Você está na página 1de 128

JURNAL FISIKA DAN TERAPANNYA

VOLUME 1, NOMOR 2, APRIL 2013

Penanggung Jawab
Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D.
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Indonesia

Dewan Redaksi (Editorial Board):


Ketua
: Drs. Siswanto, M.Si.
Wakil Ketua: Dr. Retna Apsari, M.Si.
Anggota
: Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si.
Mohammad Faried, ST.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya
semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan.
E-jurnal Fisika dan Terapannya ini merupakan media publikasi bagi sivitas di
lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain
itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian.
Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program
studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan
lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material,
fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang
biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK)
yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut.
Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.

Ketua Departemen Fisika


FST Universitas Airlangga

Drs. S i s w a n t o, M.Si.

Jurnal Fisika dan Terapannya


(Journal of Physics and Application)
Volume 1, Nomor 2,
APRIL 2013

DAFTAR ISI
Alan Andriawan
Samian
Pujianto

Pengembangan Spektrofotometri
Menggunakan Fiber Coupler Untuk
Mendeteksi Ion Kadmium Dalam Air

Ayu Ratnawati
Djony Izak Rudyardjo
Adri Supardi

Sintesis dan Karakterisasi Kolagen dari


Teripang-Kitosan sebagai Aplikasi Pembalut
Luka

Erik Fransisco H
Djony Izak Rudyardjo
Jan Ady

Sintesis Dan Karakterisasi Edible Film


Berbasis Polimer Alam Menggunakan
Kitosan , Pati Dan Gliserol

21

Hermawan Prabowo
Samian
Supadi

Studi Awal Aplikasi Fiber coupler Sebagai


Sensor Tekanan Gas

32

Rizka Novitasari
Siswanto
Suryani Dyah Astuti

Uji Anti Bakteri Nano Semen Gigi Zinc Oxide


Eugenol

41

Stefy Widyanarko

Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik

58

Wellina Ratnayanti K
Tri Anggono P

Akupunktur Terhadap Penyakit Hipertensi

Dewi Ari Nirmawaty


Suhariningsih
Delima Ayu Saraswati

Deteksi Kanker Serviks (Carsinoma ServiksUteri) pada Citra Hasil Rekaman CT-Scan
Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan

Istifarah
Aminatun
Prihartini Widiyanti

Sintesis dan Karakterisasi Komposit


82
Hidroksiapatit dari Tulang Sotong (Sepia sp.)Kitosan untuk Kandidat Aplikasi Bone Filler

Talitha Asmaria
Imam Sapuan
Endah Purwanti

Sistem Deteksi Kelainan Jantung


Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan Dengan
Metode Backpropagation Pada Sinyal
Elektrokardiogram Dua Belas Sadapan

97

Tri Wahyuni Bintarti


Djony Izak Rudyardjo
Jan Ady

Sintesis Dan Karakterisasi Bone Graft


Berbasasis Hidroksiapatit Dan Alginat

108

73

Pengembangan Spektrofotometri Menggunakan Fiber Coupler


Untuk Mendeteksi Ion Kadmium Dalam Air
Alan Andriawan, Pujiyanto, Samian.
Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, FST Universitas Airlangga, Surabaya
60115.

Abstrak

Pengembangan spektrofotometri menggunakan fiber coupler untuk mendeteksi


ion kadmium dalam air telah dilakukan. Prinsip kerja spektrofotometri ini didasarkan
pada serapan bahan terhadap radiasi gelombang elektromagnetik. Sumber cahaya yang
digunakan adalah laser hijau dengan panjang gelombang 532+5 nm yang merupakan
panjang gelombang serapan ion kadmium. Pengukuran konsentrasi ion kadmium dalam
air dilakukan dengan mendeteksi perubahan daya optis cahaya keluaran laser setelah
melewati sampel. Perubahan daya optis cahaya keluaran laser tersebut direpresentasikan
melalui perubahan tegangan keluaran detektor optis. Dalam penelitian ini sampel
dibuat dengan melarutkan CdCl2 dalam pelarut Dithizon. Variasi konsentrasi dibuat
mulai dari konsentrasi 0.01-6 ppm dengan perubahan konsentrasi terkecil 0.01 ppm.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem spektrofotometri ini mampu mendeteksi
konsentrasi ion kadmium 0.01-6 ppm dengan tiga daerah ukur (daerah linier). Daerah
linier I mampu mendeteksi perubahan konsentrasi sebesar 0.01 ppm dengan jangkauan 00.1 ppm. Daerah linier II mampu mendeteksi perubahan konsentrasi sebesar 0.1 ppm
dengan jangkauan 0.1-1 ppm. Dan daerah linier III mampu mendeteksi perubahan
konsentrasi sebesar 1 ppm dengan jangkauan 1-6 ppm.

Kata kunci : fiber coupler, spektrofotometri dan larutan kadmium

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

PENDAHULUAN
Air sering tercemar oleh komponen- komponen anorganik antara lain berbagai
logam berat yang berbahaya. Salah satu jenis logam berat yang berbahaya adalah
Kadmium (Cd). Kadmium (Cd) banyak ditemukan dalam limbah-limbah pabrik alat- alat
listrik, zat pewarna, keramik, dan industri kimia. Batas maksimum konsentrasi kadmium
(Cd) dalam air sekitar 5g/lt (setara dengan 0,005 ppm). Karena batasan konsentasi
maksimum kadmium (Cd) yang diperbolehkan dalam air sangat kecil, maka diperlukan
metode yang tepat dan teliti dalam menentukan keberadaan Kadmium (Cd) di dalam air.
Metode pengujian kualitas air menggunakan metode spektrofotometri serat optis telah
berhasil dikembangkan, dengan peralatan sederhana dan berketelitian tinggi.
Pada penelitian sebelumnya telah dikembangkan metode spektrofotometri serat
optik untuk mengukur kadar ion timbal (Pb) dan kadmium (Cd)
(Rani,

2008).

secara

bersamaan

Penelitian tersebut menggunakan metode transmisi dengan

menggunakan serat optik dengan diameter core yang seragam. Metode ini memiliki
kelemahan, karena cahaya yang ditransmisikan sebagian akan dibiaskan. Semakin besar
konsentrasi, berpengaruh terhadap indeks bias cairan tersebut, sehingga cahaya yang
ditransmisikan semakin kecil karena sebagian terbiaskan. Kelemahan metode tersebut
dapat diatasi dengan cara menggunakan dua serat optik berdiameter core berbeda sebagai
sensor. Penelitian lanjutan yang menggunakan dua serat optik berdiameter berbeda
telah dilakukan oleh Wahyunik tahun 2010 untuk mendeteksi sampel ion timbal (Pb2+)
dalam air. Penyebab penelitian tersebut masih memiliki kelemahan karena membutuhkan
jumlah sampel yang relatif banyak.
Dalam penelitian ini digunakan fiber coupler sebagai pemandu sumber cahaya.
Sampel diletakkan di atas preparat tanpa menggunakan kuvet agar sampel yang akan
digunakan sebagai bahan uji tidak terlalu banyak seperti yang dilakukan pada penelitian
sebelumnya.
Pada makalah ini akan diperlihatkan pengembangan spektrofotometri menggunakan fiber
coupler untuk mendeteksi ion kadmium dalam air. Perubahan daya
seiring

serap larutan

dengan perubahan konsentrasinya diharapkan dapat memperlihatkan bahwa

metode ini dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi ion kadmium dalam air.

METODE PENELITIAN
Pembuatan sampel dibuat dengan pembuatan larutan induk terlebih dahulu agar
mudah untuk pembuatan sampel dengan konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi larutan

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

dalam penelitian ini dibuat dalam orde part per million (ppm) atau 1 mg/L. Larutan
kadmium induk 1000 ppm sebanyak 1000 mL dibuat dari
klorida

1630 mg

kadmium

(CdCl2) yang mempunyai berat molekul 183,4yang dilarutkan dalam aquades.

Larutan induk Dithizon 1000 ppm dibuat dengan melarutkan 1000 mg Dithizon yang
dilarutkan dalam 1000 mL aquades sebagai pelarutnya. Larutan kadmium dan larutan
Dithizon dengan konsentrasi
0.01-6 ppm dibuat dengan cara pengenceran dari laurtan

induk 1000

ppm

yang

diberikan pada persamaan dibawah ini.


V1 xM1 V2 xM 2
Keterangan :
V1 = Volume sebelum pengenceran
V2 = Volume setelah pengenceran
M 1 = Konsentrasi sebelum pengenceran
M 2 = Konsentrasi setelah pengenceran
Set up alat diperlihatkan pada gambar 1. Sensor pada penelitian ini menggunakan
laser hijau sebagai sumber cahaya. Cahaya dilewatkan pada fiber coupler menuju sampel
yang berada pada preparat (cermin). Mikrometer posisi berfungsi untuk memfokuskan
jarak antara fiber coupler dan sampel, serta untuk mempermudah dalam penggantian
sampel. Berkas cahaya yang mengenai sampel akan mengalami peristiwa absorbsi dan
kemudian dipantulkan kembali menuju detektor fotodioda dimana nilai intensitas yang
dihasilkan akan diubah menjadi tegangan yang kemudian akan dibaca melalui
mikrovolmeter.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Gambar 1. Set-up penelitian sensor konsentrasi ion kadmium dalam air.

Pendeteksian dilakukan terhadap beberapa variasi konsentrasi larutan antara


0.01-6 ppm.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian pengukuran konsentrasi ion kadmium (Cd) dalam air
menghasilkan data berupa tegangan keluaran detektor sebagai fungsi dari konsentrasi ion
kadmium (Cd) dalam air. Plot grafik tegangan detektor terhadap konsentrasi ion
kadmium (Cd) diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik tegangan keluaran detektor sebagai fungsi konsentrasi larutan


kadmium dalam air.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Berdasarkan hukum Beer-Lambert, radiasi yang ditransmisikan merupakan


fungsi eksponensial dari radiasi yang mengenai bahan. Oleh karena itu data pada
Gambar 2 akan diuji dengan regresi eksponensial. Hasil regresi eksponensial tersebut
dapat dilihat pada Gambar 3

Gambar 3 diuji dengan regresi linier.

Dari hasil regresi eksponensial di atas didapatkan persamaan


0,11

= 7,346

dengan faktor korelasi R2=0,665. Hasil regresi eksponensial tersebut sesuai

dengan hukum Beer-Lambert, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk mendeteksi
keberadaan ion kadmium dalam air. Untuk mencapai hal tersebut, maka data pada
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa hubungan antara tegangan keluaran
detektor dengan konsentrasi ion kadmium (Cd) tidak linier. Untuk mengetahui bahwa
tegangan detektor terhubung linier dengan konsentrasi, maka plot data yang tidak linier
dipotong sehingga diambil daerah linier. Daerah linier yang masing-masing ditunjukkan
pada Gambar 5a- Gambar 5c. Daerah linier 1 berada pada rentang konsentrasi
0.09 ppm. Plot daerah linier 1 menghasilkan

persamaan

= 27.28 + 9.667. Daerah linier 2 berada pada rentang 0.1-1


linier

menghasilkan persamaan

regresi

linier

regresi
ppm.

0.01-

linier

Plot

daerah

= 1.795 + 3.025. Daerah

linier 3 berada pada rentang 2-6 ppm. Plot daerah linier 3 menghasilkan persamaan
regresi linier

= 0.204 + 5.554.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Gambar 5. Grafik pengambilan daerah linier sensor (5a) 0-0.09 ppm dan (5b) 0.1-0.9
ppm (5c) 1-6 ppm.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Tabel

1.

Parameter

pengukuran

konsentrasi

kadmium

dalam

air

menggunakan fiber coupler.

Berdasarkan Gambar 5a-Gambar 5c dapat diketahui bahwa daerah linier 1 lebih


sensitif daripada daerah linier 2. Daerah linier 2 lebih sensitif daripada daerah linier 3.
Dalam eksperimen pengembangan spektrofotometri, resolusi konsentrasi ion kadmium
sebesar 0.01 ppm diberlakukan pada rentang 0.01-0.09 ppm. Resolusi 0.1 ppm
diberlakukan pada rentang 0.1- 1 ppm. Dan resolusi 1 ppm diberlakukan pada rentang 26 ppm. Hal t ersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa metode yang digunakan
pada

penelitian

ini dapat memperbaiki metode

sebelumnya yang

hanya mampu

menghasilkan resolusi sebesar 1 ppm. Konsentrasi 0.01 ppm diberlakukan sebagai batas
bawah pengukuran dan konsentrasi 6 ppm digunakan sebagai batas atas pengukuran.

KESIMPULAN
Dari pembahassan di atas dapat disimpulkan bahwa fiber coupler dapat
digunakan untuk mendeteksi konsentrasi ion kadmium dalam air dalam jumlah volume
sampel yang kecil pada sistem spektrofotometri. Resolusi dan rentang konsentrasi yang
dapat dideteksi untuk rentang 0.01-0.09 ppm adalah 0.01 ppm, untuk rentang 0.1-1 ppm
adalah 0.1 ppm, dan untuk 2-6 ppm adalah 1 ppm.

DAFTAR PUSTAKA
Afif, M, 2006, Penyempurnaan Alat Ukur Kadar Alumunium Dalam Air Dengan
Spektrofotometri Serat Optik Digital, Skripsi Jurusan Fisika Unair, Surabaya
Keiser, G., 1989, Optical Fiber Communications, MC Graw Hill, Inc, New York
Krohn, D.A., 2000, Fiber Optic Sensors: Fundamentals and Applications, 3rd,
ISA, New York.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Muhima,

R.R.,

2008,

Pengembangan Metode Spektrofotometri Serat Optik

Untuk Mendeteksi Kadar Ion Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd)nDalam Air,
Skripsi, Jurusan Fisika Unair, Surabaya
Purnomo,

D,

2009,

Logam Berat

Sebagai Penyumbang Pencemaran. Blog

Rukmono, T, 2005, Optimalisasi Instrumen Pelacak IonAlumunium Dalam Air


Dengan Metode Spektrofotometri Serat Optik, Skripsi, Jurusan Fisika Unair,
Surabaya
Samian, Herri Trilaksana (2010), Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai
Pergeseran Menggunakan LED, Jurnal Prosiding Seminar Fisika

Sensor

II, ISBN

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Sintesis dan Karakterisasi Kolagen dari Teripang-Kitosan


sebagai AplikasiPembalut Luka
Ayu Ratnawati*, Djoni Izak R*, Adri Supardi*
Departemen Fisika,Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya
Kampus C Mulyorejo, Surabaya 60115

e-mail: ayu.ratnawati90@gmail.com

Abstrak

Telah dilakukan penelitian pembuatan membran kolagen-kitosan. Penelitian ini


bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi kolagen-kitosan terhadap sifat
fisik dan mekanik material, serta mengetahui komposisi kolagen-kitosan yang sesuai
untuk aplikasi pembalut luka. Penelitian ini menggunakan kolagen yang berasal dari
ekstrak teripang dan kitosan yang berasal dari ekstrak kepiting dengan pelarut 0,5M asam
asetat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan komposisi
kolagen, maka sifat fisik dari membran adalah ketebalannya meningkat, persen swelling
menurun, dan pori-pori semakin rapat. Hasilpenelitian pada uji mekanik mengakibatkan
nilai kuat tarik menurun. Membran kolagen-kitosan 1:1 w/w memiliki hasil yang lebih
baik untuk digunakan sebagai aplikasi pembalut luka.

Kata kunci : kolagen, kitosan, teripang

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

PENDAHULUAN
Teripang atau timun laut merupakan salah satu biota laut yang memiliki banyak
manfaat. Teripang selain diolah sebagai bahan makanan, teripang juga diyakini berkhasiat
sebagai obat. Kemampuan teripang dalam regenerasi sel menjadi alasan utama teripang
berguna dalam penyembuhan berbagai penyakit. Pada tubuh teripang terkandung sekitar
80% berupa kolagen yang berguna sebagai pengikat jaringan dalam pertumbuhan tulang
dan kulit (Ayu, 2007).
Kolagen memegang peranan yang sangat penting pada setiap tahap proses
penyembuhan luka. Kolagen mempunyai kemampuan antara lain homeostasis, interaksi
dengan trombosit, interaksi dengan fibronektin, meningkatkan eksudasi cairan,
meningkatkan komponen seluler, meningkatkan faktor pertumbuhan dan mendorong
proses fibroplasia dan terkadang pada proliferasi epidermis (Triyono, 2005). Manfaat
kolagen dalam bidang medis adalah mempercepat tumbuhnya jaringan baru.
Dewasa ini, kitosan banyak dikembangkan dalam berbagai aspek bidang. Salah
satunya adalah dalam bidang medis. Produk-produk hasil teknologi kitosan salah satunya
adalah sudah mulai digunakan sebagai suatu sistem penyampaian obat topical berupa
membran (Ueno, 2001 dan Skaudrud, 1995 dalam Mutia, 2009). Oleh karena itu dari segi
teknologi, dimungkinkan untuk membuat produk tekstil bio-medis, karena bukan
merupakan produk yang memerlukan teknologi tinggi (Mutia, 2009). Kitosan mempunyai
sifat yang biokompatibel, biodegradable, tidak beracun, antimikroba, dan hydrating agen.
Karena sifat ini, kitosan menunjukkan biokompatibilitas yang baik dan efek positif pada
penyembuhan luka.
Penyembuhan luka dapat dilakukan dengan cara menutup luka tersebut dengan
pembalut luka untuk menghindari terjadinya infeksi. Pembalut luka yang ideal haruslah
menciptakan keadaan atau suasana yang menunjang penyembuhan luka. Menurut
karakterisasinya balutan luka yang ideal adalah menciptakan suasana atau keadaan yang
lembab untuk kesembuhan luka, mengontrol eksudat yang berlebih, menjaga kondisi suhu
yang stabil, dan tidak dapat dilalui mikroorganisme (Adimasmw, 2008).
Perkembangan pembalut luka banyak mengalami kemajuan, khususnya dalam
pembuatan polimer bio-medis. Adapun persyaratan utama untuk polimer bio-medis antara
lain yaitu harus bersifat non toksik, tidak menyebabkan alergi, mudah disterilkan,
mempunyai sifat mekanik yang memadai, kuat, elastis, awet (durability) dan
biocompatibility (kesesuaian alami). Adapun persyaratan utama dari tekstil medis

10

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

tergantung dari penggunaannya, antara lain daya serap, kekuatan, elastis, kehalusan, dan
biodegradasi. Serat alam yang memegang peranan penting dalam rencana baru di bidang
pembalut luka antara lain kolagen dan kitosan. Saat ini, teknologi pembuatan serat untuk
keperluan medis dan keperluan khusus lainnyasangat tergantung pada kebutuhan
masyarakat akan produk tersebut di masa yang akan datang (Mutia, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yangdilakukan adalah membuat membran
polimer biomedis dengan bahan dasar kolagen dan kitosan untuk aplikasi penutup luka.
Kolagen yang digunakan berasal dari teripang dan hewan ini banyak didapatkan di sekitar
perairan pantai. Pencampuran kitosan dengan kolagen diharapkan dapat mencampurkan
keunggulan antara sifat kitosan dengan sifat kolagen, sehingga nantinya akan dihasilkan
polimer biomedis dengan kinerja yang unggul untuk aplikasi penutup luka.

METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolagen dari ekstraksiteripang,
kitosan dari ekstraksi cangkang kepiting (DD=84,477%), aquades, NaOH, asam asetat.

Pembuatan Membran Kolagen-Kitosan


Sebanyak 0,5 gram kitosan dari sintesis cangkang kepiting dilarutkan dalam 0,5M
asam asetat sebanyak 25 ml hingga homogen. Kemudian kitosan distirrer selama 30
menit. Setelah itu ditambahkan kolagen dengan perbandingan (g) kolagen dengan kitosan
adalah 0:1, 1:1, 3:1, 6:1 dan distirrer selama 30 menit.
Membran dapat dicetak dengan menuangkan komposit kolagen-kitosan ke dalam
plat kaca dan meratakan permukaannya dengan ketebalan 1 mm. Kemudian kita
diamkan selama 24 jam pada suhu kamar. Bioplastik yang sudah kering dimasukkan
dalam bak koagulan berisi NaOH 4% untuk membantu melepaskan membran yang masih
melekat pada kaca. Diamkan membran selama 24 jam agar mudah pengambilannya.
Kemudian dikeringkan di atas mika untuk mempermudah pengambilan membran ketika
sudah kering.

Karakterisasi Membran Kolagen-Kitosan


Karakterisasi Spektrofotometer IR

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

11

Uji spektroskopi IR dilakukan untuk melihat gugus fungsional atau senyawa


kolagen-kitosan. Spektroskopi FT-IR adalah alat untuk mengukur serapan radiasi daerah
infra merah pada berbagai panjang gelombang. Secara kualitatif, spektroskopi FT-IR
dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada dalam struktur molekul.
Data yang dihasilkan dari uji spektrum FT-IR adalah puncak-puncak spectrum
karakteristik yang digambarkan sebagai kurva transmitansi (%) dan bilangan gelombang
(cm-1) pada sampel yang diujikan yang kemudian akan dianalisis. Untuk menganalisis
data yang dihasilkan dari pengukuran spektroskopi inframerah diperlukan tabel konversi
internasional yaitu Handbook IR.
Handbook IR untuk mencocokkan gugus-gugus dari senyawa kolagen-kitosan. Dari
data hasil pengukuran yang diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis kemungkinan
terjadinya persenyawaan kimia atau campuran mekanis.
Uji Tarik
Penentuan sifat mekanik dilakukan dengan cara memotong membran dengan ukuran
40x10 mm. Ujung-ujung membran dikaitkan pada alat uji dan beban penarik dipasang
pada satuan beban N. Membran ditarik dengan kecepatan tertentu hingga putus. Besar
beban penarik membran pada saat putus dicatat. Berdasarkan hasil ini diperoleh nilai
tegangan dengan menggunakan persamaan
=
sehingga akan diperoleh nilai kuat tarik (Tensile Strength).

Uji Ketebalan
Uji ketebalan pada sampel uji dilakukan

menggunakan mikrometer sekrup.

Ketebalan sampel diukur pada tiga posisi yaitu bagian atas, bagian tengah, dan bagian
bawah membran, kemudian hasilnya dirata-rata. Pengukuran ini bertujuan untuk
mengetahui keseragaman dan kontrol kualitas dari membran.
Uji Ketahanan Terhadap Air (Swelling)
Pengujian dilakukan dengan cara mengukur berat awal membran berukuran 2x2 cm
kemudian direndam dalam akuades selama 24 jam. Membran yang telah direndam diukur
lagi beratnya sehingga diperoleh prosentase air yang diserap dengan persamaan

12

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Uji MorfologiEdible Film


Uji morfologi membran dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik. Pengujian
dilakukan dengan cara memotong membran dengan ukuran 1 x 1 cm, kemudian
meletakkan sampel di atas preparat setelah itu diamati dengan menggunakan mikroskop
sehingga dapat terlihat struktur permukaan membran.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Karakterisasi Membran Kolagen-Kitosan
Uji FT-IR
Analisis

FT-IR

bertujuan

untuk

mengatahui

gugus

fungsi

yang

terbentukdarikompositkolagendankitosan.Karakterisasimembrankolagen-kitosan

ini

dilakukan dengan menggunakan alat Fourier Transform Infrared (FT-IR). Adapun untuk

4000

3500

3000

2500
2000
Wavenumber cm-1

1500

1000

602.86

897.06
849.45

1071.17
1031.63

1158.05

1415.33

1560.47

1657.57

2360.63

2921.25
2851.92

3452.64

20

40

Transmittance [%]
60
80
100

120

140

hasil spektrum IR komposit kolagen-kitosan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

500

Gambar 4.1. Spektrum IR kolagen-kitosan


Tabel 4.1.Data FT-IR membran kolagen-kitosan

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

13

Pada analisa FT-IR, membran kolagen-kitosan puncak khas kitosan berada pada
serapan bilangan gelombang 3452,64 cm-1 adalah kelompok gugus hidroksil (-OH).
Kelompok alifatik (-CH2 dan -CH3) terletak pada serapan bilangan gelombang 2918,73
cm-1. Pada puncak serapan bilangan gelombang 1657,57 cm-1 adalah C=O stretching.
Pada serapan bilangan gelombang 1560,47 cm-1 merupakan NH2bending. Adanya gugus
C-O stretching dari kelompok alkohol primer ditunjukkan pada serapan bilangan
gelombang 1415,33 cm-1. Pada serapan pita bilangan gelombang 1158,05 cm-1 adalah -CO-C- glikosidik hubungan antara monomer kitosan.
Pada kolagen memiliki puncak khas pada serapan bilangan gelombang 3452,64 cm-1
yang merupakan kelompok gugus hidroksil (-OH). Pada serapan bilangan gelombang
1657,57 cm-1 adalah amida I. Amida I adalah faktor penting dalam memahami struktur
sekunder dari protein (Su Rong et.al., 2009). Adanya amida II ditunjukkan pada serapan
bilangan gelombang 1560,47 cm-1. Amida II menunjukkan adanya struktur heliks
(Montoya, 2004 dalam Su Rong et.al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
interaksi yang paling dominan antara molekul kolagen dan molekul kitosan adalah
interaksi fisik (Tangsadthakun et.al., 2006). Sedangkan menurut (Fernandes, et.al, 2011)
bahwa senyawa OH, C=O, NH2 yang terbentuk dari komposit kolagen-kitosan berasal
dari penggabungan senyawa-senyawa yang terkandung dari kolagen dan kitosan.

Uji Tarik (Tensile strength)


Uji tarik digunakan untuk memperoleh nilai kuat tarik (Tensile Strength) membran
kolagen-kitosan. Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan perbedaan nilai kuat tarik (Tensile
Strength) membran kolagen-kitosan dengan berbagai variasi w/w.

Tabel 4.2. Data nilai kuat tarik membran kolagen-kitosan

14

Variasi kolagen-kitosan

(w/w)

(MPa)

0:1

1,330,12

1:1

1,590,38

3:1

0,180,07

6:1

0,060,01

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Berdasarkan Tabel 4.2, dapat dibuat grafik variasi komposisi kolagen-kitosan

Kuat Tarik
(MPa)

terhadap nilai kuat tarik yang dapatdilihatpadaGambar 4.2.


2.000
1.000
0.000
0

Variasi Kolagen (gram)

Gambar 4.2. Grafik kuat tarik membran kolagen-kitosan

Berdasarkan Gambar 4.2 menunjukkan perbedaan nilai uji tarik dari membran
kolagen-kitosan. Pada membran dengan kitosan menunjukkan nilai kuat tarik lebih rendah
dibandingkan dengan membran dengan penambahan kolagen-kitosan 1:1. Hal ini terjadi
karena kolagen merupakan protein yang memiliki kuat tarik (Tensile Strength) yang kuat
(Ernawati,1998). Namun pada penambahan kolagen-kitosan 3:1 dan 6:1 nilai kuat tarik
semakin menurun. Hal ini terjadi karena penambahan kolagen telah melewati batas
optimal sehingga membran yang dihasilkan bersifat brittle (kaku, getas) (Krisna, 2011).
Sehingga penambahan variasi kolagen yang terlalu tinggi tidak optimal lagi. Berdasarkan
nilai kuat tarik yang didapat, sesuai dengan Tabel 2.4, menurut Jansen dan Rottier (1958),
membran dengan variasi 0:1 dan 1:1 memenuhi syarat untuk diaplikasikan sebagai
pembalut luka.

Uji Ketebalan
Uji ketebalan dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi penambahan komposisi
kolagen pada membran. Uji ketebalan dilakukan dengan menggunakan mikrometer
sekrup dengan skala ketelitian 0,01 mm. Pengukuran ini dilakukan dengan mengambil
sampel membran kolagen-kitosan dari berbagai sisi yang berbeda, yaitu sisi atas, tengah,
dan bawah. Nilai yang didapat dihitung nilai rata-ratanya. Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Data pengukuran ketebalan rata-rata membran kolagen-kitosan

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

15

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dibuat grafik variasi kolagen-kitosan terhadap nilai
ketebalan membran yang dapatdilihatpadaGambar 4.2.
Ketebalan membran
kolagen-kitosan
(mm)

0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0

Variasi Kolagen (gram)

Gambar 4.3.Grafik ketebalan rata-rata membran kolagen-kitosan

Dari Gambar 4.3 menunjukkan perbedaan nilai ketebalan membran seiring dengan
penambahan variasi komposisi kolagen, dimana ketebalan membran semakin naik seiring
dengan peningkatan penambahan komposisi kolagen. Hal ini terjadi karena saat
penambahan kolagen semakin banyak maka menyebabkan larutan semakin pekat,
sehingga ketebalan membran kolagen-kitosan pun ikut meningkat. Hal ini dapat
dijelaskan karena sifat hidrofilik kolagen (Ezquerra-Brauer,et.al., 2012). Hidrofilik adalah
kemampuan untuk mengikat air, sehinggakandungan air dalam bahan meningkat dan
kadar air yang dihasilkan menjadi tinggi.
Ketebalan membran akan mempengaruhi karakteristik mekanik membran yang dihasilkan
diantaranya sifat kuat tarik (tensile strength). Pada penambahan komposisi kolagen yang
terlalu tinggi akan menghasilkan membran dengan sifat yang brittle (kaku, getas) (Krisna,
2011). Pengukuran ketebalan membran kolagen-kitosan ini dapat digunakan sebagai
kontrol kualitas untuk aplikasi pembalut luka yaitu memiliki ketebalan yang tipis tetapi
tidak mudah robek.

