Você está na página 1de 5

Contoh Perilaku dan Budaya Organisasi

Perilaku pegawai tidak terlepas dengan budaya organisasi. Menurut


Kotter dan Hesket, budaya organisasi merujuk pada nilai-nilai yang dianut
bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang
waktu, bahkan meskipun anggota kelompok telah berubah. Selain
pengertian tersebut, cukup banyak orang yang mendefinisikan budaya
organisasi dengan berbagai macam pengertian. Budaya korporat dapat
dianggap sebagai perekat atau ikatan yang menahan suatu organisasi
atau perusahaan agar bersatu. Budaya korporat menggabungkan nilainilai organisasi, norma-norma berperilaku, prosedur-prosedur serta
kebijakan pada suatu perusahaan. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada
perbedaan yang mendasar antara budaya organisasi dan budaya korporat
atau perusahaan, dimana budaya korporat lebih menekankan pada
budaya yang terdapat pada suatu organisasi bisnis atau perusahaan.
Pengaruh yang paling pokok pada budaya korporat sebenarnya
adalah budaya nasional suatu negara dimana perusahaan itu berada.
Namun selain hal tersebut, terdapat juga faktor lain yang turut
membentuk budaya korporat misalnya pandangannya dan interaksinya
dengan lingkungan atau dunia luar; struktur kepemilikan perusahaan juga
berperan dalam membentuk budaya korporat (contohnya adalah budaya
perusahaan keluarga kemungkinan akan berbeda dengan perusahaan
bisnis lainnya); jenis atau tipe produksi yang dihasilkan perusahaan
(misalnya perusahaan perangkat lunak komputer kemungkinan
budayanya akan lebih informal dan berwirausaha jika dibandingkan
dengan bank investasi); atau perusahaan jasa juga akan memiliki budaya
yang berbeda dengan perusahaan pertambangan.
Walaupun hampir sama dengan komponen yang membentuk
budaya , seperti bahasa, agama, dan humor, namun komponen budaya
korporat lebih cenderung terkait dengan penerapan aspek-aspek kegiatan
yang ada dalam suatu perusahaan. Masing-masing komponen tersebut
secara terpisah atau secara sendiri-sendiri belum dapat menggambarkan
nilai-nilai yang ada dalam suatu perusahaan.
Namun demikian jika dilihat dari nilai-nilai atau sasaran perusahaan dalam
membentuk budaya korporat, menurut Charles Mitchel dalam Budaya
Bisnis Internasional, komponen-komponen dasar yang membentuk budaya
korporat adalah sebagai berikut:
1. Sistem Imbal Jasa:
Contohnya adalah pegawai yang berperilaku yang bagaimana yang patut
diberi penghargaan atau diberi imbalan?

2. Keputusan mempekerjakan:
Dalam merekrut serta mempekerjakan pegawai, apakah perusahaan
dalam mencapai tujuannya lebih senang merekrut pegawai yang beragam
latar belakangnya, atau agar aman, perusahaan mempekerjakan tenaga
kerja yang homogen
3. Struktur Manajemen:
Dalam hal ini berarti bagaimana perusahaan itu dikelola, apakah dikelola
oleh tim eksekutif atau didominasi oleh otoritas pimpinan perusahaan.
4. Strategi pengambilan resiko:
Sejauh mana perusahaan berani mengambil risiko. Apakah perusahaan
senang dengan suatu tantangan pasar serta mencari peluang-peluang
yang ada, ataukah telah puas dengan kondisi (baik produk atau pasar
yang ada), demi amannya kegiatan perusahaannya.
5. Kondisi fisik:
Bagaimana kondisi ruangan kantor didesain. Apakah kantor lebih
cenderung tersekat-sekat ruangannya, agar nampak kewibawaan
perusahaan padahal kondisi tersebut mungkin tidak mendukung proses
komunikasi yang diharapkan. Atau kantor dibuat terbuka, tanpa ada jarak
yang nyata antara kantor manajemen dengan tempat kerja staf.
Mengenai pola perilaku organisasi dimana karyawan baru
cenderung dan terdorong mengikuti perilaku seniornya maka untuk
menambah kejelasan mengenai peran pegawai senior atau pimpinan
dalam kaitannya dengan budaya kerja, maka disini akan dibahas
mengenai langkah pemimpin dalam pelaksanaan program budaya kerja
seperti yang ditulis oleh Triguno, dalam bukunya Budaya Kerja, yaitu:
1. Memberi fokus yang sama mengenai visi dan strategi perusahaan.
Dengan adanya kesamaan fokus tersebut maka komitmen, sinergi dan
semangat kerja organisasi dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Melaksanakan penyempurnaan
Melakukan penyempurnaan adalah inti dari program budaya kerja karena
dengan penyempurnaan maka perubahan-perubahan yang diinginkan
akan dapat terlaksana, dimana organisasi akan mampu mempertahankan
hidup dalam dunia persaingan.
3. Mengubah budaya
Dalam hal mengubah budaya maka pimpinan harus mampu mengubah
dirinya terlebih dahulu. Pimpinan organisasi harus mau menerima
tanggung jawab dalam rangka perubahan budaya . Perubahan budaya
tidak mungkin dilakukan dalam sekejap waktu tetapi terjadi secara
bertahap dan memerlukan waktu.
4. Pemimpin jangan membuat suatu kesalahan dalam tahapan pelaksanaan
program budaya kerja, karena bila hal tersebut terjadi maka dapat
melemahkan semangat dan menurunkan kepercayaan bawahan terhadap
pimpinan.

