Você está na página 1de 38

Oleh : Ustadz Budi Ashari,Lc

Antara Dua Nasehat Rasulullah


Nasehat sangat bermanfaat bagi orang beriman. Nasehat sangatlah mahal. Apalagi
kalau nasehat itu berasal dari Rasulullah. Berikut ini, akan kita amati dua nasehat
Rasul untuk anak-anak di zamannya. Dua nasehat yang berbeda. Untuk dua orang
yang berbeda. Untuk usia yang berbeda. Tentu dengan kandungan, nilai dan
metode yang berbeda. Walaupun namanya sama-sama Abdullah. Mari kita selami
mutiaranya. Ya Allah bimbing kami...
Nasehat pertama untuk Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma,


Dari Ibnu Abbas dia berkata: Aku dibonceng Nabi shallallahu alaihi wasallam dan
beliau berkata, Nak,aku akan mengajarimu beberapa kalimat, semoga Allah
memberimu manfaat dengannya. Aku berkata: Ya Nabi berkata, Jagalah Allah, Dia
akan menjagamu. Jagalah Allah, kamu akan menjumpai Nya ada di hadapanmu.
Kenalilah Dia dalam keadaan lapang, Dia akan mengenalimu di waktu sempit. Jika
kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta pertolongan, mintalah
pertolongan kepada Allah. Pena telah kering terhadap semua yang ada, maka jika
seluruh makhluk ingin memberimu manfaat (menolongmu) dengan sesuatu yang
tidak ada dalam takdir Allah untukmu, mereka tidak akan sanggup melakukannya.
Dan jika mereka ingin membahayakan dirimu dengan sesuatu yagn tidak ada
dalam takdir Allah padamu, mereka tidak akan sanggup melakukannya. Ketahuilah,
sesungguhnya dalam kesabaran terhadap hal yang tidak kamu sukai ada banyak
sekali kebaikan. Sesungguhnya kemenangan datang bersama dengan kesabaran.
Sesungguhnya solusi datang bersama dengan kesulitan. Dan sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan. (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dia berkata: hasan
shahih)
Nasehat kedua untuk Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma,




Dari Mujahid, dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata:
Rasulullahshallallahu alaihi wasallam memegang pundakku dan beliau bersabda,
Jadilah kamu di dunia ini seakan seorang yang asing (pengembara) atau
penyeberang jalan. Mujahid berkata: Dan Ibnu Umar berkata, Jika kamu berada
disore hari, jangan menunggu hingga pagi hari. Dan jika kamu berada di pagi hari,

jangan menunggu hingga sore hari. Manfaatkan sehatmu sebelum datang sakitmu
dan hidupmu sebelum matimu. (HR. Bukhari)
Usia Berbeda, Metode Berbeda Saat Rasulullah wafat, usia Abdullah bin Abbas 13
tahun. Sementara usia Abdullah bin Umar 21 tahun. Dengan perbedaan usia ini,
maka kita bisa mengetahui bahwa Rasulullah berinteraksi dengan Abdullah bin
Abbas dari usia dini hingga memasuki usia remaja (dalam istilah hari ini).
Sementara Abdullah bin Umar dari usia dini hingga usia dewasa. Penulis belum
mengetahui, kapan kedua nasehat ini disampaikan Rasulullah. Tapi mungkin
nasehat ini disampaikan ketika Rasulullah sudah berada di Madinah, terutama
ketika melihat usia Abdullah bin Abbas yang baru bisa mencerna pembicaraan di
usia Madinah.Di Madinah, usia Abdullah bin Abbas adalah 3 - 13 tahun. Sementara
usia Abdullah bin Umar 11 - 21 tahun. Jadi jelas bagi kita, nasehat untuk Abdullah
bin Abbas adalah nasehat untuk anak-anak. Sementara nasehat untuk Abdullah bin
Umar adalah nasehat untuk remaja dan dewasa.
Kini, mari kita selami suasana dan cara Nabi menguntai nasehat untuk dua usia
berbeda itu. Semoga menjadi pelajaran bagi setiap orangtua.
1. Abdullah bin Abbas dinasehati Nabi saat sedang dibonceng di belakang Nabi
yang sedang mengendarai kendaraan. Suasana ini sangatlah indah. Sedang
santai. Seorang anak cenderung menikmati suasana berkendara. Apalagi
kendaraan itu seekor binatang. Sangat anak-anak suasananya. Ini adalah
sebuah momentum mahal yang seringkali terlewatkan oleh orangtua. Saat
berdua di atas kendaraan, adalah saat yang tepat untuk memasukkan nilai
kepada anak-anak. Sayangnya, perjalanan seringkali hanya kumpulan pita
tanpa suara. Atau kalau ada suara, tanpa makna. Suasana senang dan
nyaman adalah momentum yang sangat tepat untuk memberi mereka
nasehat. Dan inilah salah satu penyebab mandulnya nasehat orangtua hari
ini. Karena nasehat itu seringkali hadir dalam suasana penuh amarah dan
menegangkan. Jika demikian, bagaimana bisa menembus dinding hati anakanak kita?
2. Abdullah bin Umar dinasehati Nabi dengan disentuh pundaknya. Sebuah
kontak fisik yang selalu memberikan kenyamanan dan kedekatan bagi anakanak. Terutama usia remaja atau dewasa yang terasa lebih jauh dari orangtua
karena merasa telah besar. Kedekatan dan kenyamanan itu sangatlah mahal.
Dan ini merupakan kunci rahasia nasehat Nabi yang sangat tajam dan jitu,
mampu menembus karang hati yang terjal sekalipun. Nabi memang sangat
ringan menyentuhkan tangannya di bagian fisik manapun dari anak-anak
yang dijumpainya.
Sentuhan fisik orangtua bagi anak-anaknya akan memberikan kenyamanan dan
kedekatan. Jadi, jangan pelit menyentuh mereka. Apalagi, jika sentuhan itu hadir
dari orang-orang yang mengagumkan di hati anak-anak. Pasti dahsyat!

Usia Berbeda, Bahasa Berbeda

Nasehat dahsyat Rasulullah itu pernah melahirkan pemimpin dunia Abdullah bin
Abbas dan Abdullah bin Umar. Sudah seharusnya, kita menggali mutiaranya untuk
bisa melahirkan orang yang sama.Ternyata Nabi menggunakan susunan bahasa
yang berbeda saat menasehati dua anak yang berbeda usia tersebut. Mari kita
rasakan bahasa Nabi untuk keduanya.Ini adalah nasehat Rasulullah untuk anak
Abdullah bin Abbas. Rasulullah menggunakan mukaddimah sebelum menasehati.
Nak, aku akan mengajarimu beberapa kalimat, semoga Allah memberimu manfaat
dengannya.
Mengingat, usia anak-anak yang cenderung asyik dengan permainannya, sering
teralihkan oleh sekelilingnya, pendek konsentrasinya. Maka, menasehati dengan
pembukaan beberapa kalimat akan memasukkan anak dalam frame konsentrasi.
Sehingga seorang anak siap menerima nilai-nilai yang akan disampaikan.
Dan sesungguhnya ini adalah metode al Quran. Ulama tafsir menyampaikan
tentang fungsi huruf muqothoah (huruf-huruf yang mengawali surat Al Quran
seperti: )adalah untuk menarik perhatian. Karena huruf-huruf tersebut
dikenal dengan baik oleh audiens (orang-orang Arab) tetapi tidak ada artinya.
Seperti sepotong puzzle yang membuat orang semangat untuk mencari wajah
utuhnya. Hal ini, akan membuat mereka penasaran dan mau mendengarkan pesan
ayat berikutnya. Demikian juga fungsi nida (kata panggilan seperti : wahai orangorang beriman, wahai orang-orang kafir). Mereka yang merasa beriman akan segera
membuka hati dan telinga mereka, karena panggilan telah datang.
Dalam hadits Nabi di atas ada panggilan: Wahai anak...
Sementara saat itu, tidak ada anak lain selain Abdullah bin Abbas. Ada seni
memanggil dalam hadits-hadits Nabi (insya Allah lain kali kita bahas). Kreatifitas
pendidik seperti inilah yang diperlukan agar dunia anak-anak pun penuh warna.
Dalam hadits Nabi juga adalah kalimat pembuka: aku akan mengajarimu beberapa
kalimat.
Ini mukaddimah, agar telinga segera dibuka, perhatian segera dinyalakan, akal siap
menerima dan hati siap menyimpannya.
Dan semua ini dihaluskan dengan sentuhan doa: semoga Allah memberimu
manfaat dengannya.
Mari kita biasakan lisan ini untuk selalu menyelipkan doa dalam setiap kalimat yang
diuntainya. Sebuah sentuhan hati yang mengawali sebuah nasehat yang akan
bersemayam dalam hati. Jadi, tak perlu khawatir. Anak usia SD hari ini sudah bisa
menerima berbagai nasehat berisi seperti nasehat Rasulullah untuk Abdullah bin
Abbas. Dengan konsentrasi tinggi. Asal menggunakan metode Nabi.
Ini sedikit berbeda dengan cara Nabi menasehati anak muda Abdullah bin Umar.
Abdullah bin Umar telah berinteraksi sangat sering dengan Rasulullah. Telah
tertanam pula rasa bangga dan kagum kepada pendidiknya itu. Sehingga anak
muda ini memang telah siap menerima nasehat. Bahkan dengan tanpa

mukaddimah sekalipun. Tetapi tetap jangan pelit melakukan sentuhan fisik. Karena
sentuhan fisik orang yang dikagumi akan sangat dalam membekas dalam hati.
Untuk menasehati anak Abdullah bin Abbas, Nabi memilih kalimat yang singkat,
padat dan mudah dipahami. Rasakan itu pada kalimat-kalimat Nabi berikut:
Jagalah Allah, Dia akan menjagamu.
Jagalah Allah, kamu akan menjumpai Nya ada di hadapanmu.
Kenalilah Dia dalam keadaan lapang, Dia akan mengenalimu di waktu sempit.
Jika kamu minta, mintalah kepada Allah.
Satu tema, titik. Satu tema, titik. Menjadi seperti sebuah doktrin yang disampaikan
bahkan tanpa penjelasan. Karena kalimat-kalimatnya mudah dipahami oleh seorang
anak, sehingga sang anak akan mengurai sendiri kalimat itu dalam dirinya.
Membuatnya lebih cerdas, membuatnya hidup dalam pemahaman khas miliknya.
Hal ini berbeda dengan kalimat Nabi untuk Abdullah bin Umar yang telah memasuki
usia remaja yang telah tumbuh dalam bimbingan nubuwah. Rasakan kalimat berikut
ini:
Jadilah kamu di dunia ini seakan seorang yang asing (pengembara) atau
penyeberang jalan.
Kalimat singkat, filosofis dan kaya dengan ragam tafsir. Nabi tak hanya menasehati
sang anak muda. Tetapi juga ingin mengajari mereka untuk menghidupkan logika
berpikir yang kelak menjadi modal besar bagi kebesarannya. Sekaligus memberikan
penghargaan bagi usia mereka yang mulai tumbuh dewasa. Usia yang mulai ingin
menunjukkan bahwa ia telah besar, bukan anak-anak lagi. Dengan bahasa dewasa
seperti ini, dia pun merasa dihargai dengan usianya yang telah dewasa.
Bahkan kalimat filosofis ini pun disampaikan Nabi tanpa tafsir. Tapi lihatlah
penafsiran Abdullah bin Umar:
Jika kamu berada disore hari, jangan menunggu hingga pagi hari. Dan jika kamu
berada di pagi hari, jangan menunggu hingga sore hari. Manfaatkan sehatmu
sebelum datang sakitmu dan hidupmu sebelum matimu
Subhanallah, serasa jauh antara penafsiran Abdullah bin Umar dan pesan
Rasulullah. Tetapi ini adalah penafsiran yang amat dahsyat. Kita coba ikuti cara
berpikir Abdullah bin Umar.
Seorang musafir atau penyeberang jalan, tidak mungkin berhenti dalam
pengembaraannya atau di tengah jalan. Ada tempat tujuan atau tempat kembali.
Begitulah hidup di dunia ini. Sebuah perjalanan yang bukan merupakan tujuan
akhir. Maka, perbekalan selayaknya seorang musafir harus benar-benar matang.
Kesempatan kebaikan jangan disia-siakan. Karena waktu terbatas. Dan kita pun
akan segera pergi, menuju tempat tujuan utama dan abadi. Dengan inilah,
penafsiran Abdullah bin Umar seperti di atas tersampaikan.

