Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Demikian pula pada awal mula kejadian yaitu pada saat pengeroyokan yang dilakukan dimana
PLG yang langsung menyebar informasi bahwa dirinya sedang dikejar-kejar pencuri sepeda
motor. Sehingga begitu melihat kedua petugas berpakaian preman yang berboncengan sepeda
motor itu tiba di wilayah perbatasan desanya, puluhan hingga ratusan masa langsung
mencegatnya. Dan tanpa banyak basa basi lagi, mereka langsung mengeroyok keduanya
hingga babak belur dan jatuh tak berdaya , termasuk juga dalam perbuatan agresi.
Secara umum, Myers (1996) membagi agresi dalam 2 (dua) jenis yaitu :
- Agresi rasa benci atau Agresi Emosi (Hostile Aggression)
Jenis agresi yang pertama (Hostile Aggression) ini merupakan ungkapan kemarahan dan
ditandai dengan emosi yang tinggi, perilaku agresi ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri. Jadi,
agresi sebagai agresi itu sendiri. Sering disebut juga agresi jenis panas.
Akibat dari jenis agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku memang tidak peduli jika
perbuatannya lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat yang didapat, dan
- Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan (Instumental Aggression)
Perbuatan yang dilakukan oleh penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten
Majalengka tersebut dapat dikategorikan kedalam jenis agresi yang pertama yaitu Agresi Rasa
Benci atau Agresi Emosi (Hostile Aggression) yang semata-mata dilakukan untuk melampiaskan
emosi terhadap 2 (dua) orang anggota Polres Kuningan tersebut karena mendapat informasi dar
PLG yang menurutnya sedang dikejar-kejar oleh 2 (dua) orang pencuri kendaraan bermotor,
Penduduk Desa Sindang Panji tidak memikirkan akibat dari perbuatan penganiayaan yang
dilakukan secara beramai-ramai tersebut (agresi-nya) terhadap 2 (dua) orang anggota Polres
Kuningan yang menggunakan pakaian preman tersebut, dan para penduduk Desa Sindang Panji
tersebut memang tidak peduli jika perbuatannya (penganiayaan secara beramai-ramai) akan
menimbulkan kerugian yang lebih banyak daripada manfaat yang didapat oleh mereka, dalam
hal ini tuntutan dilakukannya terhadap pelaku.
b. Teori Lingkungan yaitu Teori Frustrasi-Agresi Baru (Berkowitz, 1978-1989 dan Berkowitz & Le
Page, 1967).
Jika suatu hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan tidak dapat dimengerti alasannya maka
akan timbullah Frustasi, yang akan membuat seseorang menjadi agresif .
Pada contoh kasus diatas, timbulnya rasa frustasi dari penduduk Desa Sindang Panji
kec.Cikijing kab. Majalengka Jawa Barat karena sudah terlalu seringnya terjadi pencurian
(pencurian kendaraan bermotor, pencurian hewan dan pencurian dengan kekerasan,
pembobolan rumah kosong) pada bulan bulan terakhir sebelum kejadian pengeroyokan diatas
Sehingga karena ketidakmengertian tanpa alasan dan penjelasan yang tepat pada mereka itulah
yang dapat memicu perilaku agresif dari para penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing,
Kabupaten Majalengka Jawa Barat.
Berkowitz mengatakan bahwa frustrasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah, hal inilah
yang dapat memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustasi dinilai mempunyai
alternatif perilaku lain dari pada perilaku yang menimbulkan frustrasi itu.
Agresi beremosi benci tidak terjadi begitu saja (tiba-tiba), kemarahan memerlukan pancingan
(cue) tertentu untuk dapat menjadi perilaku agresi yang nyata (Berkowitz & Le Page, 1967).
Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Myers pada teorinya tentang Agresi rasa benci atau
Agresi Emosi (Hostile Aggression), maka hal itupun berlaku pula pada teori Berkowitz dan Le
Page, bahwa frustasi yang menimbulkan kemarahan dan emosi dari para penduduk Desa
Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa Barat dapat menimbulkan/memicu
agresi. Apalagi jika ditambah dengan informasi dar PLG yang menurutnya sedang dikejar-kejar
oleh 2 (dua) orang pencuri kendaraan bermotor
Jadi agresi beremosi rasa benci dari para penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing,
Kabupaten Majalengka Jawa Barat tidak dilakukan tiba-tiba saja, tetapi ada pancingan tertentu
PLG yang menginformasikan bahwa dirinya dikejar kejar pelaku pencurian kendaraan bermotor
secara nyata melakukan perbuatan/perilaku agresinya.
c. Teori Pengaruh Kelompok (Staub-1996).
Pengaruh Kelompok terhadap Perilaku Agresif, antara lain akan dapat menurunkan hambatan
dari kendali moral.
Selain karena faktor ikut terpengaruh, juga karena ada perancuan tanggung jawab (tidak merasa
ikut bertanggung jawab karena dikerjakan beramai-ramai), ada desakan kelompok dan identitas
kelompok (kalau tidak ikut akan dianggap bukan anggota kelompok) dan ada deindividuasi
(identitas sebagai individu tidak akan dikenal).
Bila dilihat dari sisi penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa
Barat yang melakukan penganiayaan secara beramai-ramai terhadap para korban yaitu Bripda
Asep Irawan (24) dan Bripda Mayan Radiana (24) yang menyebabkan hingga tewasnya 2 (dua)
orang anggota Polres Kuningan tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kelompok mempunyai
pengaruh terhadap perilaku agresif.
Ketika salah satu orang saja dari penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten
Majalengka Jawa Barat melakukan pengeroyokan terhadap , Bripda Asep Irawan (24) dan
Bripda Mayan Radiana (24) maka penduduk lainnya (massa) yang tadinya ragu-ragu/tidak
mempunyai niat untuk melakukan penganiayaan akan terpengaruh untuk melakukan perbuatan
yang sama seperti yang dilakukan para pelaku pencurian dengan kekerasan ( yang pada bulan
bulan terakhir sering terjadi di majalengka terhadap para korbannya ) bahkan mungkin dapat
lebih kejam lagi dari perbuatan awal yang disaksikannya.
Disamping faktor ikut terpengaruh, penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten
Majalengka Jawa Barat juga menganggap tidak ada yang bertanggung jawab/kerancuan
tanggung jawab dalam penganiayaan secara beramai-ramai/pengeroyokan tersebut (tidak
merasa ikut bertanggung jawab karena dikerjakan beramai-ramai). Juga karena adanya desakan
dari para penduduk yang lain (kelompok) untuk ikut melakukan perbuatan itu, dan juga karena
adanya identitas kelompok sehingga jika tidak melakukan penganiayaan secara-beramai-ramai
akan dianggap bukan sebagai bagian dari penduduk . Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing,
Kabupaten Majalengka Jawa Barat
Selain itu, adanya de-individuasi yang menyebabkan pemikiran dari masyarakat Desa Sindang
Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa Barat beranggapan bahwa identitas individunya
tidak akan dikenal oleh orang lain karena perbuatan yang mereka lakukan secara beramairamai.
De-individuasi adalah keadaan hilangnya kesadaran akan diri sendiri (self awareness) dan
pengertian evaluatif terhadap diri sendiri (evaluation apprehension) dalam situasi kelompok yang
memungkinkan anonimitas dan mengalihkan (menjauhkan) perhatian dari individu (Festinger,
Pepitone & Newcomb 1952).
d. Teori Keterpaduan Kelompok / Group Cohesiveness (Gustave Le Bon-1975).
Menurut Gustave Le Bon, psikologi massa berbeda sekali dengan psikologi individual.
Massa (crowd) mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan kehendak sendiri yang tidak
sama dengan yang ada pada pribadi. Massa mempunyai jiwa yang tidak sama dengan jiwa
pribadi.
Jadi Le Bon berpendapat bahwa jiwa kelompok adalah irasional, impulsif, agresif, tidak dapat
membedakan antara kenyataan dan khayalan, serta seolah berada dibawah pengaruh hipnotis.