Uji Ketahanan Terhadap Air (Swelling)


Uji ketahanan terhadap air (swelling) dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi
kolagen pada membran yang terdiri dari kitosan terhadap persen air yang diserap oleh
membran. Tabel 4.4menunjukkan persen penyerapan air terhadap membran kolagenkitosan.

16

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Tabel 4.4. Data ketahanan terhadap air (swelling) membran kolagen-kitosan

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dibuat grafik variasi kolagen-kitosan terhadap nilai

% air yang diserap

persen penyerapan air yang dapatdilihatpadaGambar 4.2.


1000
800
600
400
200
0
0

Variasi Kolagen (gram)

Gambar 4.4. Grafik persen air yang diserap membran kolagen-kitosan

Dari Gambar 4.4 menunjukkan perbedaan nilai persen penyerapan air (swelling)
terhadap variasi komposisi kolagen, dimana kurva persen penyerapan air menurun seiring
dengan kenaikan komposisi kolagen. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Yan et.al.(2010). Persen penyerapan air (swelling) sangat tergantung pada sifat
hidrofilik dan mikro membran, karena kolagen dan kitosan keduanya bahan hidrofilik,
maka kemampuan untuk mempertahankan struktur membran yang berpori menjadi
penjelasan utama untuk perbedaan hasil persen penyerapan air (swelling).
Menurut Yan et.al.(2010), sifat mekanik

kolagen yang rendah menyebabkan

kolagen tidak dapat mempertahankan struktur berpori saat dibawa keluar dari aquades.
Sebaliknya, kitosan memiliki elastisitas yang lebih tinggi yang dapat membantu
mempertahankan struktur membran berpori. Oleh karena itu, persen penyerapan air
(swelling) akan menurun seiring dengan meningkatnya penambahan kolagen.
Menurut Saarai et.al(2011), nilai swelling yang dapat digunakan untuk aplikasi
pembalut luka antara 200-500 %. Sehingga dari hasil penelitian yang didapat
menunjukkan bahwa membran kolagen-kitosan nilai persen swellingnya memenuhi syarat
untuk digunakan untuk aplikasi pembalut luka.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

17

Uji Struktur Morfologi


Uji morfologi membran kolagen-kitosan dilakukan dengan menggunakan mikroskop
optik stereo. Uji ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh membran yang terdiri dari
campuran kolagen-kitosan.

Gambar 4.5. Penampang Atas membran kolagen-kitosan variasi 0:1 w/w, perbesaran 100x

Gambar 4.6. Penampang Atas membran kolagen-kitosan variasi 1:1 w/w, perbesaran 100x

Gambar 4.7. Penampang Atas membran kolagen-kitosan variasi 3:1 w/w, perbesaran 100x

Gambar 4.8. Penampang Atas membran kolagen-kitosan variasi 6:1 w/w, perbesaran 100x

18

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Dari pengamatan dengan menggunakan mikroskop optik dapat dilihat pengaruh


penambahan variasi komposisi kolagen terhadap struktur permukaan membran. Pada
variasi membran kolagen-kitosan 0:1 menunjukkan pori-pori yang besar, terlihat pada
hasil mikroskop optik membran berwarna gelap (Gambar 4.5a). Pada variasi membran
kolagen-kitosan 1:1 menunjukkan pori-pori yang mengecil (Gambar 4.5b). Pada variasi
membran kolagen-kitosan 3:1 dan 6:1 pori-pori menjadi sangat kecil (Gambar 4.5c dan
Gambar 4.5d).
Perbedaan variasi komposisi kolagen, menunjukkan pori-pori semakin mengecil
seiring dengan meningkatnya komposisi kolagen (Tangsadthaku,et.al, 2006). Hal ini
dapat digunakan sebagai data pendukung terhadap uji ketahanan terhadap air (swelling),
dimana nilai persen penyerapan air semakin menurun seiring dengan penambahan
komposisi kolagen. Persen penyerapan air (swelling) semakin menurun menunjukkan
bahwa pori-pori pada membran kolagen-kitosan juga semakin mengecil.
Penurunan ukuran pori-pori pada membran kolagen-kitosan dapat dijelaskan dengan
pendekatan impregnasi (intensisi) polimer. Membran yang hanya terdiri dari partikel
kitosan memiliki banyak pori yang memungkinkan terjadinya proses impregnasi
(intensisi) tersebut, akibatnya pori-pori menjadi lebih kecil.

KESIMPULAN

Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan variasi komposisi kolagen


pada membran memberikan pengaruh pada sifat fisik dan mekanik material. Semakin
banyak penambahan komposisi kolagen maka sifat fisik dari membran adalah
ketebalannya meningkat, persen swelling menurun, dan pori-pori semakin rapat.
Sedangkan pada uji mekanik mengakibatkan nilai kuat tarik menurun. Membran kolagenkitosan 1:1 w/w memiliki hasil yang lebih baik untuk digunakan sebagai aplikasi
pembalut.

DAFTAR PUSTAKA

Adimasmw,

2008.

Karakteristik

Balutan

Luka

yang

Ideal,

http://adimasmw.wordpress.com/2008/05/09/karakteristik-balutan-luka-yangideal/. Diakses 20 Desember 2011.


Ayu,

2007.

Teripang,

potensi

di

dasar

samudera

Indonesia.www.suaramerdeka.com/harian/0704/23/ragam01.htm-9k. Diakses 6
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

19

Desember 2011.
Ernawati, Kholis, 1998. Studi Pendahuluan Karakterisasi Gelatin dari Tulang Sapi dan
Tulang Babi, Skripsi, Kimia UNAIR, Surabaya.
Esquerra-Brauer,Josafat Marina.et al., 2012, Jumbo Squid (Dosidicus gigas): A New
Source

of

CollagenBio-Plasticizer,http://www.intechopen.com/books/recent-

advances-in-plasticizers/collagen-from-byproducts-of-jumbo-squid-dosidicusgigas-new-source-of-plasticizer-agents.
Krisna, Dimas Damar Adi, 2011, Pengaruh Regelatinasi dan Modifikasi Hidrotermal
terhadap Sifat Fisik pada Pembuatan Edible Film Dari Pati Kacang Merah
(Vigna angularis sp.), Tesis, Program Magister Teknik Kimia, UNDIP,
Semarang.
Mutia, Theresia, 2009. Peranan Serat Alam untuk Bahan Baku Tekstil Medis Pembalut
Luka (Wound Dressing). Arena Tekstil, Vol.24, No.2, halaman 81.
Su,Xiu-Rong,et al.,2009, Characterization of Acid-Soluble Collagen from the Ceolomic
Wall of Sipunculida, Elsevier.
Tangsadthakun,Chalonglarp.et al., 2006. Properties of Collagen/Chitosan for Skin Tissue
Engineering. Journal of Metals, Materials and Minerals. Vol. 16 No.1 pp.37-44.
Saarai,A,.et al, 2011, A Comparative Study of Crosslinked Sodium Alginate/Gelatin
Hydrogels for Wound Dressing, Recent Researches in Geography, Geology,
Energy, Environment and Biomedicine.
Triyono, Bambang, 2005. Perbedaan Tampilan Kolagen di sekitar Luka Insisipada Tikus
Wistar yang diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang tidak
diberi Levobupivakain, Tesis, Program Megister Biomedis dan PPDS I, UNDIP,
Semarang.
Yan,Le-Ping,et al., 2010, Genipin-Cross-Linked Collagen/Chitosan Biomimetic Scaffolds
for Articular Cartilage Tissue Engineering Applications, Journal of Biomedical
Materials Research,Vol 95A.

20

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

SINTESIS DAN KARAKTERISASI EDIBLE FILM BERBASIS POLIMER


ALAM MENGGUNAKAN KITOSAN , PATI DAN GLISEROL

Erik Fransisco H, Djoni Izak, Jan Ady


Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Kampus C Unair Jl. Mulyorejo, Surabaya 61113

Abstrak

Setelah dilakukan penambahan plasticizer Gliserol pada edible film pati-kitosan.


Plasticizer berfungsi untuk mengurangi kekakuan supaya edible film terhindar dari
keretakan. Hasil penelitian menunjukkan semua edible film memiliki karakteristik
yang

memenuhi standar sebagai kemasan. Edible film terbaik ditunjukkan dengan

gliserol 2%, dimana nilai ketebalannya adalah 110,5 45,11 m, kuat tarik sebesar
50 Kgf/cm2, elongasinya sebesar 31,48 %,

air yang diserap 3,215 %, struktur

permukaannya rata dan bersifat non toksik. Penelitian tersebut

menunjukkan

penambahan gliserol yang paling efektif adalah tidak lebih dari 2% w/v.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

21

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi mempengaruhi

variasi

bentuk

dan teknologi

pengemasan sebagai salah satu cara melindungi dan memperpanjang umur simpan hasil
pertanian. Kini, penggunaan plastik

sebagai

bahan

kemasan meningkat. Faktanya,

kemasan sintetik ini justru dapat merusak kesehatan dan lingkungan.

Karena

itu,

digunakanlah edible packaging sebagai kemasan alternatif. Edible packaging dibuat


dari komponen

berbahan

dasar

polisakarida pati sehingga pemanfaatan pati tapioka

berpotensi menurunkan biaya produksi.


Umumnya, pembuatan edible packaging melalui proses pelarutan, pemanasan,
pencetakan, pendinginan, pengeringan, dan penyimpanan. Potensi edible packaging
sebagai kemasan primer, barrier, pengikat, dan pelapis diharapkan dapat mendorong
penemuan bahan dasar lain untuk meningkatkan kualitas edible packaging sekaligus
mengurangi masalah lingkungan. Seiring dengan kesadaran manusia akan persoalan
ini, maka penelitian bahan kemasan diarahkan pada bahan yang dapat dihancurkan
secara alami dari bahan-bahan alami yang dapat diperbaharui. Kemasan ini disebut
dengan kemasan masa depan (future packaging), yaitu kemasan plastik edible yang
selanjutnya disebut sebagai edible film.
Edible

film

adalah

lapisan

tipis yang dibuat dari bahan yang dapat

dimakan, dibentuk di atas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat


transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut), dan atau sebagai
carrier bahan makanan atau aditif dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan
(Krochta, 1992). Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film
kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat
mencegah produk kehilangan kelembaban, memiliki permeabilitas

selektif terhadap

gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan

mempertahankan

terlarut

untuk

warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna,
pengawet, dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan.
Komponen
plasticizer.

yang

Plasticizer

cukup
adalah

besar dalam pembuatan edible film adalah


bahan organik dengan berat molekul rendah

untuk memperlemah kekakuan polimer sekaligus meningkatkan fleksibilitas dan


ekstensibilitas polimer. Dalam edible film, plasticizer berfungsi untuk meningkatkan
fleksibilitas dan ekstensibilitas film, menghindarkan film dari keretakan, meningkatkan
permeabilitas terhadap gas, uap air, dan zat terlarut, serta meningkatkan elastisitas
film.

22

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Adapun

tujuan

dari

penelitian

ini adalah untuk mengetahui pengaruh

penambahan plasticizer gliserol terhadap sifat mekanik dan sifat fisik edible film patikitosan dan mengetahui komposisi gliserol yang memberikan

karakteristik yang

memenuhi standar sebagai edible film.

METODE PENELITIAN
Penyiapan Sampel
Limbah cangkang kepiting dibersihkan lalu dijemur di bawah sinar matahari.
Setelah kering limbah cangkang kepiting dihaluskan kemudian diayak mengunakan
ayakan 40-60 mesh.

Proses Deproteinasi
Pembuatan larutan NaOH 3,5 % (w/v) dilakukan dengan cara menimbang
sebanyak 35 gram NaOH, kemudian dilarutkan menggunakan akuades dalam gelas beker
ukuran 1liter dengan ketentuan NaOH dimasukkan sedikit demi sedikit karena pada
NaOH terjadi reaksi eksoterm. Setelah larut semua, dipindahkan kedalam labu ukur 1
liter dan ditambahkan akuades sampai tanda batas kemudian dikocok sampai homogen.
Sebanyak limbah kulit kepiting ditambahkan dengan natrium hidroksida 3,5 %
perbandingan 1:10 (w/v). Cuplikan diaduk di atas pemanas dan dibiarkan selama 2 jam
pada suhu 75C. Kemudian dilakukan pemisahan antara residu dan filtrat dengan
penyaringan. Residu dicuci dengan akuades hingga pH netral, lalu dikeringkan dalam
oven pada suhu 75C selama 2 jam sehingga dalam proses ini didapatkan crude
kitin. Crude kitin yang diperoleh ditimbang dan dicatat.

Proses Demineralisasi
Pembuatan larutan HCl 2N (v/v) dilakukan dengan cara mengambil HCl
10N sebanyak 200 ml dan diencerkan kedalam labu ukur hingga volume larutan menjadi
1 liter dengan ketentuan akuades dimasukkan terlebih dahulu kedalam labu ukur
kemudian ditambahkan HCl dan dikocok sampai homogen.

Proses Deasetilasi
Pembuatan larutan NaOH 60 % (w/v) dilakukan dengan cara menimbang
300 gram NaOH, kemudian dilarutkan menggunakan akuades dalam gelas beker
500 ml dengan ketentuan NaOH dimasukkan sedikit demi sedikit karena pada
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

23

NaOH

terjadi

reaksi

eksoterm. Crude kitin hasil deproteinasi kemudian

ditambahkan asam klorida 2N dengan perbandingan 1:15 (w/v). Cuplikan diaduk di atas
pemanas dan dibiarkan selama 30 menit
pemisahan

antara

residu

pada suhu 38C.

Kemudian dilakukan

dan filtrat dengan penyaringan. Residu dicuci dengan

akuades hingga pH netral, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 75C selama 2 jam
sehingga dalam proses ini dihasilkan kitin.

Kitin yang diperoleh kemudian ditimbang

dan dicatat. Kitin hasil demuneralisasi direaksikan dengan larutan natrium hidroksida
60 % dengan perbandingan 1:10 (w/v),

kemudian diaduk

diatas

pemanas

air

pada suhu 100C selama 2 jam. Residu dicuci hingga pH netral dan dikeringkan dalam
oven dengan suhu 75C selama 2 jam sehingga dalam proses ini dihasilkan kitosan
kemudian ditimbang dan dicatat.

Karakterisasi Kitin dan Kitosan


Cara mengetahui adanya perubahan kitin menjadi kitosan yang diperoleh dari
proses deasetilasi, maka dilakukan uji kelarutan. Uji kelarutan antara kitin dan kitosan
dapat

dilakukan dengan dalam larutan asam asetat 0,75 %. Jika serbuk tersebut

tidak larut, maka serbuk tersebut adalah kitin.

Namun apabila serbuk tersebut larut,

maka serbuk tersebut telah menjadi kitosan.

Pembuatan Edible Film


Proses

pembuatan

edible

film dimulai dari pelarutan bahan dasar berupa

kitosan 4% w/v dalam asam asetat 0,75% dengan cara pengadukan selama 5 menit.
Larutan yang diperoleh berwarna kuning terang dan terdapat gelembung-gelembung
udara yang terbentuk akibat pengadukan. Setelah kitosan larut sempurna, kemudian
ditambahkan pati 6% w/v yang telah dilarutkan dalam air panas pada suhu 60 C
65 C. Campuran pati dan kitosan kemudian ditambahkan plasticizer yang telah
dilarutkan pada etanol 96%. Karena gliserol hanya akan larut sempurna pada larutan
etanol / alkohol. Setelah semua bahan tercampur, larutan diaduk dengan magnetik
stirer selama 30 menit agar diperoleh larutan yang homogen.
Pada proses pembuatan edible film dilakukan variasi komposisi gliserol dengan
perbandingan 0% w/v, 1% w/v, 2% w/v, 3% w/v, 4% w/v, 5% w/v. Larutan edible film
yang telah terbentuk didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar dengan tujuan agar
gelembung udra yang terperangkap pada saat pengadukan hilang sehingga tidak
menganggu penampilan edible film. Larutan tersebut kemudian dituang pada plat kaca

24

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

yang telah dibersihkan dan sisi-sisinya diberi selotip. Selanjutnya silinder stainless steel
digerakkan ke bawah untuk membentuk lapisan tipis pada plat kaca dan dikeringkan
pada suhu ruang.

Film yang telah kering tersebut kemudian dicelupkan ke dalam larutan NaOH
4% untuk membantu melepaskan film yang masih melekat pada kaca. Berdasarkan
hasil penelitian edible film dapat terlepas dari plat kaca selama 10 menit. Larutan
NaOH dalam hal ini berfungsi sebagai larutan non pelarut yang dapat berdifusi ke bawah
lapisan edible film sehingga edible film tidak melekat pada plat kaca dan mudah
untuk dilepas. Skema pengelupasan edible film akibat difusi larutan NaOH dapat
dilihat pada Gambar 2
Edible film kemudian direndam dalam akuades untuk menghilangkan larutan
alkali yang masih menempel dengan cara menarik secara serempak pada kedua ujungnya
dan dimasukkan ke dalam bak koagulen yang berisi akuades. Edible film yang telah
bersih, kemudian dikeringkan di atas mika untuk mempermudah pengambilan edible
film ketika sudah kering.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

25

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dari Proses Deproteinasi
Dalam proses deproteinasi

ini menyebabkan protein dari kitin terekstrak

dalam bentuk Na-proteinat. Ion Na dari senyawa kalsium akan bereaksi dengan
asam

klorida menghasilkan

yang

bermuatan

negatif

kalsium NaOH akan mengikat ujung rantai protein


dan

mengendap kemudian

untuk

menghilangkan

proteinyang telah diikat Na , residu yang diperoleh dicuci dengan akuades. Proses
pencucian juga bertujuan untuk menghilangkan

NaOH

yang

mungkin masih

tersisa dalam residu sehingga residu dicuci dengan akuades hingga pH netral.
Produk yang diperoleh pada tahap ini disebut crude kitin. Crude kitin yang
diperoleh sebesar 75,3 gram dari 100 gram cangkang kepiting, sehingga terjadi
pengurangan massa sebesar 24,7% yang disebabkan oleh protein yang terkandung
dalam cangkang kepiting telah larut dalam pereaksi.

Hasil dari Proses Demineralisasi


Kandungan mineral utama dalam cangkang

kepiting

adalah CaCO3 dan

disebabkan oleh mineral yang terkandung dalam cangkang kepiting telah larut dalam
pereaksi.

Hasil dari Proses Transformasi Kitin menjadi Kitosan


Kitosan yang diperoleh pada penelitian sebesar 17,35 gram dari 40,67 gram kitin,
sehingga terjadi pengurangan massa sebesar 23,32%.
kitosan

26

dapat

diketahui

dari

Perbedaan antara kitin dan

sifat Kitosan yang diperoleh pada penelitian sebesar

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

17,35 gram dari 40,67 gram kitin, Ca3 PO4 .

Pada

proses

demineralisasi, klorida

yang larut dalam air, gas CO 2 asam pospat yang larut dalam air.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Setelah melewati proses deproteinasi selanjutnya proses demineralisasi yang


hasil proses tersebut disebut kitin. Kitin yang diperoleh pada penelitian sebesar 40,67
gram dari 75,3 gram crude kitin, sehingga terjadi pengurangan massa sebesar 34,63%
yang sehingga terjadi pengurangan massa sebesar 23,32%.
dan

kitosan

dapat

diketahui

dari

Perbedaan antara kitin

sifat utama kitin yang dicirikan sangat

hidrofobik, tidak larut dalam beberapa pelarut organik dan rendah reaktifitas kimia.
Hal ini menyebabkan kitin harus ditransformasi menjadi kitosan. Pemutusan gugus asetil
pada kitin mengakibatkan kitosan bermuatan positif (kationik) dan lebih

reaktif

sehingga dapat larut dalam asam asetat encer sekalipun. Kitosan yang didapatkan
kemudian diuji dengan uji kelarutan terhadap asam asetat 0,75%

Berdasarkan Gambar 5 edible film dengan variasi komposisi Gliserol mempunyai

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

27

Pada edible film yang terdiri dari campuran pati dan kitosan tanpa penambahan
plasticizer

Gliserol

tlihat bahwa

elongasinya

adalah

5,26

% sedangkan pada

penambahan Gliserol 1% terjadi peningkatan elongasi menjadi 26,79 %. Pada


penambahan Gliserol 2%, 3%, 4% dan

5%

memberikan

elongasi

sebesar 31,48;

25,45; 24,07; 20%.


Penambahan Gliserol 2% diperoleh nilai elongasi yang paling tinggi namun pada
konsentrasi yang lain

tetap di atas nilai elongasi edible film tanpa penambahan

Gliserol. Hal tersebut membuktikan

adanya

pengaruh penambahan Gliserol yang

berfungsi untuk meningkatkan elongasi edible film. Besarnya elongation menentukan


keuletan ketebalan yang berbeda. Pada edible film pati-kitosan dengan variasi
penambahan Gliserol 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 % (w/v) memberikan

nilai

111,233; 108,233; 110,5; 113; 133,967 dan 115,933 m . Ketebalan

ketebalan
edible

film

meningkat seiring dengan peningkatan penambahan plasticizer um Gliserol(ductility)

28

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

suatu material, bila nilainya mendekati nol maka material tersebut merupakan material
yang rapuh (Van Vlack, 2004).

Pada edible film pati-kitosan dengan variasi penambahan Gliserol 0, 1, 2, 3,


4 dan 5 % (w/v) memberikan nilai air yang

diserap

adalah

8,27%;

1,52%;

3,215%; 5,797%; 7,781% dan 8,528 %.


Penelitian ini dapat mengetahui bahwa, semakin banyak penambahan Gliserol
menyebabkan jumlah air yang diserap juga semakin sedikit.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa plasticizer bekerja dengan cara
melekatkan dirinya sendiri diantara rantai-rantai polimer. Terjadi hal lain ketika
penambahan Gliserol lebih dari 2% yang menunjukkan pada penampang atas edible
film terdapat

Gliserol

terlihat gelembung

yang tidak

merata

yang

ditunjukkan

dengan edible

gelembung yang banyak, padahal seharusnya Gliserol berada

diantara pati dan kitosan.


Hal ini terjadi karena penambahan Gliserol telah melewati batas sehingga
molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase tersendiri di luar fase pati dan
kitosan. Hal tersebut mengakibatkan Gliserol pada edible film semakin terlihat tidak
merata. Hal ini berpengaruh pada sifat mekanik dan ketahanan edible film yang semakin
menurun. Pada metode BSLT dilakukan dengan menghitung jumlah larva Artemia salina
yang mati pada masing-masing larutan uji setelah 24 jam dan dikoreksi dengan kematian
Artemia salina pada larutan kontrol 0 ppm.
Hal tersebut membuktikan bahwa edible film dengan bahan dasar pati, kitosan
dan penambahan Gliserol dengan variasi 0% sampai 5% bersifat non toksik sehingga
memenuhi standar sebagai edible film yaitu kemasan yang aman untuk dimakan.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

29

KESIMPULAN
Gliserol berpengaruh pada karakteristik edible film yang terdiri dari campuran
pati kitosan. Penambahan gliserol membuat struktur penampang edible film semakin
halus dan fleksibel, edible film semakin tebal, kekuatannya menurun, elongasinya
semakin naik, ketahanan terhadap air semakin meningkat dan tidak toksik. Karakteristik
edible film yang

terbaik

ketebalannya adalah

110,5

yaitu

pada

45,111

penambahan gliserol 2%, dimana nilai


m,

kuat

50 Kgf/cm2,

tarik sebesar

elongasinya sebesar 31,48 %, air yang diserap 3,215 %, struktur permukaannya


rata dan tidak terdapat gelembung serta bersifat non toksik. Edible film komposit hasil
sntesis dari bahan dasar kitosan, pati dan gliserol dapat digunakan sebagai plastik
kemasan karena memenuhi standar sifat mekanik tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Feast, et all. 1992. Recent developments in the controlled synthesis and manipulation
of

electroactive organic polymers. Cavendish Laboratory, Cambridge

University, Cambridge CB3 0HE, UK


Hart. 1983. Organic Chemistry, a Short Course.

6th Ed.

Michigan

: Houghton

Mifflin.
Hui,

Y.

H.

2006,

Handbook

of

Food Science, Technology, and, Engineering

Volume I. CRC Press, USA


Juniartidkk,2009KandunganSenyawa Kimia, UjiToksisitas
Test)

Dan

(Brine Shrimp Lethality

Antioksidan (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazyl)

EkstrakDaun

Saga (Abrusprecatorius

Dari

L.)Makara, Sains,

VOL. 13 Universitas YARSI, Jakarta 10510, Indonesia


Krochta, J.M.,1992, Control of Mass Transfer in Food with Edible Coating and Film,
di dalam: Singh, R.P. dan M.A. Wira.
Kurnia, Winda Agesia , 2009, Sintesis Dan Karakterisasi Edible Film Komposit Bahan
Dasar Kitosan , Pati dan Asam Laurat, Skripsi, Fisika FsaintekUniversitas
Airlangga, Surabaya.
Kurita, K. (1998). Controlled functionalization of the polysaccharide chitin.Journal of
Polimer Science. 26, 192171.
Meyer, B. N., N.R. Ferregni, J.E. Putnam, L.B Jccobson, D.e. Nichols, .L. McLaughin,
1982, Brine Shrimp: Convenient

Gener

say

for Active Plant


al Bioas

30

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Constituents,PlantaMedica45: 31-34.
Mulya, M., danSuharman.(1995). Analisis Instrumental.Surabaya: Airlangga University
Press: Hal. 40 Ornum, J.U. (1992). Shrimp Waste Must It Be Wasted?.Infofish.
6, 48-51
Park et al., 1996. Journal of Food Science Volume 61, Issue 4, pages 766768, July
1996
, A. 2006.Dasar DasarBiokimia. EdisiRevisi. Jakarta: UI - Press.
Pudjiastutidan Supeni. 2005.Plastik Layak Santap (Edible Plastic) dari Tapioka
Termodifikasi, Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jakarta
Wirjosentono, B.,

dkk.

1995. AnalisisdanKarakteristikPolimer. EdisiPertama.

CetakanPertama. Medan:

PenerbitUniversitas Sumatera Utara USU Press.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

31

Studi Awal Aplikasi Fiber coupler Sebagai Sensor Tekanan Gas


Hermawan Prabowo, Samian, Supadi
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya
Kampus C Mulyorejo, Surabaya 60115

e-mail : samian_fst@ unair.ac.id

Abstrak

Deteksi tekanan gas berbasis sensor pergeseran fiber coupler

telah dilakukan

dengan bantuan membran berbahan latex yang difungsikan sebagai reflektor. Prinsip
deteksi adalah perubahan tekanan gas pada membran dideteksi melalui perubahan daya
optis cahaya pantulan dari membran yang masuk ke kanal sensing fiber coupler.
Perubahan daya optis tersebut terbaca melalui perubahan tegangan detektor optis. Gas
dalam penelitian ini berupa udara yang terkompresi dalam tabung. Terdapat tiga variasi
diameter dan ketebalan membran masing- masing adalah 6 mm dan 0,39 mm, 8 mm dan
0,44 mm, serta 10 mm dan 0,49 mm. Hasil eksperimen memperlihatkan kinerja sensor
terbaik diberikan oleh membran berdiameter 6 mm dan tebal 0,44 mm

dengan

parameter resolusi, jangkauan, daerah linier, dan sensitivitas masing-masing sebesar 0,5
Psi, 8,5 Psi, 1 7,5 Psi, dan 27,8 mV/Psi.

Kata kunci: Fiber coupler, membran, sensor tekanan gas.

32

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

PENDAHULUAN
Aplikasi serat optik sebagai sensor dibidang industri, medis dan militer telah
berkembang sangat pesat seiring meningkatnya kebutuhan pengukuran dengan
akurasi

dan resolusi

tingkat

yang tinggi. Prinsip kerja serat optik sebagai sensor berbasis

pada modulasi intensitas, modulasi panjang gelombang dan modulasi fase cahaya (Krohn,
2000). Pengembangan serat optik sebagai sensor dalam hal ini fiber coupler telah
mampu dilakukan untuk mendeteksi pergeseran (Samian, 2009), perubahan temperatur
(Samian, 2010), dan perubahan ketinggian air (Samian, 2011).
Dalam paper ini akan dipaparkan pengembangan fiber coupler sebagai sensor
tekanan gas

(udara)

dengan

bantuan

membran.