Kata-kata Nubuwah selalu pilihan, pantas jika melahirkan orang-orang pilihan!

Menancapkan Konsep Keghoiban


Inilah yang banyak terlewat atau sengaja dilewatkan- dari dunia pendidikan anak
hari ini. Padahal konsep keghoiban adalah sebuah pundi-pundi simpanan yang
teramat mahal. Bahkan bisa lebih mahal dari semua konsep yang disampaikan
setelahnya.
Konsep keghoiban ini jika telah menancap tak goyah pada diri anak dan pemuda,
maka ini menjadi sebuah jaminan akan kebaikannya di kemudian hari. Menjadi alat
kontrol yang lebih dahsyat dari kamera cctv. Dalam Islam, dua kontrol ini harus ada;
kontrol fisik dan kontrol spiritual. Yang kedua lebih dahsyat dari yang pertama. Dari
sanalah kita paham, mengapa para khalifah selalu menyempatkan diri mengirimi
surat para pejabat di bawahnya. Isinya bukan selalu instruksi jabatan. Tetapi
mengingatkan akan kehidupan abadi yang lebih hakiki dengan pertanggungan
jawab seluruh amanah yang pernah diembannya.
Karena sumber ilmu pendidikan dan parenting hari ini dari barat yang tidak memiliki
konsep keghoiban, maka hal ini tidak dimasukkan dalam konsep pembelajaran.
Kalau pun ada hanyalah tambahan yang diletakkan di pojok sempit yang hampir
diabaikan. Sehingga, penguatan kontrol fisik sangat luar biasa. Mengingat hanya itu
yang tersisa. Maka, dalam satu gedung saja terdapat sekian banyak kamera
pengawas. Ini pasti melelahkan. Belum lagi ketika terlalu banyak cara untuk
mengakali semua pengawasan fisik tersebut.
Kini, terbayang betapa lelahnya para orangtua. Mereka sangat sadar bahwa
pengawasan yang diciptakan oleh rumah dan sekolah sangat-sangat tidak cukup.
Apalagi teknologi menjadikan dunia ini tak berbatas. Kebaikan dan keburukan
disuguhkan semuanya di sana. Siapa saja bisa memilih sesuai selera.
Sekarang kita paham. Kontrol hati dengan konsep keghoiban inilah yang hilang.
Rumitnya adalah sebagian konsep pendidikan sekarang tidak mengizinkan seorang
anak diajari hal abstrak. Mereka hanya bisa mencerna yang nyata. Otak mereka
belum siap. Untuk itulah konsep pengajaran keghoiban disingkirkan. Mereka tengah
membuang bongkahan emas!
Lihatlah kembali nasehat Nabi untuk Abdullah bin Abbas yang masih berusia SD dan
untuk Abdullah bin Umar yang telah memasuki usia pemuda. Kesemua isinya
menancapkan konsep keghoiban. Sentralnya adalah Allah!
Jagalah Allah, Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, kamu akan menjumpai Nya ada
di hadapanmu. Kenalilah Dia dalam keadaan lapang, Dia akan mengenalimu di
waktu sempit. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta
pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.
Tidak ada penjelasan bagaimana cara menjaga Allah. Allah perlu penjagaan? Akan
kita jumpai Allah ada di hadapan? Bagaimana cara mengenali dia di waktu lapang?

Subhanallah, sebuah keghoiban yang ditancapkan dalam keyakinan hati yang paling
dalam dan kokoh.
Justru di sini uniknya. Seorang anak yang biasa membuat sesuatu yang tidak
diinderanya menjadi nyata, akan mampu memaknai semua kalimat di atas lebih
dahsyat dari orang tua. Mereka bisa begitu dekat dengan Allah dalam makna yang
dia munculkan dalam dirinya sendiri. Akhirnya begitu menyatu mendarah daging.
Kecintaan, kekaguman, kerinduan, akhirnya ketaatan dan pengawasan Allah akan
meliputi seluruh kehidupan mereka.
Dengarkan kembali nasehat Nabi selanjutnya,
Jika seluruh makhluk ingin memberimu manfaat (menolongmu) dengan sesuatu
yang tidak ada dalam takdir Allah untukmu, mereka tidak akan sanggup
melakukannya.
Dan jika mereka ingin membahayakan dirimu dengan sesuatu yang tidak ada
dalam takdir Allah padamu, mereka tidak akan sanggup melakukannya!
Sebuah konsep keghoiban kembali ditancapkan. Keyakinan sedang dibangun;
bahwa tidak ada gunanya konspirasi makhluk sebanyak dan sebesar apapun jika
tidak diizinkan Allah. Begitu pula rencana baik semua makhluk untuk membantu
kita. Saat tidak bertemu dengan takdir Allah, maka pasti tidak akan terjadi.
Pasti sudah terbayang hasil generasi yang tertancap dalam dirinya konsep ini.
Mereka tidak bersandar kepada makhluk. Sadar bahwa makhluk hanyalah sandaran
yang lemah.
Mereka juga menjadi orang yang sangat kuat dan tegar. Tidak goyah hanya oleh
semua jenis tipu daya dan konspirasi makhluk. Karena mereka punya Allah!

Kisah Setangkai Anggur untuk Pendidikan


Adz Dzahabi dalam Tarikhul Islam ketika menyebutkan biografi Al Hakam bin Al
Walid Al Wuhadzi Al Himshi salah seorang Shighor At Tabiin, menyebutkan riwayat
kisah ini dengan teks,













:



:
Dari Abu Busr berkata: Aku diutus ibuku untuk memberikan setangkai anggur
kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, tapi aku memakannya. Maka, jika Nabi
melihatku beliau berkata: Pelanggar amanah, pelanggar amanah.
Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir juga menyampaikan tentang biografi Al Hakam
dan menyebutkan riwayat ini,

:












:





:
!


:


Dari Abdullah bin Busr: Ibuku mengutusku kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam
untuk memberikan setangkai anggur, tapi aku memakannya. Ibuku bertanya:
Apakah Abdullah telah memberimu setangkai anggur? Beliau menjawab: Tidak.
Maka jika beliau melihat saya, beliau berkata: Pelanggar amanah, pelanggar
amanah.
Ibnu Adiy dalam Al Kamil dengan sanadnya meriwayatkan hadits ini dengan lafadz
persis seperti lafadz Al Bukhari di atas.
Ibnu Nuqthoh Al Baghdadi dalam Ikmal Al Ikmal meriwayatkan hadits ini dengan
lafadz yang juga sama dengan riwayat Al Bukhari. Ibnu Hajar dan Lisan Al Mizan
meriwayatkan dengan lafadz yang sama. Abul Hasan Alin bin Abdillah bin Ibrahim Al
Hasyimi dengan sanadnya ia meriwayatkan kisah yang juga sama lafadznya
(lihat:Majmu fihi Asyratu Ajza Haditsiyyah). Demikian juga dengan Abu Nuaim Al
Ashafani dalam Ath Thibb An Nabawi.
Adapun Ibnu Sunni dalam Amalaul Yaumi Wal Lailah meriwayatkan dengan
tambahan lafadz dan An Nawawi mengambil riwayat ini dalam Al Adzkar. Berikut
teksnya,



:
















Dari Abdullah bin Busr Al Mazini radhiallahu anhu berkata: Ibuku mengutusku
kepada Rasulullah untuk membawa setangkai anggur, tapi aku makan sebelum
sampai kepada beliau. Ketika aku datang, beliau menjewer telingaku dan
berkata:Hai pelanggar amanah.
Al Khathib Al Baghdadi dengan sanadnya meriwayatkan kisah di atas, hanya saja
dengan tambahan lafadz:
Ketika aku menemui beliau, beliau mengusap kepalaku dan berkata: Hai pelanggar
amanah.
Adapun riwayat Ibnu Majah dalam Sunan nya, meriwayatkan kisah setangkai anggur
tetapi bukan pada sahabat Abdullah bin Busr melainkan sahabat An Numan bin
Basyir,





" :

-






-

:








" :


"




: . :

"


Dari Numan bin Basyir berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadiahi anggur
dari Thaif. Beliau memanggil saya dan berkata: Ambil setangkai anggur ini dan
sampaikan kepada ibumu. Maka aku memakannya sebelum sampai kepada ibuku.
Setelah beberapa malam, beliau bertanya kepadaku: Apa kabarnya setangkai
anggur? Apakah telah kamu berikan kepada ibumu? Aku berkata: Tidak. Maka
beliau menamaiku dengan: Ghudar (pelanggar amanah).
Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Al Mizzi dengan sanadnya dalam Tahdzib Al
Kamal dengan sedikit tambahan: Maka aku memakannya di jalan.

Kemudian Al Mizzi menjelaskan:


Menurut penulis kitab Al Athraf, hadits Ibnu Irq dari ayahnya dari An Numan bin
Basyir adalah riwayat yang rancu. Dia berkata: yang benar adalah riwayat Ibnu Irq
dari Abdullah bin Busr. Tetapi dia tidak memberikan dalil (atas pernyataannya ini).
Padahal sangat mungkin keduanya benar. Bahwa ini adalah dua kisah yang
berbeda. Wallahu alam
Maka inilah kesimpulan dari kisah setangkai anggur ini,
1. Ada dua peristiwa yang berbeda, menurut Al Mizzi
2. Kisah pertama terjadi pada Abdullah bin Busr yang diamanahi ibunya untuk
memberikan anggur kepada Rasulullah
3. Kisah kedua terjadi pada An Numan bin Basyir yang diamanahi Rasulullah
untuk memberikan anggur Thaif kepada ibunya
4. Kedua kisah tersebut sama-sama terjadi pada anak yang masih kecil
5. Kedua kisah tersebut sama-sama tidak sampai amanahnya
6. Tapi terdapat pernyikapan yang sama: Teguran
7. Teguran itu berupa: Pertama, kalimat (Hai pelanggar amanah), melihat
teks-teks di atas maka kalimat itu tidak hanya disebutkan sekali. Tetapi
beberapa kali di beberapa pertemuan, beliau mengingatkan dengan teguran
kalimat tegas ini. Kedua, tindakan menjewer telinga. Ketiga, tindakan
mengusap kepala
Kisah setangkai anggur tersebut memberikan inspirasi mahal. Pertama, mari kita
belajar menggali lebih dalam ketika ada kisah yang dirasa sama namun berbeda.
Bagaimana menelusuri riwayat-riwayat yang telah disebutkan para ulama.
Khilafiyah mungkin saja terjadi. Yang terpenting bukan klaim siapa yang benar dan
siapa yang salah. Tapi bagaimana proses menggali dan menelusuri ilmu hingga
sampai pada kesimpulan yang akan menjadi hujjah argumen ataupun tindakan kita.
Kedua, dari sisi aplikasi dan penerimaan, mungkin berat bagi kita yang terbiasa
mendapat ilmu parenting bukan dari sumber Islam untuk menerima panggilan yang
diberikan Rasul kepada anak-anak yang tidak memegang amanah yang diberikan
pada mereka. Tapi justru di sinilah ada pelajaran luar biasa: bahwa Islam
menempatkan amanah di tempat yang sangat penting hingga Rasul sampai perlu
memanggil anak-anak tersebut dengan panggilan yang tidak nyaman bagi mereka.
Anak-anak dengan fitrah yang baik tidak akan nyaman dengan panggilan itu dan
akan membuktikan dirinya tidak seperti itu.
Bila ada yang berpendapat sebaliknya, mungkinkah kita yang tidak meyakini fitrah
baik yang ada di anak-anak kita.

