Você está na página 1de 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), merupakan
salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar
aktif kepada mahasiswa. Saat ini banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia
hanya memiliki karakteristik antara lain, hanya memahami teori, memiliki
keterampilan individual, motivasi belajar hanya untuk lulus ujian, hanya
berorientasi pada pencapaian grade atau pembatasan target, orientasi belajar hanya
pada mata kuliah individual secara terpisah, proses belajar bersifat pasif, hanya
menerima informasi dari dosen, serta penggunaan teknologi terpisah dari proses
belajar. Padahal, sumber daya manusia yang diperlukan dalam pasar kerja, antara
lain kemampuan

solusi

masalah

berdasarkan konsep ilmiah,

memiliki

keterampilan team work, mempelajari bagaimana belajar yang efektif, berorientasi


pada peningkatan terus-menerus dengan tidak dibatasi pada target tertentu saja.
Setiap target yang tercapai akan terus-menerus ditingkatkan, membutuhkan
pengetahuan terintegrasi antardisiplin ilmu untuk solusi masalah yang kompleks,
bekerja adalah suatu proses berinteraksi dengan orang lain dan memproses
informasi secara aktif, penggunaan teknologi merupakan bagian integral dari
proses belajar untuk solusi masalah.
Dengan motivasi potensi yang ada pada PBL maka sudah sepatutnya
pendidik secara konsisten menggunakannya dalam pembelajaran tentunya dengan
perbaikan-perbaikan untuk lebih menyempurnakan PBL. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya seringkali terdapat banyak persoalan. Persoalan yang timbul dapat
bersumber pada murid, pendidik dan juga institusi atau sekolah yang
bersangkutan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengimplementasian metode PBL terhadap paradigma metode
konvensional saat ini?
2. Apa persoalan yang menghambat jalannya individu
3. Bagaimana kesiapan infrastruktur dan sumber daya pengajar dalam
menerapkan metode PBL?
4. Perubahan apa yang seharusnya dilakukan oleh pendidik, peserta didik dan
institusi?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan pengimplementasian metode PBL terhadap paradigma metode
lama serta permasalahan yang timbul
2. Menjelaskan kesiapan infrastruktur dan sumber daya pengajar dalam
penerapan PBL
3. Menganalisis perubahan yang diperlukan semua pihak yang terlibat dalam
proses pembelajaran agar PBL dapat berjalan secara optimal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Problem Baseo Learning (PBL)
Landasan teori PBL adalah kolaborativisme, suatu perspektif yang
berpendapat bahwa mahasiswa akan menyusun pengetahuan dengan cara
membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimilikinya dan dari
semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu.
Hal tersebut juga menyiratkan bahwa proses pembelajaran berpindah dari transfer
informasi fasilitator-mahasiswa ke proses konstruksi pengetahuan yang sifatnya
sosial dan individual. Menurut paham konstruktivisme, manusia hanya dapat
memahami melalui segala sesuatu yang dikonstruksinya sendiri.
PBL memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat dicapai jika kegiatan
pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan yang otentik, relevan,
dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Cara tersebut bertujuan agar mahasiswa
memiliki pengalaman sebagaimana nantinya mereka menghadapi kehidupan
profesionalnya. Pengalaman tersebut sangat penting sebagaimana dinyatakan
dalam model pembelajaran Kolb (1976) yang menekankan bahwa pembelajaran
akan efektif bila dimulai dengan pengalaman yang kongkret. Pertanyaan,
pengalaman, formulasi, serta penyusunan konsep tentang permasalahan yang
mereka ciptakan sendiri merupakan dasar untuk pembelajaran.
Aspek penting dalam PBL adalah bahwa pembelajaran dimulai dengan
permasalahan dan permasalahan tersebut akan menetukan arah pembelajaran
dalam kelompok. Dengan membuat permasalahan sebagai tumpuan pembelajaran,
para mahasiswa didorong untuk mencari informasi yang diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahan. Salah satu keuntungan PBL adalah para mahasiswa
didorong untuk mengeksplorasi pengetahuan yang telah dimilikinya kemudian
mengembangkan keterampillan pembelajaran yang independen untuk mengisi
kekososongan yang ada. Hal tersebut merupakan pembelajaran seumur hidup
karena keterampilan tersebut dapat ditransfer ke sejumlah topik pembelajaran
yang lain, baik di dalam maupun di luar universitas. Dengan PBL yang
memfokuskan pada permasalahan yang mampu membangkitkan pengalaman