Mekanisme kerja sensor adalah

perubahan tekanan gas pada membran dideteksi melalui perubahan daya optis cahaya
pantulan dari membran yang masuk ke kanal sensing fiber coupler. Karena prinsip
kerjanya tidak menggunakan
sensor

tekanan

gas

ini

signal
aman

listrik

dan gerakan

mekanis, maka

sistem

dari kebakaran atau ledakan. Dengan demikian

sistem sensor tekanan gas dengan fiber coupler dapat pula digunakan untuk bahan bakar
gas.
Aplikasi

directional coupler sebagai sensor pergeseran (Samian dkk, 2008) yang

telah dikembangkan menghasilkan jangkauan sensor sebesar 4 mm, rentang daerah linier
sebesar 1 mm, sensitivitas sebesar 55,4 W/mm serta resolusi pergeseran sebesar 5 m.
Berbasis pada sensor pergesaran tersebut, fiber coupler dikembangkan sebagai sensor
tekanan gas menggunakan membran berbahan latex polymer yang diberi

reflektor

sebagai media yang akan diamati akibat proses tekanan. Sifat elastisitas membran
akibat perubahan tekanan menjadi landasan untuk mengkonstruksi sensor tekanan dengan
memanfaatkan perubahan membran untuk menggeser cermin. Variasi dalam pemilihan
diameter dan ketebalan membran disesuaikan dengan rentang tekanan yang akan dideteksi.

METODE PENELITIAN
Desain Sensor
Desain fiber coupler sebagai sensor tekanan gas berbasis sensor pergeseran terdiri
dari laser, detektor optis,

fiber coupler,

dan

membran

yang

dilapisi reflektor

diperlihatkan pada Gambar 1.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

33

Gambar 1. Desain sensor tekanan


Prinsip kerja sensor tekanan adalah sebagai berikut. Cahaya dari laser dilewatkan
ke port masukan fiber coupler, selanjutnya sebagian dari cahaya tersebut dipancarkan
oleh port sensing menuju ke cermin. Cahaya pantulan dari cermin diterima kembali oleh
port

sensing

dan

sebagian

cahaya

tersebut terkopel menuju ke detektor.

Perubahan tekanan gas di dalam tabung mengakibatkan terjadinya perubahan membran


sehingga reflektor
pergeseran. Dengan

yang menempel pada bagian tengah membran mengalami


demikian

perubahan

tekanan

gas

akan terdeteksi melalui

perubahan daya optis yang diterima oleh detektor.


Pada penelitian sebelumnya aplikasi fiber coupler
dengan

sebagai

sensor

pergeseran

target berupa cermin datar (Samian dkk, 2008) diperoleh hubungan perubahan

daya optis sebagai fungsi pergeseran adalah sebagai berikut :

dengan c = (2 tan (sin 1 (NA))/a adalah konstanta yang nilainya bergantung pada jari-jari
dan tingkat numerik serat optik. Pb dan Pt adalah daya optis balik yang masuk dan yang
dipancarkan oleh kanal sensing fiber coupler. Sedangkan z adalah pergeseran cermin.
Persamaan (1) diperoleh dengan pendekatan berkas cahaya keluaran dari kanal sensing
fiber coupler berbentuk Gaussian.
Untuk gas dengan massa tertentu hasil kali volume (V) dan tekanan (P) adalah
konstan atau dapat juga diartikan bahwa volume gas dalam suatu ruangan tertutup akan
berbanding terbalik dengan tekanannya bila suhu gas tetap diperlihatkan oleh persamaan
berikut.

34

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Volume yang ditempati oleh suatu gas pada suatu tekanan dan temperatur yang
diberikan adalah sebanding dengan massanya (Halliday and Resnick, 1996). Dengan
melakukan pendekatan sistem berada pada kondisi gas ideal diharapkan gas yang
digunakan yaitu berupa udara jika diberi perlakuan apapun tidak akan merubah tekanan
(P), volume (V) dan suhu (T) dalam sistem. Sehingga, prinsip tekanan pada fluida statis
dimanfaatkan untuk pengukuran tekanan.

Eksperimen
Set-up eksperimen fiber coupler sebagai sensor tekanan gas menggunakan
membran berbahan latex polymer sebagai reflektor diperlihatkan pada Gambar 2. Set-up
eksperimen tersebut terdiri dari laser He-Ne dengan daya keluaran 30 mW (Melles Griot),
detektor silikon 818-SL (Newport), mikrovoltmeter (Leybold), mikrometer posisi dengan
resolusi 10 m (Uniphase), fiber coupler simetri 22, pipa yang dipakai terbuat dari
bahan kuningan dengan diameter bervariasi sebesar 6 mm, 8 mm, dan 10 mm, membran
berbahan Latex polymer (Double One) dengan tebal bervariasi sebesar 0.39 mm, 0.44
mm, dan 0.49 mm. Tabung gas dengan pressure gauge beresolusi 0,5 Psi dan kompresor
(Leybold). Tabung berbahan besi sebagai medium gas dimana terdapat empat buah
lubang, yakni lubang masukan untuk pengisian udara dari kompresor, lubang keluaran
untuk mengalirkan gas keluar dan lubang membran yang akan dideteksi serta lubang
untuk pressure gauge. Selain itu, tabung ini juga dilengkapi dengan keran pada lubang
keluaran sehingga dapat digunakan untuk mengatur tekanan gas di dalam tabung.

Gambar 2. Set-up alat percobaan


Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

35

Tahapan eksperimen dilakukan sebagai berikut : Langkah pertama adalah


mendekatkan mikrometer posisi berhimpit dengan membran, sehingga diperoleh posisi
awal mikrometer adalah 5,45 mm. Kemudian, menggeser mundur mikrometer posisi
hingga beberapa milimeter lalu mengisi tabung dengan gas berupa udara sampai dengan
tekanan optimum yang mampu diterima membran. Selanjutnya, melakukan pengukuran
tekanan pada diameter pipa 6 mm untukketebalan 0,39 mm dengan tekanan maksimum
sebesar 7,5 Psi. Setelah itu, menggeser kembali mikrometer posisi sampai berhimpit
dengan membran, sehingga diperoleh posisi mikrometer setelah membran bergeser akibat
tekanan gas dari dalam tabung yakni 6,95 mm. Langkah berikutnya adalah menggeser
mundur mikrometer sejauh sejauh 0,21 mm, sehingga diperoleh posisi akhir mikrometer
sebesar 7,16 mm.
Langkah berikutnya, memasukkan berkas cahaya laser ke kanal masukan fiber
coupler dan mencatat daya optis berkas balik (akibat terpantul oleh permukaan membran)
yang sebagian terkopling pada kanal deteksi. Perubahan daya optis tersebut terbaca
melalui perubahan tegangan keluaran detektor optis yang dimunculkan pada
mikrovoltmeter. Selanjutnya, tegangan keluaran detektor optis dicatat setiap perubahan
tekanan gas yang terbaca pada pressure gauge diturunkan sebesar 0,5 Psi. Tekanan gas
dari dalam tabung dikurangi dengan cara membuka keran tabung secara perlahan. Setelah
tekanan gas turun 0,5 Psi, keran ditutup dan tegangan keluaran detektor dicatat. Demikian
langkah tersebut dilakukan sampai tekanan gas dalam tabung mencapai 0 Psi. Pada
kondisi tekanan tertentu membran sudah tidak mampu menahan tekanan dari dalam
tabung sehingga melewati batas elastis, yang mana pada tekanan maksimum tersebut
merupakan batas atas yang bisa diamati.
Setelah proses diatas, masih menggunakan diameter pipa 6 mm membran diganti
dengan ketebalan 0,44 mm, selanjutnya mengisi kembali tabung dengan gas berupa udara.
Proses yang sama dilakukan terhadap membran dengan ketebalan 0,39 mm. Kemudian,
kembali melakukan hal yang sama dengan mengganti ketebalan membran 0,49 mm.
Proses karakterisasi yang sama dilakukan kembali untuk diameter 8 mm dan 10 mm.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil deteksi tekanan gas menggunakan fiber coupler sebagai sensor
diperlihatkan oleh grafik pada Gambar 3. Untuk ketiga jenis membran semakin besar
tekanannya maka akan semakin besar tegangan keluarannya. Hal tersebut terjadi karena
semakin besar tekanan membran, semakin cembung bentuk membran (reflektor) sehingga

36

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

posisi reflektor semakin mendekati kanal sensing fiber coupler. Dengan demikian,
semakin besar pula daya optis yang masuk ke kanal sensing fiber coupler.

Gambar 3. Grafik data tegangan keluaran detektor terhadap tekanan gas dengan tebal
bervariasi (a) diameter 6 mm, (b) diameter 8 mm, (c) diameter 10 mm.
Daerah linier dari data pada Gambar 3 diperlihatkan pada Gambar 4. Dari gambar
tersebut menunjukkan adanya hubungan linier antara tekanan gas terhadap tegangan
keluaran detektor. Hal tersebut menunjukkan bahwa fiber coupler telah bekerja dengan
baik sebagai sensor tekanan gas. Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan batas ukur tekanan
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

37

maksimum yang mampu diterima membran pada masing-masing ketebalan tidak sama.
Adanya perbedaan batas ukur tekanan tersebut dikarenakan membran yang digunakan
memiliki ketebalan yang berbeda sehingga akan mempengaruhi elastisitas membran.
Daerah linier dengan ketebalan bervariasi untuk diameter 6 mm, diameter 8 mm dan
diameter 10 mm berturut-turut diperlihatkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik daerah linier tegangan keluaran detektor terhadap tekanan gas dengan
tebal bervariasi (a) diameter 6 mm, (b) diameter 8 mm, (c) diameter 10 mm.

38

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Parameter sensor dengan diameter dan tebal bervariasi diperlihatkan pada Tabel
1. Dari parameter sensor tersebut menunjukkan bahwa pada diameter 6 mm dengan tebal
0,44 mm memiliki sensitivitas yang lebih besar. Sedangkan untuk diameter 8 mm dan
10 mm dipilih membran dengan tebal 0,39 mm. Adanya perbedaan dalam menentukan
diameter dan ketebalan membran yang paling baik tentu tidak bisa dilakukan secara
bersamaan, karena membran dengan diameter yang sama namun berbeda ketebalannya
memiliki rentang pengukuran yang tidak sama begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu,
dalam

menentukan diameter dan ketebalan membran disesuaikan dengan kegunaan

sensor.
Tabel 1. Parameter sensor tekanan gas menggunakan diameter dan tebal bervariasi.

Berdasarkan parameter sensor yang diperlihatkan pada Tabel 1 dapat diketahui


bahwa kinerja terbaik sensor ditunjukkan oleh membran berdiameter 6 mm dan tebal
0,44 mm. Hal tersebut dikarenakan

memiliki

sensitivitas

yang

baik

dan rentang

daerah liniernya yang tinggi.

KESIMPULAN
Berbasis pada sensor pergeseran, fiber coupler dapat diaplikasikan sebagai sensor
tekanan gas menggunakan membran (latex polymer) sebagai reflektor. Dari ketiga jenis
membran kinerja terbaik ditunjukkan oleh

membran berdiameter 6 mm dan tebal

0,44 mm dengan parameter resolusi, jangkauan, daerah linier, dan sensitivitas masingmasing sebesar
0,5 Psi, 8,5 Psi, 1 7,5 Psi, dan 27,8 mV/Psi.

DAFTAR PUSTAKA
Halliday, D., and Resnick, R., 1996, Fisika, Jilid I,Jakarta:Erlangga.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

39

Krohn, D.A., 2000, Fiber Optik Sensor, Fundamental and Application, 3rd, ISA, New
York.
Samian, Gatut Yudoyono, 2010, Aplikasi

Multimode Fiber coupler sebagai Sensor

Temperatur, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 6 (100104):1 4.


Samian, Supadi, 2011, Sensor Ketinggian Air Menggunakan Multimode Fiber coupler,
Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 7 (110203):1 4
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi,Directional

Couplersebagai

Sensor
Pergeseran Mikro, Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Fotonika, Teknik Fisika
ITS, Surabaya 24-25 April, 2008.
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi, A.H. Zaidan
(2009), Theoretical and Experimental Study of Fiber- Optik Displacement Sensor
Using

Fiber coupler, Journal of Optoelectronics and Biomedical Materials, Vol.

1, Issue 3, 303 308.

40

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

UJI ANTIBAKTERI NANO SEMEN GIGI ZINC OXIDE EUGENOL


Rizka Novitasari, Siswanto, Suryani Dyah Astuti
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstrak

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan nanopartikel


zinc oxide (ZnO) dalam pembuatan semen gigi zinc oxide and Eugenol terhadap sifat
antibakterinya, serta perbedaannya dengan menggunakan bahan mikropartikel. Sifat
antibakteri dilakukan dengan metode difusi cara sumuran dengan variasi bahan
nanopartikel serta mikropartikel ZnO 0,4 g; 0,45 g; 0,5 g; 0,55 g dan 0,6 g dengan
penambahan cairan Eugenol tetap 0,2 ml. Jenis bakteri yang digunakan Streptococcus
mutans. Hasil uji statistika menunjukkan data hasil penelitian terdistribusi normal yaitu
dengan nilai p=0,998 (p>0,05). Berdasarkan hasil uji Dunnet nilai signifikansi analisis
sampel nano terhadap kontrol adalah sebesar 0,001 berarti <0,05. Sedangkan nilai
signifikansi analisis sampel mikro terhadap control adalah sebesar 0,001 berarti <0,05.
Sementara uji Duncan didapatkan hasil pada kontrol rata-rata panjang diameter zona
bening sebesar 6,0000 mm, bahan mikro 15,6850 mm dan bahan nano 18,1050 mm. Hasil
uji antibakteri ZnO Eugenol menunjukkan semakin banyak penambahan bahan
nanopartikel dan mikropartikel pada semen gigi maka semakin besar daya antibakterinya,
artinya semakin baik bahan tersebut sebagai tambalan sementara. Dari hasil uji antibakteri
bahan nanopartikel jauh lebih baik dibandingkan dengan bahan mikropartikel. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa bahan nanopartikel ZnO Eugenol merupakan bahan yang
terbaik sebagai tambalan sementara pembuatan semen gigi.

Kata kunci: zona bening, nanopartikel, mikroparikel, ZnO Eugenol

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

41

Abstract

Have done the research to determine effect of the addition of nanoparticles of zinc oxide
(ZnO) in manufacture of dental cement

zinc oxide and Eugenol for antibacterial

properties, and the difference of it use microparticles. Antibacterial properties was done
by diffusion method carried out by way of wells with a variety of ZnO nanoparticles and
microparticles materials of 0.4 g, 0.45 g, 0.5 g, 0.55 g and 0.6 g by addition of 0.2 ml of
liquid remains Eugenol. Type of bacteria which used is Streptococcus mutans. The
results of statistical tests indicate that the research data is normally distributed with a
value of p=0.998 (p> 0.05). Based on the results of Dunnet test the significance of nano
scale sample analysis of means of control is equal to 0.001 <0.05. While the significance
analysis of micro samples of the control is the mean of 0.001, p <0.05. While the results
of Duncan test obtained the average length of clear zone diameter at the controls is
6.0000 mm, the micro material is 15.6850 mm and nano materials is 18.1050 mm. The
test result of Eugenol ZnO antibacterial showed the more addition of nanoparticles and
microparticles in dental cement, its mean the greater antibacterial power, the material is
better as a temporary patch. From the test results of antibacterial nanoparticles material
are better than the microparticles material. So it can be concluded that ZnO Eugenol
nanoparticle material is the best material for dental fillings while the manufacture of
cement.

Key words: clear zone, nanoparticles, mikroparikel, ZnO Eugenol

42

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

PENDAHULUAN
Nanoteknologi memberikan perubahan paradigma dalam cara pandang teknologi.
Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur
fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer. Material berukuran nanometer
memiliki sejumlah sifat kimia dan fisika yang lebih unggul dari material berukuran besar.
Nanoteknologi juga merupakan teknik dalam menyusun dan mengkontrol atom demi
atom atau molekul demi molekul untuk membuat material baru (Rochman, 2009).
Pembuatan semen gigi adalah contoh aplikasi medis dalam pengembangan
nanoteknologi. Semen gigi merupakan bahan yang digunakan untuk menambal gigi.
Biasanya digunakan pada mahkota gigi. Secara umum semen gigi terbagi menjadi 4
macam, yaitu semen seng

fosfat (zinc phosphate cement), semen polikarboksilat

(polycarboxylate cement), semen gelas ionomer (glass ionomer cement), dan semen seng
oksida dan eugenol (zinc oxide and eugenol cement) (Noort, 1994). Semen seng oksida
dan eugenol (zinc oxide and eugenol cement) digunakan sebagai penyemenan pada bagian
mahkota, jaket (complete crown) dan intermediate base (Combe, 1992).
Semen gigi seng oksida dan eugenol (zinc oxide and eugenol cement) dengan
bahan dasar zinc oxide (ZnO) mempunyai banyak kelebihan dibandingkan semen gigi
lain. Diantaranya struktur kimianya stabil, tidak beracun, dan dapat digunakan sebagai
aditif ke dalam berbagai bahan. Semen gigi zinc oxide and eugenol, dapat dibuat melalui
pencampuran eugenol yang tersusun dari cairan, dan zinc oxide yang tersusun dari bubuk,
magnesium oksida dalam jumlah kecil, zinc asetat dalam jumlah hingga 1% dipergunakan
sebagai akselerator untuk reaksi setting. Cairan eugenol memiliki bahan utama minyak
cengkeh, minyak olive dalam jumlah hingga 15% dan asam asetat (Combe, 1992).
Penelitian tentang penambahan zinc oxide (ZnO) dalam pembuatan semen gigi
telah dilakukan sebelumnya Erik Wahyu (2011). Sampel yang digunakan dalam
penelitian tersebut adalah semen gigi seng fosfat (Zinc Phosphate Cement) tanpa
penambahan bahan nanopartikel zinc oxide (ZnO) dan sampel semen gigi seng fosfat
(Zinc Phosphate Cement) dengan penambahan bahan nanopartikel zinc oxide (ZnO).
Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan nilai kekerasan dan kekuatan
tekan seiring dengan meningkatnya penambahan bahan nanopartikel. Penelitian lain juga
dilakukan Ardini Prihantini (2011). Hasilnya, karakterisasi zinc oxide secara fisis
nanopartikel zinc oxide memiliki sifat fisis yang halus dan sedikit patahan. Begitu juga
dengan mekanismenya, nanopartikel zinc oxide memiliki kuat tekan dan kekerasan yang
meningkat seiring penambahan bubuk nanopartikelnya.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

43

Dalam pembuatan semen gigi ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan yaitu
mudah dipersiapkan, tidak mudah larut dalam saliva. Serta mempunyai kekuatan yang
cukup untuk menerima bahan kunyah dalam jangka waktu tertentu, tidak mudah bocor,
biokompatibilitas, tidak beracun. Syarat yang cukup penting yang harus dimiliki oleh
semen gigi adalah mempunyai sifat antibakteri (Linda, 2007). Antibakteri merupakan
suatu zat yang mencegah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Beberapa
contoh bakteri atau mikroorganisme yang terdapat dalam rongga mulut diantaranya
adalah Streptococcus mutans, S.salivarius, S.mitis, S.sanguis, Enterococci, gram positive
filaments, Lactobacili, Veilonella spp, Neisseria spp, Bacteroides oralis; Bacteroides
melaninogenikus, Spirochetes, Vibrio dan Fusibacterium spp (Philip). Suasana rongga
mulut sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme (Linda, 2007).
Semen zinc oxide eugenol dengan kandungan eugenolnya memiliki kekuatan
antibakteri yang kuat. Umumnya bahan zinc oxide dalam ukuran mikropartikel, namun
dalam penelitian ini menggunakan bahan nanopartikel zinc oxide untuk mengetahui
perbedaannya dengan bahan mikropartikel zinc oxide.
Rumusan masalah yang digunakan yaitu bagaimana pengaruh penggunaaan
bahan nanopartikel zinc oxide (ZnO) dalam pembuatan semen gigi zinc oxide dan
eugenol terhadap sifat antibakteri dan apakah ada perbedaan bahan nanopartikel zinc
oxide (ZnO) dengan bahan mikropartikel zinc oxide (ZnO) dalam pembuatan semen gigi
zinc oxide and eugenol terhadap sifat antibakteri. Batasan masalah Streptococcus mutans
jenis bakteri yang digunakan, sampel yang digunakan sampel jadi ZnO dalam ukuran
nanopartikel dan mikropartikel dengan (0,4 g), (0,45 g), (0,5 g), (0,55 g), (0,6 g) dengan
pencampuran tetap cairan eugenol 0,2 ml.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penggunaaan bahan
nanopartikel zinc oxide (ZnO) dalam pembuatan semen gigi zinc oxide and eugenol
terhadap sifat antibakterinya serta perbedaannya dengan bahan mikropartikel zinc oxide.
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi bidang fisika
medis dan kedokteran gigi.

METODE PENELITIAN
Tahap Persiapan
Pada penelitian ini pertama kali dipersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
untuk pembuatan semen gigi. Alat yang digunakan

adalah spatula cement untuk

mengaduk dan mengambil bahan semen, mixing slab, plastic Filling Instrument untuk

44

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

memasukkan bahan tambal ke dalam cetakan teflon, plugger cement, terumo syringe 1ml,
neraca analitik,
Bahan utama dari zinc oxide eugenol berupa bubuk (powder) dan cairan (liquid).
Bubuk terdiri dari nanopartikel zinc oxide dan cairan eugenol. Bahan nanopartikel didapat
dari Pusat Penelitian Lembaga Indonesia (LIPI) dan cairan eugenol didapat dari toko
kimia kedokteran gigi. Pada pembuatan sampel, powder dibuka tampak berwarna putih
tulang, sedangkan cairannya cenderung agak encer berwarna kuning.
Dipersiapkan juga bakteri Streptococcus mutans diperoleh dari Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya, media agar
TYC (Tryptone Yeast extract Cystine) serta alat-alat yang dipergunakan saat uji
antibakteri dengan metode difusi agar.

Pembuatan Sampel
Setelah semua alat dan bahan disiapkan, akan dilakukan pembuatan sampel uji.
Pada tahap pertama membuat campuran dari nanopartikel semen seng oksida
(nanoparticle of zinc oxide) dan cairan eugenol (eugenol cement). Pada penelitian ini
sampel dibuat dalam 10 variasi bahan (

dan

).

Sampel dibuat dengan perbandingan antara bubuk dan cairan sesuai dengan jurnal
kedokteran gigi. Tabel komposisi sampel ditunjukkan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Komposisi Sampel


Bubuk nano
No

Jenis

zinc oxide (g)

Cairan

Nano

Mikro

eugenol

partikel

partikel

(ml)

1.

0,4

0,4

0,2

2.

0,45

0,45

0,2

3.

0,5

0,5

0,2

4.

0,55

0,55

0,2

5.

0,6

0,6

0,2

Sampel

Dari perbandingan komposisi di atas, akan dibuat semen zinc oxide eugenol
dalam bentuk nanopartikel. Pertama, bubuk dan cairan dicampurkan sesuai dengan tabel
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

45

3.1. Lalu cairan eugenol sebanyak 0,2 ml dicampurkan dengan masing-masing komposisi
bubuk zinc oxide. Diaduk berputar searah jarum jam secara manual selama 1 menit
(ADA,1991). Seperti pada gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.2 Proses pencampuran (Ardini, 2011)


Jika sudah berbentuk pasta kental, dimasukkan kedalam cetakan teflon. Setelah
itu, ratakan dengan spatula cement atau plastic filling instrument. Segera letakkan beban
diatas cetakan teflon, supaya permukaan semen rata dan padat (Prang, 2008).

Gambar 3.3 Beban semen (Ardini, 2011)


Setting time pasta zinc oxide eugenol dihitung sejak mulai pencampuran bubuk
dengan cairan sampai pasta tidak melekat pada ujung batang akrilik. Penelitian ini
dilakukan dengan bantuan seorang rekan untuk mengontrol stopwatch dan mencetak
setting time zinc oxide eugenol. Dengan cara yang sama juga dilakukan pada bubuk ZnO
dalam ukuran mikropartikel sebagai pembanding.
Uji Antibakteri
Dalam penelitian ini untuk uji antibakteri menggunakan metode difusi dengan
cara sumuran, karena sampel dalam bentuk pasta.12 sampel yang digunakan, 5 sampel

46

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

dalam ukuran nano dan 1 kontrol negatif serta 5 sampel dalam ukuran mikro dan 1
kontrol negatif. Kontrol negatif dalam penelitian, tanpa menggunakan sampel pelet ZnO
Eugenol dalam uji antibakteri.
Pembuatan Inokulasi
Komposisi media TYC agar dalam 1 liter akuades adalah tripton 15 g, yeast
ekstract 5 g, L-cystine 0,2 g, sodium sulpite 0,1 g, sodium chloride 1 g, disodium
phosphate anhydrous 0,8 g, agar no.2 12 g, sodium bicarbonate 2,0 g, sucrose 50 g dan
sodium acetate anhydrous 12 g.
Setelah media agar TYC sudah selesai dibuat, dilakukan pembuatan kultur bakteri
menggunakan teknik agar sebar (spreader). Mula-mula cawan petri yang berisi media
padat TYC, area dasar cawan petri pertama dan ketiga dibagi dalam 4 area
(
3 area (

kontrol dan
,konrol dan

kontrol) dan cawan petri yang kedua dan keempat dalam


kontrol).

Tabung berisi biakan campur dikocok dengan gerakan ke samping karena bakteri
cenderung mengendap didasar tabung. Kultur diambil 0,1 ml, kemudian dituangkan pada
agar plate, kemudian diratakan di atas agar dengan spreader. Cara yang sama untuk cawan
petri 2,3 dan 4. Perlu diperhatikan, agar permukaan tidak terluka oleh ose maka
penggoresannya harus tanpa tekanan.
Pemasukan Sampel Uji
Setelah dilakukan pembuatan kultur bakteri menggunakan teknik penggoresan
agar (streaked plate) dengan cara goresan T. Kemudian dilubangi masing-masing cawan
petri sesuai nama sampel dengan diameter 6 mm. Kemudian dimasukkan ke dalam
anaerobic jar untuk diinkubasi. Kemudian dimasukkan gaspak dan katalisator yang
berupa butir alumina yang dibungkus paladium ke dalam anaerobic jar. Gas pak ini
berfungsi sebagai hydrogen generator. Ujung gas pak disobek dan selanjutnya
dimasukkan aquades 10 cc maka akan terbentuk gas hidrogen. Gas hidrogen akan
bereaksi dengan oksigen yang ada dan dengan bantuan katalisator terbentuk

. Dengan

demikian didapatkan keadaan anaerob. Anaerobic jar ditutup dengan memutar screw nya
kemudian dimasukkan kedalam inkubator selama 24 jam dengan suhu 37 C.
Perhitungan Zona Bening
Pengukuran diameter zona bening pada sampel dilakukan dengan menggunakan
alat jangka sorong dengan ketelitian 0,005 mm. Proses pengukuran dilakukan dengan
menghitung sampel dari garis A menuju garis B atau garis terpendek, dan yang kedua dari
garis C menuju garis D atau garis terpanjang yang kemudian dijumlahkan hasilnya dan
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

47

dibagi dua, karena pengukuran dilakukan dua kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan mencampurkan bahan zinc
oxide (ZnO) dengan cairan eugenol. Kemudian dilakukan pengujian sampel dari sifat
antibakteri dengan bakteri Streptococcus mutans. Parameter yang diukur adalah diameter
zona bening.