Guru yang selalu di hati

Pagi ini saya membuka facebook. Di inbox saya ada satu pesan. Saya pun
membukanya dan subhanallah, teman lama saya saat kuliah dulu yang terakhir
bertemu sekitar 10 tahun lalu. Teman yang berasal dari timur tengah ini
menanyakan keadaan saya dengan bahasa yang kaya dengan doa dan sentuhan
hati.
Saya pun membuka wall nya. Dan kembali kejutan itu menggedor-gedor hati saya.
Teman saya itu menuliskan tentang salah satu syekh masjid nabawi (rahimahullah,
beliau sudah meninggal saat kami masih di Madinah), yang dulu kami biasa duduk
di majis beliau dari Maghrib sampai Isya. Tiba-tiba suasana yang sebenarnya sering
hadir pada diri saya itu, kembali tergambar dengan sangat jelas. Kerinduan kepada
guru kami itu membuncah. Air mata pun tak terbendung
Ini saya nukilkan tulisan teman saya yang semoga Allah selalu memberkahinya,
... :
. .
. .
...
. .
.
Syekh Athiyyah Muhammad Salim yang saya kenal: Sungguh saya mengenal Syekh
Athiyyah sebagai seorang ahli ilmu, ensiklopedi yang begitu menonjol. Beliau
adalah ahli fikih yang sangat menguasai permasalahan detailnya. Beliau adalah ahli
ushul fikih yang membuat kaidah-kaidah ilmu syariat. Beliau adalah ahli maqashid
yang memahami ruh syariat dan kandungannya. Beliau adalah qodhi yang
mengumpulkan antara fikih jiwa dan fikih perbedaan. Beliau adalah ahli tafsir yang
jika telah mulai menafsirkan Al Quran, beliau berputar jauh dan mengumpulkan
untuk Anda mutiara-mutiara...siapa yang hadir di majlisnya di Masjid Nabawi, pasti
merasakan pancaran ruh ajaib yang menyentuh setiap hati. Nasehat yang paling
sering beliau sampaikan kepada kami adalah menghormati ulama dan memuliakan
mereka.
Ya Allah rahmatilah Syekh kami. Letakkan beliau di lapangnya Surga Mu. Dan
Berikan balasan pahala terbaik bagi seorang syekh yang telah berjasa pada muridmuridnya. Allahumma Amin
Amin...Amin...Amin...Ya Robb...
Sungguh semua tulisan itu benar. Bahkan barisan kata-kata tak akan mampu
menggambarkan rasa dan tak memberikan semua hak beliau. Rahimahullah....
Bahkan saya secara pribadi belum pernah menjumpai sampai hari ini seorang ahli
ilmu yang menggabungkan antara kedalaman ilmu dan keluasan pengetahuan
melebihi beliau serta sentuhan jiwa yang begitu lembut dan menyentuh. Saya
teringat saat mendengarkan kaset di mana beliau sedang menguji disertasi S3
Syekh DR. Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi (sekarang salah satu kibar ulama
Saudi dan pernah menjadi dosen di Universitas Islam Madinah, juga salah satu

syekh di Masjid Nabawi). Disertasi luar biasa yang berjudul Hukum Bedah dalam
tinjaun Fikih itu, diuji dan dikritisi sangat dalam oleh Syekh Athiyyah.
Sangat terlihat kedalaman ilmu dan keluasan wawasan. Teringat saat beliau
bertanya dari mana didapat semua informasi kedokteran di disertasi ini. Dijawab
bahwa ada diskusi rutin dengan para dokter. Kemudian beliau bertanya salah satu
statemen kedokteran. Dijawab bahwa itu juga pernyataan dokter. Kemudian beliau
berkata kalau ini statemen dokter, maka sungguh ia telah salah. Kemudian beliau
menjelaskan dari sisi ilmu kedokteran. Subhanallah...
Selain semua kenangan indah ini, ada sisi yang saya ambil pelajaran. Yaitu, kita di
negeri ini benar-benar sedang kekurangan pendidik sejati yang selalu didoakan oleh
murid-muridnya, dikenang selalu bahkan ketika telah tiada.
Tak ada rangkaian kalimat seindah kalimat teman saya di atas. Padahal sang guru
telah pergi menghadap Allah yang Maha Rahim lebih dari 10 tahun yang lalu.
Tentu ini keprihatinan luar biasa. Guru yang tak lagi bisa digugu dan ditiru. Guru
yang hanya mengejar uang dan jabatan. Guru dengan krisis moral. Guru hanya
merupakan kumpulan ilmu terbatas tanpa ada aura ruh yang ditebarkan dari
hatinya yang paling dalam.
Sementara murid-murid tidak diajari adab. Mereka tidak mempunyai penghargaan
terhadap orang yang pernah mengajarinya ilmu. Mereka jauh dari nilai. Mereka
menganggap bahwa guru hanya membebani dan mempersulit.
Musibah.....
Untuk melahirkan SDM peradaban ke depan yang istimewa, dicari para pendidik
yang bukan saja dalam ilmunya, tetapi berwawasan luas dan dengan kekuatan ruh
yang selalu terpancarkan di mana dia berada, memenuhi ruang-ruang pendidikan
dan masuk ke relung hati yang paling dalam.

An Nawawi yang Tidak Cerdas


An Nawawi siapa? Apa An Nawawi ulama besar abad 7 hijriyah itu? Ulama ternama
asal Syiria? Maksudnya An Nawawi penulis Arbain danRiyadhush Shalihin?
Ya, ya...benar. Beliaulah yang akan kita bahas di sini.
Tapi mengapa judulnya seperti itu?
Bukannya beliau adalah ulama luar biasa. Sangat cerdas. Dengan karya yang lebih
panjang dari usianya. Rujukan utama dalam madzhab Syafii. Penulis berbagai
bidang ilmu.
Benar. Semua benar.
Tapi sabar dulu. Mari kita ikuti penuturan An Nawawi sendiri,
Ibnu Al Aththar berkata: Syekh (Imam An Nawawi) bercerita kepada saya: Ketika
umur saya 19 tahun, saya dibawa oleh ayah saya ke Damaskus pada tahun 49
(maksudnya: 649). Saya tinggal di Madrasah Ar Rawahiyyah. Aku tinggal di sana

sekitar 2 tahun. Belum pernah aku letakkan punggungku ini di tanah. Makananku
hanya sekadar yang disediakan oleh Madrasah, tidak ada yang lain.
Aku hafal Kitab At Tanbih dalam 4,5 bulan.
Dalam 2 bulan pertama atau kurang dari itu aku membaca: Wajib mandi karena
masuknya Hasyafah dalam Farj.
Aku memahami (dari kalimat itu) artinya bunyi perut. Dan aku selalu mandi dengan
air dingin setiap perutku berbunyi. (Tarikh Al Islam, Adz Dzahabi)
Hasyafah dalam Bahasa Arab berarti kulit kemaluan laki-laki. Sementara Farj artinya
kemaluan perempuan.
Jadi sebenarnya pembahasan kitab At Tanbih yang sedang dipelajari dan dihafalnya
berbicara tentang hubungan suami istri yang mewajibkan mandi junub setelahnya.
Kitab At Tanbih adalah kitab ringkas tentang fikih. Sebagai kitab fikih bagi
pembelajar awal. Versi hari ini setebal 188 halaman (versi word). At Tanbih dihafal
(bukan sekadar dihafal atau dipelajari). Dalam 4,5 bulan kitab itu berhasil dihafal
oleh An Nawawi.
Saat ia mulai menghafal kitab itu, usianya sudah menginjak 19 tahun. Usia yang
tidak lagi muda bagi anak-anak muda hari ini. Bahkan sudah usia mahasiswa.
Ternyata An Nawawi tidak cerdas bahkan di usia mahasiswa. Memahami
pembahasan tentang hubungan suami istri. Dia pun tidak mengerti apa yang
dimaksud dengan hasyafah dan farj. Hingga dia menyimpulkan sendiri bahwa
artinya adalah bunyi perut. Untuk itulah, sebagaimana petunjuk fikih dalam kitab itu
yang mewajibkan untuk mandi, setiap perutnya berbunyi An Nawawi mandi dengan
air dingin, apapun cuacanya saat itu di Syiria.
An Nawawi tidak cerdas mengenai seksual, padahal usianya tak lagi muda; 19
tahun.
An Nawawi tidak cerdas tentang perempuan, hingga ia tidak paham sekadar
urusan suka lawan jenis.
An Nawawi tidak cerdas dalam hal ini. Tidak ada yang tersimpan di otaknya kosa
kata yang berhubungan dengan seksual. Sehingga dia kesulitan untuk memahami
kata yang sangat lazim digunakan dalam bahasa Arab dan Fikih itu.
Bandingkan itu dengan kecerdasan anak-anak hari ini. Usia 19 tahun mereka telah
menguasai dengan sempurna semua hal tentang seksual. Berbagai perbendaharaan
kosa kata seksual sudah tersimpan dengan sangat baik di otak mereka.
Anak-anak sekarang sangat cerdas membahas hal ini dalam setiap tulisan mereka.
Anak-anak sekarang sangat cerdas sehingga mereka sudah memahaminya seratus
persen dan bahkan sebagian telah mengamalkannya sebagai amanah otak
mereka.

Jangankan usia 19 tahun. Jauh sebelum itu pun mereka telah menguasai ilmu ini.
Ternyata jauh perbandingan An Nawawi yang tidak cerdas dalam masalah ini,
dibandingkan dengan anak-anak sekarang yang super cerdas.
Inilah salah satu kebanggaan zaman yang tertulis di balik tirai kalimat: Anak
sekarang pintar-pintar. Pengetahuan mereka sangat banyak, melebihi orangtuanya.
Inilah salah satu makna dari nyanyian zaman: Memang zamannya beda! Anak
sekarang biarpun masih kecil sudah pintar.
Selamat, anak Anda cerdas...!

Hamil, Melahirkan, Menyusui...


