Você está na página 1de 36

LAPORAN PRAKTIKUM

MK. MANAJEMEN RESIKO BENCANA

Oleh:
Diah Listyarini
A153130021

Dosen:
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim sudah semakin dirasakan dan telah menimbulkan dampak pada berbagai segi
kehidupan masyarakat. Pergeseran awal musim, perubahan tinggi maupun keragaman hujan juga sudah
diamati di beberapa daerah. Disamping itu juga ditemukan kecendrungan semakin meningkatnya
frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim dirasakan akhir-akhir ini1. Naiknya muka air laut akibat dari
kenaikan suhu menyebabkan meningkatnya masalah salinitas dan robs di berbagai wilayah pantai
Indonesia. Perubahan pola hujan, pergeseran musim, kenaikan suhu, dan kenaikan muka air laut akan
menimbulkan banyak implikasi pada berbagai sektor. Pada sektor petanian perubahan iklim akan
mempengaruhi pola tanam, menurunkan hasil tanaman, merubah intensitas tanam, tingkat serangan
hama penyakit dan lain-lain. Pada sektor sumberdaya air, perubahan iklim akan mempengaruhi
keberlanjutan ketersediaan air untuk mendukung berbagai kegiatan pembangunan. Pada sektor
kesehatan, tingkat serangan penyakit menular khususnya jenis penyakit dibawa air dan vector seperti
demam berdarah, malaria, diare juga diperkirakan akan meningkat. Di Kabupaten Karawang sendiri,
frekuensi kejadian bencana banjir jadi semakin rutin terjadi dan banjir sudah mulai merugikan masyarakat
setiap tahunnya.
Telah banyak kajian yang dilakukan terhadap bencana dan berbagai masalahnya di Indonesia,
dan telah banyak pula rekomendasi yang diberikan serta langkah-langkah nyata untuk mengatasi
bencana telah dilaksanakan. Meskipun demikian, masih selalu muncul pertanyaan dan masalah
dilapangan. Salah satu upaya mitigasi dan penyelesaian masalah banjir melalui pendekatan risiko
bencana. Indiyanto dan Kuswanjono (2012) menambahkan bahwa sebenarnya bencana memperlihatkan
adanya sesuatu yang tidak berjalan baik atau sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan risiko bencana
didalam masyarakat. Beberapa tahun ini, Beberapa kecamatan di Kabupaten Karawang yang menjadi
langganan banjir disetiap tahunnya adalah Kecamatan Karawang Barat, Kecamatan Telukjambe Barat dan
Kecamatan Telukjambe Timur.
Salah bentuk kombinasi antara local knowledge dan pengetahuan sains yang mungkin dapat
digunakan dalam melakukan manajemen bencana adalah dengan menggunakan geographic information
system (GIS) yang dapat menestimasi data pengetahuan local yang ada dikawasan bencana sehingga
dapat dibandingkan, dianalisis, diseminasikan dan dipraktikan bersama (Sillitoe, Barr dan Alam, 2004
dalam Indiyanto dan Kuswanjono, 2012).Cara yang tepat untuk menyelenggarakan program belajar resiko
adalah dengan mencciptakan desain kelembagaan dan mengukur skala kerentanan dalam masyarakat
(Douglas, 1992).

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang, maka tujuan penelitian adalah :
1. Memetakan dan menganalisa distribusi spasial daerah bahaya banjir di Kecamatan Karawang Barat,
Telukjambe Timur dan Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.
2. Menganalisis dan memetakan daerah risiko banjir berdasarkan kelas bahaya, dan kerentanan di
Kecamatan Karawang Barat, Telukjambe Timur dan Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.
3. Memberikan rekomendasi mitigasi banjir di Kecamatan Karawang Barat, Telukjambe Timur dan
Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
digunakan untuk inventarisasi analisis bahaya dan risiko banjir, khususnya didaerah penelitian.
2. Peta bahaya (hazard), peta kerentanan (vulnerability) dan peta risiko (risk) banjir di Kecamatan
Karawang Barat, Telukjambe Timur dan Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.

TINJAUAN PUSTAKA
Banjir

Banjir didefinisikan sebagai peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar disekitar sungai
akibat melupaknya air sungai yang tidak mampu ditampung alur sungai. Banjir merupakan interaksi antara
manusia dengan alam dan sistem alam itu sendiri. Bencana banjir merupakan aspek interaksi antara
manusia dengan alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang
bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi, 1999). Linsley dan Paulus (1979)
menambahkan bahwa banjir pada dasarnya merupakan produk dari suatu system daerah aliran sungai
yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik berupa dari daerah aliran sungai maupun dari hujan
sebagai sumbernya. Banjir disebabkan oleh empat faktor yaitu: pemukiman didaratan banjir, perubahan
penggunaan tanah yang mengakibatkan berubahnya fungsi tata guna lahan, curah hujan yang tinggi serta
sungai/saluran yang mengecil akibat adanya pendangkalan.
Maryono (2005), empat hal yang menjadi penyebab terjadinya banjir di Indonesia, antara lain :
1. Faktor hujan yang lebat, tetapi faktor ini tidak selamanya menyebabkan banjir
2. Menurunnya resistensi DAS terhadap banjir akibat perubahan tata guna lahan
3. Faktor kesalahan pembangunan alur sungai, seperti : perulusan sungai, pembetonan dinding dan
pergeseran tepian/sempadan sungai.
4. Faktor pendangkalan sungai dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tampung sungai terhadap
air, sehingga tidak mampu lagi mengalirkan air yang melewati dan meluap (banjir).
Banjir terjadi apabila debit air yang mengalir melalui penampang sungai tidak mampu ditampung
sehingga meluap ke dataran banjir atau aliran air terhalang oleh sampah. Sukandarrumidi (2010)
menambahkan bahaya yang mungkin terjadi antara lain sebagai berikut :
1. Tergenangnya daerah permukiman yang dibangun di daerah sempadan sungai. Air bersama dengan
segala dengan segala kotoran masuk lingkungan permukiman, mengakibatkan keadaan lingkungan
menjadi becek, tidak sehat, dan berbagai penyakit dapat timbul.
2. Hanyut dan rusaknya bangunan yang diterjang oleh banjir. Hal ini akan terjadi apabila konstruksi
teknis bangunan sungai tidak dibuat sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
3. Terjadinya tanah longsor akibat arus air yang mengikis tebing sungai. Pengikisan pada umumnya
terjadi disungai yang membelok (meander). Oleh sebab itu, disarankan jika membangun tumpuan
jembatan jangan pada tebing sungai yang berpotensi erosi.
4. Rusaknya daerah pertanian dan perkebunan di wilayah sempadan sungai. Tanaman mati dan gagal
panen pasti akan mati
5. Timbul penyakit TCD, gatal-gatal pada kulit akibat sanitasi lingkungan yang tidak memnuhi syarat
kesehatan.
Risiko Bencana
Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam sehingga mengakibatkan
timbulnya korban manusia, kerusakan, kerugian dan dampak psikologis (BAKORNAS PB, 2007). Pada
bencana sendiri paradigma risiko muncul sebagai wujud dari perkembangan lanjutan modernisasi
3

