Você está na página 1de 6

Aliran-aliran Hukum dan Aliran Hukum Yang Berlaku

di Indonesia
Dalam praktik peradilan terdapat beberapa aliran hukum yang mempunyai pengaruh luas
bagi pengelolaan hukum dan proses peradilan. Aliran hukum yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Aliran legisme
2. Aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtsschule
3. Aliran rechtsvinding (penemuan hukum)
1. Aliran legisme
Cara pandang aliran legisme adalah bahwa semua hukum terdapat dalam undang-undang.
Maksudnya diluar undang-undang tidak ada hukum. Dengan demikian, hakim dalam
melaksanakan tugasnya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka
(wetstiopasing), dengan cara yuridische sylogisme, yakni suatu deduksi logis dari
perumusan yang umum (preposisi mayor) kepada suatu keadaan yang khusus (preposisi
minor), sehingga sampai kepada suatu kesimpulan (konklusi).
Sebagai contoh:
a. Siapa saja karena salahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selamalamanya lima tahun (preposisi mayor).
b. Si Ahmad karena salahnya menyebabkan matinya orang (preposisi minor).
c. Si Ahmad dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (konklusi).
Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan dapat diselesaikan dengan
undang-undang. Oleh karena itu, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan
tentang undang-undang, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah sekunder.
2. Aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtschule
Pandangan Aliran freie rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule berbeda cara pandang
dengan aliran legisme. Aliran ini beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya,
seorang hakim bebas untuk melakukan sesuatu menurut undang-undang atau tidak. Hal ini
dikarenakan pekerjaan hakim adalah menciptakan hukum. Aliran ini beranggapan bahwa
hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusan yang
berdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Oleh karena itu, memahami yurisprudensi
merupakan hal primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang
merupakan hal yang sekunder.
Tujuan daripada freie rechtslehre menurut R. Soeroso adalah sebagai berikut:
Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara member kebebasan kepada hakim
tanpa terikat pada undang-undang, tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari.
Membuktikan bahwa dalam undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan dan
kekurangan itu perlu dilengkapi.
Mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasarkan kepada rechts ide (cita
keadilan)
3. Aliran rechtsvinding (penemuan hukum)
Sedangkan aliran rechtsvinding adalah suatu aliran yang berada di antara aliran legisme
dan aliran freie rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule. Aliran ini berpendapat bahwa

hakim terikat pada undang-undang, tetapi tidak seketat sebagaimana pendapat aliran
legisme, sebab hakim juga mempunyai kebebasan.
Dalam hal ini, kebebasan hakim tidaklah seperti pendapat freie rechtsbewegung, sehingga
hakim di dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kebebasan yang terikat. (gebonden
vrijheid), atau keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Jadi tugas hakim merupakan
melakukan rechtsvinding, yakni menyelaraskan undang-undang yang mempunyai arti luas.
Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas terbukti dari adanya beberapa
kewenangan hakim, seperti penafsiran undang-undang, menentukan komposisi yang
terdiri dari analogi dan membuat pengkhususan dari suatu asas undang-undang yang
mempunyai arti luas.
Menurut aliran rechtsvinding bahwa yurisprudensi sangat penting untuk dipelajari di
samping undang-undang, karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang
konkret diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak ditemui dalam kaedah yang
terdapat dalam undang-undang. Dengan demikian memahami hukum dalam perundangundangan saja, tanpa mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap, Namun demikian,
hakim tidaklah mutlak terikat dengan yurisprudensi seperti di negara Anglo Saxon, yakni
bahwa hakim secara mutlak mengikuti yurisprudensi.
ALIRAN YANG BERLAKU DI INDONESIA
Aliran yang berlaku di Indonesia adalah aliran rechtsvinding, bahwa hakim dalam
memutuskan suatu perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang
berlaku di dalam masyarakat secara kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid) dan
keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Tindakan hakim tersebut berdasarkan pada
pasal 20,22 AB dan Pasal 16 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Pasal 20 AB mengatakan bahwa:
Hakim harus mengadili berdasakan undang-undang
Pasal 22 AB mengatakan bahwa:
Hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak
jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi:
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.