Lagi, tiga serangkai yang hari ini dirasakan hanya menjadi beban bagi kehidupan
seorang wanita. Dengarlah kalimat orangtua yang anaknya ketahuan hamil lagi
padahal anaknya yang pertama baru berumur satu tahun, Kamu hamil lagi??
Memangnya, kamu disekolahkan tinggi-tinggi, mahal-mahal, hanya untuk hamil
saja?
Dan kalimat ketidaknyamanan lainnya yang hadir bukan saja dari orangtua bahkan
dari orang sekelilingnya. Bagi seorang wanita yang melahirkan lagi dan lagi...
Belum lagi media sebagai guru besar masyarakat, yang sering menampilkan para
wanita yang mengesampingkan peran kehamilan, melahirkan dan menyusui.
Dampaknya, tarbiyah keluarga, masyarakat dan media itu menyebabkan kaum
hawa meletakkan kata hamil dan menyusui di sudut sempit dalam hidupnya. Jika
bisa tidak, mengapa harus iya. Kapok! kata seorang ibu sambil mengelus-elus
perutnya.
Bisa dibayangkan bagaimana suasana hati ibu yang seperti ini saat hamil,
melahirkan dan menyusui? Damaikah, senangkah, bahagiakah, atau sebaliknya.
Mari kita tanyakan kepada panduan utama manusia bahagia di dunia dan akhirat, Al
Quran.
Di dalam Al Quran disampaikan,














Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Qs. Luqman: 14)





























Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya

dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga


puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh
tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau
yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku
dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri." (Qs. AlAhqaf: 15)
Dua ayat tersebut, dimulai dengan perintah Allah langsung kepada seluruh manusia
agar berbakti kepada kedua orangtuanya. Dan subhanallah, setelah itu Allah hanya
menyebut peran ibu.
Dalam Surat Luqman disebutkan 2 hal: hamil dan menyapih susuan.
Sementara dalam surat Al Ahqaf disebutkan 3 hal: hamil, melahirkan, menyapih
susuan.
Jadi sangat jelas, betapa hamil, melahirkan dan menyusui hingga menyapihnya
adalah aktifitas sangat mulia yang langsung disanjung oleh Allah Pencipta seluruh
yang ada. Cukuplah ini menjadi jaminan kemuliaan.
Apalagi ketika tiga aktifitas ini dijadikan alat tukar bagi bakti seorang anak di
kemudian hari. Bakti anak tentu menjadi tumpuan orangtua yang paling
membahagiakan di usia senjanya kelak. Tidak ada orangtua yang tidak berharap
memiliki anak yang berbakti.
Jika demikian harapan orangtua. Jika demikian harga yang harus dibayarkan oleh
orangtua untuk membeli bakti anak.
Maka, mengapa hamil masih merupakan aktifitas rendah bahkan dicaci maki.
Lebih dari itu, ayat tersebut menyampaikan bahwa hamil memang penuh
perjuangan dengan susah payah, lemah bertambah lemah. Keadaan yang sulit ini,
seharusnya tidak ditambahi beban dengan berbagai tekanan.
Maka, mengapa melahirkan menjadi bahan ejekan.
Lebih dari itu, ayat tersebut menyampaikan bahwa melahirkan pun perlu
perjuangan yang tidak mudah. Sehingga seharusnya para ibu yang hamil ridho
melahirkan dengan rasa sakit dan perjuangan bertaruh nyawa. Bukan mudah
menyerah dan malas berjuang sehingga dikeluarkan oleh peralatan medis.
Maka, mengapa menyusui menjadi aktifitas yang menakutkan dan memusuhi
kecantikan.
Lebih dari itu, ayat tersebut sangat jelas memerintahkan hingga penyapihan. Dan
menyapih susuan yang sempurna selama dua tahun. Angka yang telah disebut ayat
15 abad yang lalu dan baru disepakati oleh para ahli kesehatan dunia pada abad
yang lalu.

Jadi, para ibu dan keluarga muslim, sudah seharusnya kita sadari bahwa hamil
penuh perjuangan, kesabaran dalam merasakan sakitnya melahirkan meregang
nyawa dan menyusui sempurna 2 tahun adalah harga yang harus dibayar oleh para
orangtua untuk hadirnya bakti anak di kemudian hari.
Menjadi sangat rumit, berharap memiliki sesuatu tetapi tidak mau memberikan
harganya. Karena setiap sesuatu ada harganya. Apalagi, ini adalah sesuatu yang
teramat mahal; bakti anak.
Pendidik seperti Sholeh bin Kaisan (Pencetak Umar bin Abdul Aziz)
Kebesaran seorang pendidik bisa dilihat dari hasil didikannya. Dunia hingga hari ini
belum bisa menduplikat pemimpin sesholeh dan sehebat Umar bin Abdul Aziz. Dia
adalah hasil dari perjalanan panjang sebuah pendidikan.
Agar kita sadar bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah karya besar para pendidiknya,
perlu diketahui beberapa hal,
1. Ayah dari Umar yaitu Abdul Aziz bin Marwan adalah seorang Gubernur Mesir
yang bertugas lebih dari 20 tahun. Sementara Umar bin Abdul Aziz besar dan
menuntut ilmu di Madinah, kota kelahirannya. Jadi keberadaan anak dan
orangtua yang berjauhan jelas memerlukan pengasuhan para pendidik yang
istimewa.
2. Umar bin Abdul Aziz bukan anak yang sudah mudah diatur sejak awal. Ada
beberapa kisah di masa kecilnya Umar yang menunjukkan bahwa gaya
seorang anak pejabat begitu lekat pada dirinya. Seperti menghabiskan waktu
untuk bersolek yang mengakibatkan terabaikannya kewajiban.
Juga kisah berikut ini,
Suatu saat Umar bin Abdul Aziz ditanya: Bagaimana kisah pertama kali kamu
menjadi baik?
Umar bin Abdul Aziz menjawab: Suatu saat saya ingin memukul pembantu saya. Dia
berkata kepada saya (Hai Umar, ingatlah suatu malam yang paginya adalah hari
kiamat)
Artinya, Umar bin Abdul Aziz yang memang cerdas dan sesungguhnya sangat
bersemangat belajar sejak awal usianya, juga mempunyai celah-celah diri yang
memerlukan seorang pendidik yang mampu mengubahnya menjadi ledakan potensi
yang dahsyat.
Salah seorang pendidik Umar bin Abdul Aziz yang langsung diserahi oleh ayahnya
adalah seseorang yang bernama: Sholeh bin Kaisan.
Kita harus mengenal Sholeh bin Kaisan. Sebagai petunjuk bagi para pendidik atau
pengasuh generasi yang diserahi amanah untuk mendidik anak orang lain.
Beginilah pendidik yang berhasil melahirkan pemimpin fenomenal tiada duanya di
bumi ini!

Sholeh bin Kaisan sebenarnya tadinya hanya seorang maula (mantan budak yang
dibebaskan) Bani Ghifar. Tapi begitulah, ilmu dan iman mengangkat seseorang.
Hingga para ahli sejarah dan ulama seperti adz-Dzahabi (dalam Siyar alam an
Nubala dan Tadzkiroh al Huffadz) menyebut Sholeh bin Kaisan sebagai berikut:
Al Imam, Al Hafidz, Ats Tsiqoh, salah satu ulama besar hadits. Sholeh
mengumpulkan ilmu hadits, fikih dan muruah (kewibawaan menjaga kehormatan
diri).
Dia adalah salah seorang ulama besar Kota Madinah.
Sebutan Imam, Hafidz, Tsiqoh adalah merupakan sebutan para ahli hadits yang
menunjukkan tingkatan ilmu yang sangat tinggi dan amanah serta kesholehan yang
tidak diragukan.
Dari semua sifat mulia inilah maka para pendidik hari ini bisa belajar. Bahwa
seorang pendidik harus benar-benar menghiasi dirinya dengan berbagai sifat mulai
tersebut. Setidaknya ada 3 sifat yang ada pada gelar-gelar bagi Sholeh bin Kaisan,
yang harus ada pada sifat para pendidik hari ini:
a. Ilmu yang mumpuni
b. Kesholehan yang tidak diragukan
c. Muruah (sebuah sifat yang menjaga seseorang dari rusaknya citra, walau hal
tersebut bukan dosa)
Sholeh bin Kaisan diberikan Allah usia yang panjang. Menurut sebagian riwayat,
Sholeh meninggal dengan usia lebih dari 100 tahun. Meninggal setelah tahun 140
H.
Dengan usia yang panjang itulah, dia bisa menyaksikan hasil didikannya yaitu Umar
bin Abdul Aziz saat menjadi Khalifah hingga Umar meninggal tahun 101 H.
Umar bin Abdul Aziz yang telah merasakan hasil didikan dalam dirinya yang telah
ditempa oleh Sholeh bin Kaisan, maka Umar juga menitipkan anak-anaknya agar
dididik juga oleh Sholeh bin Kaisan.
DR. Ali Ash Shallaby menjelaskan hal ini,
Seorang guru atau pendidik terhitung sebagai salah satu ruang sudut dalam proses
pengajaran. Umar bin Abdul Aziz telah memilih pendidik bagi anak-anaknya dari
orang terdekatnya, sangat dikenalnya dan sangat dipercayainya. (Lihat
buku: Umar ibn Abdil Aziz)
Orang itu adalah Sholeh bin Kaisan. Penjelasan ini selain menjadi pelajaran bagi
para pendidik, juga menjadi wejangan bagi para orangtua yang mau menitipkan
anak-anaknya dalam pendidikan. Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang ayah
menitipkan pendidikan dan pengasuhan anaknya kepada orang yang dikenalnya
betul dari semua sisi juga sangat dipercayainya.

Para pendidik arsyadakumullah (semoga Allah membimbing antum semua)-,


menjadi guru ataupendidik generasi bukanlah sekadar sebuah profesi yang
dengannya seseorang mendapatkan uang. Tetapi ini adalah amal mulia yang
membanggakan di sisi Allah.
Belajarlah dari Sholeh bin Kaisan. Seorang pendidik dengan keilmuwan yang tak
diragukan. Jangan berhenti belajar ketika telah menjadi guru. Karena inilah masalah
yang sering dijumpai dari para guru. Peningkatan ilmu hampir tidak terlihat saat
telah menjadi seorang guru.
Belajarlah dari Sholeh bin Kaisan. Seorang pendidik dengan kesholehan diri yang
tidak meragukan lagi. Karena anak didik kita tidak hanya mendengarkan ilmu yang
disampaikan. Tetapi juga melihat gerak-gerik para guru. Kesholehan guru adalah
sesuatu yang tidak terajarkan tetapi tertanamkan pada anak. Inilah bahayanya para
pendidik dengan ketidakjelasan moral. Bagaimana jadinya generasi ini, tanpa
pendidik yang sholeh.
Belajarlah dari Sholeh bin Kaisan. Seorang pendidik yang menghiasi dirinya dengan
kewibawaan seorang ahli ilmu. Dia menjaga dirinya bukan saja dari dosa. Tetapi
juga dari berbagai hal yang akan mencederai kewibawaan dirinya sebagai ahli ilmu.
Bisa jadi bukan dosa, tetapi karena perbuatan itu maka jatuhlah harga diri seorang
guru. Maka apalah jadinya anak-anak, jika para pendidik telah jatuh harga dirinya di
hadapan orangtua murid dan anak-anak.
Dicari pendidik seperti Sholeh bin Kaisan!
Untuk melahirkan anak didik seperti Umar bin Abdul Aziz

Ternyata Nasyid Itu Telah Tergantikan


Sebenarnya, nasyid adalah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam. Seperti
yang dituliskan oleh DR. Khalid Ahmad Asy Syantut dalam Tarbiyatul Athfal fil
Hadits Asy Syarif. Demikian juga dalam tulisan para ahli pendidikan Islam hari ini.
Walaupun, kita harus terlebih dulu mendengarkan definisi nasyid yang mereka
maksud. Karena hari ini nasyid telah bergeser turun ke dua tangga di bawahnya;
bermusik (keluar dari wilayah khilafiyah dianjurkan dalam syariat) dan syair tanpa
ruh (hal ini dipengaruhi di antaranya oleh niat yang telah bergeser kepada bisnis,
yang sedari tadinya berniat dawah). Nasyid yang dimaksud oleh para ahli itu
adalah nasyid yang terbebas dari kedua hal ini.
Oleh karena itulah, saya pernah menyampaikan kepada teman-teman yang dulu
menggeluti dunia nasyid agar membuat nasyid yang dimaksud, untuk menjadi

bagian dari kurikulum pendidikan buat anak-anak di masa kanak-kanak awal. Tapi,
teman-teman ini menolak. Kalimat penolakan paling lembut adalah: serahkan saja
kepada yang lain, kami baru saja hijrah.
Saya mencoba memahami dan mendalami rasa itu. Saya pun bisa merasakan
bahwa pergerakkan positif mereka dari bernasyid ria (yang terkadang kebablasan)
menuju Al Quran, inilah yang menyebabkannya. Hal ini semakin menguatkan dan
membenarkan penjelasan para ulama kita bahwa kebahagiaan, kesenangan,
ketenangan yang diberikan oleh Al Quran jauh lebih indah dibandingkan yang
disuguhkan oleh lagu-lagu dan nasyid. Siapa yang bisa merasakan perbedaan ini
tentu adalah mereka yang telah lama memenuhi kepalanya dan lirik nasyid dan
genderang bunyinya. Karena mereka punya perbandingan.
Maka menjadi aneh ketika orang-orang yang dahulu asyik menyanyi telah
berpindah kepada Al Quran dan tidak mau pindah lagi ke lagu atau nasyid,
sementara yang sejak lama bersama Al Quran justru berpindah ke sibuk
melantunkan lagu dengan dalih religi.
Tapi hanya sebatas itu yang bisa saya pahami dari penolakan tersebut.
Hingga saya membaca buku Syaikh Munir Ghodhban, pakar Siroh Nabawiyyah
dalam bukunya Al Manhaj Al Ilami Lis Siroh An Nabawiyyah. Buku ini berisi tentang
konsep media dalam Siroh Nabawiyyah. Media zaman itu diwakili perannya oleh
syair. Di akhir buku lebih dari 700 halaman itu, beliau menutup dengan
menyebutkan pilar sastrawan saat itu; 4 orang penyair handal yang dahulu
memusuhi Nabi, Al Quran dan muslimin kemudian semuanya mendapatkan
hidayah.
Syaikh Munir menyoroti satu hal penting. Di tengah bahwa syair saat itu mengambil
fungsi media sehingga berposisi strategis untuk menyampaikan ajaran syariat juga,
tetapi mereka semua berhenti bersyair justru setelah masuk Islam. Nyaris sudah
tidak ada lagi karya mereka di dunia sastra dan seni yang satu ini. Padahal jika
bicara tentang fungsi, jelas bahwa Syaikh Munir sendiri menulis buku ini untuk
menjelaskan bahwa posisi syair saat itu sangat strategis.
Pertanyaannya, mengapa?
Bukankah mereka ahlinya?
Bukankah posisinya strategis untuk Islam?
Sebelum mendapatkan jawabannya, inilah ke-4 penyair tersohor yang mendapatkan
hidayah itu:
Abdullah bin Az Zabara adalah penyair nomor wahid di Mekkah. Setelah ia masuk
Islam, ia menyampaikan permohonan maaf atas kekafirannya di masa lalu dan
pengingkarannya serta penghinaannya terhadap Al Quran.
Dhirar bin Al Khaththab al Fihri adalah penyair terkenal yang sangat memusuhi
Islam di masa lalunya dengan syair dan pedangnya. Ketika ia mendapatkan
hidayah, ia meminta maaf atas kebodohannya di masa lalu dan berharap kepada

Rasulullah untuk menyelamatkan Mekah dari kehancuran. Menurut Ibnu Hibban,


Dhirar ini adalah sastrawan nomor satu bahkan Abdullah bin Az Zabara pun kalah.
Abu Sufyan bin Al Harits adalah sastrawan besar Quraisy yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan Rasulullah. Menurut Ibnu Hajar dalam Al Ishobah, dia adalah
anak paman Rasulullah. Dia masuk Islam terlambat; pada peristiwa Fathu Makkah.
Masa lalunya pun sama dengan para penyair di atas, menghina dan menyakit
Rasulullah dan muslimin. Hingga akhirnya Nabi menyematkan harapan padanya
agar ia bisa menjadi pengganti Hamzah.
Labid bin Rabiah adalah orang yang paling tersohor dibandingkan ketiga penyair di
atas. Bahkan ia disebut sebagai penyair paling handal di seantero Arab. Karena ia
adalah salah satu pemilik ketenaran Al Muallaqot As Sabah (syair paling terkenal
yang ditempelkan di dinding Kabah). Bahkan Rasulullah pernah menyitir salah satu
bait syair yang dibuatnya dan disebut sebagai kalimat paling benar. Setelah masuk
Islam, hanya ada satu syairnya yang tercatat yang berisi tentang kesedihan atas
wafatnya Rasulullah.
Bahkan para penyair Rasulullah di Madinah yang sangat produktif di saat beliau
masih hidup pun berhenti bersyair sepeninggal Rasulullah. Mereka adalah Hassan
bin Tsabit dan Kaab bin Malik.
Kini mari kita simak penjelasan Syekh Munir Ghodhban, mengapa mereka
meninggalkan syair justru setelah masuk Islam padahal mereka ahlinya dan syair
adalah salah satu perangkat dawah Islam.
Setidaknya ada 3 jawaban:
1. Kami jumpai ia (Abdullah bin Az Zabara) berhenti bersyair, karena ia
berharap bisa mengejar kafilah muslimin dan mampu mendapatkan
ketertinggalannya di berbagai kesempatan.
2. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Ishobah: ketika
Umar menulis surat untuk pejabatnya di Kufah: Tanyakan kepada Labid dan
Al Aghlab Al Ijli, apa yang mereka lakukan dengan syair saat mereka telah
masuk Islam. Labid menjawab: Allah telah menggantikan syairku dengan
Surat Al Baqarah dan Ali Imron. Maka Umar pun menambahi pemberian
negara baginya.
3. Syekh Munir menjelaskan tentang Hassan dan Kaab yang dahulu bersyair
untuk Nabi dan muslimin, tapi akhirnya juga berhenti bersyair. Hal itu,
setelah keduanya melaksanakan peran terbesar mereka dalam syair
perlawanan dan peperangan di zaman Nubuwwah. Maka selanjutnya mereka
fokus pada perbuatan, setelah memaksimalkan peran mereka dalam perang
pedang dan perang pena. Ya,Mengejar ketertinggalan Telah digantikan
dengan Al Quran Dan... Telah tiba masa berbuat! Sekarang saya semakin
paham

Penelitian Ilmiah tentang Pernikahan Belia dan Manfaatnya


Pernikahan belia adalah sesuatu yang diperintahkan Nabi yang mulia sebelum 14 abad yang lalu. Hari
ini, para peneliti menemukan bahaya memperlambat pernikahan dan menjauhinya. Bahkan mereka
mengulang-ulang kalimat Nabi yang agung tanpa mereka sadari.
Setiap para ilmuwan mengungkap sebuah ilmu yang baru, selalu dijumpai ternyata Nabi alaihish sholatu
wassalam tidak pernah terlewatkan menyebutnya! Al Quran adalah kitab ajaib yang mencakup rahasia
langit dan bumi. Dan sunnah tanpa diragukan lagi- bahwa ia juga wahyu dari Allah tabaraka wataala.
Untuk itulah, ia seperti Al Quran yang mencakup rahasia, keajaiban dan mujizat yang tak terhitung
jumlahnya.
Sebelum saya paparkan kepada para pembaca tercinta penemuan para ilmuwan terakhir tentang
pernikahan belia, saya ingat bagaimana kaum atheis dan sekuler menghina hadits-hadtis
Nabi shallallahu alaihi wasallam. Di mana mereka mengolok-olok pernikahan belia yang tercantum
dalam sabda Nabi: (Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kesanggupan
maka menikahlah). Mereka berkata: sesungguhnya Muhammad tidak mempunyai ambisi apapun kecuali
masalah pernikahan dan anak.
Tetapi datanglah ilmu yang mengungkap kebenaran Nabi dan dustanya pernyataan kaum atheis itu!
Sejak beberapa tahun yang lalu, semenjak meningkatnya masalah penyakit AIDS dan penyakit-penyakit
seksual lainnya yang menimpa jutaan manusia yang disebabkan oleh zina dan perbuatan keji, para
peneliti menyerukan pentingnya pernikahan belia untuk menjaga kesehatan individu dan
menyelamatkannya dari kematian yang disebabkan oleh kekejian dan kelainan seksual tersebut.
Para ilmuwan menemukan bahwa pernikahan terlambat, yaitu yang terjadi setelah usia 40 tahun
mempunyai keburukan-keburukan sosial dan psikologis. Keadaan psikologis manusia sangat membaik
ketika ia mempunyai pasangan dan anak. Sebagian penelitian pun mengamati bahwa mereka yang tidak
menikah dari kalangan orang-orang berusia tua, lebih berluang besar terkena serangan jantung dan
keguncangan jiwa.
Kemudian datanglah sebagian penelitian yang menguatkan pentingnya pemenuhan sisi perasaan pada
diri manusia agar ia menikmati kesehatan yang lebih baik. Mereka menguatkan bahwa orang-orang yang
menikah lebih bahagia dan memiliki imunitas tubuh yang lebih kuat dibandingkan mereka yang lebih
memilih hidup sendiri tanpa pasangan. Di sinilah terlihat dengan jelas kebenaran firman Allah:
)
(
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (Qs. Ar Rum: 21)
Ayat ini mengisyaratkan ketenangan jiwa yang terjadi pada manusia setelah ia menikah dengan kata (
= Agar kalian tenang). Ayat juga mengisyaratkan untuk pemenuhan sisi perasaan dengan firman
Nya ( = rasa kasih dan sayang). Ini adalah kemujizatan ilmiah yang tidak diketahui oleh seorang
pun masa itu. Bahkan para rahib menduga bahwa pernikahan itu membahayakan manusia, maka mereka
pun menjauhi pernikahan. Karenanya Rasulullah melarang: Tidak ada kerahiban dalam Islam!

Pada penelitian yang lain, para ilmuwan mendapati bahwa orang yang menikah mempunyai kemampuan
lebih besar untuk berkontribusi dan berinovasi. Wanita yang menikah mempunyai lebih banyak kekuatan
cinta, kelembutan dan karya. Penelitian menyatakan bahwa mereka yang telah tua dan belum menikah
mempunyai kecenderungan perilaku permusuhan dibandingkan yang lain. Di waktu bersamaan mereka
mempunyai kecenderungan untuk menyendiri. Hal itu disebabkan mereka menyalahi sunnah kauniyah
dan tabiat.
Adapun penelitian yang paling terakhir sebagaimana yang dipublikasikan oleh Koran Daily Mail Inggris
tentang fenomena aneh yang diamati oleh para peneliti di Universitas Aarhus, Denmark (Ini adalah
negara yang mempunyai prosentase pemahaman atheis yang sangat besar), setelah mereka melakukan
penelitian terbesar di bidang ini di mana dilakukan pada 100.000 anak. Mereka mendapati bahwa anakanak yang dilahirkan dari ayah yang berusia belia mempunyai umur lebih panjang dibanding yang
lainnya. Pernikahan terlambat pun menyebabkan kelahiran anak yang mempunyai prosentase
keguncangan lebih besar.
Di tengah pengamatan mereka terhadap 100.000 anak itu, mereka membuat statistik detail tentang
kesehatan anak-anak. Dan mereka mendapati bahwa anak-anak yang meninggal sebelum berumur 1
tahun berjumlah 831 anak. Kebanyakannya terlahir dari para ayah yang terlambat dalam menikah.
Mereka juga menemukan yang lain dalam penelitian ini seperti perbedaan tingkat kecerdasan dan yang
lainnya. Inilah kalimat mereka yang mengingatkan tentang bahaya terlambatnya pernikahan:
The researchers warned: The risks of older fatherhood can be very profound and it is not something that
people are always aware of.
Yaitu, para peneliti mengingatkan para ayah yang terlambat, membawa resiko bahaya dan dalam yang
tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Dan mari kita lihat bagaimana para peneliti Denmark menyerukan
dan mengingatkan bahaya menjadi ayah terlambat (padahal mereka adalah ilmuwan yang
kebanyakannya atheis dan tidak mengakui Islam).
Maka saya katakan: Subhanallah! Bukankah ini yang seruan Nabi Muhammadshallallahu alaihi
wasallam 14 abad yang lalu!!

