Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Itulah syair pujangga Abdullah Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia
seperti sedang bicara evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Porter. Tapi sejatinya ia
sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya yang kehilangan adab.
Metafora ini mudah diterima oleh bangsa Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih
mudah faham dengan dagelan “Petruk jadi ratu”. Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara
tidak alami atau tidak syar’ie. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi loncatan status
yang abnormal.
Munsyi tentu faham belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga faham
mengapa Tuhan mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. Tapi, yang ia
gelisahkan mengapa ini bisa terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses, tapi
mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih faham setelah membaca
bait berikutnya:
“Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,
jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin
tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”.
Munsyi seperti sedang memberi tugas kita untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang
dengan cerdas menjawab adalah SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu.
Letak kesalahannya, katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak
menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang
bermuatan moral.
Sumbernya ada dua: faktor eksternal dan internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh
pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya daya tahan
tubuh umat Islam. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. “Ritual” pendidikan memang terus
berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga pendidikan umat Islam bisa menghasilkan
SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen, tapi tidak menghasilkan peradaban Islam.
Tanda-tanda alpanya adab sekurangnya ada 3: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Zalim
kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan
orang Jawa disebut tidak empan papan. Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan konsep
secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Seperti
mencapur keimanan dengan kemusyirikan. Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan
kesombongan. Tauhid dengan faham dikotomis-dualistis, dsb.
Bodoh atau dalam bahasa al-Ghazzali hamaqah bukan jahil dan buta aksara. Bodoh tentang cara
mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara
mencapainya.”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima
dengan sukarela. Korupsi, menipu, manipulasi, dan sebagainya pun bisa menjadi cara meniti karir.
Anda bisa jual diri asal bisa jadi selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan
berkhianat. Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut
syariah.
Gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Akarnya
tentunya adalah hamaqah atau kebodohan; yang bodoh akan negeri impian akan bingung kemana
akan mendayung sampan; yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup; yang jahil
tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini. Akibatnya,
aktivitas demi kepentingan pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal) tiba-tiba
diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).
Jika pendidikan kita benar-benar menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri.
Mengapa kita begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga memungut konsep-konsep
pinjaman dari luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep asing dan
tidak mampu membangun konsep sendiri?
Orang Barat begitu percaya diri dengan konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John
Newman, misalnya, begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The Idea
of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas
menggambarkan konsep universitas humanis-eksistensialis. J Douglas Brown dalam The Liberal
University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran universitas dalam mencetak
“manusia sempurna” ala Barat. Tapi mengapa identitas Islam pada universitas Muslim tidak
nampak jelas. Mengapa Muslim malu-malu memerankan universitas Islam dalam membangun
peradaban Islam.
Universitas Islam harus berani membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam,
sains Islam, budaya Islam dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan
pandangan hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu, tapi
juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan. Universitas harus menjadi
pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun
peradaban yang bermartabat. (***
Dunia pendidikan Islam, sudah saatnya mengkonsentrasikan diri membentuk manusia-manusia
yang beradab. Tapi hanya bisa dilakukan jika mengajarkan ilmu yang benar. Baca CAP Adian ke-
266
Oleh: Dr. Adian Husaini
www.hidayatullah.com--Jurnal Islamia-Republika
(kerjasama INSISTS dan Harian Republika) edisi
Kamis (9 Juli 2009), membahas secara panjang lebar
tentang konsep pendidikan dan adab dalam ajaran
Islam. Pembahasan ini mengangkat kembali salah
ajaran yang sangat penting dalam Islam, yaitu
masalah adab. Banyak ulama yang sudah membahas
masalah adab. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim
Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul Ālim
wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi’i
yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan
adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan,
beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang
mengejar anak satu-satunya yang hilang.
Lalu, Syaikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna,
faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā
īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata
lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim,
Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).
Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman.
Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka
barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan
syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya)
tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya konsep adab?
Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad
Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah
“pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana
susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat
semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan
seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-
sia karana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan
ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk
Kaum Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung
sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka.
Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui
seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang
fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di
sisi Allah adalah yang paling takwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih
menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih.
Dalam masyarakat yang beradab, seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang pelajar
yang memenangkan Olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada tempatnya,
yang seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimah-muslimah yang shalihah.
Itulah adab kepada sesama manusia.
Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang manusia
tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khalik dengan makhluk
merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al-Quran disebutkan, Allah
murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khalik, padahal dia adalah makhluk.
Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam,
masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khalik pada tempat-Nya sebagai al-Khalik, jangan
disamakan dengan makhluk. Karena membawa agama Tauhid (bukan agama Kristen), maka Nabi
Isa a.s. mengingatkan: ”Dan ingatlah ketika Isa ibn Maryam, wahai anak keturunan Israel,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, membenarkan apa yang telah ada pada
kita, yaitu Taurat dan memberikan kabar gembira (akan datangnya) seorang Rasul yang bernama
Ahmad.” (QS 61:6).
