Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Bibliography
DESENTRALISASI DI INDONESIA
1. Pendahuluan
Dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalam
formasi negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negara
federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau
wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan
pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian
bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federasi itu kemudian
berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu
dalam lingkungan federal. Dalam negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara
diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan
oleh pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu
negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah, apalagi negara-negara, karena
diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya bukanlah bagian-bagian
wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerahdaerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh
pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya. Diasumsikan
bahwa negara adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah
kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-daerah
otonom (Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, 1999).
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara yang
berbentuk kesatuan. Hubungan dan mekanisme antara pemerintah pusat dan daerah
diatur dalam penjelasan Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa
Negara
Republik
Indonesia
merupakan
sebuah
negara
kesatuan
yang
dalam
Konsep
&
Aplikasi
Dalam
Penyelenggaraan
Manajemen
Pemerintahan di Indonesia
Setiap negara memiliki fungsi-fungsi tertentu sebagai upaya untuk mencapai
tujuan negara. Menurut Pratikn (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara yaitu:
fungsi pelayanan publik (public services), fungsi pembangunan/ penyejahteraan (welfare),
dan fungsi pengaturan/ ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini
pemerintah pusat perlu melakukan transfer atau memberikan kewenangan dan tanggung
jawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Transfer kewenangan
dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih rendah
ini menurut Litvack & Seddon di namakan juga dengan desentralisasi
Rondinelli (1981) mengartikan desentralisasi sebagai transfer of political power.
Transfer kewenangan atau pembagian kekuasaan ini terjadi dalam perencanaan
pemerintah, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat ke unit-unit
organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi setengah swatantraotorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah. Selanjutnya menurut Rondinelli
(1981), terdapat empat model desentralisasi yang umum dijumpai dalam prakteknya, yaitu
dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan privatisasi.
Istilah dekonsentrasi dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa
kekuasaan administrasi ke kantor-kantor daerah dari departemen pemerintah pusat.
Karena dalam model ini hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan
kekuasaan politis, maka jenis ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah.
Dekonsentrasi ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling sering diterapkan di
negara-negara berkembang sejak tahun 1970-an.
Selanjutnya adalah Devolusi. Devolusi merupakan kebijakan untuk membentuk
atau memperkuat pemerintahan di tingkat sub-nasional. Biasanya pemerintahan di tingkat
sub-nasional telah mempunyai status hukum yang jelas, mempunyai batasan geografis
yang tegas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari
pendapatan dan membelanjakannya. Semetara Delegasi merupakan pemindahan
tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasiorganisasi yang
berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh
pemerintah pusat.
Yang keempat adalah privatisasi. Privatisasi merupakan pemindahan tugas-tugas
dan pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan-perusahaan
privat yang mencari laba maupun tidak. Banyak pemerintah di negara berkembang telah
lamah bergantung kepada organisasi-organisasi sukarela dalam penyediaan pelayanan
publik. Karena seringnya pemerintah tidak dapat menanggung biaya pengembangan
maka dicarilah alternatif-alternatif pembiayaan untuk menjamin terselenggaranya
pelayanan publik.
Beberapa pakar mendefinisikan mengenai desentralisasi. Menurut James Alm,
dkk., (2001) desentralisasi merupakan transfer signifikan derajat wewenang dan tanggung
jawab untuk belanja pemerintah dan pendapatan dari pemerintah pusat ke tingkat
pemerintahan yang lebih rendah. Pendapat lain tentang desentralisasi dikemukakan oleh
Carolie Bryant dan Louise G White (1984). Desentralisasi diartikannya sebagai transfer
kekuasaan atau kewenangan, yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administratif
maupun
desentralisasi
politik.
Desentralisasi
administratif
adalah
pendelegasian
departemen
mempunyai
kekuasaan
untuk
mempengaruhi
derajat
merupakan
proses
demokratisasi
pemerintahan
dengan
memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada pemerintahan lokal (local government) dalam
mengurus
rumah
tangga
daerahnya
untuk
mencapai
efektivitas
dan
efisiensi
pemerintahan.
