyarakat yang mengalami buta aksara baca
tulis. Dan ironisnya masalah buta aksara tidak hanya terjadi pada masyarakat di Desa tapi
juga ditemukan dikota, seperti data temuan kami di kota Banjarmasin. Yang mana bisa
dikatakan bahwa Banjarmasin merupakan salah satu kota Besar di Indonesia, namun masih
memiliki masalah yang cukup mendasar dalam bidang pendidikan, yang sebenarnya tidak
perlu ada.
Membaca merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang maha luas. Membaca
adalah jembatan untuk menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan
sampai tercapai tatanan yang lebih baik dan sejahtera. Membaca juga merupakan proses awal
dalam sebuah perubahan menuju masyarakat bangsa yang maju dan madani. Pada umumnya
mereka yang buta aksara adalah dari golongan miskin, disamping mutu sumber daya
manusianya rendah, juga tidak memiliki akses finansial, teknologi dan pasar dalam kegiatan
ekonomi. Pemberantasan buta aksara merupakan pekerjaan yang tidak mudah, namun juga
tidak mustahil untuk dilakukan. Tingginya tingkat buta aksara di Indonesia disebabkan oleh
lima faktor yaitu , tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), beratnya kondisi geografis
Indonesia, munculnya penyandang buta aksara baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat
serta kembalinya seseorang menjadi penderita buta aksara.

BAB II
Analisis Data

2.1 Buta Aksara Di Kota Banjarmasin

No
Tahun
1
2007
2
2008
3
2010
Jumlah
Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Selatan

Jumlah
12.295
12.496
10.602
35.393

Gambar 2.1 tabel Jumlah Penduduk Buta Aksara Banjarmasin


2.2 Grafik Jumlah Penduduk Buta Aksara Di Banjarmasin

jumlah
12,500
12,000
11,500

jumlah

11,000
10,500
10,000
9,500
2007

2008

2009

Jumlah
13,000
12,500
12,000
11,500

Jumlah

11,000
10,500
10,000
9,500
2007

2008

2009

Gambar. 2.2 Grafik Jumlah Penduduk Buta Aksara


Banjarmasin

2.2

Temuan (Kekurangan)
Temuan kekurangan dalam konteks pelayanan Publik antara lain adalah
kekurangan mengenai data jumlah penduduk buta aksara di BPS Provinsi Kalimantan
selatan yang mana disaat kami meminta data tersebut pegawai tidak siap karena harus
mengolah datanya terlebih dahulu, selain itu kami tidak dapat menampilkan data buta
aksara di kota Banjarmasin secara lebih detail, karena perbedaan jenis data yyang
kami minta dan data yang tersedia di Kantor BPS Provinsi Kalimantan selatan,
sehingga kami hanya menampilkan data jumlah keseluruhan penduduk buta aksara di
Banjarmasin, tidak berdasarkan rentang usia ataupun jenis kelamin.
Sedangkan dalam konteks pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah
terhadap masalah buta aksara adalah dengan masih adanya penduduk yang mengalami
buta aksara di sebuah kota tentu hal ini menjadi sebuah tanda tanya, mengingat
banyaknya program-program yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah untuk
mencerdaskan masyarakatnya, banyak kendala yang dihadapi sehingga programprogram pengentasan buta aksara sulit terwujud secara maksimal, diantaranya adalah:

1. Faktor ekonomi
Kurangnya pemerintah dalam menangani kasus buta aksara didominasi oleh
faktor ekonomi masyarakat, yang mana masyarakat tertekan akan biaya
pendidikan yang semakin tinggi. Walaupun ada program pendidikan yang
digratiskan tapi pada kenyataannya tidak secara mendasar atau seluruhnya
gratis.
2. Faktor lingkungan
Lingkungan juga berpengaruh terhadap pendidikan, khususnya lingkungan
keluarga dan masyarakat. Apabila lingkungan di sekitarnya sebagian besar
banyak yang tidak

bersekolah maka hal itu sangat berpengaruh dengan

masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya apabila


lingkungan di sekitarnya mayoritas bersekolah maka hal itu sangat
berpengaruh positif terhadap pendidikan masyarakat.
3. Faktor kebijakan pemerinta

