Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis
7. Pemeriksaan
Penunujang
Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah erupsi kulit yang
menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna merah, bagian tengah pucat,
memucat bila ditekan, disertai rasa gatal, dapat berlangsung akut, khronik atau berulang.
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) = urtikaria lesi
jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas, tidak gatal, sering dengan rasa nyeri
dan terbakar.
Urtikaria (U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas hidup
penderita.
Onset: berulang/lamanya (durasi), lokasi
Ditanya mengenai faktor pencetus
Makanan, Obat-obatan, zat aditif, hobi
Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis
Faktor-faktor eksaserbasi serangan
Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain
Gambaran yang khas, bentuk lesi tipe urtikari linier (dermografisme), Urtika kecil
dikelilingi daerah eritem (urtikaria kolinergik), pada ekstremitas inferior (urtikaria
vaskulitis, papular urtikaria), terbatas pada daerah paparan (urtikaria dingin/ solar)
Anamnesis
PemeriksaanFisik
Urtikaria
Angioedema
Urtikaria Anak :
Angioedema:
Eritema multiforme
Selulitis
Urtikaria pigmentosa
Erisipelas
Gigitan serangga
Dermatitis kontak
Eritema Anulare
SLE
Infantile Acute Hemoragic edema
Kasus bedah abdomen
Purpura Henoch Schonlein, pitriasis
Reaksi anafilaktik laring
rosea
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Pemeriksaan dasar
Darah perifer lengkap
LED
Urinalisis
Fungsi hati
Test
Urticaria kolinergik
Dermografisme
Solar urticaria
Cold urticaria
HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH (antigenik &
fungsional)
8. Tatalaksana
9. Edukasi
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
fisik
4. Bentuk Klinis
(Klasifikasi)
Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset mendadak dan
biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol, kemerahan, gatal, angioedema,
stridor, wheezing, nafas pendek, muntah, diare atau syok yang mengancam
kehidupan.
1. Terdapat berbagai gejala yang timbul mendadak: gelisah, lemah, pucat, sesak,
pingsan, mual, muntah, nyeri perut, suara serak, sesak nafas, batuk kering, pilek,
hidung tersumbat, mengi, gatal pada mulut dan muka, timbul bentol di kulit,
pembengkakan pada mata
2. Penyebab anafilaksis yang dicurigai: makanan, obat-obatan, gigitan serangga
atau transfusi
3. Onset setelah paparan agen penyebab (onset yang disebabkan oleh agen
penyebab yang diinjeksikan lebih cepat daripada yang dicerna)
4. Penyakit penyerta (penyakit kardiovaskuler, asma dan penyakit saluran nafas
yang lain, rhinitis alergi, eksim, penyakit psikiatrik, mastocitosis)
5. Obat-obatan lain yang dikonsumsi (ACE inhibitor, beta bloker)
Masalah yang mengancam jiwa:
o Airway: edema saluran nafas, suara serak, stridor
o Breathing: nafas cepat, wheezing, kelelahan, sianosis, SpO2 <92%,
kebingungan
o Circulation: pucat, dingin, tekanan darah turun, pingsan, mengantuk/coma,
takikardi atau nadi tidak teraba.
Adanya urtikaria dan angioedema.
Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus dimonitor status
respirasi dan kardiovaskuler
Kulit
Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor erecti
Reaksi lokal
Oral
Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah, rasa seperti
logam di mulut
Saluran Nafas (organ syok utama)
Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia, disfonia, serak, batuk
kering, gatal pada saluran telinga luar
Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing
Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin
Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran nafas atas
Stridor bila saluran atas terkena
Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak
Kardiovaskuler
Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah
Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume intravaskuler dan
hipotensi
Gastrointestinal
Mual, kolik, muntah, diare
Diagnosis ditegakkan secara klinis, perlu dicari riwayat penggunaan obat, makanan,
gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan
terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding.
Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis
7. Pemeriksaan
penunjang
8. Tatalaksana
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
medis
Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya makanan, obatobatan dan lain-lain.
Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa anak tersebut
menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan dan lain-lain.
Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan tentang cara
pemakaiannya
Dubia
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Respon klinis baik bila :
a. Keadaan umum : Kompos Mentis
b. Tanda vital stabil
c. Tanda tanda komplikasi tidak ada
1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to Drugs.
Chapter 151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Tatalaksana
9. Edukasi
10. Komplikasi
Dan Prognosis
Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis,
bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu
2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan pengobatan
terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-15%. Prognosis lebih
buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Klinis: tanda vital, luas lesi pada kulit, mukosa dan mata, nafsu makan
Laboratoris: darah perifer, elektrolit, albumin, urinalisis
14-21 hari
1. Akin AAP, Takumansang DS. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam:Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal 307-11
2. Cantani A. Allergic and pseudoallergic reactions to drugs. Dalam: Cantani A.
Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Springerlink.Berlin 2008. 1166-70.
3. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).In: Wolff K, Goldsmith KA, Katz KI,
Gilchrest KA, Paller AS, Leffell DJ editors. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Book Co.2008. 349-55
4. Morelli JG. Vesicobullous disorder. Chapter 653. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.
Philadelphia WB Saunders Co 2008.
5. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan
Penunujang
Sindroma klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang
ditandai dengan lesi kulit spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau
artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan
nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.
Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas (terutama di
ekstremitas bawah)
Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
Apakah ada BAK merah, nyeri kepala
Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya
trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100%
kasus) purpura lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuningkuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas
(punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan
intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong dan
ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau perdarahan
gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.
Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak spesifik,
jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat, kadar komplemen
normal, kadar IgA dalam darah mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung
darah. Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding
pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri komplikasi.
Purpura henoch schonlein
Penyakit Kawasaki
Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP
Laboratorium
1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura yang
disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia. LED dapat meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam
darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan kreatinin
klirens
4. Feses: ditemukan darah
8. Tatalaksana
9. Edukasi
Pencitraan:
Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen
1. Suportif dan simptomatis:
Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti asetaminofen atau ibuprofen.
Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol
Nyeri perut: makanan lunak
2. Kortikosteroid
diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran cerna,
purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif (sindroma nefrotik,
kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang hebat, gangguan SSP, dan
perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7 hari +
siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 100-200 mg (oral) selang sehari, siklosfosfamid
100-200 mg selama 30-75 hari
- Tappering off predinon 25 mg/bulan terapi selasai minimal dalam 6
bulan.
Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis: kortikosteroid oral jangka
pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 5-7 hari kemudian
diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu.
Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari
3. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
4. Jika akut abdomen konsul bedah.
5. Monitoring:
Tekanan darah
Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
Purpura/lesi kulit baru yang timbul
Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses
Menjelaskan pada penderita/keluarga:
Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal penurunannya, efek
samping dan cara memakan obat
Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
SSP : defisit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50% kasus
dapat rekuren.
Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Tanda vital stabil, terutama tekanand arah normal
Gejala yang mengganggu menghilang: nyeri perut, nyeri sendi, lesi kulit, BAB hitam
Perbaikan dari hasil-hasil laboroatorium: LED, leukosit, fungsi ginjal, urinalisis dan
pemeriksaan feses
10-14 hari
1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA, Munazir Z,
Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke
2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.
Pennsylvania WB Saunders. 2010.
4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2010
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
fisik
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai satu atau
lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,
bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.
Demam (onset, tipe demam, riwayat pengobatan sebelumnya)
Astenia
Kelainan kulit:
- Onset
- Jenis ruam: butterfly rash, lupus diskoid lesi vaskulitis kulit fotosensitif, alopesia,
non sikatrik, sindroma Raynaud.
Kelainan selaput mukosa : sariawan yang tidak nyeri
Kelainan sendi: nyeri/ pembengkakan sendi
Kelainan ginjal : edema, nyeri kepala, pandangan mata kabur, BAK merah
Manifestasi neuropsikiatrik : kejang, penurunan kesadaran, perubahan kesadaran
Manifestasi hematologik: pucat, perdarahan
Kelainan kardiovaskuler : sesak nafas
Kelainan saluran nafas : sesak nafas, batuk darah
Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : nyeri perut, BAB hitam
Riwayat pengobatan sebelumnya (bila ada), jenis obat yang dimakan, keteraturan
makan obat,
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau bersamasama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim adalah :
Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapular dengan
squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping hidung,
pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbita, frontal atau darah
telinga luar.
- Lupus diskoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual, makuloeritematosa
kulit dan pulpa jari jemari).
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak, kulit
fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas, tenosinovitis,
artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik, gagal
ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial, glomerulonefritis
proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus, glomerulonefritis membranosa.
Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat berhubungan
dengan kelainan organik serebral.
Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam (mediatinum,
intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia: normokrom normositik
dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat disertai skizositosis dan
trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
banding
7. Pemeriksaan
penunjang
8. Tatalaksana
Nefritis lupus
Cerebral lupus
Tergantung gejala klinis yang pertama muncul:
ARJ
Demam tifoid
AIHA
Demam rematik
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
Analisis darah tepi lengkap
Sel LE
antibodi Antinuklear (ANA)
Anti ds DNA (anti DNA natif)
Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll bila ada)
Titer komplemen C3, C4 dan CH5
Titer IgM, IgG dan IgA
Krioglobulin
Masa pembekuan
Uji coombs
Elekroforesis protein
Kreatin dan ureum darah
Protein urine (total protein dalam 24 jam)
Biakan kuman, terutama dalam urine
Foto rontgen dada.
A. Obat-obatan sistemik (pilihan obat-obatan dibawah tergantung indikasi dan
ketersedian obat):
1. Anti inflamasi non steroid
Indikasi: manifestasi ke kulit, sendi. Pilihan:
a. Salisilat:
75-90 mg/kg/hari peroral terbagi 3-4 dosis
Diberi bersamaan makanan
Meningkatkan SGOT & SGPT
Kontraindikasi: trombositopenia, gangguan hemostasis
b. Naproksen: 10-20 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis
c. Sodium tolmetin: 20-30 mg/kg/hari
2. Antimalaria
a. Untuk dominan kelainan kulit/mukosa dengan atau tanpa artritis dan
gejala konstitusional
b. Dosis 6-7 mg/kg/hari terbagi 1-2 dosis selama 2 bulan dilanjutkan 5
mg/kg/hari (max. 300 mg/hari)
c. Efek toksik ke retina (reversibel) kontrol oftalmologi setiap 6 bulan
3. Steroid
a. Prednison oral dosis rendah (0,5 mg/kg/hari)
Diberikan 2/3 dosis pagi, 1/3 dosis siang interval 8 jam
Untuk gejala konstitusional berat, demam berkepanjangan,
kelainan kulit, pleuritis, atau bersamaan dengan metil
prednisolon dosis tinggi
b. Prednison oral dosis tinggi (1-2 mg/kg/hari, max 60-80 mg/kg/hari
dibagi 3-4 dosis selama 3-6 minggu, dilanjutkan tapp of selama 1-2
minggu)
Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis akut yang berat,
trombositopenia (<50.000/mm3) tanpa perdarahan dan
gangguan koagulasi, lupus eritematosus kutan berat sebagai
bagian terapi inisial lupus diskoid
B.
C.
D.
E.
4. Imunosupresan
1. Siklofosfamid:
Oral 1-3 mg/kg/hari
Parenteral: awal 500-750 mg/m2 LPT maksimum 1 g/m2/hari
o Pilih dosis terendah untuk leukopenia , trombositopenia,
kreatinin >2 g/dl) maksimum 1 g/m2/hari.
o Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan D5%
dalam NaCl 0,225% (D5 NS) selama 1 jam bersama
hidrasi 2L/m2/hari perinfus selam 24 jam dimulai 12 jam
sebelum infus siklofosfamid.
o Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan
peningkatan 250 mg/m2/bulan sesuai dengan toleransi
selam 6 bulan selanjutnay tiap 3 bulan sampai 36 bulan
total pengobatan.
2. Metotreksat.
Dosis 10-20 mg/m2 peroral sekali seminggu diberikan bersama
asam folat
Diberikan pada trombositopenia (trombosit <50.000/mm3)
jangka panjang setelah tercapai inisial metil prednisolon dosis
tinggi, poliartritis berat bila dosis rumatan kortikosteroid> 10
mg/hari, LE kutan berat.
Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:
betametason 0,05% atau
flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya hidrokortison
Fisioterapi
Diindikasikan bila ada artritis.
Supportif
1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka panjang harus disertai
suplemen Ca dan vitamin D
2. Dosis kalsium karbonat:
<6 bulan: 360 mg/hari
6-12 bulan: 540 mg/hari
1-10 tahun: 800 mg/hari
11-18 tahun: 1200 mg/hari
3. Dosis vitamin D (hidroksikolkalsoferol)
BB<30 kg: 20 mcg po 3 kali/minggu
BB>30 kg: 50 mcg po 3 kali/minggu
Pencegahan
1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari
Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam
09.00/10.00-15.00/16.00
Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata hitam
Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
9. Edukasi
11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator medis
Diet tinggi Ca
Vitamin D adekuat
Olahraga
Edukasi kepada penderita dan keluarga agar mengerti penyakit dan
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat pemakaian
imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.
Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat defisiensi imun, juga
berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan.
Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.
Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa 10
tahun sebesar 90%.
Penyebab kematian akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia autoimun infeksi.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Klinis: Tanda vital, lesi kulit, edema, pucat, peradangan pada sendi
Laboratoris: darah perifer, urinalisis (proteinuria, hematuria) fungsi ginjal, elektrolit,
albumin, CRP
Tergantung perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul: 15-30 hari
1. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.
2. Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus erithematosus. Chapter
157. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2010
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,Harmoniati ED,
Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid II.
Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesi. 2011. Hal: 175-83.
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak
1. Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
8. Tatalaksana
9. Edukasi
10. Komplikasi
Prognosis
11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
medis
15. Daftar
kepustakaan
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
fisik
4. BentukKlinis
(Klasifikasi)
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): disebabkan oleh virus HIV, yang
menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem imun tubuh.
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang menunjukkan
adanya sindrom defisiensiimun seluler sebagai akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
Riwayat penyakit: demam berulang/ berkepanjangan, gagal tumbuh, diare yang
berkepanjangan, kandidiasis oral, pnemonia yang persisten, infeksi bakteri
berulang
Faktor risiko orang tua untuk terinfeksi HIV: riwayat narkoba suntik, pasangan
penderita HIV, sering berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pernah
mengalami operasi/tindakan, pekerjaan orang tua
Riwayat kelahiran, ASI, riwayat pengobatan ibu, kondisi neonatal
Gejala awal tidak nyata, dapat hanya ditemukan limfadenopati,
hepatosplenomegali
Gagal tumbuh
Berat badan turun progresif
Diare persisten
Kandidiasis oral
Otitis media kronik
Pneumonia interstitial
Pembengkakan parotis kronik
Gejala infeksi oportunistik: tuberkulosis, herpes zooster generalisata, pneumonia
P. jiroveci (carinii) , pneumonia berat
Kalsifikasi klinis:
a. Klasifikasi CDC :
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS
b. Klasifikasi menurut WHO:
1: asimptomatik
2: ringan
3: sedang
4: berat
Klasifikasi Imunologis:
a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisiensi
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
>5 th(sel/mm3)
>500
350-499
200-349
<200 atau<15%
TLC
CD4+
Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Tatalaksana
<11
bln
(sel/mm3)
<4000
<1500
5 th (sel/mm3)
<2000
<200
Stadium klinis
Imunologis /CD4+
Semua diterapi
Stadium 3 dan 4 (tangani dulu Semua diterapi
IO)
Stadium 1 dan 2
CD4+ <25%: terapi
Dosis
Lamivudine (3TC)
Stavudine (d4T)
Tab 200 mg
Efavirenz (EFV)
Cap: 50mg,
600 mg
dasar
Evaluasi klinis
BB&TB
Status nutrisi & kebutuhannya
Kebutuhan CTX & kepatuhan
berobat
Konseling
mencegah
pemakaian narkoba, penularan
PMS & kehamilan
Pencegahan
IO
dan
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit
SGPT
CD4+% atau absolut
X
X
X
X
Bulan
1
X
X
X
X
Bulan
2
X
X
X
X
Bulan
3
X
X
X
X
Bulan
6
X
X
X
X
Tiap
6 bln
X
X
X
X
X
X
X
X
X
9. Edukasi
10. Komplikasi
dan
Prognosis
Item
dasar
X
X
X
Bulan
1
X
X
X
Bulan
2
X
X
X
Bulan
3
X
X
X
Bulan
4
X
X
X
Tiap 2-3
bulan
X
X
X
Evaluasi klinis
BB &TB
Perhitungan dosis
ART
Obat
lain
bersamaan
Kepatuhan minum
obat
Laboratorium
Hb dan leukosit
Kimia
darah
lengkap
Tes
kehamilan
pada remaja
CD4+%
Bila ada
gejala
X
X
X
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
medis
15. Taksiran lama
perawatan
16. Daftar
kepustakaan
Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak diagnosis
AIDS ditegakkan.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Klinis: tanda vital, sesak, pucat, BAB, muntah, toleransi makan obat-obatan, status
nutrisi
Laboratoris: darah perifer
14-30 hari
1. Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414
2. Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency Syndrome
(Human Immunodeficiency Virus). Bab 273.Dalam: Behrman N,
Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB
Saunders Co 2008.
3. Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada bayi dan anak.
Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management.
Unit Pendidikan Kedokteran Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FK UI.
Jakarta 2009
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jilid 2. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2011.
5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti retroviral pada anak
di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak
Diabetes Melitus
Kode ICD : E10.41
1. Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
- Penilaian Antropometri
- adanya sindroma lain
- acantosis nigrans (+/-)
4. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan:
Anamnesis
Gejala klinis
Laboratorium
Diabetes simptomatis/klinis
Gejala klasik: polidipsia, poliuria, polifagia, berat badan turun.
Gula darah puasa > 120 mg/dl atau Gula darah 2 jam PP > 200
mg/dl atau Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
Diabetes ketoasidosis
Hiperglikemia, ketonemia, asidosis, ketonuria, glukosuria.
Diabetes asimtomatis/prediabetes
Curiga bila terdapat 2 gejala pada nomer 1b OGTT
Tes autoantibodi insulin (AAI) + HLA+ ICA+L(Islet Cell
Antibody).
5. Diagnosis
DM tipe I
DM tipe II
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
kadar gula darah, bila perlu OGTT (bila meragukan), gula urin /
reduksi, ketonemia urin, C peptide, HbA1c, ICA/IAA (kalau
mampu).
Mencegah komplikasi
Menghilangkan gejala klinis
Pertumbuhan dan perkembangan yang normal (fisik dan emosi)
Mencapai harapan hidup yang sama dengan bukan penderita
diabetes
9. Edukasi
10. Prognosis
Ib
12. Tingkat
Rekomendasi
15. Daftar
kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen IKA RSMH
Diabetes Ketoasidosis
Kode ICD :E13.10
1. Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
Darah.
Kimia darah: glukosa darah, serum elektrolit, fungsi ginjal
Darah tepi lengkap.
Analisis gas darah.
Urin: keton urin, reduksi urin, poliuria (> 900 ml/m2/hari).
8. Terapi
berusia kurang dari 5 tahun dan KAD dengan kecurigaan edema serebri
sebaiknya dirawat di ICU.
Fase akut
a) Resusitasi cairan
Tentukan status hidrasi dan defisit cairan dalam 48 jam (lihat tabel)
Dehidrasi
Ringan
Sedang
Berat
Bayi
5%: 50 ml/kg
Anak
3%: 30 ml/kg
6%: 60 ml/kg
9%: 90 ml/kg
10 kg pertama
200 ml/kg
10 kg berikutnya
+ 100 ml/kg
Penambahan BB selanjutnya
+ 40 ml/kg
Jenis cairan yang digunakan adalah cairan fisiologis yang isotonis (NaCl
0,9% atau RL) dan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi.
Lakukan balans cairan setiap 4 jam. Bila ada penurunan kesadaran perlu
dipasang kateter urin.
b) Pemberian insulin.