Ddesentralisasi merupakan konsekuensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah
membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Dengan demikian, setiap
keputusan
harus
dibicarakan
bersama
dan
pelaksanaan
dari
keputusan
itu
desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi
dari kebijakan demokratisasi. Berarti tidak ada demokrasi pemerintahan tanpa
desentralisasi.
2.2. Konsep dan Aplikasinya Dalam Penyelenggaraan Manajemen Pemerintahan di
Indonesia
Dalam negara yang berbentuk kesatuan tidak mungkin ada daerah yang bersifat
staat. Konsekuensinya adalah timbul hubungan hukum antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya di negara
berkembang sangat tergantung pada sistem yang digunakan dalam pengaturan
hubungan tersebut. Secara teoritis, ada dua model sistem yang dapat digunakan, yakni
model sistem sentralisasi dan model sistem desentralisasi. Kedua sistem tersebut
hanyalah terbatas sebagai model, sebab secara empirik di seluruh dunia dewasa ini tidak
ada satu negara yang secara ekstrim pemerintahannya bersifat sentralisasi, sebaliknya
juga tidak ada yang sepenuhnya bersifat desentralisasi (Muchsan, 1999).
Dalam sistem sentralisasi semua kewenangan ada pada pemerintah pusat, yang
berarti semua daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi
terjadi penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Daerah yang
mendapat kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri disebut daerah otonom.
Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya merupakan manifestasi dari
sistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Konsep desentralisasi itu
sendiri didalam ilmu administrasi publik merupakan sebuah pendekatan dan teknik
manajemen yang berkenaan dengan fenomena tentang pendelegasian wewenang dan
tanggung jawab (delegation of authority and responsibility) dari tingkat pemerintahan yang
lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi menyangkut
perubahan hubungan kekuasaan di berbagai tingkat pemerintahan. Namun terdapat
perbedaan pandangan diantara para ahli tentang pengertian yang tercakup dalam konsep
desentralisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Siedentopf (1987), desentralisasi adalah
suatu istilah yang memiliki pengertian atau konotasi yang berbeda bagi masyarakat yang
berbeda atau bagi masyarakat yang sama dalam situasi atau konteks yang berbeda.
Menurut Bird dan Vaillancort 1998), ada tiga variasi desentralisasi berkaitan dengan
derajat
kemandirian
pengambilan
keputusan
yang
dilakukan
daerah.
Pertama,
pemindahan
fungsi
administratif,
bukan
kekuasaan
politik,
maka
kebaikan-kebaikan
desentralisasi.
Desentralisasi
tidak
hanya
menghasilkan
pengadaan pelayanan yang efisien dan adil melalui pemanfaatan pengetahuan lokal,
tetapi juga akan merangsang partisipasi demokrasi yang lebih besar. Hasilnya, dukungan
yang lebih luas kepada pemerintah dan memperbaiki stabilitas politik. Bila kebaikankebaikan dan manfaat ini ditambah dengan sisi manfaat yang lain, seperti peningkatan
mobilisasi sumber-sumber dan pengenduran tekanan atas keuangan pusat, peningkatan
akuntabilitas, dan peningkatan ketanggapan serta tanggung jawab pemerintah secara
umum, tidak mengherankan banyak orang menganggap desentralisasi merupakan
sesuatu yang demikian berharga. Lain halnya bila desentralisasi dilihat prosesnya dari
atas ke bawah (top down). Dari atas ke bawah, dasar pemikiran desentralisasi misalnya
meringankan beban pusat dengan mengalihkan defisit (atau paling tidak sebagian dari
tekanan politis atas defisit) ke bawah, meningkatkan efisiensi manajemen pembangunan,
dan meningkatkan kesejahteraan nasional. Apapun dasar pemikirannya, pendekatan top
down menekankan bahwa kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi adalah
seberapa baik desentralisasi dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan kebijakan
nasional (Bird & Vaillancourt, 1998).