Semakin besar diameter zona bening menunjukkan kekuatan daya

antibakteri semakin baik. Sehingga memenuhi syarat biokompatibilitas pada pembuatan


semen gigi zinc oxide eugenol sebagai tambalan sementara. Biokompatibilitas berarti
dapat diterima tubuh atau dengan kata lain tidak membahayakan dalam penggunaannya.
Variasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah variasi bahan ZnO dengan
penambahan cairan eugenol yang tetap. Dari serangkaian kegiatan yang telah dilakukan
pada penelitian ini, maka pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan yang sudah
dilakukan.
Data pengukuran diameter zona bening dari hasil penelitian Uji Antibakteri
Nano Semen Gigi Zinc Oxide Eugenol dengan 2 variasi bahan Zinz Oxide Eugenol
(bahan nano Zinc Oxide dan bahan mikro Zinc Oxide) serta kontrol (tanpa Zinc Oxide)
sebagai berikut :

Tabel 4.1 Pengukuran Diameter Zona Bening Bahan Nano


Sampel

Diameter Zona Bening Bahan Nano


(mm)
Pengukuran Pengukuran

Rata-rata

II

A1

16,200,05

16,350,05

16,2750,05

B1

17,200,05

17,050,05

17,1250,05

C1

18,300,05

17,450,05

17,8750,05

D1

19,150,05

18,500,05

18,8250,05

E1

20,450,05

20,400,05

20,4250,05

Kontrol

60,05

60,05

60,05

Negatif

48

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Pengukuran I = pengukuran diameter zona bening pada daerah vertikal


*Pengukuran II = pengukuran diameter zona bening pada daerah horisontal

Diameter Zona Bening (mm)

Bahan Nano ZnO Eugenol


25
20
15
10

Pengukuran I

Pengukuran II

Sampel ZnO Eugenol

Gambar 4.1 Grafik Sampel Nano ZnO Eugenol terhadap Diameter Zona Bening
Tabel 4.2 Pengukuran Diameter Zona Bening Bahan Mikro
Sampel

Diameter Zona Bening Bahan Mikro


(mm)
Pengukuran Pengukuran

Rata-rata

II

A2

14,300,05

14,150,05

14,2250,05

B2

15,250,05

14,550,05

14,900,05

C2

16,050,05

15,500,05

15,7750,05

D2

16,300,05

16,200,05

16,250,05

E2

17,250,05

17,300,05

17,2750,05

Kontrol

60,05

60,05

60,05

Negatif
*Pengukuran I = pengukuran diameter zona bening pada daerah vertikal
*Pengukuran II = pengukuran diameter zona bening pada daerah horisontal

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

49

Diameter Zona Bening (mm)

Bahan Mikro ZnO Eugenol


20
15
10
Pengukuran I

Pengukuran II

Sampel ZnO Eugenol

Gambar 4.2 Grafik Sampel Mikro ZnO Eugenol terhadap Diameter Zona Bening
Hasil penelitian di atas adalah hasil pengolahan data secara manual dengan
menggunakan alat jangka sorong dan Microsoft Office Excel untuk pembuatan grafik
batangnya.
Tabel 4.3 Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Residual for
panjang
N

22

Normal
Parameters

Mean
a,,b

Std. Deviation

.0000
1.24867

Most Extreme

Absolute

.084

Differences

Positive

.084

Negative

-.077

Kolmogorov-Smirnov Z

.394

Asymp. Sig. (2-tailed)

.998

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

Pada One Sample Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan bahwa data diameter


zona bening memiliki distribusi normal. Setelah data terdistribusi normal, dilakukannya

50

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

analisis sidik ragam (ANOVA ) yang type One Way untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan pengaruh dari perlakuan. Hasil uji menunjukkan data diameter zona bening
memiliki variansi homogen dengan p=0,068 yaitu > 0,05, yang berarti data diameter zona
bening pada nano, mikro dan kontrol Zinc Oxide Eugenol memiliki variansi homogen.
Hasil uji anova satu arah menunjukkan bahwa interaksi antar kelompok perlakuan
diameter zona bening meiliki taraf p = 0,000 yaitu < 0,05 yang berarti ada perbedaan
antar kelompok perlakuan dengan diameter zona bening pada nano, mikro dan kontrol
Zinc Oxide Eugenol.
Untuk melihat pasangan kelompok perlakuan mana yang berbeda maka analisis
dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda menggunakan Post Hoc Multiple
Comparison Tukey. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dengan
variasi bubuk nanopartikel Zinc Oxide 0,6 g dengan Eugenol 0,2 ml memiliki hasil yang
paling baik diantara perlakuan yang lain.
Dari hasil uji Dunnet menunjukkan bahwa signifikansi analisis sampel nano
terhadap kontrol adalah sebesar 0,001 berarti <0,005. Sedangkan nilai signifikansi analisis
sampel mikro terhadap kontrol adalah sebesar 0,001 berarti <0,005. Hal ini menunjukkan
bahwa perbandingan masing-masing bahan antara bahan nano terhadap kontrol dan bahan
mikro terhadap kontrol berbeda secara signifikan.
Sedangkan dari hasil uji Duncan menunjukkan nilai rata-rata diameter zona
bening masing-masing sampel (nano,mikro dan kontrol). Pada kontrol rata-rata diameter
zona bening sebesar 6.0000 mm, bahan mikro rata-rata diameter zona bening sebesar
15.6850 mm dan bahan nano rata-rata diameter zona bening sebesar 18.1050 mm. Dari
hasil di atas menunjukkan bahwa semakin besar rata-rata diameter zona bening, semakin
besar daya antibakterinya artinya semakin baik bahan tersebut sebagai tambalan
sementara. Hasil rata-rata diameter zona bening menunjukkan bahwa bahan nano ZnO
Eugenol merupakan bahan yang terbaik sebagai tambalan sementara pembuatan semen
gigi.

4.2 Pembahasan
Penelitian ini menggunakan bahan bubuk nano Zinc Oxide dan cairan Eugenol,
serta bahan bubuk mikro Zinc Oxide dan cairan Eugenol sebagai pembanding dengan
perbandingan yang sama. Dalam proses mixing Zinc Oxide dengan Eugenol, molekulmolekul Zinc Oxide yang larut akan berdifusi ke dalam cairan Eugenol dan akhirnya
menjadi tersebar secara merata. Sebagai contoh:
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

51

= molekul Zinc Oxide (Gas 1)


= cairan Eugenol (Gas 2)

Gambar 4.3 Difusi Gas. (a) Dua gas dipertahankan terpisah oleh sebuah sekat. (b) Segera
setelah sekat dihilangkan, sebagian kecil molekul tiap gas didapatkan pada tiap sisi yang
lain. (c) Setelah waktu tertentu campuran kedua gas menjadi serba sama dan tak terjadi
difusi lebih jauh.

Difusi secara umum dihasilkan dari pergolakan molekular yang menghasilkan


tumbukan yang sering antar-molekul, yang sebagai konsekuensinya terhambur (Alonso
dan Finn, 1994). Difusi molekul disebabkan oleh perpindahan molekul-molekul dari suatu
daerah yang konsentrasinya lebih tinggi ke daerah yang konsentrasinya lebih rendah.
Difusi bakteri dalam penelitian ini ialah pada bakteri Streptococcus mutans.
Bakteri ini telah mengalami perkembangbiakan cepat dengan cara pembelahan sel.
Perkembangbiakan yang cepat tersebut menyebabkan ruang yang semakin sempit sebagai
tempat hidupnya. Adanya ruang yang semakin sempit pada tempat hidup bakteri tersebut,
maka terjadilah tumbukan antar bakteri Streptococcus mutans itu sendiri yang
mengakibatkan sebagian dari bakteri Streptococcus mutans memaksa masuk ke dalam
media agar TYC yang berpori-pori. Perkembangan bakteri yang cepat dengan cara
pembelahan sel merupakan konsentrasi yang tinggi, sedangkan untuk media agar TYC
nya merupakan konsentrasi yang rendah sehingga terjadilah difusi.
Untuk difusi Zinc Oxide Eugenol, yang bertindak sebagai konsentrasi tinggi
merupakan sampel Zinc Oxide Eugenol sedangkan yang bertindak sebagai konsentrasi
rendah adalah media agar TYC. Sampel Zinc Oxide Eugenol juga masuk ke dalam media
agar TYC. Dalam media agar TYC terdapat pori-pori yang berukuran nano dan mikro.
Pori-pori tersebut yang nantinya akan ditempati sampel Zinc Oxide Eugenol. Pori yang
ukuran nano ditempati oleh sampel Zinc Oxide Eugenol yang berukuran nano dan pori
yang ukuran mikro ditempati oleh sampel Zinc Oxide Eugenol yang berukuran mikro.

52

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Selanjutnya difusi yang terjadi adalah bakteri Streptococcus mutans yang


berkembangbiak secara cepat, juga memaksa masuk ke dalam sampel Zinc Oxide
Eugenol. Namun karena sampel Zinc Oxide Eugenol mengandung antibakteri, sehingga
bakteri Streptococcus mutans tidak jadi mendekat ataupun masuk ke dalam sampel Zinc
Oxide Eugenol dan sebagian lagi mati. Sehingga pada hasil penelitian terdapat perbedaan
yang jelas antara yang menggunakan sampel Zinc Oxide Eugenol dalam ukuran nano dan
mikro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran bubuk nanopartikel Zinc Oxide
dan cairan Eugenol pada perbandingan 0,6 g dan 0,2 ml (

) memiliki rata-rata diameter

zona bening yang paling besar, sehingga membuktikan daya antibakterinya juga besar.
Sebaliknya campuran bubuk nanopartikel Zinc Oxide dan cairan Eugenol pada
perbandingan 0,4 g dan 0,2 ml (

) memiliki rata-rata diameter zona bening yang paling

kecil, sehingga membuktikan daya antibakterinya juga kecil. Begitu juga yang berbahan
mikropartikel. Namun lebih besar diameter zona bening yang berbahan nanopartikel.
Dua hal yang membuat nanopartikel berbeda dengan material sejenis dalam
ukuran besar yaitu: (a) karena ukurannya yang kecil, nanopartikel memiliki nilai
perbandingan antara luas permukaan dan volume yang lebih besar jika dibandingkan
dengan partikel sejenis dalam ukuran besar. Ini membuat nanopartikel bersifat lebih
reaktif. Reaktivitas material ditentukan oleh atom-atom di permukaan, karena hanya
atom-atom tersebut yang bersentuhan langsung dengan material lain; (b) ketika ukuran
partikel menuju orde nanometer, maka hukum fisika yang berlaku lebih didominasi oleh
hukum-hukum fisika kuantum (Abdullah, dkk., 2008)
Sifat-sifat yang berubah pada nanopartikel biasanya berkaitan dengan fenomenafenomena berikut ini. Pertama adalah fenomena kuantum sebagai akibat keterbatasan
ruang gerak elektron dan pembawa muatan lainnya dalam partikel. Fenomena ini
berimbas pada beberapa sifat material seperti perubahan warna yang dipancarkan,
transparansi, kekuatan mekanik, konduktivitas listrik dan magnetisasi. Kedua adalah
perubahan rasio jumlah atom yang menempati permukaan terhadap jumlah total atom.
Fenomena ini berimbas pada titik didih, titik beku dan reaktivitas kimia. Perubahanperubahan tersebut menjadi keunggulan nanopartikel dibandingkan dengan partikel
sejenis dalam keadaan bulk (Abdullah, dkk., 2008)
Suasana rongga mulut sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme (Linda,
2007).

Rongga

mulut

berpotensi

besar

penyebab

karies

gigi

karena

dapat

mendmineralisasi enamel gigi dengan adanya plak sebagai faktor pemicunya. Ada 5 cara
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

53

mikroorganisme dapat masuk ke dalam pulpa gigi menurut Philip, yaitu : melalui kavitas
yang terbuka, umumnya karies gigi ; dari karies pada permukaan akar ; dari poket
periodontal melalui lateral atau kanal aksesori yang menghubungkan dengan foramen
apikalis ; fraktur atau trauma selama operasi serta berasal dari karies sekunder.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penggunaaan
bahan nanopartikel zinc oxide (ZnO) dalam pembuatan semen gigi zinc oxide and eugenol
terhadap sifat antibakterinya pada beberapa jumlah bubuk yang berbeda (

). Serta apakah ada perbedaan bahan nanopartikel zinc oxide (ZnO) dengan bahan
mikropartikel zinc oxide (ZnO) dengan (

) dalam pembuatan semen gigi

zinc oxide and eugenol terhadap sifat antibakterinya. Semakin besar zona beningnya
semakin besar pula daya antibakterinya. Dalam penelitian ini menggunakan jumlah bubuk
yang berbeda-beda dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan daya antibakteri semen
Zinc Oxide Eugenol dengan penambahan bubuk pada tiap perbandingan. Dengan
penambahan jumlah bubuk pada perbandingan bubuk dan cairan maka semakin
meningkatkan kekerasannya dan semakin berkurang kebocoran dan kelarutannya
(Craig,1997). Sedangkan cairan Eugenol yang tetap pada 0,2 ml dimaksudkan karena sifat
eugenol yang dapat mengiritasi pulpa.
Hasil uji statistik terdapat perbedaan bermakna panjang diameter zona bening.
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa dengan penambahan bubuk nanopartikel Zinc
Oxide Eugenol berpengaruh terhadap peningkatan daya antibakteriya, terlihat semakin
besar diameter zona bening yang dihasilkan maka semakin besar daya antibakterinya. Ini
disebabkan penambahan nanopartikel Zinc Oxide Eugenol meningkatkan kekerasannya
dan semakin berkurang kebocorannya dan kelarutannya.
Daya antibakteri semen zinc oxide eugenol berasal dari kandungan serbuk zinc
oxide yang merupakan campuran logam berat Zn yang berasal dari mineral zincite (ZnS)
yang mengalami pembakaran di udara, oksidasi langsung dari Zn, dekomposisi dari
sulfat,nitrat hidroksida atau karbonat. Kebanyakan logam berat, baik yang tunggal
ataupun kombinasinya mempunyai efek yang merugikan terhadap mikroorganisme.
Logam tidak mempunyai aktifitas antibakteri apabila tidak bereaksi menjadi garam yang
tidak larut dan terionisasi. Garam dari logam berat dan senyawanya beraksi sebagai anti
mikroba dengan cara berkombinasi dengan protein sel dan enzim yang mengandung gruo
sulfihidril. Konsentrasi dari logam berat yang tinggi menyebabkan denaturasi protein.
Garam dari logam berat juga berfungsi sebagai presipitan (penggumpal) cairan
eugenol dapat meningkatkan aktifitas daya antibakteri sebab eugenol memiliki sifat

54

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

baktersidal dengan membentuk struktur phenol. Phenol bekerja sebagai antibakteri


dengan merusak membrane plasma secara total yang menyebabkan keluarnya metabolit
penting dari dalam sel dan menonaktifkan sejumlah sistem enzim bakteri sehingga fungsi
normalnya terganggu sehingga mengakibatkan kematian pada mikroorganisme.
Semen zinc oxide eugenol dengan kandungan utamanya zinc oxide dan eugenol
digunakan sebagai tambalan sementara karena keunggulannya sebagai bahan tumpatan
sementara yang baik, sebagai bahan pelapik, bahan pengisi saluran akar, pembalut
periodontal dan pada perawatan pulpotomi.Tetapi pada pemakaian semen zinc oxide
eugenol sebagai tambalan sementara menimbulkan reaksi terhadap pulpa, begitu juga
pada perawatan pulpotomi.
Eugenol yang dimiliki semen ini mempunyai potensi iritasi terhadap jaringan
tetapi memiliki keunggulan dengan daya antibakterinya. Semen zinc oxide eugenol
dengan kandungan eugenolnya memiliki kekuatan antibakteri yang kuat dibandingkan
Polikarboksilat, Zinc fosfat, Silikat, Silikofosfat dan Resin komposit. Kandungan
eugenolnya menunjukkan iritasi / toksisitas terhadap jaringan, memiliki potensi iritasi
juga dapat berdifusi ke dalam pulpa sangat sedikit. Semen zinc oxide eugenol mampu
mencegah cedera pulpa dan mengurangi rasa nyeri pada pulpitis.
Hasil penelitian laboratories yang telah dilakukan tentang pengaruh penambahan
nanopartikel Zinc Oxide Eugenol terhadap sifat antibakterinya terlihat bahwa kekuatan
tambalan sementara semen Zinc Oxide Eugenol seiring penambahan bubuk nanopartikel
Zinc Oxide nya dan bubuk mikropartikel Zinc Oxide nya, namun bubuk nanopartikel Zinc
Oxide yang jauh lebih baik.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari serangkaian penelitian dan analisis tentang uji antibakteri nano semen gigi
seng oksida dan eugenol (zinc oxide eugenol cement) diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Semakin banyak penambahan nanopartikel zinc oxide (ZnO) terlihat bahwa semakin
besar zona bening yang dihasilkan, maka membuktikan bahwa daya antibakterinya
juga besar.
2. Penambahan nanopartikel zinc oxide (ZnO) pada semen gigi zinc oxide eugenol
memiliki daya antibakteri yang jauh lebih baik dari semen gigi zinc oxide eugenol
yang berukuran mikropartikel. Ketika ukuran partikel semakin kecil, maka semakin

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

55

besar luas penampangnya. Sehingga memungkinkan semakin tinggi pula tumbukan


antar partikel tersebut.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan komposisi zinc oxide (ZnO)
sehingga dapat mengetahui komposisi yang paling baik, serta dalam hal berat sampel
masing-masing diupayakan sama sehingga dapat diaplikasikan dalam fisika medis
ataupun kedokteran gigi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajuddin, dkk. 2008. Sintesis Nanomaterial, ITB, Bandung

Anusavice, J.K. 2003. Philips: Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Alih Bahasa:
Johan Arif Budiman dan Susi Purwoko. Jakarta: EGC
Arifudin, A.F. 2008. Pembuatan Semen Gigi Seng Fosfat Berbahan Dasar Seng Oksida
dan Asam Fosfat, Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR, Surabaya
Astuti, Z.H. 2007. Kebergantungan Ukuran Nanopartikel Terhadap Warna Yang
Dipancarkan Pada Proses Deeksitasi, ITB, Bandung
Baum, Philips and Lund. 1995. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi Alih Bahasa : Rasinta
Tarigan, Edisi ke 3. Jakarta: EGC
Besford, John. 1996. Mengenai Gigi Anak Petunjuk Bagi Orang Tua, Arcan, Jakarta.

Combe, E.C.1992. Sari Dental Material, Alih bahasa: drg. Slamet Tarigan, MS, Ph.D.
Jakarta: Balai Pustaka
Cahyani, F. 2002. Kelarutan Tumpatan Sementara Zinc Oxide Eugenol dalam Larutan
Buffer Ph 4, 6, 8, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga,
Surabaya
Craig, RG. 1997. Restorative Dental Matherial, 9th ed, C.V Mosby Co, Louis, p 183-194

Greenwood, Norman N. And A. Earnshaw. 1997. Chemistry of the Elements 2nd Edition.
Oxford: Butterworth Heinemann
Lunardi, CGJ, 1986, Pengaruh Penambahan Zinc Oxide pada Resin Akrilik yang akan
digunakan sebagai Tumpatan Sementara terhadap Kelarutan atau Disintegrasi,
Kekerasan dan Penutupan Tepi Tumpatan, Pasca Sarjana Universitas Airlangga,
Surabaya

56

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Lutviyah. 2008. Pembuatan Semen Gigi Zinc Polikarboksilat dari Bahan Baku Zinc
Oksida dan Asam Poliakrilat, Skripsi FSainTek UNAIR, Surabaya
Nurhasanah, D. 2009. Pemberian Aditif Polistiren pada Semen Gigi Berbahan Dasar
Zinc Oxide dan Eugenol, Skripsi FsainTek UNAIR, Surabaya
Noort, R.V. 1994. Introduction to Dental Material, Mosley, London

Nugroho, Pramono. 2007. Pembuatan Semen Tambal Gigi dengan Bahan Dasar Polimer,
LIPI, Bandung
Rochman, Dr. Nurul Taufiqu. 2009. HKI media/Vol.IV/No.3, PUSPIPTEK, Serpong,
Tangerang
Rochyani, Linda. 2007. Daya Anti Bakteri Bahan Tumpatan Sementara Zinc Oxide
Eugenol, Universitas Hang Tuah, Surabaya
Sulihiningtyas., D., R., 2000, Pengaruh Perbandingan Serbuk Dan Cairan Terhadap
Kekuatan Bakteriostatik Bahan Tumpatan Sementara Fletcher, Skripsi, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya
Tjondro M, 2002, Perbedaan Kebocoran Apeks Gigi Pada Pengisian Saluran Akar
Memakai Gutta Point Dengan Pasta Zinc Oxide Eugenol Dan Semen Ionomeri
Gelas, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya
Wahyu, Eriek, 2011, Pengaruh Pemberian Nanopartikel ZnO Terhadap Mikrostruktur
Semen Gigi Seng Fosfat, Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya
Widyaningrum, Retno, 2010, Sintesa Nanopartikel ZnO Dengan Mekano-Kimia, Skripsi,
Universitas Airlangga, Surabaya

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

57

Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik Akupunktur


Terhadap Penyakit Hipertensi
Stefy Widyanarko, Wellina Ratnayanti K, Tri Anggono P
Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya 60115

Abstrak
Penelit ian ini bertujuan untuk menganalisis profil potensial listrik pada t
it ik akupunktur antara orang sehat dan penderita hipertensi. Pengambilan data dilakukan
dengan perekaman profil potensial listr ik pada tit ik

akupunktur Xinshu, Ganshu

dan Shenshu. Titik akupunktur dilakukan pada orang sehat dan penderita hipertensi
masing- masing 10 orang dibukt ikan dar i obervasi data sekunder di Puskesmas
Mulyorejo, Surabaya. Profil potensial listr ik dipero leh dar i hasil perekaman profil
potensial listr ik do main waktu selama 100 det ik, dengan metode analisis FFT (Fast
Fourier Transform).
mpok

frekuensi,

Berdasarkan hasil analisis statistik pada masing- masing kelo


terdapat

perbedaan pro fil

potensial

listrik yang signifikan

pada kelompok frekuensi 0-5 Hz di titik shenshu dengan nilai amplitudo pada orang sehat
0,281 Vs dan pada penderita hipertensi 0,015 Vs, frekuensi 148-153 Hz di titik Xinshu
dengan amplitudo pada orang sehat 0,150Vs dan pada penderita hipertensi 0,041 Vs, di
titik Shenshu dengan nilai amplitudo pada orang sehat 0,085 Vs dan pada penderita
hipertensi 0,025 Vs, frekuensi 298-303 Hz di titik Xinshu dengan nilai amplitudo
pada orang sehat 0,029 Vs dan pada penderita hipertensi 0,009 Vs, di titik Shenshu
dengan nilai amplitudo pada orang sehat 0,027 Vs dan pada penderita hipertensi 0,006
Vs, frekuensi 348-353 Hz di titik Xinshu dengan nilai amplitudo pada orang sehat 0,028
Vs dan pada penderita hipertensi 0,048 Vs, dan pada frekuensi 448 -453 Hz di titik Xinshu
dengan nilai amplitudo 0,019 Vs pada orang sehat dan pada penderita hipertensi 0,005
Vs, di titik Shenshu dengan nilai amplitudo pada orang sehat 0,013 Vs dan pada
penderita

hipertensi

0,043

Vs. Berdasarkan amplitudo didapatkan bahwa profil

potensial listrik pada tit ik akupunktur untuk orang sehat lebih rendah amplitudonya
dibanding dengan orang sakit. Sehingga analisis pro fil potensial listr ik pada tit ik
akupunktur dapat digunakan untuk diagnosa penyakit hipertensi.
Kata Kunci : amplitudo, potensial listrik tubuh, titik akupunktur, hipertensi, FFT.

58

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

PENDAHULUAN
Hipertensi baru disadari oleh penderitanya ketika mereka telah mengalami
berbagai gejala- gejala hipertensi. Setiap tahun penderita hipertensi semakin meningkat.
Menurut World Health Organization (WHO), batas tekanan darah yang dianggap normal
adalah kurang dari 130/85 mmHg. Bila tekanan darah sudah lebih dari 140/90 mmHg
maka akan dinyatakan terkena hipertensi (batasan untuk usia diatas 18 tahun). Pada tahun
2000 penderita hipertensi dengan prevalensi sebesar 26,4% dan pada tahun 2025
diperkirakan akan mencapai 29,2% (Lubis,2008).
Pengertian hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik
meningkat hingga lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik meningkat hingga
90 mmHg. Tekanan darah tinggi atau hipertensi dapat menyebabkan resiko terhadap
stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal.
Akupunktur merupakan suatu cara pengobatan dengan perangsangan titik-titik
tertentu atau titik akupunktur dipermukaan tubuh untuk menyembuhkan suatu penyakit.
Perangsangan tersebut dapat dilakukan melalui penusukan jarum, penyuntikan,
penyinaran dan sebagainya.
Titik akupunktur adalah daerah kulit yang telah diketahui berbeda dengan
jaringan disekitarnya dalam hal tahanan listrik, potensial listrik, daya hantar serta dalam
kepadatan jaringan sarafnya.

Titik akupunktur mempunyai sifat aktif listrik dengan

karakteristik High Voltage Low Resistance. Permukaan tubuh tempat titik akupunktur
memiliki resistansi yang rendah sehingga dapat mengalirkan beda potensial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan permukaan tubuh yang bukan titik akupunktur. Rangsangan
dari titik akupunktur lebih didasarkan pada kenyataan biofisika bahwa dasar aktif listrik
antar sel menuju ke organ sasaran. Titik akupunktur sebagai model reseptor fungsional
dua arah dimana salah satu bioinformasi tubuh dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
terapi dan diagnosis dalam bidang kedokteran (Saputra,2002).
Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Puspa Erawati (2004) tentang
analisis profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk mengetahui kelainan fungsi
organ dengan memanfaatkan aktifitas kelistrikan dari organ melalui titik akupunktur
untuk diamati dan dijadikan sebagai indikator kelainan fungsional organ. Profil
potensial listrik pada t itik akupunktur yang diperoleh akan dianalisis sinyal hingga
dapat dipero leh

hasil

yang

dapat

memper lihatkan perbedaan

secara

nyata

profil potensial listr ik pada kondisi sehat dan pada kondisi hipertensi. Dengan adanya
profil potensial listrik untuk penderita

hipertensi diharapkan dapat menjadi metode

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

59

diagnosis baru yang menggunakan prinsip fisika dan dapat mengetahui implementasi
pentingnya prinsip fisika dalam metode penelitian khususnya untuk analisis sinyal.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian primer,observasional, dan bersifat analitik
dengan pendekatan yang dilakukan bersifat transversal atau cross sectional yaitu sekali
pengambilan data pada saat tertentu dan tidak simultan. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berkut:

1) Variabel bebas : Tekanan darah testi.


2) Variabel terikat : Profil potensial listrik testi (dalam frekuensi dan amplitudo).
3) Variabel terkendali : Titik akupunktur yang terkait dengan penyakit hipertensi
serta waktu perekaman profil potensial listrik.
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 orang testi sehat yang
dibuktikan dengan tes tekanan darah dan penelusuran riwayat kesehatan dengan
metode wawancara, dan 10 orang testi hipertensi yang direkomendasikan oleh Puskesmas
Mulyorejo dan Dinas Kesehatan Kota Surabaya serta dibuktikan dengan tes tekanan
darah. Alur penelitian yang dilakukan digambarkan dalam bagan diagram berikut :

Gambar 1. Alur Penelitian

60

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Tanpa memberikan perlakuan apapun kepada kedua kelompok testi, masingmasing anggota kelompok tersebut dilakukan uji tekanan darah kemudian dilakukan
pemasangan electrode untuk perekaman

profil

biopotensial

pada

titik-titik

akupunktur yang berhubungan langsung dengan organ terkait penyakit hipertensi. Titiktitik yang digunakan adalah titik Xinshu (terkait organ jantung), Ganshu (terkait organ
hati), dan Shenshu (terkait organ ginjal).

Gambar 2. Letak titik-titik akupunktur meridian Shu belakang.


Perekaman biopotensial menggunakan prinsip dari Elektromiografi (EMG).
Elektromiografi (EMG) adalah teknik untuk mengevakuasi dan rekaman aktivitas listrik
yang dihasilkan oleh otot rangka. Sebuah elektromyograph mendeteksi potensial listrik
yang dihasilkan oleh sel-sel otot ketika sel-sel ini elektrik atau neurologis diaktifkan.
Sinyal dapat dianalisis untuk mendeteksi kelainan medis, tingkat aktivasi, perintah
rekrutmen atau untuk menganalisa biomekanik gerakan manusia atau hewan. Sinyal
bioelektrik sangat rentan terhadap derau atau noise, yang muncul dari interferensi jala-jala
listrik, gerakan tubuh dan frekuensi radio (Cromwell K., dkk, 1976).
Setting alat yang digunakan adalah :

Gambar 3. Setting alat


Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

61

Tahap-tahap

perekaman

biopotensial

organ menggunakan perangkat ini adalah:

1. Arus bioelektrik organ dikeluarkan melalui titik akupunktur kemudian diterima


oleh electrode non-invasif yang diletakkan pada titik- akupunktur, sehingga
arusnya akan mengalir ke bioamplifier.
2.

Sinyal yang dihasilkan tubuh sangat kecil berorde

mikrovolt,

sehingga dilakukan penguatan pada bioamplifier sebesar 1000 kali agar sinyal
dapat terlihat pada layar komputer dan pada program Labscribe.