kehidupan manusia didunia, istilah risiko sendiri diartikan sebagai sebuah kemungkinan serangan fisik
yang diakibatkan dari perkembangan teknologi dan prosesnya. Artinya, risiko bencana sendiri terjadi dari
sebuah proses perkembangan manusia di dunia dan bukan disebabkan oleh faktor alamian bencana
alam. Resiko adalah akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang
berlangsung atau kejadian yang akan datang. Menurut Bappenas (2009), pengertian resiko adalah
perkiraan kerugian atau kehilangan (nyawa manusia, kerusakan properti dan kerusakan aktifitas ekonomi)
yang disebabkan oleh bahaya di suatu wilayah pada waktu tertentu. Resiko suatu daerah atau suatu objek
terhadap suatu jenis bahaya dapat diperhitungkan tingkatannya.
Upaya-upaya pengurangan risiko bencana merupakan bagian dari proses manajemen risiko
bencana yang didasarkan kepada konsep manajemen risiko, yaitu suatu proses formal tempat faktor risiko
diidentifikasikan (identification), dianalisis (analysis), dan ditangani (response) secara sistematis agar
kerugian (loss and damage) dapat dicegah atau diperkecil melalui usaha-usaha penanganan risiko,
melalui proses-proses: (1) menghindari (avoiding) sumber-sumber bahaya (misal tidak membangun di
daerah dataran banjir atau di daerah dengan tingkat kerawanan fisik yang tinggi terhadap gempa),
(2) merubah/memodifikasi (altering) bahaya/hazard (misal upaya menurunkan hujan secara artifisial untuk
mengatasi kekeringan), (3) memindahkan (averting) arah ancaman dari masyarakat yang rawan (misal
membuat tanggul sungai, sabo dam untuk menahan dan mengarahkan aliran lahar dan sebagainya), (4)
beradaptasi (adapting) terhadap ancaman bahaya (membuat peraturan bangunan untuk bangunan tahan
gempa, angin kencang dan sebagainya), dan (5) mentransfer risiko kepada pihak lain (misal melalui
asuransi bencana) (LPPM IPB, 2009). Pengkajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan mengkaji
dan memetakan Tingkat Bahaya (hazard), dan Tingkat Kerentanan (vulnerability).
a. Bahaya (hazard)
Secara umum, bahaya adalah fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi
mengancam

kehidupan

manusia,

kerugian

harta

benda

dan

kerusakan

lingkungan.

Untuk menentukan jumlah ancaman yang ada pada suatu daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kotagunakan
data dari dibi (http://dibi.bnpb.go.id). Sesuai dengan jenis ancaman yang di Buku Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana (Renas PB) terdapat 14 Jenis Bencana. Tidak semua provinsi memiliki semua
jenis bencana tersebut.
Peta bahaya menentukan wilayah dimana peristiwa alam tertentu terjadi dengan frekuensi dan
intensitas tertentu, tergantung pada kerentanan dan kapasitas daerah tersebut, yang dapat menyebabkan
bencana. Untuk sebagian besar bencana, intensitas tinggi hanya terjadi dengan frekuensi sangat rendah
(bencana "kecil" terjadi lebih sering daripada bencana "besar"). Selanjutnya pada beberapa bahaya
setempat dan lain-lain hampir merata (BNPB, 2012).
b. Kerentanan (vulnerability)

Istilah ketahanan (resilience) dapat diartikan sebagai Kapasitas sebuah sistem, komunitas atau
masyarakat yang berpotensi terpapar pada bahaya untuk beradaptasi atau berubah untuk mencapai atau
mempertahankan suatu tingkat fungsi dan struktur yang dapat diterima. Ini ditentukan oleh sejauh mana
sistem sosial tersebut mampu untuk mengorganisir diri sendiri untuk meningkatkan kapasitas untuk belajar
dari bencana yang lalu demi perlindungan yang lebih baik di masa depan dan untuk meningkatkan
tindakan-tindakan peredaman risiko. (UN/ISDR. Geneva 2004).
BNPB (2012) telah membuat Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana melalui Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 tahun 2012. Potensi kerentanan pada setiap
bencana dapat dikategorikan ke dalam kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerentanan
Fisik adalah suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kerentanan
Sosial adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial pada suatu wilayah dalam menghadapi bahaya.
Kerentanan Ekonomi adalah suatu kondisi tingkat kerepuhan ekonomi pada suatu wilayah dalam
menghadapi bencana.
Analisis risiko dapat digambarkan secara skematis melalui kombinasi antara bahaya dan
kerentanan dari suatu bencana. Penilaian risiko dilakukan melalui konsep tumpang susun (overlay) antara
peta bahaya dan kerentanan, dimana pada dasarnya operasi yang dilakukan diaplikasikan melalui
penggunaan perhitungan nilai atribut untuk memberikan penilaian risiko. Penilaian risiko (risk) bencana
tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) (Wisner
et al. 2004).
Pelaksanaan analisis kerentanan merupakan komponen dari analisis bencana, menurut Benson
dan Twigg (2007) dalam Sunarti (2009)pentingnya pelaksanaan analisis kerentanan antara lain :
a. Mengidentifikasi kelompok kerentanan dalam suatu wilayah
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat mereka dikategorikan sebagai kelompok rentan serta
menganalisis mekanisme pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kerentanan suatu kelompok
c. Melakukan penilaian terhadap kebutuhan dan kapasitas dari kelompok tersebut.
d. Meyakinkan bahwa kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan ditujukan untuk menurunkan
kerentanan tersebut, diantaranya melalui intervensi kepada kelompok sasaran atau mitigasi dan
mencegah kebijakan-program yang berpotensi menimbulkan kerugian.

Sisitem Informasi Geografis (SIG)


Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja
dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. SIG dapat diasosiasikan sebagai peta
yang berorde tinggi yang juga dapat dioperasikan untuk menyimpan data non spasial. Disebutkan juga
bahwa SIG telah terbukti kehandalannya untuk merekam, menyimpan, mengelola, menganalisa serta

menampilkan data spasial baik dalam bentuk data biofisik maupun sosial ekonomi. Barus dan
Wiradisastra (2009) menyimpulkan bahwa Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi
yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan
kata lain, suatu SIG adalah suatu basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang berefensi
spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerjanya.
Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data utamanya. SIG
menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk menurunkan informasi (berupa peta) baru,
sedangkan inderaja langsung membuat peta baru dari inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran
proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. pada berbagai aplikasi lingkungan, permodelan
melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai SIG. sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang
berarti karena tidak disertai informasi baru yang akurat (Alhasanah, 2006 dalam Primayuda, 2006).
SIG sangat bermanfaat dalam kajian bahaya dan resiko banjir, dengan penggunaan teknologi
tersebut dapat dilakukan analisis spasial dengan cepat dan efisien, sehingga dapat dijadikan sebagai
penyedia informasi mengenai faktor-faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya dan resiko banjir.
Selain hal tersebut SIG juga dapat digunakan untuk menghasilkan peta turunan dari peta-peta tematik
lainnya berupa peta resiko dan peta bahaya banjir. Proses penggabungan informasi tersebut dapat
dilakukan dengan cara tumpang tindih (overlay) untuk menurunkan informasi baru (Pramulya, 2010).

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian merupakan dataran banjir terdiri dari enam kecamatan yang secara administrasi
berada di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat, antara lain : Kecamatan Karawang Barat, Kecamata
Telukjambe Barat dan Kecamatan Telukjambe Timur. Pemilihan wilayah studi berdasarkan kondisi

topografi yang relatif rendah dan merupakan dataran banjir di Kabupaten Karawang (Gambar 1). Adapun
waktu penelitian dilaksanakan 4 (empat) bulan, mulai dari bulan Agustus hingga Desember 2014.

Gambar 1. Lokasi Penelitian-Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data spasial dan data tabular yang dapat
disajikan pada tabel 1. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat computer
dengan perangkat lunak (software), yaitu Microsoft office, ArcGis dan beberapa peralatan menunjang
lainnya seperti : Global Position System (GPS) dan kamera digital.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang dilakukan dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahapan, yaitu : (1)
pengumpulan dan perolehan data, dan (2) pengolahan dan analisis data.
Pengumpulan dan Perolehan Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan skunder. Adapun data primer
terdiri dari data berupa citra satelit penginderaan jauh, sedangkan data sekunder yang digunakan terdiri
dari hasil pengukuran dan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti atau instansi terkait berupa data
spasial dan tabular.