Jika teori ini dikaitkan dengan permasalahan diatas, maka ;
Pada saat sebelum terjadinya pengeroyokan yang dilakukan oleh massa dari Desa Sindang
Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa Barat, masyarakat tersebut belum dipengaruhi
oleh Psikologi massa, mereka dalam jiwa pribadinya sebagai individual dengan tetap
menjalankan aktifitas sehari-hari mereka, namun dengan adanya informasi dari PLG bahwa
adanya pelaku pencurian kendaraan bermotor yang dianggap telah mengganggu tatanan
keamanan dan ketertiban di , Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa
Barat terlebih dengan PLG (yang menurut dirinya adalah calon korban kejahatan) adalah warga
Sindang Panji, maka perbuatan tersebut memberikan aksi dari warga Desa Lubuk Ruso yang
melakukan perbuatan secara massal yang irasional, implusif, agresi, dengan tidak dapat
membedakan antara kenyataan dan khayalan, hal ini ditunjukkan dengan perbuatan secara
massal mengeroyok 2 (dua) orang anggota Polres Kuningan tersebut dan kemudian secara
tersebut, dengan tidak mempedulikan sama sekali apapun akibatnya. Hal ini merupakan luapan
kejengkelan dan atau tekanan sosial (Structural strain).
3. Begitu juga pada syarat Determinan Ketiga, memberikan dukungan terhadap determinan
pertama dan determinan kedua, sehingga mewujudkan berkembangnya prasangka kebencian
yang meluas (Generalized hostile belief) yang terbentuk pada warga Desa Sindang Panji,
Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa Barat terhadap para pelaku pencurian, dalam kasus
tersebut dapat kita lihat dengan adanya perubahan situasi yang berkembang melalui prasangka
kebencian warga terhadap Bripda Asep Irawan dan Bripda Mayan Radiana yang disangka adlah
kawanan pelaku pencurian sehingga menjadikan faktor pencetus (Precipitating factor),
menjadikan peristiwa itu mengawali dari tindakan warga untuk melakukan penganiayaan secara
massal dengan tidak manusiawi.
4. Pada syarat Determinan keempat ini juga memberikan nilai tambah terhadap Determinan
kesatu, kedua dan ketiga, sehingga terwujudnya determinan keempat ini berupa bentuk
mobilisasi massa untuk beraksi (Mobilization for action ), Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing,
Kabupaten Majalengka Jawa Barat siap menghadapi masalah yang sewaktu-waktu akan timbul
dengan bentuk pengaktualisasian aksi massa.
5. Akhirnya terbentuknya syarat Determinan kelima dimana tentunya juga determinan kelima ini
menambah nilai terhadap determinan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Determinan kelima
merupakan lawan dari determinan kesatu sampai dengan keempat. Jika determinan kelima ini
kuat, maka kejadian kasus tersebut diatas, tidak akan terjadi, determinan kelima ini adalah
Kontrol sosial (Social control). Dalam hal ini sejauh mana aparat keamanan yang ada/bersiaga
dari tingkat bawahan sampai dengan tingkat atas, dapat melakukan pengendalian situasi di atau
paling tidak menghambat faktor-faktor terhadap pemenuhan determinan-determinan
sebelumnya, sehingga mata rantai determinan sebelumnya dapat putus dari hubungannya.
Semakin kuat Determinan Kontrol sosial ini diwilayah Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing,
Kabupaten Majalengka Jawa Barat yang masyarakatnya cukup dikenal keras, maka semakin
kecil peluang meletusnya kerusuhan atau penganiayaan massa itu.
