Você está na página 1de 5

Amerika Serikat bagaimanapun juga tetap menganggap Laut Cina Selatan

sebagai jalur laut penting bagi keamanan kapal-kapal komersialnya


maupun kapal-kapal militernya menuju ke Samudera India. Mungkin saja
bagi kapal tanker Amerika Serikat yang mengangkut minyak dari Teluk
Persia mengambil rute pelintasan lewat Terusan Zues masuk ke Laut
Mediteranian terus ke Atlantik selanjutnya menuju pantai-pantai Barat
Amerika Serikat, namun operasi-operasi armada mereka lebih banyak di
Pasifik dan Samudera India. Dua basis angkatan lautnya yang terkenal
yaitu Guam di Samudera Pasifik dan Diego Garcia di Samudera India
merupakan dua pangkalan yang selalu meminta perhubungan yang ketat
dalam rangka mengontrol kedua samudera yang sangat strategic itu.
Armada-armada yang berbobot mati dibawah 300.000 DWT tetap
memandalkan perairan Laut Cina Selatan sebagai jalur pelintasan militer
(sealane of the militery passage) yang terdekat

Faktor utama dalam bidang ekonomi dapat dilihat dari perkembangan tataaturan dalam hukum laut dengan pengaturan dari rezin ke rezim. Sejarah
telah menunjukkan terjadinya kasus yang terkenal dalam literatur hukum
laut inetrnasional yang disebut Anglo-Norwegian Fisheries Case,
(berdasarkan Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951). Kasus
wilayah penangkapan ikan di Laut Utara ini telah menimbulkan aspirasi
baru dalam perkembangan hukum laut internasional di kemudian hari. Dari
kasus inilah dimulai babab baru dalam penetapan penarikan
batas
wilayah laut dengan garis pangkal lurus. Tidak diungkap lebih jauh
Kasus Anglo-Norwegian ini disini daripada sekedar mengemukakan bahwa
pertimbangan utama dari tuntut-menuntut antara Inggris dengan Norwegia
dalam kasus ini adalah pertimbangan ekonomi (sumberdaya perikanan).
Demikian pula halnya terhadap penetapan rezim landas kontinen
(continental shelf) yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S.
Truman dalam tahun 1945 mengenal sumberdaya ekonomi di dasar laut,
dan tanah di bawahnya. Yang paling mengesankan dalam perkembangan
hukum laut dari segi kepentingan ekonomi ialah apa yang ditetapkan oleh
Chili, Ecuador dan Peru tahun 1947 mengenal klaim 200 mil, laut yang
dikemudian hari menimbulkan inspirasi lahirnya satu rezim hukum yang
terbaru dalam sejarah hukum laut yaitu zona ekonomi eksklusif (exclussive
economic zone).

Yang menarik terhadap studi sengketa politik di Laut Cina ini adalah
terdapatnya persilangan sengketa dasar ideologi politik ini pada sepanjang
garis pantai sehingga seorang ahli politik Amerika Serikat George F.
Kennan mengeluarkan teorinya yang terkenal yang disebut Rimland
Theory (teori daerah pinggiran). Teori ini mengemukakan bahwa
pengaruh-pengaruh politik dasar pantai di Laut Cina (coastline political
influences) sangat bergantung dari dua sisi yang sama berat. Sisi satunya
yaitu pendekatan posisi daratan. (Mainland position approach) dimana
akar tunggang komunisme bertumbuh. Dengan demikian dalam posisi
daratan ini terdapat negara-negara Uni Soviet yang bergaris pantai di Laut
Jepang; Korea Utara yang bergaris pantai di Laut Jepang dan Laut Kuning;
Republik Rakyat Cina yang bergaris pantai dari Laut Kuning, Laut Cina
Timur sampai di Laut Cina Selatan; Vietnam yang bergaris pantai dari Teluk
Tonkin di Laut Cina Selatan hingga Teluk Taiwan. Negara-negara yang
menduduki posisi daratan ini semuanya menganut faham sosialiskomunisme. Sedangkan sisi yang satunya lagi yaitu pendekatan dalam
posisi kepulauan (archipelago

position

approack) dimana akar

kapitalis-liberalisme bertumbuh. Dalam posisi kepulauan ini, terdapat


negara-negara Kepulauan Jepang di sisi. Timur Laut Jepang dan Laut
Cina, Timur; Republik Cina Taiwan di Pulau Formosa di Laut Cina Timur;
Negara Kepulauan Hongkong dan Macao di Laut Cina Timur. Kepulauan
Pilipina di sisi Timur Laut Cina Selatan dan Malaysia Timur (Serawak) serta
Brunei disisi Timur Laut Cina Selatan. Negara-negara kepulauan ini
menganut paham non-komunis.
Rimland Theory inilah yang dijadikan landasan Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat John Foster Dalles. (dimasa pemerintahan Presiden
Eisenhower) tahun 1952, melakukan politik pengepungan komunisme yang
terkenal dengan sebutan Containment Policy. Politik ini berusaha
membendung pengaruh-pengaruh komunis meluas ke wilayah kepulauan
di sepanjang Pasifik. Politik pembendungan ini ditancapkan dari Laut
Jepang membentang sampai di Laut Cina Selatan. Akibat adanya pagar

pembendungan politik ini tidak ayal lagi menimbulkan banyaknya insiden


politik dan militer di kawasan. Provokasi yang dilakukan secara sporadis
dan terus-menerus dari satuan-satuan angkatan laut dan udara Uni Soviet
memasuki wilayah perairan dan udara Jepang di sepanjang Laut Jepang.
Klaim Uni Soviet atas ketiga selat yang masuk kedalan perairan Jepang
yaitu Selat Soya (yang menghubungkan antara Pulau Hokaido dan
Kepulauan Kuril di Utara); Selat Tsugaru (yang menghubungkan antara
Pulau