Tabel 1. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian


Jenis Data
Skala
Peta :
Peta Rupa Bumi Tahun 1998-1999
1 : 25.000
Peta Administrasi
1 : 25.000
Peta Jenis Tanah
1 : 250.000
Peta Curah Hujan
1 : 250.000
Peta Jaringan Sungai
1 : 250.000
Citra Satelit :
Quickbird
Resolusi
Akuisisi tahun 2012
1.0 meter
Digital Elevation Model
Data Pendukung Lainnya :
Data Kecamatan dalam Angka 2013
Data GAKIN Kab. Karawang 2012
Data-data Penelitian
-

Bentuk

Sumber Data

Digital
Digital
Digital
Digital
Digital

BIG
BPS Karawang
Barkosurtanal
BMKG
BPDAS Citarum

Digital

LAPAN

Digital

LAPAN

Tabular
Tabular
Tabular

BPS
DInas Sosial Kab. Karawang
Referensi

Pengolahan dan Analisis Data


Pembuatan Peta Kelas Lereng
Sebelum membuat peta kelas lereng terlebih dahulu dibuat peta shapefile berupa titik-titik yang
mempunyai data atribut tinggi yang diperoleh dari digitasi peta rupa bumi yang telah dikoreksi. Langkah
selanjutnya membuat peta kelas lereng dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi kelerengan di
daerah penelitian dengan menggunakan menu slope. Kemudian melakukan reklasifikasi kelerengan
dengan menu reclassify dengan menggunakan metode klasifikasi Interval. Lereng tersebut dibagi menjadi
6 kelas antara lain : (1) 0-3%, (2) 3-8%, (3) 8-15%, (4) 15-25%, (5) 25-45%, dan (6) >45%.
Klasifikasi Penggunaan Lahan
Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan citra satelit Quickbird yang telah
terkoreksi secara geometri. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode visual dengan teknik dijitasi
on screen berdasarkan warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand &
Kiefer 1997) dan kedekatan interpreter dengan objek (Munibah 2008).
Pembuatan buffer zone
Buffer zone sungai adalah suatu daerah yang mempunyai lebar tertentu uang digambarkan di
sekeliling sungai dengan jarak tertentu. Buffer sungai ditentukan berdasarkan logika dan pengetahuan
mengenai hubungan sungai dan kejadian banjir. Dalam penelitian ini menggunakan asumsi bahwa
semakin dekat dengan sungai, maka peluang terjadinya banjir lebih tinggi (Primayuda, 2006).
Analisis Bahaya (hazard)

Pada penelitian ini, pembobotan parameter bahaya banjir menggunakan formulasi Davidson dan
Shah (1997) dan hasilnya disajikan pada Tabel 1. Adapun rumus pembobotan Davidson dan Shah adalah
sebagai berikut :

Wj=

nrj+ 1
(nrj+1) .
.(1)

dimana: Wj adalah nilai bobot yang dinormalkan, n adalah jumlah parameter (1,2,3 ... n) dan rj adalah
posisi urutan parameter.
Tabel 2. Bobot dan skor parameter bahaya banjir dilokasi penelitian
No.
Parameter
1
Jarak dari Sungai (meter)
> 500
300 s/d 400
200 s/d 300
100 s/d 200
0 s/d 100
2
Penggunaan Lahan
Waduk, Sungai , dan Jalan
Hutan dan Perkebunan,
Kebun Campuran, dan Tegalan/ladang
Sawah, Semak belukar dan Lahan Terbuka
Permukiman dan Bangunan industri
3
Kemiringan Lereng (%)
25 45 dan > 45
15 25
8 15
38
03
4
Curah Hujan (mm/thn)
< 1.300
1.300 s/d 1.900
1.900 s/d 2.200
2.200 s/d 3.000
> 3.000
5
Jenis Tanah
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolik kuning.
Brown forest soil, Noncalsic brown, Mediteran
Latosol,
Aluvial, Humus Aluvial , hidomorf kelabu, Laterit air tanah

Bobot
0.35

Skor
1
2
3
4
5

0.35
1
2
3
4
5
0.10
1
2
3
4
5
0.10
1
2
3
4
5
0.10
1
2
3
4
5

Sumber : Purnama (2008)


Keterangan : 1,2,3,4,dan 5 pada nilai skor parameter dari kecil hingga besar, yang mencerminkan
pengaruhnya terhadap banjir.

Pengharkatan dimaksudkan sebagai pemberian skor terhadap masing-masing kelas dalam


setiap parameter. Adapun pemberian skor terhadap parameter-parameter ini dilakukan secara linier, dan
skor parameter bahaya (hazard) pada banjir dapat dilihat pada tabel 2, dimana pemberian skor

berdasarkan atas pengaruh parameter terhadap banjir yaitu 5 paling besar pengaruhnya terhadap tanah
longsor dan 1 paling kecil pengaruhnya terhadap banjir.
Analisis Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan dalam suatu proses kebencanaan dapat didefinisikan sebagai fungsi dari pola
tingkah laku manusia. Tingkat kerentanan dapat dideskripsikan dari sistem sosial ekonomi daerah
tersebut atau tahan dari dampak bencana alam, teknologi yang terkait, serta lingkungan (UNISDR 2012).
Indikator perhitungan kerentanan dibagi kedalam kerentanan social, kerentanan ekonomi, dan kerentanan
fisik/infrastruktur. Sementara untuk perhitungan kerentanan ekonomi, indicator yang digunakan berupa
jumlah KUD dan Luas sawah dan pada perhitungan kerentanan fisik/infrastruktur menggunakan indicator
jumlah fasilitas kesehatan dan jumlah rumah yang menggunakan sumber air terlindungi.
Sumber informasi yang digunakan berasal dari data Badan Pusat Statistik dan data Dinas Sosial
yang dianalisis menggunakan metode spasial Analisis Multi Kriteria (AMK). Analisis multi kriteria adalah
penggabungan beberapa kriteria secara spasial berdasarkan nilai masing-masing kriteria (Saaty 1998
dalam Yulianto (2014). Pembobotan pada masing-masing kriteria dilakukan menggunakan metode
Perbandingan Berpasangan (PB) dalam Proses Hierarki Analisis (PHA). Pada penelitian ini perbandingan
antara masing-masing kriteria, serta penentuan skor dan bobot yang digunakan untuk analisis kerentanan
tersebut mengacu pada Peraturan Kepala badan Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012
(BNPB,2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana yang dimodifikasi sesuai dengan
kondisi wilayah dan ketersediaan data di wilayah penelitian.
a. Kerentanan Sosial
Kerentanan Sosial merupakan suatu kondisi tingkat kerapuhan social masyarakat dalam
menghadapi bencana. Potensi tersebut salah satunya dapat dianalisis dengan memasukan indikator
kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin dan rasio kemiskinan. Kepadatan penduduk dalam hal ini
berkaitan dengan distribusi penduduk di daerah penelitian.
Tabel 3. Indikator dalam menentukan Kerentanan sosial di daerah penelitian
Indikator
Keterangan
Kelas Indeks
Semakin banyak jumlah penduduk yang
Tinggi
< 500 jiwa/km2
Kepadatan
tinggal pada suatu wilayah maka
Sedang
500-1.000 jiwa/km2
Penduduk
kerentanannya dalam menghadapi suatu
Rendah > 1.000 jiwa/km2
bencana semakin rendah.
Persentase
perbandingan
jumlah
penduduk wanita dan pria dalam suatu
Tinggi
<100
Rasio Jenis
wilayah.
Penduduk
wanita
Sedang
= 100
Kelamin
menggambarkan kemampuan yang relatif
Rendah
> 100
rendah dalam menghadapi bencana.
Rasio
Persentase
perbandingan
jumlah
Tinggi
< 20%
Kemiskinan
penduduk prasejahtera dalam suatu
Sedang
20 40%
wilayah. Semakin tinggi persentase
Rendah
> 40%
penduduk miskin dalam suatu wilayah