Dengan terpenuhinya kelima syarat determinan secara berurutan dan tiap-tiap determinan
menambah nilai determinan sebelumnya secara berurutan, maka Theory of Collective Behavior
oleh N.J. Smelser secara analisa terpenuhi,
III. KESIMPULAN
Dari apa yang sudah kami paparkan diatas, maka kami dapat menarik beberapa kesimpulan
terhadap kasus telah yang terjadi di Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka
Jawa Barat yang mengakibatkan 2 (dua) orang anggota Polres Kuningan yaitu Bripda Asep
Irawan dan Bripda Mayan Radiana meninggal dunia ialah merupakan suatu sebab dan akibat
dari beberapa persoalan/kekecewaan masyarakat Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten
Majalengka Jawa Barat terhadap korban yang disangka adalah pelaku pencurian sehingga
terjadi luapan emosi (yang menyebabkan agresivitas massa) setelah adanya beberapa faktor
pemicu, antara lain :
1. kekesalan Warga karena sering terjadinya pencurian (curat, curas, curanmor)
2. Salah seorang warganya yaitu JPG menginformasikan bahwa dirinya menjadi calon korban
pencurian kendaraan bermotor
Teori-teori Psikologi yang dapat menjelaskan permasalahan seperti yang kami kemukakan pada
analisa kasus diatas, antara lain :
1. Berlakunya Teori AGRESI (Myers) pada saat terjadinya pengeroyokan yang dilakukan karena
ada salah seorang warga Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa Barat
yaitu PLG menginformasikan bahwa dirinya menjadi calon korban pencurian kendaraan
bermotor dan warga pun melakukan apa yang disebut perilaku agresi.
Perbuatan yang dilakukan oleh penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten
Majalengka Jawa Barat dapat dikategorikan kedalam jenis agresi yang pertama yaitu Agresi
Rasa Benci atau Agresi Emosi (Hostile Aggression) yang semata-mata dilakukan untuk
melampiaskan emosi mereka terhadap2 (dua) orang anggota Polres Kuningan yaitu Bripda Asep
Irawan dan Bripda Mayan Radiana yang disangka adalah kawanan pencuri kendararaan
bermotor tersebut tidak peduli jika perbuatannya (penganiayaan secara beramai-ramai) akan
menimbulkan kerugian yang lebih banyak daripada manfaat yang didapat oleh mereka.
2. Berlakunya Teori Lingkungan yaitu Teori Frustrasi-Agresi Baru (Berkowitz dan Berkowitz & Le
Page), dengan timbulnya rasa frustasi dari penduduk Desa Sindang Panji, Kec.Cikijing,
Kabupaten Majalengka Jawa Barat disebabkan karena sering terjadinya pencurian di desanya
Agresi beremosi rasa benci dari para penduduk tidak dilakukan tiba-tiba saja, tetapi ada
pancingan tertentu yaitu informasi adnya pelaku pencurian yang disiarkan oleh PLG
3. Berlakunya Teori Pengaruh Kelompok (Staub) yang dapat terlihat dari penduduk Desa
Sindang Panji, Kec.Cikijing, Kabupaten Majalengka Jawa Barat yang melakukan penganiayaan
secara beramai-ramai terhadap para korban, maka dapat kita katakan bahwa kelompok
mempunyai pengaruh terhadap perilaku agresif.
Semakin besar jumlah gerombolan pelakunya, maka semakin kejam juga proses pengeroyokan
dan penganiayaannya (Mullen, 1986)
Mereka menganggap tidak ada yang bertanggung jawab/kerancuan tanggung jawab (karena
dikerjakan beramai-ramai). Juga karena adanya desakan dari yang lain (kelompok) untuk ikut
melakukan perbuatan itu, dan juga karena adanya identitas kelompok sehingga jika tidak
melakukan akan dianggap bukan sebagai bagian dari mereka.
Selain itu, adanya de-individuasi yang menyebabkan pemikiran mereka beranggapan bahwa
identitas individunya tidak akan dikenal oleh orang lain karena perbuatan yang mereka lakukan
secara beramai-ramai.
4. Berlakunya Teori Keterpaduan Kelompok/Group Cohesiveness (Gustave Le Bon) yang
menyebutkan bahwa psikologi massa berbeda sekali dengan psikologi individual.
Le Bon juga berpendapat bahwa jiwa kelompok adalah irasional, impulsif, agresif, tidak dapat
membedakan antara kenyataan dan khayalan, serta seolah berada dibawah pengaruh hipnotis.
5. Berlakunya Teori Dinamika Kelompok yaitu Theory of Collective Behavior (NJ. Smelser) yang
menyebutkan bahwa dalam perilaku massa ada tahapan-tahapan persyaratan (determinan)
yang secara bertahap harus dipenuhi untuk terjadinya perilaku massa dan ke-5 (lima) prasyarat
itu harus berurutan.