Honsu

dan

Pulau

Hokaido)

dan

Selat

Tsushima

(yang

menghubungkan antara Pulau Tsushima yang diklaim Korea Selatan dan


Pulau

Shikoku) yang

menganggap

ketiga selat

itu adalah selat

internasional. Klaim Uni Sovet itu merupakan alasan politik karena hanya
pada ketiga selat itulah kapal-kapal selamnya (yang bertenaga nuklir) bisa
Iewat memasuki Samudra Pasifik. Akibat lain dari containment policy ini
adalah meletusnya Perang Vietnam tahun 1967 sampai dengan kekalahan
Vietnam Selatan tahun 1974. Perang Vietnam ini dapat dipandang sebagai
insiden politik dan militer yang paling berdarah dan paling bersejarah di
Asia Pasifik dan Timur Jauh.
Yang cukup menarik adalah terjadinya alur (trend) negara-negara
komunisme di daratan Laut Cina dalam paskah Perang Vietnam. Terjadi
konflik Sino-Soviet dan Sino-Vietnam. Perubahan alur ini membuat
Amerika Serikat mendekati Cina apalagi dengan dibubarkannya Partai
Komunis Indonesia yang dianggap ancaman potensil dari strategi Amerika
Serikat di Asia Tenggara. Cina mererima baik uluran tangan Amerika
Serikat dan di sepakatilah suatu perjanjian hubungan baik antara Cina dan
Amerika

Serikat

yang

disebut Shanghai-Communique (Komunike

Shanghai) tahun 1972. Isi dari Komunike Shanghai itu berbunyi:


1.

Kedua negara berhasrat mengurangi bahaya konflik militer


internasional;

2.

Tidak satupun diantara mereka ( baik Cina maupun Amerika


Serikat) akan mengusahakan hegemoni di Kawasan Asia
Pasifik atau di sesuatu kawasan lain di dunia dan masingmasing pihak menentang usaha-usaha oleh sesuatu negara

lain atau kelompok negara lain untuk membangun hegemoni


semacam itu;
3.

Tidak satupun diantara mereka bersedia berunding atas


nama sesuatu pihak ketiga, atau masuk kedalam persetujuanpersetujuan atau saling pengertian dengan lainnya yang
ditujukan kepada negara lain;

4.

Amerika Serikat mengakui posisi Cina bahwa hanya ada satu


Cina dan Taiwan adalah bagian dari Cina;

5.

Kedua belah pihak percaya bahwa pemulihan hubungan


Cina-Amerika Serikat bukan saja demi kepentingan rakyatrakyat Cina dan Amerika, akan tetapi juga memberikan
sumbangan bagi usaha menciptakan perdamaian di Asia dan
di dunia.

Walaupun telah disepakati Komunike Shanghai ini masih ada ganjalan


dalam hubungan kedua negara yaitu mengenai Status Taiwan (pasal 4 dari
Komunike). Apalagi dalam Komunike Bersama (Joint Communique)
antara Amerika Serikat dan Cina pada Agustus 1982 disepakati tiga pasal
mengenai Status Taiwan yaitu:
1.

There is but one China, and Taiwan is part of China;

2.

The Chinese on both sides of the Taiwan Strait should


resolve their dispute peacefully;

3.

U.S. sales of militery equipment to the government on


Taiwan should be for defensive purposes only, and should be
reduced as the threat of the use of force to resolve the conflict
recerdes.

Melihat kedua komunike di atas maka terdapat ganjalan yang sangat


mendasar dari hubungan kedua negara yaitu masalah status Taiwan.
Sampai hari ini Amerika Serikat masih segan melepas Taiwan sementara
Cina terus-menerus menuntut agar Taiwan diserahkan pada Cina.
Akibat lain dari Komunike Shanghai ialah semakin memburuknya
hubungan Cina dengan Vietnam. Seringnya terjadi konflik perbatasan

antara kedua negara terutana serangan pasukan-pasukan Cina kedalam


wilayah Vietnam pada 17 Pebruari 1979. Insiden-insiden berdarah antara
Cina dan Vietnam sebetulnya telah ada ketika Cina melancarkan
penyerbuan ke Pulau Hainan di Teluk Tonkin dan melakukan okupasi di
pulau itu pada Juli 1974, penyerbuan itu kemudian dilancarkan sampai ke
Kepulauan Paracel dan menduduki gugus kepulauan tersebut. Selain dari
itu pula semakin memanasnya insiden-insiden perbatasan antara Korea
Utara dan Korea Selatan, tidak saja insiden-insiden di daratan, tetapi juga
di laut yaitu Laut Kuning dan Laut Jepang.
Berdasarkan beberapa pemikiran di atas merupakan akumulasi untuk
memasuki sengketa Laut Cina seperti telah dikemukakan di atas maka
sengketa Laut Cina merupakan sengketa yang seringkali status hukumnya
tidak jelas, disamping itu pengaruh solusi politik yang demikian besarnya.
Beberapa wilayah yang sering menimbulkan kerawanan dan mengancam
perdamaian serta keselamatan ummat manusia. Bukan saja masalah
tuntutan wilayah kedaulatan yang berpengaruh besar atau merupakan
faktor dominan dalam sengketa tetapi lebih dari itu faktor ideologi yang
berbeda yang seringkali menimbulkan kesenjangan dalam penyelesaian
sengketa di Laut Cina.

Você também pode gostar