Skor
1
3
5
1
3
5
1
3
5

10

maka akan menambah kerentanan


wilayah tersebut dalam menghadapi
suatu bencana.
Sumber : BNPB (2012) yang dianalisis
b. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi masyarakat dalam suatu
daerah pada saat menghadapi bencana. Indikator dalam menentukan potensi Kerentanan Ekonomi dapat
disajikan dalam Tabel 4, Adapun yang menjadi indicator dari kriteria ekonomi antara lain : jumlah koperasi
dan persentase luas sawah.
Tabel 4. Indikator dalam menentukan Kerentanan Ekonomi di daerah penelitian
Indikator
Keterangan
Kelas Indeks
Semakin sedikit jumlah
Sangat Tinggi
> 11 unit
koperasi yang ada pada
Jumlah
Tinggi
6 - 8 unit
suatu
wilayah
maka
Koperasi (KUD
Sedang
9 11 unit
kerentanannya
dalam
dan non-KUD)
Rendah
3 - 5 unit
menghadapi suatu bencana
Sangat Rendah
< 3 unit
semakin rendah.
Persentase perbandingan
luas sawah dan luas
wilayah penduduk wanita
Sangat Tinggi
< 6% luas wilayah
dan pria dalam suatu
Tinggi
6 27% luas wilayah
wilayah. Penduduk wanita
Luas Sawah
Sedang
28 - 48% luas wilayah
menggambarkan kemamRendah
49-69% luas wilayah
puan yang relatif rendah
Sangat Rendah
> 69% luas wilayah
atau lebih rentan dalam
menghadapi
suatu
bencana.
Sumber : hasil analisis

Skor
1
2
3
4
5

1
2
3
4
5

c. Kerentanan Fisik / Infrastruktur


Kerentanan fisik/infrastruktur adalah suatu kondisi tingkat kerugian masyarakat terkait dengan
bangunan fisik dalam suatu daerah pada saat menghadapi bencana. Indikator dalam menentukan potensi
Kerentanan fisik/infrastruktur dapat disajikan dalam Tabel 5, Adapun yang menjadi indicator dari kriteria
fisik/infrastruktur : jumlah fasilitas kesehatan dan jumlah rumah yang memiliki sumber air terlindungi.
Tabel 5. Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik/Infrastruktur di daerah penelitian
Indikator
Keterangan
Kelas Indeks
Skor
Semakin sedikit jumlah
Sangat Tinggi
> 14 unit
1
Jumlah
fasilitas kesehatan maka
Tinggi
11 14 unit
2
Fasilitas
kerentanannya
dalam
Sedang
7 10 unit
3
Kesehatan
menghadapi suatu bencana
Rendah
3 6 unit
4
semakin rendah.
Sangat Rendah
< 3 unit
5
Jumlah Rumah Persentase banyak jumlah
Sangat Tinggi
> 60% Total RT
1
dengan
rumah
tangga
yang
Tinggi
46 60% Total RT
2
Sumber Air
menggunakan sumber air
Sedang
31 45% Total RT
3

11

yang terlindungi maka


kerentanan
dalam
Terlindungi
menghadapi
bencana
semakin tinggi
Sumber : hasil analisis

Rendah
Sangat Rendah

15 30% Total RT
< 15% Total RT

4
5

Analisis Risiko (risk)


Analisis risiko bencana adalah interaksi antara bahaya (hazard) yang ada dan tingkat kerentanan
(vulnerability) masyarakat terhadap bencana. Dengan kata lain implikasi dari penentuan bahaya dan
kerentanan banjir adalah digunakan untuk menentukan analisis Risiko Banjir di daerah penelitian. Analisis
tersebut secara skematis dapat digambarkan melalui kombinasi antara bahaya dan kerentanan yang
dapat di formulasikan dalam persamaan berikut :

R=HV

(2)
Dimana: R adalah risiko pada suatu bencana. H adalah bahaya pada suatu bencana. Dan V adalah
kerentanan pada suatu bencana.
Penilaian risiko dilakukan melalui metode weighted overlay. Teknik Weighted Overlay adalah teknik
untuk menerapkan skala pengukuran secara umum dari beberapa nilai yang didapat untuk input yang
beragam dan berbeda untuk menciptakan suatu analisis yang terpadu. Weighted Overlay hanya dapat
mengolah data dalam bentuk rasters, seperti peta jenis penggunaan lahan atau jenis tanah. Weighted
overlay adalah salah satu terapan dari cell-based analysis modelling yang melibatkan seluruh sel dalam
suatu data raster secara bersamaan. Dengan metode ini dilakukan penentuan bobot dan skor pada peta
resiko melalui peta bahaya dan kerentanan, dimana pada dasarnya analisis dan pembuatan peta risiko
diturunkan dari data spasial dan atribut (tabel 3).
Tabel 3. Urutan Parameter Bencana
Parameter Bahaya Banjir
Urutan (rj)
Parameter Bencana
1
Parameter Kerentanan
2
Jumlah

(n-rj+1)
2
1
10

Bobot (Wj)
0.50
0.50
1.00

Berdasarkan hasil overlay dari masing-masing parameter, adapun kelas risiko dibagi menjadi
3 (tiga) kelas antara lain : (1) tinggi, (2) sedang, dan (3) rendah.

.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Administratif Wilayah

12

Secara geografis lokasi penelitian terdiri dari 3 kecamatan yang berada dalam Kabupaten
Karawang, yakni : Kecamatan Karawang Barat, Kecamatan Telukjambe Barat dan Kecamatan
Tekukjambe Timur (Gambar 1). Secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 50 56-60 34
LS, dan memiliki luas 15,890.58Ha, dengan batasan wilayah sebagai berikut :
-

Sebelah Utara
Sebelah Barat
Sebelah Timur
Sebelah Selatan

: Kecamatan Rawamerta (Kab. Karawang)


: Kabupaten Bekasi
: Kecamatan Karawang Timur, Klari dan Ciampel (Kab. Karawang).
: Kecamatan Pangkalan (Kab. Karawang).

1. Kecamatan Karawang Barat


Kecamatan Karawang Barat merupakan Bagian wilayah dari 30 Kecamatan di Kabupaten
Karawang dengan luas wilayah 3.473,797 Ha.
Adapun batas wilayah administrative Kecamatan Karawang Barat adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Kecamatan Rengasdengklok dan Kecamatan Rawamerta.
- Sebelah Selatan : Kecamatan Telukjambe Timur.
- Sebelah Barat : Kabupaten Bekasi.
- Sebelah Timur : Kecamatan Karawang Timur.
Secara administrative kecamatan Karawang Barat, membawahi 8 (delapan) Desa, yaitu
(1) Desa Adiarsa Barat (2.61 km2), (2) Desa Nagasari (3.25 km2), (3) Desa Karawang Kulon
(2.18 km2), (4) Desa Karangpawitan (9.87 km2), (5) Desa Tanjungpura (5.79 km2), (6) Desa
Tanjungmekar (3.28 km2), (7) Desa Tunggakjati (4.96 km2), dan (8) Desa Mekarjati (7.93 km2).
2. Kecamatan Telukjambe Barat
Wilayah Kecamatan Telukjambe Barat memiliki luas wilayah seluas 6.107 Ha, Adapun batas
-

wilayah administrative wilayah ini adalah sebagai berikut :


Sebelas Utara : Kabupaten Bekasi.
Sebelah Selatan : Kecamatan Pangkalan;
Sebelah Barat : Kabupaten Bekasi;
Sebelah Timur : Kecamatan Telukjambe Timur.
Secara administrasi Kecamatan Telukjambe Barat membawahi 10 (sepuluh) Desa, yaitu :
(1) Desa Margakaya (8.20 km2), (2) Desa Margamulya (9.12 km2), (3) Desa Karangligar (4.00 km2),
(4) Desa Parungsari (2.94 km2), (5) Desa Mekarmulya (3.53 km2), (6) Desa Mulyajaya (3.88 km2),
(7) Desa Karangmulya (4.22 km2), (8) Desa Wanasari (12.78 km2), (9) Desa Wanakerta (10.73 km2),
dan (10) Desa Wanajaya (13.96 km2).