pembelajaran maka mahasiswa akan mendapat otonomi yang lebih luas dalam
pembelajaran. Oleh karena itu perancangan permasalahan perlu dilakukan dengan
sangat hatihati untuk meyakinkan bahwa sebagian besar tujuan perkuliahan dapat
tercapai.
1.2 Kurikulum Problem Baseo Learning
Pada saat ini beberapa program studi di beberapa perguruan tinggi
menerapkan kurikulum (PBL), berbeda dengan kurikulum yang dikenal selama ini
yang disebut dengan kurikulum konvensional. Kurikulum PBL bersifat sentral
atau tidak lagi bersifat departemental. Perbedaan pokok antara keduanya terletak
pada aspek integrasi disiplin ilmu, struktur unit ranah, dan ciri-ciri tiap disiplin
ilmu (Supeno Djanali, 2005).
Terdapat dua jenis kurikulum PBL, yaitu hybrid PBL (hPBL) dan PBL
curriculum (PBLc). Hybrid PBL bersifat sederhana, tidak serumit PBLc.
Kurikulum PBL mengubah dan menstransformasikan seluruh kurikulum
konvensional menjadi sistem blok melalui pemetaan kurikulum dan tujuan belajar
yang terintegrasi. Pada hPBL, hanya sebagian dari kurikulum konvensional yang
diubah dan ditransformasikan ke sistem blok. Dalam pelaksanaan hPBL
digunakan strategi SPICES (student centered, problem-based learning, community
oriented, early clinical exposure, self directed learning) dengan tetap
memperhatikan adanya pengulangan materi yang bersifat spiral atau helix. Model
hPBL seperti ini tidak mengganggu kurikulum konvensional yang ada (Harsono,
2005).
Setelah melalui proses ini, kurikulum yang telah tersusun perlu melalui
beberapa tahap validasi sebelum dilaksanakan. Komisi yang dapat melakukan
validasi antara lain Komisi Pengkajian Kurikulum yang dapat dibentuk di tingkat
jurusan atau fakultas, atau sebagai salah satu komisi dalam senat fakultas.
1.3 Prinsip Prinsip PBL
Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang
mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL
membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan

dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator
atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa
menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang
keaktifannya.
Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya
masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi
siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat,
sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam PBL
memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir
kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perubahan metode pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke
inovasi pendidikan melalui problem baseo learning
Metode konvensional berupa kuliah atau ceramah yang memusatkan
perhatian mahasiswa sepenuhnya kepada dosen sehingga yang aktif di sini hanya
dosen, sedangkan mahasiswa hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang
dipaparkan oleh dosen. Partisipasi mahasiswa rendah karena mahasiswa hanya
diberi kebebasan untuk bertanya mengenai materi yang telah dijelaskan oleh
dosen sehingga metode konvensional masih kurang menggugah daya pemikiran
mahasiswa.
Sedangkan, metode PBL adalah metode perkuliahan yang berbasis kepada
partisipasi para mahasiswa. Pada jam pertama perkuliahan, metode yang
diterapkan adalah diskusi. Dosen memberikan pertanyaan kepada mahasiswa yang
ditunjuk secara acak. Pertanyaan yang diajukan bersifat menggali pendapat dan
mengembangkan kemampuan analisis mahasiswa. Kemudian, pada satu jam
terakhir, dosen memberikan rangkuman dan inti dari diskusi pada hari itu disertai
dengan inti dari konteks materi dihubungkan dengan implementasi di lapangan.
Perbedaan Metode Konvensional dengan Metode PBL
Metode Konvensional
Berfokus pada dosen
Dosen menerangkan dan

Metode PBL
Berfokus di mahasiswa

mahasiswa mendengarkan (one

Mahasiswa menjelaskan (two way learning).

way learning).
Mahasiswa bertanya.
Dosen menjelaskan seluruh materi
Key process is teaching.
Dosen hanya menyiapkan materi

Dosen bertanya.
Dosen merangkum materi berdasarkan hasil
diskusi/pemikiran mahasiswa.
Key process is learning.
Dosen tidak hanya menyiapkan materi, tetapi
juga harus menguasai metode penyampaian

materi yang efektif.


Mahasiswa membaca menjelang
ujian, terutama catatan (reading
habit rendah).
Mahasiswa pasif (partisipatif
rendah).
Mahasiswa hanya menghafal
materi) dan kemudian lupa.

Mahasiswa membaca sesuai silabus sebelum


kuliah dimulai (reading habit tinggi).
Mahasiswa aktif (partisipatif tinggi).
Mahasiswa dapat dengan mudah menangkap
esensi dari perkuliahan

3.2 Pengimplementasian Metode PBL dalam Pembelajaran


Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu
kegiatan berasal atau berubah lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi,
dengan keadaan bahwa karakteristik-karakteristik dari perubahan aktivitas
tersebut tidak dapat dijelaskan dengan dasar kecendrungan-kecendrungan reaksi
asli, kematangan, atau perubahan-perubahan sementara dari organisme.(Learning
is the process by which an activity originates or is changed through reacting to an
encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity
cannot be explained on the basis of native response tendencies, maturation, or
temporary state of the organism) (Hilgard dan Bower,1996,hal 2, di
Bonoma,1987).
Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum,
penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau
dicari pemecahannya oleh mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari
mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Mahasiswa akan
memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain,
mahasiswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang
menjadi pusat perhatiannya (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah
metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara
sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan
pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa.

Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada


delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mengidentifikasi masalah,
Mengumpulkan data,
Menganalisis data,
Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
Memilih cara untuk memecahkan masalah,
Merencanakan penerapan pemecahan masalah,
Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan, dan
Melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori

tingkat berpikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila


pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi
(higher order thinking skills).
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat
penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan
pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi masalah
bagi dosen dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang
relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat
menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya
tujuan pembelajaran.
Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh dosen pada
tahap ini. Walaupun dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi
dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar mahasiswa
melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini
dosen harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai
yang direncanakan. Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBL
adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how.
Setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam
tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan
menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Namun
yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk

memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta


kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas.
PBL jarang terjadi atau berjalan dengan mulus tanpa kerikil-kerikil yang
mengganjal. Resistensi akan muncul dari pertama, pendidik sendiri karena akan
ada yang mrasa terbebankan. Mulai dari proses mengabsorbsi dan memahami apa
dan bagaimana PBL itu, pengembangan kemampuan saat memfasilitasi dan proses
administratif mengerjakan berbagai perangkat pendukung PBL. Kedua, pada
pembelajar. Resistensi akan timbul karena mereka tidak terbiasa merumuskan
sendiri, mencri sendiri dan menyelesaikan masalah yang masih mengambang.
Sedangkan ketiga, bagi institusipun resistensinya tidak sedikit. Yang ditantang
tentu pemimpinnya sendiri. Bagaimana pengadopsian metode belajar mengajar ini
dikaitkan dengan sistem remunerasi, penetapan beban mengajar pada pendidik,
dan juga yang berkaitan dengan pengukuran staf pendidik. Yang jelas, untuk
melaksanakan proses PBL, upaya perubahan akan dihadang masalah.
3.3 Infrastruktur dan Sumber Daya Pengajar dalam Menerapkan Metode
PBL serta perubahan yang diharapkan
Sebelum melaksanakan perkuliahan dengan metode PBL perlu dilakukan
persiapan yang lebih intensif. Dalam perkuliahan dengan metode PBL ada
tiga komponen yang akan bekerja yaitu (1) insitusi, (2) pendidik, dan (3)
pemelajar. Ketiga komponen ini bekerja sesuai peran atau tugas masingmasing untuk mencapai pembelajaran dalam mata kuliah ber-PBL secara
optimal. Perubahan yang bertahap seharusnya dilakukan oleh ketiga
komponen tersebut

Pendidik
Individu pendidik adalah orang pertama yang harus berubah bila
proses pengimplementasian PBL diharapkan dengan baik. Di saat-saat
yang pertama dengan kemampuan yang terbatas dan belum terbiasa

dengan PBL akan menghasilkan kecemasan, ketidakpastian, kekhawatiran,


stress atau panik dari para pendidikdan pemelajar sekaligus. Tetapi
seharusnya pendidik berfikir bahwa inilah yang akan membuat para
pemelajar tertarik termotivasi mendapatkan energi dan merasa tertantang.
Di sisi lain ketidakpastian yang akan memberikan rasa frustasi dan
ketidakmampuan pada pemelajar, harus pendidik kelola sebaik mungkin
sampai ke taraf pemelajar tetap bersemangat. Proses PBL menciptakan
kondisi yang membuat pemelajar belajar beradaptasi dan sekaligus
fleksibel. Fleksibel dan

inovatif

dalam memilih

strategi dalam

memecahkan masalah yang diberikan pendidik. Dalam menyajikan solusi


atas masalah yang diberikan, mereka juga diharapkan bersikap
mempertanyakan pendapat dan alasan temannya baik di satu kelompok
atau kelompok lain. Atas dasar inilah seorang pendidikjuga harus bersikap
yang

sama

dalam

melihat

pendekata

PBL.