Berikan regular insulin atau Rapid Insulin 0,1 iu/kgBB/jam secara
intravena (perdrip) dan diberikan secara terpisah dengan jalur infus untuk
resusitasi cairan
50 iu insulin dimasukkan dalam 500 ml NS 0,9% atau 10 I insulin
dalam 100 ml NS 0,9%
Berikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam
Kadar gula darah tidak boleh turun > 100 mg/dL per jam
Jumlah cairan untuk pemberian insulin ini diperhitungkan juga, sehingga
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah
Kritis
Fase Subakut
Pemberian insulin secara intravena dapat diganti secara subkutan apabila
Penderita sudah tidak mengeluh nyeri perut
Kedaruratan asidosis telah teratasi (pernafasan Kussmaul tidak ada,
kadar HCO3> 15 mEq/L).
Pemberian nutrisi
Edukasi
Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita DM dan
lingkungan agar tercapai kontrol metabolik yang baik dan mencegah
terjadinya komplikasi DM (KAD).
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
III
C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
fisik
Feeding problem
Constipation
Inactivity
Hypotonia
Umbilical hernia (>0,5)
Enlarge tongue
Dry skin
Skin mottling
Open posterior fontanella
Typical facies
1
1
1
1
1
1
1,5
1
1,5
3
c.
Catatan: goiter jarang dijumpai (tetapi bayi dengan goiter sering didapat
pada ibu Grave yang diobati dengan PTU).
5. Kriteria
Diagnosis
6.Diagnosis kerja
7. Diagnosis
Banding
8. Pemeriksaan
Penunjang
9. Terapi
10. Edukasi
TSH , T4/fT4
fT4 , TSH (suspek pituitary/sekunder hipotiroid, isolated TSH
deficiency atau tersier hypothyroid) evaluasi ulang fT4
T4/fT4 normal, TSH evaluasi ulang 2-3 minggu T4/fT4 , TSH
(immature feedback mechanism).
Catatan: fT4 lebih disarankan dibanding T4
Hipotiroid kongenital
Laboratorium: TSH, free T4
i. Untuk skrining bisa dimulai dengan pemeriksaan TSH dulu
ii. Bila TSH > 20 kemungkinan hipotiroid besar
iii. TSH >100 95% merupakan hipotiroid walaupun gejala masih
negatif
Radiologi: bone age, foto toraks, thyroid scanning (atas indikasi)
Lain-lain: BERA / tes pendengaran, EMG (Elektromiografi) atas
indikasi
Berikan hormon tiroid: Tiroksin (0,1 mg) dengan dosis awal:
Usia: 0 - 3 bulan
8 10 g/kg BB/hari
3 6 bulan
7 11 g/kg BB/hari
6 12 bulan
6 8 g/kg BB/hari
1 5 tahun
4 6 g/kg BB/hari
kemudian dosis ditingkatkan atau diturunkan tergantung evaluasi
klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Bila terdapat kelainan jantung atau pada hipotiroid berat (dengan
miksedema) dosis dimulai dengan dosis rumatan dan
ditingkatkan secara bertahap tiap 5 hari sampai tercapai dosis
optimum.
Pencegahan : Skrining Hypothyroid saat bayi baru lahir (usia 1 2
hari)
11. Prognosis
12. Tindak
lanjut
13. Tingkat
Evidens
14. Tingkat
Rekomendasi
15 Penelaah
Kritis
16. Indikator
Klinis
17. Daftar
kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen IKA RSMH
2. Anamnesis
3. Kriteria
Diagnosis
4. Diagnosis
Kerja
5. Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan penunjang
T4 atau fT4 , T3 , TSH
Uptake RAI naik 34 - 40%
Pada saat sakit T3 meningkat (merupakan tes terbaik untuk
skrining)
Ada thyroid stimulating Ig, TRAb.
Hipertiroid
Neonatal/kongenital: transplacental TSH receptor stimulating
immunoglobulin dari ibu yang menderita penyakit Grave (bersifat
transien)
Didapat: penyakit Grave / tirotoksikosis autoimmun (kasus terbanyak),
fungsional adenoma, tiroiditis subakut, tumor hipofise yang
memproduksi TSH atau hipofise resisten thyroxine.
Laboratorium fungsi tiroid
USG tiroid dan skintigrafi kalau perlu
EKG bila perlu
Pemeriksaan imunologi (bila fasilitas ada)
6.Terapi
remisi
Persiapan:
Sebelum pembedahan pasien harus tirah baring dengan diet
cukup 1-3 minggu Pra pembedahan hingga 1 minggu pasca
bedah diberi larutan KY jenuh 10 tetesan untuk mencegah
timbulnya thyroid storm
Thyroid Storm keadaan darurat
Terapi :
Sodium iodida iv 1-2 gram
Dexamethason
Propanolol
Kontrol hipertermi dan cairan (infus)
Setelah tiroidektomi perlu observasi
Hipotiroid akibat reseksi berlebih (harus diberi hormon tiroid
seumur hidup)
Tirotoksikosis berulang karena reseksi tiroid kurang
Hipoparatiroid (kelenjar paratiroid secara tidak sengaja
terambil).
c) Ablasi Terapi dengan Radioactive Iodine (RAI)
Diindikasikan pada tirotoksikosis rekuren setelah pembedahan
Digunakan 131 I atau 123 I (14)
Efek biologi dari 131I adalah partikel radiasi necrosis dan
kegagalan replikasi dari folikel sel yang tidak dirusak.
Sasaran terapi adalah membuat euthyroid atau hipothyroid .
Hipotiroid biasanya terjadi dalam 6 bulan-satu tahun (10%-20%)
dan bisa transien atau permanen sehingga perlu tiroksin
sepanjang hidupnya
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
7. Prognosis
8.Edukasi/Tindak
lanjut
9.Tingkat
Evidens
10. Tingkat
Rekomendasi
11. Penelaah
Kritis
12. Indikator
Klinis
13. Daftar
kepustakaan
C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
-
pencegahan komplikasi
normalisasi fungsi tiroid
optimalisasi tumbuh kembang
1. Beck-Pecoz P, Persani L, La Franchi S: Safety of medications and
hormons used in the treatment of pediatric thyroid disorders.
Pediatric endocrinol Rev 2004;2 (suppl 1) 124-133
2. Dallas JS, Folley TP Jr.Hyperthyroidism: inlifshitz F (ed): Pediatric
Endocrinology, ed5 New York, Informa Health Care 2007, pp 415442.
3. Hung W, Sarlis NJ: Autoimmune and non-Autoimmune
hyperthyroidism in pediatric patients: a review and personal
commentary on management. Pediatr Endocrinol Rev 2004;2:21-38.
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH
Perawakan Pendek
Kode ICD : R.62.52
1. Definisi
2. Anamnesis
Ayah
2
TB anak perempuan = (TB ayah 13 ) + TB Ibu
2
Potensi tinggi genetik = MPH 8,5 cm
(Potensi tinggi genetik adalah rentang nilai tinggi badan
akhir seseorang akibat dari kedua orang tua biologis).
3. Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8.Terapi
dwarfism).