3. Kecamatan Telukjambe Timur


Luas wilayah Kecamatan Teluk Jambe Timur adalah 3.511.010 Ha, Letak wilayah Kecamatan
-

Teluk Jambe Timur berada pada wilayah dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Karawang Timur
Sebelah Selatan : Kabupaten Bekasi dan Kecamatan Pangkalan
Sebelah Barat : Kecamatan Teluk Jambe Barat
Sebelah Timur : Kecamatan Ciampel
Secara administratif Kecamatan Teluk Jambe Timur membawahi 9 sembilan Desa terdiri dari :
(1) Desa Teluk Jambe (2.62 km2), (2) Desa Pinayungan (2.09 km2), (3). Desa Sirnabaya (11.51 km2),

13

(4) Desa Puser Jaya (3.09 km2), (5) Desa Sukaluyu (5.59 km2), (6) Desa Wadas (6.67 km2), (7) Desa
Sukaharja (2.06 km2), (8) Desa Sukamakmur (2.33 km2), dan (9) Desa Purwadana (4.17 km2).
Kondisi Fisik Wilayah
Curah Hujan
Curah hujan di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan orografi dan perputaran/
pertemuan arus udara. Oleh karena itu, jumlah curah hujan sangat beragam menurut bulan. Wilyah
penelitian memiliki curah hujan yang seragam yakni curah hujan dengan tebal hujan
1.300 1.600 mm/tahun, disajikan pada gambar 2 sebagai berikut :

Gambar 2. Peta Batas Administrasi Lokasi Penelitian


Jaringan Sungai
Lokasi penelitian berada di wilayah DAS Citarum, yang merupakan lokasi merupakan daerah
yang selalu menjadi langganan banjir disetiap tahunnya akibat meluapnya aliran Sungai Citarum saat
musim hujan dengan curah hujan maksimal (gambar 3).

14

Gambar 2. Peta Batas Administrasi Lokassi Penelitian


Jenis Tanah
Tanah diwilayah penelitian terdiri dari 5 (lima) jenis berdasarkan great group yang teridentifikasi.
Jenis tanah yang ada di wilayah penelitian antara lain : Podsolik, Aluvial, Grumusol, Humus dan Aluvial
dan Latosol. Adapun informasi jenis tanah disajikan pada tabel 4 dan gambar 3.
Tabel 4. Jenis Tanah dan luasnya di Lokasi Penelitian.
No.
Jenis Tanah (great group)
1.
Podsolik
2.
Alluvial
3.
Grumusol
4.
Humus dan Alluvial
5.
Latosol

Luas (ha)
6,529.99
4,225.15
2,327.62
1,772.10
1,035.72

Persentase (%)
41.09%
26.59%
14.65%
11.15%
6.52%

15

Gambar 3. Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian


Berdasarkan tabel dan peta diatas, tanah dengan great group Podsolik menempati 41.09% dari
seluru luas wilayah penelitian. Sementara untuk jenis tanah Alluvial menepati 26.59% dari luas wilayah
penelitian. Jenis tanah alluvial banyak terdapat disepanjang daerah aliran Sungai Citarum. Sementara
Jenis tanah Latosol sebesar 6.52% dari luas wilayah penelitian.
Geologi
Hampir seluruh daerah penelitian berbahan induk endapan permukaan dan sebagian lagi wilayah
penelitian berasal dari bahan induk sedimen. Hal tersebut disebabkan Karena wilayah penelitian berada
disepanjang jalur aliran sungai Citarum sehinga bahan induk dari daerah tersebut berassal endapat yang
terbawa oleh aliran sungai tersebut. Adapun jenis bahan induk yang terdapat pada wilayah penelitian
disajikan pada gambar 4.

16

Gambar 4. Peta Geologi Lokasi Penelitian

Kondisi Sosial Wilayah


Kepadatan Penduduk
Pada daerah penelitian, kepada penduduk terdiri dari 3 kelas, antara lain : (1) Kepadatan Tinggi
(< 500 jiwa/km2), (2) Kepadatan Sedang (500 1.000 jiwa/km2), dan (3) kepadatan Rendah
(> 1.000 jiwa/km2). Berdasarkan gambar dibawah bahwa kepadatan penduduk diwilayah penelitian
secara umum tergolong kepadatan tinggi. Adapun daerah yang memiliki kepadatan tinggi
(>1.000 jiwa/km2) yakni sekitar 73.11% (11,617.11 ha). Dan disusul dengan daerah dengan kepadatan
penduduk sedang (500 1.000 jiwa/km) mencakup 15.72% wilayah penelitian (2,498.08 ha). Dan daerah
dengan kepadatan rendah (<500 jiwa/km2) mencakup 11.17% (1,77.43 ha).
Adapun daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi berada pada kecamatan
Karawang Barat, Telukjambe Timur dan bagian utara Telukjambe Barat. Sementara sebagian dari wilayah
Kecamatan Telukjambe Barat memiliki tingkat kepadatan penduduk sedang dan rendah. Distribusi
kepadatan penduduk dilokasi penelitian disajikan pada gambar 5.

17

Gambar 5. Peta Kepadatan Penduduk di Wilayah Penelitian.


Sex Rasio
Sex ratio merupakan perbandingan antara jumlah penduduk wanita dan pria. Berdasarkan data
BPS yakni Kecamatan Dalam Angka 2013. Sex rasio pada lokasi penelitian dibagi menjadi 3 kelas antara
lain : (1) sex rasio rendah (< 100%), (2) sex rasio sedang (100%), dan (3) sex rasio tinggi (>100%).
Berdasarkan peta diatas, lokasi penelitian didominasi oleh daerah yang memiliki persentase sex rasio
tinggi (>100%). Artinya bahwa wilayah penelitian memiliki jumlah penduduk wanita lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penduduk pria, yakni mencapai 73.35% dari luas lokasi penelitian
(11,656.322 ha). Sementara hanya Desa Wanasari yang memiliki sex ratio yang seimbang yakni 100%.
Dan daerah yang memiliki sex rasio rendah yakni < 100% yang mencakup 21.33% luas lokasi penelitian
(3,388.81 ha). Adapun distribusi sex rasio didaerah penelitian disajikan pada gambar 7 sebagai berikut :

18

Gambar 6. Peta Sex Rasio di Lokasi Penelitian


Keluarga Miskin.
Sementara untuk jumlah keluarga miskin di lokasi penelitian, dibagi menadi 3 kelas yakni :
(1) rendah (< 20% dari total rumah tangga), (2) sedang (20-40% dari total rumah tangga) dan (3) tinggi
(>40% dari total rumah tangga). Berdasarkan Data BPS tahun 2013, wilayah penelitian didominasi oleh
kelas sedang (20-40%) yang meliputi 53.08% dari luas wilayah penelitian (8,434.35 ha). Sementara
daerah yang memiliki tingkat kemiskinan rendah (<20%) hanya 26.52% dari luas wilayah penelitian
(4,213.68 ha). Dan daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi (>40%) sebesar 20.41% dari luas
wilayah penelitian (3,242.6 ha). Adapun sebaran keluarga miskin pada lokasi penelitian disajikan pada
gambar 7.
Berdasarkan gambar, di Kecamatan Karawang Barat didominasi oleh kelas keluarga miskin
tingkat tinggi dan sedang. Sementar jumlah kelurga miskin dengan kelas rendah (<20%) hanya sedikit.
Sementara di Kabupaten Telukjambe Barat tergolong sedang. Karena didominasi jumlah keluarga miskin
hanya 20-40% dari total rumah tangga (tingkat sedang). Dan pada kecamatan Telukjambe Timur memiliki
jumlah keluarga miskin < 20% dari total rumah tangga.

