Você está na página 1de 7

DARI KETAHANAN PANGAN MENUJU KEDAULATAN PANGAN

0leh: Tri Hariyono1


Akhir-akhir ini masalah pangan menjadi berita hangat di tingkat dunia.
Berita-berita yang muncul di media massa cetak maupun elektronik tidak hanya
terbatas perbincangan seputar kelangkaan pangan; mahalnya harga bahan pangan
ternyata telah menimbulkan gejolah di berbagai negara seperti Bolivia,
Madagaskar, Haiti, Ethiopia, Pakistan, Kamerun, Senegal, Filipina, Indonesia,
dan negara-negara lain.
Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang
melimpah. Hal ini pulalah yang menyebabkan sebagian besar penduduk
Indonesia terlibat dalam dunia pertanian. Sekitar 46 persen penduduk Indonesia
adalah petani. Namun ironisnya, sebagai negara agraris yang tanahnya subur dan
gemah ripah loh jinawi saat ini Indonesia bukan saja tidak mampu
berswasembada pangan, tetapi sebaliknya justru mengalami krisis pangan. Malah
sebagian kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, yang
harganya naik tak terkendali.
Bila kita telisik lebih jauh, krisis pangan yang terjadi di Indonesia dewasa
ini adalah akibat kesalahan pola kebijakan pangan yang ditetapkan selama ini.
Pola atau paradigma kebijakan pangan yang diterapkan selama ini berlandaskan
pada konsep ketahanan pangan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002
konsep ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
1

ataupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.


Dalam konsep ketahanan pangan sebagaimana yang dirumuskan dalam PP
No. 68 Tahun 2002 tersebut tidak diatur bagaimana pangan itu diproduksi dan
dari mana pangan tersebut berasal. Tidak adanya pengaturan mengenai dua hal
dimaksud, menurut pandangan penulis merupakan titik lemah dari konsep dan
kebijakan ketahanan pangan nasional. Hal ini tercermin dari kurangnya
keseriusan pemerintah dalam melakukan usaha-usaha perbaikan sistem produksi
pangan maupun mengontrol masuknya pangan impor ke Indonesia.
Tidak diaturnya mengenai dari mana pangan berasal telah pula
mengakibatkan berkembangnya industri pangan di perkotaan, terutama investasi dari
perusahaan agribisnis pangan transnasional. Hal ini kemudian mengakibatkan desa
dan petani tidak lagi menjadi produsen pangan, melainkan sekadar penyedia bahan
baku yang murah serta pasar bagi industri pangan perkotaan.
Dengan demikian, dalam diktum dan semangat PP No. 68 Tahun 2002
nasib petani sebagai pemasok sejati bahan pangan tidak menjadi bagian integral
dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional. Itulah sebabnya dalam PP
No 68 Tahun 2002 tidak tersedia payung dan perlindungan hukum untuk
menjamin kedaulatan petani vis-a-vis serbuan impor pangan dari luar maupun
kekuatan kapitalisme industri pangan. Padahal tanpa petani yang kuat, ketahanan
pangan nasional tidak mungkin bisa diwujudkan. Sementara untuk mewujudkan
petani yang kuat diperlukan

payung perlindungan hukum yang menjamin

kedaulatan, nasib, dan harkat petani.

Kedaulatan Pangan
Kebijakan ketahanan pangan nasional sangat penting artinya untuk
menjamin kecukupan penyediaan pangan secara nasional. Tetapi karena kebijakan
ketahan pangan kurang menaruh perhatian terhadap upaya peningkatan
kesejahteraan petani, maka kita berpendapat kebijakan tersebut belum
mencukupi. Sebab, meskipun dalam kebijakan ketahanan pangan nasional petani
bukan merupakan pilar satu-satunya bagi ketahanan nasional, namun petani tetapi
merupakan pilar terpenting. Singkatnya, kebijakan ketahanan pangan adalah perlu
tetapi tidak mencukupi.
Oleh karena itu sebagai penyempurnaan, untuk tidak mengatakan sebagai
pengganti, kebijakan ketahanan pangan perlu dikembangkan dan diterapkan
kebijakan kedaulatan pangan. Secara konseptual, kedaulatan pangan berarti hak
setiap negara atau masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya,
melindungi sistem produksi pertanian dan perdagangan untuk mencapai sistem
pertanian yang berkelanjutan dan mandiri. Kedaulatan pangan mengatur produksi
dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional,
bukan pasar global. Kedaulatan pangan mencakup hak untuk memproteksi dan
mengatur kebijakan pertanian nasional dan melindungi pasar domestik dari
dumping dan kelebihan produksi negara lain yang dijual sangat murah. Oleh
karena itu, petani kecil dan buruh tani harus diberikan akses terhadap tanah, air,
benih, dan sumber-sumber agraria lainnya.
Dengan demikian, kedaulatan pangan harus didahulukan di atas
kepentingan pasar. Sungguhpun demikian, kebijakan kedaulatan pangan tidak
melarang perdagangan, tetapi menekankan bahwa produksi pangan harus

diprioritaskan untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri dan keluarga, yang di