Perawakan pendek idiopatik
Tidak dijumpai kelainan.
a) Lakukan pemeriksaan penunjang:
Lab rutin ( DL, UL, FL ) untuk mencari kelainan
sistemik
Pemeriksaan umur tulang (bone age)
b) Pemeriksaan lanjutan (atas indikasi):
Fungsi tiroid (free T4, TSH)
Analisis kromosom (pada wanita): untuk diagnosis
sindrom Turner
Uji stimulasi/provokasi hormon pertumbuhan
(pemeriksaan hormon pertumbuhan secara acak tidak ada
manfaatnya sama sekali dan hasilnya tidak bisa
diinterpretasikan).
Perawakan pendek variasi normal tidak memerlukan
pengobatan
Perawakan pendek kelainan patologis terapi sesuai
dengan etiologinya :
Nutrisi
Penyakit organik
Hormonal
Mekanikal/pembedahan
Terapi hormon pertumbuhan (dilakukan atas advis dan
pengawasan dokter di sub endokrinologi anak):
Indikasi :
Bedah
Pada kasus tertentu misalnya skeletal dysplasia diperlukan
koreksi mekanik/ pembedahan (bone lengthening), juga pada
kasus tumor.
Suportif.
Psikososial
Ad Vitam: bonam
9.Prognosis
10.Edukasi
11.Tingkat
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis
Monitoring terhadap:
Terapi: pertambahan tinggi badan dan efek samping obat
Tumbuh kembang
C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
13.Indikator Medis
1.
14.Daftar
kepustakaan
2.
3.
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH
Algoritme
Perawakan Pendek
Anamnesis / Pemeriksaan Fisik
Dismorfik
Tampak Sakit
Penyakit Kromosom
Hambatan Pertumbuhan
Intrauterine/IUGR
Penyakit Sistemik
Disproporsi Tubuh
Penyakit Tulang
UT > UK
UT < UK
Periksa faal
tiroid
Idioptik, periksa
faal tyroid,
pubertas dini
T4 /N, TSH
Normal
Hipotiroidisme Primer
Rendah
UT = UK
Familial genetik
T4 , TSH
ITT (Tes GH)
< 10 ng/ml
Hipopituitarism?
Normal
Coba beri GH
Defisiensi GH
Respon (+)
Respon (-)
GH Bio-inactive
Laron
Dwarfism
(Idiopatik)
GH Bio-inactive
1.Definisi
2.Anamnesis
3.Pemeriksaan fisik
4.Kriteria Diagnosis
Pubertas prekoks
Umur tulang maju
Pertumbuhan pesat
Pada perempuan: polikistik ovarii hirsutisme, menstruasi
tidak teratur, perawakan pendek, fertilitas menurun.
h. Heterozigot
Gejala kelebihan androgen
5.Diagnosis Kerja
6.Pemeriksaan
Penunjang
7.Terapi
1) Terapi Hormonal
Prinsip: mencegah terjadinya insufisiensi adrenal
a. Pada keadaan akut HAK Salt Wasting
Monitoring Terapi
Pemberian kortisol seumur hidup.
Evaluasi 17-OHP dan Astrostenedion tiap 2 bulan-1
tahun dan pemeriksaan plasma renin activity secara
periodik.
Hidrokortison 10-20 mg/m2/hari.
Alternatifnya Prednison 5-7,5 mg/m2/hari atau
Deksametason
0,25-0,5
mg/m2/hari
dengan
pemantauan.
Evaluasi terapi dengan memantau pertumbuhan,
umur tulang, serum 17-OHP, androstenedion, dan
testosteron.
b. Kondisi Khusus
Pada pembedahan atau trauma, muntah hebat, dan
diare, pasien dirawat dan obat diberikan secara IM.
Pada kegawatan / infeksi, dosis dapat ditingkatkan 23 kali untuk beberapa hari.
8.Prognosis
9. Edukasi
10.Tingkat Evidens
2) Terapi pembedahan
3) Konseling psikiatri
4) Konseling genetik
Ad Vitam: dubia ad Bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
Kepatuhan pengobatan, monitoring ketat terhadap timbulnya
komplikasi
III
11.Tingkat
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis
13.Indikator Klinis
- minimalisir komplikasi
- kadar elektrolit darah normal (tipe klasik)
- optimalisasi tumbuh kembang
Daftar kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH
1. Definisi
2.Anamnesa
3.Pemeriksaan
fisik
4.Kriteria
Diagnosis
5.Diagnosis
Kerja
6.Diffrential
diagnosis
7.Pemeriksaan
Penunjang
8.Terapi
9.Prognosis
10.Tingkat
Evidens
11.Tingkat
Rekomendasi
12.Penelaah
Kritis
13.Indikator
Klinis
14.Daftar
kepustakaan
2.
3.
4.
5.
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH
Palembang,
Juli 2014
Ka Divisi Endokrinologi
SINDROMA TURNER
Kode ICD : Q96.8
Definisi
Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik
Obstruksi limfatik
Keadaan Fisiologis
Gangguan pertumbuhan
skeletal
Defek kromosom sel
germinal
Keadaan Sekunder
Insiden (%)
Perawakan pendek
100
Leher pendek
Rasio segmen atas dan bawah
abnormal
Cubitus vagus
Metakarpal pendek
Deformitas madelung
Skoliosis
Genu valgum
Muka khas dengan
mikrognati
Palatum arch tinggi
Webbed neck
Low posterior hairline
Rotated ears
Edema pada tangan/tungkai
Displasia kuku
Dermatoglipi yang khas
40
Strabismus
97
47
37
7,5
12,5
35
60
36
25
42
Sering
22
13
35
17,5
Ptosis
Nevi pigmentosa multipel
11
26
Gagal tumbuh
100
Otitis media
73
Kegagalan gonad
90
Kriteria
Diagnosis
Diagnosis
Kerja
Diferential
diagnosis
Pemeriksaan
Penunjang
Terapi
Infertilitas
Gonadoblastoma
Anomali kardiovaskuler
Hipertensi
Anomali renal dan
renovaskuler
Tiroiditis Hashimoto
Hipotiroid
Alopesia
Vitiligo
Kelainan gastrointestinal
Intoleransi karbohidrat
95
5
55
7
39
34
10
2
2
2,5
40
Prognosis
Tingkat
Evidens
Tingkat
Rekomendasi
Penelaah
Kritis
Indikator
Klinis
Daftar
kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH
2.Anamnesa
3.Pemeriksaan Fisik
4.Kriteria Diagnosis
5.Diagnosis Kerja
Sinekia Vagina
6.Diagnosis Banding
Atresia Vagina
7.Pemeriksaan
Penunjang
8.Terapi
9.Edukasi
10.Tingkat Evidens
11.Tingkat
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis
13.Indikator Klinis
14.Daftar
kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH
1.Definisi
2.Anamnesis
3.Pemeriksaan Fisik
4.Kriteria Diagnosis
5.Diagnosis
6.Diagnosis Banding
Testis ektopik
Testis retraktil
DSD
7.Pemeriksaan
Penunjang
8.Terapi
9.Tindak
Lanjut/Edukasi
(Pediatric Health
Promotion)
10.Prognosis
11.Tingkat Evidens
12.Tingkat
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis
14.Indikator Medis
1.