Jadi, dalam pandangan Islam, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah, sebagaimana para nabi
sebelumnya. Itulah tindakan yang beradab. Karena Nabi Isa a.s. memang manusia, dan harus kita
tempatkan sebagai manusia, bukan sebagai ”sekutu” Allah atau ”setara” dengan Allah. Maka, ketika
kaum Kristen mengangkat Isa a.s. sebagai Tuhan atau sama dengan derajat Tuhan, maka Allah
murka. Dan kepada utusan-Nya yang terakhir, Muhammad saw, maka dijelaskanlah kemurkaan
Allah tersebut sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, (yang artinya): ”Dan mereka berkata:
Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu (yang
mengatakan seperti itu) telah melakukan suatu perkara yang sangat munkar. Hampir-hampir langit
pecah karena ucapan itu, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwa
Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19:88-91).
Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi, beliau berbeda
dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak
diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang
lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru. Orang
berebut untuk menjadi presiden karena dianggap jika menjadi presiden akan menjadi orang
terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat melakukan perubahan.
Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja adalah dengan
cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan
(uswah hasanah). Maka, benarlah pendapat ulama yang dikutip Kyai Hasyim Asy’ari, jika orang
tidak mengakui dan menghormati syariat Nabi Muhammad saw, bagaimana mungkin dia bisa
dikatakan mempunyai iman? Sikap yang melecehkan syariat Allah jelas merupakan sikap manusia
yang tidak beradab. Maka, sangatlah tidak beradab, sebuah disertasi doktor dan berbagai buku
tentang Pluralisme Agama yang menyatakan, bahwa untuk mendapatkan pahala dari Allah, tidaklah
perlu mengakui kenabian Muhammad saw.
Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama.
Ulama adalah pewaris nabi. Maka, kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang
benar-benar menjalankan amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’).
Ulama jahat harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati
sebagai ulama. Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka,
sangatlah keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan
penguasa. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan
martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketakwaannya, bukan karena
kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab dalam
pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang
palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan.
Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam kitabnya
Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar seseorang
mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan Ahmad menyatakan:
“Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis) perhimpunan ilmu yang engkau
muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau daripada segala adab dan hikmah.”
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah
proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika
adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan menuruti
hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai
lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat, dan
lainnya. Bagi orang-orang yang memegang institusi, bila tidak terdapat adab, maka akan terjadi
kerusakan yang lebih parah. Kata Prof Wan Mohd. Nor Wan Daud, guru besar di Akademi Alam
dan Tamadun Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia: ”Gejala penyalahgunaan kuasa, penipuan,
pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemubaziran, kehilangan keberanian dan keadilan, sikap malas
dan ’sambil lewa’, kegagalan pemimpin rumah tangga, dan sebagainya mencerminkan masalah
pokok ini.”
Jadi, menurut Prof. Wan Mohd. Nor, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan
mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Manusia dikatakan
zalim, jika – misalnya – meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Maka, dengan pemahaman
seperti itu, seorang Muslim yang beradab pasti lebih mencintai dan mengidolakan Nabi Muhammad
saw ketimbang manusia mana pun. Manusia Muslim yang beradab juga akan menghormati sahabat-
sahabat nabi dan keluarganya. Begitu juga seorang muslim yang beradab akan lebih menghormati
ulama pewaris nabi, ketimbang penguasa yang zalim. Salah satu adab penting yang harus dimiliki
seorang Muslim adalah adab terhadap ilmu. Seorang yang beradab, haruslah mengenal derajat
ilmu, mana ilmu yang wajib ‘ain (wajib dimiliki oleh setiap muslim) dan mana yang wajib kifayah
(wajib dimiliki sebagian Muslim).
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah
kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris
nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mencari
ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja
dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim
Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau
ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di
neraka.”
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga menulis sebuah
buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ r.a. yang menyatakan:
“Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia
kurang akalnya.” Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a., yang
pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke masjidku ini untuk belajar
kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.”
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan
menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau
salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah,
tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak beradab itu
kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Itulah adab. Dunia pendidikan Islam, khususnya, sudah saatnya mengkonsentrasikan diri untuk
membentuk manusia-manusia yang beradab. Itu hanya bisa dilakukan jika dunia pendidikan
mengajarkan ilmu yang benar secara proporsional. Salah satu mata pelajaran penting yang harus
diajarkan dengan benar, adalah pelajaran sejarah. Dalam berbagai kesempatan tatap muka dengan
para guru dan siswa di berbagai lembaga pendidikan Islam, saya masih menjumpai sekolah-sekolah
atau lembaga pendidikan Islam yang belum memiliki buku sejarah tersendiri. Masih banyak siswa
sekolah Islam yang memahami bahwa Pangeran Diponegoro berperang semata-mata hanya karena
urusan tanah leluhurnya yang dirampas oleh Penjajah Kristen Belanda. Padahal, bukti-bukti sejarah
menunjukkan, Pangeran Diponegoro berperang dengan tujuan menegakkan syariat Islam di Tanah
Jawa.