Meskipun

dalam

pelaksanaannya akan ada kendala-kendala, ia harus punya perspektif baru


dalam melihat pendekatanini. Ia harus melihat pendekatan ini sebagai
sebuah metode inovatif yang bisa bermanfaat bagi dirinya, pemelajar dan
institusi.
Seorang pendidik haruslah punya keberanian untuk mencoba
pendekatan-pendekatan baru, meskipun tahu itu bukan tanpa resiko.
Perubahan dalam bidang apapun memang tidak mudah, Hee Soo Yin
(2005) mengutip Fullan menjelaskan bahwa ketika ada perubahan yang
inovatif dan unggul dalam pendidikan, kita tidak boleh mengasumsikan
pelaksanaannya akan sulit. Salah satu praktik yang penting diubah adalah
penyeimbangan kekuasaan pendidik dalam menjalankan perannya. Ia tidak
lagi berfungsi sebagai pakar eksklusif atas materi atau manajer yang
otoriter di kelas. Ia lebih banyak memfasilitasi kelas dan sedikit ceramah.
Ini

termasuk

salah

satu

tantangan

yang

paling

berat

dalam

pengimplementasian PBL.
Ching dan Gallow (2005) mengingatkan, bila ingin sukses ber PBL
antusiasme terhadap potensial PBL saja tidak cukup. Pendidik harus
memiliki keinginan untuk berubah secara fundamental dalam praktik

mengajar, punya kemampuan untuk mengelola logistik yang diperlukan


dan memiliki sikap positif terhadap reaksi dan kompetensi siswa.

siswa
Peran siswa adalah mempersiapkan diri untuk belajar dan bekerja secara
kelompok serta berperan aktif dalam pembelajaran. Peran serta siswa yang
dimaksud adalah

seperti

menghadiri

dan

mengikuti

keseluruhan

perkuliahan dan tidak diperkenankan mendrop mata kuliah disaat mata


kuliah tersebut sedang berjalan.

Institusi
Institusi dalam hal ini adalah sekolah atau satuan pendidikan.
Institusi ini akan mendukung pelaksanaan pembelajaran ber-PBL antara
lain: (1) mempersiapkan sarana perkuliahan, perpustakaan, dan alat-alat
laboratorium, (2) menjamin keterlaksanaan perkuliahan dengan mengganti
kuliah yang tak terselenggara dan bila mana diperlukan membentuk tim
dosen pengampu mata kuliah, (3) menyediakan asisten perkuliahan, (4)
mempersiapkan sarana jaringan komputer, dan (5) merekam kehadiran
perkuliahan mahasiswa dalam database sehingga informasinya dapat
digunakan untuk evaluasi pelaksanaan ber-PBL.
Segala bentuk upaya perubahan, selalu menuntut komitmen
pemimpin institusi. Upaya untuk memasarkan gagasan PBL dan upaya
implementasinya juga demikian. Pemimpin institusi harus memberikan
komitmen nyatanya atas upaya yang dilakukan. Dalam PBL, komitmen
pemimpin

harus

ditunjukkan

dengan

penetapan

ukuran-ukuran

keberhasilan implementasi, dukungan anggaran, maupun dukungan


kebijakan-kebijakan. Institusi harus mewaspadai praktik implementasi
PBL yang berhenti sebelum ia sempurna. Institusi haruslah benar-benar
memanfaatkan momentum-momentum yang akan menjadi milestone bagi
upaya perubahan. Ini termasuk dengan mengubah juga struktur dari sistem
yang ada.

Dari sisi yang lain, kita tidak bisa berharap hasil dari pengimplementasian
ini akan terlihat dalam waktu cepat. Selain kecakapan para pendidik, sebenarnya
ukuran keberhasilan dari implementasi ini akan terlihat dalam waktu cepat. Selain
kecakapan para pendidik, sebenarnya ukuran keberhasilan dari implementasi
program

ini

harus

terlihat

dampaknya

pada

pencapaian

siswa

atau

pengembangannya. Kecakapan pengajar yang satu juga akan dapat menjadi model
bagi pengajar lainnya. Dengan berbedanya situasi dan tantangan yang dihadapi
oleh instiyusi dan pendidiknya, kemungkinan berbedanya implementasi PBL tidak
terhindarkan. Setelah pembahasan diatas banyak upaya perubahan akan brujung
pada dua hal penting yakni pengembangan staff dan pengmbangan institusi. Pada
pengembangan staff harus dipikirakn penyertaan para pihak yang berpengalaman
untuk mempercepat upaya memahirkan para pendidik.

Sedapat mungkin

manajemen sekolah secara rutin mengirim orang-orang tertentu mengikuti


seminar atau lokakarya tentang PBL atau yang berhubungan dengan PBL.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam pelaksanaan PBL banyak sekali terdapat permasalahan.
Permasalahan tersebut dapat berasal dari pendidik, peserta didik dan juga
institusi. Paradigma lama yang telah terbentuk didalam pembelajaran
selama ini sangat sulit digantikan, untuk itu harus diadakan perubahan
oleh semua pihak agar PBL dapat berjalan dengan lancar. Yang pertama
kali harus diubah adalah pendidik baik secara internal yaitu paradigma
berfikir dan eksternal yaitu materi dan penyajiannya di kelas. Dibutuhkan
kerjasama yang baik dan perubahan yang berarti antar komponen yang
terlibat dalam PBL agar proses tersebut berjalan lancar dan sempurna.

Você também pode gostar