Gambar 4. Tampilan keluaran sinyal biopotensial dengan program Labscribe pada


titik akupunktur.
Setiap fungsi gelombang penyusunnya dapat dijabarkan menggunakan deret
Fourier. Fourier memperlihatkan bahwa semua fungsi periodik dapat diekspresikan
sebagai suatu kombinasi dari suku-suku pembentuknya. Fourier menunjukkan bahwa
sebuah fungsi dengan periode T dapat diperlihatkan melalui deret trigonometri dengan
bentuk :
dengan =2/T adalah frekuensi perulangan
fungsi
(rad/s). Koefisien Fourier dalam deret Fourier dapat dihitung menggunakan persamaan :
Deret Fourier memiliki beberapa sifat yang penting, yaitu : frekuensi dari
bentuk sinus dan cosinus pertama adalah suatu fungsi frekuensi dan kenaikan frekuensi
antara pembentuk-pembentuk kenaikan n yang sebanding dengan fungsi frekuensi.
Fourier yang telah ditransformasi dapat digunakan untuk memperlihatkan fungsi non

62

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

periodik menjadi fungsi periodik dengan periode menuju tak hingga. Deret Fourier
hanya berlaku untuk sinyal periodik. Sedangkan transformasi Fourier digunakan untuk
mentransformasi sinyal dalam bentuk waktu menjadi bentuk
fourier

mendiskripsikan

spektrum

frekuensi. Transformasi

kontinyu dari sinyal nonperiodik. Transformasi

fourier X(f) dari waktu kontinyu x(t) adalah sebagai berikut:

Invers Transformasi :
Agar transformasi fourier dapat digunakan dalam operasi digital, maka diperlukan
contoh- contoh sinyal kontinyu pada kawasan waktu akan mereprentasikan keseluruhan
sinyal kontinyu tersebut dan contoh-contoh ini akan mengubah sinyal kontinyu menjadi
sinyal diskrit. Transformasi sinyal diskrit adalah sebagai berikut :

Dengan :

Invers Transformasi :

Fast Fourier Transform (FFT) adalah algoritma

untuk

menghitung

DFT

dengan cepat dan efisien. Transformasi fourier sinyal diskrit juga akan lebih cepat dan
efisien jika menggunakan algoritma Fast Fourier Transform terutama untuk bentuk sinyal
dikrit dalam bilangan kompleks (Boas, 1982).
Perangkat yang digunakan pada analisis sinyal ini adalah program Labscribe.
Pada tampilan menu terdapat nilai T2-T1 yang merupakan fasilitas untuk memudahkan
membaca rentang skala yang memiliki satuan format jam:menit:detik. Display time untuk
menunjukkan kurun waktu selama perekaman berlangsung. Hasil yang muncul adalah
pulsa- pulsa yang menunjukkan frekuensi (horisontal- x) dari fungsi gelombang pada
sinyal listrik hasil perekaman mulai dari 1 Hz sampai 499Hz dengan masing-masing
amplitudo mulai dari 0 sampai 1 (vertikal-y).

Data diolah dengan mengklik icon

FFT lalu menempatkan dua kursor masing-masing pada setiap puncak sampai
mendapatkan beberapa nilai frekuensi dan amplitudonya. Kemudian dilakukan pencatatan
frekuensi dan amplitudo profil potensial listrik tiap 5 detik pada masing- masing testi di
setiap titiknya dengan pencuplikan data hingga 20 bingkai. Berikut merupakan salah satu
contoh cuplikan hasil FFT pada kondisi sehat yaitu pada gambar 5.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

63

Gambar 5. Cuplikan Hasil Analisis Transformasi Fourier Profil Potensial Domain Waktu
menjadi Domain Frekuensi.
Perhitungan uji beda dilakukan dengan menggunakan uji T sampel bebas pada
setiap rata- rata amplitudo dari 20 bingkai data yang telah diambil untuk tiap kelompok
frekuensi masing- masing. Uji T sampel bebas merupakan uji beda untuk data rasio yang
terdistribusi normal atau mendekati normal. Penarikan kesimpulan dari uji T sampel
bebas dilakukan dengan menghitung nilai t tabel dan t hitung. Jika nilai t hitung lebih
besar dari t tabel dengan taraf signifikansi 0,05 maka H0 diterima. Namun jika nilai t
hitung lebih kecil dari t tabel dengan taraf signifikansi 0,05 maka H0 ditolak dan
H1 diterima. Untuk mengetahui nilai t hitung dan t tabel, maka digunakan persamaan:
Untuk t tabel : Untuk t hitung :

Keterangan :
: rata-rata sampel jenis A
: rata-rata sampel jenis B
: standar error yang diperoleh dari masing-masing jenis perlakuan
: rata-rata dari sampel yang diambil
: rata-rata dari populasi yang diambil n : jumlah sampel yang diambil
s : standar deviasi data

Uji beda antara data dari testi sehat atau normal dengan data dari testi

64

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

hipertensi menggunakan uji T sampel bebas pada perangkat lunak SPSS 13.0. Cara
penarikan kesimpulan dari hasil uji T sampel bebas menggunakan SPSS adalah
dengan memperhatikan nilai signifikansi 2- tail yang disebut sebagai p. Jika p > 0,05,
maka H 0 diterima dan H1 ditolak. Namun jika p < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima
(Kusriningrum, 2008).

HASIL
Berdasarkan hasil uji menggunakan program SPSS uji beda tekanan darah pada
testi sehat dan pada testi hipertensi, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan signifikan
antara tekanan darah testi sehat dan tekanan darah testi hipertensi, yaitu dengan nilai
signifikan p=

0,005 untuk diastole dan p= 0 untuk sistole. Nilai rata-rata tekanan darah

pada testi sehat adalah tekanan diastole (68,50 6,36) mmHg, tekanan sistole (105,30
7) mmHg dan pada testi hipertensi adalah tekanan diastole (81,80 11,63) mmHg,
tekanan sistole (160,20 25,8) mmHg, berikut adalah hasil Uji T untuk tekanan
darah diastole dan tekanan darah sistole pada orang sehat dan pada orang sakit (penderita
hipertensi). Profil potensial listrik pada titik akupunktur dihasilkan dari perekaman
potensial listrik pada titik-titik akupunktur Xinshu (BL 15) terkait organ jantung, Ganshu
(BL 18) terkait organ hati dan shenshu (BL 23) terkait dengan organ ginjal. Contoh
hasil cuplikan perekaman profil potensial listrik domain waktu ditunjukkan pada gambar
6 berikut:

Gambar 6. Hasil Perekaman Profil Potensial Listrik Sebagai Fungsi Waktu

Profil potensial listrik fungsi waktu pada titik akupunktur terhadap orang sehat
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

65

dan penderita hipertensi belum dapat dibedakan secara langsung. Untuk

dapat

membedakan analisis sinyal diperlukan analisis FFT (Fast Fourier Transform) untuk
mengubah profil potensial listrik domain waktu menjadi profil potensial listrik fungsi
frekuensi.
Pada penelitian ini hasil dari perekaman profil potensial listrik yang telah
dianalisis dengan menggunakan FFT diamati dengan membaginya menjadi 20 bingkai
dengan pencuplikan setiap bingkai 5 detik. Hasil analisis FFT ini merupakan fungsi
gelombang yang sudah dinormalisasi. Hasil analisis FFT ini digunakan untuk
menghitung tingginya amplitudo puncak setiap frekuensi yang muncul, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 7. Perhitungan dilakukan dengan mengabaikan amplitudo
puncak pada frekuensi 50 Hz karena merupakan noise dari PLN. Frekuensi-frekuensi
yang

muncul sebagai frekuensi dominan pada setiap pencuplikan adalah frekuensi-

frekuensi dengan interval 0-5 Hz, 98-103 Hz, 148-153 Hz,198-203 Hz, 248-253 Hz,
298-303 Hz, 348-353 Hz,398-403 Hz dan 448-453 Hz.
Hasil pencatatan amplitudo yang telah disusun dari 20 pencuplikan (bingkai)
setiap kelompok frekuensi dihitung nilai rata-rata

amplitudonya.

Berikut

ini

merupakan salah satu contoh hasil analisis FFT pada orang sehat yaitu pada Gambar
7.

Gambar 7. Hasil analisis FFT Pada Orang Sehat


Data yang diambil merupakan hasil pencuplikan setiap 5 detik dengan 20
bingkaipencuplikan yang dihasilkan dari serangkaian hasil perekaman profil potensial
pada masing-masing kelompok testi sehat dan testi

hipertensi.

Dari 20

bingkai

tersebut, dilakukan perhitungan rata-rata amplitudo untuk setiap frekuensi pada 10


testi sehat dan 10 testi hipertensi.

66

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Tabel 1. Tabel Ringkasan Hasil Uji T Sampel Bebas dengan SPSS

Setelah dilakukan Uji T sampel bebas maka didapatkan hasil seperti yang
tercantum pada Tabel 1. Dari tabel 4 tersebut dapat diketahui bahwa:
1. Terdapat

perbedaan

yang

signifikan

pada kelompok frekuensi 0-5 Hz

dengan p= 0 pada titik shenshu, 148-153 Hz dengan p= 0,049 di titik Xinshu


dan

p= 0,019 di titik Shenshu,298-303 Hz dengan p= 0,033 di titik Xinshu

dan p= 0,002 di titik Shenshu, 348-353 Hz dengan p= 0,048 di titik Xinshu, dan
pada kelompok frekuensi 448-453 Hz dengan p= 0,005 di titik Xinshu dan p=
0,043 di titik Shenshu.
2. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada frekuensi lainnya dan pada titik
akupunktur lainnya.
Profil potensial listrik yang telah terekam pada penelitian ini merupakan hasil dari
profil potensial titik Xinshu, Ganshu dan Shenshu. Perekaman ini dilakukan selama 100
detik untuk masing-masing titik akupunktur yang terbagi menjadi 20 bingkai dimana
masing-masing bingkai dicuplik setiap 5 detik. Ketiga titik tersebut terkait dengan organ
tertentu. Pada titik Xinshu (BL 15) terkait pada organ jantung, Ganshu (BL 18)
terkait pada organ Hati dan Shenshu (BL 23) terkait pada organ Ginjal. Ketiga titik
akupunktur yang dipilih merupakan titik-titik akupunktur yang berada dalam satu
meridian kandung kemih (Shu belakang). Titik Shu belakang merupakan titik dimana
Chi organ terpancar ke seluruh permukaan dorsal tubuh dan terletak setinggi organ
tersebut.
Sebelum dilakukan proses perekaman biopotensial listrik pada titik akupunktur
yang pertama kali dilakukan adalah memeriksa tekanan darah masing-masing kelompok
testi baik untuk testi sehat dan testi dengan hipertensi. Hal ini dilakukan agar lebih
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

67

meyakinkan keadaan testi yang memiliki gejala hipertensi atau tidak, yaitu untuk testi
sehat tekanan darah acaknya kurang dari 130/85 mmHg dan untuk testi hipertensi tekanan
darah acaknya lebih dari 140/90 mmHg.
Berdasarkan hasil uji tekanan darah pada testi sehat dan testi hipertensi, terdapat
perbedaan yang signifikan dengan nilai signifikasi p= 0,005 untuk tekanan diastole dan
p= 0 untuk tekanan systole, kedua nilai tersebut kurang dari 0,05. Sehingga dapat
dipastikan bahwa kondisi kedua testi ini benar-benar berbeda. Nilai tekanan darah hanya
untuk mengontrol tekanan darah dan belum dapat menggambarkan kinerja organ tertentu
yang dapat terpengaruh oleh gejala penyakit hipertensi. Sehingga pasien cenderung
mengkonsumsi obat penurun

tekanan

darah

tinggi.

Jika

pasien hipertensi

mengkonsumsi obat secara terus- menerus akan mengakibatkan gangguan fungsional


pada organ ginjal.
Dalam penelitian ini, frekuensi yang dianalisis menggunakan

uji

statistik

hanya pada frekuensi yang dominan, yaitu pada frekuensi yang kemunculannya kuat
dan dapat mempengaruhi bentuk dari sinyal awal yang belum dianalisis menggunakan
analisis FFT. Jika ada kemunculan yang tidak begitu kuat maka berarti itu merupakan
suatu noise. Di dalam hasil yang didapatkan ada kecenderungan yang muncul yang
mungkin disebabkan oleh elektrode yang digunakan merupakan metode non-invasif
sehingga sangat mudah terjadi gangguan. Contohnya gangguan dari sumber radiasi seperti
transmisi, ketidakstabilan sinyal yang bersifat inheren (sinyal EMG memiliki sifat
random), ketidakstabilan penempatan selama perekaman atau masuknya sinyal dari
komponen tubuh lain di dekat penempatan elektrode yang terkena rangsang listrik kecil
sehingga mengganggu sinyal dari target yang ingin dideteksi (Wijayanto dan Hastuti,
2006). Perekaman profil potensial listrik pada t itik akupunktur dilakukan agar dapat
memper lihatkan fungsi ker ja organ berdasarkan

profil

kelisr ikannya.

Dengan dipero lehnya hasil profil kelistr ikan yang berbeda pada
sehat

dan

hipertensi,

kondisi

dapat memper lihatkan kondisi organ untuk keperluan

diagnosis yang lebih jauh berdasarkan profil kelistr ikan dar i t itik akupunktur
yang

menuju organ maupun untuk keperluan terapi yang spesifik menuju organ yang

terganggu fungsinya.
Profil

potensial

listrik

merupakan

grafik tegangan sebagai fungsi waktu

yang mempresentasikan aktivitas kelistrikan organ yang berubah-ubah setiap waktu.


Profil potensial fungsi waktu pada kelompok orang sehat dan kelompok penderita
hipertensi

68

hendak

dibandingkan

maka akan terdapat kesulitan dalam menentukan

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

parameter sebagai kriteria pembanding, hal tersebut dikarenakan tidak adanya


keseragaman pola pada masing-masing kelompok. Beda potensial yang dialirkan
tit ik

akupunktur

merupakan gelo mbang

elektromagnet ik

organ. Gelo mbang ini merupakan kombinasi dari beberapa


yang

yang

dar i

dipancarkan

gelo mbang

har monis

berbeda frekuensi yang ber langsung secara serempak.


Profil potensial listrik domain waktu pada titik akupunktur belum dapat dibedakan

secara langsung sehingga diperlukan analisis sinyal untuk dapat membedakan keduanya.
Oleh karena itu di butuhkan analisis FFT (Fast Fourier Transform) pada perangkat
lunak Labscribe untuk mengubah profil potensial listrik domain waktu menjadi profil
potensial listrik domain frekuensi. gelombang fungsi waktu sebagai kombinasi linier,
dapat diuraikan dari frekuensi-frekuensi dasarnya menggunakan analisis FFT. Data
yang yang muncul pada tampilan spectrum FFT merupakan bingkai-bingkai spectrum
yang dicuplik dalam selang waktu yang dibutuhkan yaitu dihasilkan 20 bingkai dalam
masing-masing waktu pencuplikan selama 5 detik. Data yang dihasilkan dari analisis FFT
tersebut merupakan amplitudo puncak pada masing-masing

rentang

frekuensi

yang

muncul mulai dari rentang frekuensi 0-5 Hz sampai dengan frekuensi 448-453 Hz. Data
amplitudo pada frekuensi 50 Hz tidak dihiraukan karena pada frekuensi tersebut ditutupi
oleh frekuensi dari PLN yang amplitudonya sangat tinggi, yaitu bernilai 1. Oleh sebab itu
pada saat frekuensi 50 Hz dapat dianggap sebagai noise atau derau yang tidak dapat untuk
dihindari

dan

ini

berlaku

pada

semua keadaan baik untuk testi sehat dan testi

hipertensi.
Setelah didapatkan data dari analisis FFT kemudian data
dan

dicatat ulang

kemudian dihitung rata-rata amplitudonya pada setiap rentang batas frekuensi pada

masing-masing skala rasio. Data rata-rata tersebut kemudian dianalisis lagi menggunakan
uji beda atau uji T sampel bebas pada program SPSS 13.0 for windows. Sebelum di
uji menggunakan uji T data tersebut di uji kenormalitasannya

terlebih

dahulu

menggunakan uji non parametrik Kolmogorov-Smirnov agar data yang diperoleh


merupakan data hasil yang telah terdistribusi normal, setelah selesai di uji
kenormalitasannya kemudian baru dilakukan uji T sampel bebas (independent samples T
test). Hasil dari uji beda menggunakan perangkat lunak SPSS terdapat pada lampiran
6.
Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 6 dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan pada hasil analisis profil potensial listrik pada titik akupunktur
untuk kondisi sehat dan untuk kondisi hipertensi, yaitu pada kelompok frekuensi 0-5 Hz
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

69

dengan p=0 pada titik shenshu, 148-153 Hz dengan p= 0,049 di titik Xinshu dan p=
0,019 di titik Shenshu, 298-303 Hz dengan p=0,033 di titik Xinshu dan p=0,002
di titik Shenshu, 348-353 Hz dengan p=0,048 di titik Xinshu, dan pada kelompok
frekuensi 448-453 Hz dengan p=0,005 di titik Xinshu dan p=0,043 di titik Shenshu.
Sedangkan pada frekuensi yang lain pan pada titik akupunktur yang lain tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dari hasil uji beda tersebut didapatkan hasil
bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara profil potensial listrik pada titik akupunktur
untuk orang yang kondisinya sehat dengan penderita hipertensi.
Penelit ian
telah

ini

menggunakan

perangkat lunak perekam biopotensial yang

diatur secara otomat is sebagai perekam sinya l EMG. Sinyal EMG yang

dihasilkan berorde hingga mikrovo lt,

sehingga

diperlukan penguatan agar dapat

diper lihatkan pada layar komputer. Sinyal EMG dari per mukaan tubuh yang direkam
berasal dari beda potensial yang terjadi antara dua elektrode yang dipasang pada
tit ik akupunktur secara lateral sebagai pintu masuk dan keluarnya energi yang memiliki
arah posit if dan negat if. Titik akupunktur dan kelistrikan pada organ dihubungkan oleh
meridian sebagai jalur aliran energi, sehingga aktivitas kelistrikannya dapat diamati.
Perekaman sinyal EMG menggunakan perangkat Iworx yang dapat melakukan
penguatan 1000 kali dar i sinyal masukannya sehingga dapat teramat i

pada

layar

komputer.
Sinyal
fungsi

yang teramat i pada layar ko mputer merupakan sinyal sebagai

waktu

yang belum dapat dibedakan secara nyata. Sehingga belum dapat

dijadikan sebagai metode analisis profil potensial listr ik untuk diagnosis penyakit
hipertensi.

KESIMPULAN
Dari penelitian
potensial

listrik

yang

telah

pada tit ik

dilakukan,

akupunktur

dapat disimpulkan bahwa Profil

untuk orang

kecenderungan amplitudo pada masing-masing kelo mpok

sehat
frekuensi

rendah

jika dibandingkan dengan profil potensial listr ik pada tit ik

untuk

penderita

frekuensi 0-5 Hz

memiliki pola
yang

lebih

akupunktur

hipertensi. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok


di titik shenshu, 148-153 Hz di titik Xinshu dan di titik Shenshu,

298-303 Hz di titik Xinshu dan di titik Shenshu, 348-353 Hz di titik Xinshu, dan pada
kelompok frekuensi 448-453Hz di titik Xinshu dan di titik Shenshu.
Dari profil potensial

70

listrik

pada

titik

akupunktur

dapat disimpulkan

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

bahwa

pada

penderita

hipertensi terjadi gangguan-gangguan pada organ jantung

(xinshu) dan organ ginjal (shenshu). Berdasarkan perbedaan


pada

profil

potensial

listrik

t itik akupunktur untuk orang sehat dan penderita hipertensi, metode ini dapat

digunakan untuk diagnosis penyakit hipertensi berdasarkan hasil analisisnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adikara

R.T.S,

1998,

Filosofi

Akupunktur

Dan Pengembangan Teknologinya,

Lembaga Penelitian Unair, Surabaya.


Ashari dan Santoso, B.P., 2005, Analisis Statistik Dengan Microsoft Excell Dan SPSS,
Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Boas, Mary L., 1982, Mathematical Methods InThe Physical Sciences, Second
Edition, by Jons Wiley & Sons, Inc., United States, America.
Cameron, J.R, 1978, Fisika Tubuh Manusia,Diterjemahkan Oleh Brahm U. Pendit,
Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Cromwell L., Ardit i M. Weibel F.J., Pfeiffer E.A,

Steele

B.,

Labok

J.,

1976, Medical Instrumentation for Health Care, Prentice Hall Inc


Erawati, P., Astuti, S. D., dan Prijo, T. A., 2003, Analisis Profil Potensial Untuk Kelainan
Fungsional Organ, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya
G.pong Permadi dan Djuharto, 1982, Pedoman Praktis Belajar Akupunktur Kecantikan,
Alumni, Bandung.
Ganong, W.F., 1986, Fisiologi Kedokteran, CV EGC Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Guyton,

Arthur

C.,

1991.

Textbook of

MmedicalPhysiology, Eight Edition.

Philadelphia: W. B Saunder. Comp.


Hall, Guyton A., 1997, Bahan Ajar FisiologiKedokteran (Textbook of Medical
Physiology), Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 1, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Hobbie, R. K. and Roth, B. J., 2007, Intermediate Physics

For

Medicine

and

th

Biology, 4 Edition,

Springer

Science+Bussines Media, New York.

Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High


Pressure, The Sixth Report of the Joint National Committeeon on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, National Institute
of Health, 1997; 98-4080.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

71

Karim, Abdul., 2007, Analisis Disfungsi Organ Hati Menggunakan Interaksi Listrik
Titik Akupunktur BL 18, Fisika Universitas Airlangga, Surabaya.

Koosnadi, S., 2002. Akupuntur Klinik. Airlangga University Press. Surabaya


Labscribe Data Acquisition Software Manual.iWorx/ CB Sciences, Inc, Washington.
http://www.iworx.com.
Parsiti,

2007,

Penentuan

Frekuensi

Karakteristik Organ Ginjal Melalui Profil

Bioimpedansi Titik BL-23, Fisika Universitas Airlangga, Surabaya.


Saputra, K., 2002, Akupunktur Klinik. Airlangga University Press. Surabaya.
Saputra,

Kosnadi

and

Idayanti,

Agustin.

2005.Akupunktur

Dasar.

Airlangga

University Press. Surabaya.


Stux Bruce Gabriel, 1986, Acupuncture, Text Book and Atlas,Spinge-VarlegBerlin
Heidelberg, New York, Tokyo.
Suhariningsih,

1999,

desertasi,

Profil

TeganganListrik Titik Akupunktur Sebagai

Indikator Kelainan Fungsi Organ, Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya.


Wensel MD, 1980. Acupuncture for Americans.Virginia: Raston Publ. Comp., Inc., A
Prentice Hall Company.
Wijayanto, Y. Nur dan Hastuti, D., 2006, Rangkaian Bioamplifier untuk Mendeteksi
S ifat Elektris Otot, Jurnal Elektronika No. 2 Juli-Desember 2006, Volume 6
Website : http://compassionatedragon.com http://alifis.wordpress.com/category/fisikacorner/fisika-kesehatan

72

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Deteksi Kanker Serviks ( Carsinoma Serviks Uteri ) pada Citra


Hasil Rekaman CT-Scan Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan
Dewi Ari Nirmawaty, Prof. Dr. Ir Suhariningsih, Delima Ayu Saraswati ST. MT.
Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga
dewiari.irma@gmail.com

Abstract

Organ regions with cervical cancer abnormality in the images recorded by CTScan is clinically difficult to distinguish, because the intensity of the image colors of the
organ and the cancer are almost the same. Cervical cancer CT-Scan image comprises
three main objects, namely bone, cervix organ, and the organ with the cancer. The usage
of Artificial Neural Network (ANN) was expected to assist paramedics in this field to
detect the location of the cancer. Detection of cervical cancer was conducted by using
artificial neural network to the CT-Scan recorded images. The CT-Scan recorded images
were converted into digital form using image processing techniques. Digital conversion,
using color segmentation feature extraction, resulted in a dominant characteristic, which
then represented the area of the cancer. The dominant characteristic was used as an input
to the neural network for training and testing phases. In the detection of cervical cancer,
the stage of learning with surveillance utilized perceptron method. Software system for
the detection of cervical cancer was developed by using Delphi. The conclusion a
software that can automatically detect organ regions with cervical cancer abnormality
was derived with the accuracy of 90 %.

Keywords : Neural Network, Cancer Detection, CT-Scan.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

73

Abstrak

Daerah organ dengan kelainan kanker serviks pada citra hasil rekaman CT-Scan
secara klinis sukar dibedakan, karena intensitas warna citra organ dan kanker yang hampir
sama. Gambaran CT-Scan kanker serviks meliputi tiga objek utama, yakni tulang, organ
serviks, dan daerah organ dengan adanya kanker. Dengan menggunakan Artificial Neural
Network (ANN) diharapkan dapat membantu para medis di bidangnya untuk mendeteksi
daerah letak kanker. Telah dilakukan deteksi kanker serviks menggunakan jaringan syaraf
tiruan terhadap citra hasil rekaman CT-Scan. Citra hasil rekaman CT-Scan dikonversi ke
dalam bentuk digital menggunakan teknik image processing. Hasil konversi digital,
menggunakan ekstraksi ciri segmentasi warna akan menghasilkan karakteristik dominan,
sehingga mewakili daerah citra kanker tersebut. Karakteristik dominan ini digunakan
sebagai inputan pada jaringan syaraf tiruan untuk tahap pelatihan, dan pengujian. Dalam
deteksi kanker serviks, pada tahap pembelajaran dengan pengawasan digunakan metode
perceptron. Sistem perangkat lunak untuk deteksi kanker serviks dikembangkan
menggunakan Delphi. Dapat disimpulkan bahwa diperoleh perangkat lunak yang dapat
mendeteksi daerah organ dengan kelainan kanker serviks secara otomatis dengan
keakuratan sebesar 90%.

Kata kunci : Jaringan Syaraf Tiruan, Deteksi kanker, CT-Scan.

74

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

1. PENDAHULUAN
Kanker merupakan suatu penyakit yang timbul akibat kondisi fisik yang tidak
normal dan pola hidup yang tidak sehat. Kanker dapat menyerang berbagai jaringan di
dalam organ tubuh, termasuk organ reproduksi wanita.[1] Kanker yang menyerang organ
reproduksi wanita adalah kanker serviks. Kanker serviks (Carsinoma Cerviks Uteri)
sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan perempuan di Indonesia sehubungan
dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi, dimana kanker serviks
menempati urutan kedua setelah kanker payudara dan menempati urutan teratas sebagai
penyebab kematian akibat kanker diusia reproduktif.[1]
Pendeteksian dan pendiagnosaan pada penyakit kanker serviks dilakukan oleh
para radiolog dan dokter ahli. Peralatan radiologi yang berfungsi untuk mendeteksi
penyakit kanker salah satunya adalah CT-Scan.[1] CT-Scan menghasilkan citra (image)
tubuh manusia dengan menggunakan prinsip kerja sinar X. CT-Scan berkaitan dengan
absorpsi (penyerapan) dan pemantulan sinar X dapat menghasilkan suatu citra (image).
Pemeriksaan dan pembacaan citra kanker serviks hasil rekaman CT-Scan ini memerlukan
ketelitian dan ketepatan yang tinggi, karena leher rahim (serviks uteri) merupakan organ
tubuh yang letaknya tersembunyi sehingga sulit dideteksi dengan mata telanjang.
Pengenalan pola berbasis jaringan syaraf tiruan dalam analisa CT-Scan tumor
otak beligna dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit kanker otak dengan tepat.[2]
Image processing yang diciptakannya menggunakan software MATLAB dan jaringan
syaraf tiruan metode backpropagation ini, mencoba untuk mendeteksi penyakit kanker
otak dengan cara mengenali pola dari citra hasil rekaman CT-Scan otak yang kemudian
dikonversi ke dalam bentuk digital menggunakan teknik pengolahan citra dan
dikelompokkan sesuai dengan tingkatan kankernya. Hasil dari penelitian yang telah
dilakukannya melalui sistem tersebut mempunyai ketelitian sebesar 85% sampai dengan
100%.[2]
Penelitian yang telah dilakukan di atas menjadi dasar penulis untuk merancang
suatu sistem digital pendeteksi kanker serviks menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan
(Neural Network). Sistem ini digunakan sebagai alat alternatif paramedis dalam
mendeteksi pola kelainan kanker serviks dari citra hasil rekaman CT-Scan berbasis
komputerisasi. Jaringan syaraf tiruan (Neural Network) merupakan suatu model
komputasi yang bekerja meniru jaringan syaraf manusia. Jaringan syaraf tiruan ini akan
menerima masukan berupa data numerik dari struktur objek yang mengalami pra proses
data yaitu pengaturan dan perbaikan citra hasil rekaman CT-Scan. Pra proses data tersebut
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

75

meliputi proses segmentasi warna, ekstraksi ciri (feature extraction) dan histogram.
Metode pembelajaran jaringan syaraf tiruan yang digunakan adalah perceptron. Metode
perceptron dipilih karena arsitekturnya yang sederhana dan tingkat keakuratannya tinggi.
Arsitektur jaringan syaraf tiruan perceptron ini diharapkan dapat menghasilkan suatu
sistem digital untuk mendeteksi dan mengenali pola kelainan kanker serviks sebagai alat
alternatif yang membantu kerja paramedis untuk menentukan keputusan akhir dalam
pemeriksaan dan pembacaan citra kanker serviks pada citra hasil rekaman CT-Scan.
2. METODOLOGI
Pada penelitian ini, digunakan data sekunder, berupa citra hasil rekaman CT-Scan
leher rahim pasien yang melakukan pemeriksaan radiologi di rumah sakit. Adapun
diagram alir pengerjaan penelitian ini ditunjuukan pada Gambar berikut ini :

Studi Pustaka
Pengambilan Data
PreProcessing
Segmentasi Warna
Feature Extraction
Histogram

Pelatihan pada Model


Jaringan Syaraf Tiruan
Pengujian pada Model
Jaringan Syaraf Perceptron

Hasil Deteksi
Gambar 1 Diagram alur penelitian

76

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

2.1 Image Processing hasil rekaman CT-Scan


Dilakukan image processing (pengolahan citra) pada citra hasil rekaman CTScan. Pengolahan citra ini bertujuan untuk mendapatkan dan memperbaiki kualitas citra
dari adanya noise, yakni pola jaringan/organ yang terkena kanker serviks, sehingga dapat
dibuat jaringan syaraf tiruan. Adapun langkah-langkah pengolahan citra antara lain
adalah:
a. Pembacaan file gambar CT-Scan serviks berukuran 1800x1400 piksel.
b. Resize gambar yang semula berukuran 1800x1400 piksel menjadi 425x374 piksel.
c. Proses segmentasi citra yaitu dengan pembagian citra digital ke beberapa bagian
untuk mempermudah atau mengubah dari suatu citra digital ke bagian yang mudah
untuk dianalisa.[4] Umumnya segmentasi digunakan untuk memisahkan objek dengan
latar belakang. Proses ini melalui tahapan seleksi warna. Seleksi warna adalah proses
pengolahan citra dengan menangkap informasi warna dari objek yang diambil
gambarnya. Seleksi warna merupakan bagian dari gambar pada sisi warna untuk
mempermudah melakukan deteksi objek yang diinginkan (dalam hal ini adalah
objek/daerah kanker serviks). Segmentasi ini dilakukan dengan cara membagi citra
dari histogram citra, yakni :

I.