Mengutip buku berjudul Gedenkschrift van den Orloog op Java, karya F.V.A. Ridder de Stuers,
(Amsterdam: Johannes Müller, 1847), dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Prof. Dr.
Rifyal Ka’bah memaparkan penuturan seorang Letnan Kolonel Belanda pada masa Perang
Diponegoro (1825-1830), yang menyatakan bahwa tujuan Perang Diponegoro adalah agar hukum
Islam berlaku untuk orang Jawa.
Diceritakan dalam buku ini, Belanda mengirim delegasi ke pedalaman Salatiga untuk berunding
dengan Pangeran Diponegoro dan para pembantunya. Delegasi yang membawa surat Gubernur
Jenderal Hendrik Markus de Kock ini diterima oleh Kyai Modjo, Ali Basa, dan lain-lain. Belanda
meminta peperangan segera dihentikan, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Kyai Modjo
menjawab bahwa perang tidak dapat dihentikan selama tuntutan mereka belum terpenuhi. Dalam
perundingan itu, pihak Diponegoro juga menggunakan ungkapan “Laa mauta illaa bil-ajal” (Tidak
ajal berpantang mati). Kyai Modjo juga menyebutkan QS an-Naml:27 yang merupakan ucapan
Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis, (yang artinya): “Jangan kalian bersikap arogan terhadapku dan
datanglah kepadaku dengan menyerahkan diri.” Ketika ditanya, apa maksud ungkapan itu, Kyai
Modjo menjawab: “Komt gij allen tot mijnen Vorst, en gaat langs het pad der regtvaardigheit.”
(Supaya kalian datang menemui Pangeranku dan berjalanlah melalui jalan keadilan). Kyai Modjo
menegaskan, bahwa keinginan Diponegoro adalah agar hukum Islam seluruhnya berlaku untuk
orang Jawa. Sedangkan persengketaan antara orang Jawa dan orang Eropa diputuskan berdasarkan
hukum Islam dan persengketaan antara orang Eropa dengan orang Eropa, dengan persetujuan
Sultan, diputuskan berdasarkan hukum Eropa. (Lihat, Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta).
Maka, sebenarnya merupakan tindakan yang tidak beradab, memandang pejuang Islam, seperti
Pangeran Diponegoro seolah-olah hanya berperang karena urusan tanah leluhurnya. Di buku sejarah
SMA bahkan masih ada yang memaparkan bahwa Khalifah Utsman bin Affan adalah pemimpin
yang lebih mementingkan keluarganya dibandingkan dengan negaranya. Pemaparan seperti ini
sangat tidak sesuai dengan fakta sejarah dan sangat tidak beradab. Karena itulah, para
penyelenggara pendidikan Islam harus benar-benar memeriksa materi pelajaran yang diajarkan
kepada siswanya. Mereka tidak bisa bersikap tidak peduli dan membiarkan siswa-siswa mereka
diajarkan berbagai materi pelajaran yang justru mengarahkan siswanya menjadi manusia-manusia
yang tidak beradab. [Solo, 24 Juli 2009/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan
www.hidayatullah.com
C. Pengertian Adab dari Masa ke Masa
Senin, 13 April 2009 20:47:39 - oleh : admin
A. Pengertian Adab dari Masa ke Masa
Sebagai sebuah istilah, kata "Adab" mengalami perkembangan yang
cukup panjang dalam sejarah kesusastraan Arab. Perkembangan kata
"Adab" sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab.
Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab Badui sampai masyarakat
Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Kata "Adab"
terdapat banyak perbedaan mengenai maknanya, dan perbedaan makna
itu sangat dekat, maksudnya perkembangan dan perubahan makna itu
tidak terlalu kontras dengan makna aslinya. Perubahan itu
diketahui sampai sekarang melalui perkataan-perkataan dan tulisan-
tulisan. Penafsirannya jelas hanya kecenderungan pendengar
pendengar pada pengucapan kata "Adab" tersebut.
Pada zaman Jahiliyyah kata "Adab" berarti ""العدعوة إلعى الطععام
(mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini
sudah jarang digunakan, kecuali pada kata "Ma'dubah" dari akar
kata yang sama yaitu "Adab". Kata "Ma'dubah" berarti jamuan atau
hidangan, dengan kata kerja "Adaba-ya'dibu" yang berarti menjamu
atau menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam
perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa'illi:
Kata "Adab" juga digunakan dalam arti "prilaku yang terpuji atau
terhormat dan sifat-sifat yang mulia" seperti yang terdapat di
dalam dialoq antara ‘Atabah dengan Hindun, puterinya. ‘Atabah
berkata kepada puterinya tentang Abu Sufyan yang datang
melamarnya:
وسعآخذه بعأدب البععل معع لعزوم, وإنعى لعه الموافقعة,"إنى لخلق هعذا لوامقعة
"...قبتى وقلة تلفتى
"... واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك,"يا بنى انسب نفسك تصل رحمك