Determinan itu berturut-turut adalah sebagai berikut :
a. Situasi sosial (Sosial condusivennes).
b. Kejengkelan atau tekanan sosial ( Structural strain).
c. Berkembangnya prasangka kebencian yang meluas (Generalized hostile belief) terhadap
suatu sasaran tertentu, yang berkaitan erat dengan faktor pencetus (precipitating factor).
d, Mobilisasi massa untuk beraksi (Mobilization for action).
e. Kontrol sosial (Social control).
Dengan timbulnya kelima syarat determinan secara berurutan dan tiap-tiap determinan
menambah nilai determinan sebelumnya, maka Theory of Collective Behavior oleh N.J. Smelser
akan dapat terpenuhi, sehingga akhirnya akan dapat menyebabkan gerakan massa/perilaku
massa yang bila tidak dapat terkendali bisa menimbulkan kerugian pada semua pihak.
Daftar bacaan dan referensi :
1. Sarwono, Sarlito Wirawan (1997) : Individu & Teori-Teori Psikologi Sosial.
2. Sarwono, Sarlito Wirawan (1999) : Psikologi Kelompok & Psikologi Terapan.
3. Sunarto, Kamanto (2000) : Pengantar Sosiologi (Edisi Kedua), sebagai bahan bacaan.
TEMPO.CO, Makassar - Kasus pengeroyokan siswa sekolah dasar hingga tewas pada 31 Maret
2014 berakhir dengan perdamaian. Baik keluarga korban, Muhammad Syukur, maupun keluarga
ketiga pelaku sepakat menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan, Rabu, 14 Mei 2014.
"Kami tidak keberatan. Kami tidak akan menuntut dan akan mencabut laporan," kata
Nurdaniyah, ibu Syukur, didampingi suaminya, Sabran, saat kedua belah pihak dipertemukan
dalam gelar perkara di Polrestabes Makassar, Sulawesi Selatan.
Permohonan maaf dari keluarga ketiga tersangka dalam pertemuan yang penuh haru itu diterima
dengan baik oleh kedua orang tua Syukur. "Saya mohon maaf dan saya harap masalah ini tidak
lagi berlarut-larut. Kami tulus minta maaf. Kami tidak pernah mengharap masalah seperti ini,"
ujar Haryani, ibu salah satu tersangka.
Pelaksana Tugas Kepala Sub-Unit PPA Satuan Reskrim Polrestabes Makassar Inspektur Satu
Afriyanti Firman menjelaskan, dalam pengusutan kasus itu, pihaknya menerapkan Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak.
Kepolisian pun turut melibatkan beberapa pihak untuk menyelesaikan kasus ini. "Kami terus
berkoordinasi dengan pihak pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan instansi terkait," ujarnya.
Afriyanti menerangkan, kasus berakhir dengan putusan diversi, atau diselesaikan tanpa melalui
jalur persidangan. Ini adalah kasus pertama yang diselesaikan dengan jalur seperti ini, kendati
penerapan undang-undang ini baru resmi diberlakukan 1 Agustus mendatang. "Ini adalah
putusan diversi. Kita mencoba memakai jalur restorative justice," ucapnya.
Gelar perkara ini, kata dia, adalah bentuk mediasi yang dilakukan bagi kedua pihak yang
beperkara. Pemprov, pemkot, dinas sosial, dan lembaga perlindungan anak turut dihadirkan
dalam gelar perkara itu.
Kepala Bidang Advokasi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indrawati
Baso Rahim mengatakan pihaknya bakal terus melakukan pendampingan kepada kedua pihak.
Terutama bagi ketiga tersangka pengeroyokan.
"Kita wajib mendampingi ketiga anak ini. Ini harus dilakukan untuk menjaga psikologis anak.
Kami akan fasilitasi," ujarnya.
Polisi juga masih mencari dan memeriksa saksi-saksi. Selain itu, karena
korban adalah anggota TNI, Polisi juga melakukan koordinasi dengan POM
AL dan Komandan Paska untuk antisipasi berkembangnya situasi. Korban
saat ini dirawat ke RS Koja.