15.Daftar
kepustakaan
2.
3.
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
Kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi dengan feses cair atau
lembek dengan/tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali atau lebih sehari,
berlangsung kurang dari 14 hari, kurang dari 4 episode/bulan.
Perubahan konsistensi feses menjadi lebih lembek/cairdan frekuensi defekasi lebih
seringmenurut ibu
Frekuensi BAB: 3 kali atau lebih, konsistensi feses cair atau lembek (konsistensi feses
cair tanpa ampas walaupun hanya sakali dapat disebut diare), ada tidaknya darah dan
atau lendir, jumlah feses.
Ada tidaknya muntah, gejala-gejala klinik lain (batuk-pilek, panas, kejang, dan lainlain), riwayat masukan cairan sebelumnya, minum lahap atau malas minum.
Tanda-tanda dehidrasi, komplikasi, penyakit penyulit (bronkopneumoni, bronkiolitis,
malnutrisi, ensefalitis, meningitis, penyakit jantung dan dekompensasi kordis), dan :
keadaan umum (gelisah, cengeng, rewel, letargi, tampak sakit berat), frekuensi nadi,
suhu, tekanan darah, frekuensi nafas (tanda asidosis atau adanya penyakit penyulit).
Pemeriksaan yang meliputi keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan
abdomen, ekskoriasi pada bokong, dan manifestasi kulit. Penting untuk mengukur berat
badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan,
kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya
1. Diare kurang dari 14 hari
2. Ada tidaknya darah dalam feses
3. Tanda-tanda dehidrasi (keadaan umum gelisah atau letargi, kelopak mata cekung,
minum lahap atau tidak mau, turgor kembali dibawah 1 detik atau 1 samapi 2 detik atau
lebih dari 2 detik)
Diare akut dehidrasi (derajat dehidrasi dibagi menjadi: tanpa dehidrasi, ringan sedang,
dan berat)
Diare akut dehidrasi (atau diare cair akut dehidrasi)
Disentri dehidrasi
Diare prolong dehidrasi
Diare akut dengan penyulit (BP, bronkiolitis, decompensasi kordis, malnutrisi berat,
ensefalitis, dan menengitis)
Darah rutin, feses rutin, dan urin rutin atas indikasi
Elektrolit dan atau gas darah atas indikasi
1. Rehidrasi
2. Obat-obatan
3. Diet
4. Edukasi
Rehidrasi (Terapi cairan dan elektrolit) :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
1. Diare akut murni (diare cair akut).
2. Diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Ad 1. Diare akut murni
Diare akut dehidrasi ringan sedang menggunakanoralit pada dengan dosis 75 ml/kgBB/4
jam, jika gagal upaya rehidrasi oral (URO) mengunakan IVFD dengan cairan ringer
laktat dosis 75 ml/kgBB/4 jam
: 50 cc/kg BB.
20 jam II
: 150 cc/kgBB.
Atau dapat diberikan dengan kecepatan yang sama 200 cc/kgBB/hari
Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :
4 jam I
: 60 cc/kg BB.
20 jam II
: 190 cc/kgBB.
Rehidrasi yang diberikan perhari tetap dimonitoring. Rehidrasi dihentikan jika status
rehidrasi telah tercapai (tidak ada tanda-tanda dehidrasi). Diare akut dengan penyulit
dengan dehidrasi ringan-sedang memerlukan cairan rehidrasi antara 150 200
ml/kgBB/hari sedangkan dehidrasi berat 250 ml/kgBB/hari. Kebutuhan cairan rehidrasi
untuk anak yang lebih besar (lebih dari 10 kg) kurang dari nilai tersebut, sebagai patokan
praktisnya adalah dehidrasi ringan-sedang memerlukan 1,5 sampai 2 kali kebutuhan
maintenance (misalnya anak 20 kg, kebutuhan maitenancenya adalah 1500 mlyang
berarti kebutuhan rehidrasinya 2250-3000ml), sedangkan dehidrasi berat 2,5 kali
maintenance.
Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg dan usia 6
bulan sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan antimikroba termasuk
antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit diare akut. Patokan pemberian
antimikroba/antibiotika adalah sebagai berikut :
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.
5. Bayi umur kurang dari 3 bulan
Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
Ad. 2. Diare bakterial invasif :
Secara klinis didiagnosis jika :
Panas lebih dari 38,5oC dan meteorismus.
Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun mikroskopis.
Leukosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau ++
Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :
K1inis diduga ke arah Shigella (setiap diare yang disertai darah dapat
dianggap shigelosis, jika tidak ada tanda klinis yang khas untuk penyakit
lainya atau belum dapat dibutikan infeksi lainnya, melalui kultur) diberi
Nalidixid acid 55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 10 hari atau
Ciprofloxacin 30 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 5 hari. Jika tidak
ada perbaikan dalam 48 jam, antibiotik diganti dengan ceftriakson 100
mg/KgBB/ hari sekali sehari atau Azitromizin
K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Klinis diduga amubiasis, segera dilakukan pemeriksaan preparat
langsung tinja: jika ditemukan bentuk trofozoit dengan RBC di dalam
sitoplasmanya diberikan metronidazol dengan dosis 50 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis.
Ad. 3.
Ad. 4
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
DIARE KRONIK
ICD 10 : A06
Diare kronik adalah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau
disentri. Diare akut dengan episode serangan 4 kali atau lebih dalam sebulan.
Dibagi 2: diare persisten dengan sebab infeksi, diare kronik dengan sebab non-infeksi.
Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi
penampakan, konsistensi, adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala
infeksi saluran pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis),
terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-buahan (defisiensi sukrase-isomerase),
hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah gangguan
emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome), nyeri abdomen berulang yang berat
(insufisiensi pankreas yang berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat memprediksi penyakit. Bayi
muda: diare intraktabel pada bayi, alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena
infeksi yang berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit Hirschrprung, defek transpor
kongenital.Anak 2 tahun keatas, kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic
nonspesific diarrhea), enteritis karena virus yang berkepanjangan, giardiasis, difisiensi
sukrase-isomaltase, tumor sekretori, inflamatory bowel disease, dan penyakit siliak.
Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi, pemeriksaan abdomen, ekskoriasi
bokong, manifestasi kulit.Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat badan,
menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya. Tanda;tanda khas: anemia (inflamatory
bowel disease, penyakit siliak, fibrosis kistik), artritis (inflamatory bowel disease),
pubertas terlambat (penyakit Crohn), gagal tumbuh (penyakit Crohn, malabsorpsi lemak),
panas (inflamatory bowel disease, gastroentritis karena infeksi).
