Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana
antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih
jauh5.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang
berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan
imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya,
beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang
imunopatogenesis masih sangat kurang5.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction,2,4.
2.2 Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang
ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini
bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG
adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di
Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai
penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan
tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi
orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang >
40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan
bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami
3
MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis
kelamin5.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di
Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus.
Tetapi Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi.
Sebelum dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia
yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan
80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat,
dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya
tanda-tanda biasanya setelah usia 505.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi)
dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia
bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa
minggu setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun
menular. Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam
keluarga yang sama5.
2.3 Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction
2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat
saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa
ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular9.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction9.
2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina
basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke
bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh
tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf
dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.
5
2.4 Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain8.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik5,8.
akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering
terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.
b.
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.
2.6 Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
10
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.
Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
11
12
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal4,8.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like
face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia
gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita
harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan
13
diperlukan.
menyebabkan
Kelemahan
retensi
otot-otot
karbondioksida
interkostal
sehingga
serta
akan
diafragma
berakibat
dapat
terjadinya
kelemahan
otot-otot
ekstraokular
terjadi
secara
asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan
tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan
pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan
adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi8.
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnose penyakit
Myasthenia Gravis. Test-test yang dapat dilakukan itu antara lain5 :
1. Test Wartenberg, Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba
test Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu
benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu
lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan
menunjukkan ptosis.
14
intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila
ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),
menghilangkan ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih
lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih
lama dari 5 menit. Test ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
Test Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosa MG. Enzim asetilkolineterase
membongkar asetilkolin (ACh) setelah otot dirangsang, mencegah perpanjangan
respon otot ke impul syaraf tunggal. Edrophonium chloride (Tensilon) adalah
obat yang secara berkala merintangi aksi dari asetilkolineterase. Pada MG, ada
sedikit penerima asetilkolin (AChR) pada otot dan asetilkoline dihancurkan
sebelum bisa secara penuh menstimulasi otot, sehingga menghasilkan kelemahan
otot. Dengan merintangi aksi dari asetilkolineterase, tensilon memperpanjang
stimulasi otot dan secara berkala memperbaiki kekuatan.
Pada test ini, tensilon diberikan melalui pembuluh darah (ke dalam urat darah
halus) dan respon otot akan dievaluasi. Test Tensilon paling efektif ketika dapat
dengan mudah terlihat kelemahan, dan sedikit kurang berguna untuk yang samarsamar atau keluhan yang turun naik. Efek samping dari test ini adalah secara
temporer membuat irama jantung menjadi abnormal, seperti irama jantung yang
lebih cepat (atrial fibrilasi) dan irama jantung yang lambat (bradicardia).
4. Test Single Fiber Electromyography (EMG), Serabut otot dirangsang dengan
impul elektrik, bisa juga mendeteksi gangguan syaraf ke transmisi otot. EMG
mengukur potensi elektrik dari sel-sel otot. Serat-serat otot pada MG dan juga
pada penyakit neuromuskular lainnya, tidak memberi respon yang baik pada
16
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
17
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody
b.
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.
2.7.2.2 Imaging
a.
18
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
b.
c.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak.
elektrodiagnostik
dapat
memperlihatkan
defek
pada
transmisi
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
2.
a.
b.
c.
d.
e.
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik
awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
20
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik
tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
2.8 Penatalaksanaan4,5,7
1.
Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului
dengan
pemberian
atropin
0,5-1,0
mg.
Neostigmin
dapat
21
untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat
yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari
krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek
muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti
bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2.
Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap
(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila
obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala
terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang
berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari,
dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat
kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara
perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang
efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3.
Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
22
berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu
harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4.
Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera
diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5.
Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan
sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang
jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga
penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif
padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada
reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
23
KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan
reseptor asetilkolin
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat
memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.
5.
Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myastheniagravis.html. Diakses pada tanggal 08 April 2013.
6.
25
7.
8.
9.
Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
26