produksi secara organik, berkelanjutan dan aman. Selain itu, kebijakan kedaulatan
pangan juga menekankan input dan pemasaran hasil pertanian adalah melalui
organisasi-organisasi tani atau koperasi tani sehingga tidak tergantung dari
industri.
Secara lebih konkret, ada tujuh prinsip utama untuk menegakkan
kedaulatan pangan, antara lain adalah: (1) pembaruan agraria, (2) adanya hak
akses rakyat terhadap pangan, (3) penggunaan sumber daya alam secara
berkelanjutan, (4) pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang
diperdagangkan, (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi, (6) melarang
penggunaan pangan sebagai senjata, (7) pemberian akses ke petani kecil untuk
perumusan kebijakan pertanian.
Konsep dan kebijakan kedaulatan pangan seperti yang dipaparkan di atas
tidaklah berdiri sendiri. Kedaulatan pangan harus didukung dan bertumpu pada
kedaulatan petani. Tanpa adanya kedaulatan petani tidak akan terwujud
kedaulatan pangan yang sejati. Kedaulatan petani hanya akan terwujud apabila
ada pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani. Menurut
Deklarasi La Via Campesina Regional Asia Tenggara-Asia Timur tentang
Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani, dalam garis besarnya hak-hak
asasi petani meliputi: (1) hak atas kehidupan yang layak, (2) hak atas sumbersumber agraria, (3) hak atas kebebasan budidaya dan tanaman, (4) hak atas modal
dan sarana produksi pertanian, (5) hak atas akses informasi dan teknologi
pertanian, (6) hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi

pertanian, (7) hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian, (8) hak atas
keanekaragaman hayati, dan (9) hak atas kelestarian lingkungan.
Pada tingkat yang lebih tinggi dan dalam skala yang lebih makro,
kedaulatan pangan dan kedaulatan petani sangat dipengaruhi oleh kedaulatan
negara. Dalam konteks kedaulatan pangan, tingkat dan kapasitas kedaulatan
negara sangat bergantung kepada sejauhmana negara mampu membebaskan diri
dari rezim Dana Moneter Internasional (IMF), rezim Bank Dunia, dan rezim
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO); ketiganya merupakan instrumen dari
neokolonialisme-imperialisme. Jika negara tidak mampu melepaskan diri dari
ketiga rezim IMF, Bank Dunia dan WTO, maka kedaulatan negara akan selalu
terkebiri. Kondisi ini pada gilirannya akan mengakibatkan kedaulatan petani
menjadi tereduksi dan kedaulatan pangan nasional menjadi mandul.
Dengan demikian, kedaulatan pangan, kedaulatan petani, dan kedaulatan
negara merupakan suatu kesatuan organik. Ketiganya saling mempengaruhi dan
saling

mendukung.

Tegasnya,

kebijakan

kedaulatan

pangan

nasional

mensyaratkan perwujudan kedaulatan petani dan kedaulatan negara.


Sebagai Gerakan Sosial
Kedaulatan pangan pada dasarnya mengutamakan produksi pertanian
lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap orang, rumah tangga, masyarakat
dan bangsa, dengan menjamin akses petani atas tanah, air, benih, teknologi dan
kredit. Kedaulatan pangan adalah dasar bagi kedaulatan bangsa yang mencakup
land reform agar petani dapat bertani di tanahnya sendiri, menolak GMO karena
benih seharusnya dapat diakses oleh semua orang, memelihara kelestarian sumber

air agar dapat digunakan oleh setiap orang sesuai dengan tingkat kebutuhannya,
dan mengatur tata niaga pertanian agar adil bagi semua.
Oleh karena itu, gerakan kedaulatan pangan, menurut Dwi Astuti (2008),
pada hakekatnya merupakan gerakan sosial yang mampu menyatukan seluruh
elemen gerakan: petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, kaum
miskin kota, dan lain-lain. Tentu saja peran pemerintah juga sangat penting dalam
gerakan kedaulatan pangan tersebut.
Dalam gerakan kedaulatan pangan tersebut, ada beberapa langkah yang
harus dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan sejumlah elemen gerakan
masyarakat sipil, khususnya organisasi atau serikat-serikat tani. Langkah-langkah
dimaksud adalah:
a. Memprioritaskan produksi pangan untuk kebutuhan pangan keluarga dan
lokal, bukan berorientasi ekspor.
b. Melaksanakan reforma agraria/distribusi tanah kepada petani dan buruh
tani untuk menjamin agar tanah pertanian dimiliki dan dikerjakan sendiri
oleh petani.
c. Menjamin hak petani untuk menguasai dan memiliki sumber air, benih
dan kredit.
d. Melarang masuknya pangan impor dengan harga dumping, karena akan
merusak pangan lokal dan produksi lokal dan dalam negeri telah
mencukupi.
e. Menjamin harga panen petani dengan harga yang menjamin keberlanjutan
kehidupan petani untuk hidup dengan sejahtera.

f. Menolak liberalisasi perdagangan pertanian, dan mengeluarkan WTO dari


urusan pertanian di dunia.

Penulis adalah Alumnus Jurusan Pengembangan Masyarakat UIN Sunan


Kalijaga Yogyakarta dan Pengurus Serikat Petani Indonesia (SPI) wilayah DIY.

Você também pode gostar