Mencari intensitas maksimum dan minimum pada histogram yang digunakan


dalam citra awal. Cara ini ditunjukkan pada Gambar 2 (a) dan (b).

Min
(a)

max
(b)

Gambar 2 (a). Data mentah citra hasil CT Scan


(b). Intensitas nilai histogram min dan max dari Gambar 2 (a)

II.

Dari intensitas minimum ke maksimum dilakukan pembagian sejumlah N.N ini


menentukan jumlah objek yang diharapkan ada pada gambar.

III.

Setelah dilakukan pembagian, histogram akan terbagi menjadi bagian-bagian


yang disebut dengan cluster, kemudian pada citra dilakukan penelusuran untuk
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

77

seluruh titik, setiap titik akan digrupkan ke cluster terdekat sehingga hasil akhir
dari proses ini adalah jumlah warna pada gambar. Cara berikut ditunjukkan pada
Gambar 3.

cluster 3
cluster 1

cluster 2

cluster 4

Gambar 3. Hasil cluster nilai histogram dari Gambar 2 (a)

IV.

Cari hasil rata-rata/mean dari seluruh titik pada setiap cluster, kemudian
mengganti warna seluruh titik dalam cluster-cluster tersebut dengan rata-rata dari
cluster masing-masing.
d. Feature Extraction merupakan suatu pengambilan ciri / feature dari suatu bentuk,
dalam hal ini adalah karakter citra pada saat kondisi normal dan yang mengalami
kanker dan luasan area yang terkena kanker. Ciri pada citra organ yang
mengalami kanker akan diberi warna merah dan warna biru untuk ciri tulang,
sedangkan pada citra normal, hanya akan muncul warna biru sebagai ciri tulang.
e. Proses histogram yaitu mencari derajat nilai keabuan dari masing-masing bagian
citra. Proses ini dilakukan pada citra normal dan pada citra dengan kanker
serviks. Semakin terang atau putih suatu citra, maka puncak intensitas pada
histogramnya akan semakin tinggi, yaitu mendekati nilai 255, namun bila
semakin gelap atau hitam warna suatu citra maka puncak intensitas pada

2.2 Jaringan Syaraf Tiruan Metode Perceptron.


Algoritma pelatihan perceptron adalah sebagai berikut :
Langkah 0 :

Inisialisasi :

a. Bobot input variabel ke-i menuju ke neuron ke-j ( Wij ) dan bobot bias menuju ke
neuron ke-j ( bj ); ( untuk sederhananya sel semua bobot dan bobot bias sama
dengan nol ).

78

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

b. Set learning rate ( 0 < 1 ).


c. Set maksimum epoch ( Maxepoch ).
Langkah 1 :

Tetapkan epoch = 0

Langkah 2 :

Selama kondisi berhenti bernilai false, lakukan langkah-langkah sebagai


berikut :

a. Untuk setiap pasangan pembelajaran sk - tk dengan k=1,2, ... , n, kerjakan :


I.

Set input dengan nilai sama dengan vektor input : xki = ski ; dengan k = 1,2,
... , m.

II.

Hitung respon untuk unit output :

dengan j = 1,2, ... , c.


1, jika y_inj 0
yj =

;untuk output biner,atau


0, jika y_inj < 0
1, jika y_inj 0

yj =

; untuk output bipolar


-1, jika y_inj < 0

III.

Perbaiki bobot dan bias jika terjadi eror. jika yj tkj maka :
wij = wij + *t*xki
bj = bj + *tkj
jika tidak, tidak akan terjadi perubahan pada w dan b.

b. Tes kondisi berhenti : jika masih terjadi perubahan bobot atau jumlah kuadrat
error ( sum square error 0 ) dan epoch < MaxEpoch, maka kondisi berhenti
FALSE, namun jika sudah tidak terjadi perubahan bobot ( sum square error 0 )
atau epoch MaxEpoch, maka kondisi berhenti TRUE.[5] [6]
Sedangkan algoritma untuk proses pengujian adalah sebagai berikut :
Langkah 0 : Ambil bobot dari proses pembelajaran.
Langkah 1: Untuk setiap vektor x, lakukan langkah 2.
Langkah 2: Set nilai aktivasi dari unit masukan, xi= si ; i=1,.,n,
Langkah 3: Hitung total masukan ke unit keluaran, Net = xiwi + b,
Langkah 4: Gunakan fungsi aktivasi, Y = f(net).
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

79

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam kegiatan deteksi kelainan kanker serviks yang dianalisis dari beberapa
gambar hasil CT-Scan dengan proses image processing atau preprocessing yang meliputi
histogram, segmentasi serta ekstraksi ciri. Tahap pertama, gambar dalam file dikonversi
dalam bentuk digital. Pada tahap kedua, setelah diketahui matriks tingkat keabuan dari
masing-masing gambar, dilakukan proses histogram untuk mengetahui bentuk grafik dari
masing-masing gambar. Lalu dilakukan tahap ketiga, dimana pada tahap ini akan
dilakukan proses segmentasi warna sebagai bentuk dari proses ekstraksi ciri, pada tahap
ketiga ini dilakukan pengenalan dan pencarian organ yang mengalami kanker pada
gambar hasil CT-Scan secara otomatis. Pada tahapan ini hasil deteksi kanker serviks
sudah dapat diketahui, bahwa warna biru menunjukkan keterangan dari sebuah gambar
tulang dan warna merah menunjukkan adanya kelainan kankernya. Ketiga tahapan
tersebut dilakukan pada masing-masing gambar sebagai masukan data untuk tahap
selanjutnya.
Selanjutnya tahapan terakhir yang dilakukan adalah deteksi menggunakan proses
jaringan syaraf tiruan, yang meliputi proses pembelajaran (training) dan testing data baru.
Pada tahap deteksi menggunakan jaringan syaraf tiruan ini, arsitektur jaringan
syaraf tiruan yang digunakan adalah jaringan syaraf tiruan perceptron, dimana penjalaran
informasi lurus ke depan dari lapisan input menuju lapisan bobot dan bias, dan
selanjutnya menuju ke lapisan output.
Seperti halnya jaringan syaraf tiruan yang lain, pelatihan dilakukan dalam rangka
melakukan pengaturan bobot, sehingga pada akhir pelatihan akan diperoleh bobot-bobot
yang baik. Selama proses pelatihan, bobot diatur secara iteratif untuk meminimumkan
fungsi kinerja jaringan. Bobot-bobot hasil dari pelatihan ini nantinya dipakai untuk
pengaturan bobot pada jaringan untuk pengujian data pelatihan dan data baru.
Pada proses training data pada jaringan syaraf tiruan, digunakan 20 data yang
terdiri dari 10 data gambar dengan kelainan kanker serviks, dan 10 data gambar normal.
Selanjutnya dilakukan proses testing data pada jaringan syaraf tiruan. Pada proses
ini, digunakan 4 data masukan yang terdiri dari 2 data gambar normal dan 2 data gambar
dengan kelainan kanker serviks sebagai pelatihan, dan 6 sample gambar yang diambil
secara acak yang belum diketahui secara pasti apakah gambar tersebut tergolong gambar
dengan kelainan kanker serviks atau gambar normal. Namun setelah dilakukan
pengecekan ulang, yakni dengan diagnosa paramedis dan jaringan syaraf tiruan
perceptron, ternyata terdapat 1 data yang hasilnya tidak sesuai antara diagnosa paramedis

80

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

dan hasil testing menggunkan jaringan syaraf tiruan. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel
1 di bawah ini :
Tabel 1 Hasil Testing
No.

Data

X1

X2

Target

Hasil

Data 1

Kanker

Benar

Data 2

Normal

Benar

Data 3

Kanker

Benar

Data 4

Kanker

Benar

Data 5

Kanker

Benar

Data 6

Normal

Benar

Data 7

Normal

Benar

Data 8

Kanker

Salah

Data 9

Normal

Benar

10

Data 10

Normal

Benar

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil deteksi kanker serviks hasil citra CT-Scan menggunakan image
processing dan jaringan syaraf tiruan, maka dapat disimpulkan bahwa jaringan syaraf
tiruan metode perceptron dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kanker serviks.
Dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan perceptron telah didapatkan hasil dengan
akurasi 90 %

5. PUSTAKA
[1] Diananda Rama, 2007, Mengenal Seluk Beluk Kanker, Yogyakarta : Kata Hati.
[2] Susmikanti Mike, 2010, Pengenalan Pola Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan dalam
Analisa CT-Scan Tumor Otak Beligna, Jakarta : SNATI Batan..
[3] Basuki Achmad, Fatchurrochman, dkk, 2005, Pengolahan Citra Digital menggunakan
Visual Basic, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
[4] Budi Putranto, Benedictus Yoga, dkk, 2010, Segmentasi Warna Citra dengan Deteksi
Warna HSV untuk Mendeteksi Objek, Fakultas Teknik Program Studi Teknik
Informatika : Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
[5] Siang, J.J, 2009, Jaringan Syaraf Tiruan dan Pemrogramannya menggunakan Matlab,
Yogyakarta : ANDI.
[6] Kusumadewi Sri, 2004, Membangun Jaringan Saraf Tiruan menggunakan Matlab &
Excel Link, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

81

Sintesis dan Karakterisasi Komposit Hidroksiapatit dari Tulang


Sotong (Sepia sp.)-Kitosan untuk Kandidat Aplikasi Bone Filler
Istifarah1, Aminatun2, Prihartini Widiyanti2
1
2

Mahasiswa Program Studi Teknobiomedik,

Staf Pengajar Program Studi Teknobiomedik

Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : istifarah.unair@gmail.com

Abstract
This study aimed to find out the potential of hydroxyapatite (HA) that was
synthesized from cuttlefish (Sepia sp.) bone as well as HA-chitosan composite for
bone filler applications. Hydroxyapatite was obtained by hydrothermal reaction
between 1M aragonite (CaCO3) from cuttlefish bone lamellae and 0.6 M
NH4H2PO4 at 200oC and variations in the duration of 12, 24 and 36 hours.
Followed by a sintering process with a temperature of 1000C for 1 hour.
Sample with the highest content of HA was used as the matrix to synthesize
the composite with chitosan as the fiber/filler. Synthesis of HA-chitosan
composite was conducted by a simple mixing method with variations of
chitosan from 20 to 35%. XRD, compressive strength and hardness test as
well as MTT assay were performed to determine the best sample of all. The
results showed that 100% CaCO3 was obtained from cuttlefish bone and was
successfully processed into 100% amorphous HA. Sintering process resulted in
changes in the percentage of HA with much better degree of crystallinity. The
highest HA content was obtained in the hydrothermal duration of 36 hours after
sintering, of which was 94%. The best sample was obtained from the composite
containing 20% chitosan which indicates perfect mixing between HA and
chitosan, with a compressive strength of (5.241 0.063) MPa. The addition of
chitosan was found to increase the cell viability from 87.00% to 97.11%. HAchitosan composite from cuttlefish bone has a potential for bone filler
applications to cancellous bone.
Keywords : Hydroxyapatite, Sepia sp., Hydrothermal, HA-chitosan composite,
Bone filler.

82

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hidroksiapatit


(HA) yang disintesis dari tulang sotong (Sepia sp.) dan komposit HA-kitosan
untuk aplikasi bone filler. HA diperoleh dengan reaksi hidrotermal antara 1M
aragonit (CaCO 3) dari lamellae tulang sotong dan 0,6M NH4H2PO4 dengan suhu
200oC dan variasi durasi 12, 24 dan 36 jam. Kemudian dilakukan sintering
dengan suhu 1000C selama 1 jam. Sampel dengan kandungan HA tertinggi
dijadikan matriks untuk mensintesis komposit,
serat/filler.

Sintesis

komposit

HA-kitosan

dengan kitosan sebagai

dilakukan

dengan

metode

pencampuran sederhana dengan variasi kitosan dari 20 hingga 35%. Uji XRD,
kekuatan tekan, dan MTT assay dilakukan untuk menentukan sampel terbaik.
Hasil penelitian enunjukkan bahwa diperoleh 100% CaCO3 dari tulang sotong
dan berhasil diproses menjadi 100% HA amorf. Proses sintering mengakibatkan
perubahan prosentase HA dengan kristalinitas yang jauh lebih baik. Kandungan
HA tertinggi diperoleh pada durasi hidrotermal 36 jam setelah disintering, yaitu
94%. Sampel terbaik diperoleh pada komposit dengan kitosan 20% yang
mengindikasikan terjadinya penyatuan secara sempurna antara HA dan kitosan,
dengan kekuatan tekan sebesar (5,241 0,063) MPa. Penambahan kitosan
meningkatkan viabilitas sel dari 87,00% menjadi 97,11%. Komposit HA dari
tulang sotong-kitosan berpotensi untuk aplikasi bone filler pada tulang
cancellous.

Kata kunci : Hidroksiapatit, Sepia sp., Hidrotermal, Komposit HA-kitosan, Bone


filler.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

83

PENDAHULUAN
Berdasarkan data di Asia, Indonesia adalah negara dengan jumlah penderita
patah tulang tertinggi. Diantaranya, ada sebanyak 300-400 kasus operasi bedah
tulang per bulan di RS. Dr. Soetomo Surabaya (Gunawarman dkk, 2010). Setiap
tahun kebutuhan substitusi tulang terus bertambah. Hal tersebut disebabkan
meningkatnya kecelakaan yang mengakibatkan patah tulang, penyakit bawaan
dan non-bawaan (Ficai et al., 2011).
Klasifikasi material substitusi tulang meliputi autograft, allograft, dan
xenograft. Setiap material tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan sebagai
material untuk memperbaiki tulang. Kelemahan autograft adalah sering
menyebabkan komplikasi dalam penyembuhan luka, operasi tambahan, nyeri
pada donor dan pasokan tulang tidak memadai untuk mengisi gap. Sedangkan
allograft

dan

xenograft

terkait

dengan

reaksi

infeksi,

inflamasi,

dan

penolakan. Teknik allograft yang menggunakan tulang mayat, memiliki masalah


dalam reaksi imunogenik dan resiko penyakit menular (AIDS dan hepatitis).
Xenograft juga membawa resiko penyakit menular antar spesies (Wahl dan
Czernuszka, 2006 dan Venkatesan et al.,2010). Keterbatasan tersebut memicu
perkembangan riset di bidang biomaterial, yaitu dengan melakukan berbagai
modifikasi pembuatan

biomaterial

sintetik.

Dengan

biomaterial

sintetik

diharapkan karakter bahan diketahui secara pasti dan terkontrol.


Hidroksiapatit (HA) telah dipelajari selama bertahun-tahun dan digunakan
secara luas untuk pembuatan implan karena kesamaannya dengan fase mineral
tulang dan terbukti biokompatibel dengan tulang dan gigi manusia (Ivankovic,
2010 dan Earl, 2006). HA dengan rumus kimia Ca10 (PO4)6(OH)2

adalah

komponen anorganik utama dari jaringan keras tulang dan menyumbang 60-70%
dari fase mineral dalam tulang manusia. HA mampu menjalani ikatan
osteogenesis

dan

relatif tidak

larut

in

vivo.

Banyak

penelitian

telah

menunjukkan bahwa HA tidak menunjukkan toksisitas, respon peradangan,


respon

pirogenetik (menimbulkan demam). Selain itu, pembentukan jaringan

fibrosa antara implan dan tulang sangat baik, dan memiliki kemampuan menjalin
84

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

ikatan langsung dengan tulang host. HA menunjukkan sifat bioaktif dan


osteokonduktif (Hui, 2010) yang sangat bermanfaat dalam proses mineralisasi
tulang (Dewi, 2009).
HA yang disintesis dari bahan alam memiliki osteokonduktivitas yang lebih
baik dibandingkan dengan dari bahan sintetik (Saraswathy, dalam Dewi, 2008).
Bahan alam yang dapat digunakan untuk sintesis HA adalah tulang sotong.
Tulang

sotong

(Sepia

sp.) merupakan residu budidaya perikanan yang

biasanya dimanfaatkan sebagai pakan burung dan kura-kura sebagai asupan


kalsium. Dengan harganya yang terjangkau, 85% kalsium karbonat (CaCO3)
yang terkandung dalam tulang sotong dapat dimanfaatkan sebagai sumber
kalsium dalam sintesis HA yang ekonomis dan dapat dijangkau oleh masyarakat
luas.
Scaffolds HA dari tulang sotong pertama kali disintesis pada tahun 2005 oleh
Rocha et al. dengan metode hidrotermal pada suhu 200C. Hasil uji scaffolds
tersebut menunjukkan stabilitas termal yang tinggi. Selain itu, hasil uji in vitro
bioaktivitas pada SBF dan biokompatibilitas dengan osteoblas, menunjukkan
scaffolds HA dari tulang sotong cocok untuk aplikasi implan atau rekayasa
jaringan.
Dalam pengaplikasiannya, biokeramik seperti HA dan trikalsium fosfat
(TKF) bersifat rapuh. Untuk menyempurnakan sifat mekanik HA dapat
dilakukan modifikasi dengan menambahkan polimer sebagai serat/filler.
Kitosan adalah salah satu polimer alami yang berpotensi untuk digunakan
sebagai serat/filler dalam pembuatan komposit. Kitosan memiliki karakter
bioresorbabel, biokompatibel, non-toksik, non-antigenik, biofungsional dan
osteokonduktif.

Karakter

osteokonduktif

yang

dimiliki

kitosan

dapat

mempercepat pertumbuhan osteoblas pada komposit HA-kitosan sehingga dapat


mempercepat pembentukan mineral tulang.
Pramanik et al. (2009) mensintesis nano-komposit HA-kitosan dengan cara
pelarutan sederhana berdasarkan metode kimia. Variasi HA yang dilakukan
dari 10% hingga 60%. Hasil penelitian menunjukkan nano-komposit yang
dihasilkan dapat digunakan untuk aplikasi bone tissue engineering. Namun,
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

85

sekitar 70% penyusun tulang manusia merupakan senyawa kalsium fosfat,


sehingga pada penelitian ini akan dilakukan sintesis komposit HA dari tulang
sotong (Sepia sp.)-kitosan dengan variasi HA : kitosan = (80 : 20), (75 : 25),
(70 : 30), (65 :35). Komposit diharapkan memiliki sifat mekanik yang baik untuk
tujuan aplikasi bone filler. Selain itu, diharapkan penambahan kitosan dapat
meningkatkan osteokonduktifitas HA, sehingga dapat mempercepat pembentukan
mineral tulang.

METODE
Ekstraksi CaCO3 dari Tulang Sotong (Sepia sp.)

Untuk mendapatkan CaCO3, bagian lamellae tulang sotong (Sepia sp.)


dijadikan bubuk dengan HEM-E3D, kemudian dipanaskan pada suhu 350C
selama 3 jam untuk menghilangkan komponen organik. Kemudian dilakukan
karakterisasi XRD untuk memastikan kandungan CaCO3 .
Persiapan Bahan
CaCO3 (Mr = 100) 1M diperoleh dengan menambahkan 100 gram CaCO 3
ke dalam 1 liter aquades. Sedangkan larutan NH4H2PO4 (Mr = 115) 0,6 M dibuat
dengan melarutkan 69 gram ke dalam 1 liter aquades.

Sintesis Hidroksiapatit dengan Metode Hidrotermal


CaCO3

1M dan larutan NH4H2PO4

0,6M dicampur dengan magnetic

stirrer selama 30 menit, kemudian dipindahkan ke reaktor. Reaktor dimasukkan ke dalam


oven elektrik untuk dipanaskan hingga suhu 200oC dengan variasi durasi, yaitu 12 jam,
24 jam, dan 36 jam, dengan nama sampel berurutan yaitu sampel A, B, dan C. Hasil yang
diperoleh, didinginkan pada suhu kamar. Kemudian, sampel dicuci dengan aquades
menggunakan magnetic stirrer. Pencucian dilakukan berulang kali hingga hasil reaksi
terpisah dengan aquades, ditunjukkan oleh pH yang kembali menjadi 7. Hal tersebut
dilakukan untuk menghilangkan hasil sampingan yang bersifat asam. Pencucian yang
terakhir dilakukan dengan metanol untuk membatasi aglomerasi partikel HA selama
pengeringan. Sampel dikeringkan dalam oven elektrik pada suhu 50oC selama 4 jam.
Sampel A, B, dan C dikarakterisasi XRD untuk memastikan terbentuknya HA pada
masing-masing sampel.

86

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Sintering
Sintering sampel dengan suhu 1000 C selama 1 jam untuk menghilangkan
pengotor dan meningkatkan kristalinitas sampel. Nama sampel A, B, dan C yang telah
disintering berurutan adalah D, E, dan F yang kemudian dikarakterisasi XRD untuk
mengetahui kandungan masing-masing sampel.

Sintesis Komposit HA-Kitosan


Hasil uji XRD menunjukkan sampel F merupakan sampel terbaik dari tahap
sebelumnya. Sehingga, sampel F yang digunakan untuk mensintesis komposit HAkitosan. Preparasi kitosan dilakukan dengan mencampurkan 2 gram kitosan dengan 100
ml asam asetat 3% dan 6 gram asam fosfat 85%, kemudian dipanaskan dengan suhu 70C
selama 1 jam dengan pengadukan konstan. Setelah didinginkan, larutan diendapkan
dalam metanol berlebih untuk menghilangkan asam asetat dan asam fosfat yang tidak
bereaksi. Gel yang diperoleh, dilarutkan dalam aquades, kemudian dalam metanol
berlebih. Gel yang terbentuk dikumpulkan dan dikeringkan dengan suhu 70oC.
Sintesis komposit HA-kitosan dilakukan dengan metode pencampuran sederhana.
Massa kitosan dan HA disesuaikan dengan perbandingan (20:80), (25:75), (30:70),
(35:65) dengan nama sampel berurutan yaitu sampel F1, F2, F3, F4. Kitosan dilarutkan
dalam 10 ml aquades bersuhu 70oC, kemudian ditambahkan bubuk HA secara perlahan.
Campuran tersebut diaduk dengan magnetic stirrer selama 1 jam. Setelah semua bahan
tercampur sempurna, bubur didiamkan selama semalam untuk gelembung udara. Bubur
yang dihasilkan dari proses tersebut kemudian dikeringkan dengan suhu 70oC selama
lebih dari semalam. Komposit yang dihasilkan kemudian dihaluskan dengan cara digerus
dengan mortar.

Uji XRD
Difraktometer sinar-X PANalytical X'Pert PRO digunakan untuk uji XRD. Hasil
tersaji dalam bentuk grafik spektrum dan tabel. Analisis kualitatif dilakukan dengan
mencocokkan dengan ICDD (International Centre for Diffraction Data). Analisis
kualitatif dilakukan dengan metode rietvield.

Uji Kekuatan Tekan


Sampel dicetak menjadi menjadi pellet dengan cara dikompaksi dengan beban 2
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

87

ton. Cetakan yang digunakan berdiameter 13 mm. Pengukuran dilakukan dengan cara
diametral compression test menggunakan Autograph.

Uji MTT Assay


Kultur sel fibroblas BHK-21 dalam bentuk monolayer dengan media Eagles
dan FBS 5% ditanam dalam botol kultur roux kemudian diinkubasi pada suhu 37 C
selama 48 jam. Kultur sel dicuci dengan PBS 5 kali yang untuk membuang sisa
serum yang tersisa. Kemudian ditambahkan tripsin versene untuk melepaskan sel dari
dinding botol dan memisahkan ikatan antar sel agar tidak menggerombol. Sel dengan
kepadatan 2 x 105 dimasukkan dalam 100 L media (media eagles 86%, penicillin
streptomycin 1%, fungizone 100 unit/mL), kemudian dipindahkan ke dalam 96microwell plate sesuai dengan jumlah sampel dan control. Sampel yang telah disterilisasi
sebanyak 0,05 gram dilarutkan dalam 1 ml etanol. Larutan sampel kemudian dimasukkan
dalam 96-microwell plate sebanyak 50 L. Lalu diinkubasi 24 jam pada suhu 37C.
Pereaksi MTT 5 mg/mL yang telah dilarutkan dalam PBS ditambahkan ke
media sebanyak 10 L untuk setiap well kemudian diinkubasi selama 4 jam dalam suhu
37 C. Pelarut DMSO ditambahkan ke setiap well sebanyak 50 L lalu disentrifuse 30
rpm selama 5 menit. Nilai densitas optik (OD) formazan dihitung dengan Elisa reader
pada panjang gelombang 630 nm. Penghitungan persentase viabilitas sel dapat dihitung
dengan membandingkan OD perlakuan dengan OD kontrol sel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil uji XRD terhadap bubuk lamellae tulang sotong yang telah diberi perlakuan
panas 350C selama 3 jam menunjukkan kandungan 100% kalsium karbonat (aragonit,
CaCO3) (Gambar 1). Spektrum XRD sampel menunjukkan kesesuaian dengan ICDD 0171-4891. Hal tersebut seiring dengan hasil penelitian Paljar et al. (2009) yang
menunjukkan

bahwa perlakuan panas pada bagian lamellae tulang sotong tidak

mengubah kandungan aragonit menjadi kalsit, tidak seperti bagian dorsal. Aragonit lebih
mudah bertransformasi menjadi HA dibandingkan kalsit, sehingga pada penelitian ini
digunakan aragonit dari bagian lamellae tulang sotong untuk mensintesis HA.

88

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Gambar 1 Spektrum XRD bubuk lamellae tulang sotong

Hasil uji XRD terhadap Sampel A, B, dan C dengan durasi hidrotermal berturutturut 12, 24, dan 36 jam menunjukkan bahwa kandungan dari ketiga sampel tersebut
adalah 100% hidroksiapatit [HA, Ca10(PO4)6 (OH)2]. Seluruh spektrum XRD yang
terbentuk pada ketiga sampel tersebut bersesuaian dengan ICDD 01-72-1243. Intensitas
puncak tertinggi Sampel A sebesar 110 (Gambar 2(a)), Sampel B sebesar 104 (Gambar
2(b)), dan Sampel C sebesar 115 (Gambar 2(c)).
Rendahnya intensitas difraksi puncak tertinggi pada Sampel A, B dan C
menunjukkan bahwa
(amorf).

Selain

derajat

kristalinitas

HA

yang

dihasilkan

masih

rendah

itu, dimungkinkan Sampel A, B dan C masih mengandung pengotor.

Hal tersebut didukung oleh warna

bubuk dari ketiga

sampel

yang

kecoklatan

2(Gambar 3). Diperkirakan pengotor merupakan ion karbonat (CO3 ). Ion karbonat

dapat hilang pada pemanasan dengan suhu di atas 600C (Septiarini, 2009). Dengan
demikian, perlu ditambahkan proses sintering untuk menghilangkan pengotor dan
meningkatkan derajat kristalinitas HA yang telah diperoleh dari proses hidrotermal.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

89

(a)

(b)

(c)
Gambar 2 Spektrum XRD (a) Sampel A, (b) Sampel B, (c) Sampel C

Gambar 3 Hidroksiapatit sebelum sintering

90

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Sampel A, B, dan C yang telah disintering dengan suhu 1000C selama 1 jam
berturut - turut disebut sebagai Sampel D, E, dan F. Hasil uji XRD menunjukkan bahwa
ketiga sampel tersebut mengandung hidroksiapatit [HA, Ca10(PO4)6(OH)2 ] dan
trikalsium fosfat [TKF, Ca3(PO4)2] sesuai dengan ICDD berturut-turut 01-72-1243 dan
01-073-4869. Selain itu, terdapat pula puncak yang tidak teridentifikasi pada sampel D
dan E.
Hasil uji XRD menunjukkan peningkatan intensitas yang sangat drastis
dibandingkan sampel sebelum disintering yang berkisar dari 104 115 saja.
Intensitas puncak tertinggi Sampel D sebesar 1658,43 (Gambar 4(a)), Sampel E sebesar
1472,35 (Gambar 4(b)), dan Sampel F sebesar 1938,59 (Gambar 4(c)). Sintering juga
menyebabkan perubahan warna dari yang semula kecoklatan menjadi putih (Gambar
5). Hal tersebut menunjukkan bahwa
pengotor dalam sampel telah hilang.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4. Spektrum XRD (a) Sampel D, (b) Sampel E, (c) Sampel F

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

91

Gambar 5 Sampel setelah disintering


Berdasarkan analisis kuantitatif dengan metode rietveld terhadap hasil uji XRD,
diperoleh kandungan masing-masing sampel yang ditunjukkan pada Tabel I.
Terbentuknya senyawa TKF pada sampel diakibatkan hilangnya OH akibat perlakuan
temperatur tinggi. Namun, kehadiran TKF dalam sampel sebenarnya bukanlah hal yang
fatal. Hal tersebut dikarenakan TKF juga digunakan sebagai material implan tulang. TKF
memiliki sifat biodegradabel, bioaktif dan memiliki kelarutan yang tinggi (Dewi, 2009).