Naturalisme dan Positivisme dalam Hukum

Naturalisme dan Positivisme Hukum


Naturalisme dan Positivisme merupakan dua kontributor penting dalam blantika pemikiran
filsafat hukum. Sejak berabad-abad lamanya kedua gagasan ini telah mengalami banyak
modifikasi dan perdebatan. Pada jantung perdebatan keduanya dapat kita temui bahwa telaah
problematiknya adalah; mengenai hakikat dan sumber hukum. Masing-masing berhadapan
dengan pertanyaan apa itu hukum dan jawabannya berpangkal dari darimana sumber hukum itu
sendiri.
Naturalisme.
Bagi naturalisme basis dari hukum adalah sesuatu yang melampaui daya kontrol manusia.
Sesuatu tersebut mengikat secara imparsial atas apa yang setiap individu atau kelompok
harapkan dan putuskan. Kekuatan yang suka atau tidak suka harus kita terima impresinya. Jadi
disini hukum bukanlah hasil (outcome) dari kesepakatan manusia, namun merupakan prinsip
pertama atau fondasi natural. Dalam kosakata filsafat aliran ini juga biasa disebut menganut
pandangan fondasionalistik[2] atas hukum.
Sehingga dengan kata lain hukum pertama-tama ditemukan, baru kemudian dibuat. Hal ini
berimplikasi bahwa pembuatan hukum positif terikat pada konsiderasi objektif terkait dengan
nilai-nilai intrinsik hukum alamiah, yakni suatu konsiderasi atas keadilan yang terdapat diluar
kehendak legislator. Manakala hal tersebut dilanggar, mereka (legislator) sebenarnya tidaklah
membuat hukum dalam artinya yang sejati.
Bagi Cicero misalnya, hukum dapat dikenali dan terpahami dari dalam rasio manusia yang
menyatu dengan semesta. Dalam kata-kata Cicero sendiri:
lex ratio summa insita in natura, quae jubet ea, quae facienda sund, prohibetque contraria
Artinya, Hukum adalah pertimbangan akal (reason) tertinggi yang terkandung didalam semesta,
yang memerintahkan akan apa yang seharusnya kita lakukan (yang selaras) dan melarang yang
sebaliknya.[3]

Namun kemudian pertanyaan adalah bagaimana kita dapat memahami relasi antara hukum yang
merupakan pertimbangan nalar tertinggi dalam semesta dengan komunitas manusia yang ada.
Karena tentunya hingga titik tertentu persoalaan yang sungguh dihadapi ada pada komunitas
masyarakat. Cicero menjawabnya dengan dua kata kunci penting: recta ratio ( right reasoning).
Disisi yang lain, Thomas Aquinas yang juga merupakan eksponen aliran ini mendefinisikan
hakekat hukum sebagai :
Quadeam rationis ordination ad bonnum commune, ab eo qui cura communitatis habet
promulgate. Artinya, Hukum adalah perintah akal budi ( ordering of reason) demi kebaikan
umum dan dipromulgasikan (made public) oleh ia yang memiliki wewenang membina
masyarakat.[4]
Dengan definisi semacam ini hukum kemudian dapat dikenali karakterisitiknya sebagai berikut :
1. Rasional karena hukum merupakan perintah akal budi. Artinya: jika seseorang menghendaki
suatu tujuan tertentu, akal budinya memerintahkan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk
mencapai tujuan tertentu. 2. Teleologis atau berorientasi pada tujuan tertentu, yaitu demi
kebaikan umum. Dalam definisi tersebut, hukum dibuat berdasarkan atas kepentingan
masyarakat, yaitu disusun demi kebaikan umum. 3. Untuk kepentingan tersebut, maka
pembuatan hukum menjadi wewenang seseorang yang ditunjuk mewakili masyarakat. Lebih
lanjut Aquinas menentukan posisi hukum dalam struktur hirarkis sebagai berikut:[5]
Puncak dari hirarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu dimana
Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta.
Dibawah hukum abadi adalah hukum kodrat, yang tidak lain adalah partisipasi mahluk rasional
di dalah hukum abadi.
Dibawah hukum kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.
Positivisme Hukum
Bagi kalangan positivis, basis dari hukum adalah kesepakatan antar manusia. Yakni sesuatu yang
diputuskan atau dipilih untuk tujuan-tujuan tertentu dengan serangkaian fungsi-fungsi yang
spesifik sejauh yang dipikirkan pada rentang determinasi waktu tertentu. Ini berarti bahwa
hukum dimaknai sebagai sesuatu yang berasal dari manusia itu sendiri dan bukan dari luar
dirinya.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang membuat hukum? Kaum positivis akan menjawab : orangorang yang dalam posisi atau kekuasaan yang memadai untuk impose their will on the whole
community sehingga sanksi serta aturan-aturan dapat berdampak dan diimplementasikan tanpa
atau dengan konsultasi atau persetujuan.