1.

2.
3.

4.

5.

Dalam budaya organisasi dan kinerja, menurut Susanto, dalam


bukunya Budaya Perusahaan, untuk menjadikan budaya suatu perusahaan
kuat, ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu:
Penyebaran nilai-nilai budaya
Tujuan dilakukannya penyebaran nilai-nilai budaya tersebut yaitu dengan
maksud agar seluruh sumber daya yang terdapat dalam perusahaan itu
mengetahui secara jelas tentang nilai-nilai yang terdapat didalam budaya
perusahaan tersebut. Cara penyebaran nilai-nilai budaya tersebut dapat
dilakuan dengan melalui orientasi tugas dan penghargaan terhadap
prestasi kerja karyawan.
Tingkat komitmen anggota organisasi terhadap inti dari nilai-nilai yang
ada (core values).
Komitmen karyawan terhadap nilai-nilai inti dari budaya perusahaan
dapat berkembang bersamaan dengan penghargaan yang diberikan
kepada karyawan. Penghargaan oleh perusahaan tersebut dapat berupa
peningkatan gaji, promosi atau jenis-jenis penghargaan lainnya.
Ada kesepakatan umum bahwa tidak mudah untuk menetapkan dalam
hal yang bagaimana suatu budaya dapat dikatakan baik serta dapat
berfungsi baik didalam keseluruhan organisasi dimanapun. Suatu budaya
dapat dikatakan baik jika cocok dengan konteksnya baik berupa kondisi
obyektif dari industrinya, segmen industri perusahaan, atau strategi bisnis
itu sendiri. Dengan demikian semakin besar kecocokan budaya organisasi
dengan konteksnya, akan semakin baik kinerjanya, dan semakin kurang
kecocokannya maka akan semakin buruk kinerjanya.
Sebuah budaya yang tidak memiliki perilaku birokratis, namun cepat
dalam pengambilan suatu keputusan, akan meningkatkan kinerja dalam
lingkungan yang kompetitif. Selain itu sebuah budaya yang mendukung
pembuatan keputusan yang cepat, kemungkinan bermanfaat untuk
perusahaan kecil tetapi sebaliknya mungkin kurang menguntungkan bagi
perusahaan yang besar. Bagi budaya yang menghargai struktur hirarkis
yang stabil dan tinggi, kemungkinan cocok dalam lingkungan perusahaan
yang bergerak lamban, tapi akan tidak cocok dalam perusahaan industri
yang bergerak secara cepat dan kompetitif. Disamping itu perusahaan
kecil yang menggunakan teknologi canggih dan maju mungkin
membutuhkan suatu budaya yang lain dibandingkan misalnya dengan
budaya suatu perusahaan atau bank yang besar.
Pada umumnya budaya yang tidak adaptif bersifat birokratis. Para
pegawai perusahaan kurang kreatif, tidak berani mengambil risiko dan
bersifat reaktif, tidak proaktif. Karena hambatan birokrasi maka informasi
yang masuk tidak lancar dan mengalir dengan mudah dalam sendi-sendi
organisasi. Motivasi dan inovasi tidak dapat dimaksimalkan karena adanya
kontrol yang ketat dan luas.