Tabel I Kandungan Sampel Setelah Disintering


Nama Sampel
D
E
F

HA (%)
94
89
94

TKF (%)
6
11
6

Berdasarkan Tabel I diketahui bahwa sampel D dan F yang kandungan HA


tertinggi dengan jumah yang sama, yaitu 94%. Namun, dengan mempertimbangkan
adanya 2 puncak yang tidak terindentifikasi sebagai HA atau TKF pada spektrum XRD
Sampel D, yaitu pada posisi 2 38,4365 dan 44,6553, maka sampel F yang
digunakan sebagai matriks dalam sintesis komposit dengan kitosan.
Telah dilakukan sintesis komposit antara sampel F dengan kandungan HA 94%
sebagai matriks dan kitosan sebagai serat/filler. Hasil uji kekuatan tekan menunjukkan
penambahan kitosan sebagai filler dalam komposit HA-kitosan meningkatkan kekuatan
tekan HA. Hal tersebut menegaskan bahwa elastisitas kitosan mampu memperbaiki sifat
HA yang rapuh (brittle). Kekuatan tekan tertinggi diperoleh pada sampel F1, dengan
perbandingan HA : kitosan sebesar 80 : 20, yaitu (5,241 0,063) MPa.

92

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Gambar 7 Grafik kekuatan tekan sampel

Hasil uji kuat tekan menunjukkan pertambahan jumlah kitosan justru


mengakibatkan penurunan kekuatan tekan pada sampel F2, F3, dan F4. Hal tersebut
bisa saja terjadi karena sifat mekanik dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya adalah
bentuk partikel, ukuran partikel, serta distribusi ukuran partikel (Cai et al., 2009).
Mengingat sampel komposit F1-F4 digerus secara manual sebelum dicetak, sehingga
besar kemungkinan bentuk dan ukuran partikel tidak sama antara sampel yang satu
dengan yang lainnya.
Distribusi ukuran partikel komposit pun kemungkinan besar tidak homogen.
Kekuatan tekan juga dipengaruhi oleh interaksi antarmuka antara matriks dan filler, yaitu
HA dan kitosan (Cai et al., 2009). Penurunan kekuatan tekan akibat peningkatan
jumlah kitosan, kemungkinan diakibatkan adanya kitosan yang tidak berinteraksi dengan
HA. Hal tersebut seiring dengan penelitian Dewi (2009) dimana komposit kalsium
fosfat-kitosan terbaik diperoleh pada komposisi 80 : 20, dan komposisi 70 : 30
mengindikasikan adanya kitosan yang tidak berinteraksi dengan kristal apatit.
Berdasarkan analisis hasil uji kekuatan, Sampel F1 dengan perbandingan HA : kitosan
sebesar 80 : 20 dipilih sebagai sampel terbaik. Kekuatan tekan Sampel F1 sebesar
(5,241 0,063) MPa termasuk dalam range nilai kekuatan tekan tulang cancellous dari
literatur, yaitu 2-12 MPa (Ficai et al., 2011). Sehingga, Sampel F1 berpotensi sebagai
implan pada tulang cancellous.
Hasil uji XRD terhadap Sampel F1 ditunjukkan oleh Gambar 6. Apabila
dibandingkan dengan hasil uji XRD Sampel F, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan
intensitas dan pergeseran posisi puncak pada komposit. Di antaranya pada puncak
difraksi bidang (002), (211), dan (300). Pada bidang (002) terjadi penurunan intensitas
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

93

dari 737,25 menjadi 702,44 dan pergeseran posisi puncak dari 25,8674 menjadi 25,8648.
Pada bidang (211) terjadi penurunan intensitas dari 1938,59 menjadi 1830,03 dan
pergeseran posisi puncak dari 31,7576 menjadi 31,7554. Pada bidang (300) terjadi
penurunan intensitas dari 1248,14 menjadi 1082,17 dan pergeseran posisi puncak dari
32,8924 menjadi 32,8873. Penurunan intensitas dan pergeseran puncak mengindikasikan
terjadinya ikatan antara matriks dan filler, yaitu HA dan kitosan dari proses pembentukan
komposit.

Gambar 6 Spektrum XRD komposit (Sampel F1)

Analisis kuantitafif terhadap hasil uji XRD menunjukkan bahwa Sampel F1


mengandung 95% HA dan 5% brushite [CaHPO4(H2O)2]. Hal tersebut seiring
dengan penelitian Sari (2012) yang menyatakan terbentuknya CaHPO4 pada komposit
kemungkinan diakibatkan ketidakstabilan stoikiometri pada HA sehingga rasio molar
Ca/P > 1,67 yang membentuk CaO. Dimana, kandungan CaO diatas 55 %

akan

membetuk

CaHPO4. Ketidakstabilan stoikiometri tersebut juga

dimungkinkan karena Sampel F yang digunakan untuk mensintesis komposit F1


mengandung TKF sebesar 6%. Selain itu,

afinitas

yang tinggi akibat

penambahan asam fosfat pada kitosan juga dapat menyebabkan ketidakstabilan


stoikiometri, karena ion fosfat pada kitosan dapat bertukar dengan ion fosfat
pada HA (Pramanik et al.,2009).
Hasil uji MTT assay menunjukkan bahwa Sampel F, yaitu HA yang
disintesis dari tulang sotong (Sepia sp.) tidak bersifat toksik. Hal tersebut
dikarenakan nilai viabilitas sel yang diperoleh sebesar 87,00%. Material tidak
94

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

bersifat toksik pada sel fibroblast (cell lines) apabila prosentase viabilitas sel
masih di atas 60%, yaitu OD dari perlakuan masih mendekati OD dari kontrol
(Wijayanti, 2010). Hasil uji MTT assay pada Sampel F1, yaitu komposit dengan
HA : kitosan sebesar 80 : 20 menunjukkan jumlah viabilitas sel sebesar 97,11%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan kitosan mampu meningkatkan
viabilitas sel dibandingkan dengan Sampel F.

KESIMPULAN
Reaksi hidrotermal antara CaCO3
NH4H2PO4

dari tulang sotong (Sepia sp.) dan

dengan variasi waktu 12, 24, dan 36 jam menghasilkan 100% HA pada

ketiga sampel dengan kristalinitas yang rendah. Proses sintering mengakibatkan


perubahan prosentase HA dengan derajat kristalinitas yang jauh lebih baik.
Komposit

HA-kitosan

disintesis

dengan

memanfaatkan sampel

dengan

kandungan HA tertinggi, yaitu sampel dengan durasi hidrotermal 36 jam setelah


disintering. Hasil uji menunjukkan penambahan kitosan sebesar 20% berpotensi untuk
aplikasi bone filler pada tulang cancellous.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Setia Utami, 2009, Pembuatan Komposit Kalsium Fosfat-Kitosan dengan
Metode Sonikasi, Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Cai, X., Tong, H., Shen, X., Chen, W., Yan, J., Hu, J., 2009, Preparation
and Characterization of Homogeneous ChitosanPolylactic Acid/Hydroxyapatite
Nanocomposite for Bone Tissue Engineering and Evaluation of Its Mechanical
Properties, Acta Biomaterialia 5 (2009) 2693-2703, China.
Earl, JS., Wood, DJ., Milne, SJ., 2006, Hydrothermal Synthesis of

Hydroxyapatite,

Journal of Physics: Conference Series 26 (2006) 268271.


Ficai,

A.,

Andronescu,

E.,

Voicu,

Collagen/Hydroxyapatite Composite

G.,

Ficai,

Materials.

D.,

2011,

Advances

in

Politehnica

University

of

Bucharest, Faculty of Applied Chemistry and Materials Science, Romania.


Gunawarman, M.A., Mulyadi S., Riana, H.A., 2010, Karakteristik Fisik dan Mekanik
Tulang Sapi Variasi Berat Hidup sebagai Referensi Desain Material
Implan. Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNMTTM) ke-9.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

95

Hui, P., Meena, S.L., Singh, G., Agarawal, R.D., Prakash, S., 2010, Synthesis
of Hydroxyapatite

Bio-Ceramic

Powder by Hydrothermal

Method,

Journal of Minerals & Materials Characterization & Engineering, Vol. 9, No.8,


pp.683-692, India.
Ivankovic, H., Orlic, S., Kranzelic, D., Tkalcec, E., 2010, Highly Porous
Hydroxyapatite Ceramics for Engineering Applications, Advances

in

Science and Technology Vol.63 (2010) pp 408-413, Switzerland.


Paljar, K., Orlic, S., Tkalcec, E., Ivankovic, H., 2009, Preparation of Silicon Doped
Hydroxyapatite.

Croatia

Faculty of Chemical Engineering

and

Technology, University of Zagreb.


Pramanik, N., Mishra, D., Banerjee, I., Maiti, T.K., Bhargava, P., Pramanik, P.,
2009, Chemical Synthesis, Characterization, and Biocompatibility Study of
Hydroxyapatite/Chitosan

Phosphate

Nanocomposite

for

Bone

Tissue

Engineering Applications, International Journal of Biomaterials, doi :


10.1155/2009/512417, India.
Rocha, J.H.G., Lemos, A.F., Agathopoulos, S., Valrio, P., Kannan, S., Oktar, F.N.,
Ferreira, J.M.F., 2005, Scaffolds for Bone Restoration from Cuttlefish, Elsevier
: Bone 37 (2005) 850857.
Sari, RA Irindah F, 2012, Sintesis dan Karakterisasi Mikroskopik Nano-Komposit
Hidroksiapatit/Kitosan

(n-HA/Cs)

untuk

Aplikasi

Jaringan

Tulang,

Skripsi Fsaintek Unair Surabaya.


Septiarini, Savitri, 2009, Pelapisan Apatit pada Baja Tahan Karat Lokal dan
Ternitridasi dengan Metode Sol-Gel, Skripsi FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Venkatesan,

J.,

Kim,

S.,

2010,

Chitosan

Composites

for

Bone

Tissue

EngineeringAnOverview, Mar. Drugs 2010, 8, 2252-2266, Korea.


Wahl, D.A. dan Czernuszka, J.T., 2006, Collagen-Hydroxyapatite Composites for
Hard Tissue Repair, European Cells and Materials Vol. 11. (pages 43-56),
University of Oxford, UK.
Wijayanti, Fitria, 2010, Variasi Komposisi Cobalt - Chromium Pada Komposit Co-CrHAP Sebagai Bahan Implan, Skripsi FSAINTEK Unair.

96

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Sistem Deteksi Kelainan Jantung Menggunakan Jaringan Saraf


Tiruan Dengan Metode Backpropagation Pada Sinyal
Elektrokardiogram Dua Belas Sadapan
3
Talitha Asmaria1, Imam Sapuan2, Endah Purwanti
1,2,3 Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan
Teknologi
Universitas Airlangga

ABSTRACT

A system has been conducted to detect cardiac abnormalities using artificial


neural network with backpropagation method on the signal of ttwelve leads of
electrocardiogram. The software was designed using two artificial neural networks, which
for detected abnormalities of wave on leads and finnaly identified cardiac abnormalities.
The software has been conducted to detect cardiac normality, left atrial hipertrophy,
right ventricular hipertrophy, and other cardiac abnormalities. Backpropagation
parameters of this software was the number of hidden layer was fifteen, the value of
learning rate was 0,1, the maximum epoch was 1000, and the error target was 0,001.
The software has been tested to detect cardiac abnormalities on ECG images with an
accuracy rate was 93,33%.

Key words : Artificial neural network, Backpropagation, Cardiac

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

97

ABSTRAK

Telah dibuat sistem deteksi kelainan jantung menggunakan jaringan saraf tiruan
dengan metode backpropagation pada sinyal elektrokardiogram dua belas sadapan
sinyal. Perangkat lunak dibuat dengan menggunakan dua jaringan saraf tiruan, yaitu
jaringan saraf tiruan untuk mendeteksi kelainan gelombang pada sadapan dan jaringan
saraf tiruan untuk mengidentifikasi akhir kelainan jantung. Perangkat lunak ini
digunakan untuk mendeteksi kondisi jantung normal, left atrium hypertrophy, right
ventricular hypertrophy, dan kelainan jantung lainnya. Parameter backpropagation pada
perangkat lunak ini adalah jumlah lapisan tersembunyi=15, learning rate=0,1,
maksimum epoch=1000, dan target error=0,001. Perangkat lunak telah diuji dapat
mendeteksi kelainan jantung pada citra EKG dengan tingkat akurasi sebesar 93,33%.

Kata kunci : Jaringan Saraf Tiruan, Backpropagation, Jantung

98

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

I.

PENDAHULUAN

Penyakit jantung merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia. Di


Indonesia angka kematian yang disebabkan serangan jantung mencapai 26 hingga 30
persen. Pemantauan

kondisi jantung

selama

ini salah satunya menggunakan

Elektrokardiograf (ECG). Prinsip kerja dari alat ini adalah mengukur potensial listrik
sebagai fungsi waktu yang dihasilkan oleh jantung. Hasil pengukuran elektrokardiograf
ini berupa grafik waktu terhadap tegangan yang disebut elektrokardiogram (EKG).
Walaupun telah didapatkan data EKG, namun untuk mengetahui informasi yang
terdapat pada data hasil rekaman EKG sangat sulit. Untuk membaca kertas rekaman
EKG diperlukan pengalaman dan pengetahuan mengenai penyakit jantung serta
gejala-gejalanya. Esktraksi manual terhadap informasi penting sinyal pada ECG
sangatlah tidak efisien karena banyaknya data yang harus diamati. (Scamroth, 1990)
Salah satu pemecahan dalam menganalisis sinyal elektrik jantung pada ECG ini
adalah dengan mengunakan perangkat lunak (software) berbasis Jaringan Saraf Tiruan
(JST) atau Artificial Neural Network (ANN), yang merupakan metode komputasi cerdas,
yang dapat menirukan sistem jaringan saraf otak pada manusia. JST merupakan suatu
metode kecerdasan buatan komputasional berbasis pada model saraf biologis manusia
sehingga komputer atau mesin dapat menduplikasi kecerdasan manusia (Waslalaludin
dkk, 2010).
Pada penelitian ini dilakukan pengidentifikasian pola sinyal elektrik jantung
pada EKG menggunakan JST dengan metode backpropagation. Backpropagation melatih
jaringan untuk mendapatkan keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk
mengenali pola yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk
memberikan respon yang benar terhadap pola masukan yang serupa (tapi tak sama)
dengan pola yang dipakai selama pelatihan. Berdasarkan fungsinya, jaringan saraf tiruan
ini dapat memecahkan sebuah masalah dengan teknik pembelajaran (Budhi, 2004).

II. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu, perancangan


antar

muka,

persiapan

citra

EKG,

pengolahan

citra

digital,

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

pembelajaran

99

perangkat lunak, dan pengujian perangkat lunak. Data (EKG) yang digunakan adalah
data primer yang didapatkan dari salah satu rumah sakit di Surabaya.
Prosedur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Flowchart Prosedur Penelitian

A. Pengolahan Citra Digital

Citra EKG diolah menggunakan beberapa metode pengolahan citra digital, yaitu
grayscale, segmentasi, morfologi gelombang, dan ekstraksi fitur. Pada tahapan
grayscale citra EKG berwarna diubah menjadi citra EKG putih dan gradiasi warna
hitam. Pada penelitian ini teknik segmentasi yang digunakan yaitu pengambangan

100

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

(Thresholding).

Teknik

pengambangan

menghasilkan

citra menjadi dua warna,

yaitu hitam berkaitan dengan background dan putih berkaitan dengan pola sinyal EKG.
Pada tahapan morfologi terjadi proses penebalan dan
penipisan dalam citra biner. Tahapan ekstraksi fitur dalam tugas akhir ini digunakan
untuk

mendapatkan

nilai

ordinat

dari

citra

EKG

di

setiap

pixel

yang

menginterpretasikan nilai tegangan potensial sinyal ECG yang dijadikan nilai inputan
dalam perangkat lunak. Prosedur pengolahan citra digital disajikan pada
Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Proses Pengolahan Citra EKG

B. Pembelajaran Perangkat Lunak

Algoritma pembelajaran perangkat lunak dibuat menggunakan proses forward dan


backward. Prosedur pembelajaran perangkat lunak disajikan pada Gambar 3. Terdapat
dua jaringan saraf tiruan pada tahapan pembelajaran, yaitu jaringan saraf tiruan yang
pertama untuk sadapan 2 dan sadapan V6 dan jaringan saraf tiruan yang kedua untuk
identifikasi akhir.

Jaringan saraf tiruan pada sadapan 2 dan sadapan V6 digunakan

untuk menentukan jenis morfologi gelombang pada masing-masing sadapan. Dengan


mengetahui morfologi gelombang pada sadapan 2 dan sadapan

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

101

Gambar 3. Flowchart Algoritma Pembelajaran Perangkat Lunak

Tabel 1. Hubungan Perubahan Gelombang P mitral dan Gelombang S dengan


Jenis Penyakit Jantung
Jenis Kelainan Jantung

Sadapan 2

Sadapan V6

Normal

normal (-1)

normal (-1)

Left Atrium Hiperthrophy (LAH)

P mitral (0)

normal(-1) atau

Right Ventricular Hipertrophy

kelainan lain (1)


normal(-1) atau kelainan ada gelombang S (0)

(RVH)
LAH dan RVH

lain (1)
P mitral (0)

ada gelombang S (0)

Penyakit Jantung Lain

kelainan lain (1)

kelainan lain (1)

Karena banyaknya kemungkinan pengambilan keputusan, dibuat jaringan


saraf tiruan yang kedua untuk identifikasi akhir agar hasil yang diperoleh benar- benar

102

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

tepat. Jaringan Saraf Tiruan identifikasi akhir digunakan untuk menentukan beberapa
kondisi jantung, yaitu :
1. Jantung normal
2. Left Atrium Hiperthrophy (LAH)
3. Right Ventricular Hipertrophy (RVH)
4. LAH dan RVH
5. Kelainan jantung lainnya.
Pembelajaran perangkat lunak selesai apabila error hasil pendeteksian yang
dibandingkan dengan database atau target bernilai kurang dari satu persen dan
banyaknya eppoch kurang dari 1000 sehingga pendeteksian berhasil.

C. Pengujian Perangkat Lunak


Pengujian perangkat

lunak akan dilakukan dengan metode Jaringan Saraf Tiruan

jenis feed forward. Prosedur pengujian perangkat lunak disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Flowchart Algoritma Pengujian Perangkat Lunak


Nilai bobot dan parameter jaringan saraf tiruan yang akan digunakan yaitu nilai
bobot dan parameter pada waktu pembelajaran. Hasil pembacaan elektrokardiogram
secara analog akan dibandingkan dengan database citra digital elektrokardiogram normal
dan tidak normal yang sudah diidentifikasi pola sinyalnya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Pengolahan Citra Digital
Proses pengolahan citra yang dilakukan adalah grayscale, segmentasi, morfologi
gelombang, dan ekstraksi fitur. Tabel 2 menggambarkan hasil proses pengolahan citra
digital.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

103

Tabel 2. Contoh Hasil Pengolahan Citra Digital Pada Data Pembelajaran

B.

Hasil Pembelajaran Perangkat Lunak


Pembelajaran perangkat lunak dilakukan berulang-ulang dengan mengubah

banyaknya hidden layer untuk mendapatkan hasil ouput yang maksimal. Tabel 3
menunjukkan bahwa variasi jumlah hidden layer yang optimal terhadap jumlah epoch,
MSE, dan waktu pembelajaran adalah 15.
Tabel 3. Hubungan jumlah hidden layer terhadap Epoch, MSE, dan Waktu pembelajaran.

104

Jumlah

Epoch

MSE

Waktu

1426

0.000970

12 s

10

62

0.000994

>1 s

15

25

0.000934

>1 s

20

44

0.000975

>1 s

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Pembelajran identifikasi akhir dilakukan dengan mengacak (random) bobot


input

dan

maksimum

output
yang

layer.
dapat

Pengguna
ditolerir

dapat

dan

menetapkan

nilai

besarnya

maksimum

epoch.

nilai

error

Pada

saat

pembelajaran proses update bobot akan terhenti, apabila error yang diinginkan sudah
tercapai, atau pada saat epoch yang diinginkan sudah terpenuhi. Kemudian bobot akhir
hasil pembelajaran akan disimpan untuk kemudian digunakan pada saat pengujian.

C. Hasil Pengujian Perangkat Lunak


Setelah didapatkan variasi jumlah hidden layer yang optimal pada tahap
pembelajaran maka langkah selanjutnya adalah melakukan proses pengujian. Proses
pengujian dilakukan terhadap 15 data yang tidak pernah disertakan dalam pelatihan.
Hasil pengujian perangkat lunak pada tahapan pengujian untuk identifikasi akhir
disajikan pada Tabel 4. Dari penyajian Tabel 4 terdapat dua kali kesalahan identifikasi
dari 15 data yang diuji cobakan terhadap sistem yaitu pada data uji ke-12 dan ke-15.
Pada perhitungan diperoleh tingkat akurasi pengujian perangkat lunak adalah 93,33%.
Tabel 4. Hasil Uji 15 Data Identifikasi Akhir
No.

Data

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Keterangan
Medis

Perangkat Lunak

Kelainan Lain
Normal
LAH dan RVH
LAH
RVH
LAH
LAH dan RVH
LAH
RVH
LAH
Normal
LAH dan RVH
RVH
LAH
LAH

Kelainan Lain
Normal
LAH dan RVH
LAH
RVH
LAH
LAH dan RVH
LAH
RVH
LAH
Normal
RVH
RVH
LAH
LAH dan RVH

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Proses

pengolahan citra digital

grayscale, segmentasi dengan teknik

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

105

pengambangan (thresholding),

morfologi, dan ekstraksi fitur berupa

nilai

ordinat citra EKG dapat diterapkan untuk mendapatkan fitur citra EKG 12
sadapan sebagai masukan perangkat lunak untuk mendeteksi kelainan jantung.
2. Jaringan saraf tiruan yang telah dibangun memiliki identifikasi akhir
dengan memiliki konfigurasi optimal 140-15-5 (140 neuron pada lapisan input,
15 neuron pada lapisan tersembunyi, dan 5 lapisan pada lapisan output) dan
parameter trainingnya adalah learning rate=0,1, maksimum epoch=1000, dan
target error=0,01.
3. Perangkat lunak yang telah uji memiliki

tingkat akurasi sebesar 93,33%.

Jaringan saraf tiruan mampu mendeteksi kondisi jantung normal,

left atrium

hipertrophy, right ventricular hipertrophy, dan kelainan jantung lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alim, A.M., 2008.Pocket ECG-How to Learn ECG, Yogyakarta.


BITLIPI,2012,http://www.bit.lipi.go.id/pangan-kesehatan/index.php/artikel jantung, 27
Juli 2012 pukul 06.00 WIB
Budhi, G. S., Gunawan, I., dan Jaowry, S., 2004. Metode Jaringan Saraf Tiruan
Backpropagation Untuk Pengenalan Huruf Cetak pada Citra Digital,
Jurusan Teknik Informatika Universitas Kristen Petra. Surabaya
Busono, P., Susanto, E., Wiwie., dan Sadeli Y., 2004, Algoritma Untuk Deteksi QRS
Sinyal ECG, Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta
Aplikasi
Ganong, W. F., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Hanbury, A., http://cmm.ensmp.fr/~hanbury/intro_ip/. 24 Juli 2012 pukul 9.48 WIB
http://health.kompas.com/read/2011/09/15/1458380/Cegah.Sakit.Jantung.Awali.dari
Keluarga, 09 November 2011 pukul 22:18 WIB
http://howmed.net/physiology/action-potential/, 30 Desember 2011 pukul 09:35 WIB
Klabunde, R. E., 2011, Fisiologi Konsep Jantung, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Martini, F. H., 2001, Fundamental of Anatomi and Physiology, Prentice Hall
International. United State of America.
Munir, R., 2004, Pengolahan Citra Digital, Penerbit Informatika Bandung.

106

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Bandung
Nothrop, R. B., 2004, Analysis and Application of Analog Electronic Circuits to
Biomedical Instrumentation, CRC Press. Biomedical Engineering Series.
Washington D.C 64
Priyani, D. R. E., 2009, Aplikasi Diagnosa Gangguan Lambung melalui Citra Iris Mata
Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation, Universitas Pembangunan Nasional
Fakultas Ilmu Komputer, Jakarta
Putra, D., 2010, Pengolahan Citra Digital, Penerbit Andi, Yogyakarta
Schramot, L., 1990, An Introduction To Electrography, Blackwell Scientific
Publication, Oxford
Siang, J. J., 2005, Jaringan Saraf Tiruan dan Pemrogramannya Menggunakan
Matlab, Penerbit Andi. Yogyakarta
Sloane, E., 2003, Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Vahed, A., 2005, 3-Lead Wireless ECG, University of KwaZulu-Natal, South
Africa
Waslaludin, S. dan Wahyudin, A., 2010, Klasifikasi Pola Sinyal Elektrik Jantung Pada
Elektrokardiograf (EKG) Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan Berbasis Metode
Backpropagation, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung
Widodo, A., 2009, Sistem akuisisi ECG menggunakan USB untuk mendeteksi aritmia,
Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

107

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BONE GRAFT BERBASIS


HIDROKSIAPATIT DAN ALGINAT

Tri W. Bintarti, Djoni Izak R., dan Jan Ady


Program Studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
Email : Bintarti_tri@yahoo.com

Abstract

This study aimed to determine the effect of variations in the composition of


hydroxyapatite-alginate to characterize compressive strength test, degradation test and
cytotoxicity assay. HA-Alg2%, HA-Alg4% and HA-Alg6% was the composition
variation in this study. Hydroxyapatite was derived from the Bank Jaringan RSUD dr.
Soetomo with particle size less than 75 m, while the alginate was obtained from the
extraction of sargassum sp. The method to create the sample is simple mixing method.
Sample was dried with a temperature of 50 C after that the sample was printed and
dried with freeze drying method. The results of characterization showed that variations
in the composition of hydroxyapatite-alginate effected the value of compressive strength
and the rate of corrosion (degradation). But no effect on the percentage of live cells.
The greater the percent by weight of alginate, the value of the compressive strength
increased and the rate of corrosion (degradation) decreased. The results of cytotoxicity
assay showed that all three variations of composition is not toxic. In this study
variations in the composition of hidroksiapatite-alginate composite with the addition of
6 wt% alginate has the best characters that approach the application as a bone graft,
because it has the highest value of compressive strength, corrosion rate (degradation)
at low and non-toxic.

Keywords : Bone Graft, Hydroxyapatite, Alginate

108

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi


hidroksiapatit-alginat terhadap karakterisasi uji compressive strength, uji degradasi dan
uji sitotoksisitas. HA-Alg2%, HA-Alg4% dan HA-Alg6% adalah variasi komposisi
pada penelitian ini. Hidroksiapatit yang digunakan berasal dari Bank Jaringan RSUD
Dr. Soetomo Surabaya dengan ukuran partikel kurang dari 75 m, sedangkan alginat
diperoleh dari hasil ekstraksi sargassum sp. Metode yang digunakan untuk membuat
sampel adalah metode simple mixing. Sampel dikeringkan dengan suhu 50 oC yang
kemudian dicetak dan dilakukan freeze driying. Hasil karakterisasi yang dilakukan
menunjukkan bahwa variasi komposisi hidroksiapatit-alginat berpengaruh terhadap
nilai compressive strength dan laju korosi (degradasi). Namun tidak berpengaruh
terhadap persentase sel hidup. Semakin besar penambahan persen berat alginat, maka
nilai compressive strength meningkat dan laju korosi (degradasi) menurun. Hasil uji
sitotoksisitas menunjukkan bahwa ketiga variasi komposisi tidak toksik. Pada penelitian
ini variasi komposisi komposit hidroksiapati-alginat dengan penambahan persen berat
alginat 6% memiliki karakter terbaik yang mendekati aplikasi sebagai bone graft,
karena memiliki nilai compressive strength paling tinggi, laju korosi (degradasi) paling
rendah dan tidak toksik.