Mills (1991) mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai tujuan filosofis dan
ideologis dan tujuan pragmatis. Secara filosofis dan ideologis, desentralisasi dianggap
sebagai tujuan politik yang penting, karena memberikan kesempatan munculnya
partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah, dan untuk menjamin kecermatan
pejabat-pejabat
pemerintah
terhadap
masyarakatnya.
Dalam
tingkat
pragmatis,
daerah dapat menghasilkan respon yang lebih baik akan kebutuhan masyarakat,
meningkatkan pengelolaan sumber daya dan logistik, dan meningkatkan motivasi pejabatpejabat lokal.
desentralisasi tidaklah selalu mengacu pada otonomi. Otonomi lebih menitik beratkan
pada aspirasi daripada kondisi (Baharuddin Tjenreng, 1990). Pemberian otonomi daerah
menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8
Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan pada prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun mengenai tolok ukur otonomi suatu daerah terdapat perbedaan interpretasi dari
satu sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan lainnya, walaupun upaya mencari
faktor-faktor yang dijadikan tolok ukur tingkat otonomi suatu daerah telah lama dilakukan.
2.3. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai
sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir
setiap
negara
bangsa
menganut
desentralisasi
sebagai
asas
dalam
sistem
perhatian disini adalah, bahwa desentralisasi, baik secara politik maupun administrasi
merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal, dimana kekuasaan
dan pengaruh cendurung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi
tanggung jawab dan sumber daya, kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan
meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah lokal hanya ditugaskan untuk mengikuti kebijakan
nasional, maka para pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai investasi kecil saja
di dalamnya. Akan tetapi, jika suatu unit lokal diberi kesempatan untuk meningkatkan
kekuasaannya, kekuasaan pada tingkat nasional tidak dengan sendirinya akan menyusut.
Pemerintah Pusat malah mungkin memperoleh respek dan kepercayaan karena
menyerahkan proyek dan sumber daya kepada unit lokal, dan dengan demikian akan
meningkatkan pengaruh serta legitimasinya. Konsep desentralisasi yang menekankan
kepada salah satu cara untuk memberdayakan kapasitas lokal, dapat dijadikan titik tolak
pemikiran dalam rangka mengembangkan penyelenggaraaan otonomi daerah di
Indonesia.
Desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam. Pertama dekonsentrasi, yakni
pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada
bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam desentralisasi
ini rakyat tidak diikut sertakan; Kedua desentralisasi ketatanegaraan, yakni pelimpahan
kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah otonom dalam lingkungannya.
Di dalam desentralisasi politik atau ketatanegaraan ini, rakyat dengan mempergunakan
berbagai saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan. Desentralisasi
ketatanegaraan ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu: desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional.
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga masing-masing daerah otonom. Sementara
desentralisasi fungsional adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini
dikehendaki
agar
kepentingan
tertentu
diselenggarakan
oleh
golongan
yang
10
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi adalah asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah dikhawatirkan akan menyesatkan, baik ditinjau
dari perspektif akademik, maupun dari tataran operasional. Karena otonomi adalah hak,
wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat. Dengan perkataan lain, otonomi merupakan manifestasi atau perwujudan
kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dianutnya asas
desentralisasi territorial sebagai suatu sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Otonomi bermakna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan.
Maka di dalamnya terkandung dua aspek utama, yakni pemberian tugas dan kewenangan
untuk menyelesaikan suatu urusan dan pemberian kepercayaan serta wewenang untuk
memikirkan dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut. Dengan
demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menggunakan prakarsa
sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus kepentingan umum.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu merupakan wujud pemberian kesempatan
yang harus dipertanggungjawabkan.
Menurut Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan adanya tugas
pembantuan, yaitu suatu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk
melaksanakan tugas tertentu, disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta
sumber
daya
manusia,
dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaannya
dan
teknik
manajemen.
Efektivitasnya
untuk
mengatur
dan
mengatasi
11
12