Sebaliknya, budaya yang adaptif cara pendekatan yang dilakukan


adalah proaktif, mau menanggung risiko, penuh kepercayaan dan saling
mendukung diantara anggota organisasi dalam memecahkan masalah,
dan mau menerima terhadap perubahan dan inovasi dalam organisasi.
Selain itu tipe budaya adaptif ini juga menghargai dan mendorong
kewiraswastaan, yang membantu suatu perusahaan menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang berubah serta berusaha mencari peluangpeluang dan tantangan-tantangan baru.
Meskipun dari ketiga perspektif mengenai budaya dan kinerja
perusahaan tidak ada satupun yang benar-benar memuaskan, namun
mereka telah mengulas dengan cukup lengkap dan memberikan
pemahaman kepada kita terhadap permasalahan mengapa suatu
perusahaan lebih baik dibandingkan yang lainnya? Mungkin sebuah model
yang menggabungkan ketiga perspektif tersebut lebih berpengaruh jika
dibandingkan ketiganya masing-masing terpisah.
Terdapat 3 aspek yang nampaknya dapat berpengaruh terhadap
perkembangan budaya yang tidak sehat tersebut yaitu:
1.
Sifat
angkuh
dari
seorang
manajer
atau
pimpinan
Para manajer tidak terdorong untuk melihat dunia di luar perusahaannya
dan menganggap mereka tidak perlu mencari gagasan-gagasan peluangpeluang bisnis yang baru. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh
keberhasilan secara terus menerus selama bertahun-tahun dengan
tingkat kegagalan perusahaan yang relatif rendah, sehingga kurang ada
usaha. Kurangnya penghargaan terhadap pelanggan maupun dari manajer
untuk bersikap rendah hati.
2.Pemegang saham.
Sifat yang cenderung meremehkan orang lain karena tekanan atau
desakan eksternal yang kecil yang menurut mereka tekanan tersebut
dapat diatasi dengan kemampuan mereka sendiri. Selain itu mereka juga
cenderung tidak menghargai kritik dan menganggap mereka tidak
berbeda dengan konstituensi perusahaan, yang membuat aturan-aturan
dalam perusahaan.
3. Manajer kurang menghargai karyawan dan peran kepemimpinan pada
berbagai level atau tingkat yang ada. Selain mereka cenderung
menghambat kreatifitas dan inovasi, para manajer juga berperilaku
dengan
pola-pola
yang
sentralistis
atau
birokratis.
Kondisi seperti itu akan merusak kinerja ekonomi perusahaan karena para
manajer tersebut tidak melakukan apa-apa dalam membantu organisasi
perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan. Pada saat kinerja
perusahaan menurun, karena tidak adanya kecocokan antara budaya dan
lingkungannya, perubahan yang diharapkan tetap tidak muncul karena
kombinasi dari keadaan kesombongan, kepicikan, serta kurangnya sifat
kepemimpinan dari manajer.

Sebenarnya faktor utama apa yang membedakan perubahan budaya


utama yang berhasil, dari perubahan yang tidak berhasil dalam suatu
perusahaan? Kotter telah mengadakan studi terhadap 10 organisasi
perusahaan besar diantaranya General Electric, British Airways, Nissan,
ICI, SAS, Xerox, dll. Ternyata diperoleh kesimpulan bahwa kepemimpinan
yang kompeten di tingkat pusat lah yang membedakan perubahan budaya
utama yang berhasil dari perubahan yang tidak berhasil. Kemudian
menarik untuk dilihat bagaimana latar belakang kepemimpinan pada
perusahaan-perusahaan tersebut yang terkait dengan perubahan budaya
ini.
Latar belakang mereka dapat berasal dari dalam perusahaan atau
dari luar perusahaan itu sendiri. Ada anggapan dimana peranan perspektif
orang luar dalam perubahan budaya tersebut sangat penting. Keuntungan
dari pemanfaatan orang luar adalah perspektif orang luar mempunyai
pandangan yang lebih luas dan mampu melihat bahwa perusahaan
tersebut membutuhkan perubahan yang drastis, mereka memiliki
kekuatan untuk menentang aturan yang sudah mapan. Namun dalam
perubahan budaya, ternyata pola yang terlihat dari studi tersebut adalah
bahwa semakin besar organisasi perusahaannya, maka pemimpin baru
memiliki latar belakang dari orang dalam, dengan kredibilitas, hubungan
atau kemitraan, dan basis kemampuan kepemimpinan yang dimilikinya.
Dari berbagai kajian dapat diasumsikan bahwa jarang suatu
perusahaan mengembangkan pemimpin yang kuat atau seorang eksekutif
yang berasal dari luar organisasi, dan kebanyakan organisasi
menghasilkan beberapa individu yang berasal dari sumber daya orang
dalam
yang
kuat
dan
kredibel.
Mengapa perubahan tersebut terjadi pada puncak kepemimpinan
organisasi, dan prosesnya bukan dimulai dari tingkat yang lebih bawah,
atau dengan inisiatif yang datang dari manajemen tingkat menengah atau
tingkat lebih rendah.? Jawabannya adalah pertama dihubungkan dengan
semata-mata faktor kesulitan untuk mengubah budaya terutama karena
harus berhadapan dengan kekuatan di puncak pimpinan organisasi.
Kedua, berhubungan dengan interdependensi atau saling ketergantungan
di dalam organisasi dimana kondisi tersebut dapat mempersulit organisasi
untuk melakukan perubahan-perubahan. Memang pada umumnya mereka
yang berperan dalam melakukan perubahan organisasi adalah mereka
yang berada di puncak pimpinan

Você também pode gostar