Você está na página 1de 5

Terapi Gizi Medis Penderita Sirosis Hati

Manajemen diet pada sirosis ditujukan agar status nutrisi penderita tetap terjaga, mencegah
memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga kualitas serta
harapan hidup penderita juga akan membaik. Pada pasien ini dilakukan diet tinggi protein dan tinggi
kalori untuk memperbaiki status gizi pasien. Pemberian protein pada penderita sirosis disesuaikan
dengan kompikasi keadaan pasien. Kelebihan protein dapat mengakibatkan peningkatan amonia darah
yang berbahaya, sedangkan kekurangan protein akan menghambat penyembuhan sel hati. Pada sirosis
hati terkompensasi diberikan diet tinggi kalori tinggi protein dengan maksud agar sel-sel hati dapat
beregenerasi. Sedangkan untuk mengontrol tingkat amonia darah digunakan laktulosa dan atau suatu
jenis antibiotik yang bernama neomisin.

Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai cabang (AARC) yang
terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa
sebagai sumber energi) dan untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai
organ hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan
bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak, stadium kompensata
dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada keadaan koma.
Menurut Wolf (2011) nutrisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat, protein dan lemak, akan
membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki kerusakan sel hati. Pada tingkat tertentu, kerusakan
sel hati masih bisa diperbaiki dengan cara memproduksi sel hati baru yang sehat. Widiastuti dan Mulyati
(2005) meneliti bahwa kadar albumin secara umum rata-rata meningkat pada pasien sirosis hati yang
diberikan suplemen asam amino rantai cabang (AARC).
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari disesuaikan dengan
kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita
harus melakukan diet seimbang, cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu,
misalnya, asites perlu diet rendah protein dan rendah garam. Terapi ditujukan mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein 1
gr/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari atau 35-40 kcal/kgBB/hari dengan protein berkisar
antara 1,2-1,6 g/kgBB bergantung pada derajat malnutrisi dan kondisi lain yang dialami pasien. Dalam
preskripsi diet pasien sirosis hati, tidak ada pembatasan asupan karbohidrat walaupun pasien mengalami
resistensi insulin (Tsiaousi, et.al., 2008).
Pada pasien yang mengalami liver injury pada kasus yang akut dan kronik sering ditemukan balans
nitrogen negative. Oleh karena itu, sering ditemukan adanya pemecahan protein oleh otot karena sintesis
protein atau pemecahan protein yang dilakukan oleh hati telah menurun fungsinya. Dalam memberikan
treatment mengenai protein, yang perlu diperhatikan adalah menghindarkan pasien sirosis dari kejadian

malnutrisi serta menghindarkan pasien dari encephalopathy hepar. Untuk itu, selain mengatur protein
yang diberikan, asupan karbohidrat dan lemak juga perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
pemecahan yang mengakibatkan malnutrisi. Pada pasien sirosis, rasio asam amino rantai cabang (BCAA)
misalnya isoleusin, leusin, dan valine) terhadap asam amino aromatic misalnya fenilalanin, triptofan, dan
tirosin sering ditemukan abnormal terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi. Menjaga resiko
kedua macam asam amino ini dapat menghindarkan pasien dengan sirosis terhadap kejadan
ensefalopathy hepatic (Lieber, 1999).

Terapi cairan pada asites

Pada penderita sirosis dengan asites maka terapi diet rendah natrium dan pengurangan cairan yang
menumpuk di perut (ascites) perlu dilakukan. Menurt Hasse dan Mataresse (2004), pasien hati yang
memiliki ascites mengalami peningkatan energi expenditure. Namun dalam penghitungannya,
hendaknya
memperhatikan
berat
badan
yang
telah
dikoreksi
untuk
mencegah
terjadinya overfeeding. Sirosis merupakan salah satu penyakit katabolisme, itulah sebabnya protein
diberikan tinggi. Protein 1,2/kg BB diberikan karena mempertimbangkan kadar albumin dan total protein
yang rendah namun tetap memperhitungkan kadar BUN-kreatinin yang tinggi. Sumber protein yang
diberikan diutamakan berasal dari BCAA. Natrium sebaiknya diberikan secara terbatas sampai 2 g/hari
pada pasien ascites yang diber terapi diuretik. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan maupun
kelebihan natrium yang dapat berakibat pada abnormalitas metabolik (Hasse dan Mataresse, 2004).
Lemak diberikan rendah jika terdapat pembesaran lien dan ikterik. Sebagian kecil penderita asites tidak
berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian dapat dilakukan parasintesis.
Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5-10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infuse
albumin sebanyak 6 8 gr/liter cairan asites yang akan dikeluarkan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien. Namun prosedur ini tidak dianjurkan pada
anak-anak, kadar protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3,
creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.

Hepatorenal Sindrome

Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian diuretik yang berlebihan, pengenalan secara dini
setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif
dapat dilakukan berupa ritriksi cairan,garam, potassium dan protein.

Penelitian Baru Di Bidang Nutrisi Pada Sirosis Hepatis

Penelitian yang dilakukan Anthony (2012), diketahui pada penderita sirosis hepatis non alkoholik
diketahui bahwa asupan rendah kolin dapat menyebabkan peningkatan terjadinya fibrosis hati pada
pasien wanita post-menaupose. Penelitian yang dilakukan Malaguarnea (2011) pada pasien enchepalopati
hepatic yang diberi oral L-carnitin mengalami perbaikan dalam gejala kelemahan dan kelelahan (fatique)
yang sering muncul pada pasien sirosis hepatis. Penelitian yang dilakukan Suzanna (2011) pada pasien
ensepalopati sirosis yang mengalami malnutrisi akan mengalami perbaikan jika diberikan treatmen diet
jumlah
kalori
35-40
kal
/
kg
BB
dan
1,5 g protein / kg BB yang di dalamnya mengandung BCAA substitusi seperti L-ornithine-Laspartate. Penelitian yang dilakukan Eduard (2005), terhadap penyerapan dan pengangkutan asam
lemak rantai panjang pada sirosis diketahui bahwa tidak terdapat steatore pada pasien dan menunjukkan
adanya penyerapan yang baik pada penderita sirosis dengan spontaneous portal-systemic shunting.

Cara menghitung kebutuhan diet hati


a. Indentitas pasien :
Nama inisial

: c , prempuan ,61 thn

Berat badan

: 70 kg

Tinggi badan

: 160 cm

Berat badan ideal : 54 kg


BBA

: 56 kg

IMT

: 21,8 kg/m 2 ( status gizi normal )

BMR

: 54 x 25 =1350

TEE

: 1700 kkal/hari

Faktor koreksi

: 35 %

b. kebutuhan protein : 1 gr x 54 kg = 54 gr
c. kebutahan lemak : 20 % x tEE = 340/9 = 37,7 gr

DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases


2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
3. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England Blackwell 1997
4. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI, Jakarta 1987
6. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm
7. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
RSUPN Cipto Mangunkusumo
8. Lieber, CS dalam Kopple, Joel dalam Shills et.al. 1999. Modern Nutrition in Health and Disease.
Williams and Wilkins: New York
9. Tsiaousi, Eleni T; et.al., 2008. Malnutrition in End Stage Liver Disease: Recommendations and
Nutritional Support. J Gastroenterol Hepatol. 2008;23(4):527-533.
10. Brandt, Carl. J dan Ove Schaffalitzky de Muckadell. 2005. Cirrhosis of the
Liver. www.netdoctor.co.uk
11. Hasse dan Mataresse dalam Mahan, Kathleen dan Sylvia Escott-Stump. 2004. Krauses : Food,
Nutrition, and Diet Therapy 11th ed. Philadelphia : Saunders National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases. 2008. Cirrhosis. www.digestive.iddk.nih.gov
12. Abeysinghe, M.R.N., Almeida, R., Fernandopulle, M., Karunatiluka, H., Ruwanpathirana, S.,
2005. Guidlines on Clinical Management of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic
Fever. Sri lanka : SLMH, p. 1- 44
13. Anonim, 2009, MIMS Indnesia Petunjuk Konsultasi, Jakarta: PT Infomaster, lisensi
CMPMedia.
14. Dib, N., Oberti, F., Cales, P., 2006. Current management of the complications of portal
hypertension : Variceal bleeding and ascites. CMAJ
15. Fauci, et al., 2008, Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States:The
Mcgraw-Hill Companies.

16. Garcia-Tsao, et al., 2007, Prevention and Management of Gastroesophageal Varices and Variceal
Heorrage in Cirrhosis. AASLD Practice Guidelines.
17. Gines, P., M.D., Cardenas, A., M.D., Arroyo, V., M.D., and Rodes, J., M.D., 2004,Management of
Cirrhosis and Ascites. The New England Journal of Medicine.
18. Goldman, et al., 2007, Cecil Medicine 23rd Edition, Saunders:Elsevier.
19. Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M.P. and Lance, L.L., 2008, Drug Information
Handbook, 17 th ed., Ohio : Lexi-Comp.
20. McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F. and Lange, J.D. (Eds.), 1995.Pathophysiology of
Disease An Introduction to Clinical Medicine, 21st Edition, Stamford: Appleton & Lange.
21. PMFT RSU Dr.Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi 3. Surabaya: RSU Dr. Soetomo.
22. Schwinghammer, T.L., 2009. In: Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Hamilton,
C.W., Pharmacotheraphy Handbook, USA: Mcgraw-Hill Comapanies, Inc.
23. Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragano, J.J., 2008. Portal hypertension and cirrhosis. In: J.T. Dipiro,
R.L. Talbert, G.C Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey (Eds.).Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. Ed. 7th, New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
24. Sudoyo, A. W et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
25. Widiastuti, Yuliati dan Tatik Mulyati. 2005. Pengaruh BCAA Terhadap Kadar Albumin Pasien Sirosis
Hepatis di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Diakses
darihttp://eprints.undip.ac.id/26173/1/67_Yuliati_Widiastuti_G2C20122.rtf_A.pdf
26. Wolf, David. Cirrhosis. 2011. Diakses darihttp://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#
27. Eduard Cabr, Jos M Hernandez-Prez, Lourdes Fluvia`, Cruz Pastor, August Corominas, and
Miquel A Gassull. Absorption and transport of dietary long-chain fatty acids in cirrhosis: a stable-isotopetracing study13 Am J Clin Nutr 2005;81:692701.
28. Anthony L Guerrerio, Ryan M Colvin, Amy K Schwartz, Jean P Molleston, Karen F Murray, AnnaMae
Diehl, Parvathi Mohan, Jeffrey B Schwimmer, Joel E Lavine, Michael S Torbenson, and Ann O
Scheimann Choline Intake In A Large Cohort Of Patients With Nonalcoholic Fatty Liver
Disease. Am J Clin Nutr April 2012 vol. 95 no. 4 892-900

Você também pode gostar