Hak-hak Anak dalam Al Quran


(Bagian 1)
Islam sangat memperhatikan hak manusia, termasuk hak anak. Bahkan, anak
memiliki hak-hak yang harus ditunaikan orang tuanya jauh sebelum mereka
dilahirkan. Menurut Muhammad Salamah Al Ghunaimi, tiga hak anak dari orang
tuanya adalah:
1. Haknya mendapatkan kedua orang tuanya yang sholih
Pertama, hak anak atas bapaknya adalah memilihkan baginya ibu yang sholihah.
Begitu pula hak anak atas ibunya adalah memilihkan bapak yang sholih, yang
bertakwa kepada Allah ketika mendidiknya.
Kedua orang tua akan memberikan pengaruh yang besar kepada anak-anak
mereka, baik itu pengaruh genetik maupun lingkungan. Beberapa ayat yang
memerintahkan kepada kita untuk memilih pasangan suami atau istri dengan baik
adalah sebagai berikut,


Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (QS. Al Baqarah:221)



Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah;
dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.
Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang
yang bersyukur. (QS. Al Araf:58)



Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka

dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(QS. An Nur:32)

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An Nisa:34)

Al Qaanitaat adalah istri-istri yang taat terhadap suami-suaminya. Menjaga ketika


tiada. Menjaga anak-anak, harta, serta diri-diri mereka. Allah Taala berfirman,

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
(yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS. An
Nur:26)

2. Haknya untuk hidup


Allah Taala telah mengharamkan membunuh jiwa seseorang secara umum

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakanakan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan

manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul


Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di
antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi. (QS. Al Maidah:32)

Allah mengkhususkan penjelasan tentang keharaman membunuh anak, untuk


menjelaskan akan besarnya kasih sayang dan perhatian Allah terhadap anak-anak.
Menekankan bahwa dosa membunuh anak-anak, termasuk dosa yang sangat keras.
Serta untuk menghadirkan sebuah rasa bahwa anak ini merupakan makhluk
merdeka yang hadir di antara mereka dan diperlakukan sebagai manusia yang baru.

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya
kamu memahami(nya). (QS. Al Anam 151)


Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah
yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al Isra:31)

3. Hak Anak dalam pemberian nama


Semua yang ada di alam semesta ini mempunyai nama yang dengannya mereka
dikenali. Terlebih manusia, yang Allah tundukan baginya segala sesuatu di alam
semesta ini. Maka haruslah ia mempunyai nama yang dengannya ia dikenal di dunia
dan di tempat yang tertinggi (surga). Selain itu, nama mempunyai pengaruh yang
besar pada kepribadian anak.
Berikut ayat yang akan menjelaskan kepada kita tentang hak seorang anak dari
orang tuanya yaitu pemberian nama.

.



(Ingatlah), ketika istri Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan
kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan
berkhidmat (di Baitul Makdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Maka
tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih
mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon
perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan)
Engkau daripada setan yang terkutuk." (QS. Ali Imran 35-36)

Mari kita perhatikan dalam ayat tersebut, istri Imran bernadzar untuk
menghibahkan anaknya yang masih ada di perutnya untuk berkhidmah di Baitul
Maqdis. Dengan sangkaan bahwa anak yang ia kandung adalah laki-laki. Kemudian
ia melahirkan anak perempuan. Tetapi, walaupun anak yang dilahirkannya tidak
sesuai dengan yang ia harapkan, ia tidak lalai untuk memberikan hak kepada
anaknya. Maka ia pun memilih nama yang baik yaitu Maryam yang artinya adalah
wanita yang gemar beribadah.

Hak ini merupakan hak yang telah Allah jadikan dalam syariat-syariat agama
sebelum kita, lalu kemudian Islam menetapkannya sebagai syariatnya. Dari Abu
Darda, semoga Allah meridhainya, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam
bersabda,

(23 /36 )
"Sesungguhnya kalian pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-nama kalian
dan nama-nama bapak kalian. Maka perbaguslah nama-nama kalian". (HR. Ahmad)


Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan
(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah
menciptakan orang yang serupa dengan dia. (QS. Maryam:7)

Allah memberikan kabar gembira kepada Zakariya akan berolehnya anak. Allah pun
memilihkan bagi anak tersebut, nama yang belum pernah dipakai kepada siapapun
sebelumnya: Yahya

Kenapa Takut Kalau Ikut Syariat?


Suatu ketika Ustadz Budi Ashari, Lc menanyakan sebuah pertanyaan kepada
peserta seminar Parenting Nabawiyah di Bogor. Pertanyaannya sepertinya mudah,
dan jawabannya pun sudah tersedia, tinggal memilih.
Begini pertanyaannya:
Ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, mana yang lebih mudah sebenarnya,
menjadikan anak kita rusak atau menjadikan anak kita sholih?
Dan serta merta kebanyakan peserta seminar menjawab dengan suara lantang dan
tegas : RUSAK
Ketika Ustadz Budi Ashari menanyakan kembali, Yakin?
Maka sebagian mulai tampak berpikir keras, dan sebagian lagi masih yakin dengan
jawaban semula.
Ustadz Budi pun mengingatkan :
Bukankah kita semua meyakini bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah
(Islam), orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani?
***
Demikianlah sekilas percakapan singkat pembuka seminar yang saya yakin
seharusnya menjadi pertanyaan penting bagi semua orang tua saat ini.
Kekhawatiran demi kekhawatiran terjadi di tengah masyarakat. Orang tua mulai
resah bahkan ketakutan luar biasa dengan hal-hal negatif yang muncul dalam
proses pendidikan anak-anak lain akibat dampak dari berbagai artikel dan liarnya
berita di media sosial.
Ada dua hal utama yang harus menjadi bahan perenungan kita:
Bila kita meyakini anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka bukankah
lebih mudah bagi mereka diarahkan untuk menjadi anak sholih? Karena mereka
bukanlah kertas putih yang tak bertuliskan apa pun. Mereka adalah Muslim. Mereka
Muslim bahkan sebelum mereka dilahirkan. Mereka diikat kesaksian suci dalam jiwa
mereka oleh Allah di alam ruh.







Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman):
Bukankah Aku adalah Tuhan-Mu", dan dia saat itu telah menjawab: "Ya Engkau

adalah Tuhanku dan aku bersaksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
lupa terhadap (persaksian) ini. (QS. al-Araaf; 7:172)

Masih mau berpikir bahwa anak kita adalah kertas putih yang tak punya
kecenderungan apa pun? Percayalah, mereka cenderung kepada fitrah, mereka
cenderung kepada jalan yang sudah ditentukan kepada mereka bahkan sebelum
mereka dilahirkan.
Maka bukankah menjadi aneh, bila manusia yang diciptakan dalam keadaan fitrah
lebih mudah untuk mengikuti yang bukan fitrah? Bukankah bila mengikuti fitrah
semestinya hanya tinggal meneruskan dan tidak perlu mengubah apa-apa lagi?
Sebaliknya bila ingin anak rusak, bukankah justru butuh usaha keras luar biasa
untuk melakukannya karena melawan fitrah?
Namun semua seakan terbalik. Orang tua yang sholih dan mengharapkan anakanak mereka sholih dilanda ketakutan yang luar biasa. Kekuatiran yang bahkan tak
mampu ditekan oleh mereka.
Kenapa?
Karena ternyata orang tua nya masih juga bingung menentukan harus lewat jalan
yang mana untuk melangkah dalam mendidik anak-anak mereka. Dunia yang
melenakan mengaburkan kesucian fitrah itu. Semua seakan baik, semua seakan
benar. Ikut arus,trend, dan latah. Hingga tak punya cukup kepercayaan diri untuk
mencukupkan diri dengan: IKUT SYARIAT SAJA.
Abdullah bin Masud Radhiyallahu anhu berkata :







:




Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya
kemudian bersabda: Ini jalan Allah yang lurus. Lalu beliau membuat garis-garis di
kanan kirinya, kemudian bersabda: Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai
(sesat) tidak satupun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaithan yang
menyeru kepadanya.
Selanjutnya beliau membaca firman Allah Azza wa Jalla: Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-berai-kan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu
bertaqwa. [Al-Anam: 153]

Jadi kenapa masih takut? Ikut syariat saja, biar Allah yang melindungi anak-anak
kita.
Sertai mereka selalu dalam doa dan sujud panjang kita

Allahu alam bish-shawab.

Agar Tak Sempat Maksiat

Maraknya maksiat di generasi muda negeri ini nyaris menyentuh titik biasa dan
lazim. Mereka telah matang biologisnya tetapi tunas iman belum lagi tumbuh.
Berbagai pembentengan yang dilakukan oleh orangtua, sekolah dan negara tak lagi
mampu melindungi mereka. Gelombang besar syahwat telah meruntuhkan
benteng-benteng itu. Karena seberapalah kuatnya benteng tanpa iman.
Berbagai benteng yang sifatnya pengawasan fisik terus digulirkan. Tetapi pasti
semua itu bersifat sementara. Karena manusia yang menciptakan sistem itu.
Sehingga semua bisa diakali.
Setiap bicara tentang pembatasan generasi dari maksiat zina, benteng paling
efektifnya adalah iman. Iman yang akan menghasilkan rasa selalu merasa diawasi
oleh Allah membuat mereka tidak berani menyentuh garisnya walau tidak ada yang
melihatnya.
Memang solusi inilah yang seharusnya terus ditanamkan sebelum masa mereka
matang secara biologis tiba. Sehingga benar jika dikatakan bahwa obat itu ada
dalam diri mereka sendiri. Ya, iman yang ada dalam dada mereka itulah yang
menjadi benteng.
Tapi masalahnya banyak yang tidak memahami bagaimana iman ditanamkan. Imam
Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengkritik keras pengajaran iman versi filsafat.
Berputar-putar, rumit, membingungkan, sebatas di otak dan ujungnya bisa tidak
bertemu Tuhan. Sementara itulah yang bisa dirasakan dari kurikulum penanaman

iman di negeri ini. Hanya sebatas di otak tidak di hati. Hanya sebatas dikenalkan
tidak ditanamkan.
Tetapi bukan itu yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.
Karena tetap saja, salah satu fitrah manusia yang harus disalurkan adalah syahwat
kepada lawan jenis. Karenanya Al Quran melarang kerahiban,










Dan merekamengada-ngadakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya
kepada mereka tetapi (mereka sendiri yang mengada-ngadakannya) untuk mencari
keridhaan Allah.(Qs. Al Hadid: 27)
Qotadah berkata: Rahbaniyyah atau kerahiban adalah menolak (menikahi) wanita
dan menetap di gereja-gereja.
Rasulullah pun mengingatkan tidak ada kerahiban dalam Islam. Beliau juga
menegur keras seseorang yang menekadkan diri untuk tidak menikah, Demi Allah
aku orang paling bertakwa di antara kalian.......dan aku menikahi wanita. Siapa
yang membenci sunnahku bukan golonganku. (Muttafaq alaih)
Dengan dalil-dalil tersebut, maka jelas bahwa kerahiban yang menahan syahwatnya
kepada lawan jenis bertentangan dengan ajaran Islam. Syahwat kepada lawan jenis
adalah fitrah yang tidak bisa dilawan. Untuk itulah Islam mengatur dengan hati-hati.
Dan tidak membukanya kecuali hanya melalui: pernikahan.
Itu artinya, pembentengan generasi muda dari maksiat zina dengan menggunakan
iman dan yang lainnya adalah tindakan sementara di usia awal mereka. Sementara
sebelum mereka bisa membangun rumah tangga. Karena suatu hari mereka harus
menikah untuk menyalurkan fitrahnya itu, yang dalam Islam bahkan merupakan
bagian dari ibadah suami dan istri.
Kalau pembentengan dan penjagaan hanya sementara, maka tidak ada cara lain
kecuali kita segera memikirkan pernikahan anak-anak kita.
Di sinilah hancurnya generasi muda kita yang berawal hancurnya konsep berumah
tangga. Di satu sisi, syahwat mereka dibangkitkan sepanjang jalan, seluas media
dan pergaulan. Di sisi lain, pernikahan usia dini disumbat. Maka, bukankah wajar
ketika mereka menyalurkan syahwat mereka dengan cara maksiat yang membuat
para orangtua ketakutan dan negara kerepotan.
Konsep hancur itu telah berefek luas. Sampai memunculkan sebuah pemikiran yang
hampir rata di masyarakat bahwa yang menikah di usia dini, hanya satu di antara
dua: hamil sebelum nikah atau tidak berpendidikan.
Bahkan dengan jelas negara ini mengingatkan tentang pernikahan di usia dini yang
dinyatakan sebagai penyebab banyak masalah.
Lengkap sudah...
Pantas maksiat menjamur...