3.3

Rekomendasi Kebijakan
Dalam pengentasan buta aksara pemerintah membuat program program
kebijakan untuk menekan jumlah buta aksara di Banjarmasin. Dapat dilihat pada
diagram diatas bahwa dari tahun 2007 sampai 2008 jumlah masyarakat yang buta
aksara naik 0,2 %, dan pada tahun 2009 masyarakat yang buta aksara sangat menurun
drastis sebanyak 5% .
Program-program kebijakan yang selama ini dijalankan pemerintah dalam
pengntasan buta aksara antara lain dialkukan oreh pemerintah sendiri ataupun
bekerjasama dengan instansi-instansi terkait seperti Dalam rangka membantu
pengentasan buta aksara di kalangan masyarakat pinggiran, Korem 101 Antasari
bekerjasama dengan Forum Keaksaraan Fungsional Kayuh Baimbai dari Dinas
Pendidikan Provinsi Kalsel serta Kota Banjarmasin menggelar kursus baca tulis
gratis.Program pengentasan buta aksara tersebut diluncurkan oleh Danrem
101/Antasari Kolonel Inf Heros Paduppai dihadiri juga oleh Ketua Persit Kartika
Chandra Kirana Koorcab Rem 101/Ant beserta pengurus yang turut serta mendukung
kegiatan pengentasan buta aksara ini. Kegiatan ini bertujuan untuk pengentasan buta
aksara bagi masyarakat pedesaan, daerah-daerah terpencil, tertinggal dan belum
dijangkau oleh Pemerintah Daerah atau Dinas terkait. Program buta aksara ini untuk
pertama kalinya diselenggarakan di Kelurahan Pelambuan Kecamatan Banjarmasin
5

Barat sedangkan pada Kamis (22/4) telah di buka kelas baru pengentasan buta aksara
di SDN 08 Pangambangan Banjarmasin Timur yang diikuti sekitar 24 orang.
pengentasan buta aksara ini sebagai upaya memberdayakan masyarakat
didaerah dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berdaya guna bagi bangsa
dan negara dimasa depan. Setidaknya dalam program pengentasan buta aksara ini
dapat menurunkan angka jumlah penduduk yang tidak dapat membaca, menulis,
berhitung dan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga pada
akhirnya dapat menumbuhkan semangat kebangsaan, bela negara, cinta tanah air bagi
masyarakat di daerah serta dengan harapan agar masyarakat mempunyai keterampilan
untuk menghadapi tantangan dan mencari penyelesaian permasalahan dalam
kehidupannya. Untuk itu Danrem meminta kepada peserta tidak perlu merasa malu
karena tidak ada kata terlambat dalam menuntut ilmu dan sampai kapan pun, gunakan
kesempatan ini sebaik-baiknya jangan putus asa, karena peserta tinggal datang dan
diberi peralatan tulis menulis secara gratis.
Kegiatan belajar mengajar dalam program ini dilaksanakan seminggu dua
kali selama empat bulan dan pada akhir program akan dilaksanakan ujian. Bagi
peserta yang lulus akan diberikan surat tanda kelulusan yang diberi nama Surat
Keterangan Melek Aksara (Sukma) dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan
Selatan. Keberhasilan program pengentasan buta aksara akan membuat masyarakat
menjadi lebih percaya diri dan berdaya untuk keluar dari kemiskinan dan
keterbelakangan. Yang menjadi tantangan sekarang adalah bukan sekadar buta aksara
hilang saja, akan tetapi bagaimana membuat masyarakat berdaya untuk memperbaiki
taraf hidup.

Você também pode gostar