Positivisme Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan pemikirannya
pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali menggunakan istilah
Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran Comte merupakan ekspersi suatu
periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut
penerapannya. Comte membagi perkembangan pemikiran manusia kedalam tiga taraf/fase, yang
menurutnya hal tersebut merupakan sebuah rentetan ketentuan umum yang sudah ditetapkan.
Tiga tahap tersebut adalah : 1. tahap teologis 2. tahap metafisis 3. tahap positif/ilmiah.[6]
Bagi Comte yang penting sekarang adalah tahap ilmiah, sebagai tahap terakhir dan tertinggi
pemikiran manusia, dimana pada tahap ini pemikiran manusia sampai pada suatu pengetahuan
yang ultim. Dasar dari pengetahuan adalah fakta-fakta yang dapat diobservasi. Pemikiran Ilmiah
berikhtiar untuk mencari dan menelusuri hubungan-hubungan dan ketentuan-ketentuan umum
antara fakta-fakta melalui cara yang dapat diawasi, artinya melalui metode eksperimental.
Dengan kata lain kemudian, hukum disini didekati melalui pendekatan ilmiah (saintifik). Hal ini
secara tegas diakui oleh salah satu ekpsonen dari aliran ini yaitu Hans Kelsen. Ia menulis :
When this doctrine is called the pure theory of law it is meant that it is being kept free from
all elements foreign to the specific method of a science whose only purpose is the cognition of
law, not its formation. A science has to describe its object as it actually is, not to prescribe how it
should be or should not be from the point of view of some specific value judgement[7]
Penjelasan Kelsen ini dengan tegas hendak memisahkan segala anasir asing yang hendak
mencampuri hukum dan cara untuk menuju kesana dicapai melalui metode saintifik, yang
memiliki kemampuan objektif terhadap objek kajiannya, dalam hal ini hukum. Secara terangterangan Kelsen juga mengkritik pandangan naturalisme, yang dalam sudut pandangnya tidak
lebih daripada usaha sia-sia. Sia-sia karena apa yang diupayakan oleh naturalisme tidak akan
mungkin tercapai, ide-ide transcendental yang ada dalam alam semesta, dalam divine order,
pada akhirnya tidak dapat tercapai dan diciptakan dikehidupan kita disini. Dengan kata lain
pandangan positivisme hukum Kelsen menolak untuk me-metafisika-kan hukum, ia menolak
memandang hukum sebagai manifestasi kekuatan supraadikodrati yang berada diluar manusia.
Dan secara konsekuen berbalikan dari gagasan naturalisme, positivisme Kelsen hendak mengejar
dan mencari penjelasan akal budi terbaik tentang validitas hukum.
Disisi yang lain, John Austin (1790-1859) yang juga pembela positivisme hukum berpandangan
bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurutnya terletak pada
unsur perintah (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan
tertutup. Austin menyatakan a law is a command which obliges a person or persons Laws
and other commands are said to proceed from superior, and to bind or oblige inferiors[8].
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis :[9]
1. hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws), dan

2. hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibagi lagi kedalam dua bagian :
a. hukum yang sebenarnya
b. hukum yang tidak sebenarnya
Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum positif) meliputi hukum yang dibuat
oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hakhak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat
oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum,
tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu
dijunjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena
dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi
kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian hukum yang
dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara.
Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan
tuntutan itu pasti dipenuhi

Você também pode gostar