19

Gambar 7. Peta Sebaran Keluarga Miskin di Lokasi Penelitian.


Kondisi Ekonomi Wilayah
Koperasi (KUD dan non-KUD)
Keberadaan koperasi di suatu wilayah merupakan sarana pendukung dalam perekonomian
diwilayah tersebut. Diwilayah penelitian, koperasi sangat berperan guna mendukung perekonomian
masyarakat. Adapun jenis koperasi yang ada bermacam-macam yakni jenis KUD (bersifat pemerintah)
maupun koperasi swasta lainnya. Distribusi jumlah koperasi dilokasi penelitian dapat dilihat pada
gambar 8.
Berdasarkan distribusi tersebut, wilayah yang mempunyai koperasi < 3 unit mencapai 68.14%
dari wilayah penelitian. Sementara wilayah yang mempunyai koperasi sebanyak 3-5 unit sebesar 5.35%,
wilayah yang mempunyai jumlah koperasi 6-8 unit hanya 16.79% dari lokasi penelitian. Berbeda dari
wilayah sebelumnya, wilayah yang mempunyai koperasi 9-11 unit hanya 6.34% dan wilayah yang
mempunyai koperasi >11 unit hanya 3,99% dari wilayah penelitian.

20

Gambar 8. Peta Distribusi Koperasi di Lokasi Penelitian


Luas Sawah
Sawah merupakan salah satu parameter dalam keberadaan lahan produktif disuatu wilayah.
Menginat bahwa wilayah penelitian dan Kabupaten Karawang sendiri merupakan daerah penghasil padi
dan menjadi lumbung padi di Jawa Barat, maka keberadaan sawah menjadi sangat penting dan berkaitan
erat dengan perhitungan kerentanan terhadap banjir. Adapun distribusi luasan sawah diwilayah penelitian
disajikan pada gambar 9.
Berdasarkan gambar 9, Kecamatan Telukjambe Barat merupakan wilayah yang mempunyai luas
sawah yang lebih besar dibandingkan dengan 2 kabupaten lainnya. Walaupun wilayah tersebut
merupakan bagian dari wilayah lumbung padi Jawa Barat, namun luasan sawah dimasing-masing wilayah
distribusinya tidak merata. Terkait dengan luasan sawah tersebut disajikan kelas distribusi luasan sawah
dilokasi penelitian sebagai berikut :
Tabel 6. Kelas Distribusi Luasan Sawah di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Luasan Sawah
Luas Sawah
1.
< 6 % dari luas desa
259.27
2.
6 s/d 27 % dari luas desa
10,284.19
3.
28 s/d 48 % dari luas desa
735.78
4.
49 s/d 69 % dari luas desa
1,930.22
5.
> 69 % dari luas desa
2,681.35

Persen (%) Luasan


1.63
64.72
4.63
12.15
16.87

21

Gambar 9. Distribusi Sawah di Lokasi Penelitian


Kondisi Infrastruktur Wilayah
Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan salah satu bangunan fisik yang sangat dibutuhkan apabila terjadi
banjir. Adapun distribusi fasilitas kesehatan dilokasi penelitian disajikan pada gambar 10.

Gambar 10. Distribusi Fasilitas Kesehatan di Lokasi Penelitian.

22

Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa wilayah Kecamatan Telukjambe Timur memiliki jumlah
fasilitas kesehatan lebih sedikit dibandingkan dengan 2 wilayah kecamatan lainnya. Adapun distribusi
fasilitas kesehatan dilokasi penelitian dibagi dalam beberapa kelas, secara lengkap disajikan pada tabel 7
sebagai berikut :
Tabel 7. Kelas Distribusi Fasilitas Kesehatan di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Fasilitas Kesehatan
Luas Sawah
1.
< 3 unit
259.27
2.
3 s/d 6 unit
10,284.19
3.
7 s/d 10 unit
735.78
4.
11 s/d 14 unit
1,930.22
5.
> 14 unit
2,681.35

Persen (%) Luasan


1.63
64.72
4.63
12.15
16.87

Sumber Air Bersih


Terjadinya banjir menyebabkan jumlah ketersediaan/pasokan air bersih menjadi berkurang
bahkan dibeberapa tempat menjadi langka. Sumber air bersih yang digunakan menjadi sangat penting
terutama dalam mendukung pemenuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Mengingat saat terjadi
banjir banyak sekali penyakit yang dibawa bersama air banir . Dalam hal ini sumber air bersih yang
dimaksud adalah air bersih yang berasal dari sumber yang dilindungi, seperti air kemasan, air ledeng, dan
sumur yang terlindungi. Adapun distribusi jumlah rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih
yang terlindungi disajikan pada gambar 11 sebagai berikut :

Gambar 11. Distribusi Sumber Air Terlindungi di Lokasi Penelitian.

23

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kelas Lereng
Berdasarkan analisi data DEM, lokasi penelitian mempunyai 4 kelas lereng, antara lain : (1)
Datar (0-3%), (2) Berombak (3-8%), (3) Bergelombang (8-15%), dan (4) Berbukit (15-25%). Adapun kelas
lereng dari lokasi penelitian disajikan pada gambar berikut :

Gambar 12. Peta Lereng Lokasi Penelitian


Wilayah penelitian merupakan wilayah yang relatif datar, sehingga perbedaan kemiringan lereng
dari masing-masing wilayah sangat kecil. Secara spasial kelerengan diwilayah penelitian disajikan pada
gambar 5. Berdasarkan peta tersebut, wilayah penelian didominasi dengan kelas lereng data (0-3%) yakni
sebesar 64.42%. Kelas lereng datar tersebar dibagian utara dan tengah lokasi penelitian. Sedangkan
bagian selatan di dominasi oleh kelas lereng berombak (3-8%) dan bergelombang (8-15%). Adapun
secara lengkap kelas lereng dan luasannya disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Lereng dan Luasnya
No.
Kelas Lereng
1.
0 3%
2.
3 8%
3.
8 15%
4.
15 25%

Luasan (ha)
10,224.30
4,027.63
1,562.97
55.23

Persentase (%)
64.42
25.38
9.85
0.35

24

Penggunaan Lahan
Pada tahun 2012, terdapat 12 jenis penggunaan lahan diwilayah penelitian, antara lain :
(1) waduk, (2) sungai, (3) jalan, (4) hutan, (5) perkebunan, (6) kebun campuran (7) tegalan/ladang, (8)
sawah, (9) semak belukar, (10) lahan terbuka, (11) permukiman, dan (12) bangunan industri. Penamaan
penggunaan lahan yang dipakai mengacu pada SNI No. 7645 tahun 2010. Berdasarkan hasil interpretasi
citra, adapun penggunaan lahan pada lokasi penelitian terridi dari 12 kelas penggunaan lahan, disajikan
pada peta berikut :

Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian


Berdasarkan gambar diatas diperoleh bahwa pada wilayah penelitian didominasi oleh
penggunaan lahan sawah (55.99%) yang disusul dengan penggunaan lahan permukiman (17.52%).
Sementara luasan hutan hanya tinggal 1.10% dari luas wilayah penelitian. Hal tersebut menandakan
bahwa telah terjadinya konversi hutan menjadi penggunaan lahan sawah dan penggunaan lahan lainnya
sedara besar-besaran. Rustiadi et al. (1997) menambahkan bahwa penggunaan lahan merupakan refleksi

25

perekonomian dan preferensi masyarakat. Apabila refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat
tersebut saling berhubungan dan bersifat dinamis,

sejalan pertumbuhan penduduk dan dinamika

pembangunan, maka penggunaan lahan pun bersifat dinamis sehingga dapat berkembang kearah
peningkatan kesejahteraan masyarakat, begitu pula sebaliknya. Adapun luasan dari beberapa
penggunaan lahan dilokasi penelitian disajikan pada tabel 8 sebagai berikut :
Tabel 8. Penggunaan Lahan dan Luasnya di Lokasi Penelitian.
No.
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
1.
Waduk
6.54
2.
Sungai
285.26
3.
Jalan
277.03
4.
Hutan
175.08
5.
Perkebunan
111.29
6.
Kebun Campuran
42.47
7.
Tegalan/Ladang
2,615.46
8.
Sawah
8,895.85
9.
Semak Belukar
12.26
10.
Lahan Terbuka
125.37
11.
Permukiman
2,783.09
12.
Bangunan Industri
559.92

Persentasi (%)
0.04
1.80
1.74
1.10
0.70
0.27
16.46
55.99
0.08
0.79
17.52
3.52

Jarak dari Sungai


Jarak dari sungai salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir dilokasi penelitian.
Dalam perhitungan jarak ini menggunakan metode buffer masing-masing pada jarak : (1) 0 s/d 100 meter,
(2) 100 s/d 200 meter, (3) 200 s/d 300 meter (4) 300 s/d 400 meter (5) > 500 meter. Adapun perhitungan
jarak tersebut disajikan pada peta berikut :

Gambar 14. Peta Buffer Sungai

26

Analisis Bahaya
Langkah awal dalam melakukan pemetaan dan analisis terhadap bahaya banjir adalah
melakukan pemberian skor dan bobot pada masing-masing parameter bahaya banjir. Penilaian bobot dan
skor ini berdasarkan pada penilaian subjektif penulis yaitu tingkat pengetahuan dan pengalaman penulis.
Kemudian dilakukan penilaian bahaya berdasarkan persamaan sebagai berikut :

IBB=35 ( BS ) +35 ( LU ) +10 ( LRG ) +10 ( CH ) +10 (TNH ) (3)


Dimana :

BS

: Buffer Sungai

LU

: Penggunaan Lahan

LRG : Kemiringan Lereng


CH

: Curah Hujan

TNH : Tanah
Selanjutnya melakukan overlay dengan menggunakan metode weighted overlay sebagaimana
yang tertera pada gambar 15, dari proses tersebut menghasilkan 4 kelas bahaya (gambar 16).

Gambar 15. Proses Pembobotan untuk Peta Bahaya dengan Metode Wighted Overlay

27

Gambar 16. Peta Bahaya Banjir di Lokasi Penelitian


Berdasarkan pembobotan diatas, terlihat bahwa Kecamatan Telukjambe Barat memiliki wilayah
dengan bahaya banjir pada kelas sangat tinggi dengan luasan lebih besar dibandingkan dengan
2 kecamatan lainnya. Sementara daerah yang memiliki kelas bahaya sangat rendah juga berada di
Kecamatan Telujambe Barat. Adapun luasnya wilayah banjir berdasarkan kelas bahayanya disajikan pada
tabel 9 sebagai berikut :
Tabel 9. Kelas Bahaya Banjir beserta Luasannya di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Bahaya
Luasan (ha)
1.
Sangat Rendah
8.56
2.
Rendah
449.75
3.
Sedang
1,537.43
4.
Tinggi
6,704.55
5.
Sangat Tinggi
7,085.68

Persentasi (%)
0.05
2.85
9.74
42.47
44.89

Secara umum wilayah yang memiliki tingkat bahaya tinggi berada didekat sungai, sehingga
mengindikasikan bahwa lebih dekat dengan sungai berpotensi menimbulkan bahaya banjir. Selain
mempunyai jarak yang dekat dengan sungai, daerah yang memiliki tingakt bahaya tinggi hingga sangat
tinggi disebabkan karena adanya alih fungsi lahan menjadi penggunaan lahan non-pertanian sehingga
mengurangi daerah serapan dan tampungan air saat terjadinya hujan terutama pada curah hujan yang
tinggi.
Analisis Kerentanan
Pada penelitian ini, perhitungan kerentanan terdiri dari 3 (tiga) bagian, antara lain :
(1) kerentanan social, (2) kerentanan ekonomi, dan (3) kerentanan fisik (infrastruktur).
Kerentanan Sosial
Pada penelitian ini, parameter yang digunakan dalam analisis kerentanan social antara lain :
kepadatan penduduk, sex rasio dan jumlah keluarga miskin. Pembuatan peta kerentanan social dibuat
berdasarkan pembobotan dan skor pada tabel 3. Parameter kerentanan social tersebut selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan metode weighted overlay (gambar 17).

Gambar 17. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Sosial dengan Metode Wighted Overlay

28

Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh kerentanan social yang dikelompokkan menjadi 5 kelas
kerentanan. Secara umum, ketiga kecamatan tersebut memiliki tingkat kerentanan social tinggi hingga
sangat tinggi terhadap terjadinya banjir. Namun Kecamatan Telukjambe Barat dan bagian utara
Kecamatan Karawang Barat merupakan wilayah yang memiliki tingat kerentanan sosial yang tinggi
terjadinya banjir di wilayah tersebut dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya. Adapun tingkat
kerentanan social wilayah penelitian disajikan pada gambar 18.

Gambar 18. Peta Kerentanan Sosial


Tingkat kerentanan sangat tinggi menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki potensi kerugian
dan kehilangan sangat tinggi dalam terjadinya bencana banjir.. Semakin tinggi tingkat kerentana
menandakan bahwa semakin tinggi pula kehilangan/kerusakan yang terjadi diwilayah tersebut. Begitu pula
untuk kelas lainnya. Adapun luasan dari masing-masing kelas kerentanan tersebut disajikan pada tabel
10, sebagai berikut :
Tabel 10. Kelas Kerentanan Sosial beserta Luasannya di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Bahaya
Luasan (ha)
Persentasi (%)
1.
Sangat Rendah
1,185.64
7.46
2.
Rendah
599.49
3.77
3.
Sedang
811.91
5.11
4.
Tinggi
1,348.41
8.48
5.
Sangat Tinggi
1,1948.25
75.18

29

Kerentana Ekonomi
Pada penelitian ini, parameter yang digunakan dalam analisis kerentanan ekonomi antara lain :
jumlah koperasi dan luas sawah yang merupakan lahan produktif di wilayah penelitian. Pembuatan peta
kerentanan ekonomi dibuat berdasarkan pembobotan dan skor pada tabel 4. Parameter kerentanan
ekonomi tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode weighted overlay (gambar 19).

Gambar 19. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Ekonomi dengan Metode Wighted Overlay
Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh kerentanan ekonomi yang dikelompokkan menjadi
5 kelas kerentanan. Sama halnya dengan kerentanan social, hasil analisis menunjukkan bahwa secara
umum, ketiga kecamatan tersebut memiliki tingkat kerentanan ekonomi tinggi hingga sangat tinggi
terhadap terjadinya banjir. Namun Kecamatan Telukjambe Barat dan bagian utara Kecamatan Karawang
Barat merupakan wilayah yang memiliki tingat kerentanan ekonomi yang tinggi terjadinya banjir di wilayah
tersebut dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya. Adapun tingkat kerentanan ekonomi wilayah
penelitian disajikan pada gambar 20 .