Siapa yang bertanggung jawab?


Anda tahu jawabannya!

Dari sinilah kita tahu bahwa setelah upaya pembentengan, kita harus segera
membahas tentang pernikahan usia muda anak-anak kita. Agar mereka tidak
sempat berbuat maksiat.
Mari kita tengok sejarah kegemilangan Islam (rasanya sudah cukup kita berkata
bahwa sejarah hanya masa lalu. Karena ia sepertiga Al Quran).
Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fathimah putri Nabi dalam usia 21 tahun dan 15
tahun
Harun Ar Rasyid, pemimpin paling hebat di dunia (seperti judul bukunya DR. Syauqi
Abu Khalil), menikah pada tahun 165 H. Padahal ia dilahirkan pada tahun 150 H.
Berarti usianya baru 15 tahun...!!!???!!!
Perlu juga anda ketahui 5 tahun berikutnya ia dilantik menjadi khalifah dan ia
menjadi khalifah paling sukses di dinasti Bani Abbasiyyah. Yang memimpin selama
23 tahun.
Sekarang silakan renungi yang dalam dan jujur, mana yang lebih hebat. Ali bin Abi
Thalib dan Harun Ar Rasyid atau kita, usia dan karya kita hari ini? Baru setelah ini
silakan bertanya bagaimana cara mencapainya.
Tulisan ini sengaja dihadirkan untuk menyadarkan bahwa sejarah kebesaran Islam
melahirkan orang-orang yang berumah tangga di usia sangat awal. Karena Islam
telah menyiapkan anak-anak dengan sangat serius sejak awal. Sehingga mampu
berkarya sejak awal. Termasuk dalam urusan rumah tangga. Alangkah indah dan
lengkapnya hidup kita, jika kita bisa menikmati kebesaran anak berikut cucu. Dan
kita akan tinggalkan dunia dengan senyum indah melihat karya kita pada anak dan
cucu.
Tapi apa daya, banyak yang menikah terlambat. Bahkan, mendorong anak-anaknya
untuk menikah lebih terlambat lagi dengan segudang alat untuk menakut-nakuti
tentang horornya dunia pernikahan.
Dan subhanallah, saya punya kisah sangat menarik. Saya bersyukur karena ketika
tulisan ini sudah saya rencanakan, ternyata Allah pertemukan saya dengan seorang
teman, senior saya ketika masih kuliah. Beliau menjadi direktur eksekutif sebuah
sekolah Islam.
Di forum ilmu tersebut beliau memberi sambutan mengejutkan, Orang yang ada di
depan Anda ini dalam dua bulan lagi insya Allah akan menjadi kakek, padahal
usianya belum genap 40 tahun. Anak saya yang pertama laki-laki sedang kuliah
semester awal usianya 18 tahun dan sudah menikah. Dia juga telah hapal Al Quran
berikut dua adiknya yang lain. Saya bertekad lima adiknya pun akan hapal Al
Quran.

Hafidzokumulloh, ya Usrotal Khoir...


Subhanallah, kisah sukses itu ada di samping kita.
Ini saya kisahkan karena keterbatasan ilmu dan akal kita menerima kisah-kisah jauh
di zaman kebesaran Islam. Kita sering baru bisa menerima kalau ada contohnya
hari ini. Maka, contoh sukses itu sudah ada di samping anda.
Di sisi lain pembahasan ini, saya sadar betul bahwa anak-anak muda kita sangat
tidak siap berumah tangga.
Tapi sampai kapan kita terus mendendangkan lagu kesedihan tentang anak-anak
kita yang tak kunjung siap dan tak kunjung kita siapkan.

Ayo bentengi mereka dengan iman


Ayo siapkan mereka untuk berumah tangga
Dan ayo sambut pernikahan indah mereka di usia awal
Agar mereka tak sempat maksiat!
Dan agar kita bisa menikmati karya pada anak berikut cucu, biidznillah...

Gema Bisikan Istri

Siapa yang tidak kenal Harun Ar Rasyid. Judul buku yang ditulis oleh DR. Syauqi Abu
Khalil ( / Amirnya para Khalifah dan raja paling hebat di
dunia), cukup untuk menggambarkan betapa dahsyatnya tokoh yang satu ini.
Sehingga tidak aneh ketika wajahnya dikeruhkan oleh orang-orang yang tidak suka
melihat Islam besar. Karena Islam sangat terasa kebesarannya di masa Harun Ar
Rasyid. Sehingga muncullah di benak kita selalu tokoh Abu Nawas yang konyol itu
dan kisah pesta pora di negeri seribu satu malam. Kesemuanya bersumber dari
kedengkian terhadap kebesaran Islam dan tokohnya.

Maka bacalah dari sumber yang jelas dan shahih, kemudian rasakan kebenaran
judul buku DR. Syauqi.
Saat Harun Ar Rasyid sedang menyiapkan penggantinya dari anak-anaknya. Dia
melihat di antara anak-anaknya yang paling layak adalah Al Mamun. Keinginannya
ini bertentangan dengan keinginan istrinya yang berasal dari nasab mulia Quraisy;
Zubaidah. Karena Zubaidah mempunyai anak dari Harun bernama Al Amin.
Sementara Al Mamun hanya anak dari mantan budaknya.
Berita Harun yang lebih memilih Al Mamun daripada Al Amin membuat Zubaidah
sangat gundah. Hingga ia menghadap Harun Ar Rasyid dan mengadukan
keberatannya. Harun berkata tegas:
Sesungguhnya ini umat Muhammad dan tanggung jawab terhadap rakyat yang
diberikan Allah ini terikat di leherku. Sementara aku tahu antara anakku dan
anakmu. Anakmu tidak layak menjadi Khalifah. Dan tidak layak untuk rakyat!
Tapi Zubaidah tetap ngotot,
Anakku, demi Allah lebih baik dari anakmu dan lebih layak untuk memimpin.
Bukan orang dewasa yang bodoh juga bukan anak kecil yang tidak layak
memimpin. Lebih dermawan jiwanya dari anakmu. Dan lebih pemberani.
Harun menjawab lagi,
Sesungguhnya putramu lebih aku cintai. Tetapi ini Khilafah, tidak layak
memegangnya kecuali orang ahli. Kita akan dimintai pertanggungan jawab tentang
masyarakat ini. Kita tidak sanggup menghadap Allah dengan membawa dosa
mereka.
Lihatlah bagaimana seorang suami yang bijak. Walau ia lebih paham dari istrinya
yang hanya mengedapankan rasa, tetapi Harun ingin menampakkan bukti secara
langsung bahwa Al Mamun lebih layak dari Al Amin. Harun berkata,
Duduklah di sini, agar aku bisa tunjukkan kedua anak kita ini.
Harun Ar Rasyid dan istrinya duduk di kursi dan memanggil pertama kali Al Mamun.
Saat Al Mamun datang, ia menundukkan pandangannya. Menunggu lama di depan
pintu dalam keadaan berdiri. Lama sekali, hingga terasa pegal kakinya. Hingga
diizinkan untuk masuk, ia pun duduk. Kemudian Al Mamun minta izin untuk bicara.
Setelah diizinkan, ia memulai dengan memuji Allah atas anugerah bisa melihat
orangtuanya dan berharap Allah selalu memberi solusi dalam kepemimpinannya.
Kemudian ia minta izin mendekat kepada Harun dan Zubaidah. Setelah diizinkan, Al
Mamun maju dan mencium kaki, tangan dan kepala ayahnya itu, selanjutnya
mendatangi Zubaidah dan melakukan hal yang sama.
Kemudian dia kembali ke tempat duduknya semula. Kemudian ia mengucap syukur
akan keberadaan ibu yang baik.
Selanjutnya Harun Ar Rasyid berkata: Nak, aku akan memberikan kepadamu
kepemimpinan ini dan mendudukkanmu di tempat kekhilafahan. Karena aku
melihatmu layak untuk menjadi Khalifah.

Al Mamun menangis dan memohon kepada Allah agar tidak mengambil ayahnya.
Harun meyakinkan lagi bahwa ia layak.
Al Mamun akhirnya menjawab: Saudaraku lebih layak dariku. Dia putra tuan
putriku. Menurutku ia lebih kuat dibandingkan aku untuk urusan kepemimpinan.
Kemudian Al Mamun pun keluar setelah selesai.
Harun dan istrinya masih di tempat duduknya. Selanjutnya meminta agar Al Amin
datang menghadap.
Al Amin datang dengan pakaian kebesarannya dan berjalan dengan angkuh. Dia
langsung masuk dengan menggunakan sandalnya dan lupa mengucap salam. Dia
terus berjalan hingga duduk sejajar dengan ayahnya di kursi.
Harun berkata: Bagaimana menurutmu nak, aku ingin memberikan kepemimpinan
ini kepadamu.
Al Amin menjawab: Wahai Amirul Muminin, siapa lagi yang lebih berhak
dibandingkan saya. Aku anakmu yang paling tua dan putra dari istri tercintamu.
Harun berkata: Keluarlah, nak.
Setelah ujian ini, Harun berkata kepada istrinya: Bagaimana kamu melihat antara
anakku dan anakmu?
Zubaidah menjawab menjawab dengan jujur: Anakmu lebih berhak
Harun menjawab: Kalau begitu kamu telah mengakui kebenaran dan obyektif
menilai yang kamu lihat.
Setelah semua ini, sudah seharusnya Harun memberikan kepemimpinan kepada Al
Mamun baru setelahnya Al Amin. Dan memang ia pun bertekad untuk itu.
Tapi anehnya, pada tahun 186 H, Harun Ar Rasyid mengajak anak-anaknya berikut
staf dan keluarga kerabat untuk haji sekaligus menjadi saksi atas surat perjanjian
yang ditulis dan ditempel di Kabah.
Isi surat itu adalah pengganti setelah Harun adalah Al Amin dan setelahnya baru Al
Mamun.
Ajaib kan...
Bukankah seharusnya adalah Al Mamun baru Al Amin, seperti tekad Harun sejak
awal.
(perlu diketahui bahwa kedua anak Harun ini memiliki kompetensi kepemimpinan
sebagaimana yang dikatakan oleh guru mereka: Al Kisai)
Anda tahu jawabannya, mengapa Harun justru mengubah pendiriannya?
Para ahli sejarah mengatakan bahwa inilah posisi Zubaidah di hati Harun. Walau
Harun telah berhasil menaklukkan Zubaidah bahwa yang berhak adalah Al Mamun
di awal baru Al Amin. Zubaidah pun telah mengakuinya.

Tapi tetap saja, permintaan awal Zubaidah menggema di hati Harun.


Zubaidah yang memerankan istri terbaik di hati Harun, terlalu agung untuk
disakiti.
Karenanya wahai para istri yang baik dan mulia. Bisikan anda di telinga suami akan
terus menggema di hatinya. Maka manfaatkan untuk membisikkan kebaikan. Jika
bukan sekarang ia menerimanya. Suatu hari, semoga...