Kata Kunci: Bone Graft, Hidroksiapatit, Alginat

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

109

1. PENDAHULUAN
Penggunaan biomaterial di bidang kesehatan khususnya orthopaedic terus
meningkat seiring dengan bertambahnya berbagai cedera dan penyakit tulang. Bone
graft atau bahan pengganti tulang sering dibutuhkan untuk merekonstruksi morfologi
anatomi dan memulihkan stabilitas tulang yang rusak (Asmawati, 2011). Selama ini
bone graft diimport dengan harga yang cukup mahal. Upaya untuk mengurangi bone
graft produk import adalah dengan membuat bone graft tersebut dari bahan lokal. Bank
Jaringan RSUD dr. Soetomo Surabaya telah membuat bone graft hidroksiapatit dari
tulang sapi.
Hidroksiapatit dari tulang sapi di bank jaringan berbentuk serbuk dan berpori.
Pada beberapa kasus, kebutuhan bone graft dalam bentuk blok padat atau pellet masih
sering digunakan. Hal ini karena dengan bentuk blok padat, penambahan antibiotik
dapat dilakukan. Keunggulan lain yang didapat dengan bentuk ini adalah memiliki
kekuatan yang cukup bagus sehingga sangat sesuai untuk defek tulang yang besar.
Namun, jika bone graft ini hanya terbentuk dari hidroksiapatit saja maka akan sangat
rapuh, brittle dan mudah hancur. Sehingga dibutuhkan material lain yang cukup elastik,
non toksik dan biodegradabel. Bahan yang dimaksud tersebut biasanya merupakan
bahan polimer, salah satunya adalah alginat.
Alginat merupakan suatu polisakarida bahan alam yang diperoleh dari alga coklat.
Beberapa jenis alga coklat ditemukan tumbuh melimpah di perairan Indonesia, salah
satunya adalah sargassum sp (Rasyid, 2009). Selama ini di pulau Madura, potensi
sargassum sp yang tumbuh melimpah belum dimanfaatkan secara maksimal.
Karakteristik

bone

graft

ideal

adalah

biokompatibel,

bioresorbabel,

osteoconductive, osteoinductive, struktur mirip dengan tulang dan mudah digunakan


(Greenwald, et al., 2003). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sifat mekanik yaitu
kekuatan tekan. Secara umum hidroksiapatit memiliki compressive strength yang cukup
bagus untuk tulang (Moore, et al., 2001).
Menurut beberapa hal tersebut, maka dalam penelitian ini hidroksiapatit dan alginat
dapat dibuat menjadi bone graft. Adapun penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh Matsuno Tomonori pada tahun 2008 yang menunjukkan bahwa komposit TCP (beta tricalcium phosphate) dan alginat secara in vivo merupakan material yang
biodegradable serta tidak toksik. Selain itu, pada penelitian Matsuno tersebut juga
dilakukan variasi komposisi (1wt% dan 2wt% natrium alginat) untuk menguji nilai
compressive strength komposit -TCP (beta tricalcium phosphate) dan alginat yang

110

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

paling baik. Menurut penelitiannya nilai compressive strength dari kedua variasi
komposisi tersebut menunjukkan peningkatan yaitu 6,11 KPa pada komposisi 1wt%
dan 69,0 KPa pada komposisi 2wt%. Nilai compressive strength tersebut sesungguhnya
masih kurang ideal untuk tulang karena nilai compressive strength untuk tulang kanselus
sendiri sebesar 5,5 MPa atau sebesar 5500 KPa.
Penelitian ini juga belum menunjukkan adanya nilai kuantatif besarnya degradasi
material untuk memperkirakan material yang terdegradasi.

Berdasarkan kekurangan tersebut, penelitian ini mencoba sintesis bone


graft dengan menggunakan hidroksiapatit dan alginat dengan berbagai variasi komposisi.
Karakterisasi yang dilakukan antara lain uji compressive strength, uji degradasi untuk
mengetahui nilai kuantitatif kecepatan degradasi dan uji sitotoksisitas untuk mengetahui
besar toksik material yang disintesis.

2. METODE PENELITIAN
2.1. Persiapan Material
Hidroksiapatit didapat dengan membeli bubuk hidroksiapatit yang udah diayak
dengan ukuran partikel < 75 m hasil sintesis dari tulang sapi di Instalasi Pusat
Biomaterial Bank Jaringan RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sedangkan untuk alginat
akan diekstraksi dari sargassum sp. dalam bentuk natrium alginat. Proses ekstraksi
alginat disajikan pada Gambar 1.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

111

Gambar 1. Skema Proses Ekstraksi Natrium Alginat dari Sargassum sp.


2.2. Pembuatan Sampel
Sampel dibuat dengan berbagai variasi komposisi antara hidroksiapatit
dan natrium alginat yaitu 2%, 4% dan 6%. Pertama-tama PBS 0,65 M disiapkan dengan
perbandingan PBS : Sampel adalah 1:1. Terlebih dahulu natrium alginat dilarutkan

112

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

dalam PBS 0,65 M, stirrer hingga larut. Bubuk hidroksiapatit ditambahkan dan
distirrer kurang lebih 2 jam. CaCl 1,08 M disiapkan kemudian sedikit demi sedikit
dicampurkan ke dalam larutan. Sampel dipanaskan selama 2 jam dengan suhu 50 C
kemudian dicetak dalam cetakan stainless steel berbentuk silinder dengan diameter 1
cm dan tinggi 3 cm. Sampel difreeze selama 72 jam pada suhu -30 C dan dikeringkan
dengan lyophilisizer selama 48 jam.

2.3. Uji Compressive Strength


Sampel yang sudah dicetak berbentuk pellet silinder diukur diameter (d) dan
tebalnya (t) menggunakan jangka sorong. Sampel ditempatkan pada bagian penekan
mesin uji tekan, kemudian mesin dinyalakan sehingga bagian penekan pada mesin
menekan permukaan sampel sampai hancur. Besarnya beban (P) yang digunakan untuk
menekan sampel hingga hancur dapat dilihat pada alat. Dari data yang telah diperoleh
kemudian dimasukkan dalam persamaan berikut sehingga dapat diperoleh besarnya
kuat tekan.

2.4. Uji Degradasi


Pengujian

ini

dilakukan

menurut

standard

ASTM

31.

Sistem

peralatan dirancang secara sederhana tetapi tetap mendekati kondisi sebenarnya. Uji
degradasi ini menggunakan spesimen sampel yang sudah diukur diameter (d) dan
tingginya (t) yang diberi penyangga dengan kawat stainless steel. Sebelum diuji sampel
ditimbang massa. Sampel direndam dalam SBF (Simulated Body Fluid) pada suhu
37oC selama 2 jam.
Setelah itu sampel dikeringkan dan ditimbang massanya. Simulated Body Fluid
(SBF) kandungannya terdiri dari 6,8 g/L NaCl; 0,2 g/L CaCl; 0,4 g/L KCl; 0,1 g/L
MgSO4;2,2 g/L NaHCO3; 0,126 g/L Na2HPO4; 0,026 g/L NaH2PO4. Disesuaikan
dengan pH HCl dan NaOH yaitu 7,44. (Zhang, et al, 2009). Laju korosi
dapat dihitung menggunakan persamaan :

Laju Korosi (mpy) = 534 . W / D . A . T


dengan W = berat yang hilang (mg), D = densitas (g/cm3), A = luas ter-exposed
(inchi2), T = waktu exposure (jam)

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

113

2.5. Uji Sitotoksisitas


Kultur sel fibroblas dilakukan dengan mengambil kultur sel fibroblas yang sudah
dikembangkan 2 minggu sebelumnya. Sel yang sudah dikultur dimasukkan ke dalam
tabung sentrifugasi dan diberi larutan PBS kemudian disentrifugasi. Hal ini dilakukan
berulang-ulang hingga membentuk pellet di dasar tabung. Pellet selanjutnya dilarutkan
dalam medium kultur lengkap dan larutan dipindahkan ke dalam cawan petri.
o
Kemudian diinkubator pada suhu 37 C dan 5% CO2 selama 48 jam. Sel
kemudian ditambahkan trypan blue dan segera dilakukan penghitungan sel. Sel yang
sudah dihitung dimasukkan kedalam tiap well dan diinkubasi selama 24 jam.
Persentase sel hidup dihitung denggan menggunakan persamaan :

dengan % sel hidup = persentase jumlah sel setelah perlakuan, OD perlakuan = nilai
densitas optik sampel setelah perlakuan, OD kontrol media = nilai densitas optik
kontrol media, OD kontrol sel = nilai densitas optik kontrol sel.
2.6. Analisis statistik
Hasil

data

pengujian

secara

statistik

dilakukan

pengujian

parametrik

menggunakan uji ANOVA one way. Hal ini dilakukan guna mengetahui adanya
pengaruh variasi komposisi terhadap karakterisasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel bone graft komposit hidroksiapatit-alginat dibuat dengan metode simple


mixing dimana alginat didapat dari natrium alginat yang diekstraksi dari sargassum sp.
Variasi komposisi yang dilakukan dalam pencampuran yaitu 2%, 4% dan 6% berat dari
natrium alginat. Sebelum dilakukan pencampuran, natrium alginat terlebih dahulu
dikarakterisasi menggunakan FT-IR untuk mengetahui apakah ekstraksi dari sargassum
sp menghasilkan natrium alginat. Gambar 2 merupakan hasil FT-IR ektraksi alginat.

114

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Gambar 2. Hasil Uji FT-IR Natrium Alginat dari Sargassum sp.


Natrium alginat (C6H7O6Na) memiliki bahan baku serat berupa residu asam -d
manuronat dan asam -d guluronat yang tersusun dalam blok homopolimer dan blok
heteropolimer. Menurut struktur kimianya, senyawa tersebut merupakan polimer alam
dengan gugus R-O-R yang mengandung gugus C-O, C-H, C=O, O-Na, O-H.
Hasil identifikasi gugus FT-IR natrium alginat dari sargassum sp. ditunjukkan
pada Gambar 2, terlihat bahwa gugus karakteristik natrium alginat tampak pada
beberapa bilangan gelombang. Gugus serapan yang terbentuk antara lain,

gugus O-H

-1
pada bilangan gelombang 3451,96 cm dengan transmitansi sebesar 63,4336 %, gugus
karbonil C=O pada bilangan gelombang 1630,52 cm-1 dengan transmitansi sebesar
77,0096 %,

gugus C-H stretching dan bending ditunjukkan pada bilangan

gelombang 2931,53 cm-1

dengan intensitas transmitansi sebesar 76,8734 %

dan bilangan gelombang 669,178 cm-1

dengan transmitansi sebesar 80,3929 % dan

gugus karboksil C-O tampak ditunjukkan oleh bilangan gelombang 1035,59 cm-1
dengan intensitas sebesar 82,3342 %. Sedangkan natrium dalam isomer alginat
terdapat pada bilangan gelombang 1425,14 cm-1

dengan transmitansi 78,5442 %

(Yulianto, 2007).
Hasil FT-IR ekstraksi natrium alginat, terdapat serapan yang menunjukkan
-1
adanya kombinasi pita ikatan hidrogen lemah pada bilangan gelombang 2341, 16 cm
dengan transmitansi sebesar 75,9384 %. Ikatan hidrogen ini menyebabkan melebarnya
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

115

puncak serapan ke arah kanan pada regangan O-H secara antar molekul. sehingga asam
alginat yang dihasilkan berupa larutan yang sangat pekat berupa gel (Andriyani, 2005).
Adapun serapan

lain yang jelas terbaca pada FT-IR yaitu serapan

pada bilangan

gelombang 2359,48 cm-1 dengan transmitansi 73,4732 % yang merupakan gugus CO2
(Rohaeti, 2009). Hal ini dapat terjadi karena pada saat proses pembuatan garam KBr tidak
dilakukan dalam ruang vakum, sehingga gas CO2

yang berada di lingkungan

sekitar alat ikut dalam KBr dan terbaca oleh serapan infrared. Namun secara
keseluruhan FT-IR hasil sintesis alginat dari sargassum sp memiliki semua gugus
fungsi karakteristik dari natrium alginat sehingga dapat dikatakan bahwa ekstraksi ini
telah berhasil membuat natrium alginat.
Selanjutnya uji compressive strength dilakukan untuk mengetahui nilai
compressive strength yang terbentuk dari komposit. Proses pendegradasian dilakukan
dengan pencelupan dalam larutan SBF (Simulated Body Fluid) dimana nantinya akan
ditentukan laju korosi dengan penentuan massa yang hilang. Untuk mengetahui bone
graft ini toksik atau tidak, maka dilakukan uji sitotoksisitas dengan MTT Assay.

3.1. Uji Compressive Strength


Pengujian compressive strength merupakan salah satu syarat agar material dapat
dijadikan sebagai bone graft, jika terlalu rapuh maka kekuatan untuk menyangga beban
tubuh akan sangat kurang. Hasil uji compressive strength dari ketiga variasi komposisi
yang dilakukan pada komposit hidroksiapatit-alginat ditunjukkan pada Tabel 1 dan
Gambar 3.
Tabel 1. Hasil Uji Compressive Strength untuk Beberapa Variasi Komposisi
Hidroksiapatit-Alginat.

Parameter
Compressive
Strength

Variasi Komposisi Hidroksiapatit-Alginat (wt%)


0%
2%
4%
6%
10,22

71,89

129,31

271,98

(KP )
Dari Tabel 1 selanjutnya dapat dibuat grafik hubungan antara variasi
komposisi hidroksiapatit-alginat dengan compressive strength sebagaimana disajikan
pada Gambar 3.

116

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Gambar 3. Grafik Hubungan antara Variasi Komposisi Hidroksiapatit-Alginat dengan


Compressive Strength.

Pada Tabel 1 dan Gambar 3 penambahan persen berat alginat menunjukkan


adanya peningkatan compressive strength. Peningkatan ini dapat dijelaskan dengan
pendekatan impregnasi polimer, yaitu proses penyusupan, penetrasi atau pendesakan
polimer ke dalam partikel berpori. Bone graft

yang hanya terdiri dari partikel

hidroksiapatit memiliki banyak pori yang memungkinkan terjadinya proses impregnasi


tersebut, terutama setelah ditambahkannya tekanan saat pencetakan. Akibatnya, poripori hidroksiapatit menjadi lebih kecil karena terisi oleh polimer.
Adanya tekanan saat pencetakan, dimungkinkan terjadinya kontak yang lebih erat
antara permukaan adhesif dengan permukaan adheren di sekitarnya (Packham, 2005).
Hal tersebut menyebabkan porositas menurun, densitas komposit meningkat dan
susunan partikel menjadi lebih solid (Jones, 1999) sehingga interaksi permukaan total
antarpartikel juga meningkat. Hal ini berdampak pada peningkatan kekuatan mekanik
material komposit yang dihasilkan dalam hal ini kekuatan tekannya (Masturi dkk,
2010). Sehingga dapat dikatakan dengan semakin banyaknya alginat yang ditambahkan,
pori yang kosong diantara partikel hidroksiapatit akan berkurang. Kemudian densitas
komposit akan meningkat sehingga kekuatan tekan juga meningkat.
Hidroksiapatit merupakan biokeramik turunan kalsium fosfat yang stabil dan
memiliki kekuatan tekan yang bagus (Moore, et al, 2001), sehingga diharapkan dengan

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

117

mengganti penelitian sebelumnya yang menggunakan TCP menjadikan bone graft


hidroksiapatit-alginat ini memiliki kekuatan tekan yang lebih baik.
Penelitian sebelumnya oleh Matsuno Tomonori bahwa TCP-alginat dengan
konsentrasi alginat 1%wt dan 2%wt mengalami peningkatan compressive strength.
Dimana

dengan 2%wt

yang diberikan alginat terhadap TCP menyebabkan

compressive strength bernilai 69,0 KPa.


Pada penelitian ini diketahui bahwa dengan variasi komposisi 2%wt alginat yang
diberikan, nilai kekuatan tekannya sebesar 71,89 KPa. Nilai kuat tekan ini lebh besar
jika dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Matsuno Tomoroni yang dengan alginat
2%wt nilai kuat tekannya hanya 69,0 KPa. Ini menunjukkan bahwa hidroksiapatit
memiliki kekuatan tekan lebih bagus dari TCP dan dapat memperbaiki nilai
compressive strength pada penelitian sebelumnya. Walaupun begitu, pada akhirnya
bone graft hidroksiapatit-alginat akan digunakan pada tulang sehingga jika digunakan
sebagai pengisi tulang defek pada kanselus, maka kekuatan tekan yang dibutuhkan
sebesar 5,5 MPa. Padahal pada variasi komposisi sebesar 6%wt nilai kekuatan tekan
yang diberikan hanya sebesar 271,98 KPa. Hal ini tentunya masih sangat jauh untuk
mendapatkan kekuatan tekan yang sesuai.
Beberapa faktor penyebab perbedaan nilai compressive strength yang diharapkan
dapat dikarenakan pencampuran komposit yang hanya merupakan pencampuran fisik
saja menyebabkan tidak adanya ikatan yang menguatkan keduanya sehingga nilai
compressive strength yang dihasilkan juga sangat kecil. Oleh karena itu, untuk
penelitian selanjutnya sebaiknya digunakan metode pencampuran lain agar terbentuk
ikatan antar keduanya. Adapun berdasarkan struktur tulang yang meliputi bahan
organik (protein dan polisakarida) dan anorganik, campuran hidroksiapatit-alginat yang
merupakan anorganik dan polisakarida tentu belum dapat dikatakan sempurna mirip
dengan struktur tulang. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat ditambahkan bahan
organik seperti protein untuk menyempurnakan komposit ini sehingga nilai compressive
strength dapat mirip dengan tulang .
Dugaan utama penyebab perbedaan nilai compressive strength

dikarenakan

penambahan alginat yang diketahui sangat kecil memungkinkan masih menyisakan pori
antar partikel hidroksiapatit. Sehingga kerapatan belum dapat terjadi dengan sempurna
dan densitas belum dapat mencapai maksimal. Oleh karena itu sebaiknya pada
penelitian selanjutnya perlu ditingkatkan persen berat dari alginat.

118

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

3.2. Uji Degradasi


Pengujian ini dilakukan sebagai simulasi ketika bone graft dimasukkan ke dalam
tubuh. Perubahan fisik yang diamati terutama adalah luruhnya material karena adanya
interaksi dengan lingkungan. Menurut hasil pengamatan yang telah dilakukan, proses
meleburnya material bukanlah proses melebur yang langsung hilang namun lebih
kepada melebur sedikit demi sedikit melalui permukaan material. Hal ini dapat disebut
sebagai degradasi material dimana nilai kuantitasnya akan dihitung sebagai berat hilang
sampel dan untuk mengetahui kecepatan degradasinya dilakukan dengan perhitungan
rumus laju korosi. Hasil perhitungan laju korosi (degradasi) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Degradasi untuk Beberapa Variasi Komposisi Hidroksiapatit- Alginat.

Parameter
Laju Korosi
(mpy)

Variasi Komposisi Hidroksiapatit-Alginat (wt%)


2%
4%
6%
13632 99

12180 03

7010 16

Dari Tabel 2 selanjutnya dapat dibuat grafik hubungan antara variasi komposisi
hidroksiapatit-alginat dengan laju korosi sebagaimana disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Hubungan antara Variasi Komposisi Hidroksiapatit-Alginat dengan


Laju Degradasi Material.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

119

Menurut Tabel 2 dan Gambar 4 penambahan persen alginat menyebabkan laju


korosi semakin kecil. Penurunan laju korosi ini dapat dijelaskan melalui fully dense
material yaitu material dengan densitas yang lebih rapat akan mengalami degradasi
lebih lambat (Ratner, et al, 2004). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penambahan
persen alginat menyebabkan adanya impregnasi atau penyusupan alginat ke dalam pori
yang dibentuk partikel hidroksiapatit. ini dimungkinkan terdapat pengkelatan antar
partikel hidroksiapatit sehingga komposit menjadi lebih solid.
Laju korosi yang dihasilkan penelitian ini masih sangat besar sehingga untuk
dapat dijadikan sebagai bone graft yang ideal masih sangat kurang. Menurut
perhitungan luruhnya material oleh laju korosi, nilai degradasi komposit hidroksiapatitalginat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Waktu Degradasi untuk Beberapa Variasi Komposisi Hidroksiapatit- Alginat.

Parameter
Waktu
Degradasi

Variasi Komposisi Hidroksiapatit-Alginat (wt%)


0%
2%
4%
6%
35-49 (Moore, et al,

1,18

1,33

1,80

(h i)
Nilai degradasi ideal yang diinginkan sebuah material bone graft adalah dapat
melebur dalam waktu 5-7 minggu atau 35-49 hari (Moore, et al 2001). Penyebab
perbedaan nilai degradasi yang diinginkan ini adalah hampir sama dengan penyebab
perbedaan nilai compressive strength. Hal ini dikarenakan kerapatan yang terjadi
menentukan laju korosi. Semakin besar densitas suatu material maka nilai compressive
strength akan semakin besar dan laju korosi akan menurun.

3.3. Uji Sitotoksisitas


Salah satu sifat yang paling penting dari material agar dapat menjadi bone graft
ideal adalah sifat biokompatibilitasnya. Biokompatibilitas suatu bahan dapat diuji
menggunakan uji sitotoksisitas yaitu dengan MTT Assay. Hasil pengujian berupa
persentase sel hidup untuk beberapa variasi komposisi hidroksiapatit-alginat disajikan
pada Tabel 4.

120

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Tabel 4. Hasil Uji Sitotoksisitas MTT Assay untuk Beberapa Variasi


Komposisi Hidroksiapatit-Alginat.
Variasi Komposisi Hidroksiapatit-Alginat (wt%)
0%
2%
4%
6%

Parameter
Persentase
Sel Hidup

95,525

95,525

95,370

90,895

(%)
Sebagai data pendukung juga dilakukan MTT Assay untuk alginat. Alginat dalam
hal ini adalah natrium alginat hasil ekstraksi dari sargassum sp. dan natrium alginat
konvensional (SIGMA) yang dilarutkan dalam aquades hingga membentuk konsentrasi
larutan 2%. Persentase sel hidup yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan pH dan Hasil Uji Sitotoksisitas MTT Assay larutan


Natrium Alginat.

Sebuah

Natrium Alginat

Natrium Alginat

Parameter
pH
Persentase Sel

(sargassum sp)
9-10

(SIGMA)
7

Hidup (%)

79 572

97 506

material

dikatakan

toksik

jika

pada

hasil

uji

toksisitasnya

menghasilkan persentase sel hidup kurang dari 60%. Pada pengujian toksisitas yang
dilakukan, baik pada sampel natrium alginat hasil ekstraksi sargassum sp maupun pada
natrium alginat konvensional (SIGMA) dan variasi komposisi yang dilakukan secara
keseluruhan hasil persentase sel hidupnya diatas 60%.
Secara keseluruhan, komposit hidroksiapatit-alginat merupakan material yang
tidak toksik. Namun berdasarkan data hasil MTT Assay seluruh sampel, persentase sel
hidup pada variasi komposisi alginat 2%, 4%, dan 6% menunjukkan adanya penurunan
sel hidup. Hal ini dapat disebabkan oleh alginat hasil ekstraksi dari sargassum sp yang
bersifat basa dengan pH sekitar 9-10 sehingga persentase hidupnya hanya sebesar
79,572%. Berbeda dengan natrium alginat konvensional (SIGMA) dengan pH terukur 7
yang menghasilkan persentase sel hidup sebesar 97,506%. Kondisi basa inilah yang
menyebabkan hasil persentase sel hidup variasi komposisi hidroksiapatit-alginat
menurun. pH optimal bagi pertumbuhan sel dari hewan berdarah panas yaitu pada
kisaran 7,0-7,4 dengan median 7,2 (Efendi, 2009). Kondisi basa yang dihasilkan sampel
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

121

alginat dapat berasal dari proses ekstraksi alginat yang kurang sempurna. Pembentukan
natrium alginat melalui penambahan NaOH yang terlalu banyak saat ekstraksi membuat
hasil ekstraksi alginat menjadi basa.

4. KESIMPULAN
Variasi komposisi hidroksiapatit-alginat berpengaruh terhadap nilai compressive
strength dan laju korosi (degradasi). Namun tidak berpengaruh secara bermakna
terhadap persentase sel hidup. Semakin besar penambahan persen berat alginat, maka
nilai compressive strength meningkat dan laju korosi (degradasi) menurun. Pada
penelitian ini variasi komposisi komposit hidroksiapati-alginat dengan penambahan
persen berat alginat 6% memiliki karakter terbaik yang mendekati aplikasi sebagai bone
graft, karena memiliki nilai compressive strength paling tinggi, laju korosi (degradasi)
paling rendah dan tidak toksik.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih

disampaikan

kepada Kepala Program

Studi

S1-

Teknobiomedik dan Kepala Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga beserta seluruh jajaran karyawan yang telah membantu mempublikasikan
jurnal ini.

6. DAFTAR PUSTAKA

Ali, M Y. 2007. Studi Korosi Titanium (Astm B 377 Gr-2) Dalam Larutan
Artificial Blood Plasma (Abp) Pada Kondisi Dinamis Dengan Teknik Polarisasi
Potensiodinamik Dan Teknik Exposure. Skripsi. Surabaya : Institut Teknologi
Sepuluh November Surabaya.
Andriyani. 2005. Pembuatan Asam Glukonat dari Oksidasi Selektif Glukosa
Menggunakan Molekul Oksigen yang Diaktifasi Katalis Palladium/-Al2O3 dalam
Larutan Natrum Hidroksida. Jurnal Sains Kimia (Suplemen). Vol 9, No.3, 2005:
42-48.
Asmawati. 2011. Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan Segmental Pada
Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit Hidroksiapatit- Trikalsium Fosfat
(HA-TKF). Bogor. Institut Pertanian Bogor.

122

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Efendi, Agus. 2009. Pengaruh Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CmRef) dengan dan Tanpa Leukemia Inhibitory Factor (Lif) dalam Medium Terhadap
Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell Sumsum Tulang
Tikus dalam Kultur In Vitro. Bogor. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Greenwald, A. Seth., Boden, Scott D., Goldberg, Victor M., Khan, Yusuf., Laurencin,
Cato T., Rosier, Randy N. 2003. Bone-Graft Substitute : Facts, Fictions, and
Aplications. American Academy of Orthopaedic Surgeons.
Jones, R. M. 1999. Mechanics of Composite Materials. Second Edition. Philadephia,
Taylor and Francis.
Masturi, Mikrajuddin, Khairurrijal. 2010. Efektivitas Polyvinyl Acetate (PVAc)
Sebagai Matriks Pada Komposit Sampah. Berkala Fisika ISSN : 1410 9662
Vol. 13 , No.2, hal 61- 66.
Matsuno, Tomonori., Hashimoto, Yoshiya., Adachi, Seita., Omata, Kazuhiko., Yoshitaka,
Yamauchi., Ozeki, Yasuyuki., Umezu, Yoshikazu., Tabata, Yasuhiko., Nakamura,
Masaaki., Satoh, Tazuko. 2008. Preparation of Injectable 3D- Formed Tricalcium Phosphate Bead/Alginate Composite for Bone Tissue Engineering.
Dental Materials Journal 27(6): 827834.
Moore, William R., Graves, Stephen E., Bain, Gregory I. 2001. Synthetic Bone Graft
Substitutes. ANZ J. Surg. 71, 354361.
Packham, D.E. 2005. Handbook of Adhesion. Second Edition. Chichester, John Wiley
& Sons Ltd.
Rachadini, Novianita. 2007. Uji Sitotoksisitas Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora
Persica) Pada Kultur Sel Dengan Menggunakan Esei MTT. Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Airlangga.
Rasyid, Abdullah. 2009. Ekstraksi Natrium Alginat Dari Alga Coklat. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia 36 (3) : 393-400.
Ratner, Buddy D., Hoffman, Allan S., Schoen, Frederick J., Lemons, Jack E. 2004,
Biomaterial Science, Second Edition, Elsevier Scademic Press, San Diego.
Rohaeti, Eli. 2009. Karakterisasi Biodegradasi Polimer. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Yogyakarta.

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

123

Syafrudin, Helman. 2011. Proposal Skripsi, Analisis Mikrostrukutr, Sifat Fisis dan Sifat
Mekanik Keramik Jenis Refraktori. Departemen Fisika, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Zhang,Shaoxiang., Zhao, Changli., Li, Jianan., Song, Yang., Xie ,Chaoying., Tao,
Hairong., Zhang, Yan., He, Yaohua., Jiang, Yao., Bian, Yujun. 2009. Research
On An MgZn Alloy As A Degradable Biomaterial. Shanghai, China: Acta
Biomaterialia. Elsevier.
Yulianto, K. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida Terhadap Viskositas
Natrium Alginat yang Diekstrak dari Sargassum duplicatum J.G. Agardh
(Phaeopyta). Oseanalogi dan Limnalogi di Indonesia (2007) 33: 295
306.

124

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.2, April 2013

Você também pode gostar