Ananmesis
Pemeriksaanfisik
Pemeriksaanpenunjang
Diare kronis/persisten dehidrasi (derajat dehidrasi sama dengan diare akut)
Diare kronis
Diare persisten dehidrasi
a. Pemeriksaan tinja :
Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
Mikroskopis :
Darah samar dan leukosit yang positif ( 10/lpb) menunjukkan kemungkinan
adanya peradangan pada kolon bagian bawah.
PH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi
karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada
di dalam kolon. PH rendah (<5,3):reduksitinjaakibatmaldigestidanmalabsorpsi
KH, pH 6,0-7,5: malabsorbsi asam amino, asam lemak
Clinitest, untuk adanya malabsorbsi karbohidrat.
Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak.
Biakan kuman dalam tinja.
Pengecatan gram: bakteri (mengetahui bakteri dominan), jamur, parasit tinja
(amoeba, giardia, telur cacing/ cacing sebagai etiologi langsung). Beberapa
parasit perlu dikultur.
Elektrolit tinja: stool anion gap = 290 2 ([Na]+[K]), jika osmotik > 50,
sekretorik < 50. Osmolalitas tinja:< 250 : kontaminasi dengan air/urin: fistula,
8. Terapi
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klnis, hasil laboratorium, kemajuan terapi
15. Target
16. Kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
ICD 10 : Q.43.1
Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada dinding
kolon
Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa neonatus
memperkuat diagnosis penyakit Hirschsprung.Riwayat kelahiran dengan mekonium
terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama sehingga terjadi obstruksi parsial dan
total (dengan gejalafeses tidak dapat dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah).
Gambaran klinis obstruksi total pada masa neonatus menunjukkan segmen yang terlibat
lebih panjang. Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus, penyakit
hirschsprungsebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya
hipotiroid) disingkirkan
Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi defekasi jarang,
kembung, dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang ditemukan pada penyakit ini.
Colok dubur didapatkan hasil: jari akan merasakan jepitan (karena kontriksi usus
aganglionik) dan saat jari dikeluarkan akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium
feses yang menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan pada pemeriksaan
colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali). Gambaran klinis
pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis (pada yang ultrashort dapat
menyerupai konstipasi fungsional), kadang-kadang diare dan biasanya disertai gagal
tumbuh.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Penyakit Hirschsprung segmen pendek
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
Penyakit Hirschsprung segmen ultrashort
Konstipasi idiopatik
Obstruksi parsial saluran cernah bawah lainnya
Foto polos abdomen ter1ihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran obstruksi usus
letak rendah. Foto barium enema teknik hirschprung ditemukan daerah transisi antara
usus yang melebar dan yang menyempit (gambaraan ini khas untuk penyakit
hirschsprung, tetapi tidak jelas jika terjadi enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang
tidak teratur di segmen yang menyempit. Foto barium enema pada enterokolitis yang
berhubungan dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus irreguler (seperti
mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya cut off sign air dan
udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosisentrokoloitis. Diagnosis pasti
dengan biopsi rektal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel ganglion di submukosa
Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi abdomen.
Kolostomi dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga tidak dapat melakukan
irigasi, diikuti (dalam 3 sampai 6 bulan) operasi difinitif Pullthrough, pada usia 6-12
tahun dengan metode Swenson Duhamel
Menjaga rektum tetap kosong dengan melakukan irrigasi rektal yang teratur pada
penderita yang belum dilakukan kolonostomi
Perawatan stoma pada penderita yang dilakukan kolonostomi
Mencegah atau mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita yang sudah
melakukan operasi definitif
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
I
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klinis
Operasi kolonostomi atau difinitif
1 Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,
BC Decker Inc, 2004
3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
OBSTRUKSI USUS
ICD 10 : K 56.60
Adalahgangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus
Muntah, gejala ini dominan dan pertama muncul pada sumbatan saluran cerna
bagianatas dan menjadi gejala paling akhir muncul pada sumbatan saluran cerna
bagian bawah. Muntah hijau menunjukkan sumbatan berada di bawah valvula
vatery
Sakit perut, kolik.
Tidak ada atau gagal BAB dan flatus, gejala ini dominan dan pertama muncul pada
sumbatan saluran cerna bagianbawah dan menjadi gejala paling akhir muncul
sumbatan saluran cerna bagian atas.
Kembung : pada sumbatan saluran cerna bagianbawah: kembung besifat
menyeluruh, pada sumbatan saluran cerna bagian atas: kembung besifat lokal (di
atas umbilikus) atau tidak tampak.
Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna total terjadi mendadak dan bersifat
progresif. Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna parsial bervariasi tergantung
beratnya derajat obstruksi
Riwayat operasi usus
Distensi usus.
Metallic sound.
Darm contour.
Bising usus meningkat pada awal penyakit, menurun atau menghilang pada akhir
penyakit atau jika ada perforasi.
Gambaran klinis komplikasi, misalnya tanda-tanda dehidrasi, gangguan
keseimbangaan asam-basa.
Muntah/muntah hijau
Kembung
Gagal BAB
Nyeri abdomen akut
Obstruksi Usus
1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :
Stenosis pilorus.
Atresia atau stenosis duodenum.
Atresia atau stenosis jejunum.
Ileus mekonium.
Volvulus.
Hirschsprung.
1. Didapat :
Intususepsi.
Bolus askaris.
Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder
Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan adalah NaCL
fisiologis jika muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah hijau. Patokan dehidrasi
dan jumlah cairan yang digunakan dapat berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk
diare. Jika nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20
ml/kgBB/ secepatnya.
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada obstruksi
total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial dengan derajat yang
ringan
Perlunya dilakukan operasi
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Adanya tanda-tanda obstruksi
Dilakukan operasi
1 Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,
BC Decker Inc, 2004
3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
INVAGINASI
ICD 10 : K.56.1
Obstruksi usus yang disebabkan usus bagian proksimal berinvaginasi ke dalam usus
bagian distal. Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki
disebut intususipien.
Nyeri perut.
Berak berdarah dan berlendir.
Muntah.
Kembung : tidak selalu ditemukan
Massa berbentuk pisang ditemukan pada kuadran kanan atas
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang
Invaginasi
Obstruksi total saluran cerna bagian bawah lainnya
Disentri
a. Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium lanjut
penyakit.
b.
8. Terapi
Barium Enema :
1. Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran
pegas (coiled spring).
2. Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan pilihan pada semua
bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan
umum jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat mengakibatkan
perforasi usus.
c. USG
Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal, yang harus dilanjutkan
dengan pemeriksaan potongan longitudinal
Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal
Kasus gawat darurat bedah :
1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
1
2
3
Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition.
Ontario, BC Decker Inc, 2004
Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
Arteriografi
Cari gangguan hemodinamik.
Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit sampai
tanda vital membaik.
Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan. Transfusi >85 ml/kgBB, konsul
bedah cito, untuk dilakukan eksplorasi
Observasi perdarahan, jika perdarahan minimal: pastikan darah apa bukan, salah
satu caranya dengan melakukan pemeriksaan darah samar (Benzidine test)
Tentukan adanya riwayat trauma, jika tidak ada
Tentukan adanya kelainan sistemik (misalnya demam atau tanda eksploresensi
kulit) dan kelainan THT, jika tidak ada
Tentukan adanya diastesis hemoragik: lakukan Rumple leed test, CT, BT, PT,
aPTT, hitung trombosit, jika dalam batas normal
Tentukan lokasi perdarahan saluran cerna berdasarkan gambaran klinis
Lakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi dan atau kolonoskopi
Tatalaksana perdarahan saluran cerna berdasarkan penyebab
Tatalaksana umum: stabilisasi KU
Perdarahan saluran cerna atas: pasang NGT jika perdarahan masif atau aktif atau
untuk memastikan lokasi, obat-obat penekan asam lambung, dan obat pelindung
mukosa (misalnya: sucralfat)
Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat dilakukan
pencegahan
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. 4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
KOLESTASIS
ICD 10 : K.71.0
Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi dalam
3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian
kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau
bilirubin direk 1 mg/dl jika kadar bilirubin total 5 mg/dl
Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja, perdarahan,
riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan kelahiran
Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda perdarahan
Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada bayi preterm
dapat ditunda sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk (kolestasis).
Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek adalah warna kulit kuning terang,
kuning dimulai dari muka kemudian ke bagian distal badan (sesuai dengan
peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti skala Krammer), dan urin berwarna
jernih. Hiperbilirubinemia indirek dapat disebabkan jaundice fisiologik (sampai
umur 14 hari), breast milk jaundice, penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal
hipotiroidsm, obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,
galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-Najjar
syndromes (UDPGT deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat partial) dan
Gilbert syndrome.
Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST, Alkali
fosfatase, GGT)
Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/aPTT, kadar glukosa serum, ammonia)
Rule outpenyebab-penyebab yang dapat diobati
Kultur bakteri (urin dan darah)
Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer, intoleransi fruktosa
heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)
Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease, hepatotoksis
karena obat
Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi in
common bile duct
Rule outobstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan ultrasonografi dan biopsi
hati.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Kolestasis
Kolestasis intrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik
Laboratorium :
a. Rutin
Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia indirek),
8. Terapi
uji fungsi hati: SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT (normal: meningkat pada
bayi umur-umur muda), alkali fosfatase (normal: meningkat pada waktu
memasuki usia pubertas), waktu protrombin dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar
albumin plasma, kolesterol, kadar glukosa, ureum, kreatinin, urine reduction
substance, kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis
intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika terbukti ada
asites pada USG abdomen)
Bilirubin urine positif
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.0006.00) dan adanya empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan
menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit infeksi (TORCH,
HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining metabolik (asam amino serum dan urin, asam
organik urin), kelainan hormon (kadar hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar 1
antitripsin, dan lain-lain.
Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista koledokus,
masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia bilier: akurasi diagnostik
USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada keadaan puasa (4-6 jam dengan alat
USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam dengan alat USG berosulusi rendah), saat
minum, dan sesudah minum (1 sampai 2 jam setelah makan) ataupun dua fase yakni
puasa dan sesudah minum. Apabila pada saat atau sesudah minumkandung empedu
tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis atresia bilier
dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif, bila
terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh dengan anestesi umum
Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi
Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal
Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus
yangdisertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul
yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus
ringan
Paucity sistem bilier
Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemiadan tatalaksana
selanjutnya. Tatalaksana kolestasis intrahepatik :
Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :
1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10-30 mg/kgBB/hari, bekerja sebagai
competitive binding empedu toksik, bile fow inducer,suplemen empedu, dan
hepatoprotektor.
2. Kolestiramin, dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap empedu
toksik dan menghilangkan gatal.
3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan aktivitas
enzim mikrosom dan menurunkan ambilan asam empedu oleh sel hati
4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan hanya pada
hiperbilirubinemia indirek pada Crigler-Najjar syndromes (UDPGT
deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10 mg/kgBB/hari
Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol: 0,05 0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-7x/ minggu
Nutrisi : diet lemak MCT.
Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
Konstipasi
ICD 10 : K.59.0
Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar 1 x / 7 - 30
hari, perut kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 2- 4 minggu
Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau kronik),
frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan
defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai kebiasaan
makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk menanyakan
umur saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan
besar bersifat fungsional.
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.
Abdomen dapat terlihat cembung dan dapat teraba skibala. Perineum dapat terlihat
adanya skin tag. Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot
sfingter ani dan mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan
adanya kelainan anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Konstipasi akut
Konstipasi fungsional
Konstipasi organik
Hirschsprung disease
Obstruksi parsial saluran cerna lainnya
Hipotiroid
Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid)
atau uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin
dan kultur urine juga dilakukan terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih
akibat konstipasi kronis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi yaitu
foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum,
dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat dilakukan tes untuk
menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi.
Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk mencari
penyebab organik lain yang memberikan gejala konstipasi.Foto tulang belakang daerah
lumbosakral dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil
pemeriksaan neurologi ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.
Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan
kepribadian anak.
Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus
diobati terlebih dahulu.
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan teknik
edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,
pengaturan diet, dan pemberian laksansia).
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
Evakuasi feses dapat mengunakan gliserin 100% dengan dosis 1-3 ml/kgBB yang
diencerkan dengan NaCl 0,9% dengan jumlah yang sama. Dua kali sehari selama 2
sampai 5 hari. Dapat dikombinasidengan Laktulosa peroral dosis 1-3 ml/kgBB/kali
dalam satu atau dua dosis.
Pemberian laksansia pada terapi rumatan dapat menggunakan laktosa peroral dosis 1-3
ml/kgBB/kali dalam satu atau dua dosis.
Toilet education
Diet tinggi serat
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Kriteria konstipasi
Disimpaksi berhasil dan rektum kosong
1. Stephen M. Constipation. Dalam: Walker, penyunting. Pediatric gastrointestinal
disease. Volume ke-1. Philadelphia: BC Decker; 1991. h. 90-108.
2. Benninga. Constipation and faecal incontinence in childhood. Amsterdam:
Universiteit van Amsterdam; 1994. h. 13-35.
3. HM Spiro. Clinical gastroenterology. Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill; 1993.
h. 513-23.
4. Barbara JS. Digestive system disorders. Dalam: RE Behrman, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2005. h. 510-8.
5. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, dkk. Constipation in infants and children:
evaluation and treatment. A medical position statement of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. J Ped Gastr Nutr.
1999;29:615-26
6. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman
pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak
1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan
Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak