Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh:
Diah Listyarini
A153130021
Dosen:
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim sudah semakin dirasakan dan telah menimbulkan dampak pada berbagai segi
kehidupan masyarakat. Pergeseran awal musim, perubahan tinggi maupun keragaman hujan juga sudah
diamati di beberapa daerah. Disamping itu juga ditemukan kecendrungan semakin meningkatnya
frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim dirasakan akhir-akhir ini1. Naiknya muka air laut akibat dari
kenaikan suhu menyebabkan meningkatnya masalah salinitas dan robs di berbagai wilayah pantai
Indonesia. Perubahan pola hujan, pergeseran musim, kenaikan suhu, dan kenaikan muka air laut akan
menimbulkan banyak implikasi pada berbagai sektor. Pada sektor petanian perubahan iklim akan
mempengaruhi pola tanam, menurunkan hasil tanaman, merubah intensitas tanam, tingkat serangan
hama penyakit dan lain-lain. Pada sektor sumberdaya air, perubahan iklim akan mempengaruhi
keberlanjutan ketersediaan air untuk mendukung berbagai kegiatan pembangunan. Pada sektor
kesehatan, tingkat serangan penyakit menular khususnya jenis penyakit dibawa air dan vector seperti
demam berdarah, malaria, diare juga diperkirakan akan meningkat. Di Kabupaten Karawang sendiri,
frekuensi kejadian bencana banjir jadi semakin rutin terjadi dan banjir sudah mulai merugikan masyarakat
setiap tahunnya.
Telah banyak kajian yang dilakukan terhadap bencana dan berbagai masalahnya di Indonesia,
dan telah banyak pula rekomendasi yang diberikan serta langkah-langkah nyata untuk mengatasi
bencana telah dilaksanakan. Meskipun demikian, masih selalu muncul pertanyaan dan masalah
dilapangan. Salah satu upaya mitigasi dan penyelesaian masalah banjir melalui pendekatan risiko
bencana. Indiyanto dan Kuswanjono (2012) menambahkan bahwa sebenarnya bencana memperlihatkan
adanya sesuatu yang tidak berjalan baik atau sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan risiko bencana
didalam masyarakat. Beberapa tahun ini, Beberapa kecamatan di Kabupaten Karawang yang menjadi
langganan banjir disetiap tahunnya adalah Kecamatan Karawang Barat, Kecamatan Telukjambe Barat dan
Kecamatan Telukjambe Timur.
Salah bentuk kombinasi antara local knowledge dan pengetahuan sains yang mungkin dapat
digunakan dalam melakukan manajemen bencana adalah dengan menggunakan geographic information
system (GIS) yang dapat menestimasi data pengetahuan local yang ada dikawasan bencana sehingga
dapat dibandingkan, dianalisis, diseminasikan dan dipraktikan bersama (Sillitoe, Barr dan Alam, 2004
dalam Indiyanto dan Kuswanjono, 2012).Cara yang tepat untuk menyelenggarakan program belajar resiko
adalah dengan mencciptakan desain kelembagaan dan mengukur skala kerentanan dalam masyarakat
(Douglas, 1992).
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang, maka tujuan penelitian adalah :
1. Memetakan dan menganalisa distribusi spasial daerah bahaya banjir di Kecamatan Karawang Barat,
Telukjambe Timur dan Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.
2. Menganalisis dan memetakan daerah risiko banjir berdasarkan kelas bahaya, dan kerentanan di
Kecamatan Karawang Barat, Telukjambe Timur dan Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.
3. Memberikan rekomendasi mitigasi banjir di Kecamatan Karawang Barat, Telukjambe Timur dan
Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
digunakan untuk inventarisasi analisis bahaya dan risiko banjir, khususnya didaerah penelitian.
2. Peta bahaya (hazard), peta kerentanan (vulnerability) dan peta risiko (risk) banjir di Kecamatan
Karawang Barat, Telukjambe Timur dan Telukjambe Barat di Kabupaten Karawang.
TINJAUAN PUSTAKA
Banjir
Banjir didefinisikan sebagai peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar disekitar sungai
akibat melupaknya air sungai yang tidak mampu ditampung alur sungai. Banjir merupakan interaksi antara
manusia dengan alam dan sistem alam itu sendiri. Bencana banjir merupakan aspek interaksi antara
manusia dengan alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang
bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi, 1999). Linsley dan Paulus (1979)
menambahkan bahwa banjir pada dasarnya merupakan produk dari suatu system daerah aliran sungai
yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik berupa dari daerah aliran sungai maupun dari hujan
sebagai sumbernya. Banjir disebabkan oleh empat faktor yaitu: pemukiman didaratan banjir, perubahan
penggunaan tanah yang mengakibatkan berubahnya fungsi tata guna lahan, curah hujan yang tinggi serta
sungai/saluran yang mengecil akibat adanya pendangkalan.
Maryono (2005), empat hal yang menjadi penyebab terjadinya banjir di Indonesia, antara lain :
1. Faktor hujan yang lebat, tetapi faktor ini tidak selamanya menyebabkan banjir
2. Menurunnya resistensi DAS terhadap banjir akibat perubahan tata guna lahan
3. Faktor kesalahan pembangunan alur sungai, seperti : perulusan sungai, pembetonan dinding dan
pergeseran tepian/sempadan sungai.
4. Faktor pendangkalan sungai dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tampung sungai terhadap
air, sehingga tidak mampu lagi mengalirkan air yang melewati dan meluap (banjir).
Banjir terjadi apabila debit air yang mengalir melalui penampang sungai tidak mampu ditampung
sehingga meluap ke dataran banjir atau aliran air terhalang oleh sampah. Sukandarrumidi (2010)
menambahkan bahaya yang mungkin terjadi antara lain sebagai berikut :
1. Tergenangnya daerah permukiman yang dibangun di daerah sempadan sungai. Air bersama dengan
segala dengan segala kotoran masuk lingkungan permukiman, mengakibatkan keadaan lingkungan
menjadi becek, tidak sehat, dan berbagai penyakit dapat timbul.
2. Hanyut dan rusaknya bangunan yang diterjang oleh banjir. Hal ini akan terjadi apabila konstruksi
teknis bangunan sungai tidak dibuat sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
3. Terjadinya tanah longsor akibat arus air yang mengikis tebing sungai. Pengikisan pada umumnya
terjadi disungai yang membelok (meander). Oleh sebab itu, disarankan jika membangun tumpuan
jembatan jangan pada tebing sungai yang berpotensi erosi.
4. Rusaknya daerah pertanian dan perkebunan di wilayah sempadan sungai. Tanaman mati dan gagal
panen pasti akan mati
5. Timbul penyakit TCD, gatal-gatal pada kulit akibat sanitasi lingkungan yang tidak memnuhi syarat
kesehatan.
Risiko Bencana
Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam sehingga mengakibatkan
timbulnya korban manusia, kerusakan, kerugian dan dampak psikologis (BAKORNAS PB, 2007). Pada
bencana sendiri paradigma risiko muncul sebagai wujud dari perkembangan lanjutan modernisasi
3
kehidupan manusia didunia, istilah risiko sendiri diartikan sebagai sebuah kemungkinan serangan fisik
yang diakibatkan dari perkembangan teknologi dan prosesnya. Artinya, risiko bencana sendiri terjadi dari
sebuah proses perkembangan manusia di dunia dan bukan disebabkan oleh faktor alamian bencana
alam. Resiko adalah akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang
berlangsung atau kejadian yang akan datang. Menurut Bappenas (2009), pengertian resiko adalah
perkiraan kerugian atau kehilangan (nyawa manusia, kerusakan properti dan kerusakan aktifitas ekonomi)
yang disebabkan oleh bahaya di suatu wilayah pada waktu tertentu. Resiko suatu daerah atau suatu objek
terhadap suatu jenis bahaya dapat diperhitungkan tingkatannya.
Upaya-upaya pengurangan risiko bencana merupakan bagian dari proses manajemen risiko
bencana yang didasarkan kepada konsep manajemen risiko, yaitu suatu proses formal tempat faktor risiko
diidentifikasikan (identification), dianalisis (analysis), dan ditangani (response) secara sistematis agar
kerugian (loss and damage) dapat dicegah atau diperkecil melalui usaha-usaha penanganan risiko,
melalui proses-proses: (1) menghindari (avoiding) sumber-sumber bahaya (misal tidak membangun di
daerah dataran banjir atau di daerah dengan tingkat kerawanan fisik yang tinggi terhadap gempa),
(2) merubah/memodifikasi (altering) bahaya/hazard (misal upaya menurunkan hujan secara artifisial untuk
mengatasi kekeringan), (3) memindahkan (averting) arah ancaman dari masyarakat yang rawan (misal
membuat tanggul sungai, sabo dam untuk menahan dan mengarahkan aliran lahar dan sebagainya), (4)
beradaptasi (adapting) terhadap ancaman bahaya (membuat peraturan bangunan untuk bangunan tahan
gempa, angin kencang dan sebagainya), dan (5) mentransfer risiko kepada pihak lain (misal melalui
asuransi bencana) (LPPM IPB, 2009). Pengkajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan mengkaji
dan memetakan Tingkat Bahaya (hazard), dan Tingkat Kerentanan (vulnerability).
a. Bahaya (hazard)
Secara umum, bahaya adalah fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi
mengancam
kehidupan
manusia,
kerugian
harta
benda
dan
kerusakan
lingkungan.
Untuk menentukan jumlah ancaman yang ada pada suatu daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kotagunakan
data dari dibi (http://dibi.bnpb.go.id). Sesuai dengan jenis ancaman yang di Buku Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana (Renas PB) terdapat 14 Jenis Bencana. Tidak semua provinsi memiliki semua
jenis bencana tersebut.
Peta bahaya menentukan wilayah dimana peristiwa alam tertentu terjadi dengan frekuensi dan
intensitas tertentu, tergantung pada kerentanan dan kapasitas daerah tersebut, yang dapat menyebabkan
bencana. Untuk sebagian besar bencana, intensitas tinggi hanya terjadi dengan frekuensi sangat rendah
(bencana "kecil" terjadi lebih sering daripada bencana "besar"). Selanjutnya pada beberapa bahaya
setempat dan lain-lain hampir merata (BNPB, 2012).
b. Kerentanan (vulnerability)
Istilah ketahanan (resilience) dapat diartikan sebagai Kapasitas sebuah sistem, komunitas atau
masyarakat yang berpotensi terpapar pada bahaya untuk beradaptasi atau berubah untuk mencapai atau
mempertahankan suatu tingkat fungsi dan struktur yang dapat diterima. Ini ditentukan oleh sejauh mana
sistem sosial tersebut mampu untuk mengorganisir diri sendiri untuk meningkatkan kapasitas untuk belajar
dari bencana yang lalu demi perlindungan yang lebih baik di masa depan dan untuk meningkatkan
tindakan-tindakan peredaman risiko. (UN/ISDR. Geneva 2004).
BNPB (2012) telah membuat Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana melalui Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 tahun 2012. Potensi kerentanan pada setiap
bencana dapat dikategorikan ke dalam kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerentanan
Fisik adalah suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kerentanan
Sosial adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial pada suatu wilayah dalam menghadapi bahaya.
Kerentanan Ekonomi adalah suatu kondisi tingkat kerepuhan ekonomi pada suatu wilayah dalam
menghadapi bencana.
Analisis risiko dapat digambarkan secara skematis melalui kombinasi antara bahaya dan
kerentanan dari suatu bencana. Penilaian risiko dilakukan melalui konsep tumpang susun (overlay) antara
peta bahaya dan kerentanan, dimana pada dasarnya operasi yang dilakukan diaplikasikan melalui
penggunaan perhitungan nilai atribut untuk memberikan penilaian risiko. Penilaian risiko (risk) bencana
tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) (Wisner
et al. 2004).
Pelaksanaan analisis kerentanan merupakan komponen dari analisis bencana, menurut Benson
dan Twigg (2007) dalam Sunarti (2009)pentingnya pelaksanaan analisis kerentanan antara lain :
a. Mengidentifikasi kelompok kerentanan dalam suatu wilayah
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat mereka dikategorikan sebagai kelompok rentan serta
menganalisis mekanisme pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kerentanan suatu kelompok
c. Melakukan penilaian terhadap kebutuhan dan kapasitas dari kelompok tersebut.
d. Meyakinkan bahwa kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan ditujukan untuk menurunkan
kerentanan tersebut, diantaranya melalui intervensi kepada kelompok sasaran atau mitigasi dan
mencegah kebijakan-program yang berpotensi menimbulkan kerugian.
menampilkan data spasial baik dalam bentuk data biofisik maupun sosial ekonomi. Barus dan
Wiradisastra (2009) menyimpulkan bahwa Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi
yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan
kata lain, suatu SIG adalah suatu basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang berefensi
spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerjanya.
Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data utamanya. SIG
menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk menurunkan informasi (berupa peta) baru,
sedangkan inderaja langsung membuat peta baru dari inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran
proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. pada berbagai aplikasi lingkungan, permodelan
melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai SIG. sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang
berarti karena tidak disertai informasi baru yang akurat (Alhasanah, 2006 dalam Primayuda, 2006).
SIG sangat bermanfaat dalam kajian bahaya dan resiko banjir, dengan penggunaan teknologi
tersebut dapat dilakukan analisis spasial dengan cepat dan efisien, sehingga dapat dijadikan sebagai
penyedia informasi mengenai faktor-faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya dan resiko banjir.
Selain hal tersebut SIG juga dapat digunakan untuk menghasilkan peta turunan dari peta-peta tematik
lainnya berupa peta resiko dan peta bahaya banjir. Proses penggabungan informasi tersebut dapat
dilakukan dengan cara tumpang tindih (overlay) untuk menurunkan informasi baru (Pramulya, 2010).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian merupakan dataran banjir terdiri dari enam kecamatan yang secara administrasi
berada di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat, antara lain : Kecamatan Karawang Barat, Kecamata
Telukjambe Barat dan Kecamatan Telukjambe Timur. Pemilihan wilayah studi berdasarkan kondisi
topografi yang relatif rendah dan merupakan dataran banjir di Kabupaten Karawang (Gambar 1). Adapun
waktu penelitian dilaksanakan 4 (empat) bulan, mulai dari bulan Agustus hingga Desember 2014.
Bentuk
Sumber Data
Digital
Digital
Digital
Digital
Digital
BIG
BPS Karawang
Barkosurtanal
BMKG
BPDAS Citarum
Digital
LAPAN
Digital
LAPAN
Tabular
Tabular
Tabular
BPS
DInas Sosial Kab. Karawang
Referensi
Pada penelitian ini, pembobotan parameter bahaya banjir menggunakan formulasi Davidson dan
Shah (1997) dan hasilnya disajikan pada Tabel 1. Adapun rumus pembobotan Davidson dan Shah adalah
sebagai berikut :
Wj=
nrj+ 1
(nrj+1) .
.(1)
dimana: Wj adalah nilai bobot yang dinormalkan, n adalah jumlah parameter (1,2,3 ... n) dan rj adalah
posisi urutan parameter.
Tabel 2. Bobot dan skor parameter bahaya banjir dilokasi penelitian
No.
Parameter
1
Jarak dari Sungai (meter)
> 500
300 s/d 400
200 s/d 300
100 s/d 200
0 s/d 100
2
Penggunaan Lahan
Waduk, Sungai , dan Jalan
Hutan dan Perkebunan,
Kebun Campuran, dan Tegalan/ladang
Sawah, Semak belukar dan Lahan Terbuka
Permukiman dan Bangunan industri
3
Kemiringan Lereng (%)
25 45 dan > 45
15 25
8 15
38
03
4
Curah Hujan (mm/thn)
< 1.300
1.300 s/d 1.900
1.900 s/d 2.200
2.200 s/d 3.000
> 3.000
5
Jenis Tanah
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolik kuning.
Brown forest soil, Noncalsic brown, Mediteran
Latosol,
Aluvial, Humus Aluvial , hidomorf kelabu, Laterit air tanah
Bobot
0.35
Skor
1
2
3
4
5
0.35
1
2
3
4
5
0.10
1
2
3
4
5
0.10
1
2
3
4
5
0.10
1
2
3
4
5
berdasarkan atas pengaruh parameter terhadap banjir yaitu 5 paling besar pengaruhnya terhadap tanah
longsor dan 1 paling kecil pengaruhnya terhadap banjir.
Analisis Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan dalam suatu proses kebencanaan dapat didefinisikan sebagai fungsi dari pola
tingkah laku manusia. Tingkat kerentanan dapat dideskripsikan dari sistem sosial ekonomi daerah
tersebut atau tahan dari dampak bencana alam, teknologi yang terkait, serta lingkungan (UNISDR 2012).
Indikator perhitungan kerentanan dibagi kedalam kerentanan social, kerentanan ekonomi, dan kerentanan
fisik/infrastruktur. Sementara untuk perhitungan kerentanan ekonomi, indicator yang digunakan berupa
jumlah KUD dan Luas sawah dan pada perhitungan kerentanan fisik/infrastruktur menggunakan indicator
jumlah fasilitas kesehatan dan jumlah rumah yang menggunakan sumber air terlindungi.
Sumber informasi yang digunakan berasal dari data Badan Pusat Statistik dan data Dinas Sosial
yang dianalisis menggunakan metode spasial Analisis Multi Kriteria (AMK). Analisis multi kriteria adalah
penggabungan beberapa kriteria secara spasial berdasarkan nilai masing-masing kriteria (Saaty 1998
dalam Yulianto (2014). Pembobotan pada masing-masing kriteria dilakukan menggunakan metode
Perbandingan Berpasangan (PB) dalam Proses Hierarki Analisis (PHA). Pada penelitian ini perbandingan
antara masing-masing kriteria, serta penentuan skor dan bobot yang digunakan untuk analisis kerentanan
tersebut mengacu pada Peraturan Kepala badan Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012
(BNPB,2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana yang dimodifikasi sesuai dengan
kondisi wilayah dan ketersediaan data di wilayah penelitian.
a. Kerentanan Sosial
Kerentanan Sosial merupakan suatu kondisi tingkat kerapuhan social masyarakat dalam
menghadapi bencana. Potensi tersebut salah satunya dapat dianalisis dengan memasukan indikator
kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin dan rasio kemiskinan. Kepadatan penduduk dalam hal ini
berkaitan dengan distribusi penduduk di daerah penelitian.
Tabel 3. Indikator dalam menentukan Kerentanan sosial di daerah penelitian
Indikator
Keterangan
Kelas Indeks
Semakin banyak jumlah penduduk yang
Tinggi
< 500 jiwa/km2
Kepadatan
tinggal pada suatu wilayah maka
Sedang
500-1.000 jiwa/km2
Penduduk
kerentanannya dalam menghadapi suatu
Rendah > 1.000 jiwa/km2
bencana semakin rendah.
Persentase
perbandingan
jumlah
penduduk wanita dan pria dalam suatu
Tinggi
<100
Rasio Jenis
wilayah.
Penduduk
wanita
Sedang
= 100
Kelamin
menggambarkan kemampuan yang relatif
Rendah
> 100
rendah dalam menghadapi bencana.
Rasio
Persentase
perbandingan
jumlah
Tinggi
< 20%
Kemiskinan
penduduk prasejahtera dalam suatu
Sedang
20 40%
wilayah. Semakin tinggi persentase
Rendah
> 40%
penduduk miskin dalam suatu wilayah
Skor
1
3
5
1
3
5
1
3
5
10
Skor
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
11
Rendah
Sangat Rendah
15 30% Total RT
< 15% Total RT
4
5
R=HV
(2)
Dimana: R adalah risiko pada suatu bencana. H adalah bahaya pada suatu bencana. Dan V adalah
kerentanan pada suatu bencana.
Penilaian risiko dilakukan melalui metode weighted overlay. Teknik Weighted Overlay adalah teknik
untuk menerapkan skala pengukuran secara umum dari beberapa nilai yang didapat untuk input yang
beragam dan berbeda untuk menciptakan suatu analisis yang terpadu. Weighted Overlay hanya dapat
mengolah data dalam bentuk rasters, seperti peta jenis penggunaan lahan atau jenis tanah. Weighted
overlay adalah salah satu terapan dari cell-based analysis modelling yang melibatkan seluruh sel dalam
suatu data raster secara bersamaan. Dengan metode ini dilakukan penentuan bobot dan skor pada peta
resiko melalui peta bahaya dan kerentanan, dimana pada dasarnya analisis dan pembuatan peta risiko
diturunkan dari data spasial dan atribut (tabel 3).
Tabel 3. Urutan Parameter Bencana
Parameter Bahaya Banjir
Urutan (rj)
Parameter Bencana
1
Parameter Kerentanan
2
Jumlah
(n-rj+1)
2
1
10
Bobot (Wj)
0.50
0.50
1.00
Berdasarkan hasil overlay dari masing-masing parameter, adapun kelas risiko dibagi menjadi
3 (tiga) kelas antara lain : (1) tinggi, (2) sedang, dan (3) rendah.
.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Administratif Wilayah
12
Secara geografis lokasi penelitian terdiri dari 3 kecamatan yang berada dalam Kabupaten
Karawang, yakni : Kecamatan Karawang Barat, Kecamatan Telukjambe Barat dan Kecamatan
Tekukjambe Timur (Gambar 1). Secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 50 56-60 34
LS, dan memiliki luas 15,890.58Ha, dengan batasan wilayah sebagai berikut :
-
Sebelah Utara
Sebelah Barat
Sebelah Timur
Sebelah Selatan
Teluk Jambe Timur berada pada wilayah dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Karawang Timur
Sebelah Selatan : Kabupaten Bekasi dan Kecamatan Pangkalan
Sebelah Barat : Kecamatan Teluk Jambe Barat
Sebelah Timur : Kecamatan Ciampel
Secara administratif Kecamatan Teluk Jambe Timur membawahi 9 sembilan Desa terdiri dari :
(1) Desa Teluk Jambe (2.62 km2), (2) Desa Pinayungan (2.09 km2), (3). Desa Sirnabaya (11.51 km2),
13
(4) Desa Puser Jaya (3.09 km2), (5) Desa Sukaluyu (5.59 km2), (6) Desa Wadas (6.67 km2), (7) Desa
Sukaharja (2.06 km2), (8) Desa Sukamakmur (2.33 km2), dan (9) Desa Purwadana (4.17 km2).
Kondisi Fisik Wilayah
Curah Hujan
Curah hujan di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan orografi dan perputaran/
pertemuan arus udara. Oleh karena itu, jumlah curah hujan sangat beragam menurut bulan. Wilyah
penelitian memiliki curah hujan yang seragam yakni curah hujan dengan tebal hujan
1.300 1.600 mm/tahun, disajikan pada gambar 2 sebagai berikut :
14
Luas (ha)
6,529.99
4,225.15
2,327.62
1,772.10
1,035.72
Persentase (%)
41.09%
26.59%
14.65%
11.15%
6.52%
15
16
17
18
19
20
21
22
Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa wilayah Kecamatan Telukjambe Timur memiliki jumlah
fasilitas kesehatan lebih sedikit dibandingkan dengan 2 wilayah kecamatan lainnya. Adapun distribusi
fasilitas kesehatan dilokasi penelitian dibagi dalam beberapa kelas, secara lengkap disajikan pada tabel 7
sebagai berikut :
Tabel 7. Kelas Distribusi Fasilitas Kesehatan di Lokasi Penelitian
No.
Kelas Fasilitas Kesehatan
Luas Sawah
1.
< 3 unit
259.27
2.
3 s/d 6 unit
10,284.19
3.
7 s/d 10 unit
735.78
4.
11 s/d 14 unit
1,930.22
5.
> 14 unit
2,681.35
23
Luasan (ha)
10,224.30
4,027.63
1,562.97
55.23
Persentase (%)
64.42
25.38
9.85
0.35
24
Penggunaan Lahan
Pada tahun 2012, terdapat 12 jenis penggunaan lahan diwilayah penelitian, antara lain :
(1) waduk, (2) sungai, (3) jalan, (4) hutan, (5) perkebunan, (6) kebun campuran (7) tegalan/ladang, (8)
sawah, (9) semak belukar, (10) lahan terbuka, (11) permukiman, dan (12) bangunan industri. Penamaan
penggunaan lahan yang dipakai mengacu pada SNI No. 7645 tahun 2010. Berdasarkan hasil interpretasi
citra, adapun penggunaan lahan pada lokasi penelitian terridi dari 12 kelas penggunaan lahan, disajikan
pada peta berikut :
25
perekonomian dan preferensi masyarakat. Apabila refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat
tersebut saling berhubungan dan bersifat dinamis,
pembangunan, maka penggunaan lahan pun bersifat dinamis sehingga dapat berkembang kearah
peningkatan kesejahteraan masyarakat, begitu pula sebaliknya. Adapun luasan dari beberapa
penggunaan lahan dilokasi penelitian disajikan pada tabel 8 sebagai berikut :
Tabel 8. Penggunaan Lahan dan Luasnya di Lokasi Penelitian.
No.
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
1.
Waduk
6.54
2.
Sungai
285.26
3.
Jalan
277.03
4.
Hutan
175.08
5.
Perkebunan
111.29
6.
Kebun Campuran
42.47
7.
Tegalan/Ladang
2,615.46
8.
Sawah
8,895.85
9.
Semak Belukar
12.26
10.
Lahan Terbuka
125.37
11.
Permukiman
2,783.09
12.
Bangunan Industri
559.92
Persentasi (%)
0.04
1.80
1.74
1.10
0.70
0.27
16.46
55.99
0.08
0.79
17.52
3.52
26
Analisis Bahaya
Langkah awal dalam melakukan pemetaan dan analisis terhadap bahaya banjir adalah
melakukan pemberian skor dan bobot pada masing-masing parameter bahaya banjir. Penilaian bobot dan
skor ini berdasarkan pada penilaian subjektif penulis yaitu tingkat pengetahuan dan pengalaman penulis.
Kemudian dilakukan penilaian bahaya berdasarkan persamaan sebagai berikut :
BS
: Buffer Sungai
LU
: Penggunaan Lahan
: Curah Hujan
TNH : Tanah
Selanjutnya melakukan overlay dengan menggunakan metode weighted overlay sebagaimana
yang tertera pada gambar 15, dari proses tersebut menghasilkan 4 kelas bahaya (gambar 16).
Gambar 15. Proses Pembobotan untuk Peta Bahaya dengan Metode Wighted Overlay
27
Persentasi (%)
0.05
2.85
9.74
42.47
44.89
Secara umum wilayah yang memiliki tingkat bahaya tinggi berada didekat sungai, sehingga
mengindikasikan bahwa lebih dekat dengan sungai berpotensi menimbulkan bahaya banjir. Selain
mempunyai jarak yang dekat dengan sungai, daerah yang memiliki tingakt bahaya tinggi hingga sangat
tinggi disebabkan karena adanya alih fungsi lahan menjadi penggunaan lahan non-pertanian sehingga
mengurangi daerah serapan dan tampungan air saat terjadinya hujan terutama pada curah hujan yang
tinggi.
Analisis Kerentanan
Pada penelitian ini, perhitungan kerentanan terdiri dari 3 (tiga) bagian, antara lain :
(1) kerentanan social, (2) kerentanan ekonomi, dan (3) kerentanan fisik (infrastruktur).
Kerentanan Sosial
Pada penelitian ini, parameter yang digunakan dalam analisis kerentanan social antara lain :
kepadatan penduduk, sex rasio dan jumlah keluarga miskin. Pembuatan peta kerentanan social dibuat
berdasarkan pembobotan dan skor pada tabel 3. Parameter kerentanan social tersebut selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan metode weighted overlay (gambar 17).
Gambar 17. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Sosial dengan Metode Wighted Overlay
28
Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh kerentanan social yang dikelompokkan menjadi 5 kelas
kerentanan. Secara umum, ketiga kecamatan tersebut memiliki tingkat kerentanan social tinggi hingga
sangat tinggi terhadap terjadinya banjir. Namun Kecamatan Telukjambe Barat dan bagian utara
Kecamatan Karawang Barat merupakan wilayah yang memiliki tingat kerentanan sosial yang tinggi
terjadinya banjir di wilayah tersebut dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya. Adapun tingkat
kerentanan social wilayah penelitian disajikan pada gambar 18.
29
Kerentana Ekonomi
Pada penelitian ini, parameter yang digunakan dalam analisis kerentanan ekonomi antara lain :
jumlah koperasi dan luas sawah yang merupakan lahan produktif di wilayah penelitian. Pembuatan peta
kerentanan ekonomi dibuat berdasarkan pembobotan dan skor pada tabel 4. Parameter kerentanan
ekonomi tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode weighted overlay (gambar 19).
Gambar 19. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Ekonomi dengan Metode Wighted Overlay
Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh kerentanan ekonomi yang dikelompokkan menjadi
5 kelas kerentanan. Sama halnya dengan kerentanan social, hasil analisis menunjukkan bahwa secara
umum, ketiga kecamatan tersebut memiliki tingkat kerentanan ekonomi tinggi hingga sangat tinggi
terhadap terjadinya banjir. Namun Kecamatan Telukjambe Barat dan bagian utara Kecamatan Karawang
Barat merupakan wilayah yang memiliki tingat kerentanan ekonomi yang tinggi terjadinya banjir di wilayah
tersebut dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya. Adapun tingkat kerentanan ekonomi wilayah
penelitian disajikan pada gambar 20 .
30
Gambar 21. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Fisik dengan Metode Wighted Overlay
31
Ker-sos
: Kerentanan Sosial
Ker-eko
: Kerentanan Ekonomi
Ker-infra
: Kerentanan Fisik/Infrastruktur
Berdasarkan persamaan diatas, kerentatan total dilakukan analisis dengan method weighted
overlay. Adapun pelaksanaan metode tersebut disajikan pada gambar 23 sebagai berikut :
Gambar 23. Proses Pembobotan untuk Peta Kerentanan Total dengan Metode Wighted Overlay
Berdasarkan analisis tersebut diperoleh 3 kelas kerentanan, antara lain : (1) kerentanan tinggi.
(2) kerentanan sedang, dan (3) kerentanan rendah. Adapun hasil dari proses overlay tersebut disajikan
pada gambar 24 sebagai berikut :
32
33
Gambar 25. Proses Pembobotan untuk Peta Risiko dengan Metode Wighted Overlay
Persentasi (%)
35.82
64.16
0.02
34
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian latar belakang, tujuan dan hasil penelitian yang telah disampaikan
sebelumnya, maka kesimpulan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
Alih fungsi lahan dan tingginya laju penduduk menyebabkan peluang terjadinya bencana banjir di
Kabupaten Karawang. Namun, tidak semua wilayah memiliki tingkat riiko yang sama terhadap terjadinya
bencana banjir dilokasi penelitian. Penentuan tersebut didasarkan pada tingkat bahaya dan kerentanan
dari masing-masing daerah. Berdasarkan analisis risiko bencana di Kecamatan Karawang Barat,
Telukjambe Barat dan Telukjambe Timur disimpulkan secara umum wilayah tersebut tergolong berisiko
sedang untuk terjadinya bencana banjir. Namun pada wilayah kecamatan tersebut juga memiliki wilayah
yang beresiko bencana sangat tinggi terutama diwilayah yang berada dekat dengan aliran sungai.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, B. dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi, Laboratorium Penginderaan Jauh dan
Kartografi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Linsley RK, Paulus JL. 1979. Applied Hydrologi. New York. Mc. Graw Hill Book Comp. Inc.
Primulya A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
(Studi Kasus Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur). Skripsi. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Primayuda A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur).
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Bogor
Fakultas Pertanian IPB.
Sunarti E, Sumarno H, Murdiyanto, Hadianto A. 2009. Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan
untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor Pertanian.
Suwardi. 1999. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Sebagian Kotamadya Semarang
dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi [tesis]. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
35