30

Gambar 20. Peta Kerentanan Ekonomi Lokasi Penelitian


Hampir seluruh Desa di Kecamatan Telukjambe Barat memiliki kerentanan ekonomi sangat
tinggi, hal ini disebabkan karena kecamatan tersebut memiliki luas sawah yang lebih besar namun
memiliki jumlah koperasi yang sedikit, sehingga sangat rentan terhadap terjadinya banjir. Adapun luasan
dari masing-masing kelas kerentanan tersebut disajikan pada tabel 11, sebagai berikut :
Tabel 11. Kelas Kerentanan Ekonomi beserta Luasannya di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Bahaya
Luasan (ha)
Persentasi (%)
1.
Sangat Rendah
1,185.64
7.46
2.
Rendah
599.49
3.77
3.
Sedang
811.91
5.11
4.
Tinggi
1,348.41
8.48
5.
Sangat Tinggi
1,1948.25
75.18
Kerentanan Fisik/Infrastruktur
Pada penelitian ini, parameter yang digunakan dalam analisis kerentanan fisik/infrastruktur antara
lain : jumlah fasilitas kesehatan dan jumlah rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih yang
terlindungi. Pembuatan peta kerentanan ekonomi dibuat berdasarkan pembobotan dan skor pada tabel 6.
Parameter kerentanan ekonomi tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode weighted
overlay (gambar 21). Dan hasil analisisnya disajikan pada gambar 22 sebagai berikut :

Gambar 21. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Fisik dengan Metode Wighted Overlay

31

Gambar 22. Peta Kerentanan Fisik Lokasi Penelitian


Berbeda dengan hasil analisis pada kerentanan social dan kerentanan ekonomi, pada
kerentanan infrastruktur didominasi oleh kerentanan rendah hingga sangat rendah. Hal ini disebabkan
oleh tingginya kesadaran masyarakat akan terjadinya banjir. Tingginya jumlah fasilitas kesehatan dan
jumlah rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih yang terlindungi merupakan salah satu
bentuk adaptasi masyarakat terhadap terjadinya banjir pada lokasi penelitian. Adapun luasan berdasarkan
kelas kerentanan infrastruktur disajikan pada tebel 12 sebagai berikut :
Tabel 11. Kelas Kerentanan Infrastruktur beserta Luasannya di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Bahaya
Luasan (ha)
Persentasi (%)
1.
Sangat Rendah
11,948.25
75.18
2.
Rendah
1,348.41
8.48
3.
Sedang
811.91
5.11
4.
Tinggi
599.49
3.77
5.
Sangat Tinggi
1,185.63
7.46
Kerentanan Total
Pada penelitian ini kerentanan total dihitung dengan melakukan pembobotan antara kerentanan
social, kerentanan ekonomi dan kerentanan fisik/infrastruktur. Adapun pembobotan yang digunakan dalam
analisis kerentanan total berdasarkan persamaan sebagai berikut :

KerentananTotal=40 ( Kersos ) +30 ( Kereko )+ 30(ker infra) .(4)


Dimana :

Ker-sos

: Kerentanan Sosial

Ker-eko

: Kerentanan Ekonomi

Ker-infra

: Kerentanan Fisik/Infrastruktur

Berdasarkan persamaan diatas, kerentatan total dilakukan analisis dengan method weighted
overlay. Adapun pelaksanaan metode tersebut disajikan pada gambar 23 sebagai berikut :

Gambar 23. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Total dengan Metode Wighted Overlay
Berdasarkan analisis tersebut diperoleh 3 kelas kerentanan, antara lain : (1) kerentanan tinggi.
(2) kerentanan sedang, dan (3) kerentanan rendah. Adapun hasil dari proses overlay tersebut disajikan
pada gambar 24 sebagai berikut :

32

Gambar 24. Peta Kerentanan Total di Lokasi Penelitian


Hasil analisis diketahui bahwa lokasi penelitian secara umum memiliki kerentanan tinggi terhadap
terjadinya banjir. Dan Kecamatan Telukjambe Barat merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerentanan
tinggi dibandingkan kecamatan lainnya. Adapun distribusi luasan berdasarkan tingkat kerentanannya
disajikan pada tabel 12.
Tabel 12. Kelas Kerentanan Total beserta Luasannya di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Bahaya
Luasan (ha)
Persentasi (%)
1.
Tinggi
11,946.53
75.17
2.
Sedang
2,160.50
13,59
3.
Rendah
1,786.68
11.24
Analisis Risiko
Penilaian terhadap risiko banjir merupakan kombinasi antara peta bahaya dan peta kerentanan.
Adapun pembobotan dan skoring yang digunakan dalam penentuan resiko bencana banjir berdasarkan
tabel 3 yang dioverlay dengan menggunakan metode weighted overlay. Adapun proses dan hasil dari
metode ini disajikan pada gambar 25 dan 26.

33

Gambar 25. Proses Pembobotan untuk Peta Risiko dengan Metode Wighted Overlay

Gambar 26. Peta Risiko Bencana di Lokasi Penelitian


Berdasarkan peta diatas, secara keseluruhan lokasi penelitian termasuk wilayah risiko banjir
kelas risiko sedang. Lokasi penelitian terdiri dari 3 kelas risiko banjir yakni : (1)risiko rendah, (2)risiko
sedang dan (2) risiko tinggi. wilayah yang termasuk risiko tinggi lebih dominan tersebar di Kecamatan
Telukjambe Barat dan Karawang Barat. Sedangkan di Kecamatan Telukjambe Timur didominasi oleh risiko
sedang. Tingginya tingkat risiko bencana di sebagian wilayah Kecamatan Telukjambi Barat disebabkan
wilayah tersebut memiliki kepadatan penduduk, luas sawah dan jumlah keluarga miskin yang tinggi,
namun memiliki jumlah fasilitas kesehatan serta berada pada wilayah aliran sungai. Adapun distribusi
luasan berdasarkan tingkat risiko bencana disajikan pada tabel 13.
Tabel 13. Kelas Risiko Bencana beserta Luasannya di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Bahaya
Luasan (ha)
1.
Tinggi
5,655.42
2.
Sedang
10,129.33
3.
Rendah
2.69

Persentasi (%)
35.82
64.16
0.02

34

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian latar belakang, tujuan dan hasil penelitian yang telah disampaikan
sebelumnya, maka kesimpulan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
Alih fungsi lahan dan tingginya laju penduduk menyebabkan peluang terjadinya bencana banjir di
Kabupaten Karawang. Namun, tidak semua wilayah memiliki tingkat riiko yang sama terhadap terjadinya
bencana banjir dilokasi penelitian. Penentuan tersebut didasarkan pada tingkat bahaya dan kerentanan
dari masing-masing daerah. Berdasarkan analisis risiko bencana di Kecamatan Karawang Barat,
Telukjambe Barat dan Telukjambe Timur disimpulkan secara umum wilayah tersebut tergolong berisiko
sedang untuk terjadinya bencana banjir. Namun pada wilayah kecamatan tersebut juga memiliki wilayah
yang beresiko bencana sangat tinggi terutama diwilayah yang berada dekat dengan aliran sungai.

DAFTAR PUSTAKA
Barus, B. dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi, Laboratorium Penginderaan Jauh dan
Kartografi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Linsley RK, Paulus JL. 1979. Applied Hydrologi. New York. Mc. Graw Hill Book Comp. Inc.
Primulya A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
(Studi Kasus Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur). Skripsi. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Primayuda A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur).
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Bogor
Fakultas Pertanian IPB.
Sunarti E, Sumarno H, Murdiyanto, Hadianto A. 2009. Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan
untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor Pertanian.
Suwardi. 1999. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Sebagian Kotamadya Semarang
dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi [tesis]. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.

35

Você também pode gostar