Makanan di Hati Seorang Istri




) .
(
Dari Aisyah berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menemuiku pada suatu hari. Beliau berkata:
Apakah kamu punya sesuatu?
Aku berkata: Tidak
Beliau berkata: Kalau begitu aku puasa
Suatu hari beliau menemuiku lagi dan aku baru mendapatkan hadiah Hais (jenis
makanan yang terbuat dari kurma). Aku menyimpannya untuk beliau, karena beliau
menyukainya.
Akupun berkata: Ya Rasulullah, kita diberi hadiah Hais dan aku menyimpannya
untukmu.
Beliau berkata: Hidangkan. Sebenarnya aku pagi ini puasa.
Beliau pun memakannya kemudian berkata: Sesungguhnya perumpamaan puasa
sunnah seperti seseorang yang mengeluarkan hartanya untuk shodaqoh, jika ia
mau bisa ia teruskan niatnya (untuk bershodaqoh) atau jika ia mau boleh
membatalkannya. (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)

Kisah pagi hari di keluarga Nabi tersebut harus menghadirkan pelajaran mahal bagi
keluarga muslim. Sangat banyak pelajarannya. Tapi saya hanya ingin menyoroti dua
poin.
Pertama, ternyata seorang istri mempunyai cara sendiri untuk membahagiakan dan
memuliakan suaminya. Yaitu dengan menyediakan makanan kesukaan suami. Bagi
seorang istri hal ini begitu pentingnya. Maka, tak aneh kalau setiap pagi seorang
istri berpikir keras apa yang akan dihidangkan hari ini untuk keluarganya. Berbagai
menu terus dicari. Khawatir bosan, berbagai variasi pun dilakukan. Begitu
pentingnya di hati seorang istri.
Seperti ibunda kita Aisyah. Karena Aisyah tahu persis bahwa suaminya Rasulullah
sangat menyukai jenis makanan yang bernama Hais, maka ketika Aisyah
mendapatkan hadiah Hais ia teringat suaminya. Karena inilah makanan
kesukaannya. Dan karena ini sesuatu yang besar dan penting di istri. Mungkin
Aisyah ingin memakannya sampai habis. Tapi itu tidak dilakukannya. Karena ingat
suami.
Tapi sayang, kami para laki-laki sering menganggap ini hal yang sederhana. Padahal
ia begitu besar di hati istri. Akhirnya seorang istri yang telah lelah seharian
memasak masakan istimewa bahkan ia telah menyiapkan rencana ini beberapa hari
sebelumnya. Eh...suami pulang dan berkata: aku sudah makan di luar.
Maaf, ya para istri. Kami para laki-laki sering tidak menyadari betapa pentingnya
urusan makanan di hati para istri.
Kedua, Memakan makanan yang disediakan istri dengan istimewa lebih didahulukan
dibandingkan puasa sunnah (wallahu alam). Seperti yang dilakukan Rasulullah di
atas. Pagi itu Nabi telah berniat untuk berpuasa. Tapi karena Aisyah sang istri
tercinta berkata:
Ya Rasulullah, kita diberi hadiah Hais dan aku menyimpannya untukmu.
Nabi ingin menyenangkan hati istri. Nabi menghargai sesuatu yang istimewa di hati
istrinya. Walau resikonya, puasa sunnah beliau batal hari itu.
Jadi, tidakkah para laki-laki memaksakan dirinya untuk menikmati hidangan istri
yang istimewa disiapkan untuk suami tercinta.
Kami para laki-laki harus berkata kepada para istri untuk kali kedua:
Maaf, ya para istri. kami para laki-laki sering tidak menyadari betapa pentingnya
urusan makanan di hati para istri.

Hati-Hati Budaya Kuliner


Kuliner istilah baru. Ia pun baru sebagai sebuah kebiasaan masyarakat. Sehingga
bertaburan pojok-pojok jajanan hingga cafe tempat hang out dengan teman-teman
dan keluarga.

Terus mengapa harus berhati-hati. Di mana masalahnya? Bukankah justru bisa


menambah akrab anggota keluarga. Bahkan ajang pendekatan bagi ayah yang
super sibuk dengan anak dan istri yang mulai merasa terdzalimi karena tidak
mendapatkan hak waktu mereka.
Saya jawab ya. Banyak manfaat yang bisa diambil oleh keluarga. Bukan hanya itu.
Menghilangkan sekadar kejenuhan adalah hal yang penting. Karena rutinitas yang
membosankan membuat suram suasana rumah.
Saya pun tidak melarang dan memang tidak boleh melarang sesuatu yang halal.
Tetapi saya di sini hanya mengingatkan bahaya kuliner jika dijadikan budaya. Apa
arti budaya di sini? Yaitu ketika anggota keluarga mewajibkannya. Ah rasanya
tidak ada keluarga yang mewajibkan.
Eittt... tunggu dulu. Kalau dalam satu pekan wajib keluar untuk kuliner. Atau ada
anggota keluarga yang menuntut dan menganggapnya sebagai hak yang jika tidak
terpenuhi merasa terdzalimi haknya. Atau merasa ada untaian kebahagiaan yang
putus jika kuliner tidak dijalankan. Atau seorang ayah yang merasa bersalah hingga
perlu minta maaf ketika minggu itu tidak keluar kuliner.
Bukankah saat seperti ini keadaannya, kuliner telah menjadi wajib?
Baiklah, apa masalahnya jika ia telah menjadi kebiasaan bahkan dirasa sebagai
sebuah kewajiban. Bukankan manfaatnya begitu besar dan mahal bagi keluarga.
Mari kita simak pola makan Nabi teladan kita bersama keluarganya.
: :

:

:
:
Dari Aisyah Ummul Muminin radhiallahu anha berkata: Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam berkata kepadaku suatu hari,
Hai Aisyah, apakah kamu punya sesuatu?
Aisyah menjawab: Ya Rasulullah, kami tidak punya apapun.
Rasul menjawab, Kalau begitu, aku puasa. (HR. Muslim)
Ini bukan masalah kemiskinan atau kekurangan. Tapi ini masalah menyederhanakan
urusan makan dan minum. Karena ini dilakukan juga oleh para sahabat lain.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Al Bukhari dalam salah satu judul babnya di
dalam Kitabnya Shahih,
: : :

:


Dan Ummu Darda berkata: Abu Darda berkata: Apakah kamu mempunyai
makanan?

Jika kami jawab: Tidak ada, dia berkata: Kalau begitu aku puasa hari ini.
Hal ini juga dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan
Hudzaifahradhiallahu anhum.
Nah, ternyata ini merupakan kebiasaan yang diajarkan Rasulullah kepada keluarga
para sahabat. Dan diterapkan dengan baik di rumah para sahabat Nabi.
Apa hubungannya dengan budaya kuliner kita?
Ada kekhawatiran. Kebiasaan kuliner yang nyaris dianggap kewajiban membuat
pola makan dan minum kita menjadi rumit dan sulit. Karena orang yang berkuliner
biasanya cenderung mencari yang baru dari makanan dan minuman. Bahkan bukan
hanya menunya. Tetapi cara makan dan cara minumnya. Tak hanya itu, suasana
pun termasuk yang dicari dan dikejar. Ketika makan di taman, pinggir kolam air
sudah dianggap biasa, sebuah rumah makan menawarkan makan bersama singa.
Akhirnya, makanan dengan menu dan suasana biasa di rumah menjadi sulit
dinikmati.
Bukankah orangtua sering kesulitan membangkitkan selera makan anak-anaknya?
Orangtua sering tidak sadar bahwa salah satu sebabnya adalah pola makan yang
dibiasakan. Kalau kebiasaan itu tidak dilakukan, maka anak ngambek tak mau
makan.
Suatu pagi menjelang siang, saya melihat seorang anak yang usianya baru sekitar
lima tahun. Dia terlihat marah. Duduk dengan wajah lesu dan kecewa. Saya
mendekatinya dan bertanya ingin tahu apa yang tengah terjadi. Sambil menunjuknunjuk makanan di meja dia tumpahkan kemarahannya, Nggak begitu
makanannya. Harusnya roti, susu, nugget....(dia terus menyebut daftar menu).
Saya pun merengkuhnya dan saya katakan, Nak, kalau kamu tidak mau makan
makanan yang sudah tersedia, ya sudah tidak usah kamu makan. Ditinggal saja tapi
tidak usah dihina makanannya. Sebab Rasul dulu kalau tidak suka sebuah makanan,
tidak memakannya tapi tidak menghinanya.
Begitulah dialog ringan saya dengan anak kecil itu.
Saya hanya khawatir, mengapa anak seusia itu terlihat begitu marahnya hanya
karena masalah menu makanan. Jangan-jangan ini bukan hanya masalah selera.
Tetapi masalah budaya makan yang rumit karena kuliner.
Silakan anda dan keluarga menikmati makanan dan minuman lezat. Tapi sudah
waktunya kita membuat pola makan di keluarga kita sesederhana pola makan
Rasulullah dan keluarganya.
Nikmati yang ada.
Jika tak suka, tidak usah dimakan tapi tanpa menghinanya.

Sederhana...

Teruslah Berkarya, Aku yang Menyuapimu


Dalam rangka melaksanakan hadits Nabi,
Tidaklah kamu menafkahkan sesuatu ikhlas karena Allah kecuali kamu akan diberi
pahala, hingga sesuatu yang kamu jadikan di mulut istrimu. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Maka suami tak hanya melaksanakan perintah untuk memberi nafkah kepada istri.
Tetapi selayaknya terinspirasi oleh hadits ini untuk makan bersama dan sekali
waktu menyuapkan sesuatu pada istrinya.
Dan kini giliran istri yang berinisiatif menyuapi sang suami tercinta.Apalagi Nabi
telah memerintahkan agar istri mendampingi suami di waktu makan. Dua kisah ini
setidaknya bisa menjadi inspirasi untuk melakukan hal sederhana yang bisa
menyegarkan cinta ini,

Ammar bin Roja berkata: Aku mendengar Ubaid bin Yaisy berkata: 30 tahun
lamanya aku tidak makan malam dengan tanganku. Saudariku yang menyuapiku.
Sementara aku menulis hadits. (Siyar Alam An Nubala, Adz Dzahabi)
Al Hakim berkata: Akumendengar Abul Fadhl Muhammad bin Ibrahim mendengar
dari Ahmad bin Salamah berkata: Dibuatkan untuk Muslim Majlis Mudzakaroh
(saling bertukar ilmu). Disebutkan di majlis itu sebuah hadits yang tidak ia ketahui.
Kemudian ia pulang ke rumahnya. Dia berkata: jangan ada yang masuk ke kamar!
Dikatakan kepadanya: kita diberi hadiah sekeranjang kurma. Maka kurma itu
hadirkan untuknya. Dia mencari hadits sambil mengambil kurma demi kurma
hingga habis. Dan dijumpai hadits yang dimaksud. Yang lain menambahkan bahwa
itulah sebab kematiannya. (Siyar Alam An Nubala, Adz Dzahabi)
Ubaid bin Yaisy, gurunya Bukhari dan Muslim sibuk oleh ilmunya dan disuapi oleh
saudarinya.
Kesibukan Muslim dalam menunaikan tugasnya; mencari hadits dari kitab-kitabnya
juga menyebabkan ia tidak sempat memikirkan makan. Hingga ia disodori kurma
dan iapun memakannya. Dengan konsentrasi tetap ke tugasnya.
Kita semua tahu para suami sangat sibuk dengan tugasnya. Sering kali kegundahan
terhadap pekerjaan di luar sana terbawa masuk ke rumahnya. Sehingga ia tak
sempat memikirkan kesehatannya untuk sekadar makan.

Di sinilah saatnya seorang istri mendapatkan poin dari suaminya.


Di sinilah istimewanya hadits Nabi yang memerintahkan untuk istri mendampingi
suaminya saat makan. Dan bersiap siaga dalam melayani semua keperluan suami.
Kali ini mungkin suami tidak mau bergerak dari meja tugasnya. Kepalanya penuh
dengan setumpuk pe er pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak ada ruang di
otaknya untuk memikirkan makanan. Bahkan mungkin seleranya telah hilang.
Maka, para istri...
Biarkan para suami seperti Ubaid bin Yaisy dan Muslim meringankan isi kepalanya.
Anda hanya perlu berkata: teruslah berkarya, aku yang menyuapimu.
Tips sederhana. Tapi cobalah. Dan lihatlah apa yang akan terjadi.

Você também pode gostar